Anda di halaman 1dari 33

Relevansi Perebutan Kekuasaan dan Disparitas Kasta Sosial di

Kerajaan Kediri pada Masa Sekarang

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kolaborasi Mata Pelajaran Sejarah, Bahasa


Indonesia, Bahasa Inggris, Sosiologi dan Pendidikan Pancasila

Disusun Oleh:
Anggota Kelompok : Cyrilla Edgina Anindya Putri
Dodi Nugraha
Gusti Muhammad Beryl Apriliansyah
Muhammad Novan Ghafara
Salsabila Febriany Putri
Syahdan Asysyamil Ibrahim

SMA NEGERI 12 BANDUNG


Jl. Sekejati No. 36, Sukapura, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung,
Jawa Barat
40285
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat-Nya
yang selama ini kita dapatkan, yang memberi hikmah yang paling bermanfaat bagi
seluruh umat manusia, sehingga oleh karenanya penyusun dapat menyelesaikan
tugas ini dengan baik dan tepat waktu.

Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
menyelesaikan tugas kolaborasi mata pelajaran Sejarah, Sosiologi, PPKn, Bahasa
Indonesia dan Bahasa Inggris tentang sejarah Kerajaan Kediri untuk dijadikan
bahan pelajaran hidup bagi penyusun yang hidup di masa kini, dan juga untuk
membentuk suatu kekompakan bagi penyusun yang menyelesaikan tugas makalah
ini.

Dalam proses penyusunan makalah ini penyusun menjumpai hambatan,


namun berkat dukungan materil dan non-materil dari berbagai pihak, akhirnya
penyusun dapat menyelesaikan tugas ini dengan cukup baik. Oleh karena itu,
melalui kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
terkait yang telah membantu terselesaikannya tugas ini.

Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu penyusun menerima saran dan kritik yang bersifat membangun
demi perbaikan dalam makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para
pembaca. Terima kasih.

Bandung, Januari 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
1.3 Tujuan Pembahasan ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 2
2.1 Definisi Umum .............................................................................................. 2
2.2 Konsep Kerajaan ............................................................................................ 2
2.3 Sistem Kerajaan ............................................................................................. 2
2.4 Sejarah Awal Berdiri ..................................................................................... 7
2.5 Masa Kejayaan............................................................................................... 8
2.6 Masa Keruntuhan ........................................................................................... 8
BAB III PEMBAHASAN .................................................................................... 9
3.1 Permasalahan Sosial Di Kerajaan Kediri ....................................................... 9
3.1.1 Konflik Perebutan Kekuasaan ....................................................................... 9
3.1.2 Konflik Kasta Sosial ...................................................................................... 9
3.1.3 Relasi Kasta Sosial Dengan Perebutan Kekuasaan ..................................... 10
3.1.4 Pertaruhan Kesejahteraan Rakyat Di Masa-Masa Perpecahan .................... 11
3.1.5 Jejak Konflik Perebutan Kekuasaan Kerajaan Kediri ................................. 11
3.2 Masalah Sosial Akibat Memudarnya Ajaran Hindu-Buddha ...................... 12
3.2.1 Masalah Pertentangan Budaya Dari Masyarakat ......................................... 12
3.2.2 Kesalahan Pandangan Terkait Sistem Kasta Sosial ..................................... 13
3.3 Upaya Penyelesaian Masalah Sosial ............................................................ 13
3.3.1 Upaya Pemerintah Dalam Mencegah Masalah Sosial ................................. 14
3.3.2 Upaya Negosiasi Agama Dan Budaya Untuk Mecegah Pergesekan Sosial 14
3.3.3 Kecenderungan Masalah Kasta Sosial Saat Ini ........................................... 15
3.4 Menjaga Keberagaman Budaya Indonesia .................................................. 15
3.4.1 Relasi Budaya Dengan Agama .................................................................... 15
3.4.2 Pengaruh Budaya Hindu-Buddha Terhadap Keberagaman Di Indonesia ... 16

ii
3.4.3 Kondisi Kebhinekaan Di Zaman Kerajaan Kediri ....................................... 20
3.4.4 Memelihara Keberagaman Budaya Sejalan Dengan Bhinneka Tunggal Ika22
BAB IV PENUTUP ............................................................................................ 23
4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 23
4.2 Saran ............................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25
LAMPIRAN ......................................................................................................... 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kerajaan kediri merupakan salah satu kerajaan kuno di Nusantara pada
masa kejayaan hindu-buddha. Penyusunan makalah ini dengan tujuan
menganalisis permasalahan sosial pada masanya dan memberikan solusi
yang dapat diterapkan di masa kini. Permasalahan yang penyusun angkat
pada makalah ini adalah permasalahan kasta sosial dan perebutan kekuasaan
yang meninggalkan jejaknya hingga saat ini. Penyusun yakin bahwasanya
permasalahan di atas dapat penyusun uraikan dalam makalah ini dan terjadi
upaya untuk menyelesaikannya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang penyusun temukan, berikut
rumusan masalah yang dapat disimpulkan:
1. Bagaimana keadaan permasalahan sosial di kerajaan kediri?
2. Bagaimana keterkaitan masalah-masalah sosial kasta sosial dan
perebutan kekuasaan dengan masalah-masalah sosial saat ini?
3. Apa pengaruh budaya hindu-buddha terhadap keberagaman di
Indonesia?
4. Apa alternatif solusi yang dapat diberikan untuk mencegah dan
mengatasi masalah-masalah sosial saat ini yang relevan dengan
budaya Hindu-Buddha?

1.3 Tujuan Pembahasan


Melalui makalah ini, penyusun ingin menggambarkan bagaimana
keadaan permasalahan sosial di masa Kerajaan Kediri, dan relevansinya
dengan masalah sosial yang terjadi saat ini. Selain itu, penyusun juga ingin
memberikan alternatif solusinya dengan penerapan negosiasi. Melalui
makalah ini pula, penyusun berharap dapat memberikan referensi yang baik
bagi siapapun yang memerlukannya di masa mendatang pada topik
pembahasan yang sama.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Umum


Menurut Sri Pare Eni (2019), Kerajaan adalah wilayah kekuasaan
seorang raja yang naik takhta dan memiliki tanda-tanda kebesaran raja
dengan bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh seorang raja. Adapun
kerajaan-kerajaan yang akan dibahas di sini adalah Kerajaan Kediri.
Kasta merupakan sebuah tradisi yang mengelompokkan masyarakat
hindu di Kediri. Sistem yang membagi masyarakat kedalam struktur-
struktur sosial ini juga membedakan Kediri dengan daerah-daerah
lainnya di Indonesia.

2.2 Konsep Kerajaan


Menurut Sudirman, Adi. (2019), Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu
adalah sebuah kerajaan besar yang berdiri pada abad ke-12 antara tahun
1042-1222 M. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram
Kuno. Kerajaan Kediri bercorak Hindu. Arsitektur Kuno kerajaan Kediri
memiliki agama yang sama yaitu Hindu dan Buddha, yang memerlukan
tempat ibadahnya berupa candi.
Setiap candi memiliki perbedaan baik dalam lingkungan, budaya,
teknologi, fungsi, dan wujud bangunannya. Kasta sosial di Kerajaan Kediri
sangat beragam, dengan berbagai kelas sosial dan golongan masyarakat.
Terdapat golongan Brahmana sebagai pemimpin spiritual, Kshatria sebagai
pemimpin militer, Vaishya sebagai pedagang dan pengusaha, dan Shudra
sebagai pekerja manual.

