(INA) Relevansi Perebutan Kekuasaan Dan Disparitas Kasta Sosial Di Kerajaan Kediri Pada Masa Sekarang
(INA) Relevansi Perebutan Kekuasaan Dan Disparitas Kasta Sosial Di Kerajaan Kediri Pada Masa Sekarang
MAKALAH
Disusun Oleh:
Anggota Kelompok : Cyrilla Edgina Anindya Putri
Dodi Nugraha
Gusti Muhammad Beryl Apriliansyah
Muhammad Novan Ghafara
Salsabila Febriany Putri
Syahdan Asysyamil Ibrahim
Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat-Nya
yang selama ini kita dapatkan, yang memberi hikmah yang paling bermanfaat bagi
seluruh umat manusia, sehingga oleh karenanya penyusun dapat menyelesaikan
tugas ini dengan baik dan tepat waktu.
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
menyelesaikan tugas kolaborasi mata pelajaran Sejarah, Sosiologi, PPKn, Bahasa
Indonesia dan Bahasa Inggris tentang sejarah Kerajaan Kediri untuk dijadikan
bahan pelajaran hidup bagi penyusun yang hidup di masa kini, dan juga untuk
membentuk suatu kekompakan bagi penyusun yang menyelesaikan tugas makalah
ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu penyusun menerima saran dan kritik yang bersifat membangun
demi perbaikan dalam makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para
pembaca. Terima kasih.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
3.4.3 Kondisi Kebhinekaan Di Zaman Kerajaan Kediri ....................................... 20
3.4.4 Memelihara Keberagaman Budaya Sejalan Dengan Bhinneka Tunggal Ika22
BAB IV PENUTUP ............................................................................................ 23
4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 23
4.2 Saran ............................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25
LAMPIRAN ......................................................................................................... 27
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
struktur-struktur sosial ini juga membedakan Kediri dengan daerah-daerah
lainnya di Indonesia.
Selama 177 tahun berdiri, ada 8 raja yang berkuasa. Salah satunya
adalah Sri Aji Jayabaya yang membawa Kediri pada jaman keemasan.
Bahkan beberapa ramalan Jayabaya terbukti kebenarannya di masa
sekarang ini. Berikut merupakan raja pendiri hingga raja terakhir yang
memerintah Kerajaan Kediri pada masa terdahulu:
1. Sri Samarawijaya
Raja pertama dari Kerajaan Kadiri yang pemerintahannya
dimulai dari tahun 1042. Sri Samarawijaya memiliki gelar lengkap
Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa.
Dalam prasasti Pucangan (1041 M) Samarawijaya memiliki
jabatan sebagai Rakryan Mahamantri, jabatan ini mirip dengan
status putra mahkota yang pada umumnya dijabat oleh putra atau
menantu raja./
Berdasarkan cerita dalam prasasti Pamwatan dan prasasti
Gandhakuti, Raja Samarawijaya naik takhta di saat Airlangga turun
takhta menjadi seorang pendeta.
2. Sri Jayawarsa
Sri Jayawarsa memerintah pada tahun 1104 M. Sri Jayawarsa
bergelar Sri Maharaja Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu. Kisah Raja
Jayawarsa tercatat dalam prasasti Sirah Keting tahun 1104 M, yang
mengisahkan bahwa ia sangat mencintai semua rakyatanya, bahkan
dirinya selalu berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh
rakyat. Prasasti tersebut berisi tentang pengesahan desa Marjaya
sebagai tanah perdikan atau sima swatantra. Prasasti Panumbangan
(1120 M) menyebut makamnya berada di daerah Gajapada.
3. Raja Bameswara
Raja Bameswara disebutkan dalam prasasti Pikatan (1117 M).
Prasasti ditemukan di wilayah Tulungagung dan Kertosono. Dalam
3
prasasti tersebut banyak memuat masalah keagamaan. Dari kondisi
ini bisa diketahui kondisi pemerintahan yang sangat baik.
4. Sri Jayabaya
Sri Jayabaya berkuasa sekitar tahun 1135 M hingga 1157 M
berdasarkan Prasasti Ngantang. Raja ini bergelar Sri Maharaja Sang
Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita
Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.
