Anda di halaman 1dari 15

Konsep Hadits tentang perintah meninggalkan apa yang tidak

bermafaat
HADITS MAUDHU’I

Disusun oleh :
Ahmad Ridwan (1404622016)
Muh Fauzan Nastiar (1404622055)
Umi Miftachur Rohmah (1404622088)
Mutiara Tsaniatus Sholeha Almadina (1404622011)

Dosen Pengampu :
Dr. H. Sa’dullah, M.Ag.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Konsep Hadits tentang
perintah meninggalkan apa yang tidak bermafaat tepat pada waktunya. Makalah ini disusun
sebagai salah satu tugas yang diberikan pada mata kuliah Hadits Maudhu'i di Program Studi
Pendidikan Agama Islam, Universitas Negeri Jakarta.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pengetahuan dan pemahaman kita
tentang topik yang sedang kita pelajari. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih banyak
kepada Dr. H. Sa’dullah, M.Ag, sebagai dosen pengampu mata kuliah Hadits Maudhu’i yang
telah membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan baru bagi pembaca.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian makalah ini.

Jakarta, 24 April 2024

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Jalur kehidupan manusia dapat digambarkan dalam dua kategori, salah satunya adalah
sebagian orang sibuk melakukan hal-hal yang tidak berguna. Hal lainnya adalah sebagian orang
sibuk melakukan hal-hal yang bermanfaat. Keadaan ini di zaman modern ini dikategorikan
sebagai orang yang melakukan sesuatu yang bermanfaat akan aman dan orang yang melakukan
sesuatu yang tidak berguna akan berada dalam bahaya.
Dalam Islam, melakukan perbuatan yang tidak bermanfaat (tiada faedah) dikategorikan
sebagai perbuatan yang sia-sia dan tercela. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang
menekankan pada pentingnya menggunakan waktu dan tenaga untuk hal-hal yang bermanfaat,
baik bagi diri sendiri, orang lain, maupun agama. Alasan utama mengapa perbuatan yang tidak
bermanfaat dilarang dalam Islam adalah karena hal tersebut menyia-nyiakan anugerah Allah
SWT yang sangat berharga, yaitu waktu dan tenaga. Waktu dan tenaga adalah modal utama
manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ketika kita menyia-nyiakan waktu
dan tenaga untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, berarti kita meninggalkan kesempatan untuk
melakukan hal-hal yang lebih baik dan bermanfaat.
Selain itu, melakukan perbuatan yang tidak bermanfaat juga dapat menjerumuskan
seseorang ke dalam perbuatan tercela. Contohnya, seseorang yang menghabiskan waktunya
untuk bermain game secara berlebihan, mungkin akan lalai dari sholat, berpuasa, atau membaca
Al-Qur'an. Hal ini dapat membahayakan keimanannya dan menjauhkannya dari Allah SWT.
Terdapat banyak ajaran yang mengajarkan kita untuk memperhatikan tindakan dan perilaku
kita sehari-hari.
Salah satu konsep yang penting adalah perintah untuk meninggalkan hal yang tidak
bermanfaat. Hadits-hadits yang membahas hal ini mengajarkan kita tentang pentingnya
mengisi waktu dan energi kita dengan kegiatan yang memiliki manfaat baik untuk dunia
maupun akhirat. Sebagai contoh, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda yang artiya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Telah
bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sebagian dari kebaikan keislaman
seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.” [HR. Tirmidzi no. 2318,
Ibnu Majah no. 3976].
Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat,
baik berupa perkataan atau perbuatan. Dengan kata lain, seorang muslim yang baik adalah yang
memperhatikan penggunaan waktunya dan hanya terlibat dalam aktivitas yang memiliki
manfaat positif. Selain itu, menjaga lisan kita juga merupakan bagian dari konsep ini. Ibnu
Rajab Al Hambali menyatakan bahwa mayoritas perkara yang tidak bermanfaat muncul dari
lisan, seperti perkataan sia-sia yang tidak dijaga. Oleh karena itu, menjaga lisan kita dari ucapan
yang tidak bermanfaat juga merupakan bagian dari kebaikan Islam.
Dalam pandangan Islam, meninggalkan hal yang tidak bermanfaat bukan hanya tentang
menghindari perbuatan haram, tetapi juga tentang menghindari hal-hal yang tidak memberikan
manfaat positif. Dengan demikian, kita dapat memperkuat hubungan kita dengan Allah dan
memperbaiki kualitas hidup kita dengan mengikuti ajaran-ajaran ini.
Bagaimana kita bisa mengetahui apakah sesuatu itu termasuk bermanfaat bagi kita atau
tidak? Apakah standar dan patokan yang kita gunakan untuk menentukan suatu perbuatan itu
termasuk bermanfaat bagi seorang muslim atau tidak? Ketahuilah bahwa standar yang harus
kita gunakan dalam masalah ini adalah syariat dan bukan hawa nafsu. Mengapa? Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan “meninggalkan suatu hal yang tidak
bermanfaat” sebagai tanda dari kebaikan keislaman seseorang. Ini menunjukkan bahwa
patokan yang harus kita gunakan dalam menilai bermanfaat tidaknya suatu perbuatan adalah
syariat Islam. Hal ini perlu ditekankan karena banyak orang yang salah paham dalam
memahami hadits ini, sehingga dia meninggalkan hal-hal yang diwajibkan syariat atau
disunahkan, dengan alasan bahwa hal-hal itu tidak bermanfaat baginya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat di atas, pemakalah menuliskan beberapa rumusan masalah terkait
dengan masalah ini, sebagai berikut:
1. Bagaimana pengkajian dari dua kategori sanad dan matan hadits sampai kepada kualitas
haditsnya?
2. Bagaimana analisis ulama dalam menjelaskan hadits?
3. Apa saja manfaat yang dapat diambil dari tema hadits yang dijelaskan oleh ulama
hadits?