2.3 Sistem Kerajaan


Menurut Eni (2024), Kasta sosial di Kerajaan Kediri sangat beragam,
dengan berbagai kelas sosial dan golongan masyarakat. Terdapat golongan
Brahmana sebagai pemimpin spiritual, Kshatria sebagai pemimpin militer,
Vaishya sebagai pedagang dan pengusaha, dan Sudra sebagai pekerja
manual. Kasta merupakan sebuah tradisi yang mengelompokkan
masyarakat hindu di Kediri. Sistem yang membagi masyarakat kedalam

2
struktur-struktur sosial ini juga membedakan Kediri dengan daerah-daerah
lainnya di Indonesia.
Selama 177 tahun berdiri, ada 8 raja yang berkuasa. Salah satunya
adalah Sri Aji Jayabaya yang membawa Kediri pada jaman keemasan.
Bahkan beberapa ramalan Jayabaya terbukti kebenarannya di masa
sekarang ini. Berikut merupakan raja pendiri hingga raja terakhir yang
memerintah Kerajaan Kediri pada masa terdahulu:

1. Sri Samarawijaya
Raja pertama dari Kerajaan Kadiri yang pemerintahannya
dimulai dari tahun 1042. Sri Samarawijaya memiliki gelar lengkap
Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa.
Dalam prasasti Pucangan (1041 M) Samarawijaya memiliki
jabatan sebagai Rakryan Mahamantri, jabatan ini mirip dengan
status putra mahkota yang pada umumnya dijabat oleh putra atau
menantu raja./
Berdasarkan cerita dalam prasasti Pamwatan dan prasasti
Gandhakuti, Raja Samarawijaya naik takhta di saat Airlangga turun
takhta menjadi seorang pendeta.

2. Sri Jayawarsa
Sri Jayawarsa memerintah pada tahun 1104 M. Sri Jayawarsa
bergelar Sri Maharaja Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu. Kisah Raja
Jayawarsa tercatat dalam prasasti Sirah Keting tahun 1104 M, yang
mengisahkan bahwa ia sangat mencintai semua rakyatanya, bahkan
dirinya selalu berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh
rakyat. Prasasti tersebut berisi tentang pengesahan desa Marjaya
sebagai tanah perdikan atau sima swatantra. Prasasti Panumbangan
(1120 M) menyebut makamnya berada di daerah Gajapada.

3. Raja Bameswara
Raja Bameswara disebutkan dalam prasasti Pikatan (1117 M).
Prasasti ditemukan di wilayah Tulungagung dan Kertosono. Dalam

3
prasasti tersebut banyak memuat masalah keagamaan. Dari kondisi
ini bisa diketahui kondisi pemerintahan yang sangat baik.

4. Sri Jayabaya
Sri Jayabaya berkuasa sekitar tahun 1135 M hingga 1157 M
berdasarkan Prasasti Ngantang. Raja ini bergelar Sri Maharaja Sang
Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita
Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.
Pada masa pemerintahan Jayabaya, Kerajaan Kediri mencapai
puncaknya. Pada masa tersebut, Panjalu mampu mengalahkan
Jenggala dan menguasai seluruh takhta Airlangga. Dalam
pemerintahan Jayabaya, seluruh wilayah Kediri bisa bersatu.
Catatan prasasti yang ditemukan yakni prasasti Hantang (tahun 1135
M), prasasti Talan (tahun 1136 M), dan prasasti Jepun (tahun 1144
M), serta terdapat juga karya sastra berupa kakawin Bharatayuddha
(tahun 1157 M). Dalam babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa,
disebutkan Raja Jayabaya merupakan titisan Dewa Wisnu,
memimpin negara Widarba beribukota di Mamenang. Permaisuri
Raja Jayabaya bernama Dewi Sara. Jayabaya diketahui memiliki 4
anak yakni Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni dan Dewi
Sasanti.
Dalam pemerintahannya Jayabaya menerapkan strategi untuk
mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh
rakyatnya. Kerajaan pada masa ini sangat makmur, baik dari
pertanian maupun perdagangan. Secara ekonomi rakyat Kediri
kehidupannya terjamin. Kekuasaan kerajaan juga meluas hingga
seluruh pulau Jawa dan Sumatera. Jayabaya turun takhta dengan
cara muksa atau hilang tanpa meninggalkan jasad. Sebelum
menghilang, Jayabaya bertapa terlebih dahulu di Desa Menang
Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Setelahnya, mahkota (kuluk)
dan juga pakaian kebesarannya (ageman) dilepas, kemudian raja
Jayabaya menghilang.

5. Sri Sarweswara

4
Raja Sri Sarweswara memerintah pada tahun 1159 M hingga
1161 M. Raja ini bergelar Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri
Sarweswara Janardanawatara Wijaya Agrajasama Singhadani
Waryawirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa.
Dalam Prasasti Padelegan II (1159 M) dan Prasasti Kahyunan
(1161 M) dikisahkan Sri Sarwaswera adalah salah satu raja Kediri
yang terkenal sebagai raja yang sangat religius dan juga berbudaya,
memegang teguh dengan prinsip "Tat Wam Asi" yang artinya
Dikaulah (semuanya) itu atau semua makhluk ialah engkau. Tujuan
hidup manusia terakhir menurutnya ialah moksa, yaitu
pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan menuju benar
ialah sesuatu yang menuju kearah kesatuan dan segala sesuatu yang
menghalangi kesatuan ialah tidak benar.

6. Sri Aryeswara
Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang pemerintahannya
diketahui dari prasasti Angin, tanggal 23 Maret 1171. Raja ini
bergelar Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara
Madhusudanawatara Arijamuka. Sementara lambang dari
pemerintahannya adalah Ganesha.

7. Sri Gandra
Raja Sri Gandra berkuasa pada 1811 M. Gelar yang dipangkunya
adalah Sri Maharaja Koncaryadipa Handabhuwanapadalaka
Parakrama Anindita Digjaya Uttunggadewa Sri Gandra.
Masa kepemimpinan raja Sri Gandra terkutip dalam prasasti
Jaring (1181 M). Prasasti tersebut menceritakan sang raja yang
mengabulkan keinginan rakyat Desa Jaring tentang anugerah raja
sebelumnya yang belum terwujud. Pengabulan permohonan ini
disampaikan melalui senapati Sarwajala. Di prasasti tersebut juga
diceritakan adanya nama hewan yang digunakan untuk
menunjukkan tinggi rendahnya kepangkatan dalam istana. Nama
yang tersebut misalnya Menjangan Puguh, Lembu Agra dan Macan
Kuning.

5
8. Sri Kameswara
Sri Kameswara tercantum dalam Prasasti Ceker tahun 1182 M
serta Prasasti Kakawin Smaradhan yang masa pemerintahannya
sekitar tahun 1180 M hingga 1190 M. Raja ini bergelar Sri Maharaja
Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Anindhita Digjaya
Uttunggadewa.
Di masa pemerintahan Sri Kameswara seni sastra berkembang
sangat pesat. Salah satunya adanya Kitab Smaradhana karangan dari
Mpu Dharmaja, yang berkisah tentang cerita rakyat seperti cerita
Panji Semirang. Mpu Dharmaja juga menuliskan kisah tentang
kelahiran dari Dewa Ganesha, yaitu dewa berkepala gajah yang
merupakan anak dari Dewa Siwa. Ganesha menjadi lambang dari
Kerajaan Kadiri sebagaimana yang tercatat dalam prasasti-prasasti.
Beberapa peninggalan sejarah pada masa pemerintahan ini
diantaranya, prasasti Semanding (1182 M) dan prasasti Ceker (1185
M).