Pada masa pemerintahan Jayabaya, Kerajaan Kediri mencapai
puncaknya. Pada masa tersebut, Panjalu mampu mengalahkan
Jenggala dan menguasai seluruh takhta Airlangga. Dalam
pemerintahan Jayabaya, seluruh wilayah Kediri bisa bersatu.
Catatan prasasti yang ditemukan yakni prasasti Hantang (tahun 1135
M), prasasti Talan (tahun 1136 M), dan prasasti Jepun (tahun 1144
M), serta terdapat juga karya sastra berupa kakawin Bharatayuddha
(tahun 1157 M). Dalam babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa,
disebutkan Raja Jayabaya merupakan titisan Dewa Wisnu,
memimpin negara Widarba beribukota di Mamenang. Permaisuri
Raja Jayabaya bernama Dewi Sara. Jayabaya diketahui memiliki 4
anak yakni Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni dan Dewi
Sasanti.
Dalam pemerintahannya Jayabaya menerapkan strategi untuk
mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh
rakyatnya. Kerajaan pada masa ini sangat makmur, baik dari
pertanian maupun perdagangan. Secara ekonomi rakyat Kediri
kehidupannya terjamin. Kekuasaan kerajaan juga meluas hingga
seluruh pulau Jawa dan Sumatera. Jayabaya turun takhta dengan
cara muksa atau hilang tanpa meninggalkan jasad. Sebelum
menghilang, Jayabaya bertapa terlebih dahulu di Desa Menang
Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Setelahnya, mahkota (kuluk)
dan juga pakaian kebesarannya (ageman) dilepas, kemudian raja
Jayabaya menghilang.
5. Sri Sarweswara
4
Raja Sri Sarweswara memerintah pada tahun 1159 M hingga
1161 M. Raja ini bergelar Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri
Sarweswara Janardanawatara Wijaya Agrajasama Singhadani
Waryawirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa.
Dalam Prasasti Padelegan II (1159 M) dan Prasasti Kahyunan
(1161 M) dikisahkan Sri Sarwaswera adalah salah satu raja Kediri
yang terkenal sebagai raja yang sangat religius dan juga berbudaya,
memegang teguh dengan prinsip "Tat Wam Asi" yang artinya
Dikaulah (semuanya) itu atau semua makhluk ialah engkau. Tujuan
hidup manusia terakhir menurutnya ialah moksa, yaitu
pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan menuju benar
ialah sesuatu yang menuju kearah kesatuan dan segala sesuatu yang
menghalangi kesatuan ialah tidak benar.
6. Sri Aryeswara
Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang pemerintahannya
diketahui dari prasasti Angin, tanggal 23 Maret 1171. Raja ini
bergelar Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara
Madhusudanawatara Arijamuka. Sementara lambang dari
pemerintahannya adalah Ganesha.
7. Sri Gandra
Raja Sri Gandra berkuasa pada 1811 M. Gelar yang dipangkunya
adalah Sri Maharaja Koncaryadipa Handabhuwanapadalaka
Parakrama Anindita Digjaya Uttunggadewa Sri Gandra.
Masa kepemimpinan raja Sri Gandra terkutip dalam prasasti
Jaring (1181 M). Prasasti tersebut menceritakan sang raja yang
mengabulkan keinginan rakyat Desa Jaring tentang anugerah raja
sebelumnya yang belum terwujud. Pengabulan permohonan ini
disampaikan melalui senapati Sarwajala. Di prasasti tersebut juga
diceritakan adanya nama hewan yang digunakan untuk
menunjukkan tinggi rendahnya kepangkatan dalam istana. Nama
yang tersebut misalnya Menjangan Puguh, Lembu Agra dan Macan
Kuning.
5
8. Sri Kameswara
Sri Kameswara tercantum dalam Prasasti Ceker tahun 1182 M
serta Prasasti Kakawin Smaradhan yang masa pemerintahannya
sekitar tahun 1180 M hingga 1190 M. Raja ini bergelar Sri Maharaja
Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Anindhita Digjaya
Uttunggadewa.
Di masa pemerintahan Sri Kameswara seni sastra berkembang
sangat pesat. Salah satunya adanya Kitab Smaradhana karangan dari
Mpu Dharmaja, yang berkisah tentang cerita rakyat seperti cerita
Panji Semirang. Mpu Dharmaja juga menuliskan kisah tentang
kelahiran dari Dewa Ganesha, yaitu dewa berkepala gajah yang
merupakan anak dari Dewa Siwa. Ganesha menjadi lambang dari
Kerajaan Kadiri sebagaimana yang tercatat dalam prasasti-prasasti.
