Anda di halaman 1dari 5

Modul 3.

STUDI KASUS KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS

3.1. Sub CPMK:


Mahasiswa mampu menganalisis pilihan pengobatan yang sesuai untuk kondisi
komplikasi/ penyulit diabetes mellitus.

3.2.Metode
Praktikum ini dilakukan dengan metode studi kasus artikel case report .

3.3. Alokasi waktu:


a. Pengkondisian dan pengumpulan tugas pendahuluan: 5 menit
b. Tes awal: 10 menit
c. Pengarahan: 15 menit
d. Diskusi telaah kasus berkelompok: 80 menit
e. Presentasi kelompok: 6x10 menit

3.4. Tinjauan Pustaka Patofisiologi dan Terapi Komplikasi Diabetes Mellitus


3.4.1. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <70 mg/dl (<4,0
mmol/L) dengan atau adanya whipple’s triad, yaitu terdapat gejala-gejala hipoglikemia, seperti
kadar glukosa darah yang rendah, gejala berkurang dengan pengobatan. Hipoglikemia sering
dialami oleh pasien DM tipe 1, diikuti oleh pasien DM tipe 2 yang diterapi dengan insulin dan
sulfonylurea (Rusdi, 2020).
Gejala dan tanda hipoglikemia tidaklah spesifik antar individu. Hipoglikemia dapat
ditegakkan dengan adanya Whipple’s Triad. Gejala hipoglikemia dikategorikan menjadi
neuroglikopenia, yaitu gejala yang berhubungan langsung terhadap otak apabila terjadi
kekurangan glukosa darah. Gejala hipoglikemia kedua, adalah autonom, yaitu gejala yang
terjadi sebagai akibat dari aktivasi sistem simpato-adrenal sehingga terjadi perubahan persepsi
fisiologi (Rusdi, 2020).
Tabel 3.1. Gejala dan Tanda Hipoglikemia (Rusdi, 2020)
Hipoglikemia terjadi jarena ketidakseimbangan antara suplai glukosa, penggunaan
glukosa dan level insulin. Faktor risiko kejadian hipoglikemia pada pasien DM sering berkaitan
dengan penggunaan insulin atau insulin sekretagog (sulfonilurea/glinid) yang kurang tepat,
diantaranya:
1. Dosis insulin dan insulin sekretagog (sulfonilurea/glinid) yang berlebihan, salah aturan
pakai atau salah jenis insulin.
2. Intake glukosa berkurang, bisa disebabkan oleh lupa makan atau puasa
3. Penggunaan glukosa yang meningkat (pada saat dan sehabis olahraga)
4. Produksi glukosa endogen berkurang (pada saat konsumsi alkohol)
5. Sensitivitas insulin meningkat (pada saat tengah malam, berat badan turun, kesehatan
membaik dan pada saat peningkatan kontrol glikemik)
6. Penurunan bersihan insulin (pada kasus gagal ginjal)

Hipoglikemia bervariasi dalam keparahan sebagai berikut (Dipiro, 2023):


1. Level 1 (hypoglycemia alert): Glukosa darah ≤70 mg/dL (3.9 mmol/L) yang tidak
menyebabkan gejala tetapi cukup rendah sehingga perlu diterapi dengan karbohidrat
kerja cepat dan memerlukan penyesuaian dosis obat hipoglikemik
2. Level 2 (clinically significant hypoglycemia): Glukosa darah < 54 mg/dL (3.0 mmol/L)
yang cukup rendah dan berindikasi serius
3. Level 3 (severe hypoglycemia): gangguan kognitif yang membutuhkan bantuan
eksternal dalam pemulihan dan mengancam jiwa.

Tabel 3.2. Tingkat Keparahan Hipoglikemia (Rusdi, 2020)

3.4.2. Ketoasidosis Diabetik (KAD)


Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan
peningkatan glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai gejala dan tanda asidosis dan
keton plasma (+) yang kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan
peningkatan anion gap (Perkeni, 2021).

