Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Internasional merupakan istilah pertama yang

disampaikan oleh Jeremy Bentham. Hukum internasional dimaknai

sebagai public international law atau de droit international publik.1 Dalam

hukum internasional terdapat cabang ilmu hukum salah satunya hukum

lingkungan.

Hukum lingkungan telah berkembang dengan pesat, bukan saja

dalam hubungannya dengan fungsi hukum sebagai perlindungan,

pengendalian dan kepastian bagi masyarakat (social control) dengan peran

agent of stability, tetapi terlebih menonjol lagi sebagai sarana

pembangunan (a tool of social engineering) dengan peran sebagai agent of

development atau agent of change. Hukum lingkungan menyangkut

penetapan nilai-nilai yang sedang berlaku dan nilai-nilai yang diharapkan

diberlakukan di masa mendatang serta dapat disebut “hukum yang

mengatur tatanan lingkungan hidup”.2

Hukum lingkungan merupakan sebuah cabang dalam disiplin

ilmu hukum yang berkaitan dengan pengaturan hukum terhadap perilaku

atau kegiatan-kegiatan subjek hukum dalam pemanfaatan dan

perlindungan sumber daya dan lingkungan hidup serta perlindungan

1
Setyo Widagdo dkk, Hukum Internasional Dalam Dinamika Hubungan Internasional,
Universitas Brawijaya Press, 2019, hal. 1.
2
Takdir Rahmadi, Perkembangan Hukum Lingkungan Di Indonesia, Artikel Umum.
2

manusia dari dampak negatif yang timbul akibat pemanfaatan sumber daya

alam.3 Dengan demikian, hukum lingkungan tidak senantiasa berkaitan

dengan pengaturan perlindungan lingkungan hidup dalam arti pelestarian

lingkungan, tetapi juga berkaitan dengan pengaturan pemanfaatan atau

penggunaan sumber daya alam seperti air, tanah, laut, hutan dan bahan

tambang.

Dalam perkembangannya pada abad-abad terakhir ini, berbagai

peraturan lingkungan bermunculan, antara lain di Inggris sekitar abad ke-

17 sebagai akibat adanya tuntutan dari seorang pemilik tanah terhadap

tetangganya yang membangun peternakan sehingga menimbulkan

pencemaran lingkungan sekitarnya. Demikian pada abad ke-18 juga

ditemukan peraturan di Inggris dan Amerika tentang larangan melakukan

perbuatan yang menimbulkan asap, sehingga mencemarkan lingkungan

hidup.4 Untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup yang terjadi,

berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris seperti,

peraturan-peraturan tentang pengendalian asap, pencegahan pencemaran

air dan upaya sanitasi, pembuangan sampah/ limbah, dll. Pembentukan

peraturan tersebut melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah, pelaku

usaha, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak

dibidang lingkungan hidup, serta para ahli lingkungan diberbagai lembaga

perguruan tinggi.5

3
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia(3𝑟𝑑𝑒𝑑), Rajawali Pers, Depok, 2019,
hal.21.
4
Muhammad Sood, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,2019,hal.25.
5
Ibid. hal. 26.
3

Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum

internasional utama, sehingga dengan demikian hukum internasional sama

sekali tidak dapat dipisahkan dari keberadaan perjanjian-perjanjian

internasional yang dibuat oleh negara-negara.6

Secara yuridis perjanjian internasional diatur dalam pasal 2 ayat

(1) The Vienna Convention on The Law of Treaties 1969 atau Konvensi

Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang mengatur

tentang perjanjian antara negara dengan negara. Pasal 2 ayat (1) tersebut

menyatakan, bahwa Perjanjian Internasional adalah :

An international agreement conducted between States in written

form and governed by International Law, whether embodied in a single

instrument or in two or more related instruments and whatever its

particular designation. (Yang berarti suatu persetujuan yang dibuat

antarnegara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional,

apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang

berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya).7

Kemudian Vienna Convention on The Law of Treaties between

States and International Organizations or between international

Organizations, 1986, atau yang biasa disebut dengan Konvensi Wina

tahun 1986, yaitu perjanjian antar negara dengan organisasi internasional,

dalam Pasal 2 ayat (1) nya merumuskan Perjanjian Internasional sebagai :

6
Soultone, Sumber-Sumber Formil Hukum Internasional, Soultone Aziz, hal. 1.
7
Sukarmi dkk, Pengantar Hukum Perjanjian Internasional, Universitas Brawijaya Press,
2019, hal 1.
4

An international agreement governed by international law and

conducted in written form (i) between one or more international

organizations; or (ii) between international organizations whether that

agreement is embodied in a single instrument or in two or more

instruments and whatever its particular designation. (Yang berarti

perjanjian yang tunduk kepada hukum internasional dan dibuat dalam

bentuk tertulis antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi

internasional atau antara organisasi internasional, baik dengan satu atau

dua atau lebih instrumen terkait tanpa terikat penamaannya).

Kedua macam perjanjian internasional tersebut mengandung

unsur atau kualifikasi yang sama, yakni (a) suatu persetujuan

internasional; (c) berbentuk tertulis; (d) tunduk pada atau diatur oleh

hukum internasional dan (e) dengan nama apapun. Hanya saja sesuai

dengan masing-masing namanya, ruang lingkupnya menjadi lebih sempit.

Dapat dikatakan bahwa kedua pengertian perjanjian internasional itu

merupakan pemisahan dari pengertian perjanjian berdasarkan pada subjek-

subjek hukum yang dapat membuat ataupun dapat terikat pada suatu

perjanjian. 8

Perjanjian antar negara memiliki proses negosiasi. Negosiasi

mengenai perjanjian multilateral tentang lingkungan internasional berada

di bawah naungan komite negosiasi intergovermental, tujuan utamanya

untuk mengadakan perjanjian lingkungan multilateral. Ada beberapa

8
Ibid. hal 2.
5

faktor berbeda dalam proses negosiasi yang menjadi kunci kesuksesan

suatu negosiasi dalam proses perjanjian. 9 Bukan saja perjanjian-perjanjian

internasional yang mengatur perjanjian-perjanjian antar negara tentang

sampah, tetapi adapun juga konvensi yang mengatur tentang impor

sampah plastik antar negara yaitu Konvensi Basel II yang diselenggarakan

di Basel, Switzerland pada akhir tahun 1980. Pada saat pelaksanaan

pembukaan Konvensi Basel II yang membicarakan mengenai masalah

ekspor sampah B3 atau bahan berbahaya dan beracun, sampah B3 dapat

diartikan sebagai suatu buangan atau limbah yang sifat atau konsentrasinya

mengandung zat yang beracun dan berbahaya sehingga secara langsung

maupun tidak langsung dapat merusak lingkungan, menganggu kesehatan,

dan mengancam kelangsungan hidup manusia serta organisme lainnya.

Ada sebuah Kelompok yang bernama Greenpeace menggelarkan aksi

protes terhadap negara-negara industri yang menentang pelarangan total

ekspor sampah B3. Aksi itu melibatkan kurang lebih 60 orang anggota

kelompok pencinta lingkungan tersebut mereka membuang 1 ton sampah

impor didepan markas besar PBB di Jenewa.10

Indonesia merupakan salah satu dari seratus empat puluh enam

negara berkembang Meratifikasi Konvensi Basel 1989 yang mengatur

mengenai perpindahan sampah yang bahannya berbahaya dan beracun

yang selanjutnya disebut dengan limbah B-3, namun saat ini Indonesia

9
Ministry of Natural Resources and Environment, Departement of Legal Affairs,
International Environmental Law Multilateral Environmental Agreements, International
Publishing House, Hanoi, 2017, P. 14.
10
Solikah A. Estikomah, Aspek Hukum Import Sampah Plastik, Jurnal Bestuur,
Universitas Darussalam Gontor, Desember 2019. hal.107
6

masih menjadi sasaran pembuangan limbah B-3 secara ilegal. Sampah

plastik impor yang masuk ke Indonesia tentunya memiliki dampak baik

bagi manusia maupun lingkungan hidup. Namun demikian harus

dibedakan terlebih dahulu antara dampak yang timbul akibat sampah

impor yang mengandung B3 dan sampah impor yang tidak mengandung

B3. Sampah yang mengandung B3 tentunya lebih berbahaya dari sampah

yang tidak mengandung B3, sampah yang mengandung B3 tersebut

memiliki karakteristik mudah meledak, mudah terbakar, beracun, bersifat

reaktif, bersifat korosif, dan dapat menyebabkan infeksi.11

Sampah Plastik impor yang terjadi didalam masyarakat kita

disebabkan oleh kelemahan sistem peraturan perundang-undangan,

khususnya peraturan tentang ekspor/impor sampah dan bahan limbah

berbahaya serta beracun. Kasus sampah plastik impor yang masuk ke

Indonesia terjadi sebelum Indonesia memiliki peraturan perundang-

undangan yang melarang impor sampah dan adanya peraturan tentang

limbah bahan berbahaya dan beracun. Pada saat itu sebenarnya pemerintah

Indonesia sudah mendeteksi adanya impor sampah atau limbah berbahaya

dan beracun pada tahun 1989, pada saat itu Menteri KLH mengirim surat

imbauan kepada gubernur agar menolak setiap impor sampah yang

mengandung B3 yang masuk ke pelabuhan-pelabuhan di daerahnya,

11
Ibid.
7

namun masalah itu tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan peraturan

perundang-undangan hasil Konvensi Basel pada waktu itu.12

Para pengusaha dan kalangan industriawan Indonesia yang

bergerak di bidang industri daur ulang sampah membutuhkan sampah dari

negara luar, terutama negara-negara industri sebagai bahan baku untuk

industri yang dikelola oleh mereka. Karena adanya permintaan dan

penawaran tersebut sehingga kemudian munculah berbagai transaksi

dagang sampah plastik dan limbah berbahaya dan beracun. Industri daur

sampah plastik sebenarnya tidak ada masalah sepanjang bahan bakunya

tidak mengandung B3, walaupun sampah itu dari hasil impor.

Namun sangat sulit sekali melacak motif impor sampah plastik

atau limbah yang telah terkontaminasi dengan B3. Tindakan ini mungkin

terjadi karena adanya persekongkolan jahat dengan imbalan berupa uang,

dari kasus impor sampah plastik ini dapat dilihat bahwa hukum

mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. 13

Jenis-jenis sampah impor yang masuk antara lain: scrap plastik dan kertas

yang di impor untuk bahan baku industri. 14 Namun ditemukannya juga

sampah berbahaya seperti; sampah berupa bekas infus, popok bayi, ampul

suntik, obat, sampai aki bekas, sepatu, kayu, bekas kemasan oli, kain,

kemasan makanan, dan minuman, dan sejumlah keran plastik. Lokasi-

lokasi tempat masuknya sampah impor tersebut adalah di daerah Gresik

12
Ibid. hal. 108.
13
Ibid. hal. 109
14
https://www.google.com/amo/s/amp.kompas.com/nasional/read/2019/08/28/06040071/s
ampah-impor-masuk-ke-indonesia-dari-popok-bekas-alat-infus-hingga-obat Diakses Pada Tanggal
25 Januari 2021
8

(jawa timur), Tanjung Priok (Surabaya), Batam, Tangerang. Beberapa

perusahaan yang melakukan impor sampah serta mengelola antara lain: PT

Harvestindo Internasional (PT HI), PT New Harvestindo Internasional (PT

NHI), PT ART, PT AS, PT MSE, PT SM, PT MDI, PT BM, PT PKI, PT

AWP, PT TIS, PT HTUI. Dan yang berlokasi di Batam antara lain; PT San

Hai, PT Arya Wiraja Plastikindo, PT Royal Citra Bersama (RCB), PT Tan

Indo Sukses, dan PT Hong Tay.15

Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang

Pengelolaan Sampah Bahwa Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari

manusia atau proses alam yang berbentuk padat. Sedangkan sampah

spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi atau volumenya

memerlukan pengelolaan khusus.

Ketentuan atau mekanisme mengenai impor limbah atau sampah

di Indonesia telah diatur di dalam beberapa peraturan, baik Undang-

Undang, Peraturan Menteri maupun Peraturan Pemerintah. Aturan-aturan

tersebut dibagi menjadi 2 jenis, yaitu yang mengizinkan dengan batasan-

batasan atau syarat-syarat tertentu dan yang melarang tanpa memberikan

batasan. Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi Basel tentang

Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan

Pembuangannya melalui Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2005.

Konvensi ini sangat penting bagi Indonesia sendiri dalam mencegah

wilayah Indonesia yang terdiri dari banyak pulau menjadi tempat atau
15
https://www.google.com/amp/s/wwww.mongabay.co.id/2019/09/21/persoalan-impor-
sampah-plastik-berbahaya-selesai-hanya-dengan-reekspor/amp/ Diakses Pada Tanggal 25 Januari
2021
9

sasaran pembuangan limbah atau sampah yang dihasilkan oleh negara-

negara maju.

