Anda di halaman 1dari 15

Nama : Zulfadli

Kelas :A

NIM : H1A122246

ASAL MULA NEGARA PADA JAMAN YUNANI KUNO

A. Socrates

Menurut Socrates, Negara bukanlah semata-mata merupakan suatu


keharusan yang bersifat obyektif, yang asal mulanya yang berpangkal pada
pekerti manusia. Sedang tugas Negara adalah menciptakan hukum, yang harus
dilakukan oleh para pemimpin, atau penguasa yang dipilih secara saksama oleh
rakyat. Di sinilah tersimpul pikiran demokratis daripada Socrates. Ia selalu
menolak dan menentang keras apa yang dianggapnya bertentangan dengan
ajarannya yang menaati undang-undang. Socrates meninggal, karena dipaksa
(dihukum) minum racun, sebab dianggap merusak alam pikiran dengan
kepandaiannya yang telah ada waktu itu, dengan tidak meninggalkan apa-apa,
baik tulisan-tulisan yang telah dibukukan ataupun yang masih berupa tulisan
tangan.

Bahwa Socrates hidup terus dalam alam pemikiran tentang Negara dan
hukum adalah terutama berkat muridnya yang termasyur yaitu Plato. Karena
Plato didalam buku-buku karangannya memberikan tempat utama bagi
gurunya yaitu Socrastes. Dalam banyak hal buku Plato bersifat Tanya-jawab,
sedang jawaban-jawaban itu diutarakan menurut ajaran gurunya, Socrates.

Bentuk Negara Yunani kuno msih merupakan satu polis. Terjadinya itu
mula-mula hanya merupakan benteng di sebuah bukit, yang makin lama makin
diperkuat. Kemudian orang-orang lain yang juga ingin hidup dengan aman, ikut
menggabungkan diri, bertempat tinggal di sekliling benteng itu, minta
perlindungan keamanan, maka dengan demikian benteng itu dapat semakin
meluas. Kelompok inilah yang kemudian dinamakan Polis. Jadi Negara pada
waktu itu tidak lebih daripada suatu kota saja. Organisasi yang mengatur
hubungan antara orang-orang yang ada di dalam polis itu, tidak hanya
mempersoalkan organisasinya saja, tetapi juga tentang kepribadian orang-
orang di sekitarnya. Maka dalam keadaan yang demikian ini sebetulnya tidak
ada kepribadian daripada orang-orang yang ada didalam polis itu, karena di
dalam segala hal selalu dicampuri organisasi yang mengatur polis. Oleh karena
itu, polis dianggap identik dengan masyarakat, dan masyarakat dianggap
identik dengan Negara (organisasi) yang masih berbentuk polis itu.

Dengan demikian maka dapatlah kita mengerti sekarang mengapa pada


jaman Yunani kuno dapat dilaksanakan suatu system pemerintahan Negara
yang bersifat demokratis, yaitu :

1. Negara Yunani pada waktu itu masih kecil, masih merupakan apa yang
disebut polis atau City State, Negara Kota.
2. Persoalan didalam Negara dahulu itu tidaklah seruwet dan berbelit-
belit seperti sekarang ini, lagipula jumlah warga negaranya masih
sedikit.
3. Setiap warganegara (kecuali yang masih bayi, sakit ingatan dan budak-
budak berlian) adalah negara minded dan selalu memikirkan tentang
penguasa Negara, cara memerintah dan sebagainya.

Di atas telah beberapa kali dikatakan bahwa pada jaman Yunani kuno
sudah dilaksanakan system pemerintahan demokrasi, itu yang dimaksud
adalah demokrasi kuno atau demokrasi langsung artinya bahwa setiap orang
warga Negara dapat ikut secara langsung memerintah atau secara langsung
memberikan kebijaksanaan pemerintahan Negara. Dengan keadaan demikian
inilah bangsa Yunani di dalam sejarah pemikiran tentang Negara dan hukum
menghasilkan akhli-akhli pemikir besarnya.