C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengkajian dari dua kategori sanad dan matan hadits sampai kepada
kualitas haditsnya.
2. Untuk mengetahui pendapat ulama dalam menjelaskan hadits.
3. Untuk mengetahui manfaat dari tema hadits yang telah dijelaskan pendapat ulama
hadits
BAB 11
PEMBAHASAN

A. Pengkajian Kualitas Sanad dan Matan Hadits

Hadits Arbain #12: Tinggalkan yang Tidak Bermanfaat


َ ُ َ ْ َ ُّ ‫ساب‬ َّ ‫صر‬ ْ َ ُ َ َّ َ
‫للا‬ َ َ
ِ ‫إسماعيل بن عبد‬ ‫ عن‬،‫ َح َّدثنا أبو ُم ْس ِه ٍر‬:‫ قالوا‬،‫احد‬ ٍ ‫وري وغي ُر و‬ ُ ‫الن ْي‬
ٍ ‫ حدثنا أحمد بن ن‬- ٢٤٧٠
ُ َ ُ َ َ ْ ُّ َ ُ َّ ‫األو َز‬
ْ ‫ عن‬،‫ماعة‬ َ
ِ ‫ قال َرسول‬:‫ قال‬،‫ عن أبي سلمة عن أبي هريرة‬،‫ عن الزهر ِي‬،‫ عن ق َّرة‬،‫اعي‬
‫للا "من‬ ‫بن َس‬
َ َ َ ٌ َْ َ ُ َ َ
‫نيه" َح ِد ْيث َح َس ٌن َر َو ُاه ال ِت ْر ِم ِذ ُّي َوغ ْي ُر ُه َهكذا‬
ِ ‫الم امل ْر ِء ت ْركه ما ال يع‬
ْ ْ ُ
ِ ‫حس ِن إس‬
Ahmad bin Nasr Al-Naysaburi dan lebih dari satu orang meriwayatkan kepada kami. Mereka
berkata: Abu Mushar meriwayatkan kepada kami, atas wewenang Ismail bin Abdullah bin
Sama'a, atas wewenang Al-Awza'i, tentang otoritas Qurra, otoritas Al-Zuhri, otoritas Abu
Salamah. Dari Abu Hurairah beliau bersabda: Rasulullah bersabda: “Bagian dari kebaikan
keislaman seseorang adalah dia meninggalkan apa yang tidak ada gunanya”
(HR. Tirmidzi, no. 2470; Ibnu Majah, no. 3976. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih).

B. Menganalisis Sanad
Derajat hadits ini adalah hasan lighairihi (hadits yang dilihat dari sanadnya dha’if
namun dikuatkan dari jalur lainnya, tetap tidak mengandung syadz dan ‘illah). Hadits ini
menurut ulama ahli ‘ilal (Antara lain Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan lain-lain)
adalah mursal (hadis yang menuai perbedaan pendapat di kalangan ulama hadis), akan tetapi
ia memiliki syawahid (hadits yang diriwayatkan oleh shahabat yang lain) yang cukup banyak
dengan redaksi yang semisal, sehingga menguatkannya dan menjadikannya hasan lighairihi.
َ ُ َ َْ َ
Hadits "‫" ِم ْن ُح ْس ِن ِإ ْسال ِم امل ْر ِء ت ْرك ُه َما ال َي ْع ِن ْي ِه‬ (meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat merupakan tanda kebaikan Islam seseorang) memiliki makna yang esensial bagi
umat Islam tentang pentingnya mengoptimalkan waktu dan tenaga dalam menjalani kehidupan.
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW, dengan variasi sanad
dan tingkat kualitas yang berbeda. Berikut penjelasan sanad hadits ini secara lebih mendalam
dan profesional:
➢ Versi Tirmidzi:
▪ Perawi: Abu Hurairah
▪ Kualitas Sanad: Shahih
▪ Deskripsi: Sanad Tirmidzi tergolong shahih karena memenuhi
syarat-syarat keshahihan menurut ilmu hadits. Para perawinya,
yaitu Abu Hurairah, Imam Tirmidzi, dan perawi lainnya,
dikategorikan sebagai tsiqat (terpercaya) dan adil. Tidak terdapat
cacat signifikan dalam sanad ini, sehingga hadits ini dapat
diterima dan dijadikan hujjah.
➢ Versi Ibnu Majah:
▪ Perawi: Abu Ishaq Al-Khowwash dari Zuhri dari Abu Salamah
dari Abu Hurairah
▪ Kualitas Sanad: Hasan
▪ Deskripsi: Sanad Ibnu Majah tergolong hasan karena para
perawinya tsiqat (terpercaya), namun terdapat kelemahan minor,
yaitu terdapat perawi yang tadlis (menyembunyikan nama guru).
Kelemahan ini tidak signifikan dan tidak mempengaruhi
keshahihan hadits secara keseluruhan.
➢ Versi Ahmad:
▪ Perawi: Abu Ishaq Al-Khowwash dari Zuhri dari Abu Salamah
dari Abu Hurairah
▪ Kualitas Sanad: Hasan
▪ Deskripsi: Sanad Ahmad sama dengan sanad Ibnu Majah,
sehingga tergolong hasan dengan alasan yang serupa.
Membandingkan ketiga sanad di atas, sanad Tirmidzi memiliki kualitas tertinggi karena
tergolong shahih. Sanad Ibnu Majah dan Ahmad tergolong hasan, namun memiliki kelemahan
minor. Meskipun demikian, ketiga sanad ini tetap memiliki nilai dan dapat dijadikan landasan
dalam memahami makna hadits.
Biografi Singkat Perawi Hadits yaitu Abu Hurairah bernama Abdurrahman bin Shakhr
ad-Dausy, berasal dari negeri Yaman. Beliau merupakan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits-hadits musnad yang beliau riwayatkan sebanyak 5374 hadits. Banyaknya hadits yang
beliau riwayatkan membuat orang-orang orientalis dan antek-anteknya merasa berkepentingan
untuk menjatuhkan kedudukan beliau, dengan tujuan agar kaum muslimin kehilangan sebagian
besar tuntunan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi ulama kita bahu-membahu
dalam membantah tuduhan-tuduhan keji mereka, serta menyapu bersih syubhat-syubhat yang
mereka lontarkan. Di antara buku-buka yang ditulis dalam hal ini adalah: Al-Anwar al-
Kasyifah fi Kitab Adhwa’ ‘ala as-Sunnah min az-Zalal wa at-Tadhlil wa al-Mujazafah (Cahaya
yang menyingkap kesalahan, penyesatan dan sikap serampangan dalam kitab Adhwa’ ‘ala as-
Sunnah), yang ditulis oleh salah satu ulama besar negeri Yaman; al-‘Allamah Abdurrahman
bin Yahya al-Mu’allimy (1313-1386 H). Pada tahun 57 H. Abu Hurairah meninggal dunia,
dalam usia 78 tahun.

C. Penjelasan Isi Hadits


Hadits Hadits Arbain ke-12 ini merupakan salah satu dasar pokok bidang akhlak dalam
agama Islam. Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawany menerangkan, “Adab-adab kebaikan
terhimpun dan bersumber dari 4 hadits: hadits “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, hendaknya berkata baik atau diam”, hadits “Salah satu pertanda kebaikan Islam
seseorang, jika ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya”, hadits “Janganlah
engkau marah”, dan hadits “Seorang mu’min mencintai kebaikan untuk saudaranya,
sebagaimana ia mencintai kebaikan tersebut bagi dirinya sendiri” (Jami’ al-Ulum wa Al-
Hikam, hal 208).
ََ ُ ُ َ َْ َ ُ ْ
« ‫» ِمن ح ْس ِن ِإ ْسال ِم امل ْر ِء ت ْركه َما ال ي ْع ِن ْي ِه‬
“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang; jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat baginya.”
َ‫م‬ َ
• “ِ‫ِاْل مرء‬ ِِ‫ِإ مسالم‬ ِِ‫ُح مسن‬ ِ ‫ م م‬i’rabnya
‫ن‬ adalah khabar yang didahulukan.
ُ ُ َ
Sedangkan ‫ ت مرك ِه‬adalah mubtada’ yang diakhirkan (Syarah al-Arba’in an-
Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal 181)

• Huruf min dalam hadits ini jenisnya tab’idhiyyah (sebagian). Jadi makna hadits ini
adalah: meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat, merupakan sebagian
dari hal-hal yang bisa mendatangkan baiknya keislaman seseorang (Jami’ al-
‘Ulum, hal 208)

• ‫ َماِِلَِِِيَ ْعنِ ْي ِِه‬adalah sesuatu yang tidak bermanfaat bagi pemerhatinya dan tidak ada
maslahat baginya (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh,
hal: 78)

Berkaitan dengan hadits yang di bahas ini, Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan, jika
Islam seseorang itu baik, maka sudah barang tentu ia meninggalkan pula perkara yang haram,
yang syubhat dan perkara yang makruh. Begitu pula perkataan berlebihan dalam hal mubah
yang sebenarnya ia tidak butuh. Meninggalkan hal yang tidak bermanfaat semisal itu
menunjukkan baiknya keislaman seseorang. Dan, yang patut menjadi perhatian kita adalah
adanya malaikat yang selalu mencatat apa-apa yang kita kerjakan dan katakan. Seperti firman-
Nya:
ۡ َ َۡ َ َ ُ ۡ َ ُ َ ُ َۡ ََ َ َ ۡ ۡ َ ۡ َ َ ۡ َ ََ
١٦ ‫س ِبه ن ۡف ُسه ۖۚ َون ۡح ُن اق َر ُب ِال ۡي ِه ِم ۡن َح ۡب ِل ال َو ِر ۡي ِد‬ ‫االنسان ونعلم ما توس ِو‬ ِ ‫ولقد خلقنا‬
َ
١٧ ‫الش َم ِال ق ِع ۡي ٌد‬ َ َ ۡ َ ۡ َ ٰ َ َ ُ ۡ َّ َ َ َ ۡ
ِ ‫ِاذ يتلقى املتل ِقي ِن ع ِن الي ِمي ِن وع ِن‬
َ َّ َ ُ ۡ
١٨ ‫َما َيل ِفظ ِم ۡن ق ۡو ٍل ِاال ل َد ۡي ِه َر ِق ۡي ٌب َع ِت ۡي ٌد‬
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika
dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang
lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di
dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (Q.S. Qaaf [50]: 16-18).

‫إن من حسن إسالم املرء قلة الكالم فيما ال يعنيه‬


Artinya: “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah mengurangi berbicara dalam hal
yang tidak bermanfaat.” (H.R. Ahmad).

Ibnu ‘Abbas juga mengatakan, bahwa yang dicatat adalah setiap perkataan yang baik
atau yang buruk. Sampai pula perkataan (status) “aku makan, aku minum, aku pergi, aku
datang, sampai aku melihat”, semuanya dicatat. Dan ketika tiba hari Kamis, perkataan dan
amalan tersebut akan dihadapkan kepada Allah. Dengan begitu mari sam-sama mengikuti
ajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam agar kita selamat dunia dan akhirat, yakni dengan
meninggalkan perkataan dan perbuatan sia-sia, supaya hidup kita tidak sia-sia.

Kapankah keislaman seseorang dianggap baik? Para ulama berbeda pendapat:


a.) Sebagian memandang bahwa kebaikan Islam seseorang dicapai dengan mengerjakan
kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan. Dan ini adalah tingkatan golongan yang
pertengahan, yang disitir oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,

َْ ْ ٌ ْ َ ٌ َْ ْ َ َْ َ ْ َ َ ْ َ َ َ ْ ‫اب َّالذ ْي َن‬ َ ‫ُث َّم َأ ْو َر ْث َنا ْالك‬


ِ ‫اصطف ْينا ِمن ِع َب ِادنا ف ِمن ُه ْم ظ ِال ٌم ِلنف ِس ِه و ِمن ُه ْم ُمقت ِصد و ِمن ُه ْم َس ِابق ِبالخي َر‬
‫ات‬ ِ َ ‫ت‬ ِ
ْ
‫للا‬
ِ ‫ِب ِإذ ِن‬
“Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-
hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, di antara mereka
ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan
dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32)
Orang yang baik keislamannya adalah golongan pertengahan yang mengerjakan kewajiban-
kewajiban dan sebagian yang sunah, serta meninggalkan semua hal-hal yang diharamkan.

b.) Pendapat kedua mengatakan: Kebaikan Islam seseorang artinya: jika ia telah mencapai
tingkatan ihsan yang disebutkan dalam hadits,

َ ‫ َفإ ْن َل ْم َت ُك ْن َت َر ُاه َفإ َّن ُه َي َر‬,‫للا َك َأ َّن َك َت َر ُاه‬


‫اك‬ َ ‫ َ«أ ْن َت ْع ُب َد‬:‫ال‬
َ ‫ َق‬,‫ َف َأ ْخب ْرِني َعن اإل ْح َسان‬:‫ال‬ َ
َ ‫«ق‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
Jibril bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah ihsan itu?” Beliau
menjawab: “Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Seandainya
engkau tidak mampu, ketahuilah bahwasanya Dia itu melihatmu.” (HR. Muslim no: 93)

c.) Pendapat ketiga memandang bahwa kebaikan keislaman itu bertingkat-tingkat, masing-
masing orang berbeda-beda tingkatannya. Besarnya pahala dan keutamaan seseorang
tergantung tingkatan kebaikan keislaman dia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ْ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ َ ُ َ ْ ُ َ ُ َ ْ َ َ َ َ ُّ ُ َ ُ َ َ ْ ْ ُ ُ َ َ َ َ ْ َ َ
«‫ف‬
ٍ ِ ِ ‫« ِإذا أحسن أحدكم ِإسالمه فكل حسن ٍة يعملها تكتب له ِبعش ِر أمث ِالها ِإلى سب ِع ِم‬
‫ع‬ ‫ض‬ ‫ة‬‫ائ‬
“Jika Islam salah seorang dari kalian baik, maka setiap amal kebaikan yang ia lakukan akan
dicatat (pahalanya) sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat.” (HR. Bukhari no: 42)
Keterangan para ulama ahli penelitian (tahqiq) mengatakan bahwa kebaikan keislaman itu
bertingkat-tingkat, tidak hanya satu level saja (menguatkan pendapat ketiga).