Beberapa peninggalan sejarah pada masa pemerintahan ini
diantaranya, prasasti Semanding (1182 M) dan prasasti Ceker (1185
M).
9. Sri Kertajaya
Sri Maharaja Kertajaya adalah raja terakhir dari Kerajaan Kediri
yang berkuasa pada tahun 1194 M hingga 1222 M. Di masa raja
Kertajaya, Kediri jatuh karena serangan kerajaan Tumapel atau
Singashari. Raja Kertajaya memiliki gelar Sri Maharaja Sri
Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya
Uttunggadewa. Nama Raja Kertajaya tercatat dalam teks
Nagarakertagama (1365 M) yang ditulis setelah zaman Kerajaan
Kadiri. Sementara dalam teks Pararaton Raja Kertajaya disebut
dengan nama Prabu Dandhang Gendis. Bukti sejarah masa
pemerintahan Raja Kertajaya diantaranya tertuang dalam prasasti
Galunggung (1194 M), prasasti Kamulan (1194 M) prasasti Palah
(1197 M), dan prasasti Wates Kulon (1205 M).
Kestabilan pemerintahan Kerajaan Kediri pada pemerintahan
raja Kertajaya mulai menurun. Kondisi ini karena raja bermaksud
mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Sang prabu ingin disembah
6
sebagai dewa, kaum Brahmana menentang keputusan tersebut.
Mereka memilih lari dan meminta bantuan dari kerajaan Tumapel
dibawah kepemimpinan Ken Arok. Mengetahui hal ini, Raja
Kertajaya lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel.
Sementara itu. Ken Arok dan dukungan kaum Brahmana melakukan
serangan balik ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu telah bertemu
di dekat Ganter (1222 M). Dalam pertempuran tersebut pasukan
Kediri berhasil dikalahkan. Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri
, namun sayang nasibnya tidak diketahui. Sejak saat itu kekuasaan
Kerajaan Kediri berakhir dan menjadi kekuasaan Tumapel. Hingga
saat ini beberapa peninggalan besar Kerajaan Kediri ditemukan di
sejumlah wilayah di luar Kediri. Hal ini membuktikan jika Kerajaan
Kediri merupakan kerajaan besar di Nusantara.
7
dan Kediri ternyata tetap berselisih hingga timbul peperangan karena
Samarawijaya dan Mapanji sama-sama merasa berhak atas seluruh
kekuasaan Airlangga.
Peperangan di antara keduanya terus terjadi selama beberapa dekade
hingga Kerajaan Janggala mengalami kekalahan dari Kerajaan Panjalu.
Kerajaan Panjalu dengan pusat pemerintahan di Kediri, Jawa Timur, ini
pada akhirnya lebih dikenal sebagai Kerajaan Kediri.
8
BAB III
PEMBAHASAN
9
1222 SM, pada masa pemerintahan Raja Kertajaya, terjadi
pertentangan antara kaum Ksatria dan kaum Brahmana, karena raja berlaku
angkuh dan melanggar adat dengan memaksa para pendeta untuk
menyembahnya sebagai seorang dewa. Para pendeta meminta perlindungan
kepada Ken Arok dari Kerajaan Singasari untuk menyerang dan
mengalahkan Raja Kertajaya dengan imbalannya dalah Wilayah Kerajaan
Kediri sebagai wilayah baru kerajaannya.
Dalam Kitab Lubdaka oleh Mpu Tanakung (1194 M), masyarakat dari
kerajaan Kediri tidak menganut sistem kasta walaupun mereka merupakan
penganut agama Hindu. Kitab tersebut juga mengungkapkan bahwa baik
tinggi maupun rendahnya nilai dan martabat dari seseorang tidak dilihat dari
kedudukan maupun garis keturunannya, melainkan dilihat dari sifat dan
sikap dari orang itu sendiri.
Dalam kehidupan pemerintahan kerajaan, masyarakat Kerajaan Kediri
dapat dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu: Golongan masyarakat pusat
(raja, kerabat raja, dan para pelayannya), dan Golongan masyarakat
thani/daerah (pejabat atau petugas pemerintahan daerah), serta Golongan
masyarakat nonpemerintah (masyarakat wiraswasta).
