Hukum Pidana membahas dua isu pokok yaitu perbuatan yang dapat dipidana dan pidana
itu sendiri. Perbuatan yang dapat dipidana secara teknis disebut dengan istilah tindak pidana.
Istilah lainnya adalah delik. Ilmu Hukum Pidana (criminal jurisprudence) mengklasifikasikan
tindak pidana dalam beberapa kategori antara lain: (1) kejahatan v. pelanggaran; (2) delik formil
v. delik materiel; (3), delik dolus v. delik culpa; (4) delik comissionis v. delik omissionis; dan (5)
delik aduan v. bukan delik aduan (delik biasa).
Perbedaan kategori tindak pidana membawa implikasi berupa perbedaan cara
penuntutannya, cara pembuktiannya dan jenis pidananya.
Bila perspektif hukum pidana kita gunakan untuk memotret hukum kesehatan, maka kita
diarahkan untuk mengidentifikasi perbuatan-perbuatan apa saja dalam bidang pelayanan
kesehatan yang membawa implikasi berupa 'pemidanaan'. Dengan kata lain, kita akan
mengidentifikasi perbuatan-perbuatan apa saja yang merupakan tindak pidana. Karena
perbuatan-perbuatan tersebut berada dalam ranah pelayanan kesehatan, kita bisa menyebutnya
dengan istilah tindak pidana kesehatan.
Bentuk-bentuk tindak pidana kesehatan dapat ditemukan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di bidang kesehatan, khususnya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan. Dalam undang-undang tersebut, bentuk-bentuk tindak pidana kesehatan
dapat dilihat dalam Pasal 190 sampai dengan Pasal 201.
Kategori yang lebih khusus dari tindak pidana kesehatan adalah tindak pidana medik.
Penamaan tindak pidana medik merujuk pada pelaku tindak pidana tersebut yaitu tenaga medik.
Jika tindak pidana kesehatan pelakunya adalah penyelenggara pelayanan kesehatan secara umum
(health care provider), maka tindak pidana medik khusus digunakan untuk kategori tindak pidana
yang dilakukan oleh tenaga medik.
Pentingnya hukum Kesehatan
Peran Hukum Kesehatan semakin penting di era moderen seperti sekarang ini. Lebih-lebih
di era pandemi, eksistensi Hukum Kesehatan semakin diperhitungkan. Tulisan ini akan
membahas pentingnya Hukum Kesehatan.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa Hukum Kesehatan diperlukan dalam kehidupan
bernegara. Pertama, untuk menjamin terwujudnya hak atas kesehatan bagi setiap warga negara.
Sebagaimana diketahui, hak atas kesehatan merupakan hak warga negara yang bersifat
fundamental (asasi). Hak tersebut dijamin oleh konstitusi dan undang-undang.
Pasal 28 H ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Sedangkan Undang-undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan (Pasal 4).
Ketentuan serupa juga terdapat di dalam Undang-undang Kesehatan yang baru, yaitu Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf (a) dinyatakan
bahwa setiap orang berhak untuk hidup sehat secara fisik, jiwa dan sosial.
Sebagai konsekwensinya, negara harus mengupayakan terwujudnya derajat kesehatan
yang baik bagi seluruh warga negara, tanpa kecuali. Anggapan orang miskin dilarang sakit tidak
boleh ada dalam sebuah negara yang menerapkan konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Kesehatan merupakan komponen penting pembentuk kesejahteraan. Bahkan tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa kesehatan itulah kesejahteraan yang sesungguhnya (the real wealth is health).
Kedua, Hukum Kesehatan diperlukan untuk menjamin tersedianya pelayanan kesehatan
yang aman. Sebagaimana diketahui, pelayanan kesehatan khususnya yang bersifat kuratif
melibatkan penerapan ilmu dan teknologi yang kompleks.
Kekeliruan dalam penerapan ilmu dan teknologi di bidang pengobatan (medical science and
technology) tidak sekedar menyebabkan gagalnya proses penyembuhan pasien tapi bahkan bisa
membahayakan keselamatan pasien itu sendiri. Oleh karenanya, tenaga kesehatan, khususnya
tenaga medis, dituntut untuk tidak hanya memiliki kemampuan klinis (clinical skill) yang baik,
tetapi juga harus menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan profesinya. Secara
konseptual, kewajiban untuk bekerja secara berhati-hati ini disebut dengan istilah 'kewajiban
berhati-hati (duty of care). Ketidakhati-hatian dalam memberikan pelayanan kesehatan bisa
berakibat buruk, tidak hanya bagi si pasien tetapi juga bagi tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Ketidakhati-hatian tersebut secara hukum dikonsepsikan sebagai 'kelalaian (negligence)'. Pasien
bisa mengalami kerugian akibat kelalaian tenaga kesehatan, dari yang sederhana sifatnya hingga
kerugian yang bersifat fatal, seperti kehilangan nyawa misalnya. Kelalaian yang mengakibatkan
timbulnya kerugian dapat membawa implikasi berupa gugatan/tuntutan hukum oleh pihak pasien
kepada tenaga kesehatan terkait.
Ada dua model pendekatan yang bisa digunakan untuk melihat persoalan kelalaian tenaga
kesehatan, yaitu penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan pertanggungjawaban hukum
(legal liability). Pendekatan pertama bisa dilakukan melalui jalur litigasi maupun non litigasi.
Sedangkan pendekatan kedua bisa dilakukan melalui proses pertanggungjawaban administrasi
(administrative liability), pertanggungjawaban perdata (civil liability), maupun
pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Baik pendekatan dispute setttlement maupun
legal liability, keduanya harus berjalan dalam koridor keadilan.
Terkait hal ini (alasan yang ketiga), Hukum Kesehatan diperlukan untuk menjamin proses
penyelesaian sengketa ataupun pertanggungjawaban hukum yang adil baik bagi pihak pasien
maupun pihak tenaga kesehatan.