9. Sri Kertajaya
Sri Maharaja Kertajaya adalah raja terakhir dari Kerajaan Kediri
yang berkuasa pada tahun 1194 M hingga 1222 M. Di masa raja
Kertajaya, Kediri jatuh karena serangan kerajaan Tumapel atau
Singashari. Raja Kertajaya memiliki gelar Sri Maharaja Sri
Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya
Uttunggadewa. Nama Raja Kertajaya tercatat dalam teks
Nagarakertagama (1365 M) yang ditulis setelah zaman Kerajaan
Kadiri. Sementara dalam teks Pararaton Raja Kertajaya disebut
dengan nama Prabu Dandhang Gendis. Bukti sejarah masa
pemerintahan Raja Kertajaya diantaranya tertuang dalam prasasti
Galunggung (1194 M), prasasti Kamulan (1194 M) prasasti Palah
(1197 M), dan prasasti Wates Kulon (1205 M).
Kestabilan pemerintahan Kerajaan Kediri pada pemerintahan
raja Kertajaya mulai menurun. Kondisi ini karena raja bermaksud
mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Sang prabu ingin disembah

6
sebagai dewa, kaum Brahmana menentang keputusan tersebut.
Mereka memilih lari dan meminta bantuan dari kerajaan Tumapel
dibawah kepemimpinan Ken Arok. Mengetahui hal ini, Raja
Kertajaya lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel.
Sementara itu. Ken Arok dan dukungan kaum Brahmana melakukan
serangan balik ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu telah bertemu
di dekat Ganter (1222 M). Dalam pertempuran tersebut pasukan
Kediri berhasil dikalahkan. Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri
, namun sayang nasibnya tidak diketahui. Sejak saat itu kekuasaan
Kerajaan Kediri berakhir dan menjadi kekuasaan Tumapel. Hingga
saat ini beberapa peninggalan besar Kerajaan Kediri ditemukan di
sejumlah wilayah di luar Kediri. Hal ini membuktikan jika Kerajaan
Kediri merupakan kerajaan besar di Nusantara.

2.4 Sejarah Awal Berdiri


Menurut Thrisna Wulandari (2021), Kerajaan Kediri merupakan
kerajaan dari masa Hindu-Buddha yang berdiri dari tahun 1045 hingga 1222
M. Munculnya Kerajaan Kediri adalah karena adanya pembagian Kerajaan
Kahuripan oleh Raja Airlangga pada abad ke-11. Raja Airlangga adalah
pendiri sekaligus raja terakhir dari Kerajaan Kahuripan yang pernah berdiri
di Jawa Timur pada abad ke-11. Raja Airlangga bertakhta di Kahuripan,
wilayah kuno yang saat ini menjadi bagian dari Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur.
Mpu Bharada atau Arya Bharada adalah pendeta sakti agama Buddha
yang menjadi guru spiritual Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan.
Konon, Mpu Bharada membagi Kerajaan Kahuripan menggunakan
kesaktiannya. Hasil pembagian menyatakan bahwa Kerajaan Jenggala yang
ibu kotanya terletak di Kahuripan diberikan kepada Mapanji Garasakan,
sementara Kerajaan Panjalu atau Kediri yang berpusat di Daha diberikan
kepada Sri Samarawijaya.
Peristiwa pembagian kekuasaan ini terjadi pada tahun 1045 M,
menandai akhir dari pemerintahan Kerajaan Kahuripan sekaligus berdirinya
Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Panjalu. Setelah terbagi, Kerajaan Jenggala

7
dan Kediri ternyata tetap berselisih hingga timbul peperangan karena
Samarawijaya dan Mapanji sama-sama merasa berhak atas seluruh
kekuasaan Airlangga.
Peperangan di antara keduanya terus terjadi selama beberapa dekade
hingga Kerajaan Janggala mengalami kekalahan dari Kerajaan Panjalu.
Kerajaan Panjalu dengan pusat pemerintahan di Kediri, Jawa Timur, ini
pada akhirnya lebih dikenal sebagai Kerajaan Kediri.

2.5 Masa Kejayaan


Menurut Isnaini, Danik. (2019). Masa kejayaan Kerajaan Kediri dapat
diraih pada masa pemerintahan Raja Jayabaya, yang disebut sebagai raja
bijaksana. Pada masa Raja Jayabaya pula, konflik antara Kerajaan Jenggala
dan Kediri baru dapat diakhiri. Buktinya dapat ditemukan dalam isi Prasasti
Ngantang yang dikeluarkan Raja Jayabaya pada tahun 1135 M.
Di bawah kekuasaan Raja Jayabaya, wilayah kekuasaan Kediri sangat
luas dan didukung dengan armada laut yang kuat. Nama Sri Jayabaya
diabadikan dalam Kitab Bharatayudha, dan sampai sekarang ia dikenal
karena ramalannya tentang Indonesia dalam Jangka Jayabaya.
Pemerintahan yang dipimpin oleh Jayabaya pun sudah teratur, di mana
hukum diberlakukan secara tegas dan adil.

2.6 Masa Keruntuhan


Menurut Saputro, Sutarto. (2019), Runtuhnya Kerajaan Kediri terjadi
pada masa kekuasaan Raja Kertajaya, seperti dikisahkan dalam kitab
Pararaton dan Nagarakertagama. Pada tahun 1222 M, Kertajaya dianggap
telah melanggar agama dan memaksa Brahmana menyembahnya sebagai
dewa.
Kaum Brahmana lalu meminta perlindungan Ken Arok. Ken Arok yang
bercita-cita memerdekakan Tumapel kekuasaan Kediri mencetuskan perang
antara Kerajaan Kediri dan Tumapel di dekat desa Ganter. Keberhasilan
Ken Arok mengalahkan Kertajaya menandai runtuhnya Kerajaan Kediri
yang kemudian menjadi kekuasaan Tumapel atau Kerajaan Singasari.

8
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Permasalahan Sosial di Kerajaan Kediri


Permasalahan sosial yang terjadi di Kerajaan Kediri berupa konflik
kasta sosial dan perebutan kekuasaan yang menyebabkan perpecahan dan
kesenjangan masyarakat pada wilayah kekuasaan kerajaan. Dari awal mula
timbulnya perang saudara untuk wilayah terdahulu Kerajaan Kahuripan
milik ayahnya di antara Sri Samarawijaya dari Kerajaan Kediri dengan
Mapanji Garasakan dari Kerajaan Jenggala, hingga pada akhirnya terjadi
keruntuhan pada masa pemerintahan Raja Kertajaya karena keangkuhannya
memaksa kaum Brahmana untuk menyembahnya sebagai dewa yang
berakibat pada kekalahannya oleh Ken Arok dan dikuasainya wilayah
Kerajaan Kediri olehnya sebagai wilayah baru Kerajaan Singasari.

