Anda di halaman 1dari 5

Hukum kesehatan pak endriyo

Kesehatan dalam pandangan islam


Konsep sehat dalam Islam mencakup dimensi jasmani dan ruhani. Dalam pandangan Islam,
kesehatan (khususnya kesehatan jasmani) merupakan sebuah kenikmatan. Rasul SAW bersabda:
"Dua kenikmatan yang manusia sering tertipu pada keduanya adalah nikmat sehat dan waktu
luang." Dalam hadits yang lain, Rasul SAW mengingatkan agar kita memanfaatkan lima
momentum sebelum datang lima musibah, salah satunya adalah kesehatan. Terkait hal ini, Rasul
SAW bersabda, "gunakan sehatmu sebelum datang sakitmu."
Kesehatan jasmani adalah sebuah kenikmatan yang besar. Bentuk-bentuk kenikmatan yang
lain tidak dapat kita nikmati jika kita sedang tidak sehat. Nikmatnya makanan dan minuman,
nikmatnya liburan dan hiburan terasa hambar bila kita menikmatinya di kala sedang sakit. Ada
beberapa ibadah yang hanya dapat dikerjakan dengan sempurna apabila tubuh dalam keadaan
sehat seperti: menghadiri majlis taklim, shalat, puasa, umrah dan haji. Bahkan seseorang boleh
tidak berpuasa jika kondisi kesehatannya tidak memungkinkan.
Sebagai sebuah nikmat, maka kesehatan harus disyukuri. Cara mensyukuri nikmat sehat dapat
dilakukan dengan cara:
(1) menjaga/memelihara kesehatan; dan
(2) menggunakan nikmat sehat tersebut untuk mengerjakan kebajikan.
Menjaga/memelihara kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti:
(a) mengonsumsi makanan yang halal dan thayyib;
(b) berolah raga;
(c) istirahat yang cukup;
(d) menjaga kebersihan;
(e) mencegah tertular penyakit; dan
(f) berobat jika sakit.
Islam melarang setiap perbuatan yang bersifat menyakiti diri sendiri dan segala
perbuatan yang bisa mengganggu atau merusak kesehatan jasmani. Salah satu perbuatan yang
bersifat merusak kesehatan diri sendiri adalah mengonsumsi minuman keras. Meminum
minuman keras tidak sekedar terlarang, tetapi juga diancam dengan pidana. Meminum minuman
keras (surb al-khamr) merupakan salah satu tindak pidana (jarimah) dalam Hukum Pidana Islam
(fiqh al-jinayah). Dalam perkembangannya, berdasarkan hasil ijtihad 'ulama kontemporer,
merokok juga dicela karena diyakini bisa merusak kesehatan diri sendiri. Terlepas dari perbedaan
pendapat di antara para fuqaha tentang hukum merokok (apakah sekedar makruh atau sampai
pada derajat haram), pada kenyataannya merokok telah menjadi sasaran legislasi di Indonesia.
Merokok di fasilitas umum merupakan tindak pidana berdasarkan ketentuan Pasal 199 ayat (2)
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Pasal 199 ayat (2) tersebut berbunyi:
"Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)." Adapun
kawasan tanpa rokok sebagaimana diatur dalam Pasal 115 ayat (1) meliputi:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat bermain anak;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
Larangan merokok di fasilitas umum juga ditemukan dalam undang-undang kesehatan yang baru
(Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan) yaitu pada pasal 151 ayat (1) jo.
Pasal 437 ayat (2).
Apa itu hukum Kesehatan/ aspek pidana hukum Kesehatan
Hukum Kesehatan dibentuk oleh berbagai bidang hukum. Ada dimensi Hukum Tata Negara
(HTN), Hukum Administrasi Negara (HAN), Hukum Perdata serta Hukum Pidana di dalam the
body of law yang kita kenal sebagai Hukum Kesehatan. Sesuai judulnya, tulisan ini akan
mengulas dimensi Hukum Pidana yang terkandung di dalam Hukum Kesehatan.
