Anda di halaman 1dari 34

Pengaruh Moscow as the Third Rome Sebagai Sistem Simbol Rusia

Pada Masa Pemerintahan Vladimir Putin Dalam Agresi Militer


Rusia Di Ukraina Tahun 2014

YUKKO WAHYU RISBIAWAN


105120400111048

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
ABSTRAK

Pengaruh Moscow as the Third Rome Sebagai Sistem Simbol Rusia Pada
Masa Pemerintahan Vladimir Putin Dalam Agresi Militer Rusia Di Ukraina
Tahun 2014

Agresi militer Rusia di Ukraina pada tahun 2014 menunjukan bahwa


arsitektur keamanan dunia internasional dihadapkan dengan jurang konflik
permanen. Pada era imperial dan Uni Soviet, kebijakan luar negeri Rusia yang
cenderung militeristik pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh legenda pewaris
tahta keagamaan yaitu ide Moscow as the Third Rome. Ide yang menjadi simbol
superioritas budaya dan bangsa Rusia atas negara negara Kristen lainnya.
Sebagai culture keeper, Vladimir Vladimirovich Putin berupaya membangkitkan
kembali ide Moscow as the Third Rome ditengah narasi pengadopsian budaya
barat oleh Rusia pasca hancurnya bipolaritas.
Kata kunci: Rusia, Ukraina, Putin, Moscow as the Third Rome, Budaya Strategis,
Sistem Simbol.

i
DAFTAR ISI

ABSTRAK .......................................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................................. iii
BAB I.................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 4
1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian............................................................................................ 4
BAB II ................................................................................................................................ 5
KERANGKA PENELITIAN ........................................................................................... 5
2.1 Studi Terdahulu ................................................................................................ 5
2.2 Kajian Teori ...................................................................................................... 9
2.2.1 Budaya Strategis ....................................................................................... 9
2.3 Definisi Operasional........................................................................................ 15
2.3.1 Moscow As The Third Rome................................................................... 15
2.4 Alur Pemikiran................................................................................................ 22
2.5 Argumen Utama.............................................................................................. 23
BAB III............................................................................................................................. 24
METODE PENELITIAN............................................................................................... 24
3.1 Jenis Penelitian................................................................................................ 24
3.2 Ruang Lingkup Penelitian.............................................................................. 24
3.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 24
3.4 Teknik Analisis Data....................................................................................... 25
3.5 Sistematika Penulisan..................................................................................... 29

ii
DAFTAR SINGKATAN

AS : Amerika Serikat
BBC : British Broadcasting Corporation
CIS : Commonwalth Independent States
CNN : Cable News Network
CPSU : Communist Party of the Soviet Union
CSTO : Collective Security Treaty Organization
EU : European Union
EurAsEC : Eurasian Economic Community
FRD : Federal Research Division
FSB : Federalnaya Sluzhba Bezopasnosti
HAM : Hak Asasi Manusia
IMF : International Monetary Fund
KGB : Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti
NATO : North Atlantic Treaty Organization
NEP : New Economic Policy
New START : Strategic Arms Reduction Treaty
NMD : National Missile Defence
ROC : Russian Orthodox Church
ROCOR : Russian Orthodox Church Outside Russia
RSDLP : Russian Social Democratic Labour Party
RT : Russia Today
UE : Uni Eropa
USA : United States of America
USSR : Union of Soviet Socialist Republics

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dinamika politik di belahan dunia Eropa khususnya Eropa Timur kembali

terguncang oleh campur tangan Rusia terhadap krisis Ukraina. Enam tahun berlalu

setelah berakhirnya Perang Georgia Rusia, pada tahun 2014 Rusia kembali

bertindak agresif dengan mengerahkan kekuatan militer ke Semenanjung Crimea.

Seperti Georgia yang kehilangan Abkhazia dan Ossetia Selatan, Ukraina juga

harus menelan pil pahit karena hasil referendum menyatakan Crimea dan

Sevastopol memilih bergabung dengan Federasi Rusia (White & Popeski, 2014).

Akibat dari peristiwa peristiwa tersebut, kini dunia dihadapkan dengan realitas

baru bahwa perang merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam hubungan

internasional. Tidak hanya itu, tindakan Rusia dengan mengambil alih sebagian

wilayah Georgia dan Ukraina semakin menghidupkan euforia pengembalian

wilayah Union of Soviet Socialist Republics (USSR) oleh Rusia atas negara

negara Commonwalth Independent States (CIS).

Layaknya negara agresor, Rusia telah mendapat berbagai kecaman,

ancaman, maupun sanksi dari dunia internasional. Diantaranya European Union

(EU) dan United States of America (USA) membekukan aset serta larangan visa

terhadap pihak-pihak yang dianggap terlibat dalam reunifikasi Crimea dan Rusia

maupun krisis Ukraina (BBC, 2014). Sikap dunia internasional dapat dikatakan

1
wajar mengingat agresi militer Rusia merupakan ancaman serius bagi stabilitas

Eropa serta lebih luas lagi bagi stabilitas global (Rumer dkk, 2016). Selain itu,

tindakan Rusia menjadi lebih berbahaya karena Moscow secara terang - terangan

melanggar Budapest Memorandum on Security Assurances (Budjeryn, 2014).

Dalam menanggapi berbagai kritik terhadap negaranya, Putin mengatakan

bahwa pengerahan angkatan bersenjata Rusia di Ukraina memiliki kekuatan

hukum legal karena sebelumnya mantan presiden Ukraina telah mengirim surat

yang meminta bantuan militer Rusia untuk menekan pemberontakan di Ukraina

(RT, 2014). Tidak hanya itu, kebijakan tersebut juga diambil atas dasar solidaritas

terhadap warga berbahasa Rusia, adanya kesamaan budaya yang bersumber dari

nilai nilai Ortodoks serta karena Rusia merupakan satu-satunya negara kuat dan

stabil yang mampu menyelamatkan Crimea (Putin, 2014).

Dilihat dari konsekuensi yang harus diterima Rusia seperti sanksi dari

dunia internasional, maka terlihat mustahil jika Rusia ngotot mengagresi Ukraina

hanya berdasar alasan alasan budaya dan superioritas negara. Namun jauh

sebelum Rusia modern saat ini, kebijakan luar negeri Rusia baik di era kekaisaran

maupun Uni Soviet pada dasarnya sangat dipengaruhi gagasan Moscow as the

Third Rome atau Moscow sebagai Roma Ketiga. Pada periode imperial gagasan

tersebut menjadi alasan kekaisaran Rusia untuk memperluas wilayah jajahan.