3.1.1 Konflik Perebutan Kekuasaan


Konflik ini terjadi dalam hal aspek wilayah, antara Kerajaan Kediri dan
Jenggala untuk wilayah terdahulu masa kejayaan Kerajaan Kahuripan.
1045 M, Raja Airlangga membagi wilayah Kerajaan Kahuripan untuk
dua putranya, Mapanji Garasakan dan Sri Samarawijaya, agar tidak
berselisih. Kerajaan Jenggala yang beribukota di Kahuripan diberikan
kepada Mapanji Garasakan, sementara Kerajaan Kediri yang berpusat di
Daha diberikan kepada Sri Samarawijaya.
1052 M, Diawali sebuah perang saudara antara Mapanji Garasakan dan
Sri Samarawijaya. Upaya Raja Airlangga membagi kerajaan agar dua
putranya tidak berseteru hanya sia-sia, karena pada akhirnya mereka
merebutkan wilayah kejayaannya saat Kerajaan Kahuripan. Perang saudara
tersebut berlangsung selama 60 tahun, hingga akhirnya dimenangkan oleh
Kerajaan Kediri.

3.1.2 Konflik Kasta Sosial


Konflik ini terjadi antara kaum Brahmana para pendeta dan kaum
Ksatria petinggi kerajaan di dalam Kerajaan Kediri yang menganut sistem
kasta sosial.

9
1222 SM, pada masa pemerintahan Raja Kertajaya, terjadi
pertentangan antara kaum Ksatria dan kaum Brahmana, karena raja berlaku
angkuh dan melanggar adat dengan memaksa para pendeta untuk
menyembahnya sebagai seorang dewa. Para pendeta meminta perlindungan
kepada Ken Arok dari Kerajaan Singasari untuk menyerang dan
mengalahkan Raja Kertajaya dengan imbalannya dalah Wilayah Kerajaan
Kediri sebagai wilayah baru kerajaannya.
Dalam Kitab Lubdaka oleh Mpu Tanakung (1194 M), masyarakat dari
kerajaan Kediri tidak menganut sistem kasta walaupun mereka merupakan
penganut agama Hindu. Kitab tersebut juga mengungkapkan bahwa baik
tinggi maupun rendahnya nilai dan martabat dari seseorang tidak dilihat dari
kedudukan maupun garis keturunannya, melainkan dilihat dari sifat dan
sikap dari orang itu sendiri.
Dalam kehidupan pemerintahan kerajaan, masyarakat Kerajaan Kediri
dapat dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu: Golongan masyarakat pusat
(raja, kerabat raja, dan para pelayannya), dan Golongan masyarakat
thani/daerah (pejabat atau petugas pemerintahan daerah), serta Golongan
masyarakat nonpemerintah (masyarakat wiraswasta).
Walaupun begitu, dikisahkan bahwa runtuhnya Kerajaan Kediri adalah
karena perselisihan antara raja Kertajaya dengan kaum Brahmana, yang
berarti saat itu masih ada suatu sistem kasta sosial. Saat ini, di wilayah
Kediri sudah tidak menganut kasta sosial, tetapi di Pulau Bali sistem
tersebut masih digunakan karena mayoritas beragama Hindu.

3.1.3 Relasi Kasta Sosial dengan Perebutan Kekuasaan


Pada kasus sebelumnya, telah disebutkan bahwa Kerajaan Kediri
menganut sistem kasta sosial karena berkepercayaan agama Hindu. Hal ini
berkaitan dengan pertentangan antara kaum Ksatria dengan raja yang
angkuh dan kaum Brahmana yaitu para pendeta yang mencari perlindungan
kepada individual dari kerajaan lain, dengan imbalan wilayah kekuasaan
mereka dikuasai olehnya.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem kasta sosial berkaitan dengan
perebutan kekuasaan jika dilihat dari aspek konflik yang ditimbulkan

10
darinya, membuat suatu kesenjangan sosial akibat perbedaan fasilitas dan
perlakuan di dalam masyarakat serta tingkat kenyamanan dan keamanan
dalam kehidupan suatu individu yang tinggal di dalam masyarakat yang
menganut sistem kasta sosial.

3.1.4 Pertaruhan Kesejahteraan Rakyat di Masa-Masa Perpecahan


Kerajaan Kediri runtuh pada masa pemerintahan raja Kertajaya pada
tahun 1222 M ketika sedang berselisih melawan kaum Brahmana yang
kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Singasari, yang bercita-
cita memerdekakan Singasari yang merupakan daerah bawahan Kediri.
Perang antara Kediri dan Singasari terjadi dekat desa Ganter dengan
keberhasilan pasukan Ken Arok mengalahkan pasukan Kertajaya.
Pemerintahan berpindah kepada Kerajaan Singasari dan semua pasukan
Kerajaan Kediri menjadi bawahannya. Sementara, rakyatnya sejahtera
kembali di bawah naungan kekuasaan baru, berpindah dari masa kegelapan
raja Kertajaya yang angkuh.

3.1.5 Jejak Konflik Perebutan Kekuasaan Kerajaan Kediri


Terdapat beberapa kisah tentang konflik perebutan kekuasaan pada
masa Kerajaan Kediri, yang pertama terdapat di dalam Kitab Bharatayudha
oleh Mpu Tantular dan Mpu Panuluh (1157 M), mengisahkan perang
saudara antara Sri Samarawijaya dari Kerajaan Kediri dan Mapanji
Garasakan dari Jenggala, merebutkan wilayah kejayaan Kerajaan
Kahuripan. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang dikeluarkan Kerajaan
Jenggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara Jenggala dan
Kediri sepeninggal Raja Airlangga.
Pembagian wilayah sebelum perang saudara juga dikisahkan dalam
Kitab Negarakertagama (1365 M) dan Kitab Calon Arang (1540 M) yang
menceritakan bahwa Raja Airlangga memiliki dua anak yang terkenal
sangat ingin mewarisi kekuasaan ayahnya. Untuk menghindari bentrokan
antar calon pewaris takhta tersebut, Raja Airlangga pada tahun 1041 M
akhirnya memutuskan untuk membagi wilayah kekuasaannya menjadi dua
dan masing-masing wilayah tersebut dijadikan sebagai kerajaan. Salah satu
kerajaan diberi nama asli Panjalu atau Kediri itu sendiri sedangkan kerajaan

11
lainnya diberi nama Jenggala atau Kahuripan. Sebagai pembatasnya, kedua
kerajaan ini menggunakan Gunung Kawi dan sungai Brantas seperti
disebutkan didalam prasasti Mahaksubya (1289 M). Sri Samarawijaya
memperoleh jatah untuk memimpin kerajaan yang ada di bagian barat, yakni
kerajaan Panjalu. Sedangkan Mapanji, mendapatkan kerajaan Jenggala di
bagian timur yang pusat kerajaannya berada di Kahuripan.
Runtuhnya Kerajaan Kediri terjadi pada masa kekuasaan Raja
Kertajaya, dikisahkan dalam Kitab Pararaton (1481-1600 M) dan Kitab
Negarakertagama (1365 M). Pada tahun 1222 M, Kertajaya dianggap telah
melanggar agama dan memaksa Brahmana menyembahnya sebagai dewa.
Kaum Brahmana lalu meminta perlindungan Ken Arok. Ken Arok yang
bercita-cita memerdekakan Tumapel kekuasaan Kediri mencetuskan perang
antara Kerajaan Kediri dan Tumapel di dekat desa Ganter. Keberhasilan
Ken Arok mengalahkan Kertajaya menandai runtuhnya Kerajaan Kediri
yang kemudian menjadi kekuasaan Tumapel atau Kerajaan Singasari.