Agar dapat melihat dengan jelas aspek pidana dari Hukum Kesehatan, lebih dahulu harus
dipahami apa Hukum Pidana itu. Istilah Hukum Pidana terbentuk dari kata 'hukum' (Arab) dan
'pidana' (Sanskrit). Dalam kosakata Indonesia, hukum dimaknai sebagai aturan yang dibuat oleh
lembaga yang berwenang yang dapat dipaksakan keberlakuannya. Sedangkan kata pidana dalam
bahasa Indonesia dimaknai sebagai 'derita' atau 'nestapa'. Makna tersebut serupa dengan makna
'pidana' dalam bahasa aslinya (Sanskrit).
Kosakata bahasa Belanda yang memiliki makna serupa adalah 'straf'. Kata 'straf' pernah
menjadi kosakata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari di kalangan orang Jawa. Karena
lidah Jawa mengalami kesulitan untuk mengucapkan kata tersebut dengan pronunciation yang
benar, maka dimodifikasi sedikit spelling-nya. Huruf 'f' diganti 'p' sehingga pengucapannya
menjadi 'strap'. Orang-orang tua zaman dulu tentu paham jika sepulang sekolah anaknya lapor,
"Pak, tadi saya 'di-strap' pak guru karena tidak mengerjakan PR."
Hukum pidana digunakan untuk menerjemahkan istilah yang berasal dari bahasa Belanda
'strafrecht'. Bahasa Inggris memiliki dua kosakata untuk menyebut bidang hukum ini, yaitu Penal
Law (law of penalty) dan Criminal Law (law of crime). Tanpa harus merujuk ke teori, dari sini
kita sebenarnya sudah bisa menyimpulkan sendiri apa yang dimaksud dengan hukum pidana itu.

Hukum Pidana membahas dua isu pokok yaitu perbuatan yang dapat dipidana dan pidana
itu sendiri. Perbuatan yang dapat dipidana secara teknis disebut dengan istilah tindak pidana.
Istilah lainnya adalah delik. Ilmu Hukum Pidana (criminal jurisprudence) mengklasifikasikan
tindak pidana dalam beberapa kategori antara lain: (1) kejahatan v. pelanggaran; (2) delik formil
v. delik materiel; (3), delik dolus v. delik culpa; (4) delik comissionis v. delik omissionis; dan (5)
delik aduan v. bukan delik aduan (delik biasa).
Perbedaan kategori tindak pidana membawa implikasi berupa perbedaan cara
penuntutannya, cara pembuktiannya dan jenis pidananya.
Bila perspektif hukum pidana kita gunakan untuk memotret hukum kesehatan, maka kita
diarahkan untuk mengidentifikasi perbuatan-perbuatan apa saja dalam bidang pelayanan
kesehatan yang membawa implikasi berupa 'pemidanaan'. Dengan kata lain, kita akan
mengidentifikasi perbuatan-perbuatan apa saja yang merupakan tindak pidana. Karena
perbuatan-perbuatan tersebut berada dalam ranah pelayanan kesehatan, kita bisa menyebutnya
dengan istilah tindak pidana kesehatan.
Bentuk-bentuk tindak pidana kesehatan dapat ditemukan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di bidang kesehatan, khususnya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan. Dalam undang-undang tersebut, bentuk-bentuk tindak pidana kesehatan
dapat dilihat dalam Pasal 190 sampai dengan Pasal 201.
Kategori yang lebih khusus dari tindak pidana kesehatan adalah tindak pidana medik.
Penamaan tindak pidana medik merujuk pada pelaku tindak pidana tersebut yaitu tenaga medik.
Jika tindak pidana kesehatan pelakunya adalah penyelenggara pelayanan kesehatan secara umum
(health care provider), maka tindak pidana medik khusus digunakan untuk kategori tindak pidana
yang dilakukan oleh tenaga medik.