Sedangkan di era Uni Soviet, meskipun keagamaan tidak begitu mendapat tempat,

ide Moscow sebagai Roma Ketiga tetap mempengaruhi kebijakan luar negerinya.

Hal itu terimplementasikan kedalam misi Uni Soviet untuk menyebarluaskan nilai

- nilai keadilan dan kesejahteraan di bawah slogan world revolution (Ermarth

2
dalam Johnson dkk, 2009, h. 88). Penting untuk diketahui bahwa selain upaya

upaya diplomasi, kekuatan militer merupakan sarana efektif dalam mencapai dan

melindungi ide ide tersebut (Ermarth dalam Johnson dkk, 2009, h. 88).

Perlu diketahui bahwa pada dasarnya perubahan dramatis pada sistem

internasional mampu memunculkan kembali atau mengganti nilai nilai yang

lama melekat di alam bawah sadar masyarakat suatu negara (Chen & Chen, 2006).

Hancurnya bipolaritas secara tidak langsung menuntut Rusia untuk merubah

kebijakan luar negerinya dimana hal tersebut mengakibatkan perubahan nilai

nilai yang dianut masyarakat Rusia. Seperti aspek militer yang tidak lagi

diutamakan Rusia untuk mencapai kebijakan luar negerinya (FAS, 1993). Seperti

runtuhnya Uni Soviet yang merubah kepercayaan masyarakat Rusia agar menjadi

negara normalmisanya dengan mengadopsi nilai nilai demokrasi, adanya

intervensi Amerika Serikat dan negara negara North Atlantic Treaty

Organization (NATO) di Yugoslavia serta munculnya anggapan hilangnya status

Rusia di kancah internasional dikalangan elit Rusia dianggap sebagai momentum

yang memaksa memunculkan kembali ide imperial yaitu Moscow as the Third

Rome (Ermarth dalam Johnson dkk, 2009, h. 93).

Berdasarkan data-data diatas penulis menyimpulkan bahwa terdapat

urgensi kembalinya ide Moscow as the Third Rome dalam kebijakan keamanan

Rusia. Hal tersebut juga semakin menguatkan penulis untuk menggunakan konsep

budaya strategis sebagai pisau analisis dalam melakukan penelitian. Menurut

budaya strategis bahwasannya suatu negara memiliki kepercayaan bersama yang

mampu mempengaruhi kebijakan keamanan negara. Berdasarkan pemaparan

3
diatas penulis mengambil judul penelitian Peran Moscow As The Third Rome

Sebagai Sistem Simbol Rusia Pada Masa Pemerintahan Vladimir Putin Dalam

Agresi Militer Rusia Di Ukraina Tahun 2014.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh Moscow as the Third Rome sebagai sistem simbol

Rusia pada masa pemerintahan Vladimir Putin dalam agresi militer Rusia di

Ukraina tahun 2014?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

Mendeskripsikan bagaimana Moscow as the Third Rome sebagai

sistem simbol Rusia pada masa pemerintahan Vladimir Putin

mempengaruhi agresi militer Rusia di Ukraina tahun 2014?

1.4 Manfaat Penelitian

Menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang hubungan

internasional mengenai kebijakan keamanan suatu negara

khususnya agresi militer Rusia di Ukraina berdasarkan konsep

budaya strategis.

Pengaplikasian konsep budaya strategis.

4
BAB II

KERANGKA PENELITIAN

2.1 Studi Terdahulu

Untuk menjawab rumusan masalah yang telah penulis paparkan, maka

penulis perlu melakukan rujukan terhadap penelitian terdahulu yang berfungsi

sebagai referensi bagi penelitian ini. Sangat jarang atau sulit ditemukan penstudi

yang menganalisis agresi militer Rusia di Ukraina menggunakan konsep budaya

strategis, bahkan penggunaan budaya strategis sebagai alat analisis dalam

mendeskripsikan dimensi keamanan negara. Oleh karena itu, untuk membantu

dalam pengembangan penelitian ini penulis akan menentukan sember acuan

dengan posisi yang berbeda.

Studi terdahulu pertama yang digunakan penulis yaitu tulisan dari Kanti

Bajpai yang berjudul Indian Strategic Culture. Dalam tulisannya, Bajpai

mencoba menggambarkan budaya strategis India selama periode pasca Perang

Dingin. Dengan berakhirnya Perang Dingin setidaknya terdapat tiga pemikiran

yang mendominasi di kalangan intelektual India yaitu Nehruvianism,

Neoliberalism, Hyperralism. Ketiga perspektif tersebut digunakan oleh Bajpai

sebagai pembentuk asumsi dasar strategic environment budaya strategis yang

berupa peran perang dalam hubungan manusia, asal musuh dan bentuk ancaman,

serta efisiensi penggunaan kekuatan militer. Setelah mengetahui asumsi dasar

strategic environment dari tiga pemikiran itu, Bajpai kemudian

5
mengkorelasikannya dengan perilaku India terkait strategi keamanan dari tiga

pemerintahan yang berbeda (Bajpai dalam Chambers, 2002).

Asumsi dasar dari nehruvianism terkait strategic enviroment yaitu bahwa

negara dan masyarakat dapat memahami satu sama lain, akan tetapi sistem

internasional tanpa otoritas supranasional akan menimbulkan ancaman perang dan

negara harus menjaga diri mereka sendiri. Nehruvian percaya bahwa anarki dapat

dimimalisir dengan penggunaan hukum dan lembaga internasional, negosiaasi,

kompromi, kerjasama, serta kebebasan dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan

dalam melihat peran kekauatan militer, Nehruvian melihat bahwa kekuatan militer

sebagai alat pemusnah hanya akan memiskinkan masyarakat secara material.

Nehruvian juga melihat bahwa musuh bukanlah sesuatu yang permanen.

Permusuhan terjadi karena ketidakpahaman dua pihak sehingga penting untuk

menjalin komunikasi antar pemerintah bukan dengan penggunaan kekuatan

militer untuk mengakhiri sebuah konflik (Bajpai dalam Chambers, 2002, h. 35).