B. Plato

Plato adalah murid terbesar dari Socrates. Ia hidup pada tahun 429
sampai dengan 347 sebelum masehi. Pada tahun 389 ia membuka sekolah
filsafat di Athena diberi nama Academia. Selama 40 tahun ia mengajar pada
sekolah tersebut. Dan selama itu pula ia banyak menulis buku, maka berlainan
dengan gurunya, yaitu Socrates, Plato banyak meninggalkan buku-buku
karangannya. Buku-bukunya kebanyakan ditulis dalam bentuk Tanya-jawab,
dan dalam percakapan itu gurunya, Socrates, selalu mendapatkan tempat yang
istimewa. Dengan cara demikian Socrates meskipun tidak meninggalkan
tulisan-tulisan apapun namanya dapat diabadikan dalam sejarah pemikiran
tentang Negara dan hukum. Buku-buku plato yang terpenting di dalam sejarah
pemikiran tentang Negara dan hukum adalah : politeia, atau Negara, buku ini
memuat ajaran-ajaran Plato tentang Negara dan hukum. Buku ini kemudian
dilanjutkan dalam bukunya yang lain yang diberi nama politikos atau ahli
Negara, dari dalam bukunya yang lain yang diberi nama Nomoi, atau Undang-
undang.

Ajaran-ajaran Plato tentang Negara dan hukum dalam buku –bukunya tadi
banyak dipengaruhi alam pikiran plato dan lapangan filsafat bahkan
sesungguhnya alam pikiran inilah yang melahirkan buku-bukunya tersebut
maka sebelum membicarakan pokok-pokok ajaran Plato tentang Negara dan
hukum dalam buku-bukunya tersebut baiklah kiranya dibicarakan terlebih
dahulu secara singkat alam pikiran plato dalam lapangan filsafat tersebut.

Plato adalah pencipta daripada ajaran alam-cita (ideenleer), dan oleh


karena itu kemudian aliran filsafatnya disebut idealisme. Menurut ajaran Plato,
maka hakekat kebenaran itu terdapat didalam idea manusia. Segala sesuatu
yang ada di luar diri manusia itu sebetulnya hanyalah merupakan bayangan
saja daripada apa yang telah ada didalam dunia idea manusia. Bentuk daripada
benda-benda yang ada diluar diri manusia adalah tidak sama, misalnya Kuda,
itu ada hitam, ada yang putih, ada yang besar, ada yang kecil dan sebagainya.
Tetapi meskipun demikian kita telah mengetahui bahwa benda-benda (Kuda)
tersebut adalah sejenis. Sebabnya ialah karena bentuk yang murni dari benda
baru, benda itu sebenarnya bukanlah benda yang sama sekali baru, karena
benda itu hanyalah sekedar mengingatkan kembali pada bentuknya yang
murni yang sudah ada terlebih dahulu didalam dunia idea. Atau, oleh karena
jiwa manusia itu telah berada lebih dahulu dalam alam (cita-cita murni)
sebelum ia memasuki kita; disana ia telah melihat idea atau cita dari kuda dan
kemudian ia kenali kuda tersebut dalam bentuk yang kurang sempurna di
dunia ini. Idea atau cita-cita itu ialah hal-hal yang sudah ada pada manusia
waktu ia lahir. Mencari ilmu pengetahuan berarti menimbulkan kembali
ingatan-ingatan, dan terbit dari kerinduan jiwa kita akan dunia idea di mana
jiwa kita dulu berada.

Dengan ajarannya inilah plato menjadi akhli pemikir yang pertama yang
menerima paham adanya Alam tanpa benda, Alam serba cita. Dan pikirannya
atau ajarannya yang demikian itu timbul karena pengaruh pergaulannya
dengan kaum sofist. Dengan demikian ia lalu beranggapan bawha segala
pengetahuan yang diperoleh hanya dengan melalui panca-indera itu sifatnya
adalah sangat relatif, karena pengetahuan yang sempurna itu hanya dapat
dilahirkan dari alam rokhaniah.

Plato mengatakan bahwa tujuan Negara yang sebenarnya adalah untuk


mengetahui atau mencapai atau mengenal idea yang sesungguhnya, sedang
yang dapat mengetahui atau mencapai idea yang sesungguhnya itu hanyalah
ahli-ahli filsafat saja, maka dari itu pimpinan Negara atau pemerintahan
Negara sebaiknya harus dipegang oleh ahli-ahli filsafat saja.

Menurut plato, Negara itu timbul atau ada karena adanya kebutuhan dan
keinginan manusia yang beraneka macam, yang menyebabkan mereka harus
bekerja sama, untuk memenuhi kebuthan mereka. Karena masing-masing
orang itu secara sendiri-sendiri tidak mampu memenuhi kebuthannya. Karena
itu sesuai dengan kecakapan mereka masing-masing , tiap-tiap orang itu
mempunyai tugas sendiri-sendiri dan bekerja sama untuk memenuhi
kepentingan mereka bersama. Kesatuan mereka inilah yang kemudian disebut
masyarakat atau Negara.