Pentingnya hukum Kesehatan
Peran Hukum Kesehatan semakin penting di era moderen seperti sekarang ini. Lebih-lebih
di era pandemi, eksistensi Hukum Kesehatan semakin diperhitungkan. Tulisan ini akan
membahas pentingnya Hukum Kesehatan.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa Hukum Kesehatan diperlukan dalam kehidupan
bernegara. Pertama, untuk menjamin terwujudnya hak atas kesehatan bagi setiap warga negara.
Sebagaimana diketahui, hak atas kesehatan merupakan hak warga negara yang bersifat
fundamental (asasi). Hak tersebut dijamin oleh konstitusi dan undang-undang.
Pasal 28 H ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Sedangkan Undang-undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan (Pasal 4).
Ketentuan serupa juga terdapat di dalam Undang-undang Kesehatan yang baru, yaitu Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf (a) dinyatakan
bahwa setiap orang berhak untuk hidup sehat secara fisik, jiwa dan sosial.
Sebagai konsekwensinya, negara harus mengupayakan terwujudnya derajat kesehatan
yang baik bagi seluruh warga negara, tanpa kecuali. Anggapan orang miskin dilarang sakit tidak
boleh ada dalam sebuah negara yang menerapkan konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Kesehatan merupakan komponen penting pembentuk kesejahteraan. Bahkan tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa kesehatan itulah kesejahteraan yang sesungguhnya (the real wealth is health).
Kedua, Hukum Kesehatan diperlukan untuk menjamin tersedianya pelayanan kesehatan
yang aman. Sebagaimana diketahui, pelayanan kesehatan khususnya yang bersifat kuratif
melibatkan penerapan ilmu dan teknologi yang kompleks.
Kekeliruan dalam penerapan ilmu dan teknologi di bidang pengobatan (medical science and
technology) tidak sekedar menyebabkan gagalnya proses penyembuhan pasien tapi bahkan bisa
membahayakan keselamatan pasien itu sendiri. Oleh karenanya, tenaga kesehatan, khususnya
tenaga medis, dituntut untuk tidak hanya memiliki kemampuan klinis (clinical skill) yang baik,
tetapi juga harus menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan profesinya. Secara
konseptual, kewajiban untuk bekerja secara berhati-hati ini disebut dengan istilah 'kewajiban
berhati-hati (duty of care). Ketidakhati-hatian dalam memberikan pelayanan kesehatan bisa
berakibat buruk, tidak hanya bagi si pasien tetapi juga bagi tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Ketidakhati-hatian tersebut secara hukum dikonsepsikan sebagai 'kelalaian (negligence)'. Pasien
bisa mengalami kerugian akibat kelalaian tenaga kesehatan, dari yang sederhana sifatnya hingga
kerugian yang bersifat fatal, seperti kehilangan nyawa misalnya. Kelalaian yang mengakibatkan
timbulnya kerugian dapat membawa implikasi berupa gugatan/tuntutan hukum oleh pihak pasien
kepada tenaga kesehatan terkait.
Ada dua model pendekatan yang bisa digunakan untuk melihat persoalan kelalaian tenaga
kesehatan, yaitu penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan pertanggungjawaban hukum
(legal liability). Pendekatan pertama bisa dilakukan melalui jalur litigasi maupun non litigasi.
Sedangkan pendekatan kedua bisa dilakukan melalui proses pertanggungjawaban administrasi
(administrative liability), pertanggungjawaban perdata (civil liability), maupun
pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Baik pendekatan dispute setttlement maupun
legal liability, keduanya harus berjalan dalam koridor keadilan.
Terkait hal ini (alasan yang ketiga), Hukum Kesehatan diperlukan untuk menjamin proses
penyelesaian sengketa ataupun pertanggungjawaban hukum yang adil baik bagi pihak pasien
maupun pihak tenaga kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai