Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia adalah makhluk spiritual karena selalu terdorong

oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan “mendasar” atau “pokok”.

Mengapa saya dilahirkan? Apakah makna hidup saya? Buat apa saya melanjutkan

hidup saat saya lelah, depresi, atau merasa terkalahkan? Apakah yang dapat

membuat semua itu berharga? Kita diarahkan, bahkan ditentukan oleh suatu

kerinduan yang sangat manusiawi untuk menemukan makna dan nilai dari apa

yang kita perbuat dan alami (Zohar & Marshall, 2012).

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna

atau value, yaitu kecerdasan inti yang menempatkan perilaku dan hidup kita

dalam konteks makna yang lebih luas dan lebih kaya, kecerdasan untuk menilai

bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan

yang lain (Najati, 2002). Kecerdasan spiritual menjadi dorongan manusia dalam

berperilaku dan mengambil keputusan atau memberikan makna pada sesuatu.

Bahkan dalam Sukidi (2012), kecerdasan spiritual adalah temuan yang disebut-

sebut sebagai the ultimate intelligence yaitu puncak kecerdasan.

Hubungan antara kecerdasan spiritual, dengan kecerdasan intelektual (IQ)

dan kecerdasan emosional (EQ) dijelaskan oleh Shariati dalam Rohaliyah (2016)

bahwa manusia adalah makhluk dua dimensional yang membutuhkan

penyelarasan kebutuhan akan kepentingan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu,

manusia harus memiliki konsep dunia atau kepekaan emosi dan intelligence yang
baik (EQ dan IQ) dan penting pula penguasaan ruhiyah vertikal atau kecerdasan

spiritual.

Berpikir bukanlah proses otak semata-mata dan bukan urusan IQ saja.

Sebab, manusia berpikir tidak hanya memakai otak, tetapi juga dengan emosi dan

tubuh (EQ), serta dengan semangat, visi, harapan, kesadaran akan makna dan nilai

(SQ) (Auliya, 2005). Sementara menurut Zohar dan Marshall (2012), kecerdasan

spiritual berperan paling penting di dalam menentukan keberhasilan, karena

kecerdasan ini adalah kecerdasan yang memfungsikan kecerdasan lain, yaitu

kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.

Kecerdasan spiritual melampaui kemampuan untuk cerdas berpikir, merasa,

bertindak dan berperilaku dalam konteks situasional atau kerangka kerja yang

diberikan. Kecerdasan spiritual memungkinkan manusia untuk bijaksana dalam

merefleksikan situasi untuk menemukan dirinya yang lebih bermakna sehingga

mampu mengubah sesuatu menjadi lebih berharga (Mengel, 2015).

Dalam sebuah penelitian di Cina dan Taiwan oleh Yang (2013) dikatakan

bahwa spiritualitas penyedia layanan kesehatan menjadi isu penting dalam dunia

yang semakin sibuk dengan isu-isu material. Di dua Negara tersebut perawat

mengadopsi kesadaran budaya dan kepekaan karena mereka memberikan

perawatan holistik untuk klien. Sistem sosial memiliki dampak pada kecerdasan

spiritual perawat dan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari mereka secara

pragmatis, objektif, dan rasional bergantung pada pengaturan kerja.

Hubungan kecerdasan spiritual dan profesionalisme dijelaskan dalam

Mengel et al, 2004 dalam Mengel (2015) bahwa kecerdasan spiritual sangat
penting ketika memasuki sebuah organisasi atau profesi untuk berkomunikasi

dengan stakeholder dan menciptakan nilai jual berdasarkan pada visi dan nilai-

nilai bersama, dan untuk mengubah suatu profesi menjadi sesuatu yang baru dan

lebih bermakna dengan bijak dalam mengatasi tantangan perubahan, krisis dan

kerugian yang akan dihadapi sebagian besar lingkungan kita yang semakin

kompleks.

Pemimpin yang memiliki kemampuan kecerdasan spiritual yang baik maka

dapat mengambil keputusan yang tepat termasuk dalam berperilaku atau bersikap.

Pemimpin adalah seseorang yang mempergunakan wewenang dan

kepemimpinannya untuk mengarahkan orang lain serta bertanggung jawab

atas pekerjaan orang tersebut dalam mencapai suatu tujuan (Hasibuan,

2009 dalam Warouw., dkk, 2013).

Pemimpin memiliki kemampuan memberi inspirasi kepada orang lain

untuk berkerjasama sebagai suatu kelompok, agar dapat mencapai suatu

tujuan. Pemimpin mempengaruhi lingkungan dan orang lain untuk tujuan

yang diinginkan (Suarli & Bahtiar, 2013)

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memberikan pengaruh

yang konstruktif untuk melakukan suatu usaha kooperatif mencapai tujuan

yang sudah direncanakan. Maka, pemimpin itu harus mahir melaksanakan

kepemimpinannya, jika dia ingin sukses dalam melakukan tugas-tugasnya

(Kartono, 2011 dalam Warouw., dkk, 2013).

Kepemimpinan dalam keperawatan yang dipimpin oleh Kepala Perawat

Ruangan merupakan penerapan pengaruh dan bimbingan yang ditujukan


kepada staf keperawatan untuk menciptakan kepercayaan dan ketaatan sehingga

timbul kesediaan melaksanakan tugas dalam rangka mencapai tujuan bersama

secara efektif dan efisien (Putri, 2012).

Kepala ruangan merupakan tenaga perawat yang diberi tugas memimpin

satu ruang rawat, dan bertanggung jawab terhadap pemberian asuhan

keperawatan, yang berperan sebagai first line manager di sebuah rumah sakit,

yang diharapkan mampu melaksanakan fungsi manajemen keperawatan (Sitorus,

R & Panjaitan, 2013). Peran dan fungsi kepala ruangan diruang rawat dalam

fungsi manajemen keperawatan antara lain perencanaan, pengorganisasian,

pengaturan ketenagaan, pengarahan, pengawasan dan pengendalian mutu yang

merupakan satu siklus yang saling berkaitan satu sama lain (Marquis, B.L &

Huston, 2012)

Kepala ruangan sebagai manajer operasional, yang memimpin secara

langsung, dalam mengelola seluruh sumber daya di unit perawatan untuk

menghasilkan pelayanan yang bermutu, dan dituntut untuk menjadi motor

penggerak, bagi sumber-sumber dan alat-alat dalam suatu organisasi melalui

pengambilan keputusan, penentuan kebijakan dan menggerakkan orang lain untuk

mencapai tujuan organisasi (Curtis, Elizabeth & O’Connell, 2012).

