Anda di halaman 1dari 4

Disiplin ilmiah, gaya jurnalistik

Kemesraan Rusia-Cina: membaca misi Putin dalam memperluas


pengaruh di Asia
Diterbitkan: Juni 30, 2023 10.30am WIB

Jonathan Jordan
Research Fellow, Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS)

 
Alih bahasa

English
Bahasa Indonesia

Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) dan Presiden Cina Xi Jinping.


plavi011/Shutterstock

Presiden Cina Xi Jinping mengunjungi Moskow untuk menemui Presiden Rusia Vladimir Putin pada
20-22 Maret 2023. Kunjungan ini dilakukan hanya beberapa hari pasca terbitnya surat perintah
Mahkamah Pidana Internasional terkait penangkapan Putin atas dugaan kejahatan perang di
Ukraina.

Seakan tak terpengaruh perintah tersebut, saat bertemu Putin, Xi menekankan pentingnya hubungan
Rusia-Cina untuk membentuk tatanan multipolar dan membatasi dominasi Barat. Multipolaritas
adalah suatu konsep dalam hubungan internasional yang menggambarkan terdistribusinya
kekuasaan dan pengaruh politik, ekonomi, dan militer secara merata di antara beberapa negara atau
pusat kekuatan utama dalam sistem global.
Kunjungan Xi membalas kunjungan Putin ke Beijing tahun lalu menjelang Olimpiade Musim Dingin.
Saat itu, keduanya menandatangani kemitraan “tanpa batas”. Sejak invasi Rusia ke Ukraina dan
sanksi bertubi-tubi dari negara-negara Barat terhadap Rusia, Cina menjadi mitra ekonomi yang
sangat penting – bahkan terbesar – bagi Rusia. Tercatat nilai perdagangan Rusia-Cina tahun 2022
sebanyak US$190 miliar (Sekitar Rp 2.858 triliun).

Sejarah kedekatan Rusia-Cina dan misi multipolarisasi

Secara historis, kedekatan Rusia dan Cina saat ini merupakan konsekuensi rekonsiliasi diplomatik
kedua negara sejak berakhirnya Perang Dingin pada akhir 1980-an. Tahun 1996, para pemimpin
kedua negara saat itu, Presiden Boris Yeltsin dan Presiden Jiang Zemin, menandatangani “kemitraan
strategis untuk dunia multipolar” dan kedekatan ini dilanjutkan oleh para penerus mereka.

Ada beberapa kesamaan yang mendorong kedekatan mereka.

Pertama, kekecewaan dan kekhawatiran keduanya terhadap hegemoni (dominasi satu negara
terhadap tatanan global) Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). Hal ini tampak dalam kritik mereka
terhadap promosi demokrasi liberal dan intervensionisme Barat yang dianggap ancaman oleh Rusia
dan Cina.

Kedua, baik Rusia maupun Cina aktif mengembangkan hubungan dengan kawasan non-Barat, seperti
Afrika dan Amerika Latin, untuk membangun alternatif terhadap hegemoni Barat dan
mempromosikan mereka sebagai model yang “menarik” ketimbang Barat.

Ketiga, terlepas perbedaan rasial keduanya, baik Rusia dan Cina menempatkan kebanggaan terhadap
budaya, tradisi dan sejarah masing-masing yang kaya sebagai pondasi patriotisme, sehingga tidak
mengejutkan jika kedua negara membawa penghormatan terhadap kekayaan dan keragaman budaya
dalam kebijakan luar negeri mereka.

Keempat, memburuknya hubungan Rusia dan Barat sejak aneksasi Krimea (2014) dan invasi skala
penuh ke Ukraina yang berujung pada penerapan sanksi ekonomi dalam skala besar membuat Rusia
melihat Cina sebagai satu-satunya raksasa ekonomi yang bisa menghadirkan peluang untuk
menanamkan pengaruhnya ke Asia-Pasifik.

Baca juga: Kebangkitan Cina sebagai negara adidaya: Apa dampaknya bagi
Indonesia, Asia dan tatanan global?

Dalam dokumen kebijakan luar negerinya, Rusia melihat Asia sebagai kawasan yang dinamis dengan
kekuatan ekonomi dan demografinya, serta melihat pentingnya Asia pasca berakhirnya ‘Barat-
sentrisme’ alias dominasi Barat dalam hubungan internasional.

Faktanya, negara-negara besar di Asia seperti Cina, India, Pakistan, dan Indonesia tidak menjatuhkan
sanksi terhadap Rusia. Sikap Asia yang tidak sekuat Barat dalam mengurangi kerja sama dengan
Rusia pasca invasi ke Ukraina ini semakin meningkatkan nilai tambah Asia bagi Rusia.
Sementara, Asia melihat Rusia sebagai alternatif di tengah potensi bipolaritas (dua kutub dengan
kekuatan seimbang dalam sistem global) AS-Cina di kawasan agar Asia mempunyai lebih banyak
pilihan mitra dan tidak terjebak pada persaingan keduanya.