Mekanisme impor sampah di Indonesia diatur sesuai dengan

Konvensi Basel berdasarkan konsep Prior Informed Consent (Persetujuan

diawal). Sebelum dilakukannya proses ekspor sampah maka negara yang

melakukan ekspor harus memberitahukan informasi pemindahan sampah

kepada negara yang menjadi tujuan ekspor dan negara tempat transit

sampah. Dalam proses ekspor/ impor sampah ini, negara pengekspor,

negara tujuan impor, maupun negara tempat transit sampah harus ada

persetujuan tertulis (Pasal 6 dan Pasal 7 Konvensi Basel).16

Adapun aturan yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan

Nomor 84 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Impor Limbah Non bahan

Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri untuk Menggantikan

Peraturan Menteri Dagang Nomor 31 Tahun 2016. Dengan adanya aturan

tersebut maka mekanisme serta pelabuhan tujuan masuknya impor

sampah/ limbah ditentukan oleh pemerintah dan pemerintah juga dapat

mengendalikan serta mengontrol limbah yang masuk.17

Pada saat proses impor atau masuknya sampah ke Indonesia

ternyata sering menimbulkan kesalahan atau sering terjadi masalah

dikarenakan sampah yang diimpor 60% dapat didaur ulang dan 40% nya

tidak dapat di daur ulang. Mengingat biaya pengolahan sampah plastik

16
https://www.suaramerdeka.com/amp/news/baca/216679/mampukah-kita-mengelola-
sampah-impor Diakses Pada Tanggal 3 Desember 2020
17
https://m.mediaindonesia.com/read/detail/273229-permendag-842019-solusi-masalah-
impor-sampah-indonesia Diakses Pada Tanggal 3 Desember 2020
10

impor atau limbah impor yang begitu mahal maka sampah atau limbah

mengandung B3 haruslah ditangani secara khusus, bukan dibuang ke TPA

begitu saja.

Salah satu masalah yang sering timbul juga adalah pada saat

proses pengolahan, dikarenakan biaya untuk pengolahan sampah atau

limbah impor ini sangatlah mahal. Biaya yang harus dikeluarkan untuk

pengolahan sampah plastik biasa (Non B3) adalah sebesar Rp.

337.500.000 per bulannya, sedangkan untuk pengolahan plastik yang

mengandung B3 sebesar Rp. 480.000.000 per bulannya, dan untuk

pengolahan sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang adalah sebesar

Rp. 817.500.000 per bulannya.18 Biaya-biaya yang disebutkan belum

termasuk belum termasuk dalam biaya transportasi ke lokasi pembuangan

dan biaya sewa lahan untuk kontainer-kontainer yang tidak diakui oleh

pengimpornya yang berada di pelabuhan-pelabuhan di tumpuk.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka penulis ingin mengkaji

lebih lanjut dalam penulisan ini dengan judul : “Dampak Sampah Plastik

Impor Terhadap Lingkungan Hidup Di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah

yang dibahas dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tentang sampah plastik impor menurut Konvensi

Basel ?

18
Mei Isyrin, Analisis Dampak Impor Sampah Plastik Terhadap Masyarakat dan
Lingkungan Hidup di Indonesia, Artikel , Universitas Sriwijaya, Maret 2020, Hal. 8.
11

2. Bagaimana implementasi Konvensi Internasional terhadap hukum

positif Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang bagaimana pengaturan tentang

sampah plastik impor menurut Konvensi Basel

2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi Konvensi Internasional

terhadap hukum positif Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian

1. Untuk menambah pengetahuan bagi penulis maupun pembaca

mengenai bagaimana pengaturan tentang sampah plastik impor

menurut Konvensi Basel

2. Sebagai sumbangan pemikiran yang diharapkan berguna bagi pembaca

dalam mengetahui bagaimana implementasi Konvensi Internasional

terhadap hukum positif Indonesia.

E. Kerangka Konseptual

1. Konsep Hukum Lingkungan

Kata lingkungan dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan

environment, dalam bahasa Belanda disebut dengan millieu, sedangkan

dalam bahasa Melayu lazim dikenal dengan sebutan alam sekitar.

