Dosen: Dr. Warasman Marbun, SH., MH Nama: Adinda Reyna Fauziah NPM: 2021510020
1. Membuat contoh (kasus) ganti rugi perdata dan pidana
A. Kasus ganti rugi perdata Menurut Pasal 2 huruf (c) UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Di mana, UU ini berlaku terhadap: "Semua ciptaan dan/atau produk hak terkait dan pengguna ciptaan dan/atau produk hak terkait bukan warga Negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia". Bagaimana orang yang menggunakan bahkan membuat karya yang serupa? yang dimana terkait dengan kasus Bigo yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum berupa pelanggaran hak cipta lagu di bawah PT Aquarius Pustaka Musik atau Aquarius Musikindo. Dimana masalah dimulai saat perusahaan yang berbasis di Singapura itu meluncurkan aplikasi Likee. Aplikasi ini memudahkan pengguna membuat video pendek dengan menambah lagu dalam video pendek itu. Ada satu lagu yang ditambahkan tanpa izin penciptannya, diantaranya lagu-lagu di bawah mayor label Aquarius. Aquarius kemudian tidak terima dan mengirimkan somasi tapi tidak mendapatkan titik temu. Akhirnya gugatan kasasi dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) serta diterima, walaupun gugatan pertama sempat tidak diterima. Yang dimana, Tergugat untuk membayar kepada Penggugat ganti rugi yang berupa kerugian materiil/royalti sejumlah Rp 5.000.000.000 (Rp 5 miliar) dalam waktu selambat-lambatnya 6 bulan sejak putusan dalam perkara ini berkekuatan hukum tetap. B. Kasus ganti rugi pidana Korupsi dengan menyalahgunakan dana kelompok tani untuk kepentingan sendiri, yang dimana Dakwaan pertama Pasal 2 ayat (1) UU No.31 tahun 1999 Tentang tindak pidana korupsi. Serta Dakwaan kedua, pasal 3 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 Tipikor. Dengan kerugian kejumlah Rp 181.450.000, yang dimana termasuk kedalam uang pengganti kerugian. 2. Membuat contoh (kasus) kebiasaan sebagai hukum adat Sebagai contoh, kita bisa mempertimbangkan kebiasaan adat dalam penyelesaian sengketa di suatu komunitas tertentu. Misalnya, dalam suku Dayak di Kalimantan, terdapat kebiasaan adat yang disebut "Manggala" yang digunakan dalam penyelesaian sengketa antar anggota masyarakat. Dasar hukumnya berasal dari hukum adat atau adat istiadat yang turun-temurun dan diakui oleh komunitas setempat. Dalam kebiasaan "Manggala", seseorang yang mengalami sengketa dengan anggota masyarakat lain dapat mengajukan permohonan penyelesaian melalui proses musyawarah yang dihadiri oleh tokoh-tokoh adat dan masyarakat setempat. Proses ini memiliki dasar hukum yang diakui secara tradisional dan dijalankan berdasarkan prinsip keadilan dan kesepakatan bersama. Kebiasaan ini sering kali diatur dalam "Hukum Adat Dayak" yang diterapkan secara turun- temurun dan merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Dayak. Meskipun tidak terdokumentasi dalam bentuk peraturan tertulis, kebiasaan "Manggala" dihormati dan diikuti oleh anggota masyarakat karena merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas dan keberadaan mereka. Namun, penting untuk dicatat bahwa hukum adat seperti ini kadang bisa bertentangan dengan hukum nasional atau hukum umum yang berlaku di negara tersebut. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan zaman, upaya untuk mengintegrasikan hukum adat dengan sistem hukum nasional juga telah menjadi perhatian di beberapa negara, termasuk Indonesia.