Anda di halaman 1dari 4

Bersilaturahmi dan saling memaafkan pada Hari Raya Idul Fitri merupakan salah satu

tradisi khas Indonesia yang sudah ada sejak zaman dahulu. Dalam adat Jawa bahkan
terdapat tradisi khusus setiap lebaran tiba yaitu tradisi ujung, tradisi ujung dilakukan
dengan mengunjungi orang tua, kerabat, tetangga, atau orang yang dihormati untuk
saling bersalaman, meminta maaf, dan memohon doa kebaikan.
Adanya tradisi ujung membuat momentum lebaran menjadikan kita pribadi yang
mudah memaafkan dan meminta maaf pada setiap orang disekitar kita. Nah, mengapa
kita bisa dengan mudah memaafkan di momentum ini?
Menurut penelitian dari Greer, dkk. (2014), hati yang bahagia dan adanya kesamaan
identitas sosial antara peminta dan pemberi maaf mendorong hati seseorang berlapang
dada memaafkan kesalahan. Kita menjadi lebih mudah memaafkan karena didukung
oleh suasana lebaran yang bahagia dan kesamaan identitas seperti sesama penganut
agama Islam atau satu keluarga.

Selain sebagai tradisi selama lebaran, memaafkan juga harus dimaknai dengan
kesungguhan untuk benar-benar memaafkan kesalahan orang lain maupun diri sendiri
karena suatu kesalahan. Salah satu hal yang masih menjadi permasalahan ialah
terkadang kita hanya memaafkan dalam lisan saja namun belum benar-benar
memaafkan secara batin. Lantas bagaimana kita bisa tahu bahwa kita sudah benar-
benar memaafkan?

Table of Contents [hide]















Tanda Bahwa Kita Belum Benar-benar Memaafkan


Enright (2002) menyatakan bahwa pemaafan adalah kesediaan seseorang untuk
meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan perilaku acuh-tidak-acuh terhadap
orang lain yang telah menyakitinya secara tidak adil. Nasution (2008) juga
memaparkan tanda ketika kita belum benar-benar memaafkan yaitu sebagai berikut:
1. Masih muncul perasaan negatif
Perasaan negatif yang muncul ketika mengingat kembali kejadian atau perbuatan
orang yang telah menyakiti bisa jadi adalah pertanda bahwa kita belum benar-benar
memaafkan. Hasilnya, membangun kembali trust masih terasa sulit. Rasa dendam,
amarah, benci, dan sakit hati adalah emosi-emosi yang sering muncul.
2. Masih memakai identitas masa lalu
Apabila kita masih memakai identitas masa lalu yang menyakitkan sebagai suatu
alasan, berarti kita belum benar-benar memaafkan. Dapat diambil contoh ketika kita
masih mengatakan, “Saya begini karena masa lalu yang menyakitkan” atau “Saya
begini karena dia”, sesungguhnya dengan hal itu kita masih memendam amarah yang
belum terselesaikan.

3. Masih mengungkit kesalahan orang lain


Tanda lain ialah ketika kita masih mengungkit kesalahan orang lain yang telah kita
maafkan. Ketika kita sudah memutuskan untuk memaafkan, artinya kita juga harus
menutup lisan dan hati untuk tidak mengungkitnya lagi.

Ketiga tanda diatas dapat menjadi indikasi ketika kita hanya memaafkan di lisan saja
namun belum benar-benar memaafkan orang lain atau diri sendiri secara utuh.
Memaafkan memang bukan hal yang mudah. Oleh karena itu, butuh proses psikologis
sehingga kita bisa benar-benar memaafkan.

Tahapan Memaafkan
Terdapat beberapa proses atau tahapan psikologis yang dilalui seseorang dalam
memaafkan. Menurut Robert D. Enrigh seorang professor sekaligus penulis buku
“Forgiveness Is A Choice” terdapat empat tahapan dalam proses memaafkan, yakni:
1. Uncovering phase
Pada tahap ini seseorang perlu “berkenalan” dengan situasi yang dialaminya. Kita
perlu mencari tahu peristiwa tidak menyenangkan apa yang dialami sehingga kita
marah atau kecewa, mengapa hal itu terjadi, dan siapa orang-orang yang terlibat.
Dalam tahap ini kita bisa menuliskan poin-poin penting tersebut untuk mempermudah
kita mengidentifikasinya.

2. Decision to forgive phase


Tahapan ini seseorang mulai memahami mengenai makna memaafkan. Memperdalam
alas an mengapa kita harus memaafkan hingga pada akhirnya dapat memutuskan
untuk memaafkan atau tidak. Kita bisa menuliskan pro dan kontra ketika kita
memaafkan dan tidak memaafkan.

