Anda di halaman 1dari 12

AKTIVITAS MENTAL MANUSIA SECARA UMUM

(Kedudukan Qolb atau Perasaan di Dalam Belajar)

Abstrak: Tulisan ini dilatar belakangi oleh kegelisahan peneliti melihat output
peserta didik dari instansi pendidikan di Indonesia yang kian kehilangan nilai dan
moralitas di tengah arus modernitas perkembangan zaman. Zaman yang serba maju
tentu menuntut setiap intansi pendidikan untuk melahirkan output yang berkualitas.
Namun masih sering kita jumpai beberapa fenomena di mana perilaku-perilaku
menyimpang peserta didik yang masih banyak menyalahi dalam ruang tata krama
bermasyarakat. Penyebab dari perilaku-perilaku menyimpang tersebut merupakan
gambaran kecil dari implikasi aktivitas belajar di sekolahnya yang hanya
menekankan pada intelektual akal semata. Padahal di tengah arus modernitas yang
dibutuhkan kini ialah pendidikan pada qolb (perasaan) guna menyeimbangkan diri
agar tidak sekadar memiliki kecerdasan intelektual namun memiliki bekal kecerdasan
emosional dan kecerdasan ruhaniah untuk mampu bertahan di zaman yang serba
kering akan moralitas. Perlu penelaahan mendalam tentang peran kedudukan qolb
terutama di dalam aktivitas belajar. Belajar merupakan suatu kegiatan paling awal
dan umumnya dialami oleh banyak peserta didik. Belajar kiranya akan menjadi
aktivitas substansial apabila peran kedudukan qalb (perasaan) dapat diketahui secara
mendalam. Dalam hal ini peneliti melakukan studi kajian tentang kedudukan qalb
(perasaan) di dalam kegiatan belajar peserta didik.

Key word: Qolb, Belajar, Kecerdasan Ruhani

PENDAHULUAN
Belajar merupakan aktivitas yang baik disadari maupun tidak banyak terjadi
di dalam kehidupan kita sehari-hari. Di dalam belajar melibatkan sebuah proses, di
mana proses tersebut akan membentuk serta memberikan perubahan pada diri
seseorang. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar adalah adanya
perubahan tingkah laku dalam dirinya yang menyangkut perubahan yang bersikap
pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), maupun yang menyangkut nilai
dan sikap (afektif).1 Belajar merupakan bagian aktivitas manusia yang
keberadaannya tak bisa terlepaskan di dalam kehidupan. Baik secara sadar maupun
tidak manusia pasti mengalami yang namanya proses belajar. Belajar dapat dikatakan
baik apabila di dalamnya melibatkan fungsi akal dan fungsi qalb (perasaan). Akal

1
Sadirman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 1

1
sebagai wadah pengembangan intelektual, sedangkan qalb (perasaan) sebagai wadah
pengembangan emosional. Apabila belajar hanya menekankan pada salah satu aspek
saja maka hal tersebut akan menimbulkan masalah pada pembentukan kepribadian
seseorang. Antara akal dan qalb (perasaan) harus saling bersinergi dalam membentuk
potensi dalam mewujudkan manusia yang holistis.
Perubahan perilaku pada peserta didik tentu tidak melibatkan fungsi akal
semata. Selain akal manusia dianugerahi pula qalb (perasaan) yang memiliki daya
afeksi. Dengan qalb (perasaan) manusia mampu merasakan suasana sedih, gelisah,
takut, marah, senang, iri dengki dan bahagia. Dengan kemampuan tersebut peserta
didik mampu memiliki motivasi dan semangat di dalam belajar. Apabila emosi yang
terhimpun dalam qalb tidak mampu dikelola secara baik maka akan mempengaruhi
kualitas seorang peserta didik di dalam hasil belajarnya.
Pembahasan yang berkaitan dengan qalb menjadi masalah yang selalu
menggoda untuk memahaminya secara lebih mendalam. Qalb (perasaan) tidak
mempunyai batas atau ukuran yang bersifat permanen. Sebagaimana makna qalb
sendiri yang bersifat kondisional (ahwal) dan tidak memiliki definisi statis
(maqamah). Qalb tidak mungkin diukur dengan batasan-batasan yang bersifat pasti.
Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Pascal, “Le coeur a ses raisons que la
raison ne connait pas”, hati mempunyai akalnya sendiri yang tidak bisa dimengerti
oleh akal budinya. Pascal melanjutkan bahwa kebenaran hanya dapat diketahui jika
seseorang mau mendengar suara bisikan hati (logique de coeur).2
Para pendahulu khususnya orang-orang konsevatif mempercayai bahwa
tingkat kecerdasan emosional merupakan pangkal dari suksesnya seseorang dalam
mencapai suatu prestasi belajar.3 Daniel Golman berpendapat bahwa tingkat
intelegensi yang tinggi tidak menjamin gengsi, kesejahteraan kebahagiaan, dan
kesuksesan hidup. Peran kecerdasan emosional menjadi hal terpenting yang tidak
boleh terlewat. Kecerdasan intelektual hanya memiliki sedikit saja kaitannya dengan

2
Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence), (Jakarta: Gema Insani,
2001), hal. 45
3
Taifik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ: Menyingkup Rahasia Kecerdasan Berdasarkan al-
Qur’an dan Neuro Sains Mutakhir, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 277

2
kecerdasan emosional. Inilah pendapat epistemologis Goleman untuk menggeser
paradigma intelligence quotient kearah emotional intelligence.4
Dari sekelumit permasalahan diatas perlu adanya peluruskan makna belajar
yang kini telah tereduksi akibat perkembangan IPTEK yang tak selaras dengan
perkembangan akhlak dan moral. Sesungguhnya ada peran fungsi qalb (perasaan)
yang kini seolah masih dipandang remeh oleh beberapa orang, padahal ada
pemikiran-pemikiran dari orang-orang terdahulu yang masih relevan dan sangat
penting untuk dikaji menjadi topik pembahasan di era modern saat ini. Pemikiran-
pemikiran seperti al-Ghazali nantinya akan menjadi konten pembahasan lebih lanjut
dalam penelitian ini.

Hubungan Qolb (perasaan) dengan Belajar Kaitannya dalam Ilmu Pengetahuan


Sesungguhnya Qolb (perasaan) adalah sebuah lintasan dan bisikan yang
terkait dengan Allah yang menciptakannya yang merupakan salah satu makna ruh,
hati, dan jiwa. Dan dia adalah hakikat manusia yang membedakannya dengan hewan.
Dimana jika nafsu itu tenang, maka dia akan melaksanakan segala kebaikan,
terkendali dan jauh dari goncangan yang disebabkan oleh hawa nafsu.5 Sedangkan
qalb sebagai wadah dari ilmu pengetahuan, yakni bagian halus yang mengatur
seluruh anggota tubuh manusia. Jika dikaitkan dengan hakikat segala pengetahuan
qalb laksana cermin yang terkait dengan bentuk dan wujud sesuatu. Dengan kata
lain, gambar atau wujud akan nampak terlihat bila diletakkan di depan cermin.
Cermin itu nantinya akan menerima wujud sesuatu yang berwarna yang ditempatkan
dihadapannya. Dengan cara yang sama jiwa menerima warna atau sifat dari suatu
objek yang tidak dikenal dalam sebuah pengetahuan.6
Qalb dapat disebut sebagai baitul haraka (penggerak motivasi) karena
fungsinya yang amat penting dalam memberikan dorongan di dalam proses belajar.
Aktivitas yang disertai dengan kemauan dan tekad yang kuat biasanya akan jauh
lebih terasa mudah dikerjakan daripada yang tidak disertai dengannya. Demikian

4
Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Ar- Ruzz
Media, 2010), hal. 155-156
5
Segaf Hasan Baharun, Terapi Hati dan Jiwa, (Bangil-Pasuruan: Yayasan Pondok Pesantren
Darullughah Wadda’wah Bangil, 2016), hal. 23.
6
Al-Ghazali, Keajaiban Hati, (Jakarta: Khatulistiwa Press, 2011), hal. 52