Neoliberalism menerima karakteristik yang sama seperti nehruvianism

dimana perang merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam hubungan

internasional. Neoliberalism melihat bahwa negara tidak hanya mengejar kekuatan

militer tetapi juga kesejahteraan ekonomi dan pada akhirnya kekuatan ekonomi

menjadi dasar kekuatan militer. Disamping itu, kekuatan ekonomi juga dapat

menggantikan dominasi kekuatan militer sebagai cara mencapai tujuan. Dengan

demikian, situasi tersebut menciptakan sebuah kondisi dimana kekuatan militer

bukanlah instrumen utama keamanan negara. Dan yang paling penting yaitu

kekuatan ekonomi dan kesejahteraan hanya mampu diciptakan dengan pasar bebas

6
dan perdagangan yang saling menguntungkan. Dalam konsepsi neoliberal,

permusuhan dan ancaman diproduksi oleh dua faktor fundamental yaitu

kesalahpahaman dan kompetisi militer dimana keduanya sama sekali tidak

mendukung globalisasi ekonomi (Bajpai dalam Chambers, 2002, h. 37 40).

Yang terakhir yaitu hyperrealism yang menyimpulkan bahwa cara paling

pasti mencapai perdamaian dan stabilitas adalah melalui akumulasi kekuatan

militer dan kemauan untuk menggunakannya. Menentang nehruvianism dan

liberalism, hyperrealism melihat bahwa dengan penggunaan kekuatan militer

maka negara dapat membangun ekonomi dan masyarakat yang kuat.

Hyperrealism beranggapan negara adalah entitas yang tidak punya teman

permanen. Siapapun dapat menjadi musuh dan negara harus mempersiapkan

perang untuk mencapai kepentingan nasional serta demi kelangsungan hidup.

Dengan melihat sejarah internal negara, konflik Pakistan dan China, serta

pengelolaan senjata nuklir India dengan Amerika Serikat di tiga era pemerintahan

pasca Cold War, Bajpai menyimpulkan bahwa perilaku kebijakan keamanan India

cenderung dipengaruhi oleh pandangan nehruvianism dan neoliberalism (Bajpai

dalam Chambers, 2002, h. 42 - 68).

Terdapat persamaan dan perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian

Bajpai. Persamaannya yaitu pada penggunaan konsep budaya strategis dari

Alastair Iain Johnston sebagai pisau analisis. Perbedaanya terletak pada negara

yang diteliti serta pengaruh budaya strategis terhadap level operasionalisasi

strategi keamanan. Penulis mengkaji bagaimana pengaruh budaya strategis Rusia

terhadap agresi militer Rusia di Ukraina pada masa pemerintahan Vladimir Putin.

7
Sedangkan Bajpai mengkaji negara India dengan mengklasifikasikan pembentuk

asumsi dasar terkait strategic environment berdasarkan perspektif nehruvianism,

liberalism, serta hyperrealism. Berdasarkan tiga perspektif tersebut Bajpai

kemudian menyelaraskannya dengan sejarah India setelah runtuhnya bipolaritas.

Studi terdahulu selanjutnya yaitu tulisan dari Andreas M. Bock, Ingo

Henneberg, dan Friedrich Plank yang berjudul If You Compress The Spring, It

Will Snap Back Hard: The Ukrainian Crisis And The Balance Of Threat Theory.

Dalam tulisan itu, penulis menjelaskan perilaku agresif Moscow terhadap krisis

Ukraina menggunakan teori Balance of Threat dari Stephen M. Walt yang

mempunyai gagasan bahwa perilaku negara tidak hanya ditentukan oleh jumlah

kekuatan melainkan juga dipengaruhi oleh ancaman yang dirasakan oleh negara

atau aliansi itu sendiri. Rusia dalam kasus ini dikatakan mendapat ancaman dari

superioritas kebijakan Amerika Serikat (AS) dan The North Atlantic Treaty

Organization (NATO) yang mengarah pada keamanan Rusia. Bentuk kebijakan

kebijakan tersebut yaitu tidak diertimbangkannya penolakan Rusia atas intervensi

Kosovo yang notabene Serbia merupakan sekutu Rusia, Perang Irak yang

mengikutsertakan negera negara Eropa Timur terlepas dari keberatan Rusia,

Perancis, dan Jerman, intervensi di Libya yang menggunakan NATO sebagai alat

memperpanjang mandat PBB, dukungan terhadap Georgia dan kritik terhadap hak

asasi manusia di Kaukasus, ekspansi Uni Eropa (UE) khususnya NATO di Eropa

timur, serta proyek AS berupa National Missile Defence (NMD) dan sistem

pertahanan rudal dari NATO (Bock dkk, 2015, h. 2 - 15).

8
Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian penulis terletak pada

penggunaan teori. Studi terdahulu kedua menggunakan teori Balance of Threat

dari Stephen M. Walt sedangkan penulis menggunakan konsep budaya strategis

dari Alastair Iain Johnston. Sedangkan persamaannya terletak pada fenomena

yang diteliti yaitu sama sama mengkaji perilaku Rusia dalam krisis yang terjadi

di Ukraina pada tahun 2014.

2.2 Kajian Teori

2.2.1 Budaya Strategis

Munculnya konstruktivisme diranah Hubungan Internasional

mempunyai dampak tersendiri terhadap menguatnya budaya sebagai kunci

untuk memahami perilaku negara. Tidak seperti rasionalis yang menekankan

pada peran kognitif individu, konstruktivis menekankan pada dimensi sosial

yang didalamnya terdapat intersubjektivitas yang terbentuk diantara individu.

Intersubjektivitas tidak hanya sekedar agregasi keyakinan individu namun

berdiri sendiri sebagai collective knowledge (Adler, 1997, h. 326). Selain itu,

berbeda dari pemikiran liberal dan realis yang menganggap identitas negara

merupakan sesuatu yang given, konstruktivis melihat bahwa identitas negara

dibentuk oleh intersubjektivitas melalui interaksi yang terjadi diantara para

aktor. Konstruktivis mengangap apabila terjadi perubahan perilaku negara,

pada dasarnya perubahan tersebut bisa dipengaruhi oleh identitas negara itu

sendiri. Dan setiap terjadi perubahan perilaku menandakan aktor telah

mendefinisikan ulang intersubjektivitas diantara mereka (Baylis & Smith,

9
2001, h. 242). Oleh karena itu, pentingnya kajian yang fokus terhadap

intersubyektifitas antar aktor, bagaimana intersubyektifitas membentuk

indentitas dan perilaku negara yang berbeda satu sama lain tergantung

bagaimana mereka mendefinisikan diri mereka dan negara lain merangsang

peniliti budaya strategis untuk memasukan aspek aspek seperti nilai, norma,

mauun budaya sebagai kajian dalam meneliti kebijakan suatu negara.