3.4.3. Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH)


Pada kondisi ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (>600mg/dL) tanpa
tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (>320mOs/mL), keton plasma
(+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.

3.4.4. Komplikasi Makrovaskular/ Makroangiopati

Komplikasi DM terhadap makrovaskular meliputi gangguan pada (Perkeni, 2021):


1. Pembuluh darah otak: stroke
2. Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
3. Pembuluh darah arteri perifer: nyeri pada saat beraktivitas, ulkus pada kaki.
Komplikasi makrovaskular merupakan penyebab utama kematian pada pasien DM.
Resiko penyakit jantung coroner dan stroke iskemik meningkat dua sampai empat kali lipat
pada pasien dengan diabetes. Pengelolaan faktor resiko kardiovaskular seperti lipid, hipertensi,
berhenti merokok, dan terapi antiplatelet seperti aspirin atau clopidogrel akan menurunkan
kejadian makrovaskular. Pada pasien DM dengan gangguan kardiovaskular, disarankan
penggunaan obat DM golongan GLP-1 RA atau golongan SGLT-2 inhibitor. Beberapa obat
dari golongan ini telah menunjukkan hasil pada uji klinik dapat menurunkan resiko kejadian
kardiovaskular pada pasien dengan Riwayat penyakit arteri coroner, infark miokardiak, stroke
iskemik, atau penyakit arteri perifer. SGLT-2 inhibitor terutama empagliflozin, canagliflozin,
dan dapagliflozin, secara signifikan menurunkan resiko hospitalisasi karena gagal jantung
(Dipiro, 2023).
Tekanan darah tinggi meningkatkan resiko komplikasi makrovaskular dan
mikrovaskular pada pasien DM. Terapi nonfarmakologi berupa perbaikan pola makan berupa
Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH), peningkatan aktivitas fisik, penurunan
berat badan diperlukan bagi pasien dengan tekanan darah melebihi 120/80 mmHg. Terapi
farmakologi berupa Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dan Angiotensin Converting
Enzyme (ACE) inhibitor diperlukan pada terapi awal hipertensi pada pasien DM. Terapi high
intensity statin diperlukan untuk mengontrol kadar kolesterol pada pasien DM dengan penyakit
kardiovaskular (Dipiro, 2023).

3.4.5. Komplikasi Mikrovaskular


Komplikasi mikrovaskular sangat terkait dengan kontrol glikemik, dan terapi untuk
memperbaiki glikemia secara signifikan mengurangi resiko berkembangnya komplikasi ini dan
memperlambat progresi. Komplikasi mikrovaskular yang paling umum adalah kerusakan
ginjal, mata, dan saraf perifer (Dipiro, 2023.

A. Nefropati
DM, terutama DM tipe 2 dan hipertensi merupakan penyebab utama End Stage Kidney
Disease (ESKD). Albuminuria adalah marker kerusakan ginjal dan prediktor kuat ESKD
pada pasien dengan DM tipe 1. Pada DM tipe 2, albuminuria merupakan faktor resiko kuat
penyakit makrovaskular tetapi prediktor lemah terhadap ESKD. American Diabetes
Association (ADA) merekomendasikan pengukuran eGFR (estimated Glomerulus
Filtration Rate) dan skrining albuminuria pada saat diagnosis dan selanjutnya setiap setahun
sekali pada pasien DM tipe 2. Pada DM tipe 1, proteinuria jarang muncul sebelum pubertas.
Skrining tahunan pada pasien DM tipe 2 harus dimulai pada saat pubertas atau ketika durasi
penyakit telah dialami minimal 5 tahun.
Kontrol glukosa dan tekanan darah penting untuk mencegah dan memperlambat
progresi nefropati. Inhibitor SGLT-2 terutama empagliflozin, canagliflozin, dan
dapagliflozin secara signifikan mengurangi penurunan fungsi ginjal pada pasien dengan
Chronic Kidney Disease (CKD), dengan atau tanpa diabetes. Oleh karena itu obat ini dipilih
untuk terapi DM tipe 2 pada pasien dengan CKD terutama pada orang dengan eGFR 30-60
mL/min/1.73 m2 dan Urine Albumin-Creatinine Ratio (UACR) >300 mg/g (33.9 mg/mmol)
(Dipiro, 2023).