Tentang hakekat Negara. Mengenai hal ini plato mengatakan bahwa luas
Negara itu harus diukur atau disesuaikan dengan dapat atau tidaknya, mampu
atau tidaknya Negara memelihara kesatuan didalam Negara itu, oleh karena
Negara itu sebetulnya pada hakekatnya merupakan suatu keluarga yang besar.
Oleh sebab itu Negara tidak boleh mempunyai luas daerah yang tidak tertentu.

Mengenai bentuk Negara. Hal ini sebetulnya masuk di dalam pembicaraan


mengenai klasifikasi Negara, tetapi mengingat karena dalam hal ini pun plato
banyak memasukkan pengaruh ajaran filsafatnya, maka kiranya agar tidak
terputus-putus di dalam kita membicarakan ajaran plato ini, baiknya kita
bicarakan disini.
Bentuk-bentuk Negara menurut Plato yaitu :

1. Aristokrasi
Yaitu bentuk Negara dimana pemerintahannya dipimpin oleh orang
cerdik/pandai/filosof dan dalam menjalankan pemerintahannya itu
berpedoman kepada keadilan. Namun dalam perjalanannya sesuai
dengan sifat manusia yang selalu berubah-ubah maka bentuk Negara
Aristokrasi tersebut tidak bertahan lama, karena yang memerintah sudah
lebih cenderung untuk mencapai kemasyuran dan kehormatan pribadinya
daripada mengutamakan keadilan. Disamping itu para aristocrat yang
menggantikan para pendahulunya dalam memimpin pemerintahan lebih
mengutamakan kepentingan pribadi serta mengabaikan kepentingan
umum. Hal itu terjadi karena mereka mendapat kekuasaan tersebut
secara mudah/warisan dari pendahulunya. Dalam keadaan demikian
maka bentuk negaranya tidak lagi Aristokrasi, akan tetapi berubah ke
Timokrasi.

2. Timokrasi
Ialah bentuk Negara dimana segala tindakan dari penguasa hanya
dilakasanakan dan ditujukan untuk kepentingannya sendiri. Pendapatan
dan kekayaan Negara digunakan untuk kepentingan sendiri. Oleh karena
itu kemudian kekuasaan dalam Negara jatuh ke tangan Hartawan,
akibatnya timbullah milik Negara menjadi milik pribadi/partikulir. Dalam
masyarakat, yang mendapatkan penghormatan hanyalah yang kaya saja.
Bahkan akhirnya pemerintah mengeluarkan undang-undang yang
menyatakan bahwa yang berhak memegang pemerintahan hanyalah
orang kaya saja. Sifat orang yang memegang pemerintahan tersebut
mengakibatkan berubahnya bentuk Negara yang semula Timokrasi
menjadi Oligarchie.

3. Oligarchie
Ialah suatu bentuk Negara dimana pemerintahannya dipimpin oleh
sekelompok kecil dari orang kaya yang selalu mempunyai kecendrungan
untuk memperkaya dirinya sendiri. Dalam keadaan yang demikian itu,
terjadilah tekanan-tekanan dari penguasa serta terjadilah kemelaratan-
kemelaratan di dalam masyarakat. Menyadari akan hal tersebut maka
masyarakat yang miskin dan tertekan tersebut akhirnya bersatu kemudian
melawan orang-orang kaya yang memegang pemerintahan itu, akhirnya
perlawanan tersebut dimenangkan oleh orang-orang miskin /rakyat
tersebut sehingga merekalah yang menjalankan pemerintahan serta lebih
mengutamakan kepentingan umum/rakyat tersebut. Bentukn
pemerintahan yang demikian disebut Demokrasi.

4. Demokrasi
Ialah bentuk Negara dimana pemerintahannya dipegang oleh rakyat dan
dalam menjalankan pemerintahan tersebut kepentingan umum lebih
diutamakan. Dalam pemerintahan Demokrasi tersebut prinsip kebebasan
dan kemerdekaan yang diutamakan, tetapi apabila salah menggunakan
kebebasan dan rakyat tersebut mendewa-dewakan kebebasan itu,
akhirnya justru menimbulkan adanya “anarchie”, sehingga didalam
Negara tersebut tidak ada lagi pemerintahan, yang ada justru kekacauan.