Kebanyakan peneliti strategi keamanan menggunakan istilah

budaya baik secara implisit maupun eksplisit mengarah pada definisi

negara memiliki perbedaan preferensi strategis yang berakar pada

pengalaman, dan dipengaruhi oleh filsafat, politik, budaya, serta kognitif para

elit negara (Johnston, 1995, h. 33-34). Budaya strategis tergolong konsep

baru di dalam ranah Hubungan Internasional dan dapat dibedakan menjadi

tiga generasi. Generasi pertama budaya strategis muncul di era1980-an yang

sebagian besar berupaya menjelaskan mengapa Soviet dan Amerika berbeda

dalam strategi nuklir (Johnston, 1995, h. 36). Colin Gray dan David Jones

berpendapat bahwa perbedaan tersebut disebabkan karena variasi unik dari

tiga elemen macro environmental level yang berupa geografis, karakter

ethno cultural, dan sejarah. Meskipun fokus pada budaya dan strategi,

generasi pertama memiliki dua kelemahan. Pertama, konsep budaya strategis

sangat sulit digunakan ketika teknologi, geografi, budaya dan tradisi

organisasi, budaya politik, karakter nasional, psikologi politik, ideologi,

bahkan struktur sistem internasional dianggap relevan dalam budaya strategis.

Kedua, yaitu permasalahan hubungan antara budaya strategis dan perilaku.

10
Selain itu pertanyaan terkait perubahan budaya strategis juga belum terjawab

(Johnston,1995, h. 37).

Pada pertengahan tahun 1980-an muncul generasi kedua yang

mampu mengidentifikasi budaya strategis dimana dibentuk dari berbagai

pengalaman sejarah. Generasi ini juga dapat menganalisis budaya strategis

sebagai instrumen perilaku negara yang dibuat oleh pembuat kebijakan

(Johnston, 1995, h. 39). Meskipun generasi kedua telah menunjukan

hubungan dialektis antara budaya strategis dan perilaku termasuk elit yang

dibatasi oleh symbolic myths yang diciptakan oleh pendahulu mereka,

generasi kedua tidak mampu menjawab kunci permasalahan yaitu hubungan

antara symbolic discourse-strategic culture-behaviour. Tidak hanya itu,

permasalahan lain terkait literatur manakah yang dapat menunjukan wacana

dan bahasa simbolik tertentu yang mempengaruhi perilaku negara juga belum

jelas (Johnston, 1995, h. 40).

Selanjutnya, generasi ketiga muncul pada tahun 1990an yang fokus

pada konseptualisasi ideasional seperti military culture, political-military

culture, dan organizational culture sebagai variabel independen dan

keputusan strategis sebagai variabel dependen. Namun permasalahan dari

generasi ini yaitu disaat krisis kebijakan luar negeri, terkadang individu

biasanya membuat keputusan strategis. Jika individu tidak mencerminkan

nilai-nilai militer atau budaya strategis maka hal tersebut melemahkan

hubungan antara nilai-nilai dan perilaku karena hubungan tersebut dimediasi

11
oleh individu, bukan sepenuhnya oleh budaya itu sendiri (Johnston, 1995, h.

41-42).

Dengan berbagai kelemahan dari tiga generasi sebelumnya

kemudian Alastair Iain Johnston berupaya merekonstruksi konsep budaya

strategis dengan tujuan untuk menjelaskan strategi penelitian yang secara

kredibel dapat mengukur dampak dari budaya strategis terhadap proses

pembuatan kebijakan keamanan. Johnston mendefinisikan budaya strategis

sebagai berikut,

Strategic culture is an integrated system of symbols (e.g.


argumentation, structures, languages, analogies, metaphors) which
acts to establish pervasive and long lasting strategic preferences by
formulating concepts of the role and efficacy of military force in
interstate political affairs, and by clothing these conceptions with
such an aura of factuality that the strategic preferences seem
uniquely realistic and efficacious. (Johnston, 1995, h.46).

Dengan kata lain budaya strategis adalah integrasi sistem simbol

misalnya analogi dan metafora yang secara utuh dan berkesinambungan

menjadi formula dalam merumuskan strategi keamanan dan hubungan politik

suatu negara. Budaya strategis sebagai system of symbol terdiri dari dua

hal. Pertama, terdiri dari asumsi dasar tentang keteraturan lingkungan

strategis (orderliness of the strategic enviroment) yang mencakup peran

perang dalam hubungan manusia (frequency of conflict in human affairs)

menyimpang atau tak terelakan, sifat musuh dan bentuk ancaman (zero-sum

nature of conflict) zero-sum atau variable sum, keefektifan penggunaan

kekuatan militer untuk mendapatkan hasil dan melenyapkan ancaman, serta

kondisi ketika pengaplikasian kekuatan militer memiliki nilai guna (efficacy

of violence). Kedua terdiri dari asumsi dasar tetang pilihan strategi (strategic

12
options) yang berupa hard realpolitik atau soft idealpolitik. Bagaimana

hubungan antara orderliness of the strategic enviroment dan strategic options

dapat dilihat melalui gambar dibawah ini.

Gambar 1 The Central Paradigm of a Strategic Culture

Sumber: Alastair Iain Johnston, Thinking About Strategic Culture, The MIT

Press, 1995, h. 47.

Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa ketika ketiga asumsi

dasar tentang keteraturan lingkungan strategis semakin tinggi maka negara

akan memilih strategi hard realpolitik. Sebaliknya ketika ketiga asumsi

semakin rendah maka pilihan strategi yaitu soft idealpolitik atau cenderung

akomodis (Johnston, 1995, h. 47).

Johnston juga mengemukakan bahwa budaya strategis memberikan

batasan terhadap aktor atau pembuat keputusan dalam mengambil tindakan.

13
Batasan tersebut seiring dengan proses rasionalitas sejarah, analogi, dan

metafora sebagai petunjuk batasannya (Johnston, 1995, h.34) Objek kajian

dalam budaya strategis lebih mengarah pada jejak budaya strategis yang

merupakan acuan sejarah sebuah kebijakan strategis suatu negara meliputi

tulisan, debat, gagasan, dan kata-kata. Objek tersebut dapat dilacak jejaknya

hingga pengaruhnya terhadap perilaku yang lebih spesifik (Johnston, 1995, h.

49).

