Anda di halaman 1dari 8

SERUAN UNTUK PARA BUDAK (Sebuah Refleksi tentang Pendidikan)

Seruan ku...!!!

Selamat pagi para pencinta blog “SOPHY119”. Sudah lama saya tidak menyapa rekan-rekan
melalui blog ini. Sudah hampir satu bulan lamanya, sejak post terakhir saya pada tanggal 10
April 2016 yang berjudul HIDUP SEPERTI APA YANG KAU CARI,? Saya baru sempat untuk
menulis hari ini.

Dan tulisan saya ini adalah soal Pendidikan. Ya tanggal 2 Mei 2016 kemarin adalah
peringatan Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. Dan pada saat momentum itu juga pada pukul
7:41 WIB tertanggal 2 Mei 2016 di dalam Angkot yang saya tumpangi yang akan menuju Pasar
Rebo, perhatian saya tertuju kepada para siswa dan siswi yang satu angkot dengan saya, dan saya
tersadar bahwa hari itu bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional dan spontan itu pula saya
tertarik untuk merefleksikan soal Pendidikan, khususnya pendidikan yang ada di Indonesia
dewasa ini.

Tetapi sebelumnya, apa itu pendidikan,? apa tujuan dari pendidikan,? Itu yang terlintas
pertama di pikiran saya. Saya pun menyadari bahwa saya juga sedang menjalani masa
pendidikan di Perguruan Tinggi, ya di Universitas Malahayati. Apa tujuan pendidikan yang
sedang saya jalani saat ini,? untuk apa pendidikan yang sedang saya jalani ini,?

Saya mencoba merecall kembali ingatan saya, mencoba mencari data yang kebanyakan sudah
saya hapus karena kapasitas memori otak saya yang kecil, jadi saya memilah-milah data yang
penting dan menghapus data yang tak penting bagi saya. Dan dari proses recall saya, saya hanya
mendapat satu kalimat yang menggambarkan tentang tujuan dari pendidikan yang pernah saya
terima.
“Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia”

Lalu pertanyaan selanjutnya yang muncul dikepala saya adalah apa itu harkat dan martabat
manusia,? Lalu apa hubungannya pendidikan dengan harkat dan martabat manusia,? Bagaimana
bisa pendidikan menjadi variabel yang menentukan harkat dan martabat manusia,?

Merasa tak bisa menjawab pertanyaan kritis ini, lalu saya mencoba menuliskan pikiran saya
ini dalam buku catatan saya, yang akan menjadi agenda reflektif saya. Dan hari ini perenungan
itu dimulai. Berawal dari menambah pustaka dari berbagai sumber yang menyoal tentang definisi
dan tujuan pendidikan menurut undang-undang ataupun menurut para ahli, saya akan mengutip
beberapa diantaranya:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. [1]

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta


peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi Manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. [2]
Pendidikan yaitu sebuah proses pembelajaran bagi setiap individu untuk mencapai
pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai objek tertentu dan spesifik.
Pengetahuan yang diperoleh secara formal tersebut berakibat pada setiap individu yaitu
memiliki pola pikir, perilaku dan akhlak yang sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya.
[3]

Ketiga kutipan diatas adalah kutipan saya dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dan Untuk kutipan saya dari
beberapa para ahli adalah :

Ki Hajar Dewantara : Pendidikan adalah suatu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak.
Maksudnya ialah bahwa pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta
didik agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.

Ahmad D. Marimba : Pendidikan ialah suatu proses bimbingan yang dilaksanakan secara
sadar oleh pendidik terhadap suatu proses perkembangan jasmani dan rohani peserta didik,
yang tujuannya agar kepribadian peserta didik terbentuk dengan sangat unggul. Kepribadian
yang dimaksud ini bermakna cukup dalam yaitu pribadi yang tidak hanya pandai secara
akademis saja, akan tetapi pandai secara karakter.

Di atas adalah dua kutipan definisi pendidikan yang diungkapkan oleh beberapa para ahli,
dan masih banyak lagi definisi yang diajukan oleh para ahli. Tetapi menurut hemat saya, jika
saya boleh untuk mengajukan definisi sendiri dari pemahaman saya yang saya simpulkan dari
beberapa definisi yang telah termaktub diatas adalah sebagai berikut :
“Pendidikan adalah proses dialektika antara 2 (dua) substansi (pendidik dan anak didik) yang
dimana proses dialektika tersebut bertujuan untuk memperoleh tujuan yang telah disepakati
keduanya.” (Sophy119)

Proses dialektika disini sudah meliputi usaha sadar dan terencana, proses pembelajaran, suatu
tuntunan, proses bimbingan yang juga sudah termaktub dari beberapa definisi para ahli. Dua
subtstansi disini tidaklah mewakili jumlah kuantitas, tetapi mewakili dua ekualitas yang ada.
Dapat dicontohkan sebagai : Pendidik dan peserta didik, pengajar dan yang diajar, guru dan
siswa, dosen dan mahasiswa, ustadz dan santri, pelatih dan yang dilatih dan lain-lain.

Sedangkan tujuan yang telah disepakati oleh keduanya adalah jelas telah meliputi :
meningkatkan keilmuan, kecerdasan baik jasmani dan rohani, kecakapan, pola pikir dan prilaku,
akhlak, kepribadian atau meningkatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
kesepakatan antara dua substansi yang menjadi pelaku proses dialektika itu sendiri.

KONDISI PENDIDIKAN DEWASA INI,?

Untuk menjawab pertanyaan diatas kita harus kembali ke reflektif kita soal pendidikan
seperti yang telah saya sajikan sebelumnya. Reflektif kita tentang pendidikan akan membawa
kita menuju ke kedalaman esensi pendidikan sebenarnya. Jika kita telah mengetahui esensi
pendidikan itu maka kita bisa membandingkannya dengan kondisi dewasa ini. Apakah kondisi
sekarang telah mengindikasikan tercapainya esensi pendidikan yang telah kita reflektifkan,?
Sebelumnya perlu dibatasi disini adalah, reflektif kita hanyalah sebatas pendidikan formal
yang ada di negara kita yaitu proses pembelajaran yang ada di instansi formal baik itu dari
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan juga Perguruan
Tinggi. Terlebih khusus, karena saya sekarang sedang menjalani pendidikan di tingkat Perguruan
Tinggi, maka saya akan merefleksikan sebatas epirisme saya yang melingkupi pendidikan yang
ada di Perguruan Tinggi.

Bagaimana kondisi pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi dewasa ini,? apakah sudah sesuai
dengan cita-cita bangsa kita yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang
Negara Republik Indonesia,?

Dua tujuan dasar esensi pendidikan : Pertama, untuk personal individu adalah menjadi
manusia yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan
berbudaya. Kedua, untuk universal adalah menjadi manusia yang menguasai cabang dan
menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menerapkan nilai humaniora agar
bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.

Menurut hemat saya sebagaimana esensi pendidikan yang telah dipaparkan diatas, saat ini
pendidikan di Indonesia (khususnya di tingkat Pendidikan Tinggi) telah mengalami penyempitan
esensi. Penyempitan esensi yang saya maksud disini tersirat didalam paradigma sebagian besar
hasil didikan dari pendidikan dewasa ini.

Pendidikan yang hanya dimaksudkan untuk mencari selembar kertas formil yang bernamakan
“IJAZAH” untuk menyokong persaingan didalam dunia kerja setelah ia menyelesaikan
pendidikannya. Pendidikan yang hanya melihat kekayaan material sebagai tolak ukur kesuksesan
dari hasil proses pendidikan. Pendidikan yang mencetak manusia konsumtif karena telah terpatri
didalam otaknya bahwa kuantitas kepemilikan baranglah yang menjadi kesemakin dekatnya ia
dengan kata “kesuksesan”.

BUDAK MODERN

Seperti inilah lingkaran setan yang telah membelenggu kita sebagai hasil dari pendidikan
yang telah kita jalani selama ini. Kita bisa dikatakan sebagai budak hawa nafsu kita sendiri,
karena memang pendidikan kita mengajarkan untuk menuruti hawa nafsu itu, bukan untuk
mengendalikannya. Kita adalah budak bergaji sekarang ini, bisa saya katakan begitu.

Ya lain hal dengan budak pada zaman peradaban kuno, kita adalah budak modern. Budak
bergaji, dan juga berdasi. Ada kontrasitas antara budak kuno dan budak modern didalam wilayah
eksistensialnya, tetapi tidak dalam esensinya. Kita tetaplah budak, yang tak memiliki kebebasan
dari hawa nafsu kita sendiri. Hidup kita hanya untuk bekerja demi kepentingan orang lain. Itulah
esensi dari budak meskipun label budak modern yang terkalung di leher kita itu tak kita sadari.

Pendidikan yang seharusnya membebaskan, kini telah membelenggu kita didalam kuasa
hawa nafsu kita sendiri yang termanifestasikan dalam watak konsumtif hasil dari pendidikan
kini. Pendidikan yang seharusnya berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban manusia yang bermartabat, justru menjadikan kita manusia yang berkarakter
lemah dalam perbudakan modern ini.

Alih-alih menghasilkan didikan yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai salah satu dari
bagian peradaban umat manusia justru mencetak budak-budak yang hanya ada diri didalam diri
yang siap dilempar kedalam penjara dunia industri dan hidup di persaingan pencapaian label
“kesuksesan” dalam pemburuan kekayaan material yang lupa akan tanggung jawabnya sebagai
penerus peradaban umat manusia.

Tak ada persatuan didalam pola pikir seperti ini, pola pikir budak modern. Yang ada
hanyalah persaingan antar budak dalam pencapaian “kesuksesan” tertinggi yang sejatinya adalah
hawa nafsunya sendiri. Itulah bentuk penjajahan modern, penjajahan hawa nafsu yang memakai
baju “kesuksesan” untuk menutupi ketelanjangannya.

LEPASKAN BELENGGU MU PARA BUDAK....!!!!

Saya, sebagai budak modern yang tersadarkan menyeru kepada para saudara-saudaraku :

“Mari kita lepaskan kalung budak modern yang ada di leher kita.

Mari kita sama-sama lawan para tuan yang telah menjadikan kita budak yaitu hawa nafsu kita.

Mari kita raih kebebasan kita sebagai manusia merdeka, merdeka dari hawa nafsu kita sendiri.

Mari kita kembali kepada esensi pendidikan yang menjadikan kita sebagai manusia yang
bermartabat, manusia yang manusiawi.

Kita adalah satu kesatuan, yang telah terpecah oleh perbudakan ini.

Sang tuan penjajahlah yang telah memisahkan kita dari kesatuan ini.
Sang tuan penjajahlah yang telah membuat kita lupa akan esensi pendidikan ini.

Sang tuan penjajahlah yang telah menipu kita dengan jargon kesuksesannya.

Yang sejatinya itu adalah hawa nafsu kita yang tak mau terlihat bugil dihadapan kita.

Tujuan pendidikan bukanlah hanya sekedar pemenuhan diri sendiri.

Pemenuhan yang tiada henti yang membuat kita lupa akan tujuan kita selanjutnya.

Tujuan pendidikan selanjutnya adalah pemenuhan bersama peradaban umat manusia.

Jangan berhenti hanya sebatas pemenuhan diri sendiri.

Karena itu membuat dirimu tak sepenuhnya menjadi manusia.

Kita adalah bagian dari peradaban umat manusia.

Umat manusia yang satu, sama, dalam perbedaan yang sejatinya adalah semu.

Sekali lagi, saya menyeru...!!

Mari kita berjuang untuk melepaskan belenggu perbudakan ini.

Kemungkinannya hanya ada dua,

Kita bebas atau mati dalam mencobanya.!"

Anda mungkin juga menyukai