Anda di halaman 1dari 16

Nama : Naftali Zuhrotun Napsi

NIM : 06040123123
Matkul : Akhlak Tasawuf

SOAL !
Buatlah narasi secara ilustratif tentang mahabbah dan ma'rifa u/ relefansi keduanya !

JAWABAN !
Sebagian besar pengamat perkembangan tasawuf menyatakan bahwa praktek tasawuf
berasal dari asketisme atau praktek zuhud Nabi dan para sahabatnya. Asketisme yang ditimba
dari Al-Qur’an dan Sunnah pada dasarnya tidak memalingkan diri dari kehidupan masyarakat
bahkan asketisme membekali manusia tenaga-tenaga rohaniah sehingga mampu menghadapi
dan mem bimbing umat. Namun demikian asketisme tersebut berkembang menjadi gerakan
yang mengarah kepada “lari dari dunia”. Askestisme kemudian mendapat dorongan dari
berbagai sisi sehingga semakin menguatkan untuk menjadi satu pola hidup. Pemerhati
tasawuf menyatakan perkembangan ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor, baik internal
maupun eksternal.
Faktor-faktor internal di antaranya adalah pertama, pemahaman secara ekstrem akan
isyarat-isyarat al-Qur’an dan Sunnah yang mendo rong hidup zuhud. Kedua, revolusi
ruhaniah kaum muslimin terhadap kondisi sosio-politik yang ada. Ketiga, penentangan
terhadap fiqh dan kalam dan filsafat yang dipandang terlalu formal dan rigid. Sedangkan
secara eksternal tasawuf dipengaruhi oleh ajaran Vedanta Hindu, filsafat gnosis Yunani,
asketisme Kristen dan ajaran Persia kuno yang lebih dahulu hidup sebelum agama Islam
menyebar ke berbagai wilayah tersebut.
Secara lebih komprehensif perkembangan awal tasawuf dikemukakan oleh Danner, bahwa
ada sejumlah peristiwa yang berlansung pada aba ketiga hijriyah yang kesemuanya membuat
tasawuf menguat. Yaitu
● Kecenderungan mencampur asketisme dengan dengan tradisi zuhud
● Semakin mantapnya aliran-aliran yurisprudensi eksoterik
● Pernyataan-pernyataan kaum Syiah mengenai kemaksuman para Imam
● Munculnya filsafat Islam
● Meningkatnya formalisme ahli-ahli hukum
● Tuntutan untuk memastikan bahwa pesan integral wahyu yang di dalamnya
mengandung dorongan untuk mengambil jalan tasawuf
Selama dua abad pertama, Sufisme masih merupakan fenomena individual dan spontan.
Dengan berkembangnya ilmu hukum (fiqih) dan teologi Islam, sufisme berkembang menjadi
pranata dengan daya tarik yang luar biasa. Seiring dengan dinamika intelektual dan politik
umat Islam pada abad kedua, tasawuf juga mengalami perubahan pada konsepkonsepnya.
Perkembangan ini ditandai adanya perhatian para sufi pada hal-hal yang esoteris dan agak
mengabaikan dimensi agama yang eksoteris seperti fiqh dan filsafat. Syari’at terkesan
diabaikan oleh para sufi yang telah mencapai kenikmatan pada tingkat hakekat. Dalam
perkembangan selanjutnya para sufi tidak puas jika hanya mencapai maqam mahabbah dan
ma’rifah, tetapi mereka menyatakan bahwa puncak tasawuf adalah mencapai kesatuan
dengan Tuhan wahdat al-wujud. Perkembangan terakhir ini karena para sufi terpengaruh oleh
filsafat dan gnosis dari Yunani.
Ketika kalam, filsafat dan fiqh mulai menapak kepada perkembangan dan gerakan-gerakan
pembukuan, maka tasawuf juga mulai merumuskan metode dan konsep-konsepnya sendiri,
yang berbeda dengan filsafat, fiqh dan kalam. Oleh karena itu menurut Ibn Khaldun, ketika
di antara para sufi telah menulis dengan sikap rendah hati dan introspeksi tentang apa yang
perlu dilakukan dan ditinggalkan, ilmu tasawuf merupakan ilmu yang tersusun secara
mandiri.
Selanjutnya perkembangan tasawuf dapat dikelom pokkan ke dalam dua kecenderungan.
Pertama, aliran tasawuf yang moderat, artinya tasawuf yang dibangun dengan selalu merujuk
kepada al-Quran dan Sunnah. Tasawuf dalam kategori ini dipe nuhi dengan ciri-ciri dekat
dengan syari’at dan ajaran moral yang tinggi. Kedua, aliran para sufi yang terpesona dengan
kehidupan fana. Dalam aliran ini muncul pengakuan-pengakuan dan istilah yang
menggambarkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, misalnya hulul, ittihad, wahdatul
wujud, ma’rifah dan mahabbah. Kecenderungan tasawuf ini disamping banyak dipenga ruhi
oleh perkembangan corak tasawuf yang pertama juga dipen garuhi oleh perkembangan
filsafat rasionalistik dan filsafat emanasi tentang kesatuan Wujud.
Dalam perkembangan berikutnya kecenderungan tasawuf yang pertama lazim disebut
tasawuf akhlaki, sedangkan kencenderungan yang kedua sering disebut tasawuf falsafi.
Secara kronologis tipologi aliran tasawuf akhlaki untuk menunjukkan perkembangan tasawuf
pada abad pertama Hijriyah dan awal abad kedua Hijriyah. Tasawuf falsafi untuk
menunjukkan perkembangan tasawuf pada akhir abad kedua sampai keempat H. Pada abad
keliam dan keenam H tasawuf akhlaki kembali menemukan kegemilangannya. Sedangkan
tasawuf falsafi -meskipun tidak hilang sama sekali di Baghdad- berkembang di wilayah
Ishafan pada masa dinasti Syafawid.12 Mempelajari perkembangan tasawuf tidak bisa
meninggalkan perkembangan pemikiran Islam lainnya, seperti filsafat, fiqh dan kalam.
Setiap manusia pasti mempunyai keinginan untuk dekat dan dicintai oleh Tuhannya. Untuk
mencapai hal tersebut, setiap orang harus mencapai mahabbah dan ma’rifat Allah SWT.
Mahabbah hampir selalu digunakan bersamaan dengan ma’rifah, baik dalam posisi maupun
makna. Ma’rifah adalah tingkat ilmu Allah SWT yang diperoleh melalui mata hati (al-qalb),
sedangkan mahabbah mengacu pada perasaan dekat dengan Allah SWT melalui cinta.
Namun, di era sekarang ini, mahabbah dan ma’rifah menghadapi tantangan yang globalisasi
semakin kompleks. Dampak negatif dari globalisasi melahirkan penyakit sosial, egoisme,
hedonisme dan materialisme, perilaku seks bebas, dan narkoba. Hal ini membuat beberapa
manusia terkadang melupakan kewajiban suci menjalankan tugas dan fungsinya sebagai ‘abid
di muka bumi serta menggapai cinta dan ridha dari Allah SWT. Dengan demikian, maka
menjadi sebuah keharusan bagi setiap muslim untuk memahami mahabbah dan ma’rifah
dengan baik agar terhindar dari dampak negatif tersebut serta mendapatkan cinta dan ridha
dari Allah SWT.
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti
mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Menurut Jamil
Shaliba, mahabbah adalah kebalikan dari al-baghd, yakni cinta versus kebencian.
Al-Mahabbah juga bisa merujuk pada al-wadud, yang berarti seseorang yang sangat
penyayang. Lebih lanjut, mahabbah dapat merujuk pada kecenderungan terhadap sesuatu
yang sedang berjalan untuk mendapatkan kebutuhan material dan spiritual, misalnya seperti
cinta orang tua untuk anaknya. Pada tingkatan selanjutnya, mahabbah juga bisa merujuk pada
usaha sungguh-sungguh seseorang untuk mencapai tingkatan spiritual tertinggi dengan
mencapai gambaran mutlak, yaitu cinta kepada Allah SWT. Dari segi tasawuf, al-Qusyairi
dalam mendefinisikan mahabbah sebagai perkara (keadaan) jiwa mulia yang wujudnya
menjadi saksi keabsolutan Allah SWT., selanjutnya yang dicintainya juga menyatakan cinta
kepada yang dikasihi-Nya. Mahabah (cinta) Allah SWT kepada hamba yang mencintai-Nya
kemudian dapat berwujud rahmat dan karunia Allah SW5 berupa pahala dan nikmat yang
melimpah.
Harun Nasution menjelaskan bahwa mahabbah berarti cinta kepada Tuhan. Selanjutnya
menurut Harun Nasution pengertian mahabbah adalah sebagai berikut: Pertama, memeluk
ketaatan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan-Nya; Kedua, memberikan segalanya
untuk orang yang kamu cintai; Ketiga, mengosongkan hati dari segala–galanya kecuali dari
Tuhan. Menurut al-Sarraj, ada tiga jenis mahabbah, yaitu: mahabbah orang biasa, mahabbah
orang shidiq, dan mahabbah orang arif. Mahabbah manusia biasa berwujud selalu mengingat
Allah SWT dengan dzikir, senang menyebut nama-nama Allah SWT, senang berdialog
dengan Allah SWT, dan selalu memuji Allah SWT. Selanjutnya, mahabbah shidiq adalah
cinta orang-orang yang mengenal Tuhan, kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, pengetahuan-Nya,
dan sebagainya. Cinta tingkat kedua ini memungkinkan seseorang untuk bebas dari kehendak
dan karakteristiknya sendiri, sementara hatinya dipenuhi dengan perasaan cinta dan
kerinduan kepada-Nya. Sedang cinta orang arif adalah cinta orang yang benar-benar
mengenal tuhan. Jenis cinta ini muncul dari pengetahuan yang mendalam tentang Tuhan. Tiga
tingkatan mahabbah itu tampak menggambarkan proses mencontai, dimulai dengan mengenal
sifat-sifat Tuhan melalui dzikir, berlanjut dengan melebur diri dalam sifat-sifat ketuhanan
tersebut, dan akhirnya menyatu abadi dalam sifat Tuhan. Dengan uraian tersebut, kita dapat
melihat bahwa mahabah adalah keadaan jiwa yang di dalamnya mencintai Tuhan dengan
sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri orang yang
dicintai. Tujuannya untuk memperoleh kenikmatan batin yang sulit diungkapkan dengan
kata-kata namun hanya bisa dirasakan oleh jiwa.
Selanjutnya uraian di atas menunjukkan bahwa mahabbah adalah keadaan batin, seperti
perasaan gembira, sedih, takut, dan sebagainya. Sementara itu, ada juga yang berpendapat
bahwa mahabbah adalah istilah yang hampir selalu digunakan bersamaan dengan ma’rifah,
baik secara kedudukan maupun makna. Mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan
melalui cinta, sedangkan ma’rifah adalah tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui mata
hati. Seluruh jiwanya dipenuhi dengan cinta, terutama cinta kepada Allah SWT. Karena
pengetahuan dan pengenalan akan Tuhan begitu jelas dan mendalam, maka yang dilihat dan
dirasakan bukan lagi cinta, melainkan diri yang dicintai. Hal ini dikemukakan menurut
al-Ghazali bahwa mahabbah merupakan manifestasi ma’rifah kepada Tuhan.
Ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, dan ma’rifah, yang semuanya berarti ilmu
atau pengalaman. Bisa juga merujuk pada ilmu tentang rahasia-rahasia hakikat agama, yaitu
ilmu yang lebih unggul dari apa yang diperoleh kebanyakan orang pada umumnya. Ma’rifah
adalah ilmu yang tujuannya adalah untuk masuk lebih ke dalam pikiran dengan menemukan
rahasia-Nya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa
akal manusia mampu memahami hakikat ketuhanan, bahwa hakikat itu satu, dan segala
sesuatu yang ada berasal dari yang satu.
Selanjutnya, dalam tasawuf, ma’rifah digunakan untuk menunjukkan salah satu tingkatan.
Ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan tentang Tuhan melalui kalbu dalam konteks sufistik
ini. Pemahaman ini begitu lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa menyatu dengan apa
yang diketahuinya, yaitu Tuhan. Dengan demikian, tujuan dari ma’rifah ini adalah untuk
mempelajari rahasia-rahasia Tuhan. Menurut al-Junaid, ma’rifah adalah hal, sedangkan
menurut Risalah al-Qusyairiyah dianggap sebagai maqam. Menurut Harun Nasution, dalam
bukunya yang berjudul Falsafah dan Mistis dalam Islam, alat yang digunakan para sufi untuk
memperoleh ma’rifah dikenal dengan sir. Harun Nasution mengutip al-Qusyairi mengatakan
bahwa terdapat tiga alat dalam diri manusia yang dapat digunakan untuk berhubungan dengan
Tuhan. Pertama, al-Qalb (hati), sebagai alat untuk menemukan sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh,
sebagai sarana mencintai Tuhan. Ketiga, sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan. Dengan
keterangan ini jelaslah bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah ruh, yaitu ruh yang telah
dibersihkan dari segala dosa dan maksiat serta dikosongkan dari segala cinta kecuali kepada
Tuhan. Tuhan menganugerahkan kepada manusia ruh yang digunakan untuk mencintai
Tuhan ketika manusia berumur empat bulan saat dia masih berada dalam kandungan.
Demikianlah sesungguhnya Allah telah menganugerahkan alat mahabbah. Allah berfirman
tentang roh dalam Q.S. al-Isra ayat 85 dan Q.S. al-Hijr ayat 29:
● “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Q.S. al-Isra
ayat 85).
● “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke
dalamnya roh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud (Q.S.
Al-Hijr ayat 29)
Selanjutnya dalam hadis pun diinformasikan bahwa Allah menganugerahkan ruh kepada
manusia ketika mereka berusia empat bulan. Hadis tersebut berbunyi: “sesungguhnya
manusia dilakukan penciptaannya dalam kandungan ibunya, selama empat puluh hari dalam
bentuk nutfah (segumpal darah), kemudian menjadi alaqah (segumpal daging yang
menempel) pada waktu yang juga empat puluh hari, kemudian dijadikan mudghah (segumpal
daging yang telah berbentuk) pada waktu yang juga empat puluh hari, kemudian Allah SWT
mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya (HR. Bukhari Muslim)
Dua ayat dan satu hadits tersebut di atas tidak hanya menunjukkan bahwa Allah SWT
menganugerahkan ruh kepada manusia, tetapi juga bahwa ruh pada hakikatnya tunduk dan
patuh kepada Allah. Para sufi menggunakan roh yang wataknya demikian untuk mencintai
Allah SWT. Sementara itu, alat ma’rifah yang ada pada diri manusia yaitu qalb (hati). pada
diri manusia yaitu qalb. Namun, maknanya tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris,
karena qalb adalah alat untuk merasakan dan juga alat untuk berpikir. Qalb berbeda dengan
akal, karena akal tidak dapat memperoleh pengetahuan sejati tentang Tuhan sementara qalb
dapat mengetahui hakikat dari semua sesuatu yang ada dan jika diisi dengan cahaya-Nya
dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Setelah hati disinari cahaya Allah SWT, qalb yang
telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui rangkaian dzikir dan wirid yang
teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Allah SWT. Perjalanan menuju cahaya hati
Allah erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli diartikan sebagai
tindakan mengosongkan diri dari akhlak keji dan perbuatan maksiat melalui taubat. Takhalli
kemudian dilanjutkan dengan tahalli, yang ebrarti menghiasi diri dengan akhlak mulia dan
perbuatan baik. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga cahaya Allah SWT dapat
terlihat dengan jelas. Ma’rifah seseorang terkadang disebut dengan nama yang berbeda.
Imam al-Syarbasi menyebutnya sebagai ilmu al-Mauhubah (pemberian). Sementara Imam
Asy-Syuhrawardi menyebutnya sebagai al-Isyraqiayah (pancaran), Ibnu Sina menyebutnya
sebagai al-Faid (limpahan). Sedangkan ma’rifah dikenal sebagai futuh (pembuka) di kalangan
dunia pesantren, ilmu laduni di kalangan masyarakat Jawa, dan wangsit di kalangan
kebatinan.
Hampir semua literatur sufi mengatakan Rabi’ah al-Adawiyah sebagai orang yang
memperkenalkan ajaran mahabbah. Rabi’ah juga dikenal sebagai al-Adawiyah, al-Qaysiyah,
dan al-Bashriyah. Rabi’ah dinamai menurut nama anak keempat suku al-Atik Qasy bin Adi,
yang lahir di Basrah sekitar tahun 95-99 H (717 M), yaitu pada masa Bani Amawiyah 41-132
H, dan wafat pada tahun 185 H (801 M). Ia lalu dimakamkan di Bashrah. Beliau adalah
seorang budak yang kemudian dibebaskan. Di kehidupan berikutnya, dia banyak beribadah,
bertaubat, dan menjauhi dunia. Dia hidup sederhana dan menolak bantuan materi apa pun
yang ditawarkan orang kepadanya. Dalam berbagai doanya, ia menyatakan tidak ingin
meminta materi kepada Tuhan. Dia benar-benar hidup dalam asketisme dan hanya ingin dekat
dengan Tuhan. Menurut riwayat lain, dia beberapa kali menolak lamaran pria salih dengan
mengatakan: “akad nikah adalah pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal
itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam
Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah
mesti diminta dari-Nya, bukan dariku”. Rabi’ah tenggelam dalam kesadaran kedekatan
dengan Tuhan. Ketika sakit ia memberi tahu tamu yang menanyakan kondisinya: “Demi
Allah aku tak merasa sakit, lantaran surga telah ditampakkan bagiku sedangkan aku
merindukannya dalam hati, dan aku merasa bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, lantas
mencelaku. Dialah yang dapat membuatku bahagia”. Ungkapan doa-doa yang ia panjatkan
menunjukkan ketulusan cinta Rabi’ah tanpa mengharapkan apapun dari Tuhan. Ia misalnya
berdoa “Ya Tuhanku, bila aku menyembah – Mu lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah
diriku dalam neraka; dan bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka
jauhkanlah aku dari surga; namun jika aku menyembah-Mu hanya demi engkau, maka
janganlah engkau tutup keindahan abadi-Mu.”
Dua tokoh sufi, yaitu al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Mishri diketahui telah
memperkenalkan kosep ma’rifah dalam tasawuf. Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu
Hamid Muhammad al-Ghazali. Ia lahir di Ghazaleh, sebuah kota kecil di thus, khurasan, pada
tahun 1059 M. Al-Ghazali memulai perjalanan dialam bidang pendidikan di kota
kelahirannya. Ia belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar agama lainnya dari ayahnya, kemudian
melanjutkan belajar dasar-dasar ilmu di Thus. Beliau mempelajari inti ajaran Islam
(al-Qur’an dan sunnah nabi). Di antara kitab-kitab hadits yang dipelajarinya antara lain:
● Shahih Bukhari, beliau belajar dari Abu Sahl Muhammad bin ’ Abd al-Allah al Hafsyi
● Sunan Abi Daud, beliau belajar dari alHakim Abu al-Fath al-Hakim
● Maulid al-Nabi, beliau belajar pada dari Abu ’Abd al-Allah Muhammad bin Ahmad
al-Khawani
● Shahih al-Bukhari dan Shahih al-Muslim, beliau belajar dari Abu al-Fatyan ’Umar
al-Ru’asai
Semasa hidupnya, al-Ghazali menulis beberapa buku yang masih banyak dibaca hingga saat
ini. Orang-orang yang haus akan ilmu terus membaca buku-bukunya. Diantara kitab-kitab
tersebut adalah:
● Ihya Ulumuddin, yaitu kitab terkenal dan penting tentang ilmu kalam, tasawuf, dan
akhlak
● Ayyuhal Walad, yaitu sebuah kitab yang membahas tentang akhlak
● Al-Munqizu min ad Dhalal, yaitu buku tentang pengakuannya di saat ragu-ragu
hingga mengubah pandangannya tentang nilai-nilai kehidupan
● Maqasidul Falasifah dan Tahaful Falasifah, yaitu buku yang membahas tentang
filsafat
Adapun Zun al-Mishri memiliki nama lengkap Abu al-Faidl Dzun Nun Tsauban bin Ibrahim
al-Mishri. Ia lahir di Ikhmim Mesir tahun 155 H. Ayahnya lahir di Naubah (suatu
daerah di Mesir). Beliau adalah orang yang paling berilmu di masyarakatnya, wara’,
rendah hati, dan memiliki pengetahuan baasa dan sastra Arab yang luas pada masanya.
Posisinya dipandang penting dalam tasawuf. Hal tersebut karena ia adalah orang pertama di
Mesir yang membahas ahwal dan maqamat wali atau sufi. Dalam Nafahat al-Uns,
Abdurrahman al-Jami menggambarkannya sebagai tokoh mazhab sufi, dimana banyak sufi
mengambil dari atau menghubungkan ajaran mereka dengan ajarannya. Dengan demikian,
kemasyhurannya dimungkinkan karena beliau mengklasifikasikan maqam ahwal dan sufi.
Disamping itu, beliau adalah orang pertama yang menjelaskan tanda-tanda sufi dan berbicara
tentang subjek tersebut. Dialah yang paling pantas menyandang gelar sebagai peletakkan batu
pertama untuk fondasi tasawuf. Bukti bahwa kedua tokoh tersebut mengikuti ajaran ma’rifah
dapat ditemukan dalam pendapat mereka. Menurut al-Ghazali, ma’rifah adalah keadaan
dimana seseorang memandang wajah Allah SWT. Ma’rifah kepada Allah SWT adalah
mengingat Allah SWT dengan sendirinya, karena ma’rifah berarti hadir bersama-Nya dan
berdoa kepada-Nya. Tanda-tanda ma’rifah, pada mulanya, munculnya kilatan-kilatan
kecermelangan cahaya lawa`ih, tawali’, lawami’ dan barq. Kata-kata itu masing-masing
berarti kilatan cahaya dan kecemerlangan. Perbedaan antara al-barq dan al-wajd adalah
bahwa al-barq adalah proses memasuki jalan tauhin, sedangkan al-wajd adalah yang
mengikutinya. Hanya setelah keduanya mendarah daging barulah menjadi zauq. Menurut
al-Ghazali sarana ma’rifat seorang sufi bukan perasaan bukan pula akal budi melainkan
kalbu. Menurutnya, kalbu bukanlah bagian dari tubuh yang diketahui terletak di sisi kiri dada
manusia, melainkan percikan spiritual ketuhanan yang merupakan hakikat realitas manusia,
namun akal belum mampu untuk memahami hubungan antara keduanya. Kalbu menurut
al-Ghazali seperti layaknya cermin. Sementara ilmu adalah pantulan gambar nyata yang
berada di dalamnya. Oleh sebab itu, jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat
memantulkan realitas-realitas ilmu. Lebih lanjut, beliau mengemukakan bahwa yang
membuat cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu. Sementara itu, ketaatan kepada Allah
dan berpaling dari tuntutan hawa nafsulah yang menyebabkan kalbu berlinang dan
cemerlang.
Menurut al-Ghazali, tujuan pengetahuan adalah akhlak yang mulia, cinta kepada Allah,
kefanaan pada-Nya, dan kebahagiaan. Akibatnya, ia percaya bahwa pengetahuan diarahkan
pada tujuan moral karena bergantung pada kesucian dan kejernihan hati. Pengetahuan
menurutnya merupakan tanda petunjuk, sehingga seiring bertambahnya ma’rifah maka akhlak
akan juga akan bertambah serta akan mendapatkan kejernihan hati. Al-Ghazali menganggap
cinta kepada Allah SWT sebagai buah ma’rifah. Hal tersebut karena menurut beliau cinta
tidak dapat dibayangkan tanpa ma’rifah dan seseorang tidak dapat jatuh cinta kecuali dia
sudah memiliki ma’rifah. Dan tidak ada yang lebih pantas dicintai selain Allah SWT. Jika
seseorang mencintai sesuatu selain Allah SWT, itu karena ketidaktahuannya terhadap Allah
SWT. Sementara itu, menurut Zun al-Nun al-Mishri, ma’rifah adalah pengetahuan hakiki
tentang Tuhan. Menurutnya, ma’rifah hanya dapat ditemukan pada para sufi yang sanggup
melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Menurut Dzun Nun al-Mishri, ma’rifah kepada
Tuhan yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan yang diyakini oleh setiap mukmin.
Disamping itu juga bukan ilmu yang berdasarkan teorema atau analisis sebagaimana ilmu
para ahli hikmah dan mutakallimin, tetapi ilmu tentang sifat-sifat kebaikan Allah SWT, yang
hanya dimiliki oleh awlyaullah karena mereka menyaksikan Allah SWT secara langsung
dengan hati sanubari mereka. Mereka dapat mengungkapkan segala sesuatu yang tidak dapat
diungkapkan oleh hamba Allah SWT lainnya. Allah SWT menempatkan ma’rifah di hati
seorang sufi, mengisinya dengan cahaya. Ketika Zun al-Nun al-Mishri ditanya bagaimana dia
mendapat ma’rifah tentang Tuhan, beliau menjawab: “Aku mengenal Tuhan dengan Tuhan
dan jika bukan karena Tuhan aku tidak akan mengenal Tuhan.”
Menurut Dzun Nun, tujuan moral ma’rifah adalah agar nilai-nilai kemanusiaan dihias
seutuhnya dengan moral Allah SWT. Hal ini didukung melalui perkataannya : “Persekutuan
orang bijak itu seperti pergaulan Allah SWT. Dia menanggung dan mengharapkanmu karena
dia (arif) memiliki moral ilahiah “Ketika aku hendak berbuat maksiat dan aku ingat
perbuatan yang dihalalkan oleh Allah SWT, aku merasa malu kepada-Nya”. Dzun Nun
menjadikan ilmu kedekatannya dengan Allah SWT sebagai indikasi ma’rifah terhadap Allah
SWT dengan kata-kata tersebut. Para sufi yang telah mencapai tingkat ma’rifah memiliki
perasaan spiritual dan kejiwaan yang tidak dimiliki orang lain. Imam Syathibi dalam kitabnya
Iqad al-Himmah dalam telah menyebutkan ciri-ciri mendapatkan ma’rifah. Adapun seseorang
yang memiliki sifat ma’rifah ini memiliki hati yang bersinar seperti cermin, dan anda dapat
melihat hal-hal di dalamnya yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Cahaya di dalam hatinya
tidak lain adalah cahaya iman. Jadi, cahaya hatinya bersinar karena kekuatan imannya.
Kekuatan imannya tersebut menjadikan hatinya dapat berkomunikasi dengan Tuhan, serta
dengan musyahadah, dan dapat memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT.
Tasawuf sebagai gerakan pencari Tuhan secara langsung sejak awal pertumbuhannya bisa
dikatakan sebagai gerakan protes. Kaum sufi tidak puas menerima keterangan dan petunjuk
wahyu, ingin langsung bertemu dengan Tuhan. Seolah para sufi ingin mendapat wahyu
tersenidiri dari Tuhan. Pencapaian mahabbah dan ma’rifah sebagai diuraikan di atas
menunjukkan bahwa wahyu dan syari’at sedikit banyak mengganggu hubungan langsung
antara manusia dengan Tuhan. Surga dan neraka tidak begitu penting bagi para sufi atau
kurang fungsinya.
Rabi’ah dengan ajaran dua macam cintanya telah mengubah “cinta” menjadi cintarindu,
berzikir pada Allah dan melupakan segalanya. Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk
menuntut kebahagiaan dan kebesaran kampung akherat dengan ridha Allah, tanpa lupa
memperebutkan kenikmatan dunia. Rabi’ah dengan tasawufnya memandang tujuan hidup
mencari akherat itu adalah tabir yang menyesatkan. Ibadah mengharapkan pahala surga
dinilai kurang ikhlas, dihinanya sebagai pencari laba pahala atau ganti rugi. Demikian pula
Islam, sebagai agama zikir dan pikir untuk beramal dengan etos kerja untuk membangun
dunia demi kemajuan peradaban umat manusia, oleh Rabi’ah dengan tasawufnya diubah jadi
agama zikir dan merenung.
Adapun mengenai masalah cinta pada Allah dengan RasulNya, Islam memang menekankan
wajibnya mencintai Allah dan Rasul melebihi cinta kepada diri sendiri dan segala apa saja.
Rabi’ah memperkenalkan konsep cinta yang “emosional”, sehingga tidak ada lagi sisi-sisi
hidup ini untuk mencintai selain Tuhan. Namun demikian bukankah Islam juga
menganjurkan agar segala sesuatu terlebih dahulu dicerna secara rasional? Termasuk di
dalamnya adalah bahwa cinta Islam adalah cinta yang rasional. Pada hemat penulis
kebaradaan Zunnun al-Mishri tidak jauh berbeda dengan Rabi’ah dalam merumuskan
konsep-konsep ajaran tasawufnya. Bahkan sebenarnya agak sulit untuk membedakan konsep
yang dikedepankan oleh Zunnun. Sebagian orang menyatakan konsep Zunnun adalah hampir
sama dengan konsep mahabbah. Hanya saja yang lebih menonjol adalah kosepnya tentang
ma’rifah.
Dilihat dari jenis-jenis karyanya, terutama pada usia 50 tahun, tampak bahwa al-Ghazali
sosok sufi yang haus akan pencarian ma’rifah. Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang
mendorong al-Ghazali memburu ma’rifah. Pertama ia ingin menjadi seorang guru yang
profesional untuk menghidupi dirinya. Namun ketika cita-cita itu tercapai semakin
menimbulkan hasrat untuk mempelajari ilmu lebih dalam lagi. Karena itu ia pergi ke Naisbur
lalu ke Bagdad untuk memenuhi keinginan itu. Kedua, al-Ghazali menganggap dirinya shahib
alrisalah (pengemban misi suci), yang bertugas membangun dan menghidupkan kembali ruh
agama. Untuk itu ia mengahantam setiap yang membahayakan akidah dan keimanan
seseorang. Ini didorong oleh keinginannya untuk membela agama dan menjauhi bid’ah
sebagai akibat dari filsafat. Ketiga, dalam berbagai karyanya al-Ghazali adalah seorang yang
memiliki watak semangat untuk mengetahui hakekat kebenaran. Oleh karena itu ia suka
pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu jabatan ke jabatan yang lain, meskipun
akhirnya ia kembali mendalami ilmu.
Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa al-Ghazali pernah menjadi seorang
“skeptis” dan sikapnya itu tidak hanya dimilkinya sendiri. Al-Ghazali menyatakan bahwa jika
ucapan dan tulisan yang lontarkan itu hanya membuat ragu maka sebenarnya itu hal wajar
dan bahkan bermanfaat. Barang siapa yang tidak ragu berarti ia tidak berpikir. Barang siapa
yang tidak berpikir berarti tidak melihat. Orang yang tidak melihat berarti dalam kegelapan.
Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa keraguan adalah puncak keyakinan.
Pada pertengahan abad ke-11 kaum muslim berkerja keras pada tiga proyek budaya di luar
politik, diupayakan secara berturut-turut oleh ulama-teolog, filosofilmuwan dan kaum mistik
sufi. Masingmasing berjuang menguraikan doktrin dan hukum Islam secara penuh, dan
mengungkapkan pola dan prinsip alam semesta, dan mengembangkan sebuah teknik
mencapai kesatuan pribadi dengan Allah. Ketiga kelompok itu tampak tumpang tindih tetapi
secara keseluruhan mereka menarik kearah saling bersaing, dan ketidakpastian intelektual
mereka memiliki taruhan politik yang tinggi. Berbagai perbedaan paham keagamaan, filsafat
dan politik mendorong al-Ghazali berinisiatif untuk mendamaikannya. Akan tetapi ia
menghadapi berbagai kesukaran dan rintangan. Dalam kondisi demikian, ia terperangkap oleh
lingkaran kontradiktif yang berwal tapi tanpa akhir. Kepada kontradiksi-kontradiksi inilah
skeptisisme, kepentingan dan rasa sakitnya dikaitkan, sebagaimana yang telah diuraikan
dalam buku Al-Munkidh min al-Dhallal.
Jalaluddin Rumi sebagi tokoh sufi atau penganut aliran sufistik memiliki pemahaman
tentang “cinta atau mahabbah”. Dijelaskan di atas tentang cinta, namun bukan sebagaimana
yang dipahami oleh Jalaluddin Rumia. Mahabbah yang dimaksudnya adalah cinta kepada
Sang Khaliq, dan bersifat selamanya. Sebagaimana yang disampaikannya, bahwa, cinta dapat
merubah pahit menjadi manis, merubah debu menjadi emas, keruh menjadi bening, sakit
menjadi sembuh dan lain sebagainya. Dalam hal ini, cinta tidak diartikan hanya sesama
makhluk. Namun, cinta kepada sang Khaliq (pencipta) haruslah di atas segala kecintaannya
terhadap sesama atau lainnya. Tanpa cinta atau mahabbah, manusia tidak akan bisa
merasakan nikmatnya kehidupan, baik cinta kepada sesama atau cinta kepada sang Khaliq.
Dalam kehidupan manusia, kita membutuhkan cinta karena dengan cinta, kita bisa menikmati
kehidupan baik itu cinta kepada Tuhan maupun cinta kita kepada makhluk-Nya. Bahkan kita
sangat tergantung kepada cinta Tuhan bagi makhluk ciptaan-Nya. Oleh sebab itu, terdapat
heirarki cinta, cinta kepada Khaliq dan setelah itu kepada makhluk.
Cinta menurut Rumi bukanlah hal yang mudah untuk didefinisikan ataupun untuk dicapai.
Karena sumbernya bukanlah akal ataupun rasio.6 Bukan seperti filsafat yang murni
menggunakan akal,7 namun itu adalah pengalaman pribadi sebagaimana tasawuf atau
pengalaman spiritual seorang sufi.8 Hal ini disampaikannya pada sebuah sya’ir,“Cinta tak ada
hubunganya, dengan panca indra dan enam arah, tujuan, akhirnya hanyalah daya tarik, yang
dipancarkan oleh Sang kekasih”. Oleh sebab itu, mahabbah adalah pengalaman pribadi yang
dicapai langsung tanpa perantara. Cinta tidak bisa dijelaskan lewat kata-kata secara pasti
karena uraian apapun tentang cinta tidak lebih terang pemaknaannya dari cinta itu sendiri.
Melalui karya-karyanya, Jalaluddin Rumi berusaha memberikan arahan tentang makna dari
“cinta” melalui syair-syair ciptaannya. Setiap manusia pasti pernah merasakan cinta, maka
dalam hal ini Jalaluddin Rumi berusaha memberikan pengertian yang benar tentang makna
dari “cinta”. Namun, dalam karya-karyanya Rumi tidak menjelaskan dengan gamblang
mengenai apa itu cinta, dia lebih sering menggunakan perumpamaan perumpamaan dari
hal-hal yang dapat dilihat dan dirasakan olehnya.
Perihal cinta, manusia senantiasa merasa kebingungan dalam mendefinisikannya. Dalam
hal ini Jalaluddin berpendapat bahwa akal tidak mampu untuk menjelaskan mahabbah yang
dialami oleh seorang sufi yang sedang mengalami syathohat. Melalui Matsnawi-nya, beliau
mengatakan: “Cinta tak ada hubungannya dengan panca indra dan enam arah Tujuan
akhirnya hanyalah daya tarik Yang dipancarkan oleh Sang kekasih” Dari pernyataan ini
dapat dipahami bahwa kemampuan akal tidak dapat mengalami atau mendapatkan sesuatu
yang dinyatakan sebagai kebenaran hakiki. Karena, kebenaran tersebut hanya didapatkan
melalui pengalaman pribadi. Oleh sebab itu, cinta atau mahabbah yang dimaksud Rumi
dapat digunakan sebagai metode mencapai kebenaran yang hakiki. Seperti penjelasan di atas,
bahwasannya, cinta merupakan hal yang tidak mudah untuk dijelaskan. Cinta yang dimaksud
ini adalah mahabbah, karena cinta yang ini bukanlah cinta bioligis yang berdasarkan hsrat
semata. Dengan karya-karyanya yang masih terkenal hingga saat ini, Rumi tidak menjelaskan
secara gamblang mengenai pemahaman “mahabbah”, namun terlihat pada karya-karya atau
sya’irsya’ir. Setiap manusia pasti pernah merasakan cinta. Meskipun ia tidak menjelaskannya
secara gamblang, namun dalam hal ini Jalaluddin Rumi berusaha memberikan pengertian
yang benar tentang makna dari “cinta”. Yaitu, lebih sering menggunakan
perumpamaan-perumpamaan dari hal-hal yang dapat dilihat dan dirasakan olehnya.
Selain itu, menurut maninger, manusia adalah makhluk sosial yang hidup saling mencintai.
Namun, pemahaman cinta yang dimengerti masih rancu, karena mereka memahami “cinta”
hanya sebagai cinta bilogis, seperti cinta laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya. Selain
itu, cinta yang dimaksud hanya seperti kasih sayang bapak kepada anaknya dan sebaliknya.
Dan masih banyak lagi. Oleh sebab itu, cinta yang hakiki bukanlah cinta secara biologis.
Konsep Mahabbah Rumi, jika dilihat sebagai solusi, ia mampu menjawab pertanyaan Erich
Fromm bahwa, manusia sebagai makhluk sosial yang hidup secara individual dan tidak
menerima kebenaran hakiki. Sehingga ia lebih menjunjung ego diri sendiri dan tidak
memperhatikan kemaslahatan orang-orang sekelilingnya. Namun, di sini lain, kebanyakan
manusia hanya menjunjung egonya dengan menghadirkan hawa nafsunya melalui “cinta”
yang diartikan secara biologis. Sehingga manusia sekarang kehilangan makna cinta yang
sesugguhnya.
Cinta sejatinya adalah yang mampu membawa maslahat pada seorang yang dicinta, serta
dapat merubahnya ke arah yang lebih baik, Jalaluddin Rumi pernah mengatakan: ”Sungguh,
cinta dapat mengubah yang pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening,
sakit menjadi sembuh, penjara berubah telaga, derita beralih nikmat, dan kemarahan menjadi
rahmat”. Jika dilihat dari permasalah di atas yaitu problem pada pemahaman cinta atau
mahabbah yang tidak sesuai proporsinya sehingga hanyan akan menimbulkan kerusakan atau
madharat. Hal ini yang saat ini diyakini oleh masyarakat modern. Sehingga Fromm berusaha
memberikan solusi yaitu dengan mengembalikan makna atau definisi cinta pada aslinya, yang
saat ini hilang pada orang-orang modern. Karena, jika semua itu dibiarkan saja berjalan apa
adanya,dan tentunya jauh dari nilai-nilai spiritual (termasuk cinta di dalamnya). Maka setiap
hatinya hanya akan terjadi kekerasan dan tindakan-tindakan kriminal yang tidak sesuai
dengan nilai agama dan moral. Bahkan, akan hilangnya kasih sayang dan cinta, bahkan
sampai melupakan cinta kepada Tuhan yang Maha Esa. Konsep mahabbah yang dibawakan
Rumi merupakan metode atau jalan untuk menuju kesempurnaan yaitu bertemu dengan
Allah. Hal in berdasarkan kecintaan untuk menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Sehingga dari itu semua akan menuju kesucian jiwa atau untuk
tazkiyatu al-nafs. Bagi rumi cinta begitu indah, ia dapat mengubah perangai dan segala
sesuatu menjadi baik, yaitu dengan dorongan dan kesadaran diri. Seperti halnya yang
dilakukan oleh orang-orang yang briman dalam melakukan puasa, yaitu dengan menahan
nafsu untuk tidak melakukan segala sesuatu yang dilarnag atau hanya makhruh dilakukan
oleh agama. Bahkan, lebih dari itu, seorang tersebut akan terus berbuat baik untuk sesamanya
atas dasar menambah kebaikan, hal ini berdasarkan cintanya atau imannya kepada Allah.
Selain itu, cinta dapat menenangkan jiwa, mengobatinya jika terdapat masalah.
Mendatangkan kesenangan yang baik, bukan berlandaskan hawa nafsu dan lain sebagainya.
Pada intinya, cinta atau mahabbah adalah memberikan energi positif bagi manusia.
Untuk menuju kepada Tuhan, tidak semata-mata sampai begitu saja. Namun, di sana
tedapat proses yaitu cinta sesama makhluk. Sehingga untuk mencintai makhluk, itulah tanda
ia mencintai Tuhan. Hal ini sesuai dengan syair yang dituliskan Rumi, bahwa, ia menyatakan
Tuhan menciptakan manusia lantas ia mencintai Nabi Muhammad saw. Maka, di sini dapat
dilihat bahwa cinta dapat membuat sesuatu bergerak atau memiliki kesadarn untuk
melakukan sesuatu. Selain itu, kecintaan kepada makhluk yang lain merupakan pertanda ia
mencinta Tuhan. Sumber utama sebuah cinta adalah Allah. Ia menciptakannya dan
meletakkan cinta kepada manusia. Nabi Muhammad juga mengakui demikian, karena Ia
mengakui dengan ra bahwa terdapat cinta pada Zat Tuhan yang tercermin dari semua
kehendaknya, dan halini juga terdapat pada Sifat Tuhan yaitu Ar-Rahim atau Maha
Penyayanga. Oleh sebab itu, ketika seornag mencintai manusia atau makhluk, secara tidak
langsung ia mencintai Tuhannya, dan semua itu tidak terlepas dari Tuhan. Selain itu, Rumi
juha menjelaskan tentang kemampuan akal. Pertama ia merupakan sesuatu yang
membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Kemudian, ia menjelaskan akal hanya
dapat mecapai untuk menunjukkan jalan ketuhanan, namun untukmencapainya, hanya dapat
dicapai melalui kepasraan dan penyerahan diri dengan jiwa yang suci. Oleh sebab itu, dari
sini dapat dilihat bahwa akal manusia memiliki keterbatasan untuk mencapai pada tingkat
tertinggi pada penyatuan dengan Tuhan, yang biasa disebut sebagai wahdat al-wujud.
Karena akal menuru Rumi hanya memiliki kemampuan yang terbatas. Ia hanya bisa
merasionalkan sesuatu dan memikirkan hal-hal yang terindra saja. Bahkan, ia sering tersesat
dalam jurang kegelapan yang tidak ada dasarnya. Sedangkan cina, merupakan penyerahan
dan kepasraan yang dilakukan kepada sang kekasih tanpa ada paksaan dan ketegangan, hal itu
hanya bejalan begiru saja dan penuh kebanggaan. Rumi tidak memberikan cara dana jalan
secara jelas terkait bagaimana mencintai makhluknya sebagai perantara mencintai Tuhan.
Rumi hanya menempatkan akal sebagai pendahulu dan jembatan untuk mencapai cinta
Tuhan, dan selebihnya dicapai dengan mahabbah atau penyerahan. Bagi Rumi, cinta adalah
rasa yang muncul dari kedalaman hati. Ia merupakan keindahan yang terkadang tidak mampu
dirasionalkan, berbeda dengan akal yang harus mendapatkan apa yang diinginkan.
Menurutnya, cinta serta keindahan dan kebahagian yang mengiringinya adalah inti dari
agama. Cinta tidak dapat diuraikan dengan kata-kata, melainkan pengalaman indah yang
melampaui semua bentuk kata-kata untuk digambarkan.
Sebagaiamana penjelasan sebelumnya, bahwa sumber dari semua cinta adalah Tuhan.
Namun, untuk mencapai kepada sumber tersebut, dibutuhkan perantara yaitu mencintai
makhluk-Nya. Tuhan merupakan keindahan sejati, sehingga ketika seorang mencintai
keindahan sejatinya ia mencintai Tuhan. Semua bentuk kasih sayang kepada keluarga, ayah,
ibu, paman, anak, teman, saudar dan lain sebagainya. Jika berlandasakan kasih sayang kepada
Tuhan, akan menjadi jalan menuju sumber cinta sejati. Namun, jika semua cinta itu hanya
cinta buta, yang hanya menyebabkan lalai kepada cinta Tuhan, maka itu adalah problem.
Oleh sbeba itu, cinta kepada makhluk hanyalah perantara kepada cinta kepada Allah, bukan
cinta sepenuhnya. Bagi Rumi, kesalahan yang terjadi pada manusia bukanlah masalah
kecintaannya pada dunia ini, melainkan ketidakmampuannya untuk merasakan bahwa seluruh
alam semesta ini merupakan pancaran keindahan dari Sang Pemilik Cinta sejati, bahwa
segala hal yang kita cintai sejatinya akan menuju kepada Tuhan.
Oleh sebab itu, dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, cinta merupakan
sumber dari semua tindakan, kehendak, dan keinginan-keinginan. Sehingga, jika cinta hanya
berlandaskan hawa nafsu, hal tersebut hanya akan menjadi masalah. Namun, jika cinta
kepada makhluk yang menjadi perantara atau jembatan untuk mendapatkan cinta sejati, maka
hal itu akan mendapatkan kebenaran dan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh akal yaitu
penyatuan wujud dengan Allah atau wahdat al-wujud. Oleh sebab itu, cinta yang baik adalah
cinta kepada makhluk untuk mencapai rahmat Tuhan.
Pada dasarnya manusia tidak dapat lepas dari cinta, karena dalam hidup yang ada adalah
cinta. Ketika seseorang merasa terpisahkan dengan cinta maka seseorang tersebut mengalami
masalah. Semua manusia pada dasarnya ingin saling mencintai, namun mereka tidak tahu
bagaimana melakukannya, begitulah menurut Menninger. Hal demikian juga akan menjadi
masalah ketika dibiarkan berlarut karena akan menimbulkan masalahmasalah yang lainnya.
Maka dari itu Konsep cinta Jalaluddin Rumi Perlu untuk direvitalisasi sebagai konsep cinta
yang lebih luas dan komprehensif, yang kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengimplementasian konsep Cinta Rumi bisa dilakukan dengan beberapa tahapan, antara lain
yaitu membangun hubungan, mengidentifikasi dan mengksplorasi masalah, merencanakan
pemecahan masalah, dan pengaplikasian solusi. Jalaluddin Rumi menyatakan bahwa, sebuah
interaksi yang bersifat saling memberi itu akan terjalin dengan baik jika rasa saling percaya
antara kedua belah pihak. Menurut penulis, dalam bermasyarakat, jika hubungan antar
individu didasari atas dasar kasih sayang, maka akan tercipta rasa kepercayaan. Ketika
seluruh manusia saling mencintai, dunia ini akan terasa sangat indah. Pikiran-pikiran positif
yang muncul datangnya dari Allah, maka untuk menjalin hubungan dengan sesama ataupun
dengan Allah hendaknya juga didasari oleh pikiran-pikiran positif, saling menjaga
kepercayaan, serta saling menjaga. Kebutuhan rohaniah akan terpenuhi dengan adanya cinta
kepada Tuhan, bukan hanya sekedar cinta dalam arti sempit yaitu antara lawan jenis.
Melainkan dengan cinta dalam arti luas yaitu mencintai seluruh alam semesta sebagai bentuk
kecintaanya kepada Tuhan. Dalam konsep mahabbah Jalaluddin Rumi, untuk dapat mencintai
Allah memerlukan perantara, yaitu alam semesta, makhluk-Nya karena akal tidak dapat
seutuhnya menjangkau dimensi ketuhanan. Cinta bersifat luhur dan baik, cinta dapat
mengarahkan hidup ke arah yang lebih baik. Ketika seseorang mencintai segala sesuatu yang
ada di alam semesta maka ia sejatinya sedang mencintai Tuhannya karena apapun yang ada di
dalam makhluk terdapat sifat-sifat yang melekat pada Tuhan. Misalnya saja ketika kita
mencintai hal hal yang cantik, maka ketahuilah yang Maha cantik adalah Allah. Lebih jauh,
Rumi menjelaskan bahwa ketika seseorang sudah mahabbah (cinta), maka seseorang akan
mengabaikan segala sesuatu yang datangnya dari kita. Seburuk dan sekecil apapun yang ia
terima dari Yang Dicintainya maka ia akan menganggap hal itu sebagai anugerah terbesar dan
selalu mensyukuri apapun yang ia terima. Mahabbah tidak pernah memandang jelek yang
dicintainya. Cinta membawa manusia untuk menjadi pribadi yang tulus, dan apapun yang ia
lakukan semata-mata untuk kebahagiaan dan kesenangan yang dicintainya. Konsep cinta
Jalaluddin Rumi ini secara lebih jauh dapat dijadikan rujukan di tengah problematika
masyarakat modern yang tengah mengalami penyempitan arti cinta. Problematika ini dapat
ditanggulangi dengan mengembalikan definisi cinta kepada Allah, sebagaimana dikonsepkan
oleh Jalaluddin Rumi. Cinta pada hakekatnya selalu membahagiakan, tidak ada cinta yang
menyengsarakan karena ketika manusia sudah cinta apapun dia serahkan dan pasrahkan
kepada yang dicintainya, ia senantiasa ikhlas apa pun yang diterima. Di zaman sekarang
banyak sekali terjadi kriminalitas dan tindak kekejian, hal itu dikarenakan kurangnya rasa
cinta dalam diri seseorang. Cinta selalu bersifat luhur, namun jika cinta diartikan dalam arti
sempit maka kebijaksanaan tidak akan di dapatkan.

Anda mungkin juga menyukai