3. Work phase
Pada tahapan ini seseorang mulai memahami sisi orang lain yang membuat kesalahan
pada dirinya atau dengan kata lain berempati. Dari sini kita dapat mengetahui
mengapa seseorang bisa melakukan hal yang menyakiti diri kita. Bukan sebagai
persetujuan atas tindakan yang salah namun hal ini untuk menumbuhkan kasadaran
akan emosi yang kita rasakan sekalipun emosi tersebut negatif. Cara pandang baru
pada seseorang ternyata juga dapat membuat diri kita memiliki emosi positif baik
untuk orang lain maupun diri sendiri.

4. Deepening phase
Pada tahapan ini seseorang sudah memahami situasi yang terjadi dalam diri sendiri
maupun orang yang menyakitinya hingga pada akhirnya rasa marah pun surut. Kita
dapat merasakan manfaat dari memaafkan dan makna baru dalam membangun
hubungan. Biasanya orang yang melalui proses memaafkan akan lebih kuat secara
psikologis dan menjadi lebih dewasa.
Tantangan dalam Proses Memaafkan
Kedamaian hati dapat dirasakan salah satunya ketika seseorang sudah benar-benar
memaafkan, baik memaafkan kesalahan diri sendiri maupun kesalahan orang lain.
Dikutip dari penelitian yang dilakukan oleh McCullough, dkk. (2001) terdapat
beberapa hal yang menjadi tantangan dalam proses memaafkan, yaitu sebagai berikut:

1. Memaafkan membutuhkan keikhlasan


Memaafkan membutuhkan keihklasan untuk menerima kondisi yang tidak
mengenakkan. Kondisi yang tidak mengenakkan dapat menjadi hal traumatis yang
memicu perasaan negatif atau respon tubuh terhadap trauma. Perasaan ini tentunya
mengganggu meskipun kejadiannya telah berlalu. Oleh karena itu, butuh perjuangan
untuk membantu diri sendiri memaafkan orang lain.

2. Memaafkan merupakan proses mencintai diri sendiri


Individu yang belum memaafkan maka sejatinya ia sedang memberikan racun pada
tubuhnya dimana suatu saat nanti bisa membahayakan diri. Oleh karena itu, hanya
mereka yang menyayangi diri lah yang mampu memaafkan orang lain.
3. Memaafkan adalah perang melawan ego
Individu yang telah terluka merasa bahwa kesalahan harus dibayar dengan sanksi atau
hukuman dan tidak mungkin untuk dimaafkan atau dilupakan. Akan tetapi, perlu
diingat bahwa kita memaafkan orang lain bukan demi kebaikan orang tersebut, namun
demi kebaikan diri sendiri.

Melepaskan diri dari rasa sakit dan luka bisa dilakukan dengan memberi maaf dan
berdamai dengan diri serta orang lain. Bisa saja reaksi dari perilaku orang lain
merupakan mekanisme pertahanan ego yang dibentuk diri.
Kekuatan Memaafkan bagi Kesehatan Mental
Menurut Enright (2002) proses memaafkan dapat mengurangi kecemasan dan depresi
sekaligus juga dapat meningkatkan self-esteem dalam diri seseorang. Memaafkan juga
merupakan proses yang bermanfaat bagi diri sendiri untuk menuju kedamaian dalam
hidup. Memaafkan tidak berarti menerima kesalahan dan membiarkan orang lain
berbuat salah, namun memaafkan adalah proses untuk melepaskan rasa sakit untuk
dapat hidup kembali secara utuh.
Menurut Nasution (2008) memaafkan adalah sebuah perjuangan. Perjuangan yang
tidak bersenjata pedang tapi bersenjatakan kearifan dan kebijaksanaan. Perjuangan ini
bukan antara kita dan orang lain, namun antara diri dengan diri sendiri. Kemenangan
bagi perjuangan ini juga bukan kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan
kita melawan egoisme diri sendiri.

Nah, setelah membaca bagaimana dinamika memaafkan dalam sisi psikologi, kita
dapat melakukan evaluasi pada diri sendiri. Apakah selama ini kita sudah benar-benar
memaafkan atau hanya mengikuti tradisi lebaran?

Referensi
 Greer, C. L., Worthington, E. L., Jr., Van Tongeren, D. R., Gartner, A. L.,
Jennings, D. J. II, Lin, Y., Lavelock, C., Greer, T. W., & Ho, M. Y.
(2014). Forgiveness of in-group offenders in Christian
congregations. Psychology of Religion and Spirituality, 6(2), 150–
161. https://doi.org/10.1037/a0035186
 McCullough, M. E., Bellah, C. G., Kilpatrick, S. D., & Johnson, J. L.
(2001). Vengefulness: relationships with forgiveness, rumination, well-
being, and the Big Five. Personality and Social Psychology Bulletin, 27,
601-610.
 Nasution, A. A. (2008). The Way To Happiness. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
 Enright, R.D. 2002. Forgiveness Is a Choice: AG Step-by-Step Process for
Resolving Anger and Restoring Hope. Washington DC: American
Psychological Association.

Anda mungkin juga menyukai