Kepala ruangan memerlukan suatu pemahaman tentang mengelola dan

memimpin orang lain, dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan yang

berkualitas dan aman, untuk kesembuhan pasien melalui pemberian asuhan

keperawatan yang sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang konsisten,

kontiniyu dan bermutu (Nursalam, 2014).


Menurut Juliani (2017), kepala ruangan dalam menjalankan perannya akan

dihadapkan pada berbagai masalah kompleks sehingga tidak cukup hanya

memiliki kecerdasan intelektual, tetapi juga harus memiliki bentuk kecerdasan

spritual atau Spiritual Quotient (SQ). Kepala ruangan yang memiliki kemampuan

kecerdasan spiritual yang baik maka dapat mengambil keputusan yang tepat

termasuk dalam berperilaku atau bersikap.

Budaya organisasi memiliki peran dalam mempengaruhi perilaku kepala

ruangan, hal ini dapat tercermin dari kesempatan berinovasi dan berkreasi,

kesempatan dalam berpendapat, hubungan yang baik, dan sebagainya. Sehingga

budaya organisasi dapat berfungsi dalam memberikan kepuasan kerja dan kinerja

optimal dalam upaya mencapai tujuan organisasi.

Setiap individu yang tergabung di dalam sebuah organisasi memiliki budaya

yang berbeda, disebabkan mereka memiliki latar belakang budaya yang berbeda,

namun semua perbedaan itu akan dilebur menjadi satu di dalam sebuah budaya

yaitu budaya organisasi, untuk menjadi sebuah kelompok yang bekerjasama

dalam mencapai tujuan organisasi sebagaimana yang telah disepakati bersama

sebelumnya, tetapi dalam proses tersebut tidak tertutup kemungkinan ada individu

yang bisa menerima dan juga yang tidak bisa menerimanya, yang mungkin

bertentangan dengan budaya yang dimilikinya.

Budaya organisasi merupakan sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar

yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu

dengan maksud agar organisasi bisa mengatasi, menanggulangi permasalahan

yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integritas internal yang sudah berjalan
dengan cukup baik sehingga perlu diajarkan dan diterapkan kepada anggota-

anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan

merasakan berteman dengan mereka-mereka tersebut (Scain dalam Lako, 2014).

Budaya organisasi merupakan seperangkat sistem nilai-nilai (values),

keyakinan-keyakinan (belief), asumsi-asumsi (assumptions), atau norma-norma

yang telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi

sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masalah-masalah organisasinya

(Killmann, dalam Sutrisno 2013). Budaya organisasi mengarahkan perilaku

pegawai untuk meningkatkan kemampuan kerja, komitmen dan loyalitas, serta

perilaku extra roll. Budaya organisasi memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan

perilaku sumber daya manusia yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas

kerja. Manfaat dari penerapan budaya organisasi yang baik adalah dapat

meningkatkan jiwa gotong-royong, meningkatkan kebersamaan, saling terbuka

satu sama lain, meningkatkan jiwa kekeluargaan, membangun komunikasi yang

lebih baik, meningkatkan produktivitas kerja, tanggap dengan perkembangan

dunia luar (Oemar, 2013).

Berdasarkan survey pendahuluan pada 8 orang kepala ruangan di Ruang

Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Rantauprapat diperoleh data kerjasama

tim yang masih rendah, kurang aktif terhadap kontribusi ide dan saran untuk

perkembangan rumah sakit, rendahnya keterbukaan yang dimiliki, kurangnya jiwa

kebaikan yang dimiliki seseorang dalam bekerja, sehingga kondisi tersebut

menyebabkan pekerjaan yang di beban kepada kepala ruangan tidak dapat


dilaksanakan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual

belum mampu meningkatkan kinerja pegawai.

Fenomena yang ditemukan bahwa kepala ruangan rawat inap belum dapat

melakukan fungsinya secara optimal sesuai dengan yang diharapkan sebagai

pengelola pelayanan keperawatan yaitu kurangnya pemahaman konsep manajerial

sebagian besar kepala ruangan rawat inap serta kepemimpinan yang berbeda

masih menunjukkan adanya ketidak kondusipan dalam budaya organisasi, hal ini

kemungkinan ada kaitan dengan kecerdasan spritual dalam berorganisasi.

Berdasarkan penjelasan diatas peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan

kecerdasan spiritual kepala ruangan dengan budaya organisasi di Ruang Rawat

Inap RSUD Rantauprapat

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini

sebagai berikut : Apakah Ada Hubungan Kecerdasan Spiritual Kepala Ruangan

Dengan Budaya Organisasi Di Ruang Rawat Inap RSUD Rantauprapat Tahun

2018?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan kecerdasan spiritual kepala ruangan dengan budaya

organisasi di Ruang Rawat Inap RSUD Rantauprapat.


1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui hubungan antara kejujuran kepala ruangan dengan budaya

organisasi di Ruang Rawat Inap RSUD Rantauprapat

2. Mengetahui hubungan antara keterbukaan kepala ruangan dengan

budaya organisasi di Ruang Rawat Inap RSUD Rantauprapat

3. Mengetahui hubungan antara pengetahuan diri kepala ruangan dengan

budaya organisasi di Ruang Rawat Inap RSUD Rantauprapat

4. Mengetahui hubungan antara fokus pada kontribusi kepala ruangan

dengan budaya organisasi di Ruang Rawat Inap RSUD Rantauprapat

5. Mengetahui hubungan antara Spiritual Non Dogmatis kepala ruangan

dengan budaya organisasi di Ruang Rawat Inap RSUD Rantauprapat

1.4 Hipotesis

Hipotesa pada penelitian ini adalah : Ada hubungan kecerdasan spiritual

kepala ruangan dengan budaya organisasi di Ruang Rawat Inap RSUD

Rantauprapat.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tambahan bagi

perawat pendidik untuk mengintegrasikannya dalam pembelajaran

terkait dengan kecerdasan spiritual dan budaya organisasi.


2. Bagi Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Rumah Sakit

Umum Daerah Rantauprapat untuk memberikan pembekalan serta

pembinaan bagi para kepala ruangan tentang pentingnya kecerdasan

spiritual dalam budaya organisasi.