B. Retinopati
Retinopati diabetik disebebkan oleh iskemia pada mikrosirkulasi di mata dan pelepasan
vascular growth factor yang tidak tepat. Pasien dengan diabetes harus menjalani
pemeriksaan mata untuk mengevaluasi fungsi retina. Retinopati dini dapat dipulihkan
dengan kontrol glikemik dan tekanan darah yang optimal. Akan tetapi retinopati lanjut
tidak dapat dipulihkan secara penuh oleh perbaikan glikemia (Dipiro, 2023).

C. Neuropati
Neuropati pada pasien diabetes dapat berupa neuropati perifer, neuropati otonom, dan
neuropati focal. Neuropati perifer merupakan komplikasi umum pada DM tipe 2.
Paraestesia (kesemutan), persepsi panas atau dingin, mati rasa, atau nyeri adalah gejala
utama. Kaki lebih sering bergejala daripada tangan. Perbaikan kontrol glikemik adalah
strategi utama untuk mengurangi gejala (Dipiro, 2023).
Jika neuropati terasa nyeri, dapat diberikan terapi simptomatik untuk mengurangi nyeri,
tetapi tidak mengubah kejadian neuropati. Terapi dengan antidepresan trisiklik (nortriptilin
atau desipramine), duloxetine, gabapentin, pregabalin, venlafaxine, capsaicin topikal, dan
tramadol dapat dipertimbangkan. Duloxetine dan pregabalin telah disetujui FDA untuk
terapi nyeri neuropati yang berhubungan dengan neuropati diabetik (Dipiro, 2023).
Neuropati otonom mempengaruhi saraf otonom dan menyebabkan takikardia,
hipotensi ortostatik, konstipasi kronik, gastroparesis, disfungsi ereksi, anhidrosis,
intoleransi panas, gustatory sweating, kulit kering. Gastroparesis bisa menjadi komplikasi
DM yang parah dan melemahkan (Dipiro, 2023).

3.5. Daftar Pustaka


1. Dipiro, J.T. 2023. Dipiro’s Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach 12th Edition.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni). 2021. Pedoman Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2 di Indonesia.
3. Rusdi, M.S. 2020. Hipoglikemia pada Pasien Diabetes Mellitus. Journal Syifa Sciences
and Clinical Research. 2(2): 83 – 90.

3.6. Tugas Pendahuluan (dikerjakan sebelum praktikum, ditulis di buku jurnal)


1. Carilah informasi di pustaka yang tertera pada 3.5 maupun pustaka lainnya dan tuliskan
mengenai terapi hipoglikemia ringan-sedang dan hipoglikemia berat!
2. Carilah informasi di pustaka yang tertera pada 3.5 maupun pustaka lainnya dan tuliskan
mengenai terapi diabetik ketoasidosis!
3. Carilah informasi di pustaka yang tertera pada 3.5 maupun pustaka lainnya dan tuliskan
mengenai terapi Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH)!
3.7. Tugas Praktikum
1. Pelajari artikel case report yang diberikan saat praktikum (1 kasus/ kelompok)
2. Kasus berupa artikel case report, maka diskusikan secara berkelompok mengenai:
a. Kondisi penyakit pasien (gejala, tanda klinis dan hasil laboratorium, diagnosa dan
tingkat keparahan) dengan sistematika Subjective-Objective-Assesment.
b. Terapi farmakologis dan non farmakologis yang diberikan kepada pasien (Plan) dan
carilah informasi singkat mengenai obat yang diberikan dari pustaka informasi obat.
3. Tuliskan hasil diskusi pada slide power point dan presentasikan secara berkelompok!

3.8. Referensi untuk penelusuran informasi


Carilah informasi pada pustaka informasi obat seperti AHFS Drug Information, Drug
Information Handbook, Stockley’s Drug Information, dsb yang tersedia di laboratorium.

Anda mungkin juga menyukai