3.2 Masalah Sosial Akibat Memudarnya Ajaran Hindu-Buddha


Setelah Kerajaan Kediri runtuh, Ajaran hindu-buddha semakin hari
semakin memudar di Nusantara. Kerajaan Hindu-Buddha memiliki banyak
konflik internal, seperti tidak lagi memiliki mekanisme penilaian terhadap
raja yang kompeten, yang berdampak pada melemahnya perekonomian
kerajaan mereka. Masuknya kebudayaan Islam di Nusantara pada abad ke-
12 masehi, membuat Kerajaan Hindu-Buddha pada saat itu tidak dapat
bersaing dengan Kerajaan islam dalam hal ekonomi.
Masuknya kerajaan islam juga mempercepat degradasi pemahaman
ajaran hindu-buddha. Sebagai contoh, sistem kasta sosial juga mulai
ditinggalkan karena agama Islam tidak menganut sistem kasta.
Memudarnya ajaran Hindu-Buddha ini menyebabkan beragam konflik
sosial dan pertentangan di berbagai lapisan masyarakat.

3.2.1 Masalah Pertentangan Budaya dari Masyarakat


Pada tahun 1925, terbit sebuah koran Surya Kanta, di masa penjajahan
Belanda. Keberadaan koran ini adalah untuk menyuarakan kesetaraan hak
masyarakat Hindu tanpa membedakan kasta. Surya Kanta, yang dinilai

12
sebagai kaum Sudra terpelajar, sangat kritis terhadap adanya perbedaan
kasta dan hak istimewa beberapa kasta, dan mengkritik pemerintahan yang
pada saat itu mendukungnya.
Sebagai Contoh, konflik perkawinan beda kasta. “Manusia yang
menikah antarkasta dalam kebudayaan Hindu sangat dilarang hal ini akan
membawa aib bagi kedua belah pihak dan lingkungan masyarakat
sekitarnya. Bagi perempuan Brahmana akan mendapat sanksi berupa
penurunan kasta dan menjalani ritual adat begitu sebaliknya bagi perempuan
Sudra akan diperlakukan secara berbeda dengan perempuan yang asli
keturunan kasta Brahmana”. Perkawinan beda kasta menimbulkan polemik
karena ketakutan masyarakat (terutama yang berkasta triwangsa) untuk
hidup dalam kesulitan yang kerap didialogkan oleh pihak keluarga. Namun,
setelah menjalani proses konflik, beberapa pasangan akhirnya memutuskan
untuk menikah dengan pertimbangan cinta, kepercayaan dan kenyamanan
satu sama lain.

3.2.2 Kesalahan Pandangan terkait Sistem Kasta Sosial


Catur-varnyam maya srstam
Guna-karma-vibhagasah
Tasya kartanam api mam
Viddhy akartanam avyayam.
Artinya: Catur Warna aku ciptakan berdasarkan guna (kegunaan) dan
karma (hasil perbuatan). Meskipun aku sebagai penciptanya, aku mengatasi
gerak dan perubahan. (Bhavagad Gita IV.13)
Melalui kitab Bhavagad Gita di atas, dapat dipahami bahwa
sebenarnya Catur Warna (yang kini diadaptasi menjadi Kasta), sama sekali
tidak terikat dengan keturunan atau dinasti. Konsep Kasta yang saat ini
berlaku sangat bertentangan dengan konsep Catur Warna.
Pemahaman yang salah ini telah berlangsung selama ber abad-abad ini
seringkali menjadi sumber konflik internal, yang menyebabkan
kemunduran pada penyebaran peradaban masyarakat Hindu.

3.3 Upaya Penyelesaian Masalah Sosial

13
Dalam suatu masyarakat majemuk, seperti Indonesia, konflik tidak bisa
dihindarkan. Konflik merupakan satu kesatuan dengan pluralisme. Tidak
ada fluralisme tanpa konflik, kecuali bila direkayasa sedemikian rupa
sehingga konflik bisa ditutup-tutupi. Dalam sejarah Indonesia, sejak periode
Zaman Kuno sampai menjelang kemerdekaan, kita tidak banyak mewarisi
catatan-catatan sejarah yang mencatat konflik kekerasan bernuansa agama.
Meskipun begitu, setiap konflik yang terjadi harus dihadapi dengan
semangat persatuan, sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

3.3.1 Upaya Pemerintah dalam Mencegah Masalah Sosial


Pemerintah menyadari potensi konflik akibat kemajemukan agama di
Indonesia. Karena itu berbagai usaha telah dilakukan untuk mencegah
timbulnya konflik, dan sekaligus mencari penyelesaian atas Konflik yang
telah terjadi. Salah satu usaha itu ialah menerbitkan Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, No. 8, dan No. 9, tahun 2008,
tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah”. Sebagaimana
namanya, PBM ini mengatur tentang tugas aparatur pemerintahan dalam
menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat
agama oleh pemeluknya.

3.3.2 Upaya Negosiasi Agama dan Budaya untuk Mecegah Pergesekan Sosial
Tentunya, tak hanya pemeritntah yang berkewajiban untuk mencegah
dan menyelesaikan konflik. Kita semua sebagai bangsa Indonesia juga
berkewajiban untuk saling menghargai budaya dan agama sesama, tak
terkecuali budaya Hindu-Buddha. Salah satu upaya yang dapat kita lakukan
adalah dengan bernegosiasi. Dengan kemajemukan bangsa indonesia, ruang
untuk negosiasi terbuka lebar.
Dalam hal ini, tentu persoalan di Indonesia menjadi sangat menarik
karena terjadi berbagai keragaman dalam relasi antara agama dan kondisi
kelenturan budaya lokal-lokal. Di beberapa tempat di Indonesia, proses-
proses “Hinduisme”, misalnya, begitu merasuk, sehingga masyarakatnya
memilih nilai-nilai Hindu secara dominan dalam kehidupan bermasyarakat.

14
Nilai-nilai dan budaya lokal mengalami proses Hinduisasi, dan proses
tersebut juga dapat diterima dengan baik oleh seluruh masyarakat.

3.3.3 Kecenderungan Masalah Kasta Sosial Saat Ini


Dengan upaya-upaya tepat yang kita lakukan, tentu semua masalah
dapat diatasi dan kondisi akan semakin membaik. Sama halnya dengan
masalah Kasta Sosial. Bali, sebagai wilayah dengan mayoritas agama
Hindu, cenderung berhasil dalam meresolusi masalah kasta ini dengan baik.
Sistem kasta di bali kini mulai beralih menggunakan sistem Catur Warna
dimana semua orang dapat diperlakukan sebagaimana metinya sesuai
dengan guna (kegunaan) dan karma (hasil perbuatan).
Sebagai contoh, pemilihan pemimpin di Bali tidak lagi terafiliasi
dengan kasta sosial. Gubernur Bali saat ini, I Wayan Koster, sebenarnya bila
dilihat dengan sistem kasta, merupakan kasta Sudra. Tetapi, sistem Catur
Warna memungkinkan siapa saja untuk maju menjadi pemimpin jika
memang dirasa pantas. Demokrasi Indonesia sudah sangat terasa di Bali.

3.4 Menjaga Keberagaman Budaya Indonesia


Dalam sejarah bangsa Indonesia, kemajemukan telah melahirkan
perpaduan yang sangat indah dalam berbagai bentuk mozaik budaya.
Berbagai suku, agama, adat istiadat, dan budaya hidup berdampingan dan
memiliki ruang negosiasi yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari.