5. Tirani
Ialah bentuk Negara dimana pemerintahannya dipimpin oleh seorang
tiran yang dalam memimpin mereka menggunakan tanga besi serta
berusaha untuk menekan saingannya. Hal tersebut dilator belakangi oleh
kondisi yang anarkis tersebut dalam suatu Negara sebelumnya. Maka
untuk mengatasi kekacauan yang terjadi itulah diperlukan adanya seorang
yang pemberani dan kuat serta mereka mampu untuk bertindak secara
tegas. Namun pemerintahan yang demikian sangat jauh dari keadilan, dan
untuk melanggengkan kekuasannya tersebut, maka tiran tersebut
berusaha untuk menyingkirkan saingan atau lawan-lawannya. Dalam
keadaan yang seperti ini akhirnya diperlukan kembali orang yang
pemberani, pandai dan diharapkan dapat memimpin Negara dengan adil
serta mengutamakan kepentingan umum, sehingga setelah hal tersebut
terwujud maka negaranya tidak lagi tirani, akan tetapi berubah ke
Aristokrasi.
C. Aristoteles

Aristoteles adalah murid terbesar dari Plato. Yang hidup antara tahun
384-322 SM. Ia adalah putra dari Nichomachus, seorang tabib pribadi pada
istana raja di Macedonia. Pada waktu ia berusia 17 tahun, ia pergi ke Athena
dan menjadi murid Plato. Pernah ia pada tahun 342 SM diberi tugas yang maha
berat tetapi mulia oleh raja Philipus untuk mendidik putranya Iskandar
Zulkarnain (Alexander Yang Agung), yang dikemudian hari beliau ini
menciptakan imperium (kerjaan dunia).

Meskipun Aristoteles adalah murid yang terbesar daripada Plato, namun


didalam banyak hal terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat besar.
Perbedaan ini timbul karena pengaruh keadaan pada waktu hidupnya,
terutama pada waktu kedua sarjana itu menulis ajaran-ajarannya. Perbedaan
ini antara lain, Plato didalam ajaran-ajarannya masih mencampur adukkan
semua obyek penyelidikannya, sedangkan Aristoteles telah memisahkannya,
yaitu tentang keadilan ditulis dalam bukunya yang diberi nama Ethica, dan
tentang Negara dalam bukunya yang bernama Politica. Sebetulnya isi daripada
kedua bukunya itu adalah sangat berlainan, tetapi oleh Aristoteles dianggap
atau dimaksudkan sebagai suatu rangkaian, yaitu Ethica merupakan pengantar
daripada Politica. Sebab kesusilaan itu juga mengutamakan manusia sebagai
warga dari suatu Negara dan bukan sebagai manusia yang mandiri.

Selanjutnya, kalau Plato adalah pencipta idealisme yaitu yang


memandang bahwa benda-benda yang ada diluar diri manusia yang dapat
dilihat atau ditangkap dengan panca indera itu adalah sebagai bayangan saja
daripada benda-benda yang dalam bentuknya yang murni yang berada didunia
lain, yaitu dunia cita-cita atau dunia idea. Sedangkan kalau Aristoteles adalah
seorang pencipta daripada ajaran realisme. Aristoteles memang melanjutkan
cara berpikir Plato, yaitu dari idealism ke realisme. Tetapi karena Aristoteles
kemudian ingin menyelidiki sifat-sifat umum daripada segala-galanya yang ada
di dunia ini, maka timbullah ajaran ilmu pengetahuan baru yaitu Prima
Philosophia, suatu ajaran filsafat yang pertama mencari hakikat yang dalam
daripada apa yang ada, jadi mencari makna keadaan. Oleh karena itu,
filsafatnya adalah merupakan suatu ajaran tentang kenyataan ontologi, suatu
cara berpikir yang realistis. Jadi menurut Aristoteles hakikat daripada suatu
benda berada daripada benda itu sendiri. Hakikat atau bentuk daripada suatu
benda itu berada pada zat, sehingga orang harus mencari kesatuan obyektif
dalam bentuk yang banyak itu.

Pendapat Aristoteles mengenai susunan dan hakikat Negara atau


masyarakat adalah bahwa Negara itu merupakan suatu kesatuan, suatu
organisme yaitu suatu keutuhan yang mempunyai dasar-dasar hidup sendiri.
Dengan demikian Negara itu selalu mengalami timbul, berkembang, pasang,
surut dan kadang-kadang mati sama halnya dengan keadaan manusia,
binatang atau tumbuh-tumbuhan.

Dalam argument Aristoteles, Negara yang baik adalah yang


memberlakukan hukum-hukum yang baik. Negara baik dapat ditemui jika
hukum berdaulat di dalamnya. Jadi Aristoteles sangat menyukai adanya
penguasa yang memerintah berdasarkan konstitusi dan memerintah dengan
persetujuan warga negaranya, bukan pemerintahan dictator.

Mengenai jenis-jenis bentuk Negara, Aristoteles membedakan dalam tiga


jenis bentuk, kemudian tiap-tiap jenis itu dibedakan lagi menjadi dua. Adapun
yang dipergunakan sebagai kriteria dalam menguraikan bentuk-bentuk Negara
ini ada 2 hal, yaitu :

1. Jumlah orang yang memegang pemerintahan.


Maksudnya pemerintahan itu hanya dipegang oleh 1 orang saja, atau
beberapa orang, jadi oleh golongan kecil saja atau oleh pada
prinsipnya, seluruh rakyat, jadi oleh golongan terbesar.
2. Sifat atau tujuan pemerintahannya
Maksudnya pemerintahan itu ditujukan untuk kepentingan umum (ini
bersifat baik), atau pemerintahan itu hanya ditujukan untuk
kepentingan para penguasa saja (ini bersifat jelek).

Berdasarkan kriteria tersebut diatas, maka menurut Aristoteles


didapatkan bentuk-bentuk Negara :

1. Negara dimana pemerintahannya hanya dipegang oleh 1 orang saja


dan pemerintahannya itu ditujukan hanya terpusat pada 1 tangan, ini
dibedakan lagi berdasarkan sifatnya, yaitu :
a. Negara dimana pemerintahannya dipegang oleh 1 orang saja dan
pemerintahannya itu ditujukan untuk kepentingan umum, jadi ini
bersifat baik.
Negara ini disebut Monarki.
b. Negara dimana pemerintahannya hanya dipegang oleh 1 orang saja
tetapi pemerintahannya itu hanya ditujukan untuk kepentingan si
penguasa itu sendiri, jadi bersifat jelek. Negara ini disebut Tyranni.

2. Negara dimana pemerintahannya dipegang oleh beberapa orang dan


oleh segolongan kecil saja. Disinipun sesungguhnya kekuasaan itu
dipusatkan, tetapi tidak pada 1 orang melainkan pada 1 organ atau
badan yang terdiri dari beberapa orang. Ini dibedakan berdasarkan
sifatnya, yaitu :
a. Negara dimana pemerintahannya dipegang oleh beberapa orang
dan sifatnya baik, karena pemerintahannya ditujukan untuk
kepentingan umum. Negara ini disebut Aristokrasi.
b. Negara dimana pemerintahannya dipegang oleh beberapa orang
dan sifatnya jelek, karena pemerintahannya ditujukan untuk
kepentingan mereka, si pemegang pemerintahan itu sendiri. Negara
ini disebut Oligarki.

3. Negara dimana pemerintahannya dipegang oleh rakyat, ini yang


dimaksud bahwa yang memegang pemerintahan itu pada prinsipnya
adalah rakyat itu sendiri, setidak-tidaknya oleh segolongan besar
daripada rakyat. Ini dibedakan lagi berdasarkan sifatnya, yaitu :
a. Negara dimana pemerintahannya dipegang oleh rakyat dan sifat
pemerintahannya adalah baik, karena memperhatikan kepentingan
umum atau rakyat. Negara ini disebut Republik atau Republik
Konstitusionil
b. Negara dimana pemerintahannya itu dipegang oleh rakyat dan sifat
pemerintahannya adalah jelek, karena pemerintahannya hanya
ditujukan untuk kepentingan si pemegang kekuasaan itu saja.
Negara ini disebut Demokrasi.
Menurut Aristoteles, Republik Konstitusionil adalah bentuk Negara
terbaik. Karena pemerintahannya yang dijalankan oleh seseorang/beberapa
orang saja, akan besar kemungkinannya terdapat kekeliruan dalam mengambil
keputusan karena keputusan itu mungkin dipengaruhi oleh rasa marah, benci,
dendam dan nafsunya. Tetapi kalau pemerintahan itu dipegang oleh seluruh
rakyat atau golongan terbesar daripada rakyat, putusan yang diambil atas
dasar sifat marah dan sebagainya akan sedikit sekali kemungkinannya.

Negara terbaik adalah bereformasi Republik Konstitusional dan


pemerintahannya adalah pemerintahan yang berdasarkan dengan konstitusi
dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pemerintahan untuk kepentingan umum


2. Pemerintahan dijalankan menurut hukum
3. Pemerintahan mendapatkan persetujuan dari warga negaranya

Menurut Aristoteles dalam buku yang berjudul Nichomachean Ethics.


Keadilan dan kesejahteraan tercapai dengan pengaturan oleh hukum, dan
hukum bertahan diantara kenyataan adanya ketidakadilan, ketika pelaksanaan
hukum bersifat discrimination dalam menentukan mana yang adil dan yang
tidak adil.

Dalam buku Nichomachean Ethics tersebut, Aristoteles juga


mengemukakan masalah kesetaraan, yang disebutnya “memiliki pengertian
tidak begitu jauh dari keadilan”. Hanya saja kesetaraan tidak diberikan oleh
hukum karena hukum tidak bisa memberikannya atas semua kasus, khususnya
melalui keadailan korektif. Kesetaraan sendiri merupakan wujud nyata dari
keadilan.

Sementara itu, keadilan korektif tidak sama dengan keadilan legislative,


tetapi ia merupakan suatu justice of the courts, keadilan yang ditentukan oleh
pengadilan. Keadilan korektif memulihkan kembali hak-hak yang dilanggar,
mengembalikan kepada keseimbangan semula sebelum terjadinya
pelanggaran. Keadilan korektif dapat tercapai secara sukarela maupun dengan
paksaan. Keadilan dengan sukarela terjadi dalam perbuatan seperti menjual,
membeli, meminjam, menabung, memadamkan api, dsb; sementara paksaan
antara lain melalui pemenjaraan, pembunuhan dan perampokan dengan
kekerasan.

Menurut Aristoteles tujuan Negara kesempurnaan diri manusia sebagai


anggota masyarakat atau kebaikan bersama dalam setiap komunitas. Dari
komunitas kecil hingga komunitas yang lebih luas. Untuk itu Negara harus
menjamin kehidupan masyarakat agar terarah pada kebaikan dan juga harus
memberikan kesempatan pada mereka agar meraih perlakuan moral,
memperoleh hak intelektual sebagai penunjang terwujud kehidupan yang baik.

Bagi Aristoteles, warga Negara adalah mereka yang memiliki penalaran


dan karakter yang diperlukan untuk membimbing kehidupannya kearah
kebijakan dan diberi kepercayaan dalam sebuah Negara. Warga Negara
menurut Aristoteles adalah seluruh manusia yang menjadi komponen tubuh
politik yang terdiri dari bagian-bagian untuk membentuk Negara. Warga
Negara dalam konteks pemikiran Aristoteles disini tidak termasuk mereka
kaum petani dan mekanik (Pasaribu, 2016). Pendapat Aristoteles yang
mengatakan bahwa Negara atau masyarakat itu merupakan bagian yang
tertinggi.

D. Epicurus

Berlainan dengan keadaan pada waktu hidupnya Aristoteles, yaitu ketika


sedang jaya-jayanya kerajaan dunis dari raja Alexander Yang Agung, maka
Epicurus hidup (tahun 342-271 SM) ketika kerajaan dunia dari raja Alexander
Yang Agung telah jatuh, setelah Alexander Yang Agung wafat pada tahun 323
SM. Sebagai akibatnya Negara Yunani terpecah belah. Keadaan ini nanti akan
berlangsung terus sampai Negara Yunani itu menjadi bagian dari kerajaan
Romawi. Karena keadaan tersebut, maka Epicurus telah menciptakan aliran
baru dalam dunia filsafat, yang ajarannya tentang Negara dan hukum
berdasarkan atas keadaan yang telah berubah itu.

Karena keadaan Negara yang telah terpecah belah itu, maka sifat
hubungan antara manusia dengan Negara berubah. Kalau dulu diajarkan oleh
Aristoteles bahwa yang merupakan bagian terpenting itu adalah
Negara/masyarakat, maka sekarang orang mulai bersikap acuh tak acuh.
Manusia sebagai individu dan Negara mulai terasing satu sama lain dan tidak
ada kemungkinan lagi untuk mendidik orang menjadi warga Negara yang baik
dari Negara. Dalam keadaan demikian inilah Epicurus kemudian menciptakan
ajarannya yang bersifat individualistis. Individualismenya ini kemudian
mendesak universalismenya Arsitoteles, yang dulu sebagai kebangsaan yunani
dimaksudkan sebagai dasar bagi cara berpikir mereka.