Sementara lingkungan hidup adalah merupakan bagian mendasar dari

kehidupan manusia. Manusia pada dasarnya mendapat cahaya karena


12

terdapatnya ruang udara dan matahari, demikian juga kebutuhan manusia

dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.19

Menurut Pasal 1 angka 1 UUPPLH, “Lingkungan hidup adalah

kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,

termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi alam itu sendiri,

kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk

hidup lain”.

Adapun beberapa definisi para pakar mengenai Hukum

Lingkungan :

Koesnadi Hardjasoemantri, mengemukakan bahwa hukum

lingkungan di Indonesia dapat meliputi banyak aspek, seperti hukum tata

lingkungan, hukum perlindungan lingkungan, hukum kesehatan

lingkungan, dan hukum pencemaran lingkungan.

Th. G. Drupsteen, mengemukakan pengertian hukum

lingkungan (milieurecht) sebagai berikut: “Hukum Lingkungan adalah

hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam dalam arti yang seluas-

luasnya”. Dari pendapat diatas, ruang lingkup dari hukum lingkungan

sangatlah luas dan tetapi berhubungan erat antara hukum itu sendiri

dengan lingkungan.

Siti Sundari Rangkuti, berpendapat bahwa “Hukum

Lingkungan adalah hukum yang mengatur hubungan timbal balik antara

19
Mukhlish, Buku Ajar Hukum Lingkungan, Scopindo Media Pustaka, 2020, hal.
13

manusia dengan makhluk hidup lainnya yang apabila dilanggar dapat

dikenakan sanksi”.20

Asas adalah landasan kebenaran yang menjadi pokok dasar

orang berpikir, bertindak dan sebagainya. Adapun asas Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU no

32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

atau disingkat UUPPLH :

a) Tanggung jawab negara (state responsibility);

b) Kelestarian dan keberlanjutan;

c) Keserasian dan keseimbangan;

d) Keterpaduan (integration);

e) Manfaat;

f) Kehati-hatian (precaution);

g) Keadilan;

h) Ekoregion;

i) Keanekaragaman hayati;

j) Pencemaran membayar (polluters pay);

k) Partisipatif (participation);

l) Kearifan lokal (local wisdom);

m) Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance); dan

n) Otonomi daerah.21

2. Konsep Pengelolaan Sampah

20
A.M.Yunus Wahid, Pengantar Hukum Lingkungan 2𝑛𝑑𝑒𝑑, Kencana, 2018, hal. 121.
21
Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, 2020, hal. 20.
14

Pengelolaan sampah adalah pengumpulan, pengangkutan,

pengolahan, mendaur ulang, dari material sampah. Terdapat beberapa

konsep tentang sampah yang berada dalam penggunaannya, antara negara-

negara atau daerah. Beberapa yang paling umum, multikonsep yang

digunakan adalah:

a) Hierarki sampah, merujuk pada “3M” mengurangi

sampah, menggunakan kembali sampah, dan daur ulang.

b) Perpanjangan tanggung jawab penghasil sampah

(Extended Producer Responsibility). EPR adalah suatu

strategi yang dirancang untuk mempromosikan intregasi

semua biaya yang berkaitan dengan produk-produk para

produsen diseluruh siklus hidup produk tersebut ke

dalam pasar harga Produk EPR. Hal ini dimaksudkan

bagi perusahaan yang membuat, mengimpor atau

menjual produk yang diminta untuk bertanggung jawab

atas produk mereka sejak manufaktur hinga akhir dari

masa penggunaanya.

c) Prinsip pengotor membayar adalah prinsip dimana pihak

pencemar membayar dampak dari aktivitasnya ke

lingkungan. Sehubungan dengan pengelolaan limbah,

yang umumnya merujuk kepada penghasil sampah untuk


15

membayar sesuai dengan volume dan jenis sampah yang

dibuang. 22

Pengaturan mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Pasal

59 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup -

2009. Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang

mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,

pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3.

Beberapa ketentuan penting dari pasal ini adalah bahwa setiap orang yang

menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengolahan limbah B3 yang

dihasilkan. Dalam hal setiap orang yang tidak mampu melakukan sendiri

pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.23

Sebagai akibat yang timbul dari semakin banyaknya atau

meningkatnya kegiatan pembangunan di Indonesia, maka mendorong

terjadi peningkatan kapasitas bahan berbahaya dan beracun (B3) yang

dihasilkan atau dipergunakan dari berbagai sektor seperti sektor industri,

pertambangan, transportasi, pertahanan dan keamanan, pertanian, juga

kesehatan. Sampah B3 tersebut bukan saja dihasilkan dalam negeri saja

melainkan berasal dari luar negeri juga (kegiatan impor sampah), bahkan

Indonesia sendiri juga mengekspor B3 ke negara-negara tetangga lainnya.

Di masa era globalisasi ini sangatlah muda untuk dilakukannya proses

22
https://id.m.wikipedia.org/wiki/pengelolaan_sampah, Diakses Pada Tanggal 5
Desember 2020.
23
Muhammad Akib, Hukum Lingkungan Prespektif Global dan Nasional, Rajawali Pers,
Jakarta, 2014, hal. 142-143.
16

ekspor dan impor B3. Impor sampah yang terus dilakukan Indonesia yang

kurang lebih selama tiga dekade semakin meningkat dan tersebar luas

hampir ke semua sektor. Apabila dalam pengelolaannya tidak dilakukan

dengan baik, maka akan berdampak buruk terhadap lingkungan hidup.

Oleh sebab itu, agar dalam pengelolaannya tidak mencemari lingkungan,

maka harus mengutamakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan

yang sesuai dan sejalan dengan peningkatan kualitas hidup manusia dalam

setiap kegiatan pembangunannya.24

Dari berbagai instansi terkait masih banyak menemukan kendala

dalam pengelolaan B3 atau Limbah B3. Oleh sebab itu, maka dari itu

haruslah disadari betapa perlunya Peraturan Pemerintah tentang

Pengelolaan B3 secara terpadu yang meliputi kegiatan produksi,

penyimpanan, pengemasan, pemberian simbol dan label, pengangkutan,

penggunaan, ekspor, impor dan pembuangannya.25

Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 Tentang

Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun Pasal 2 menyatakan Bahwa “

Pengaturan Pengelolaan B3 bertujuan untuk mencegah dan atau

mengurangi risiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan

manusia dan makhluk hidup lainnya. Ketentuan mengenai pengelolaan B3

ini tidak semua diatur di dalam peraturan ini sebagaimana dinyatakan

dalam pasal 3 bahwa, pengelolaan B3 yang tidak termasuk dalam lingkup

24
Muhammad Sood, op.cit, hal. 336.
25
Ibid.
17

peraturan pemerintah ini adalah pengelolaan bahan radioaktif, bahan

peledak, hasil produksi tambang, serta minyak dan gas bumi dan hasil

olahannya, makanan dan minuman, serta bahan tambahan makanan

lainnya, perbekalan kesehatan rumah tangga dan kosmetika, bahan sediaan

farmasi, narkotika, psikotropika, dan prekursornya serta zat adiktif lainnya,

senjata kimia dan senjata biologi.26

3. Konsep Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara

anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan

akibat-akibat hukum tertentu. Ditinjau dari segi struktur perjanjian27

internasional dapat dibedakan dalam 2 golongan, yaitu treaty contract dan

law making treaties.

Treaty contract adalah perjanjian-perjanjian seperti suatu

kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata yang mengakibatkan hak dan

kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja,

contohnya perjanjian perbatasan dan perjanjian perdagangan. Sedangkan

law making treaties yaitu perjanjian yang meletakan ketentuan-ketentuan

atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara

keseluruhan.

Jika ditinjau dari objeknya, dapat dibedakan pembagian atas

treaty yang berisi soal-soal politik dan treaty soal-soal ekonomi, juga

perjanjian-perjanjian yang berisi soal-soal budaya. Selanjutnya jika

26
Ibid, hal, 337
27
Sukarmi dkk, op.cit, hal. 3
18

ditinjau dari segi berlakunya (validity), dapat dibagi menjadi self executing

treaty yang artinya adalah perjanjian internasional yang berlaku sesudah

diratifikasi oleh yang berwenang, dan non self executing treaty merupakan

perjanjian yang berlaku sesudah ada perundang-undangan atau legislasi

yang mengubah Undang-Undang yang berlaku di negara itu.28

Dari penjelasan diatas maka unsur atau kualifikasi dari

perjanjian internasional adalah sebagai berikut :

a. Persetujuan Internasional

Unsur persetujuan internasional (an international

agreement) yang dimaksud adalah bahwa suatu perjanjian

itu haruslah memiliki karakter internasional, dalam artian

bahwa perjanjian itu mengatur aspek-aspek hukum

internasional atau permasalahan lintas negara.

b. Subjek Hukum Internasional

Subjek hukum internasional yang dimaksudkan adalah

subjek-subjek hukum internasional yang terikat pada

perjanjian. Dalam perjanjian internasional yang tertutup dan

substansinya lebih bersifat teknis, dalam perjanjian bilateral

atau multilateral terbatas, pihak-pihak yang melakukan

perundingan adalah pihak-pihak yang terikat perundingan.

