Anda di halaman 1dari 6

FRAGMEN DESA TAPENPAH

SESI I
(Para tokoh menggmbarkan situasi menjelang Pemilu)
Narator: Demokrasi menghendaki agar kekuasaan harus dilegitimasikan dari yang dikuasai
yang tidak lain ialah rakyat Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah
sederhananya untuk mengerti demokrasi. Rakyat menjadi fokus di sini. Tidak berlebihan jika
dalam pemilu, suara rakyat diandaikan sebagai suara Tuhan, vox popoli-vox dei karena elite
membutuhkan suara rakyat untuk memenangkan kontestasi politik. Namun apakah suara
rakyat masih pantas disebut suara Tuhan jika suara yang terberi berangkat dari politisasi
identitas seperti agama dan suku, atau politik uang, atau juga karena termakan iming-iming
yang dijanjikan para elite politik. Bukankah ini berarti suara rakyat ialah suara setan, vox
populi-vox diaboli.
Sekalipun demokrasi tidak bisa dikatakan sebagai penyebab kebobrokan ini, namun
demokrasi telah menjadi sistem politik yang memberi kesempatan bagi para elite politik
untuk menjalankan misi jahatnya. Namun, demikian jalan satu-satunya untuk mengobati
demokrasi ialah dengan demokrasi itu sendiri.
POLITIK UANG
Tim Sukses: Ini uang. Tapi jangan lupa pilih nomor 1.
Masyarakat 1: Aman pak. Kami juga tidak peduli dengan siapa yang naik nantinya jadi
daripada suara kami terbuang percuma lebih baik suara kami bisa senilai 50 ribu. Lumayan
bisa beli kopi dengan rokok.
Tim Sukses: Mana KTP kalian, saya simpan sebagai jaminan. Kalau di TPS ini kami tidak
mendapat suara sebanyak ini, saya akan cari kalian untuk meminta uangnya kembali.
Mayarakat 2 : Aman pak, ada uang ada suara.
(Tim sukses meninggalkan masyarakat)
Tim 1: ahahhah, ternyata mudah sekali membujuk orang-orang itu. Mereka tidak tahu kalau
nanti selama 5 tahun ke depan hak mereka akan kita gunakan semau kita.
Tim 2: hhahha, itu lebih dari 50 ribu, bisa beli mobil mewah. Memang masyarakat bodoh

POLITISASI IDENTITAS
Tim sukses: Kita ini seagama, kalua kalian tidak pilih nomor 2 kalian berdosa besar.
Masyarakat 1: tapi, rekam jejaknya kurang meyankinkan. Dia pernah masuk sel karena kasus
korupsi.
Masyarakat 2: Kau aneh-aneh saja. Kau tidak tahukah kalau kita juga satu suku dengannya?
Masyarakat 1: Kita mau pilih pemimpin, wakil rakyat bukan mau pilih kawan, kalau yang
tidak seagama dan tidak sesuku bisa memimpin kenapa tidak. Pikir negara ini hanya kita-kita
saja kah?
Tim sukses: Pilih dia, otomatis dia akan memprioritaskan kalian. Pilih yang pasti-pasti saja.

JANJI POLITIK (KAMPANYE)


Calon: Jika saya terpilih nantinya, saya akan memberikan kalian rumah. Anak-anak akan
mendapatkan beasiswa sampai magister. Apa yang kalian butuhkan silahkan datang pada
saya. Karena itu jangan lupa pilih saya, coblos nomor 3.
(Setelah kampanye)
Masyarakat 1: Pilih dia saja.
Masyarakat 2: Asli. Nanti dia naik pasti kita sejahtera.
Tim sukses: Mantap sekali pidatonya Pak. Pasti mereka percaya.
Calon: ahhhaah, pikir dana dari negara hanya untuk mereka saja? Kita juga punya kebutuhan.
Tim sukses: ahahahha, janji seperti itu juga dipercaya.