Terdapat tiga langkah sebelum melakukan analisa pengaruh budaya

strategis terhadap perilaku. Pertama, menguji keberadaaan dan keselarasan

objek analisis dalam jangka waktu formatif. Kedua, menguji keberadaan dan

kesesuaian sampel misalnya dokumen dalam periode yang diteliti dan periode

formatif. Dokumen tersebut harus diambil dari waktu yang berbeda dan

konteks yang berbeda. Ketiga, menguji preferensi efek dalam perilaku politik

- militer. Selanjutnya terdapat tiga hasil dari konseptualisasi hubungan antara

budaya strategis dan variabel eksogen lainnya. Pertama, budaya strategis

dapat membatasi perilaku karena misalnya pemimpin sebagai intervening

variable menentukan munculnya budaya strategis. Kedua, budaya strategis

berpengaruh langsung ketika konsisten sepanjang waktu. Ketiga, budaya

strategis mempengaruhi variabel independen lain yaitu variabel selain budaya

dengan memodifikasi institusi pembuat kebijakan (Johnston, 1995, h. 52-55).

Penting untuk ditekankan bahwa elit pemerintah suatu negara

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan, perubahan,

maupun keberlanjutan budaya strategis suatu negara. Mereka yang menjaga

14
dan menjalankan budaya strategis suatu negara (culture keeper) pada

akhirnya dapat merubah budaya strategis negaranya maupun sebaliknya,

pandangan mereka dapat dibentuk atau dibatasi budaya strategis negara

mereka sendiri (Lantis dalam Johnson dkk, 2009, hh. 40-41).

2.3 Definisi Operasional

2.3.1 Moscow As The Third Rome

Pada tahun 1510, ide Moscow as the Third Rome atau Moscow

sebagai Roma Ketiga muncul di Rusia. Pada waktu itu biarawan Rusia yang

bernama Filofei (Filotheos) mengirim surat kepada Grand Prince of Moscow

Vassily III dan Ivan IV yang berisi klaim Moscow adalah pewaris tahta

keagamaan Kristen Ortodoks setelah hancurnya Romawi dan Byzantium serta

akan menjadi kerajaan Ortodoks abadi. (Duncan, 1989, h. 28).

Sebagaimana Filofei menjelaskan bahwa,

....For know well, those who love Christ and those who love God,
that all Christian empires will perish and give way to the one
kingdom of our ruler, in accord with the books of prophet, which is
the Russian empire. For two Romes have fallen, but the third stands,
and there will never be a fourth. (Filofei dalam Bercken, 1999, h.
146).

Folofei mengatakan bahwa Rusia adalah Roma Ketiga setiadaknya

pada level ideasional harus ada Roma Pertama dan Roma Kedua. Roma

Pertama, sekitar dua ribu tahun yang lalu merupakan pusat dari Mediterania

dan sekarang menjadi ibu kota Italia modern. Bukan hanya nama kota, ada

masa dimana Roma menjadi ibu kota dari peradaban dunia yang lebih dari

sekedar realitas geografi, politik, sosial, dan budaya. Bahkan sejarah

15
membuktikan bahwa Roma telah meninggalkan realitas metafisik yaitu

kenangan kuat sebagai kota para dewa. Seperti kepercayaan orang orang

Romawi akan janji Jupiter yang mengatakan bahwa kota Roma tidak akan

pernah binasa (Imperium sine fine dedi).

Dalih keabadian membuat Roma terikat dengan gagasan dimana

Roma akan menjadi kekaisaran universal yang mengakhiri kompetisi antar

negara dan menciptakan perdamaian dunia (pax romana) (Laats dalam

Saumets dkk, 2009, h. 99). Selain berperan dalam kehancuran Kekaisaran

Romawi kuno, munculnya Kristen tidak dapat dipungkiri membawa dampak

tersendiri terhadap gagasan Roma. Misalnya Uskup Roma yang dibentuk

sebagai simbol transformasi dari universalisme Romawi kuno dan Kristen

sebagai agama universal membuktikan bahwa gagasan metafisik Roma masih

tetap bertahan meskipun Kekaisaran Romawi diambang kepunahan (Laats

dalam Saumets dkk, 2009, h.99-100).

Pada awal abad ke - 4, Kaisar Constantine (280M 337M)

mendirikan ibukota kedua Kekaisaran Romawi di Byzantium yang kemudian

berganti nama menjadi Constantinople pada tahun 330M. Perkembangan

wilayah Romawi yang semakin besar dan tak terkendali membuat kekuasaan

atas kekaisaran terbelah menjadi barat dan timur. Disaat kekuatan barat

melemah sedangkan timur tumbuh semakin kuat, penguasa Byzantium

kemudian melegitimasi wilayahnya sebagai kekaisaran yang mewarisi sejarah

dan budaya Romawi. Dengan dalih untuk menyebarkan perdamaian, budaya,

dan agama Kristen membuat Byzantium memiliki niat universalis layaknya

16
Romawi. Tidak hanya itu, masyarakat Byzantium mencoba untuk menjadi

sama seperti Roma misalnya nama yang mereka gunakan untuk menyebut diri

mereka sendiri dalam bahasa Yunani menjadi Rhomaioi atau orang Roma

(Laats dalam Saumets dkk, 2009, h. 100).

Terdapat dua pemahaman terkait bagaimana hubungan antara

Constantinople dan Roma. Pertama, terkait dengan ide translatio imperii

dimana Constantinople menjadi pewaris tahta Roma pertama dan melanjutkan

peran dan fungsi Roma pertama atau dengan kata lain Kekaisaran Romawi

Byzantium adalah Kekaisaran Romawi kuno. Kedua, pemahaman

Constantiople sebagai Roma kedua juga sebagai Roma baru. Roma Pertama

telah punah dan Roma baru secara kualitatif dianggap lebih baik dalam

melaksanakan misi dari Roma pertama. Akan tetapi mimpi abadi Roma

Kedua hanyalah sebuah ilusi, Roma Kedua jatuh setelah dikalahkan serangan

oleh orang orang Islam (Laats dalam Saumets dkk, 2009, h.101).

Narasi Roma Ketiga jauh lebih kompleks dan tidak hanya terbatas di

kota Moscow, akan tetapi banyak kota di Rusia yang juga mengklaim tahta

keagamaan tersebut. Pada tahun 1453, muncul tulisan tentang penguasa dari

Tver yang berjudul Eulogy of the Pious Grand Prince Boris Aleksandrovic

by the humble monk Foma. Meskipun secara eksplisit tidak disebutkan Tver

sebagai Roma ketiga, namun tulisan tersebut menjelaskan bahwa Tver adalah

pusat dunia dan Pangeran Boris mendapat gelar baru sebagai new Jacob,

new Joseph, dan new Moses. Dia juga disetarakan dengan Tiberius,

17
Augustus, Justinian, dan Theodosius sebagai kaisar sekaligus autocrator

(Laats dalam Saumets dkk, 2009, h. 102).