Walaupun begitu, dikisahkan bahwa runtuhnya Kerajaan Kediri adalah
karena perselisihan antara raja Kertajaya dengan kaum Brahmana, yang
berarti saat itu masih ada suatu sistem kasta sosial. Saat ini, di wilayah
Kediri sudah tidak menganut kasta sosial, tetapi di Pulau Bali sistem
tersebut masih digunakan karena mayoritas beragama Hindu.
10
darinya, membuat suatu kesenjangan sosial akibat perbedaan fasilitas dan
perlakuan di dalam masyarakat serta tingkat kenyamanan dan keamanan
dalam kehidupan suatu individu yang tinggal di dalam masyarakat yang
menganut sistem kasta sosial.
11
lainnya diberi nama Jenggala atau Kahuripan. Sebagai pembatasnya, kedua
kerajaan ini menggunakan Gunung Kawi dan sungai Brantas seperti
disebutkan didalam prasasti Mahaksubya (1289 M). Sri Samarawijaya
memperoleh jatah untuk memimpin kerajaan yang ada di bagian barat, yakni
kerajaan Panjalu. Sedangkan Mapanji, mendapatkan kerajaan Jenggala di
bagian timur yang pusat kerajaannya berada di Kahuripan.
Runtuhnya Kerajaan Kediri terjadi pada masa kekuasaan Raja
Kertajaya, dikisahkan dalam Kitab Pararaton (1481-1600 M) dan Kitab
Negarakertagama (1365 M). Pada tahun 1222 M, Kertajaya dianggap telah
melanggar agama dan memaksa Brahmana menyembahnya sebagai dewa.
Kaum Brahmana lalu meminta perlindungan Ken Arok. Ken Arok yang
bercita-cita memerdekakan Tumapel kekuasaan Kediri mencetuskan perang
antara Kerajaan Kediri dan Tumapel di dekat desa Ganter. Keberhasilan
Ken Arok mengalahkan Kertajaya menandai runtuhnya Kerajaan Kediri
yang kemudian menjadi kekuasaan Tumapel atau Kerajaan Singasari.
12
sebagai kaum Sudra terpelajar, sangat kritis terhadap adanya perbedaan
kasta dan hak istimewa beberapa kasta, dan mengkritik pemerintahan yang
pada saat itu mendukungnya.
Sebagai Contoh, konflik perkawinan beda kasta. “Manusia yang
menikah antarkasta dalam kebudayaan Hindu sangat dilarang hal ini akan
membawa aib bagi kedua belah pihak dan lingkungan masyarakat
sekitarnya. Bagi perempuan Brahmana akan mendapat sanksi berupa
penurunan kasta dan menjalani ritual adat begitu sebaliknya bagi perempuan
Sudra akan diperlakukan secara berbeda dengan perempuan yang asli
keturunan kasta Brahmana”. Perkawinan beda kasta menimbulkan polemik
karena ketakutan masyarakat (terutama yang berkasta triwangsa) untuk
hidup dalam kesulitan yang kerap didialogkan oleh pihak keluarga. Namun,
setelah menjalani proses konflik, beberapa pasangan akhirnya memutuskan
untuk menikah dengan pertimbangan cinta, kepercayaan dan kenyamanan
satu sama lain.
13
Dalam suatu masyarakat majemuk, seperti Indonesia, konflik tidak bisa
dihindarkan. Konflik merupakan satu kesatuan dengan pluralisme. Tidak
ada fluralisme tanpa konflik, kecuali bila direkayasa sedemikian rupa
sehingga konflik bisa ditutup-tutupi. Dalam sejarah Indonesia, sejak periode
Zaman Kuno sampai menjelang kemerdekaan, kita tidak banyak mewarisi
catatan-catatan sejarah yang mencatat konflik kekerasan bernuansa agama.
Meskipun begitu, setiap konflik yang terjadi harus dihadapi dengan
semangat persatuan, sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
3.3.2 Upaya Negosiasi Agama dan Budaya untuk Mecegah Pergesekan Sosial
Tentunya, tak hanya pemeritntah yang berkewajiban untuk mencegah
dan menyelesaikan konflik. Kita semua sebagai bangsa Indonesia juga
berkewajiban untuk saling menghargai budaya dan agama sesama, tak
terkecuali budaya Hindu-Buddha. Salah satu upaya yang dapat kita lakukan
adalah dengan bernegosiasi. Dengan kemajemukan bangsa indonesia, ruang
untuk negosiasi terbuka lebar.