3.4.1 Relasi Budaya dengan Agama


Seni mempunyai kedudukan terhormat dalam agama Hindu karena
dikaitkan sebagai bagian yang integral dengan sistem keagamaan. Pada titik
tertentu profesi seni dipilih oleh para seniman tidak semata-mata sebagai
pekerjaan biasa, melainkan sebagai medium atau jalan pembebasan. Oleh
karena itu, para seniman mempunyai kedudukan yang istimewa dalam
praktek keagamaan bersama-sama dengan para pendeta, cendekiawan, dan
para pemimpin umat Hindu yang lain. Praktek keagamaan yang melibatkan
berbagai unsur kesenian memberi ruang negosiasi dan sosialisasi kepada
semua pihak, sehingga tanpa disadari seni berkembang menjadi suatu sistem

15
pengendalian konflik sektarian yang sangat epektif di dalam internal agama
Hindu. Seni menjadi kekuatan untuk melawan kekerasan.

3.4.2 Pengaruh Budaya Hindu-Buddha terhadap Keberagaman di Indonesia


Masa Hindu-Buddha membawa banyak pengaruh budaya dan
peninggalan sejarah terhadap keberagaman di Nusantara. Terdapat
peninggalan dari Kerajaan Kediri adalah beberapa kitab, prasasti dan candi.
Peninggalan tersebut mengisahkan sejarah yang terjadi di masa lalu, seperti
kisah awal terbentuknya Kerajaan Kediri, masa kejayaan saat raja Jayabaya
memerintah, serta keruntuhan ketika kerajaan diambil alih oleh Singasari.
Terdapat juga sumber sejarah dari luar wilayah, seperti kronik atau kitab dari
China yang mengisahkan bagaimana kehidupan masyarakat di Kerajaan
Kediri. Berikut beberapa peninggalan kisah sejarah tertulis dari Kerajaan
Kediri selama masa kekuasaannya di pulau Jawa:
1. Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan
Panjalu atas Jenggala.
2. Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M menjelaskan Panjalu pada
masa Jayabaya.
3. Prasasti Sirah Keting (1104 M), memuat pemberian hadiah tanah
kepada rakyat desa oleh Jayawarsa.
4. Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi
masalah keagamaan, berasal dari raja Bameswara.
5. Prasasti Ngantang (1135M), menyebutkan raja Jayabaya yang
memberikan hadiah kepada rakyat desa Ngantang sebidang tanah
yang bebas dari pajak.
6. Prasasti Jaring (1181M), dari raja Gandra yang memuat sejumlah
nama pejabat dengan menggunakan nama hewan seperi Kebo
Waruga dan Tikus Jinada.
7. Prasasti Kamulan (1194M), memuat masa pemerintahan Kertajaya,
dimana Kediri berhasil mengalahkan musuh yang telah memusuhi
istana Katang-Katang.
8. Candi Penataran: Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini
terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar,

16
pada ketinggian 450 meter dpl. Dari prasasti yang tersimpan di
bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja
Srengga dari Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi dan
berlanjut digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana,
Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415.
9. Candi Gurah: Candi Gurah terletak di kecamatan di Kediri, Jawa
Timur. Pada tahun 1957 pernah ditemukan sebuah candi yang
jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs Tondowongso yang
dinamakan Candi Gurah namun karena kurangnya dana kemudian
candi tersebut dikubur kembali.
10. Candi Tondowongso: Situs Tondowongso merupakan situs temuan
purbakala yang ditemukan pada awal tahun 2007 di Dusun
Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs seluas lebih dari satu
hektare ini dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode
klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak
penemuan Kompleks Percandian Batujaya), meskipun
Prof.Soekmono pernah menemukan satu arca dari lokasi yang sama
pada tahun 1957. Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya
sejumlah arca oleh sejumlah perajin batu bata setempat.Berdasarkan
bentuk dan gaya tatahan arca yang ditemukan, situs ini diyakini
sebagai peninggalan masa Kerajaan Kediri awal (abad XI), masa-
masa awal perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa Tengah ke
Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri dikenal dari sejumlah karya
sastra namun tidak banyak diketahui peninggalannya dalam bentuk
bangunan atau hasil pahatan.
11. Arca Buddha Vajrasattva: Arca Buddha Vajrasattva ini berasal dari
zaman Kerajaan Kediri (abad X/XI). Dan sekarang merupakan
Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
12. Prasasti Galunggung: Prasasti Galunggung memiliki tinggi sekitar
160 cm, lebar atas 80 cm, lebar bawah 75 cm. Prasasti ini terletak di
Rejotangan, Tulungagung. Di sekeliling prasasti Galunggung
banyak terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno. Tulisan itu

17
berjajar rapi. Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata.
Sedangkan di sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran
rusak dimakan usia. Di bagian depan, ada sebuah lambang berbentuk
lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut ada gambar persegi panjang
dengan beberapa logo. Tertulis pula angka 1123 C di salah satu sisi
prasasti.
13. Candi Tuban: Pada tahun 1967, ketika gelombang tragedi 1965
melanda Tulungagung. Aksi Ikonoklastik, yaitu aksi
menghancurkan ikon – ikon kebudayaan dan benda yang dianggap
berhala terjadi. Candi Mirigambar luput dari pengrusakan karena
adanya petinggi desa yang melarang merusak candi ini dan kawasan
candi yang dianggap angker.Massa pun beralih ke Candi Tuban,
dinamakan demikian karena candi ini terletak di Dukuh Tuban, Desa
Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi
ini terletak sekitar 500 meter dari Candi Mirigambar. Candi Tuban
sendiri hanya tersisa kaki candinya. Setelah dirusak, candi ini
dipendam dan kini diatas candi telah berdiri kandang kambing, ayam
dan bebek.Menurut Pak Suyoto, jika warga mau kembali
menggalinya, maka kira – kira setengah sampai satu meter dari
dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa tersingkap dan relatif masih
utuh. Pengrusakan atas Candi Tuban juga didasari legenda bahwa
Candi Tuban menggambarkan tokoh laki – laki Aryo Damar, dalam
legenda Angling Dharma dan jika sang laki – laki dihancurkan,
maka dapat dianggap sebagai kemenangan.
14. Prasasti Panumbangan: Pada tanggal 2 Agustus 1120 Maharaja
Bameswara mengeluarkan prasasti Panumbangan tentang
permohonan penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka
yang tertulis di atas daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti
tersebut berisi penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra
oleh raja sebelumnya yang dimakamkan di Gajapada. Raja
sebelumnya yang dimaksud dalam prasasti ini diperkirakan adalah
Sri Jayawarsa.

18
15. Prasasti Talan: Prasasti Talan/ Munggut terletak di Dusun Gurit,
Kabupaten Blitar. Prasasti ini berangka tahun 1058 Saka (1136
Masehi). Cap prasasti ini adalah berbentuk Garudhamukalancana
pada bagian atas prasasti dalam bentuk badan manusia dengan
kepala burung garuda serta bersayap.Isi prasasti ini berkenaan
dengan anugerah sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah
Panumbangan memperlihatkan prasasti diatas daun lontar dengan
cap kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima dari Bhatara
Guru pada tahun 961 Saka (27 Januari 1040 Masehi) dan
menetapkan Desa Talan sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari
kewajiban iuran pajak sehingga mereka memohon agar prasasti
tersebut dipindahkan diatas batu dengan cap kerajaan
Narasingha.Raja Jayabhaya mengabulkan permintaan warga Talan
karena kesetiaan yang amat sangat terhadap raja dan menambah
anugerah berupa berbagai macam hak istimewa.
Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra
yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah
memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke
dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan
oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali
sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk
candrasangkala, sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M).
Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya dan
Hariwangsa. Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra,
antara lain sebagai berikut:
1. Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat
syair yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
2. Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu
Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan
Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota
kerajaannya adalah Dahana.