Jadi Epicurus adalah pencipta daripada ajaran individualisme yang


menganggap bahwa elemen atau bagian yang terpenting bukanlah Negara
atau masyarakat; seperti dalam universalismenya Aristoteles, teteapi elemen
atau bagian yang terpenting adalah individu itu sendiri sebagai anggota
masyarakat. Bahkan adanya Negara itu adalah untuk memenuhi kepentingan
individu itu sendiri. Oleh karena masyarakat itu terdiri daripada individu-
individu sebagai atom dan individu inilah sebagai bagian yang terpenting, maka
ajaran Epicurus tentang sifat susunan masyarakat atau Negara disebut ajaran
atommisme. Ini adalah sebagai lawan dari organismenya Aristoteles.

Dalam ajaran Epicurus ini telah terkandung benih-benih pertama daripada


ajaran perjanjian masyarakat yang kemudian akan muncul. Ini terbukti bahwa
dalam ajaran Epicurus orang dianggap sebagai aatom, sebagai elemen pokok
yang terkecil yang mempunyai kepribadian sendiri, maka dalam Negara
kepentingan individu itulah yang harus diutamakan sebagai dasar dari
kepentingan Negara. Karena bila individu itu bahagia akan demikian pula
Negara tetapi dalam masyarakat itu sering timbul kekacauan dan kekerasan
yang dapat mengancam ketentraman dan kebahagiaan individu. Maka untuk
mencegah timbulnya kekerasan-kekerasan dan ketidak adilan, Negara lalu
mengeluarkan undang-undang. Tetapi UU ini belum dapat berlaku kalau belum
dapat persetujuan daripada individu. Jadi untuk berlakunya suatu undang-
undang suara dari individu-individu untuk menyetujui sangat menentukan.
Disinilah letak benih-benih daripada perjanjian masyarakat.

Benih perjanjian masyarakat yang telah diletakkan oleh Epicurus ini nanti
dasar-dasarnya akan diberikan oleh Marsilius seorang sarjana dari abad
pertengahan dan yang kemudian dikembangkan oleh sarjana-sarjana hukum
alam pada abad ke XVII dan abad ke XVIII.
Negara menurut Epicurus adalah merupakan hasil daripada perbuatan
manusia, yang diciptakan untuk menyelenggarakan kepentingan anggota-
anggotanya. Masyarakat tidak merupakan realita dan tidak mempunyai dasar
kehidupan sendiri. Manusia lah sebagai individu dan sebagai anggota
masyarakat yang mempunyai dasar-dasar kehidupan yang mandiri dan yang
merupakan realita. Jadi menurut Epicurus yang hidup itu adalah individunya,
yang merupakan keutuhan adalah individunya, sedang Negara atau
masyarakat adalah buatan daripada individu tersebut, jadi sama dengan benda
yang mati dan merupakan suatu mekanisme.

Maka yang harus diutamakan adalah individunya, kepentingan individu


lah yang pertama harus dipenuhi. Sebab individu inilah yang menciptakan
Negara oleh karena itu kalau kepentingan individu dipenuhi, ia akan menjadi
kuat dan demikian pula keadaan Negara yang diciptakannya. Negara diciptakan
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Jadi Negara
hanyalah merupakan alat saja untuk dapat melangsungkan hidupnya. Dalam
hal ini menurut Epicurus Negara itu mungkin dibuat oleh manusia dengan
secara sengaja atau mungkin hanya secara kebetulan saja. Tetapi
bagaimanapun juga Negara itu mesti untuk kepentingan manusia dan tugas
Negara hanyalah melayani manusia. Jadi pada hakikatnya Negara adalah
merupakan alat bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Sedangkan tujuan Negara adalah menyelenggarakan ketertiban dan


keamanan dan untuk terselenggaranya orang harus menundukkan diri kepada
pemerintah bagaimanapun bentuk dan sifatnya. Maka menurut Epicurus
tujuan Negara itu selain menyelenggarakan ketertiban dan keamanan, yang
penting adalah menyelenggarakan kepentingan perseorangan, jadi berarti
menyelenggarakan keenakan pribadi. Tetapi dijelaskan oleh Epicurus, bahwa
yang dimaksud dengan keenakan pribadi yaitu bukanlah yang bersifat
materialistis, meskipun kadang-kadang harus diusahakan juga melainkan yang
penting adalah keenakan yang bersifat kejiwaan atau kerohanian.