3. Bagi Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat memberikan referensi sebagai dasar untuk

dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut dengan mengembangkan

modelhubungan kecerdasan spiritual kepala ruangan dengan budaya

organisasi di Ruang Rawat Inap RSUD Rantauprapat


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KECERDASAN
2.1.1 Konsep Kecerdasan
Menurut Safaria (2014) mendefinisikan bahwa kecerdasan adalah sebagai

suatu kemampuan atau serangkaian kemampuan-kemampuan yang

memungkinkan individu memecahkan masalah atau produk sebagai konsekuensi

eksistensi suatu budaya tertentu. Pernyataan yang senada juga disampaikan

Wechsler yang memandang kecerdasan sebagai suatu kumpulan atau totalitas

kemampuan individu untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara

rasional, serta menghadapi lingkungannya dengan efektif. Kecerdasan merupakan

kemampuan mengarahkan pikiran maupun tindakan, kemampuan untuk

mengubah arah tindakan bila dituntut demikian, dan kemampuan untuk

mengkritik diri sendiri.

Sedangkan menurut Maramis (2013) kecerdasan adalah gambaran abstrak

yang disaring dari observasi perilaku dalam bermacam-macam keadaan atau suatu

konstruksi hipotesis dan hanya dapat diduga dari tanda-tanda perilaku. Sehingga

bagaimanapun juga kecerdasan ada sangkut pautnya dengan kemampuan untuk

menangkap hubungan yang abstrak dan rumit serta kemampuan memecahkan

masalah dan belajar dari pengalaman. Kemudian berkembanglah pemahaman

tentang jenis-jenis kecerdasan yang lain selain kecerdasan intelektual seperti :

kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan lain sebagainya.


Pada umumnya kecerdasan dapat dilihat dari kesanggupan seseorang dalam

bersikap dan berbuat cepat dengan situasi yang sedang berubah, dengan keadaan

di luar dirinya yang biasa maupun yang baru. Jadi, dengan kata lain perbuatan

cerdas dapat dicirikan dengan adanya kesanggupan bereaksi terhadap berbagai

situasi. Kecerdasan bekerja dalam suatu situasi yang berlainan tingkat

kesukarannya. Kecerdasan tidak bersifat statis tetapi kecerdasan manusia selalu

mengalami perkembangan. Berkembangnya kecerdasan sedikit banyak sejalan

dengan kematangan seseorang (Ahmadi, 2014). Setiap manusia memiliki

kemampuan mengembangkan kecerdasannya sampai pada tingkat tinggi yang

memadai apabila memperoleh cukup dukungan, pengayaan, dan pembelajaran

(Saifullah, 2015).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan sesorang yaitu dipengaruhi

oleh karakteristik biografi individu seperti jenis kelamin, status perkawinan, usia,

tingkat pendidikan, dan lama bekerja (Goleman, 2013).

2.1.2 Konsep Spritual

Spiritual berasal dari kata spirit. Spirit mengandung arti semangat atau sikap

yang mendasari tindakan manusia. Spirit sering juga diartikan sebagai ruh atau

jiwa yang merupakan sesuatu bentuk energi yang hidup dan nyata. Meskipun

tidak kelihatan oleh mata biasa dan tidak mempunyai badan fisik seperti manusia,

spirit itu ada dan hidup. Spirit bisa diajak berkomunikasi sama seperti kita bicara

dengan manusia yang lain. Interaksi dengan spirit yang hidup itulah sesungguhnya

yang disebut spiritual. Spiritual mencakup nilai-nilai yang melandasi kehidupan


manusia seutuhnya, karena dalam spiritual ada kreativitas, kemajuan, dan

pertumbuhan (Zohar, 2012).

Nilai-nilai spiritual yang umum mencakup antara lain kebenaran, kejujuran,

kesederhanaan, kepedulian, kerjasama, kebebasan, kedamaian, cinta, pengertian,

amal baik, tanggung jawab, tenggang rasa, integritas, rasa percaya, kebersihan

hati, kerendahan hati, kesetiaan, kecermatan, kemuliaan, keberanian, kesatuan,

rasa syukur, humor, ketekunan, kesabaran, keadilan, persamaan, keseimbangan,

ikhlas, hikmah, dan keteguhan (Suyanto, 2016).

Menurut Taylor dikutip oleh Blais menjelaskan spiritual adalah segala

sesuatu yang berkaitan dengan hubungan seseorang dengan kehidupan non

material atau kekuatan yang lebih tinggi. Kemudian O’Brien mengatakan bahwa

spiritual mencakup cinta, welas asih , hubungan dengan Tuhan, dan keterkaitan

antara tubuh, pikiran, dan jiwa. Spiritual juga disebut sebagai keyakinan atau

hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, kekuatan pencipta, Ilahiah, atau

sumber energi yang tidak terbatas (Blais, 2017)

Menurut Notoatmodjo (2013) bahwa spiritual yang sehat tercermin dari cara

seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, atau penyembahan

terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa serta perbuatan baik yang sesuai dengan

norma-norma masyarakat. Selanjutnya Burkhardt yang dikutip oleh (Blais, 2017)

menguraikan karakteristik spiritual yang meliputi hubungan dengan diri sendiri,

hubungan dengan alam, hubungan dengan sesama, dan hubungan dengan Tuhan.
2.1.3 Kecerdasan Spiritual

Selama ini, yang namanya kecerdasan sering dikonotasikan dengan

kecerdasan intelektual atau yang lazim kita kenal dengan IQ (Intelligence

Quotient). Namun pada saat ini, anggapan bahwa kecerdasan manusia hanya

tertumpu pada dimensi intelektual saja sudah tidak relevan lagi. Selain kecerdasan

intelektual, manusia juga masih memiliki dimensi kecerdasan lainnya diantaranya

adalah kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Potensi

kecerdasan yang kini ramai dibicarakan orang yakni kecerdasan spiritual

(Saifullah, 2015).

Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan

memecahkan persoalan makna kehidupan, nilai-nilai, dan keutuhan diri yaitu

kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna

yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan

hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan

spiritual juga merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan

EQ secara efektif, SQ adalah kecerdasan tertinggi kita. Dalam ESQ kecerdasan

spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran,

perilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ secara

komprehensif (Ary Ginanjar, 2014).

Sementara Sinetar dan Khavari dikutip oleh (Suyanto, 2016) menjelaskan

bahwa kecerdasan spiritual merupakan pikiran yang mendapat inspirasi,

dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi dari penghayatan ketuhanan dimana

kita menjadi bagian di dalamnya. Kecerdasan spiritual yang sejati merupakan


kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, tidak

saja terhadap manusia, tetapi juga dihadapan Tuhan.