CALON TERBAIK
( Si Calon sibuk mencari informasi tentang bagaimana memberdayakan masyarakat yang
akan dituntaskan lewat program-programnya)
Masyarakat1 : Bukannya pak juga mencalonkan diri?
Calon: Yah begitulah. Ini saya sedang memikirkan strategi yang paling tepat untuk
memberdayakan masyarakat lewat berbagai program, mulai dari pertanian, teknologi tepat
sasar…
Masyarakat2: Sabar Pak, tapi mungkinkah Bapak akan terpilih? Kami semua sudah sepakat
untuk pilih yang satu lagi. 1 Suara 50 ribu. Tapi kalau pak bisa beri lebih banyak, kami bisa
berubah pilihan.
Masyarakat3: Kita tidak seagama, tidak juga sesuku, untuk apa kami pilih kau.
Masyarakat4: Kau akan beri kami apa kalau kau terpilih nanti? Program-program apa. Lebih
baik pilih yang pasti-pasti saja.
Masyarakat1: Maka itu, ini yang lebih pasti. Program-programnya lebih rasional dan
meyakinkan dibandingkan dengan yang lain, hanya main uang, bawa-bawa agama dan suku
hanya untuk dapat suara, beri janji yang berlebihan.
Masyarakat234: Diam kau. Kau seperti mengerti saja.
Calon: Tidak apa-apa. Setiap orang berhak untuk menentukan pilihannya. Tapi saya harap,
bijaklah dalam memilih pemimpin. Suara Anda menentukan arah bangsa ini ke depannya.
Masyarakat234: Jangan ajar kami soal itu.
Narator: Perbedaan motif dalam memberikan hak suara sekaligus telah membuat rakyat
menjadi terkotak-kotak bahkan setelah pesta demokrasi selesai. Istilah ‘pesta’ seolah tidak
tepat digunakan lagi. Mungkinkah fenomena ini pantas disebut perang demokrasi?
Jika pantas, perang tersebut telah menjamah setiap inci tanah bangsa ini, siap menghancurkan
semua yang menginjakkan kaki di atasnya. Penguasa yang berhasil dari kecurangan seperti
politik uang, politisasi identitas, dan pembualan janji manis, akhirnya muncul sebagai
penguasa yang berbahaya. Bagaimana dengan yang kalah? Tentu saja, mereka siap
menyerang dari bawah.
SESI II
Narator: Ungkapan, lo punya uang lu punya kuasa, tergenapi kali ini. Calon yang memainkan
politik uang berhasil mengalahkan lawan-lawan politiknya. Namun begitulah, sampai
kapanpun dia tidak bisa mengalahkan uang bekerja.
(Setiap kelompok masuk ke panggung dengan pemimpinnya)
POLITIK UANG
Masyarakat1: Setelah kau terpilih, nampaknya kau sama sekali tidak membangun apa-apa,
Pak!
Politisi Uang: Ha? Kau sudah lupa dengan uang 50 ribu itu? Jatahmu sudah kau ambil, jangan
terlalu banyak menuntut.
Masyarakat2: hahaha, apakah kau sedang bercanda? 50 ribu untuk satu periode?
Politisi: 50 ribu untuk 1 orang saja yah tidak apa-apa, tapi 50 ribu untuk beribu orang kau
pikir sedikit?
Masyarakat: ah.. jangan harap kami akan pilih kau lagi.
(Politisi pergi meninggalkan mereka)
Politisi: Modal saja belum kembali, masa saya harus pusing dengan mereka. Dulu mereka
gampang sekali dibodohi, sekarang mereka sangat bodoh untuk bisa berpikir tentang keadaan
saya.
POLITISASI IDENTITAS
Masyarakat: Kau tidak pernah perhatikan kami.
Politisi: Seandainya baru-baru dia yang terpilih, pasti dia juga akan melakukan hal yang
sama. Dia hanya akan memperhatikan kalian, karena kalian seagama, sesuku, sedangkan
masyarakat lain pasti tidak akan masuk dalam hitungan.
Masyarakat: alasan saja kau. Bilang saja kau tidak becus jadi pemimpin. Jangan harap kami
akan berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan.
Politisi: terserah kalian, saya sudah sangat pusing.
(Politisi pergi meninggalkan mereka)
Politisi: Parsetan dengan kebaikan bersama. Kebaikan untuk diri sendiri saja belum saya
peroleh. Saya sudah sangat dirugikan. Tetapi saya harus membuat sebuah program meskipun
tidak seberapa setidaknya dapat mengelabui orang-orang itu, supaya tidak ada yang
menyerang saya.
JANJI MANIS
Narator: Untuk menuntaskan misinya, himbauan kerja bakti disampaikan kepada semua
masyarakat, namun tidak ada yang memberi tanggapan positif. Pemimpin itu bekerja
sendirian ditemani beberapa tim suksesnya. Hadir juga calon ideal yang gagal dalam pemilu
kemarin. Dia tetap menjadi masyarakat yang baik sekalipun telah menerima kekalahan yang
mutlak.
(Di kantor, politisi sedang bekerja bersama tim suksesnya)
Politisi: Ah.. orang-orang ini di mana saja. Tidak diperhatikan mereka marah. Diminta untuk
bekerja sama acuh tak acuh.
Calon ideal: Mungkin program yang bapak buat belum tepat sasar.
Politisi: Lebih baik kau diam. Kau beruntung tidak terpilih. Seandainya kau jadi saya kau bisa
gila berhadapan dengan masyarakat seperti itu.
(Tiba-tiba lewat pengumbar janji manis)
Janji manis: Kenapa Pak? Masyarakat acuh tak acuh? Jangan terlalu sibuk dengan orang-
orang seperti itu. Seandainya saya yang terpilih saya akan santai-santai saja di ruang kerja.
Main game, skrol tik tok, nikmati gaji. Bahagia kita yang buat, Pak.
Politisi: Betul juga. Saya tidak boleh menyiksa diri demi orang-orang yang tidak peduli
seperti itu.
Calon ideal: Tapi Pak….
Politisi: Sttt. Diam kau