Dengan demikian kalau Plato telah berusaha memperbaiki


kecenderungan hati orang didalam Negara dengan melalui jalan dialektika; dan
pula Aristoteles hendak mempertahankan keadaan itu dan memperbaikinya
dengan pengetahuan dan keadaan kenyataan yang sebenarnya yaitu dengan
ajaran filsafat ontologinya; Sedangkan Epicurus dengan sikap pikirannya yang
tak acuh, karena terpaksa memberikan penyesuaian pikiran dan pertolongan
kepada keadaan yang bobrok, tanpa harapan, tanpa usaha untuk
menyelamatkan diri dari keadaan-keadaan itu. Oleh karena itu ajaran Epicurus
tentang Negara dan hukum hanya berkembang dan mempunyai manfaat saat
itu saja sedangkan untuk kemudian akan tidak mempunyai nilai sama sekali.

E. Zeno

Madzhab filsafat yang kedua dari jaman Yunani. Sebelum Negara itu
ditaklukkan oleh Romawi adalah madzhab filsafat kaum Stoa dan Stoicin.
Tokohnya adalah Zeno. Dinamakan kaum stoa karena Zeno selalu memberikan
pelajaran di lorong-lorong yang banyak tonggak temboknya atau Stoa. Seperti
halnya dengan Aristoteles, pada waktu ia menjadi maha guru filsafat pada
perguruan tinggi filsafat di Athena, mempunyai kebiasaan memberikan
pelajaran sambil berjalan kian kemari, maka madzhab filsafatnya dinamakan
peripatetis.

Ajaran filsafat Zeno sangat berlawanan dengan ajaran Epicurus. Sebab


ajaran Epicurus berpokok pangkal pada manusia sebagai atom dan pandangan
hidupnya yang individualistis, sedangkan kalau ajaran Zeno bersifat
universalistis dan universalismenya itu tidak hanya meliputi bangsa Yunank
saja seperti diajarkan dalam filsafatnya aristoteles, tetapi meliputi seluruh
manusia dan bersifat kejiwaan, seluruh kemanusiaan, oleh karena itu
lenyaplah perbedaan antara orang Yunani dengan orang biadab, antara orang
yang merdeka dan budak dan kemudian timbullah moral yang memungkinkan
terbentuknya kerajaan dunia, dimana setiap orang mempunyai kedudukan
yang sama sebagai warga dunia.

Dipengaruhi dari keadaan yang terjadi sebelumnya sehingga ajaran kaum


Stoa tersebut pada dasarnya berisi tentang :

1. Menggambarkan manusia dalam keadaan yang kosong karena


mengalami kebobrokan social etisnya.
2. Mencarikan jalan keluar untuk mengatasi kebobrokan tersebut dengan
syarat minimum.
Ajaran Zeno tersebut bila dibandingkan dengan ajaran Aristoteles dan
Epicurus maka terdapat adanya suatu perbedaan yaitu :

1. Kalau ajaran Zeno universalisme yang dimaksudkan adalah berlaku


bagi semua bangsa-bangsa dan bersifat kejiwaan sehingga
menghilangkan perbedaan diantara bangsa-bangsa yang akhirnya
melahirkan Negara dunia/imperium.
2. Ajaran universalisme Aristoteles hanya berlaku bagi orang Yunani saja
sedangkan ajaran Epicurus bersifat individualitas dimana manusia itu
merupakan bagian dari Negara dan mempu nyai kedudukan yang
penting.

Karena itu oleh kaum Stoa orang-orang yang hidup di dalam masyarakat
itu digambarkan sebagai suatu kesatuan yang bersifat abstrak, maka inilah
yang memungkinkan terciptanya persatuan umat manusia itu. Hukum yang
berlaku adalah hukum alam; Hukum ini sifatnya adalah abadi dan tidak
berubah-ubah.

Di antara hukum Alam ini adalah akal kita, yang memungkinkan kita dapat
mengetahui segala hal. Dan inilah yang memberi kemungkinan kepada
manusia untuk membentuk Negara dunia.

Dengan demikian kaum Stoa menempatkan ajaran tentang hukum Alam


yang telah diajarkan oleh Aristoteles itu dalam pusat pikiran mereka mengenai
Negara dan hukum, dan sekaligus merubah arti manusia dari makhluk yang
mempunyai perasaan nasional dan susila menjadi seorang akhli pikir yang
abstrak dan berakal.

Anda mungkin juga menyukai