Sedangkan pada perjanjian internasional yang bersifat

terbuka dan substansinya mengenai masalah-masalah yang

28
Sukarmi dkk, op.cit, hal 4
19

bersifat umum, maka antara pihak-pihak yang melakukan

perundingan dengan pihak-pihak yang terikat pada

perjanjian internasional tersebut belum tentu sama.29

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan Permasalahan diatas maka penulisan ini

menggunakan jenis penelitian “Yuridis Normatif”. Yaitu penelitian

tentang kaidah-kaidah atau norma-norma, konsep-konsep, asas-asas

hukum serta peraturan perundang-undangan, yang berhubungan

dengan permasalahan yang diteliti.

2. Tipe Penelitian

Dalam Penelitian ini yang digunakan penulis adalah tipe

penelitian hukum normatif karena penelitian yang meneliti masalah

dari suatu kasus dengan mempelajari sumber-sumber atau bahan

tertulis berupa buku, jurnal, maupun artikel yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti.

3. Pendekatan Masalah

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.

Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi

dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari

29
Sukarmi dkk, op.cit, hal. 5
20

jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam

penelitian hukum adalah30 :

1. Pendekatan Undang-Undang (statue approach)

2. Pendekatan Kasus (case approach)

3. Pendekatan Historis (historical approach)

4. Pendekatan Komparatif (comparative approach)

5. Pendekatan Konseptual (conceptual approach)

Pendekatan yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan

kepada pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual,

dan pendekatan kasus. Pendekatan undang-undang

dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi

yang berhubungan dengan isu yang sedang diteliti.

4. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder :

1. Bahan hukum primer adalah

a) Peraturan Perundang-undangan:

1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang


Pengelolaan Sampah.
2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Perdagangan.

30
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
2008, hal. 93.
21

4) Peraturan Menteri Dagang Nomor 36/ MDAG/


PER/ 7/ 2013 tentang Ketentuan Impor Bahan
Baku Plastik beserta perubahannya.
5) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun
2019 Tentang Ketentuan Impor Limbah Nonbahan
Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku
Industri.
6) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1993
tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan
dan Penggunaan Pestisida.
7) Peraturan pemerintah Nomor 18 tahun 1999
tentang Pengaturan Pengelolaan Limbah B3.
8) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001
Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan
Beracun.
9) Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2005 Tentang
Pengesahan Amandemen Konvensi Basel Tentang
Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun.
10) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun.
11) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61
tahun 1993 Tentang Pengesahan Basel Convention
On The Control Of Transboundary Movements Of
Hazardous Wastes And Their Disposal.
b) Konvensi-Konvensi Internasional:

1) Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum


Perjanjian Internasional yang mengatur tentang
perjanjian antara negara dengan negara.
2) Konvensi Wina tahun 1986, yaitu perjanjian antar
negara dengan organisasi internasional.
3) Konvensi Basel tahun 1989 tentang Pengawasan
Perpindahan lintas Batas Limbah Berbahaya dan
Pembuangannya.
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang tidak

mengikat namun menjelaskan mengenai bahan hukum primer

yang merupakan hasil dari pendapat atau pikiran para pakar


22

atau para ahli. Yang dimaksudkan dengan bahan sekunder

disini adalah buku-buku, jurnal, artikel, dan lain-lain.

5. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum primer dan sekunder dikumpulkan untuk

memperoleh informasi yang objektif juga akurat, baik dari buku,

undang-undang, maupun internet. Kemudian disusun berdasarkan

subjek dan dikelompokkan sesuai dengan isu hukum yang dikaji.

6. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum

Bahan hukum yang telah dikumpulkan dan dikelompokkan

dengan menggunakan pendekatan Undang-undang dan Konvensi-

konvensi internasional, kemudian disinkronkan dengan konsep dan

prinsip hukum yang dipelajari untuk dianalisis secara normatif untuk

menjawab isu hukum yang dikaji bertumpu pada pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai