tradisi khas Indonesia yang sudah ada sejak zaman dahulu. Dalam adat Jawa bahkan
terdapat tradisi khusus setiap lebaran tiba yaitu tradisi ujung, tradisi ujung dilakukan
dengan mengunjungi orang tua, kerabat, tetangga, atau orang yang dihormati untuk
saling bersalaman, meminta maaf, dan memohon doa kebaikan.
Adanya tradisi ujung membuat momentum lebaran menjadikan kita pribadi yang
mudah memaafkan dan meminta maaf pada setiap orang disekitar kita. Nah, mengapa
kita bisa dengan mudah memaafkan di momentum ini?
Menurut penelitian dari Greer, dkk. (2014), hati yang bahagia dan adanya kesamaan
identitas sosial antara peminta dan pemberi maaf mendorong hati seseorang berlapang
dada memaafkan kesalahan. Kita menjadi lebih mudah memaafkan karena didukung
oleh suasana lebaran yang bahagia dan kesamaan identitas seperti sesama penganut
agama Islam atau satu keluarga.
Selain sebagai tradisi selama lebaran, memaafkan juga harus dimaknai dengan
kesungguhan untuk benar-benar memaafkan kesalahan orang lain maupun diri sendiri
karena suatu kesalahan. Salah satu hal yang masih menjadi permasalahan ialah
terkadang kita hanya memaafkan dalam lisan saja namun belum benar-benar
memaafkan secara batin. Lantas bagaimana kita bisa tahu bahwa kita sudah benar-
benar memaafkan?
Ketiga tanda diatas dapat menjadi indikasi ketika kita hanya memaafkan di lisan saja
namun belum benar-benar memaafkan orang lain atau diri sendiri secara utuh.
Memaafkan memang bukan hal yang mudah. Oleh karena itu, butuh proses psikologis
sehingga kita bisa benar-benar memaafkan.
Tahapan Memaafkan
Terdapat beberapa proses atau tahapan psikologis yang dilalui seseorang dalam
memaafkan. Menurut Robert D. Enrigh seorang professor sekaligus penulis buku
“Forgiveness Is A Choice” terdapat empat tahapan dalam proses memaafkan, yakni:
1. Uncovering phase
Pada tahap ini seseorang perlu “berkenalan” dengan situasi yang dialaminya. Kita
perlu mencari tahu peristiwa tidak menyenangkan apa yang dialami sehingga kita
marah atau kecewa, mengapa hal itu terjadi, dan siapa orang-orang yang terlibat.
Dalam tahap ini kita bisa menuliskan poin-poin penting tersebut untuk mempermudah
kita mengidentifikasinya.
3. Work phase
Pada tahapan ini seseorang mulai memahami sisi orang lain yang membuat kesalahan
pada dirinya atau dengan kata lain berempati. Dari sini kita dapat mengetahui
mengapa seseorang bisa melakukan hal yang menyakiti diri kita. Bukan sebagai
persetujuan atas tindakan yang salah namun hal ini untuk menumbuhkan kasadaran
akan emosi yang kita rasakan sekalipun emosi tersebut negatif. Cara pandang baru
pada seseorang ternyata juga dapat membuat diri kita memiliki emosi positif baik
untuk orang lain maupun diri sendiri.
4. Deepening phase
Pada tahapan ini seseorang sudah memahami situasi yang terjadi dalam diri sendiri
maupun orang yang menyakitinya hingga pada akhirnya rasa marah pun surut. Kita
dapat merasakan manfaat dari memaafkan dan makna baru dalam membangun
hubungan. Biasanya orang yang melalui proses memaafkan akan lebih kuat secara
psikologis dan menjadi lebih dewasa.
Tantangan dalam Proses Memaafkan
Kedamaian hati dapat dirasakan salah satunya ketika seseorang sudah benar-benar
memaafkan, baik memaafkan kesalahan diri sendiri maupun kesalahan orang lain.
Dikutip dari penelitian yang dilakukan oleh McCullough, dkk. (2001) terdapat
beberapa hal yang menjadi tantangan dalam proses memaafkan, yaitu sebagai berikut:
Melepaskan diri dari rasa sakit dan luka bisa dilakukan dengan memberi maaf dan
berdamai dengan diri serta orang lain. Bisa saja reaksi dari perilaku orang lain
merupakan mekanisme pertahanan ego yang dibentuk diri.
Kekuatan Memaafkan bagi Kesehatan Mental
Menurut Enright (2002) proses memaafkan dapat mengurangi kecemasan dan depresi
sekaligus juga dapat meningkatkan self-esteem dalam diri seseorang. Memaafkan juga
merupakan proses yang bermanfaat bagi diri sendiri untuk menuju kedamaian dalam
hidup. Memaafkan tidak berarti menerima kesalahan dan membiarkan orang lain
berbuat salah, namun memaafkan adalah proses untuk melepaskan rasa sakit untuk
dapat hidup kembali secara utuh.
Menurut Nasution (2008) memaafkan adalah sebuah perjuangan. Perjuangan yang
tidak bersenjata pedang tapi bersenjatakan kearifan dan kebijaksanaan. Perjuangan ini
bukan antara kita dan orang lain, namun antara diri dengan diri sendiri. Kemenangan
bagi perjuangan ini juga bukan kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan
kita melawan egoisme diri sendiri.
Nah, setelah membaca bagaimana dinamika memaafkan dalam sisi psikologi, kita
dapat melakukan evaluasi pada diri sendiri. Apakah selama ini kita sudah benar-benar
memaafkan atau hanya mengikuti tradisi lebaran?
Referensi
Greer, C. L., Worthington, E. L., Jr., Van Tongeren, D. R., Gartner, A. L.,
Jennings, D. J. II, Lin, Y., Lavelock, C., Greer, T. W., & Ho, M. Y.
(2014). Forgiveness of in-group offenders in Christian
congregations. Psychology of Religion and Spirituality, 6(2), 150–
161. https://doi.org/10.1037/a0035186
McCullough, M. E., Bellah, C. G., Kilpatrick, S. D., & Johnson, J. L.
(2001). Vengefulness: relationships with forgiveness, rumination, well-
being, and the Big Five. Personality and Social Psychology Bulletin, 27,
601-610.
Nasution, A. A. (2008). The Way To Happiness. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Enright, R.D. 2002. Forgiveness Is a Choice: AG Step-by-Step Process for
Resolving Anger and Restoring Hope. Washington DC: American
Psychological Association.