Novgorod sebagai rival dari Moscow juga mempunyai dalih

tersendiri. Pada tahun 1490, Dimitrij Gerasimov sebagai penerjemah dan

kolaborator Archbishop Gennadi dari Novgorod menulis The Story of the

White Mitre. Tema utama dari tulisannya yaitu terkait Novgorod sebagai

pusat dari kepercyaan Ortodoks setelah kehancuran Constantinople. Singkat

kata pusat Kristen Ortodoks berpindah dari Roma ke Constantinople dan dari

Constantinople ke Novgorod. Dan dalam tulisan tersebut untuk pertama

kalinya ekspresi dari Roma ketiga digunakan (Laats dalam Saumets dkk,

2009, h.102-104).

Walaupun banyak kota di Rusia yang berpura pura sebagai ahli

waris dari Constantinople, tetapi justifikasi Principality of Moscow secara

politis jauh lebih kuat. Sebagaimana yang telah penulis paparkan sebelumnya,

surat Filofei kepada Tsar Ivan III pada tahun 1511 menjadi dalih unik gereja

Moscow untuk mengklaim Moscow sebagai kota dan pangerannya sebagai

kaisar pilihan. Tidak hanya itu, fakta lain yang menguatkan dalih Moscow

disebabkan oleh pernikahan antara Grand Prince of Moscow Ivan III (1462

1505) dan keponakan Kaisar Byzantium yang terakhir yaitu Puteri Zoe

Palaiologina (Laats dalam Saumets dkk, 2009, h.104).

Ide Moscow as the Third Rome terbagi atas tiga elemen utama yaitu

Symphony, Supremacy, dan Universality. Penjelasan ketiga fokus utama

Roma ketiga adalah sebagai berikut. Pertama, Symphony, diciptakan oleh

18
Kaisar Bizantium yang bernama Justinian pada abad ke 6 dalam bukunya

yang berjudul Sixth Novella. Symphony merupakan gagasan tentang hubungan

yang ideal antara gereja (sacerdotium) dan negara (imperium). Pada tahun

1500, Iosif Volockij (Joseph of Volotsk) dan Abbot of Volokolamsk

memimpin gerakan gereja Rusia dalam menyuarakan perlunya terdapat

keterkaitan yang erat antara gereja dan negara atau sebuah politik teokrasi.

Kemudian pada tahun 1551, dikeluarkanya Stoglav (Council of One Hundred

Chapters) oleh dewan gereja Rusia menandakan pengadopsian atau

implementasi gagasan symphony oleh negara Rusia. Sebagai Tsar pertama

Rusia, Ivan the Terrible mengimplementasikan gagasan symphony untuk

melindungi agama Ortodoks dengan berperang melawan musuh Muslim dan

Katolik. Perlu diketahui bahwa kesuksesan dari tugas Gereja Rusia tersebut

secara langsung tergantung dari kemenangan militer Rusia (Laats dalam

Saumets dkk, 2009, h.107).

Karakteristik lain dari ide Roma ketiga yaitu supremacy yang

menekankan pada gagasan bahwa Moscow sebagai Roma baru mempunyai

status tinggi atas negara negara lain. Rusia dengan label baru sebagai Holy

Russia layaknya Holy Roman Empire merupakan negara yang dipilih oleh

Tuhan untuk menjalankan tujuan tujuanNya. Holy Russia didefinisikan

tidak hanya sebagai Federasi Rusia atau Rusia sebagai Rus yang mengacu

pada bangsa Slavia Timur. Karena terafiliasi dengan Kekaisaran Romawi

Kristen, Holy Rusia didefinisikan sebagai seluruh kekaisaran kepercayaan

Kristen Ortodoks. Implementasi dari gagasan ini yaitu diantaranya terjadinya

19
Perang Kulikovo dimana Rusia berupaya mengembalikan wilayah Rusia yang

telah diambil oleh Tatar Yoke (Bercken, 1986, h. 266).

Symphony diciptakan pada era Roma Kedua sedangkan Universality

menjadi pilar terakhir yang terhubung dengan pax romana dari Roma

Pertama. Ide dari konsep ini yaitu tentang adanya tujuan dari Roma untuk

membangun satu kerajaan dan mengakhiri kompetisi antar negara dalam

membangun perdamaian. Berkaitan dengan konsep Universality, Filofei

menekankan bahwa dunia Kristen akan bersatu dibawah kedaulatan Rusia

oleh karena itu Rusia akan berusaha memperluas wilayah dan pengaruhnya

(Laats dalam Saumets dkk, 2009, h. 108-109).

Selanjutnya, Moscow as the Third Rome sebagai sistem simbol Rusia

juga membentuk asumsi dasar tentang keteraturan lingkungan strategis.

Moscow as the Third Rome dapat diketahui lebih dominan dalam membentuk

asumsi dasar terkait asal musuh dan bentuk ancaman. Secara konsisten

berdasarkan Moscow as the Third Rome asal musuh musuh bagi Rusia

yaitu Islam (Timur) dan Katolik (Barat) dengan bentuk ancaman yang berupa

ancaman terhadap kepercayaan Ortodoks (Ivan IV dalam Eisenstein, 1944).

Setelah berakhirnya kekuasaan Ivan IV ide Moscow as the Third

Rome secara eksplisit tidak lagi dijalankan. Meskipun demikian, gagasan

tersebut tidaklah terkubur atau dilupakan. Ide Moscow as the Third Rome

terbukti masih melekat didalam alam bawah sadar masyarakat Rusia dan

menginspirasi kebijakan penguasa Kekaisaran Rusia lainnya yaitu

diantaranya pada masa Nicholas I dan Alexander III. Tidak hanya itu, para

20
penguasa Communist Party of the Soviet Union (CPSU) tetap mengklaim

gagasan universalisme, kemahatahuan, dan keabadian dari Rusia. (Laats

dalam Saumets dkk, 2009, h. 111-112).

Tabel 1 Operasionalisasi Moscow As The Third Rome


MOSCOW AS THE THIRD ROME

Variabel Indikator Operasionalisasi

Symphony - Sejarah - Sejarah Rusia dan


Moscow as the Third
Supremacy Rome

Universality - Culture Keeper - Vladimir Putin

Berdasarkan tabel operasionalisasi diatas dapat diketahui bahwa

terdapat tiga variabel yang berupa Symphony, Supremacy, dan Universality.