19
3. Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah
Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka.
Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya
diangkat ke surga.
4. Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat
Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka
menolong dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi
Rukmini.
5. Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan
Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.
Sebagai jejak budaya Kerajaan Kediri, salah satunya terdapat Kitab
Wertasancaya oleh Mpu Tanakung (1190-1200 M) yang merupakan buku
puisi berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Terdapat juga
sumber sejarah dari luar Nusantara, yaitu dari China adalah Kitab Ling Wai
Tai Ta oleh Chou Ku Fei (1178 M) dan Kitab Chu Fan Chi oleh Chau Ju
Kua (1225 M). Kedua kitab tersebut mendeskripsikan bahwa masyarakat
Kediri berpakaian dengan mengenakan kain sampai bawah lutut dan
rambutnya diurai. Rumah-rumah mereka sangat bersih dan tertata rapi,
karena pemerintahannya begitu memerhatikan keadaan rakyat agar hidup
tenteram dan teratur.

3.4.3 Kondisi Kebhinekaan di Zaman Kerajaan Kediri


Kehidupan beragama sudah diatur juga dalam Undang-undang. Tiap
bab memuat pasal-pasal yang sejenis, sehingga ada sistematika dalam
penyusunan. Sudah pasti bahwa susunannya semula menganut suatu sistem.
Kitab hukum per Undang-undangan itu disusun sebagai berikut:
1. Bab I : Sama Beda Dana Denda, berisi ketentuan diplomasi,
aliansi, konstribusi dan sanksi.
2. Bab II : Astadusta, berisi tentang sanksi delapan kejahatan
(penipuan, pemerasan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan,
pembalakan, penindasan dan pembunuhan)
3. Bab III : Kawula, berisi tentang hak-hak dan kewajiban
masyarakat sipil.

20
4. Bab IV : Astacorah, berisi tentang delapan macam
penyimpangan administrasi kenegaraan.
5. Bab V : Sahasa, berisi tentang sistem pelaksanaan transaksi
yang berkaitan pengadaan barang dan jasa.
6. Bab VI : Adol-atuku, berisi tentang hukum perdagangan.
7. Bab VII : Gadai atau Sanda, berisi tentang tata cara pengelolaan
lembaga pegadaian.
8. Bab VIII : Utang-apihutang, berisi aturan pinjam-meminjam
9. Bab IX : Titipan, berisi tentang sistem lumbung dan
penyimpanan barang.
10. Bab X : Pasok Tukon, berisi tentang hukum perhelatan.
11. Bab XI : Kawarangan, berisi tentang hukum perkawinan.
12. Bab XII : Paradara, berisi hukum dan sanksi tindak asusila.
13. Bab XIII : Drewe kaliliran, berisi tentang sistem pembagian
warisan.
14. Bab XIV : Wakparusya, berisi tentang sanksi penghinaan dan
pencemaran nama baik.
15. Bab XV : Dendaparusya, berisi tentang sanksi pelanggaran
administrasi
16. Bab XVI : Kagelehan, berisi tentang sanksi kelalaian yang
menyebabkan kerugian publik.
17. Bab XVII : Atukaran, berisi tentang sanksi karena menyebarkan
permusuhan.
18. Bab XVIII : Bumi, berisi tentang tata cara pungutan pajak
19. Bab XX: Dwilatek, berisi tentang sanksi karena melakukan
kebohongan publik.
Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada
kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu.
Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta
bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat
menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat
leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.

21
3.4.4 Memelihara Keberagaman Budaya sejalan dengan Bhinneka Tunggal
Ika
Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti ‘meskipun berbeda tetapi tetap satu’,
adalah slogan negara Indonesia. Asal-usulnya berasal dari kitab Sutasoma
oleh Mpu Tantular dari era Kerajaan Majapahit di abad ke-14. Slogan ini
melambangkan identitas bangsa Indonesia yang berakar pada keragaman.
Bhinneka Tunggal Ika tertera dalam lambang negara Indonesia, Garuda
Pancasila, dan berperan dalam membentuk karakter dan identitas bangsa.
Para pendiri bangsa Indonesia mengakui kebutuhan akan elemen yang
menyatukan dan identitas bersama dalam masyarakat yang pluralistik seperti
Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika merepresentasikan kesatuan geopolitik dan
geobudaya di Indonesia, yang mencakup keragaman dalam agama, ide,
ideologi, suku bangsa, dan bahasa.

Kita harus mengakui bahwa budaya dan pola pikir orang Jawa berbeda
dengan orang Minang, Papua, Dayak, Sunda, dan lainnya. Pemimpin dari
kota besar mungkin melihat Indonesia dari perspektif global, tetapi pemimpin
nasional dari budaya lokal tertentu melihat Indonesia berdasarkan jiwa,
perasaan, dan kebiasaan lokal mereka. Ini saja menunjukkan kalau teknik
pandang kitat entang Indonesia berbeda. Jadi tanpa kemauan untuk menerima
dan menghargai kebhinekaan maka tidak mudah buat mewujudkan persatuan
dan kesatuan bangsa (Santoso, Karim. 2023).

22
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kerajaan
Kediri merupakan kerajaan dari masa hindu-budhha dari tahun 1045 hingga
1222 M. Terjadi peristiwa pembagian kekuasaan yang menandai akhir dari
pemerintahan kerajaan kahuripan. Masa kejayaan kediri diraih pada masa
pemerintahan raja Jayabaya. Pada awalnya, konnflik terjadi antara dua putra
Raja Airlangga yaitu Mapanji Garasakan dan Sri Samarawijaya. Mereka
merebutkan wilayah kejayaannya saat Kerajaan Kahuripan. Perang saudara
tersebut berlangsung selama 60 tahun, hingga akhirnya dimenangkan oleh
Kerajaan Kediri. Pertentangan antara kaum Ksatria dengan raja yang
angkuh dan kaum Brahmana yaitu para pendeta yang mencari perlindungan
kepada individual dari kerajaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
kasta sosial berkaitan dengan perebutan kekuasaan. Tetapi, dalam Kitab
Lubdaka oleh Mpu Tanakung (1194 M), masyarakat dari kerajaan Kediri
tidak menganut sistem kasta walaupun mereka merupakan penganut agama
Hindu. Kitab tersebut juga mengungkapkan bahwa baik tinggi maupun
rendahnya nilai dan martabat dari seseorang tidak dilihat dari kedudukan
maupun garis keturunannya, melainkan dilihat dari sifat dan sikap dari
orang itu sendiri.
Dikisahkan bahwa runtuhnya Kerajaan Kediri adalah karena
perselisihan antara raja Kertajaya dengan kaum Brahmana, yang berarti saat
itu masih ada suatu sistem kasta sosial. Terdapat beberapa kisah tentang
konflik perebutan kekuasaan pada masa Kerajaan Kediri, yang pertama
terdapat di dalam Kitab Bharatayudha oleh Mpu Tantular dan Mpu Panuluh
(1157 M), Pembagian wilayah sebelum perang saudara juga dikisahkan
dalam Kitab Negarakertagama (1365 M) dan Kitab Calon Arang (1540 M),
Runtuhnya Kerajaan Kediri terjadi pada masa kekuasaan Raja Kertajaya,
dikisahkan dalam Kitab Pararaton (1481-1600 M) dan Kitab
Negarakertagama (1365 M).