3
halnya dengan belajar, haruslah dilandasi dengan motivasi dan tekad yang kuat
supaya tidak menjadikan jiwanya dihinggapi oleh rasa malas yang menyebabkan
tumpulnya semangat belajar sehingga individu menjadi sulit untuk meraih prestasi di
dalam belajar.
Sedangkan jiwa sebagai mudrika (sensor) karena jiwa dapat diukur dengan
logika dan sifatnya yang mendasar atas segala luapan emosi pada qalb sehingga
baik-buruknya sebenarnya dapat disaring oleh jiwa sebelum banyak melibatkan qalb
jika objeknya hanya menyangkut masalah ilmu pengetahuan semata.7
Aktivitas belajar selain memerlukan akal yang fokus juga perlu qalb
(perasaan) yang bersih agar suatu ilmu bisa dipahami secara mendalam. Kunci dari
sampainya suatu ilmu kepada diri seseorang adalah ia mampu memahami nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya serta mampu mengamalkannya ke dalam
kehidupannya. Menurut al-Ghazali pengetahuan tidak mampu sampai kepada qalb
sebab karena adanya lima hambatan:8
Pertama; Lemahnya keadaan qalb itu sendiri, semisal qalb yang terdapat
pada anak kecil, biasanya belum tampak adanya pengetahuan karena kondisi
perkembangan jiwanya masih lemah.
Kedua; Kotoran maksiat dan perbuatan keji yang menggumpal di dalam qalb
yang disebabkan oleh nafsu syahwat yang tidak terkontrol. Semakin banyak maksiat
yang dilakukan maka semakin banyak pula dosa yang mengotori qalb. Hanya dengan
menghadapkan diri kepada Allah serta berpaling dari keinginan hawa nafsu adalah
hal yang tepat yang dapat menjadikan qalb bersih cemerlang sebagaimana dalam
firman-Nya:
َ ْ ْ َ ‫َ َ َّ ه‬ َ َ َ َ ْ َّ َ
َ ‫اه ُد ْوا ف ْي َنا ل َن ْهد َيَّن ُه ْم ُس ُبلناۗ َواِ ن‬
ࣖ ‫اّٰلل ل َم َع ال ُمح ِس ِن ْين‬ ِ ِ ‫وال ِذين ج‬
“Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-
sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama

7
Rafy Sapuri, Psikologi Islam: Tuntunan Jiwa Manusia Modern, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada), hal. 46.
8
Al-Ghazali, Keajaiban Hati, (Jakarta: Khatulistiwa Press, 2011), hal. 55.

4
orang-orang yang berbuat kebaikan”. (QS. al-
Ankabut: 69)9

Ketiga; Qalb tidak berada pada arah jalan hakikat yang dicari. Meskipun
sudah dalam kawasan ketaatan namun belum nampak hakikat kebenaran di dalam
dirinya disebabkan ia tidak mengetahui orientasi yang akan ia jadikan tujuan.
Terkadang perhatiannya disibukkan oleh perihal ibadah lahiriyah atau usaha mencari
nafkah. Tidak pernah juga merenungkan keberadaan Tuhan dan hakikat ilahiyah
yang tersembunyi. Orang-orang yang masih memiliki keterikatan nafsu syahwat
yang berat terhadap duniawi akan susah untuk menyingkap tabir hakikat pada qalb-
nya.

Keempat; Hijab atau Sekat. Sekat yang dimaksud ialah berupa kepercayaan
yang ia yakini sejak kecil secara taklid dan ia terima begitu saja tanpa menelitinya
dengan seksama. Sesungguhnya kepercayaan seperti ini menghalangi qalb dari
hakikat kebenaran dan juga menghalangi terbukanya qalb (perasaan) untuk
menerima apa yang ia telan secara taklid. Hijab ini tidak hanya terdapat pada
manusia awam tetapi juga bisa menghinggapi pada diri seseorang yang berilmu.

Kelima; Kebodohan. Seorang manusia tidak mengerti arah tujuan yang ia


cari. Hendaknya seseorang tersebut fokus dengan tujuan yang ingin dicarinya.
Setelah memperoleh apa yang ia cari lantas menyusun ilmu tersebut kedalam bentuk
yang sistematis serta mengacu kepada pemikiran para ulama. Ketika tujuan
seseorang tersebut sudah terarah maka qalb akan mampu melihat hakikat kebenaran
yang dicarinya secara jelas.

Gambaran tentang keistimewaan qalb (perasaan) yakni kemampuannya


dalam menangkap hakikat kebenaran atas segala sesuatu termasuk menerima amanah
dari Allah yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, sebagaimana dalam firman-Nya:

9
Depag RI, Al-Aliyy Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
2006), hal. 323

5
ْ َ َْ َ ْ ْ َّ ْ َ َ َ َ ْ
ْ
‫ال فا َب ْين ان يح ِملن َها َواشفق َن ِمن َها‬ َ ‫الس ٰم ٰوت َو ْال َا ْرض َوالج‬
‫ب‬ َّ ‫ض َنا ْال َا َم َان َة َع َلى‬
ْ َ َ َّ
‫ِانا عر‬
ِ ِ ِ ِ
ً َ ُ َ َ َ ٗ َّ ُ ْ ْ َ َ
ۙ‫َوح َمل َها ال ِان َسانۗ ِانه كان ظل ْو ًما ج ُه ْولا‬

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-
gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia”. (QS. al-
Ahzab: 72)10

Ayat di atas menunjukkan bahwasanya betapa istimewanya manusia


dibandingkan dengan langit, bumi, dan gunung-gunung. Dan dengan keistimewaan
itu pula manusia menjadi kuat memikul amanah Allah. Amanah tersebut adalah
makrifat (mengenal Allah) dan tauhid. Pada dasarnya qalb (perasaan) setiap manusia
itu bersedia dan sanggup memikul amanah tersebut. Namun sebab-sebab yang telah
dikemukakan sebelumnya telah menghalangi manusia untuk menunaikannya dengan
sebaik-baiknya.11

Hubungan Qolb (perasaan) dengan Belajar Kaitannya dalam Pendidikan


Kepribadian
Menurut Gagne sebagaimana dikutip oleh Purwanto, belajar merupakan
sejenis perubahan yang diperlihatkan dalam perubahan tingkah laku yang
keadaannya berbeda dari sebelum individu berada dan sesudah melakukan tindakan
yang serupa itu. Perubahan terjadi akibat adanya suatu pengalaman atau latihan.
Berbeda dengan perubahan serta-merta akibat refleks atau perilaku yang bersifat
naluriah.12 Dengan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwasanya tingkah laku
dapat dikehendaki suatu perubahan jika seorang individu ingin meraihnya melalui
aktivitas belajar.
Al-Ghazali telah menjelaskan bahwasanya belajar merupakan bentuk dari
proses penyucian jiwa. Salah satu tolak ukur suatu bentuk perubahan dari yang
dihasilkan melalui belajar adalah perubahan perilaku peserta didik yang mulanya

10
Depag RI, Al-Aliyy Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
2006), hal. 341
11
Al-Ghazali, Keajaiban Hati, (Jakarta: Khatulistiwa Press, 2011), hal. 6
12
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 84

6
dengan menjauhkan diri dari hal-hal yang tercela dan menghiasi diri dengan akhlakul
karimah. akhlak yang dimunculkan peserta didik merupakan refleksi daripada
kepribadian yang telah tertanam melalui proses belajar.
Salah satu fase terpenting dalam kehidupan manusia dalam upaya
menanamkan dan membentuk suatu kepribadian tangguh berdasarkan moralitas dan
nilai-nilai ajaran Islam adalah masa anak-anak. Manusia terlahir dalam keadaan
fitrah dengan memiliki rasa ketauhidan dan dibekali Allah suatu potensi kecerdasan,
kemampuan, watak dan motif. Manusia sebagai hamba Allah SWT dan sebagai
khalifah di bumi telah dibekali berbagai potensi. Dengan dikaruniai potensi tersebut
diharapkan manusia mampu menjalankan tugas-tugasnya. Dan diantara potensi yang
dimiliki manusia adalah potensi beragama. Fitrah beragama dalam diri manusia
merupakan naluri yang menggerakkan hatinya untuk melakukan perbuatan suci yang
diilhami oleh Tuhan Yang Maha Esa. Fitrah manusia mempunyai sifat yang suci
yang dengan nalurinya tersebut ia secara terbuka menerima kebenaran dan menerima
kehadiran Allah sebagai Yang Maha Suci.13
Di dalam qalb terhimpun perasaan moral, mengalami dan menghayati tentang
salah-benar, baik-buruk, serta berbagai keputusan yang harus dipertanggung-
jawabkan secara sadar. Qalb merupakan awal dari sikap sejati manusia yang paling
autentik, yaitu kejujuran, keyakinan dan prinsip-prinsip kebenaran. Perasaan moral
akan dimanifestasikan dalam bentuk aktivitas yang berorientasi pada amal saleh.
Dengan pemahaman seperti ini, tumbuhlah kecerdasan yang paling awal, yaitu
kesadaran untuk bertanggung jawab, sehingga ketika ada peserta didik yang datang
terlambat dengan sengaja pada hakikatnya dia sedang mengkhianati hati nuraninya
sendiri, merusak keyakinan moralnya dan tidak memiliki rasa tanggung jawab.
Betapa pun kecilnya sebuah tindakan yang mengkhianati komitmen iman pada
akhirnya akan memberikan akibat yang sangat buruk, baik berdampak pada diri
sendiri maupun pada lingkungan sekitar.
Kepribadian yang terbentuk pada peserta didik pada hakikatnya melibatkan
tiga komponen nafsani, yakni qalb, akal dan nafsu. Ketiga komponen tersebut
memiliki cara kerja sistem yang unik sehingga salah satu komponennya

13
Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 29

7
berkemungkinan untuk mendominasi komponen yang lain. Menurut al-Ghazali,
interaksi daya-daya nafsani (qalb, akal dan nafsu) berjalan menurut hukum dominasi
(saytharah) antara berbagai daya nafsani. Masing-masing daya nafsani memiliki
natur dasar, seperti qalb naturnya baik, nafsu naturnya buruk dan akal naturnya
antara baik dan buruk. Dalam keadaan biasa masing-masing komponen yang
berlainan ini tidak bekerja secara berlawanan dan bertentangan, tetapi bekerja sama
seperti suatu tim yang berpusat pada qalb. Namun dalam keadaan tertentu, masing-
masing komponen tersebut saling berlawanan, tarik menarik dan saling mendominasi
untuk membentuk suatu tingkah laku. Kondisi khusus ini terjadi apabila tingkah laku
yang diperbuat memiliki sifat-sifat ganda yang bertentangan. Salah satu sifatnya pro
dengan prinsip komponen nafsani tertentu, sementara sifat yang lainnya pro dengan
prinsip komponen nafsani yang lain. Dalam kondisi yang bertentangan ini, terdapat
salah satu daya yang dominan untuk memenangkan satu bentuk kepribadian.
Dalam interaksi dan dominasi sistem nafsani, qalb (perasaan) memiliki posisi
dominan dalam membentuk dan mengontrol suatu kepribadian. Posisi dominan ini
disebabkan oleh daya dan naturnya yang luas serta mencakup semua daya dan natur
komponen nafsani lainnya. Komponen qalb memiliki natur dari yang tertinggi
sampai yang terendah, meskipun natur ilahiyyah lebih dominan. Ia juga memiliki
daya-daya kompleks, seperti emosi, kognisi dan konasi, sekalipun daya yang paling
dominan adalah daya emosi. Prinsip kerjanya selalu cenderung kepada struktur asal
manusia, yaitu rindu akan kehadiran Tuhan (hanifiyyah) dan kesucian jiwa. Prinsip
kerja seperti ini disebabkan oleh kedudukannya sebagai pengendali dari semua
sistem-sistem kepribadian
Kompleksitas natur dan daya qalb kadang-kadang menimbulkan ambivalensi
kepribadian. Maksudnya tingkah laku yang dimanifestasikan darinya bisa saja
teraktual positif dan juga bisa teraktual negatif, seperti iman dan kufur, tauhid dan
syirik, senang dan sedih. Aktualitas qalb sangat ditentukan oleh sistem kendalinya.
Sistem kendali yang dimaksud adalah dhamir yang dibimbing oleh al-fithrah al-
munazzalah (seperti petunjuk al-Qur’an). Apabila sistem kendali ini berfungsi
sebagaimana mustinya maka kepribadian manusia sesuai dengan amanat yang telah
diberikan oleh Allah SWT. Namun apabila ia ia tidak berfungsi maka kepribadian
manusia akan dikendalikan oleh komponen lain yang lebih rendah kedudukannya.

8
Cara kerja yang demikian akan terlihat ketika kepribadian ditampilkan dalam
bentuk aktual bukan dalam bentuk potensial.14 Untuk lebih detail cara kerja struktur
nafsani lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut ini:

Kepribadian ➢ Iman
Mutmainnah ➢ Islam
Qolbu
➢ Ihsan

Kepribadian ➢ Sosialitas
Nafsani Akal
Lawwmah ➢ Moralitas
➢ Rasional

Nafsu Kepribadian ➢ Produktif


Ammarah ➢ Kreatif
➢ Konsumti
f

Gambar 1.1 Cara Kerja Struktur Nafsani dalam Pembentukan Kepribadian

Keterangan:

1. Cara membaca bagan dimulai dari bawah.


2. Semakin pendek rentang garis maka semakin besar pengaruhnya dalam
membentuk kepribadian.

Bagan di atas dapat dipahami bahwa tiap-tiap komponen struktur nafsani


memiliki pengaruh dalam pembentukan kepribadian. Kepribadian muthma’innah
adalah kepribadian yang secara berurutan didominasi oleh daya qalbu kemudian
dibantu oleh daya akal dan daya nafsu.
Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang didominasi oleh daya akal
yang dibantu oleh daya nafsu. Daya qalbu memiliki kekuatan yang setara dengan
daya nafsu dalam membantu daya akal

14
Abdul Mujib, Teori Kepribadian Perpektif Psikologi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2017), hal. 146

9
Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang secara berurutan didominasi
oleh daya nafsu kemudian dibantu oleh daya akal dan daya qalbu. Dengan demikian
tiap-tiap komponen memiliki bobot tersendiri di dalam pembentukan kepribadian.

PENUTUP
Qalb (perasaan) dalam hubungannya dengan belajar; qalb (perasaan)
sesungguhnya memiliki hubungan dengan ilmu pengetahuan, di mana pengetahuan
ibarat hakikat segala sesuatu yang nampak namun ia belum bertempat di dalam qalb.
Sementara pengetahuan yang telah sampai pada qalb itu sendiri ibarat hasil bentuk
sebuah bayangan di dalam cermin yang disebut dengan ilmu. Qalb memiliki
kedudukannya yang amat penting di dalam belajar yakni untuk membentuk
kepribadian. Di dalam qalb terhimpun perasan moral, mengalami dan menghayati
tentang salah-benar, baik- buruk, serta berbagai keputusan yang harus
dipertanggung-jawabkan secara sadar. Perasaan moral yang terhimpun pada qalb
akan dimanifestasikan dalam bentuk aktivitas yang berorientasi pada amal saleh. Di
samping membentuk kepribadian yang baik harus diiringi pula dengan pembentukan
kecerdasan ruhaniah. Kecerdasan ruhaniah sangat ditentukan oleh upaya untuk
membersihkan dan memberikan pencerahan qalb, sehingga mampu memberikan
nasihat dan arah tindakan serta caranya dalam mengambil keputusan. Salah satu
fungsi qalb adalah merasakan dan mengalami, artinya dia mampu menangkap fungsi
indrawi yang dirangkum dan dipantulkan kembali ke dunia luar. Dalam proses
mengalami dan menghayati, ia sadar akan dirinya dalam konteksnya dengan dunia
luar. Sedangkan di dalam proses menghayati dia sadar akan seluruh tanggung jawab
perbuatannya.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Keajaiban Hati, (Jakarta: Khatulistiwa Press, 2011)

Abdul Mujib, Teori Kepribadian Perpektif Psikologi Islam, (Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, 2017)

Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta:
Ar- Ruzz Media, 2010)

10
Depag RI, Al-Aliyy Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2006)

Depag RI, Al-Aliyy Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit


Diponegoro, 2006)

Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010)

Rafy Sapuri, Psikologi Islam: Tuntunan Jiwa Manusia Modern, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada)

Sadirman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 2004)

Segaf Hasan Baharun, Terapi Hati dan Jiwa, (Bangil-Pasuruan: Yayasan Pondok
Pesantren Darullughah Wadda’wah Bangil, 2016)

Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)

Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence), (Jakarta: Gema


Insani, 2001)

Taifik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ: Menyingkup Rahasia Kecerdasan Berdasarkan


al- Qur’an dan Neuro Sains Mutakhir, (Bandung: Mizan, 2002)

11
1

Anda mungkin juga menyukai