Untuk mempermudah dalam menjelaskan variabel yang digunakan dalam

melakukan penelitan maka diperlukan indikator. Oleh sebab itu penulis

menggunakan indikator indikator yang masih berhubungan dengan objek

kajian budaya strategis yakni rangkaian sejarah untuk mejelaskan secara lebih

rinci mengenai Moscow as the Third Rome sebagai pembentuk ketiga asumsi

dasar bagi Rusia. Sejarah Rusia termasuk sejarah dicetuskannya ide Moscow

as the Third Rome serta sejarah pola perilaku kebijakan keamanan Rusia

merupakan salah satu indikator yang akan digunakan. Indikator lain yaitu

berupa peranan pemerintahan Vladimir Putin sebagai culture keeper yang

menjaga keberlangsungan ide Moscow as the Third Rome.

21
2.4 Alur Pemikiran

Untuk memudahkan penulis dalam melakukan penelitian ini, maka penulis

membuat alur pemikiran sebagai berikut:

Bagan 1 Alur Pemikiran

Moscow as the
Third Rome
Pemerintahan
Symphony
Vladimir Putin
Supremacy
Universality
Agresi militer
Rusia di Ukraina
tahun 2014
Sumber: Olahan Penulis

Alur pemikiran diatas menunjukan bahwa dengan menggunakan konsep

budaya strategis dapat diketahui bahwa Moscow as the Third Rome yang terdiri

dari Symphony, Supremacy, dan Universality mempengaruhi pemerintahan

Vladimir Putin dalam melakukan agresi militer Rusia di Ukraina pada tahun 2014.

Dengan melacak sampel dari ide Moscow as the Third Rome berdasarkan sejarah

dan membandingkannya dengan sampel penelitian ini yaitu ketika Rusia dibawah

pemerintahan Vladimir Putin maka dapat diketahui bahwa Moscow as the Third

Rome mempengaruhi perilaku Rusia sehingga Rusia melakukan agresi militer

Rusia di Ukraina pada tahun 2014.

22
2.5 Argumen Utama

Argumen utama dalam penelitian ini adalah Moscow as the Third Rome

mempengaruhi strategi keamanan militer Rusia karena Moscow as the Third Rome

sebagai sistem simbol Rusia membentuk asumsi dasar terkait asal musuh dan

bentuk ancaman bagi Rusia. Oleh karena itu, melalui asumsi dasar tersebut Rusia

melakukan agresi militer di Ukraina pada tahun 2014 sebagai respon atas asumsi

tentang musuh dan bentuk ancaman.

23
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif

undertanding. Berbeda dengan jenis penelitian explaining yang meniru

pendekatan ilmu alam (erklren), penelitian understanding mengacu pada

pendektan hermeneutic yang berfokus pada analisis terhadap makna, alasan, dan

keyakinan internal aktor untuk bertindak. Oleh karena makna sosial, bahasa, dan

keyakinan dikatakan sebagai aspek yang paling penting dalam eksistensi sosial

(Hollis dan Smith, 1990, h.214-216).

3.2 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini hanya difokuskan pada ide Moscow as the

Third Rome sebagai budaya strategis Rusia ketika Vladimir Putin menjabat

sebagai presiden Rusia dari tahun 1999 hingga terjadinya agresi militer Rusia di

Ukraina pada tahun 2014.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah studi pustaka. Penulis

mengambil data dari sumber-sumber relevan seperti buku, jurnal, situs resmi

pemerintahan, serta media massa elektronik. Secara spesifik penulis mengambil

sample pidato dari Inauguration of Vladimir Putin as President of Russia dan The

24
annual Presidential Address to the Federal Assembly. Selain itu penulis juga

menganalisis statemen statemen Putin yang relevan dengan gagasan Moscow as

The Third Rome.

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisa data yang akan digunakan penulis dalam penelitian ini

berdasarkan konsep budaya strategis adalah cognitive mapping dan symbol

analysis, content analysis. Johnston menjelaskan bahwa,

A cognitive mapping is design to capture the structure of causal


assertions of a person with respect to a particular policy domain, and
generate the consequences that follow from the structure. (Johnston,
1995, h. 51).

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui cognitive mapping adalah teknik

analisa yang mengungkap struktur pernyataan kausalitas seseorang terkait

kebijakan tertentu dan konsekuensi yang timbul mengikuti struktur pernyataan

tersebut. Dengan cognitive mapping, peneliti dapat melacak penyebab yang paling

mendasar dari perilaku seseorang dalam pengambilan kebijakan. Sedangkan

dalam symbol analysis, teknik analisa terhadap simbol yang memiliki makna

dimana dipahami oleh masyarakat. Johnston menyatakan sebagai berikut,

A symbol is any object used by human being to index meanings that are
not inherent in, nor discernable from, the object itself. Literally, anything
can be a symbol: a word or a phrase, a gesture or an event, a person, a
place, or a thing. An object becomes a symbol when people endow it with
meaning, value or significance. (Johnston, 1995, h. 51).

Sesuai penjelasan Elder dan Cobb dalam Alastair Iain Johnston bahwa

simbol merupakan suatu objek yang digunakan oleh manusia untuk menunjukan

makna yang tidak melekat maupun tidak terlihat dari objek itu sendiri. Hal itu

25
berarti bahwa, ketika kita menggunakan simbol secara sadar maupun tidak sadar

kita telah mengkomunikasikan makna tersembunyi dibalik simbol yang kita

komunikasikan. Bentuk simbol bisa berbagai macam, beberapa diantaranya yaitu

sebuah kata atau ungkapan, sebuah isyarat atau kejadian, seseorang, sebuah

tempat atau apapun dapat menjadi sebuah simbol. Yang utama adalah sebuah

simbol dapat dikatakan simbol ketika mereka dapat memberi makna, values atau

arti tersendiri terhadap simbol tersebut. Kemudian didefinisikan oleh Alastair Iain

Johnston bahwa,

Symbols are the vechicles through which shared decision rules, axioms,
and preferences are manifested empirically, so that culture can be
communicated, learned, or contested. ...these symbols act as mental aids
or heuristics which make complex environments more manageable for
decision makers, and suggest ways of responding to this environment.
(Johnston, 1995, h. 51).

Dapat dikatakan bahwa simbol merupakan alat bantu untuk menyebarkan

keputusan, aksioma, dan pilihan-pilihan yang termanifestasikan secara empiris,

sehingga budaya dapat dikomunikasikan, dipelajari maupun dipertentangkan.

Simbol digunakan untuk menyebarkan dan mengkomunikasikan apa yang menjadi

keputusan dan pilihan-pilihan strategis yang telah ditentukan dan diputuskan oleh

para pengambil keputusan. Tidak hanya itu, simbol juga dapat berperan sebagai

mental aids atau heuristik yang dapat membuat lingkungan yang kompleks

menjadi lebih teratur dan terkendali bagi para pembuat keputusan. Dari simbol

tersebut dapat memberikan cara terbaik dalam merespon lingkungan tersebut.