23
Kehidupan yang makmur membuat masyarakat dalam aspek sosial
mengalami hal yang senada. Karena dipimpin raja yang bijak, tak urung
kemajuan dari masyarakat yang berkecukupan dalam hal sandang, pangan
dan papan. Tak hanya dalam hal fisik yang mencoba dibangun oleh raja
Jayabaya pada saat itu juga telah diberlakukan ketertiban dan hukum yang
jelas dank eras bagi seluruh rakyat Kediri. Walaupun kemakmuran tersebut
tidak berlangsung lama karena kemudian kegelapan mengganti masa-masa
jaya kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Kertajaya (1222 M). Namun,
keberadaan kerajaan Kediri merupakan sebuah bukti eksistensi dan
kemakmuan salah satu kerajaan di Jawa Timur sebagai penerus Kerajaan
Kahuripan serta pendahulu Kerajaan Singasari dan Majapahit. Dengan
sistem pemerintahan, birokrasi, ekonomi, sosial, budaya, dan agama yang
mengalami kemajuan secara gilang-gemilang.

4.2 Saran
Penyusun sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini penyusun masih
jauh dari sempurna, baik dari tulisan maupun bahasan yang penyusun
sajikan. Oleh karena itu mohon atas pemberian saran agar penyusun dapat
membuat makalah ini lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penyusun dan bagi siapapun yang memerlukannya di masa mendatang.
Penelitian selanjutnya diharapkan untuk mengkaji lebih banyak sumber
maupun referensi yang terkait dengan sarana prasarana pendidikan, maupun
efektivitas proses pembelajaran agar hasil penelitiannya dapat lebih baik
lagi. Peneliti selanjutnya diharapkan lebih mempersiapkan diri dalam pross
pengambilan dan pengumpulan data, sehingga penelitian bisa dilakukan
dengan lebih baik lagi. Dengan adanya tugas kolaborasi ini, maka kita
diharapkan lebih mengetahui tentang sejarah kerajaan di Indonesia salah
satunya Kerajaan Kediri.

24
DAFTAR PUSTAKA

Britannica, T. (2006). Editors of Encyclopedia Britannica.


Dewi, I. A. (2015). Isu-Isu dan Penyelesaian Konflik Pasangan Suami Istri Beda
Kasta di Bali. Surabaya: Universitas Airlangga.
Dwi, A. d. (2014). Buku Sejarah SMA/MA/SMK/MAK Kelas X Semester I. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan .
Fandi. (2021). Kerajaan Islam di Indonesia (Nusantara) dan Sejarahnya. Jakarta:
Gramedia Blog.
Gunawan Santoso, d. (2023). Implementasi Bhinneka Tunggal Ika dan Cita-Cita
Luhur Bangsa. Jakarta: Jurnal Pendidikan Transformasi.
Kediri, D. K. (2020). Silsilah Raja-raja Kerajaan Kediri dan Asal Usulnya.
Kediri: Pemerintah Kota Kediri.
Kusmawati, A. M. (2011). Pertentangan Kasta dalam Kebudayaan Bali: Kajian
Hegemoni dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini. Semarang:
UNNES.
Meinsma. (1903). Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing
Tahun 1647. S’Gravenhage.
Moedjanto. (1994). Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-raja
Mataram. Yogyakarta: Kanisius.
Mulyadi, L. (2018). Makna Motif Relief dan Arca Candi Surowono dan Candi
Tegowangi Situs Kerajaan Kadiri. . Malang: Dream Litera Buana.
Pigeaud. (1924). De Tantu Panggelaran Uitgegeven, Vertaald en Toegelicht.
Disertasi Leiden.
Poerbatjaraka. (1957). Kapustakan Jawi. Jakarta: Djambatan.
Poesponegoro, d. (2008). Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta:
Balai Pustaka.
Rassers. (1959). De Panji Roman. Leiden: Dissertatie.
Salihu, M. (2020). Pendidikan Pluralisme Agama: Kajian tentang Intergrasi
Budaya dan Agama dalam Menyelesaikan Konflik Sosial Kontemporer.
Jakarta: Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an.
Stutterheim. (1930). Rama Legenden und Rama Reliefs in Indonesia. Munchen:
Kulturkreis der Indische.
Sudirman, A. (2019). Ensiklopedia Sejarah Lengkap Indonesia. Yogyakarta:
DIVA Press.

25
Supriatna, R. (1987). Sejarah. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Syamsudin, M. (2021). Ken Arok: Keistimewaan dan Kontroversi Anak Buangan
yang Menjadi Raja Besar di Tanah Jawa. Yogyakarta: Araska.
Yoedoprawiro, H. (2000). Relevansi Ramalan Jayabaya dan Indonesia Abad XXI.
Jakarta: Balai Pustaka.
Zoetmulder. (1985). Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta :
Djambatan.

26
LAMPIRAN I
Teks Negosiasi

Pada awalnya, Jaya pergi ke rumah Baya untuk melamarnya. Ia mengentuk pintu
depan dan Ibu dari Baya membuka pintunya.

Ibu: "Jaya. Ada apa urusanmu kesini?"

Jaya: "Saya ingin berbincang dengan ibu dan anak ibu. Jika saya boleh?"

Ibu: "Baiklah, silahkan masuk."

Ibu memanggil Baya yang sedang membaca buku di kamarnya dan mereka duduk
bersama di ruang tamu.

Baya: "Jaya, ada apa anda kesini?"

Jaya: "Baya, apakah anda mau menerima saya sebagai tunangan barumu jika saya
melamarmu?"

Muka Baya terlihat memerah, tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Ibu: "Tidak mungkin saya mengizinkan anak saya untuk menikah dengan seorang
Sudra! Apa yang kau bisa tawarkan dari rendahan sepertimu?"

Baya: "Ibu, saya sudah terlanjut jatuh cinta dengan dia. Bolehkah ibu
mengizinkannya untuk melamarku? Saya berjanji akan menuntun dia agar naik
menjadi Brahmana, menjadi seorang istri yang baik."

Ibu: "Walaupun begitu, tetapi apa yang Jaya bisa tawarkan?"

Seketika ruangan terheningkan, angin berhembus dapat terasa dari luar ruangan.
Kemudian, Jaya menarik napasnya dan berdiri untuk menyatakan janjinya.

Jaya: "Ibu, saya berjanji menjaga baya sepenuh hati dan tidak akan pernah
menyakitinya walau seujung kuku pun. Cinta saya pada baya tidak akan terhalang
apapun itu, termasuk kasta"

27
Baya : "Betul ibu, Baya sudah merasa jatuh cinta dengan Jaya. Mohon izinkan ia
untuk melamar saya."

Baya memasang muka dengan penuh memelas memohon restu sang ibunda.

Ibu: "Baiklah jika begitu, ibu akan izinkan. Tolong pikirkan baik-baik untuk masa
depan mu sendiri, Baya. Dan untuk Jaya, saya titip masa depan anak saya kepada
anda. Jika ada apapun yang terjadi, saya janji akan mengejarmu sampai ke ujung
dunia sampai kau merasakan sakit dan pahitnya dunia ini bagaikan neraka."

28
LAMPIRAN 2
Dokumentasi Penyusunan Makalah

29

Anda mungkin juga menyukai