Meskipun tidak sekuat AS dan Cina, Rusia bisa menawarkan manfaat yang cukup banyak bagi Asia,
seperti kerja sama pertahanan melalui ekspor alutsista (alat perang) dan latihan militer dengan
berbagai negara Asia, serta kerja sama energi dengan meningkatkan ekspor minyak dan gas Rusia ke
Asia pasca sanksi Uni Eropa terhadap Rusia.

Rusia memiliki cukup banyak proyek energi di Asia, seperti kilang minyak di Indonesia (tepatnya
Tuban) dan Vietnam, serta pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Cina, India dan
Bangladesh. Rusia juga ikut dalam berbagai forum Asia, seperti East Asia Summit (EAS), ASEAN
Regional Forum (ARF) dan ASEAN Defence Ministers Meeting Plus (ADMM+) serta cukup rutin
membahas kerja sama keamanan, seperti kontraterorisme dan keamanan siber.

Peran Cina untuk misi Rusia

Dalam strategi Rusia mendekati Asia, Cina mempunyai peran penting sebagai kekuatan politik,
ekonomi dan diplomatik di kawasan. Cina merupakan salah satu penerima alutsista terbesar dari
Rusia dan sejak invasi Rusia ke Ukraina dan telah menjadi konsumen besar bagi produksi minyak
dan gas Rusia, terutama melalui pipa Power of Siberia.

Selain itu, Rusia juga menghubungkan proyek integrasinya dengan Cina, seperti melalui BRICS (yang
terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan), Uni Ekonomi Eurasia (EAEU), Organisasi
Kerja Sama Shanghai (SCO), dan ASEAN dalam konsep Greater Eurasian Partnership yang pertama
disuarakan Putin tahun 2016.

Tantangan dalam hubungan Rusia-Cina

Terlepas dari kedekatannya, hubungan Rusia-Cina memiliki beberapa tantangan.

Pertama, meskipun hubungan Rusia-Eropa memburuk, Eropasentrisme tetap kuat di Rusia, terutama
karena kedekatan kultural dan sejarah.

Pembangunan di Rusia juga masih berfokus pada Eropa, dengan wilayah timur Rusia cenderung
stagnan dan mengalami krisis demografi ketika negara-negara Asia Timur ekonominya berkembang
pesat.

Kedua, ada kekhawatiran dominasi ekonomi Cina dan potensi Rusia menjadi terlalu bergantung pada
Cina. Isolasi yang dihadapi Rusia dan kebangkitan Cina dapat membuat Cina memegang dominasi
dalam hubungannya dengan Rusia, terlebih jika melihat Rusia tidak punya pilihan selain bergantung
pada Cina. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memicu kekhawatiran di wilayah timur jauh Rusia,
terutama jika semakin banyak warga Cina yang bekerja di sana dan menghadirkan gesekan sosial.
Ketiga, sejauh mana Cina “membela” Rusia juga patut diperhatikan. Pada Paralimpiade Beijing,
Komite Olimpiade Internasional (IOC) mendiskualifikasi atlet Rusia dari keikutsertaan karena invasi
Rusia ke Ukraina, dan tidak ada protes atau ketidaksetujuan yang terlihat dari panitia lokal atau
pejabat Cina. Padahal, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, saja pernah menyebut “semua negara,
termasuk yang sedang berperang” harus bisa ikut Olimpiade Paris 2024, yang diyakini berpengaruh
pada rencana IOC mengizinkan keikutsertaan Rusia di Paris meskipun di bawah bendera netral.

Dari dinamika dan tantangannya, dapat dilihat hubungan Rusia-Cina adalah salah satu kalkulasi
penting dalam geopolitik kawasan, mengingat ukuran dan pengaruh kedua negara yang besar.

Dampak hubungan kedua negara akan menarik dikaji negara-negara di kawasan, termasuk
Indonesia, sebagai negara yang bertekad menjadi kekuatan menengah di kawasan. Indonesia perlu
memperhitungkan hubungannya dengan Rusia dan Cina secara cermat.

Penting bagi Indonesia untuk menjaga hubungan baik serta mencari peluang-peluang kerja sama
yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan dan kepentingan nasionalnya. Namun, di saat yang sama,
penting juga bagi Indonesia untuk menjaga prinsip-prinsip kebijakan luar negerinya ketika
berhubungan dengan kedua negara, terutama terkait integritas teritorial dan nilai kedaulatan.

Anda mungkin juga menyukai