Menurut Khavari bahwa kecerdasan spiritual juga merupakan fakultas dari

dimensi nonmaterial manusia atau ruh manusia. Demikian pula seperti yang

dikemukakan oleh Muhammad Zuhri dikutip oleh Yosef bahwa kecerdasan

spiritual adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan

Tuhan. Asumsinya adalah jika seseorang hubungan dengan Tuhannya baik maka

bisa dipastikan hubungan dengan sesama manusia pun akan baik pula (Yosef,

2015).

Pandangan lain yang senada juga dikemukakan Michael Levin bahwa

kecerdasan spiritual adalah sebuah perspektif yang artinya mengarahkan cara

berpikir kita menuju kepada hakekat terdalam kehidupan manusia. Kecerdasan

spiritual tertinggi hanya bisa dilihat jika individu telah mampu mewujudkannya

dan terefleksi dalam kehidupan sehari-harinya. Artinya sikap-sikap hidup individu

mencerminkan penghayatannya akan kebajikan dan kebijaksanaan yang

mendalam, sesuai dengan jalan suci menuju pada Sang Pencipta (Safaria, 2007).

Kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dengan berbagai cara yaitu dengan

merenungi keterkaitan antara segala sesuatu atau makna dibalik peristiwa yang

dialami, lebih bertanggung jawab terhadap segala tindakan, lebih menyadari akan

diri sendiri, lebih jujur pada diri sendiri, dan lebih berani (Zohar & Marshall,

2012).

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap segala


perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah,

menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran yang integralistik

serta didasari karena Tuhan. Menurut Gunawan (2014) manusia dapat merasa

memiliki makna dari berbagai hal, agama mengarahkan manusia untuk mencari

makna dengan pandangan yang lebih jauh. Bermakna di hadapan Tuhan. Inilah

makna sejati yang diarahkan oleh agama, karena sumber makna selain Tuhan

tidaklah kekal.

Menurut Sinetar dikutip oleh (Safaria, 2017) menjelaskan beberapa

karakteristik seseorang yang memiliki potensi kecerdasan spiritual yang tinggi.

Adapun karakteristik tersebut antara lain adalah :

1. Memiliki kesadaran diri yang mendalam dan intuisi yang tajam. Ciri utama

munculnya kesadaran diri yang kuat pada seseorang adalah ia memiliki

kemampuan untuk memahami dirinya sendiri serta memahami emosi-

emosinya yang muncul, sehingga mampu berempati dengan apa yang terjadi

pada orang lain. Selain itu seseorang juga memiliki intuisi yang tajam

sehingga ia memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilakunya sendiri.

2. Disamping itu seseorang juga memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan

kemauan yang keras untuk mencapai tujuannya serta memiliki keyakinan dan

prinsip-prinsip hidup.

3. Memiliki pandangan yang luas terhadap dunia dan alam. Seseorang melihat

dirinya dan orang lain saling terkait, menyadari bahwa bagaimanapun kosmos

ini hidup dan bersinar sehingga seseorang dapat melihat bahwa alam adalah

sahabat manusia, muaranya ia memiliki perhatian yang mendalam terhadap


alam sekitarnya, dan mampu melihat bahwa alam raya ini diciptakan oleh zat

yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan.

4. Memiliki moral yang tinggi dan kecenderungan merasa gembira. Seseorang

memiliki moral yang tinggi, mampu memahami nilai-nilai kasih sayang,

cinta, penghargaan kepada orang lain, senang berinteraksi, cenderung selalu

merasa gembira dan membuat orang lain gembira.

5. Memiliki pemahaman tentang tujuan hidupnya. Seseorang dapat merasakan

arah nasibnya, melihat berbagai kemungkinan, seperti cita-cita yang suci

diantara hal-hal yang biasa.

6. Memiliki keinginan untuk selalu menolong orang lain, menunjukkan rasa

kasih sayang terhadap orang lain, dan pada umumnya memiliki

kecenderungan untuk mementingkan kepentingan orang lain.

7. Memiliki pandangan pragmatis dan efesien tentang realitas. Seseorang

memiliki kemampuan untuk bertindak realistis, mampu melihat situasi

sekitar, dan mau perduli dengan kesulitan orang lain (Safaria, 2007).

Menurut Robert A. Emmons dikutip oleh (Saifullah, 2015) menjelaskan

lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual yaitu :

1. Kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material. Seseorang

menyadari bahwa kehadiran dirinya di dunia merupakan anugerah dan

kehendak Tuhan dan menyadari bahwa Tuhan selalu hadir dalam

kehidupannya.

2. Kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak. Seseorang

menyadari bahwa ada dunia lain di luar dunia kesadaran yang ditemuinya
sehari-hari sehingga ia meyakini bahwa Tuhan pasti akan membantunya

dalam menyelesaikan setiap tantangan yang sedang dihadapinya. Dengan

demikian, ia terhubung dengan kesadaran kosmis di luar dirinya.

3. Kemampuan mensakralkan pengalaman sehari-hari. Ciri ketiga ini, terjadi

ketika kita meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung dan mulia.

4. Kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat

menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk berbuat baik. Orang yang

cerdas secara spiritual, dalam memecahkan persoalan hidupnya selalu

menghubungkannya dengan kesadaran nilai yang lebih mulia daripada

sekadar menggenggam kalkulasi untung rugi yang bersifat materi.

5. Memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan. Seseorang

tidak akan kehilangan pijakan kakinya di bumi realitas, hal ini ditunjukkan

dengan menebar kasih sayang pada sesame (Saifullah, 2015).

Sedangkan menurut Zohar dan Marshal (2012), karakteristik seseorang yang

kecerdasan spiritualnya telah berkembang dengan baik adalah seseorang yang

memiliki kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif),

memiliki tingkat kesadaran yang tinggi (self awareness), memiliki kemampuan

untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan; memiliki kemampuan untuk

menghadapi dan melampaui rasa sakit, memiliki kualitas hidup yang diilhami oleh

visi dan nilai-nilai, selalu berusaha untuk tidak menyebabkan kerugian bagi diri

sendiri, orang lain dan alam sekitar; berpandangan holistik dalam menghadapi

suatu permasalahan hidup, kecenderungan untuk bertanya mengapa dan


bagaimana jika untuk mencari jawaban yang mendasar, serta memiliki kemudahan

untuk bekerja melawan konvensi.

Masih menurut Zohar & Marshal (2012), ada tiga sebab yang membuat

seseorang dapat terhambat secara spiritual, yaitu tidak mengembangkan beberapa

bagian dari dirinya sendiri sama sekali, telah mengembangkan beberapa bagian

namun tidak proporsional, dan bertentangannya atau buruknya hubungan antara

bagian-bagian.

Hasil penelitian Aziz (2014), mengatakan bahwa kecerdasan spiritual

berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap kinerja pegawai, temuan

tersebut memperoleh bantahan dari peneliti lainnya bahwa kecerdasan spiritual

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja (Handayani, 2014).

2.14 Pengukuran Kecerdasan Spiritual

Pengukuran kecerdasan spiritual mengungkap berbagai aspek yang mengacu

pada teori Emmons dikutip oleh Saifullah yang menjelaskan bahwa karakteristik

orang yang cerdas secara spiritual adalah yang memiliki kemampuan untuk

mentransendensikan yang fisik dan material, kemampuan untuk mengalami

tingkatan kesadaran yang memuncak, kemampuan untuk mensakralkan

pengalaman sehari-hari, kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber

spiritual buat menyelesaikan masalah dan kemampuan berbuat baik, serta

memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan (Saifullah, 2015).

Menurut Sukidi dalam Handayani (2014) berpendapat bahwa ada beberapa

pengukuran kecerdasan spiritual, antara lain:


1. Mutlak Jujur.

2. Keterbukaan.

3. Pengetahuan Diri.

4. Fokus Pada Kontribusi.

5. Spiritual Non Dogmatis.

2.2. Kepala Ruangan

Kepala ruangan adalah manajer tingkat pemula yang fokus utama

kegiatannya berada di unit kerja. Kepala ruangan, dalam melakukan kegiatannya

dibantu oleh orang-orang yang bekerja di tingkat manajer pemula antara lain

wakil kepala ruangan dan ketua tim serta perawat pelaksana. Depkes (2000)

dalam Kurniadi (2013) mendefinisikan kepala ruangan adalah seorang tenaga

keperawatan yang diberi tanggung jawab dan wewenang dalam mengatur dan

mengendalikan kegiatan pelayanan keperawatan di ruang rawat. Sedangkan

Kurniadi (2013) mendefinisikan kepala ruangan atau seorang perawat manajer

pemula adalah seorang perawat yang bertugas sebagai kepala di unit pelayanan

perawatan terdepan yang langsung berhadapan dengan pasien, dimana dalam

melaksanakan tugasnya menggunakan gaya kepemimpinan dalam menerapkan

fungsi-fungsi manajemen keperawatan agar menghasilkan mutu pelayanan

keperawatan yang tinggi.

Kepala ruangan merupakan tenaga perawat yang diberi tugas memimpin

satu ruang rawat, dan bertanggung jawab terhadap pemberian asuhan

keperawatan, yang berperan sebagai first line manager di sebuah rumah sakit,
yang diharapkan mampu melaksanakan fungsi manajemen keperawatan (Sitorus,

R & Panjaitan, 2012).

Peran dan fungsi kepala ruangan diruang rawat dalam fungsi manajemen

keperawatan antara lain perencanaan, pengorganisasian, pengaturan ketenagaan,

pengarahan, pengawasan dan pengendalian mutu yang merupakan satu siklus

yang saling berkaitan satu sama lain (Marquis, B.L & Huston, 2012).

Kepala ruangan sebagai manajer operasional, yang memimpin secara

langsung, dalam mengelola seluruh sumber daya di unit perawatan untuk

menghasilkan pelayanan yang bermutu, dan dituntut untuk menjadi motor

penggerak, bagi sumber-sumber dan alat-alat dalam suatu organisasi melalui

pengambilan keputusan, penentuan kebijakan dan menggerakkan orang lain untuk

mencapai tujuan organisasi (Curtis, Elizabeth & O’Connell, 2011).

Kepala ruangan memerlukan suatu pemahaman tentang mengelola dan

memimpin orang lain, dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan yang

berkualitas dan aman, untuk kesembuhan pasien melalui pemberian asuhan

keperawatan yang sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang konsisten,

kontiniyu dan bermutu (Nursalam, 2014).

Peranan manajer ruangan (kepala ruangan) sangat penting dalam

menentukan kualitas pelayanan keperawatan di ruangan. Salah satu peran manajer

ruangan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya pada manajemen pelayanan

keperawatan adalah fungsi pengarahan. Pengarahan atau koordinasi merupakan

fungsi manajerial untuk mengarahkan staf dalam melaksanakan tugas yang telah

direncanakan meliputi kegiatan menciptakan suasana yang memotivasi, membina


komunikasi organisasi, menangani konflik, memfasilitasi kolaborasi,

pendelegasian, dan supervisi (Marquis & Huston, 2014).

Burgess dalam Kurniadi (2013) menjabarkan tanggung jawab kepala

ruangan sebagai berikut:

1) Ketenagaan, yaitu mengidentifikasi dan mengusulkan jumlah kebutuhan

tenaga keperawatan dan non keperawatan di unitnya kepada atasan dan

memberdayakan tenaga yang sudah ada.

2) Manajemen operasional, yaitu melaksanakan tugas dan tanggung jawab

sebagai manajer pemula dalam berhubungan dengan atasan dan bawahan

guna mendukung tugas pokoknya.

3) Manajemen kualitas pelayanan, yaitu melaksanakan asuhan keperawatan

profesional berdasarkan kaidah ilmiah dan etika profesi agar bisa dirasakan

langsung oleh pasien, keluarga dan masyarakat serta manjamin mutu

pelayanan keperawatan yang memuaskan semua pihak.

4) Manajemen finansial, yaitu melaksanakan tugas perhitungan keuaangan dan

logistik keperawatan (pengadaan dan pemanfaatan alat kesehatan dan

material kesehatan).

Depkes RI (2000) dalam Kurniadi (2013) menyatakan bahwa seorang

kepala ruangan memiliki tanggung jawab sebagai berikut:

1) Merencanakan kebutuhan tenaga perawat.

2) Mengembangkan pelayanan keperawatan.

3) Melaksanakan penilaian kinerja perawat.

4) Memberikan orientasi kepada perawat baru.


5) Melaksanakan SAK (Standar Asuhan Keperawatan) dan SOP (Standard

Operational Procedur) yang ditetapkan pimpinan bidang keperawatan.

6) Melaksanakan pembimbingan mahasiswa keperawatan.

7) Memberikan laporan berkala tentang pelayanan keperawatan.

Adapun tugas kepala ruangan dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen

keperawatan (Kurniadi, 2013) yaitu:

1) Fungsi perencanaan yaitu tentang rencana kerja, menyusun falsafah dan

tujuan ruang rawatnya dan merencanakan tenaga keperawatan.

2) Fungsi penggerakkan yaitu koordinasi tugas dengan perawat atau petugas

kesehatan lain, membuat jadwal dinas, melakukan orientasi tenaga baru atau

mahasiswa atau pasien beserta keluarganya, membimbing pelaksanaan

asuhan keperawatan, memberi kesempatan perawat mengikuti pendidikan

atau latihan, memelihara dan menggunakan alat kesehatan yang optimal,

melakukan rapat rutin, membuat pencatatan dan pelaporan yang telah

ditetapkan, mengikuti visite dokter dan memberikan pendidikan kesehatan.

3) Fungsi pengawasan/pengendalian dan penilaian meliputi mengendalikan dan

menilai asuhan keperawatan, mengawasi dan menilai mahasiswa praktik

keperawatan, melakukan penilaian kinerja perawat, mengawasi dan

mengendalikan pendayagunaan alat kesehatan dan tenaga keperawatan,

mengawasi dan menilai mutu asuhan keperawatan


2.3. Budaya Organisasi

Budaya organisasi didefinisikan sebagai suatu kerangka kerja kognitif yang

memuat sikap-sikap, nilai-nilai, norma-norma dan pengharapan-pengharapan

bersama yang dimiliki oleh anggota-anggota organisasi (Greenberg dan Baron,

2012).

Budaya organisasi berkaitan dengan konteks perkembangan organisasi,

artinya budaya berakar pada sejarah organisasi, diyakini bersama-sama dan tidak

mudah dimanipulasi secara langsung (Schenieder, 1996, dalam Cahyono 2015).

Menurut Stoner (1996) dalam Waridin & Masrukhin (2016) budaya

(culture) merupakan gabungan kompleks dari asumsi, tingkah laku, cerita, mitos,

metafora dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk menentukan apa arti

menjadi anggota masyarakat tertentu. Budaya organisasi atau corporate culture

sering diartikan sebagai nilai-nilai, simbol-simbol yang dimengerti dan dipatuhi

bersama, yang dimiliki suatu organisasi sehingga anggota organisasi merasa satu

keluarga dan menciptakan suatu kondisi anggota organisasi tersebut merasa

berbeda dengan organisasi lain.

Mas’ud (2014), budaya organisasional adalah system makna, nila-nilai dan

kepercayaan yang dianut bersama dalam suatu organisasi yang menjadi rujukan

untuk bertindak dan membedakan organisasi satu dengan organisasi lain. Budaya

organisasi selanjutnya menjadi identitas atau karakter utama organisasi yang

dipelihara dan dipertahankan.

Robins (2016), menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan suatu

sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi yang


membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Budaya organisasi

adalah suatu sistem nilai yang diperoleh dan dikembangkan oleh organisasi dan

pola kebiasaan dan falsafah dasar pendirinya, yang terbentuk menjadi aturan yang

digunakan sebagai pedoman dalam berfikir dan bertindak dalam mencapai tujuan

organisasi. Budaya yang tumbuh menjadi kuat mampu memacu organisasi kearah

perkembangan yang lebih baik.

Lebih lanjut Robins (2016), mengatakan perubahan budaya dapat dilakukan

dengan :

1. Menjadikan perilaku manajemen sebagai model,

2. Menciptakan sejarah baru, simbol dan kebiasaan serta keyakinan sesuai dengan

budaya yang diinginkan,

3. Menyeleksi, mempromosikan dan mendukung pegawai,

4. Menentukan kembali proses sosialisasi untuk nilai-nilai yang baru,

5. Mengubah sistem penghargaan dengan nilai-nilai baru,

6. Menggantikan norma ynag tidak tertulis dengan aturan formal atau tertulis,

7. Mengacak sub budaya melalui rotasi jabatan, dan

8. Meningkatkan kerja sama kelompok.

Budaya organisasi terdiri atas sejumlah karakteristik yang menjadi dasar

bagi anggota mengenai organisasi, bagaimana kegiatan dilakukan didalamnya

serta cara anggota diharapkan berperilaku. Menurut Stephen Robbins (2014)

sepuluh dimensi yang mempengaruhi budaya organisasi meliputi :

1. Inovasi,

2. Pengambilan risiko,
3. Kepemimpinan

4. Integritas,

5. Dukungan manajemen,

6. Desain pekerjaan,

7. Identitas manajemen,

8. Sistem rewards,

9. Manajemen konflik, dan

10. Pola komunikasi.

Budaya organisasi akan berorientasi pada hasil jika kriteria balas jasa

berorientasi pada target pencapaian (Riani, 2013). Manajemen perlu memberikan

penghargaan kepada kepala ruangan yang telah menunjukkan kinerja yang baik,

seperti kenaikan gaji dan promosi berdasarkan layanan terhadap pasien yang luar

biasa. Pendapat ini didukung oleh hasil riset Muzaputri dan Aminudin (2016)

menjelaskan ada hubungan antara imbalan dan kinerja.

Danah Zohar dan Ian Marshall (2012) mendefinisikan kecerdasan spiritual

sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu

kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna

yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan

hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Selanjutnya,

kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk

berhubungan dengan Tuhan.. Untuk itu dalam hubungannya dengan perilaku

caring, maka kecerdasan spiritual mempunyai hubungan dengan perilaku caring

perawat. Pandangan lain juga dikemukakan oleh Muhammad Zuhri, bahwa


kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk

berhubungan dengan Tuhan. Kecerdasan spiritual (SQ) berkaitan dengan masalah

makna, motivasi, dan tujuan hidup sendiri.

Hasil penelitian ini didukung oleh Bijaya (2016) mengungkapkan ada

korelasi yang bermakna antara budaya organisasi dengan kinerja kepala ruangan.

Faktor budaya organisasi menurut Robbins (2014) terdapat sepuluh variable yang

dapat mempengaruhi perilaku seseorang yaitu inovasi, pengambilan risiko,

kepemimpinan, integritas, dukungan manajemen, desain pekerjaan, identitas

manajemen, sistem rewards, manajemen konflik, dan pola komunikasi. Hasil

penelitian ini juga didukung oleh Guntur (2012) menunjukkan bahwa komitmen

organisasi terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena

ingin melakukannya. Hal ini bisa mempengaruhi kepala ruangan untuk tetap

mengabdikan diri pada rumah sakit dengan cara meningkatkan kinerjanya.

Budaya organisasi yang kuat dapat menciptakan kesamaan tujuan, motivasi dan

struktur pengendalian dalam membentuk perilaku untuk meningkatkan prestasi

organisasi yang berdampak pada kinerja anggota organisasi.

Budaya organisasi merupakan sebuah sistem makna bersama. Pernyataan ini

didukung oleh Robbins & Judge (2014) mendefinisikan budaya organisasi

merupakan sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang

membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi lainnya. Sarplin (1995,

dalam Riani, 2013) menyatakan pemikiran yang sama bahwa budaya organisasi

merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi
yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan

norma-norma perilaku organisasi.

Menurut Robbins & Judge (2014) ada 3 hal yang memainkan peranan yang

sangat penting dalam mempertahankan sebuah budaya yaitu proses seleksi,

tindakan manajemen puncak, dan metode sosialisasi. Budaya organisasi akan

berorientasi pada hasil jika kriteria balas jasa berorientasi pada target pencapaian

(Riani, 2013). Kompensasi/jasa pelayanan di rumah sakit menjadi hal penting

mengingat sebagian besar tenaga kerja di rumah sakit adalah tenaga profesional

sehingga terdapat tiga alasan yang membuat kompensasi/gaji masih merupakan

faktor penting dalam manajemen kinerja (Mutia, 2014), dengan harapan kinerja

dan kemampuan kepala ruangan didorong oleh kompensasi/gaji. Pertama gaji

dapat memotivasi kepala ruangan mengembangkan keterampilan dan kemampuan

untuk menjadi lebih baik kinerjanya, kedua kompensasi juga sebagai media

menyampaikan pesan bahwa kinerja dan kemampuan adalah penting dan yang

ketiga gaji merupakan keterbukaan dan keseimbangan rewards kepada kepala

ruangan berdasarkan kinerja, kemampuan dan sumbangsih karyawan.

Pelayanan keperawatan yang bermutu merupakan harapan semua orang

sehingga rumah sakit sebagai penyedia layanan keperawatan dituntut untuk selalu

meningkatkan mutu pelayanannya. Ada tiga area tanggung jawab mutu dalam

pelayanan keperawatan yang harus menjadi perhatian utama pada setiap

organisasi keperawatan yaitu pasien (digambarkan dengan asuhan keperawatan),

praktisi (digambarkan dengan penampilan kinerja perawat), dan profit/


pembiayaan. (digambarkan dengan pembiayaan keperawatan). (Direktorat Bina

Pelayanan Keperawatan, 2014).

Didukung hasil penelitian Rusmiati (2014), peran individu dan lingkungan

kerja (budaya organisasi) memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan tugas

keperawatan. Hasil penelitian Lande (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan

signifikan dari faktor organisasi dengan kinerja kepala ruangan, didukung juga

dengan hasil penelitian Rodwell et al. (2013) menyimpulkan ada hubungan

signifikan baik secara parsial maupun simultan antara praktik komunikasi

organisasional dengan kinerja karyawan. Peningkatan kinerja harus diatur dengan

baik agar dapat meningkatkan kinerja seorang perawat, dengan ini faktor individu

dan sistem manajemen kinerja organisasilah yang dapat membantu meningkatkan

kinerja perawat (Gitosudarno, 2014).

Kualitas kerja dapat terjaga dengan baik jika terdapat dukungan individu

dan lingkungan kerja dalam hal ini adalah budaya organisasi yang kondusif,

sehingga keinginan organisasi dapat tercapai. Sebagai mana disampaikan

(Notoatmodjo, 2012) yang mengatakan kompensasi atau rewards sebagai sesuatu

yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa untuk kerja dan pengabdiannya

menjadi hal penting bagi karyawan sebagai pencerminan atau ukuran nilai

pekerjaan karyawan,dimana apabila kompensasi diberikan secara tepat,maka para

karyawan akan memperoleh kepuasan kerja dan termotivasi untuk mencapai

tujuan organisasi.
2.4. KERANGKA TEORI

Kejujuran Keterbukaan Pengetahuan diri


- Jujur dalam bekerja - Bersikap fleksibel - Bertanggungjawab
- Tidak mengambil pekerjaan dalam bekerja terhadap tugas dan
begitupun hasilnya - Menerima kritikan dan pekerjaan
- Bertindak sesuai jiwa saran terhadap - Pekerjaan sesuai dengan
kebaikan pekerjaan pengetahuan
- Menerima perubahan - Dapat memahami tinggi
menjadi lebih baik rendahnya suatu
permasalahan

BUDAYA ORGANISASI

Fokus pada kontribusi Spritual Non Dogmatis

- Memiliki kemampuan untuk - Memiliki kualitas hidup


menghadapi tekanan yang diilhami oleh visi dan
- Mengetahui keberanian nilai-nilai yang baik
berpendirian dalam hal - Dalam bekerja pekerjaan
kebaikan merupakan tanggung jawab
- Mengetahui pentingnya - Memiliki sifat yang tidak
suatu kesabaran mudah putus asa terhadap
setiap masalah

Menurut Sukidi dalam Handayani (2014)

2.5. KERANGKA KONSEP

Kerangka konsep merupakan kerangka yang dipakai sebagai dalam landasan

berpikir untuk melakukan penelitian yang dikembangkan berdasarkan teori,

dimana disusun berdasarkan berbagai variabel yang ada dalam penelitian

(Nursalam, 2008). Kerangka konsep telah menggambarkan variabel penelitian.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kecerdasan spiritual kepala

ruangan dengan budaya organisasi di Ruang Rawat Inap RSUD Rantauprapat


Variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada skema berikut ini :

Variabel Independen Variabel Dependen

Kecerdasan Spritual
1. Kejujuran
2. Keterbukaan
Budaya Organisasi
3. Pengetahuan diri
4. Fokus pada kontribusi
5. Spritual Non Dogmatis
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan deskriptif dimana menghadirkan gambaran

tentang situasi dan fenomena sosial secara detail. Dalam penelitian ini, peneliti

memulai penelitian dengan desain penelitian yang terumuskan secara baik dengan

tujuan untuk mendeskripsikan sesuatu secara jelas.

Pada penelitian ini menggambarkan hubungan kecerdasan spritual kepala

ruangan dengan budaya organisasi.

3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilakukan di Ruang Rawat Inap RSUD Rantauprapat.

Tanggal pengumpulan data dimulai bulan November 2018.

3.3 Populasi Dan Sampel

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian

ini adalah anggota kepala ruangan yang ada di RSUD Rantauprapat.

Peneliti menetapkan waktu penelitian selama satu minggu, dengan teknik

total sampling yaitu dengan mengambil seluruh responden yang ada atau tersedia
disuatu tempat sesuai dengan konteks penelitian. Setelah dilakukan penelitian,

sampel yang terkumpul dan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 188 orang.

Dengan kriteria sampel sebagai berikut :

A. Kriteria Inklusi

Merupakan penentuan sampel yang didasarkan atas karakteristik umum

subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti.

Kriteria inklusi mengarahkan peneliti untuk merujuk dan menentukan

populasi yang akan dijadikan sebagai dasar untuk menentukan sampel dalam

penelitian dan dijadikan sebagai pertimbangan ilmiah. Kriteria inklusi

meliputi :

1) Anggota kepala ruangan rawat inap yang bekerja di RSUD rantauprapat

2) Bersedia menjadi responden

3) Kooperatif

4) Berada di tempat saat penelitian

B. Kriteria Eksklusi

Adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel,

antara lain :

1) Tidak memahami bahasa Indonesia

2) Tidak bersedia dijadikan sebagai responden


3.4 Jenis dan Teknik pengumpulan data

1. Jenis data

a. Data primer

Data primer yaitu sumber data yang langsung memberikan data

kepada peneliti. Data primer dari penelitian ini yaitu kecerdasan

spiritual kepala ruangan dengan budaya organisasi yang diperoleh

dari jawaban kuesioner.

b. Data sekunder

Data sekunder yaitu sumber data yang tidak langsung diberikan

kepada peneliti. Peneliti mendapatkan data yang sudah jadi yang

dikumpulkan oleh pihak lain dari berbagai cara dan metode baik

secara komersial maupun non komersial. Data sekunder dari

penelitian ini yaitu data dari kepegawaian RSUD Rantauprapat

berupa data semua anggota kepala ruangan rawat inap tersebut.

2. Instrumen pengumpulan data

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian

ini adalah kuisioner.

3. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuisioner

dengan penyebaran angket, yang diisi oleh responden yang telah

memenuhi kriteria.
Adapun langkah-langkah pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah

sebagai berikut :

1. Peneliti datang kebagian kepegawaian RSUD Rantauprapat dan menyerahkan

surat izin penelitian dari institusi;

2. Peneliti meminta persetujuan penelitian dari pihak RSUD Rantauprapat;

3. Peneliti menunggu responden di ruang rawat inap;

4. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada responden;

5. Peneliti meminta persetujuan dari responden;

6. Peneliti memberikan angket kepada responden untuk di isi;

7. Peneliti memeriksa kelengkapan jawaban dari kuesioner yang telah di isi oleh

responden.
F. Teknik pengolahan dan analisis data

1. Teknik pengolahan data

a. Pemeriksaan data ( editing )

Peneliti memeriksa semua kuesioner satu persatu untuk

memastikan data yang diperoleh adalah data yang benar-benar terisi

lengkap dan relevan. Proses editing dilakukan ditempat pengumpulan data,

sehingga apabila terdapat kesalahan, maka upaya pembetulan dapat segera

dilakukan.

b. Pengkodean data ( coding )

Setelah data terkumpul selanjutnya peneliti memberikan kode pada

masing-masing pertanyaan variabel peneliti. Untuk variabel pengetahuan,

dikategorikan untuk pengetahuan baik jika persentase jawaban >50%

diberi kode (1), dan untuk pengetahuan kurang baik jika persentase

jawaban ≤50% diberi kode (0). Untuk memudahkan peneliti dalam master

table untuk kode (1) yaitu baik “B” dan untuk kode (0) yaitu kurang baik

“KB”.
c. Memasukkan data ( Data Entry ) atau Processing

Setelah data diperiksa dan diberi kategori masing-masing variabel

kemudian dimasukkan data pada master tableyang tersedia .

d. Membersihkan data ( cleaning )

Peneliti melakukan pengecekan kembali terhadap data yang telah

dimasukkan kedalam master table.

2. Analisis data

Analisis Univariat

Analisis yaitu yang dilakukan pada masing-masing variabel-variabel

penelitian. Analisis dilakukan menggunakan sistem komputerisasi dan di

sajikan dalam distribusi frekuensi sesuai dengan sub variabel yang akan

diteliti.

Variabel pengetahuan

Persentase untuk variabel pengetahuan dinilai menggunakan rumus :

f
P = n x 100%
Keterangan :

P = persentase

f = frekuensi

n = jumlah responden

Dalam membuat kategori tingkat pengetahuan, dikelompokkan menjadi dua

kelompok jika yang diteliti masyarakat umum, yaitu sebagai berikut:


a. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya > 50 %

17
Tingkat pengetahuan kategori Kurang Baik jika nilainya ≤ 50 %.

3.4

3.5

3.6

DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul Nugraha. (2014). Pengaruh Spiritualitas, Intelektualitas, Dan
Profesionalisme Terhadap Kinerja Dosen Stain Salatiga.Jurnal Penelitian
Sosial Keagamaan Vol. 8. No. 2

Handayani, R. I. (2014). Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan


Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan Pada Hotel Ijen View & Resort
Bondowos. Jurnal Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa.

Nur Amalia Ramadhani, 2016 Kecerdasan Spiritual dan Emosional Sebagai


Anteseden Kinerja Pegawai Kecerdasan Spiritual dan Emosional Sebagai
Anteseden Kinerja Pegawai.

Lampiran 10

LEMBAR BUKTI BIMBINGAN


Nama Mahasiswa : IRMA NASUTION

NIM : 1714201184B

Judul Penelitian : Hubungan Kecerdasan Spritual Kepala Ruangan Dengan


Budaya Organisasi Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Umum Daerah Rantauprapat Tahun 2018

Pembimbing : Mardhiah, S.Kep. Ns

Tanda
Materi
No Tanggal Komentar/Saran Tangan
Pembimbing
Pembimbing
HUBUNGAN KECERDASAN SPRITUAL KEPALA RUANGAN
DENGAN BUDAYA ORGANISASI DI RUANG RAWAT INAP
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RANTAUPRAPAT
TAHUN 2018
PROPOSAL

Oleh

IRMA NASUTION
1714201184B

PROGRAM STUDI NERS-S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FLORA
MEDAN
2018

Anda mungkin juga menyukai