Misalnya penggunaan idiom dan fraseif you want peace, prepare for war, war

on terror, analogi atau metafora Munich, serta kata kunci yang

26
menggambarkan tindakan yang diarahkan kepada musuh deterrence (Johnston,

1995, h. 52).

Supaya peneliti budaya strategis tidak melakukan kesalahan identifikasi,

Johnston memperingatkan tentang strategi yang bersifat simbolik dan strategi dari

simbol. Pertama, autocommunication, autokomunikasi merupakan bahasa yang

dirancang untuk menguatkan legitimasi dan kewenangan atau kemampuan yang

dibentuk oleh pembuat kebijakan. Dari bahasa atau simbol yang dilakukan

tersebut terdapat ekspektasi dan harapan dari para pembuat keputusan untuk

memperkuat legitimasi atas keputusan yang telah dikeluarkan.

Autocommunication tidak dirancang untuk diaplikasikan dalam interaksi terhadap

orang lain (Johnston, 1995, h. 56).

Kedua, official language merupakan bahasa resmi yang digunakan oleh

pemerintah untuk menyampaikan maksud dan tujuan atas tindakan yang

dilakukan. Dalam hal ini, penyampaian simbol yang yang memiliki makna dan

terimplementasi kedalam bentuk kebijakan konkrit dimana para pengambil

keputusan menerima dan menjalankan dengan baik apa yang menjadi keputusan

tersebut. Nilai-nilai yang diyakinipun dapat dimasukkan ke dalam tindakan-

tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan dukungan sehingga perilaku yang

terbentuk adalah pembenaran atas segala tindakan yang dilakukan. Ketiga,

penggunaan simbol harus dapat membentuk sense of in a group solidarity atau

rethorical community dimana berupa ikatan dari mitos dan bahasa bersama

yang menekankan keunikan dari sebuah komunitas. Sedangkan sense ditujukan

27
langsung kepada musuh other untuk memperlihatkan kesolidan kelompok

berdasarkan simbol tersebut (Johnston, 1995, h. 56-59).

Content Analysis menurut Kerlinger (2000) merupakan metode yang

mempelajari dan menganalisis komunikasi dengan cara yang sistematis, obyektif,

dan kuantitatif dengan tujuan untuk mengukur variabel variabel yang ada.

Sistematis berarti pesan yang akan dianalisis berdasarkan perencanaan yang

bersifat formal atau sudah ditentukan sebelumnya dan tidak memihak. Obyektif

mengandung arti bahwa kategori yang digunakan dalam analisis haruslah diberi

batasan yang jelas dan tepat. Obyektif juga diartikan apabila kategori digunakan

oleh peneliti untuk melakukukan analisis maka akan menghasilkan kesimpulan

yang sama. Sedangkan kuantitatif berarti hasil dari analisis bisa dituangkan dalam

bentuk angka angka sehingga pembuktiannya dapat dilakukan (Kerlinger, 2000,

h. 4 6).

Klaus Krippendorff mendefinisikan analisis isi (content analysis) sebagai

teknik penelitian dalam membuat kesimpulan kesimpulan dari data konteksnya.

Berdasarkan dua definisi diatas, maka terdapat dua fungsi dari analisis ini, yaitu:

memberikan uraian yang sistematis dan dapat diujinga isi manifestasi suatu

wacana naratif, serta menghasilkan kesimpulan yang valid tentang konteks naratif

berdasarkan isi deskripsinya. Fungsi deskriptif dalam analisis isi mencangkup

identifikasi terhadap tema tema dan pola struktural suatu pesan, dan

membandingkan isi pesan yang disampaikan oleh komunikator yang berbeda atau

sebaliknya pesan yang disampaikan oleh komunikator yang sama dalam konteks

yang berbeda. Fungsi eferensial yaitu penarikan kesimpulan tentang efek efek

28
yang mungkin ditimbulkan oleh pesan tersebut dan menyimpulkan norma norma

perilaku sosial yang direfleksikan oleh pesan tersebut. Secara teknik, analisis isi

mencangkup upaya upaya klasifikasi lambang lambang yang dipakai dalam

komunikasi, penggunaan kriteria, dan penggunaan teknik analisis tertentu dalam

membuat prediksi (Holsti, 1969, h. 28).

Analisis isi didahului dengan melakukan coding terhadap istilah istilah

atau penggunaan kata atau kalimat yang relevan, dan yang paling banyak muncul

dalam media komunikasi. Dalam hal pemberian coding, perlu dicatat dalam

konteks mana istilah itu muncul. Kemudian, dilakukan klasifikasi terhadap coding

yang telah dilakukan. Klasifikasi dilakukan dengan melihat sejauh mana satuan

makna berhubungan dengan tujuan penelitian. Klasifikasi ini dimaksudkan untuk

membangun kategori dari setiap klasifikasi yang kemudian satuan makna serta

kategori dianalisis dan dicari hubungan satu dengan lainnya untuk menemukan

makna, arti, dan tujuan isi komunikasi. Hasil analisis ini dideskripsikan dalam

bentuk draf laporan sebagaimana umumnya laporan penelitian. Dalam penelitian

ini penulis menggunakan bentuk klasifikasi semantic content analysis, yakni

prosedur yang mengklasifikasikan tanda menurut maknanya (Janis, 1965).

3.5 Sistematika Penulisan

Bab I, merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

Bab II, merupakan kerangka penelitian yang berisi tentang studi terdahulu,

kajian teori, operasionalisasi konsep, alur pemikiran, dan argumen utama.

29
Bab III, merupakan metode penelitian yang terdiri atas jenis penelitian,

ruang lingkup penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data, dan

sistematika penulisan.

Bab IV, gambaran umum Rusia, sejarah Rusia, dan agresi militer Rusia di

Ukraina pada tahun 2014.

Bab V, merupakan bab pembahasan yang terdiri dari dua bagian, bagian

pertama berisi tentang pembahasan Moscow as the Third Rome sebagai budaya

strategis Rusia yang dibentuk melalui proses sejarah dan dijaga oleh Vladimir

Putin. Bagian kedua berisi tentang pengaruh Moscow as the Third Rome dalam

agresi militer Rusia di Ukraina pada tahun 2014.

Bab VI, berisi tentang kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan

serta rekomendasi dari penulis untuk penelitian selanjutnya.

30

Anda mungkin juga menyukai