SESI III
MASA TRANSISI
Narator: Akibat dari sikap masyarakat ditambah tindakan yang pemimpin itu ambil, wilayah
itu tidak pernah mengalami kemajuan. Masyarakat di sana pun tidak pernah diberdayakan.
Dana yang ditujukan untuk pembangunan dan pemberdayaan malah lolos ke saku pemimpin
yang rakus itu. Lambat laun, kebusukan itu pun tercium. Pemimpin itu harus menerima
akibatnya. Dia dijebloskan ke penjara dengan tuduhan kasus korupsi dan nepotisme.
Sekarang wilayah itu tidak lagi mempunyai pemimpin. Para calon yang sebelumnya gagal
juga tidak lagi berani mencalonkan diri lantaran takut bernasib sama dengan pemimpin
sebelumnya. Mereka sadar bahwa orientasi mereka sangat menyimpang yang akan
menggiring mereka ke penjara.
Tinggallah calon ideal ituyang mencalonkan diri ditambah seorang calon baru yang
berintegritas.

CALON PEMIMPIN IDEAL


(Calon-calon pemimpin masuk ke panggung)
Narator: Kampanye tidak seperti yang terjadi sebelumnya. Persaingan berlangsung secara
sportif tanpa ada sogok-menyogok, tanpa merendahkan agama dan suku sebagai alat untuk
mendapatkan suara. Namun masyarakat masih di posisi yang sama karena belum merasakan
kebaikan dari politik bersih seperti ini. Buktinya yang hadir dalam pemilu tidak begitu
banyak. Meskipun demikian, sebuah langkah telah diambil, sebuah langkah yang menjauh
dari politik yang kotor.
Pemilu pun selesai, pemimpin baru telah terpilih.
Panitia: Demikian, berdasarkan hasil pemilu kali ini, calon dengan nomor urut 1 berhasil
meraih suara lebih banyak. Kita telah mempunyai pemimpin yang baru. Semoga ke depannya
kita bisa menjadi lebih baik. ……..(samapai disini)
(Masyarakat yang hadir bertepuk tangan dan bersorak sorai)
Narator: Perlahan-lahan, sistem kepemimpinan mulai dibenahi. Program-program yang
bertujuan untuk membangun dan memberdayakan masyarakat mulai dijalankan. Keberhasilan
demi keberhasilan program-program itu serta merta membuat masyarakat mulai sadar betapa
pentingnya menggunakan hak suaranya secara bijak. Masyarakat mulai sadar bahwa
pemimpin yang berkompeten dan berintegritas sangat berdampak positif terhadap kehidupan
mereka sendiri.
Sikap acuh tak acuh dan aksi provokasi pun mulai ditinggalkan karena masyarakat mulai
merasakan program-program dari pemerintah.
Masyarakat1: Dari pada 50 ribu untuk satu periode, lebih baik kita memilih pemimpin seperti
ini. Kita bisa merasakan kinerjanya salaam satu periode. Stop politik uang.
Masyarakat2: Menggiring agama dan suku masuk ke dalam politik untuk memperoleh suara
tidak lebih dari menghina agama dan suku. Pilihlah pemimpin yang berkompeten dan
berintegritas, baik dia seagama atau sesuku maupun tidak. Di bawah naungan bineka tunggal
ika, mari membangun negeri ini.
Masayarakat3: Pemimpin dan masyarakat seharusnya bekerja sama. Sikap acuh tak acuh
apalagi aksi provokasi hanya akan menghambat program yang tertuju kepada masyarakat.
Banyak cara yang lebih bijak untuk menyadarkan pemimpin yang lalai seperti halnya kritik
terbuka.
Pemimpin: Mari bangun rumah kita, desa kita. Bae sonde bae, Tapenpah lebih bae.
(Semua menyusun formasi untuk menyanyikan lagu Rumah Kita Sendiri)
Tamat.

Anda mungkin juga menyukai