Dalam hal ini, tentu persoalan di Indonesia menjadi sangat menarik
karena terjadi berbagai keragaman dalam relasi antara agama dan kondisi
kelenturan budaya lokal-lokal. Di beberapa tempat di Indonesia, proses-
proses “Hinduisme”, misalnya, begitu merasuk, sehingga masyarakatnya
memilih nilai-nilai Hindu secara dominan dalam kehidupan bermasyarakat.
14
Nilai-nilai dan budaya lokal mengalami proses Hinduisasi, dan proses
tersebut juga dapat diterima dengan baik oleh seluruh masyarakat.
15
pengendalian konflik sektarian yang sangat epektif di dalam internal agama
Hindu. Seni menjadi kekuatan untuk melawan kekerasan.
16
pada ketinggian 450 meter dpl. Dari prasasti yang tersimpan di
bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja
Srengga dari Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi dan
berlanjut digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana,
Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415.
9. Candi Gurah: Candi Gurah terletak di kecamatan di Kediri, Jawa
Timur. Pada tahun 1957 pernah ditemukan sebuah candi yang
jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs Tondowongso yang
dinamakan Candi Gurah namun karena kurangnya dana kemudian
candi tersebut dikubur kembali.
10. Candi Tondowongso: Situs Tondowongso merupakan situs temuan
purbakala yang ditemukan pada awal tahun 2007 di Dusun
Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs seluas lebih dari satu
hektare ini dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode
klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak
penemuan Kompleks Percandian Batujaya), meskipun
Prof.Soekmono pernah menemukan satu arca dari lokasi yang sama
pada tahun 1957. Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya
sejumlah arca oleh sejumlah perajin batu bata setempat.Berdasarkan
bentuk dan gaya tatahan arca yang ditemukan, situs ini diyakini
sebagai peninggalan masa Kerajaan Kediri awal (abad XI), masa-
masa awal perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa Tengah ke
Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri dikenal dari sejumlah karya
sastra namun tidak banyak diketahui peninggalannya dalam bentuk
bangunan atau hasil pahatan.
11. Arca Buddha Vajrasattva: Arca Buddha Vajrasattva ini berasal dari
zaman Kerajaan Kediri (abad X/XI). Dan sekarang merupakan
Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
12. Prasasti Galunggung: Prasasti Galunggung memiliki tinggi sekitar
160 cm, lebar atas 80 cm, lebar bawah 75 cm. Prasasti ini terletak di
Rejotangan, Tulungagung. Di sekeliling prasasti Galunggung
banyak terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno. Tulisan itu
17
berjajar rapi. Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata.
Sedangkan di sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran
rusak dimakan usia. Di bagian depan, ada sebuah lambang berbentuk
lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut ada gambar persegi panjang
dengan beberapa logo. Tertulis pula angka 1123 C di salah satu sisi
prasasti.
13. Candi Tuban: Pada tahun 1967, ketika gelombang tragedi 1965
melanda Tulungagung. Aksi Ikonoklastik, yaitu aksi
menghancurkan ikon – ikon kebudayaan dan benda yang dianggap
berhala terjadi. Candi Mirigambar luput dari pengrusakan karena
adanya petinggi desa yang melarang merusak candi ini dan kawasan
candi yang dianggap angker.Massa pun beralih ke Candi Tuban,
dinamakan demikian karena candi ini terletak di Dukuh Tuban, Desa
Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi
ini terletak sekitar 500 meter dari Candi Mirigambar. Candi Tuban
sendiri hanya tersisa kaki candinya. Setelah dirusak, candi ini
dipendam dan kini diatas candi telah berdiri kandang kambing, ayam
dan bebek.Menurut Pak Suyoto, jika warga mau kembali
menggalinya, maka kira – kira setengah sampai satu meter dari
dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa tersingkap dan relatif masih
utuh. Pengrusakan atas Candi Tuban juga didasari legenda bahwa
Candi Tuban menggambarkan tokoh laki – laki Aryo Damar, dalam
legenda Angling Dharma dan jika sang laki – laki dihancurkan,
maka dapat dianggap sebagai kemenangan.
14. Prasasti Panumbangan: Pada tanggal 2 Agustus 1120 Maharaja
Bameswara mengeluarkan prasasti Panumbangan tentang
permohonan penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka
yang tertulis di atas daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti
tersebut berisi penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra
oleh raja sebelumnya yang dimakamkan di Gajapada. Raja
sebelumnya yang dimaksud dalam prasasti ini diperkirakan adalah
Sri Jayawarsa.
18
15. Prasasti Talan: Prasasti Talan/ Munggut terletak di Dusun Gurit,
Kabupaten Blitar. Prasasti ini berangka tahun 1058 Saka (1136
Masehi). Cap prasasti ini adalah berbentuk Garudhamukalancana
pada bagian atas prasasti dalam bentuk badan manusia dengan
kepala burung garuda serta bersayap.Isi prasasti ini berkenaan
dengan anugerah sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah
Panumbangan memperlihatkan prasasti diatas daun lontar dengan
cap kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima dari Bhatara
Guru pada tahun 961 Saka (27 Januari 1040 Masehi) dan
menetapkan Desa Talan sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari
kewajiban iuran pajak sehingga mereka memohon agar prasasti
tersebut dipindahkan diatas batu dengan cap kerajaan
Narasingha.Raja Jayabhaya mengabulkan permintaan warga Talan
karena kesetiaan yang amat sangat terhadap raja dan menambah
anugerah berupa berbagai macam hak istimewa.
Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra
yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah
memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke
dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan
oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali
sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk
candrasangkala, sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M).
Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya dan
Hariwangsa. Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra,
antara lain sebagai berikut:
1. Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat
syair yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
2. Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu
Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan
Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota
kerajaannya adalah Dahana.
19
3. Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah
Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka.
Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya
diangkat ke surga.
4. Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat
Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka
menolong dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi
Rukmini.
5. Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan
Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.
Sebagai jejak budaya Kerajaan Kediri, salah satunya terdapat Kitab
Wertasancaya oleh Mpu Tanakung (1190-1200 M) yang merupakan buku
puisi berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Terdapat juga
sumber sejarah dari luar Nusantara, yaitu dari China adalah Kitab Ling Wai
Tai Ta oleh Chou Ku Fei (1178 M) dan Kitab Chu Fan Chi oleh Chau Ju
Kua (1225 M). Kedua kitab tersebut mendeskripsikan bahwa masyarakat
Kediri berpakaian dengan mengenakan kain sampai bawah lutut dan
rambutnya diurai. Rumah-rumah mereka sangat bersih dan tertata rapi,
karena pemerintahannya begitu memerhatikan keadaan rakyat agar hidup
tenteram dan teratur.
20
4. Bab IV : Astacorah, berisi tentang delapan macam
penyimpangan administrasi kenegaraan.
5. Bab V : Sahasa, berisi tentang sistem pelaksanaan transaksi
yang berkaitan pengadaan barang dan jasa.
6. Bab VI : Adol-atuku, berisi tentang hukum perdagangan.
7. Bab VII : Gadai atau Sanda, berisi tentang tata cara pengelolaan
lembaga pegadaian.
8. Bab VIII : Utang-apihutang, berisi aturan pinjam-meminjam
9. Bab IX : Titipan, berisi tentang sistem lumbung dan
penyimpanan barang.
10. Bab X : Pasok Tukon, berisi tentang hukum perhelatan.
11. Bab XI : Kawarangan, berisi tentang hukum perkawinan.
12. Bab XII : Paradara, berisi hukum dan sanksi tindak asusila.
13. Bab XIII : Drewe kaliliran, berisi tentang sistem pembagian
warisan.
14. Bab XIV : Wakparusya, berisi tentang sanksi penghinaan dan
pencemaran nama baik.
15. Bab XV : Dendaparusya, berisi tentang sanksi pelanggaran
administrasi
16. Bab XVI : Kagelehan, berisi tentang sanksi kelalaian yang
menyebabkan kerugian publik.
17. Bab XVII : Atukaran, berisi tentang sanksi karena menyebarkan
permusuhan.
18. Bab XVIII : Bumi, berisi tentang tata cara pungutan pajak
19. Bab XX: Dwilatek, berisi tentang sanksi karena melakukan
kebohongan publik.
Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada
kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu.
Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta
bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat
menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat
leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
21
3.4.4 Memelihara Keberagaman Budaya sejalan dengan Bhinneka Tunggal
Ika
Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti ‘meskipun berbeda tetapi tetap satu’,
adalah slogan negara Indonesia. Asal-usulnya berasal dari kitab Sutasoma
oleh Mpu Tantular dari era Kerajaan Majapahit di abad ke-14. Slogan ini
melambangkan identitas bangsa Indonesia yang berakar pada keragaman.
Bhinneka Tunggal Ika tertera dalam lambang negara Indonesia, Garuda
Pancasila, dan berperan dalam membentuk karakter dan identitas bangsa.
Para pendiri bangsa Indonesia mengakui kebutuhan akan elemen yang
menyatukan dan identitas bersama dalam masyarakat yang pluralistik seperti
Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika merepresentasikan kesatuan geopolitik dan
geobudaya di Indonesia, yang mencakup keragaman dalam agama, ide,
ideologi, suku bangsa, dan bahasa.
Kita harus mengakui bahwa budaya dan pola pikir orang Jawa berbeda
dengan orang Minang, Papua, Dayak, Sunda, dan lainnya. Pemimpin dari
kota besar mungkin melihat Indonesia dari perspektif global, tetapi pemimpin
nasional dari budaya lokal tertentu melihat Indonesia berdasarkan jiwa,
perasaan, dan kebiasaan lokal mereka. Ini saja menunjukkan kalau teknik
pandang kitat entang Indonesia berbeda. Jadi tanpa kemauan untuk menerima
dan menghargai kebhinekaan maka tidak mudah buat mewujudkan persatuan
dan kesatuan bangsa (Santoso, Karim. 2023).
22
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kerajaan
Kediri merupakan kerajaan dari masa hindu-budhha dari tahun 1045 hingga
1222 M. Terjadi peristiwa pembagian kekuasaan yang menandai akhir dari
pemerintahan kerajaan kahuripan. Masa kejayaan kediri diraih pada masa
pemerintahan raja Jayabaya. Pada awalnya, konnflik terjadi antara dua putra
Raja Airlangga yaitu Mapanji Garasakan dan Sri Samarawijaya. Mereka
merebutkan wilayah kejayaannya saat Kerajaan Kahuripan. Perang saudara
tersebut berlangsung selama 60 tahun, hingga akhirnya dimenangkan oleh
Kerajaan Kediri. Pertentangan antara kaum Ksatria dengan raja yang
angkuh dan kaum Brahmana yaitu para pendeta yang mencari perlindungan
kepada individual dari kerajaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
kasta sosial berkaitan dengan perebutan kekuasaan. Tetapi, dalam Kitab
Lubdaka oleh Mpu Tanakung (1194 M), masyarakat dari kerajaan Kediri
tidak menganut sistem kasta walaupun mereka merupakan penganut agama
Hindu. Kitab tersebut juga mengungkapkan bahwa baik tinggi maupun
rendahnya nilai dan martabat dari seseorang tidak dilihat dari kedudukan
maupun garis keturunannya, melainkan dilihat dari sifat dan sikap dari
orang itu sendiri.
Dikisahkan bahwa runtuhnya Kerajaan Kediri adalah karena
perselisihan antara raja Kertajaya dengan kaum Brahmana, yang berarti saat
itu masih ada suatu sistem kasta sosial. Terdapat beberapa kisah tentang
konflik perebutan kekuasaan pada masa Kerajaan Kediri, yang pertama
terdapat di dalam Kitab Bharatayudha oleh Mpu Tantular dan Mpu Panuluh
(1157 M), Pembagian wilayah sebelum perang saudara juga dikisahkan
dalam Kitab Negarakertagama (1365 M) dan Kitab Calon Arang (1540 M),
Runtuhnya Kerajaan Kediri terjadi pada masa kekuasaan Raja Kertajaya,
dikisahkan dalam Kitab Pararaton (1481-1600 M) dan Kitab
Negarakertagama (1365 M).
23
Kehidupan yang makmur membuat masyarakat dalam aspek sosial
mengalami hal yang senada. Karena dipimpin raja yang bijak, tak urung
kemajuan dari masyarakat yang berkecukupan dalam hal sandang, pangan
dan papan. Tak hanya dalam hal fisik yang mencoba dibangun oleh raja
Jayabaya pada saat itu juga telah diberlakukan ketertiban dan hukum yang
jelas dank eras bagi seluruh rakyat Kediri. Walaupun kemakmuran tersebut
tidak berlangsung lama karena kemudian kegelapan mengganti masa-masa
jaya kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Kertajaya (1222 M). Namun,
keberadaan kerajaan Kediri merupakan sebuah bukti eksistensi dan
kemakmuan salah satu kerajaan di Jawa Timur sebagai penerus Kerajaan
Kahuripan serta pendahulu Kerajaan Singasari dan Majapahit. Dengan
sistem pemerintahan, birokrasi, ekonomi, sosial, budaya, dan agama yang
mengalami kemajuan secara gilang-gemilang.
4.2 Saran
Penyusun sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini penyusun masih
jauh dari sempurna, baik dari tulisan maupun bahasan yang penyusun
sajikan. Oleh karena itu mohon atas pemberian saran agar penyusun dapat
membuat makalah ini lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penyusun dan bagi siapapun yang memerlukannya di masa mendatang.
Penelitian selanjutnya diharapkan untuk mengkaji lebih banyak sumber
maupun referensi yang terkait dengan sarana prasarana pendidikan, maupun
efektivitas proses pembelajaran agar hasil penelitiannya dapat lebih baik
lagi. Peneliti selanjutnya diharapkan lebih mempersiapkan diri dalam pross
pengambilan dan pengumpulan data, sehingga penelitian bisa dilakukan
dengan lebih baik lagi. Dengan adanya tugas kolaborasi ini, maka kita
diharapkan lebih mengetahui tentang sejarah kerajaan di Indonesia salah
satunya Kerajaan Kediri.
24
DAFTAR PUSTAKA
25
Supriatna, R. (1987). Sejarah. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Syamsudin, M. (2021). Ken Arok: Keistimewaan dan Kontroversi Anak Buangan
yang Menjadi Raja Besar di Tanah Jawa. Yogyakarta: Araska.
Yoedoprawiro, H. (2000). Relevansi Ramalan Jayabaya dan Indonesia Abad XXI.
Jakarta: Balai Pustaka.
Zoetmulder. (1985). Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta :
Djambatan.
26
LAMPIRAN I
Teks Negosiasi
Pada awalnya, Jaya pergi ke rumah Baya untuk melamarnya. Ia mengentuk pintu
depan dan Ibu dari Baya membuka pintunya.
Jaya: "Saya ingin berbincang dengan ibu dan anak ibu. Jika saya boleh?"
Ibu memanggil Baya yang sedang membaca buku di kamarnya dan mereka duduk
bersama di ruang tamu.
Jaya: "Baya, apakah anda mau menerima saya sebagai tunangan barumu jika saya
melamarmu?"
Ibu: "Tidak mungkin saya mengizinkan anak saya untuk menikah dengan seorang
Sudra! Apa yang kau bisa tawarkan dari rendahan sepertimu?"
Baya: "Ibu, saya sudah terlanjut jatuh cinta dengan dia. Bolehkah ibu
mengizinkannya untuk melamarku? Saya berjanji akan menuntun dia agar naik
menjadi Brahmana, menjadi seorang istri yang baik."
Seketika ruangan terheningkan, angin berhembus dapat terasa dari luar ruangan.
Kemudian, Jaya menarik napasnya dan berdiri untuk menyatakan janjinya.
Jaya: "Ibu, saya berjanji menjaga baya sepenuh hati dan tidak akan pernah
menyakitinya walau seujung kuku pun. Cinta saya pada baya tidak akan terhalang
apapun itu, termasuk kasta"
27
Baya : "Betul ibu, Baya sudah merasa jatuh cinta dengan Jaya. Mohon izinkan ia
untuk melamar saya."
Baya memasang muka dengan penuh memelas memohon restu sang ibunda.
Ibu: "Baiklah jika begitu, ibu akan izinkan. Tolong pikirkan baik-baik untuk masa
depan mu sendiri, Baya. Dan untuk Jaya, saya titip masa depan anak saya kepada
anda. Jika ada apapun yang terjadi, saya janji akan mengejarmu sampai ke ujung
dunia sampai kau merasakan sakit dan pahitnya dunia ini bagaikan neraka."
28
LAMPIRAN 2
Dokumentasi Penyusunan Makalah
29