Hal lain yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwasanya agama Islam telah
menghimpun segala macam bentuk kebaikan. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy dalam
hal ini telah mengarang bukunya: “Mahasin al-Islam” (Keindahan-keindahan Agama Islam),
demikian pula Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad bin Salman mempunyai tulisan tentang
pembahasan ini. Dan perlu diketahui bahwa seluruh kebaikan ajaran Islam telah terhimpun
dalam dua kata yang disebutkan Allah dalam surat An Nahl ayat 90:

‫اإل ْح َس ِان‬‫و‬َ ‫للا َي ْأ ُم ُر ب ْال َع ْدل‬


َ ‫إ َّن‬
ِ ِ ِ ِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan.”
(QS. An-Nahl: 90)
Al-‘Inayah secara etimologi berarti: perhatian yang sangat terhadap sesuatu, atau suatu
hal penting yang diperhatikan. Jadi maksud dari “maa laa ya’niih” adalah sesuatu yang tidak
bermanfaat bagi pemerhatinya dan tidak ada maslahat baginya . Sesuatu yang tidak bermanfaat
bagi seorang muslim, bisa berbentuk perkataan bisa juga berbentuk perbuatan. Jadi setiap
perkataan dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya baik itu untuk kepentingan ukhrawi
seorang muslim ataupun untuk kepentingan duniawinya, seharusnya dia tinggalkan agar
keislamannya menjadi baik.
Adapun terlebih dahulu ada beberapa contoh hal-hal yang tidak bermanfaat bagi
seorang muslim, antara lain:

1. Maksiat atau hal-hal yang diharamkan oleh Allah ta’ala. Dan ini hukumnya wajib
untuk ditinggalkan oleh setiap manusia (Bahjah al-Qulub al-Abrar wa Qurrat ‘Uyun al-Akhbar
fi Syarh Jawami’ al-Akhbar, oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy, hal: 137). Karena dia bukan
hanya tidak bermanfaat, tapi juga membahayakan diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.
Di antara bahaya yang ditimbulkan maksiat di dunia adalah: mengerasnya hati dan menghitam,
hingga cahaya yang ada di dalamnya padam. Akibatnya, dia pun menjadi buta jadi tidak bisa
membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Akibat buruk ini telah dijelaskan oleh Nabi
kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ْ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ ً َ ْ ُ ْ َ ُ َ ْ ُ ً َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ َّ
« ‫ َو ِإ ْن‬,‫قل قل ُب ُه‬ ‫ ف ِإن هو نزع واستغفر ص‬,‫ِإن العبد ِإذا أخطأ خ ِطيئة نكتت ِفي قل ِب ِه نكتة سوداء‬
ْ َ ُ ُ َ َ َ ْ َ َّ َ ُ َ َ َ َّ ُ َّ َ ُ َ ُ ُ ْ َ ُ ْ َ َّ َ َ ْ َ ْ َ َ
‫ان َعلى قل ْو ِب ِه ْم َما ك ُان ْوا َيك ِس ُب ْو َن‬
‫زاد ِزيد ِفيها حتى تعلو قلبه وهو الران ال ِذي ذكر للا كال بل ر‬.«

“Jika seorang hamba berbuat sebuah dosa, maka akan ditorehkan sebuah noktah hitam di dalam
hatinya. Tapi jika ia meninggalkannya dan beristigfar niscaya hatinya akan dibersihkan dari
noktah hitam itu. Sebaliknya jika ia terus berbuat dosa, noktah-noktah hitam akan terus
bertambah hingga menutup hatinya. Itulah dinding penutup yang Allah sebutkan dalam ayat
(Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka kerjakan itu menutup hati
mereka)” (QS.al-Muthaffifin: 14) (HR Tirmidzi dan Ibn Majah serta dihasankan oleh Syaikh
Al Albani). Adapun di akhirat, maka orang yang gemar berbuat maksiat, diancam oleh Allah
untuk dimasukkan ke dalam neraka, na’udzubillah min dzalik.

2. Hal-hal yang dimakruhkan dalam agama kita, juga berlebih-lebihan dalam


mengerjakan hal-hal yang diperbolehkan agama, yang sama sekali tidak mengandung manfaat,
malah justru terkadang menghalangi seseorang dari berbuat amal kebajikan (Bahjah al-Qulub
al-Abrar, hal: 137, lihat pula: Syarh al-Arbain oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal: 80). Di
antara yang harus mendapat porsi terbesar dari perhatian kita adalah masalah lisan. Imam an-
Nawawi menasihatkan, “Ketahuilah, seyogianya setiap muslim berusaha untuk selalu menjaga
lisannya dari segala macam bentuk ucapan, kecuali ucapan yang mengandung maslahat. Jikalau
dalam suatu ucapan, maslahat untuk mengucapkannya dan maslahat untuk meninggalkannya
adalah sebanding, maka yang disunnahkan adalah meninggalkan ucapan tersebut. Sebab
perkataan yang diperbolehkan terkadang membawa kepada perkataan yang diharamkan atau
yang dimakruhkan. Dan hal itu sering sekali terjadi. Padahal keselamatan (dari hal-hal yang
diharamkan atau dimakruhkan) adalah sebuah (mutiara) yang tidak ternilai harganya.” (Riyadh
ash-Shalihin, hal: 483)

Pengalaman membuktikan bahwa perkataan yang baik, indah dan yang telah
dipertimbangkan secara bijak, atau mencukupkan diri dengan diam, akan mendatangkan
kewibawaan dan kedudukan dalam kepribadian seorang muslim. Sebaliknya, banyak bicara
dan gemar ikut campur perkara yang tidak bermanfaat, akan menodai kepribadian seorang
muslim, mengurangi kewibawaan dan menjatuhkan kedudukannya di mata orang lain
(Qawa’id wa Fawaid, hal: 123)

Imam Ibnu Hibban berpetuah, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak
mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi
telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu; adalah supaya dia lebih banyak
mendengar daripada berbicara. Sering kali seseorang menyesal di kemudian hari akibat
perkataan yang ia ucapkan, sementara diamnya dia tidak akan pernah membawa penyesalan.
(Perlu diketahui pula) bahwa menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih
mudah daripada mencabut perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Karena biasanya jika
seseorang tengah berbicara, maka kata-katanyalah yang akan menguasai dirinya, sebaliknya
jika tidak berbicara, maka ia mampu untuk mengontrol kata-katanya (Raudhah al-‘Uqala wa
Nuzhah al-Fudhala, hal: 45, dinukil dari Rifqan Ahl as-Sunnah bi Ahl as-Sunnah Menyikapi
Fenomena Tahdzir dan Hajr, oleh Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafidzhahullah, hal 31)

3. Menyibukkan diri mengurusi kesalahan orang lain, dan lupa untuk membenahi diri
sendiri. Padahal salah satu prinsip agama Islam adalah, bahwa setiap muslim sebelum ia
menyibukkan diri dengan kekurangan orang lain, hendaknya ia berusaha dengan sungguh-
sungguh untuk membenahi diri, berupaya merealisasikan keselamatan dan menjauhkan segala
hal yang akan membinasakan dirinya. Sebagaimana firman Allah,
‫الص ْب ِر‬ َ ‫اص ْوا ب ْال َحق َو َت َو‬
َّ ‫اص ْوا ب‬ َ ‫ات َو َت َو‬ َ َّ ‫ إ َّال َّالذ ْي َن َآم ُن ْوا َو َعم ُل ْوا‬. ‫ان َلفي ُخ ْسر‬ ْ َْ َ
َ َ ْ ‫ إ َّن‬. ‫صر‬
ِ ِ ِ ِ ‫الص ِالح‬ ِ ِ ِ ٍ ِ ‫اإلنس‬ ِ ِ ِ ‫والع‬
“Demi masa Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian Kecuali orang-
orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, nasihat-menasihati untuk menetapi kebenaran,
serta nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3)
Dalam untaian ayat-ayat ini, Allah ta’ala telah menerangkan karakteristik golongan
orang-orang yang selamat dari kerugian. Di antara karakteristik mereka; merealisasikan
keimanan dan amal shalih dalam diri mereka sendiri terlebih dahulu, sebelum mendakwahi
orang lain untuk berpegang kepada al-haq dan bersabar. Dan ini merupakan penegasan atas
permasalahan yang kita bahas.
Di sisi lain Allah ta’ala telah mencela Bani Israil, dikarenakan mereka menyelisihi prinsip ini,
ُ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ ُ ْ َ َ ْ ُ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ َّ َ ْ ُ ُ ْ َ َ
‫اب أفال ت ْع ِقل ْو َن‬ ‫أتأمرون الناس ِبال ِب ِر وتنسون أنفسكم وأنتم تتلون ال ِكت‬
“Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kalian melupakan diri
(kewajiban)mu sendiri, padahal kalian membaca al-Kitab (Taurat). Maka tidakkah kalian
berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44)
Oleh sebab itu, hendaknya kita senantiasa berusaha membenahi diri sendiri sebelum
berusaha membenahi orang lain. Jikalau telah beristiqamah (dalam kebaikan), lantas kita
berusaha untuk memadukan antara penerapan ajaran agama Allah dalam diri sendiri dengan
usaha untuk mendakwahi orang lain, di saat itulah kita benar-benar berada di atas petunjuk
salaf, dan niscaya Allah akan menjadikan kita bermanfaat (untuk umat). Itulah (karakteristik)
para da’i sunnah dengan perkataan dan perilakunya. Metode ini, demi Allah, benar-benar
merupakan tingkatan tertinggi, yang mana jika seseorang telah berhasil mencapainya, maka ia
termasuk hamba Allah yang paling tinggi kedudukannya kelak di hari akhir.
Allah ta’ala berfirman:
ُْ َ ‫َو َم ْن َأ ْح َس ُن َق ْو ًال م َّم ْن َد َعا إ َلى للا َو َعم َل‬
َ ‫ص ِال ًحا َو َق‬
‫ال ِإ َّن ِني ِم َن امل ْس ِل ِم ْي َن‬ ِ ِ ِ ِ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal shalih dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri’. “ (QS. Fushilat: 33) (Nashihah li asy-Syabab, oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-
Ruhaily hafidzhullah, hal: 1)
Telah disinggung di awal makalah ini, di saat kita menerangkan tentang standar atau
patokan apa yang harus kita gunakan dalam menilai bermanfaat tidaknya suatu perbuatan, kita
peringatkan di sana tentang kekeliruan yang dialami oleh sebagian orang tatkala mereka
meninggalkan hal-hal yang diwajibkan agama dengan alasan hal itu tidak berguna baginya.
Maka di sini kita akan membawakan berbagai contoh dari perintah-perintah agama yang
ditinggalkan oleh sebagian orang, akibat kekeliruan mereka dalam memahami hadits ini.
Sebagian orang meninggalkan amar ma’ruf (menyuruh kepada kebaikan) dan nahi
munkar (mencegah dari kemungkaran), dengan alasan hal tersebut tidak bermanfaat baginya.
Ini jelas-jelas merupakan kekeliruan yang nyata, sebab amar ma’ruf dan nahi munkar
merupakan perkara yang amat penting bagi seorang muslim. Allah berfirman,
َ ُْ َ َْ ْ َ ْ َ َ ٌ ُ ُ ُ ْ
‫َول َتك ْن ِم ْنك ْم أ َّمة َي ْد ُع ْون ِإلى الخ ْي ِر َو َيأ ُم ُر ْو َن ِبامل ْع ُر ْو ِف َو َي ْن َه ْون َع ِن امل ْنك ِر‬
“Dan hendaklah ada di antara kalian, segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali Imran: 104).
(Lihat: Syarh al-Arba’in, oleh Syaikh al-Utsaimin, hal: 182)
Setiap yang diperintahkan Allah adalah penting dan bermanfaat bagi manusia. Sebagian
yang lain mengabaikan nasihat untuk umat, dikira bahwa hal itu tidak bermanfaat bagi dirinya.
Hal ini tidak diragukan lagi bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits yang
memerintahkan untuk membudayakan nasihat antar umat (Qawa’id wa Fawa’id, hal: 123-124).
Dan di antara bentuk nasihat yang sering kali diabaikan, bahkan diperangi oleh banyak orang,
adalah menerangkan kesalahan dan kesesatan ahlul bid’ah kepada umat, dengan tujuan agar
umat tidak terjerumus ke dalam kesalahan dan kesesatan mereka.
Para ulama telah berijma’ (bersepakat) tentang disyariatkannya bahkan diwajibkannya
mengkritik ahlul bid’ah, sebab bahaya mereka bagi umat lebih besar dari segala bentuk
marabahaya (Lihat keterangan dari para ulama tentang masalah ini dalam kitab al-Mahajjah al-
Baidha’ fi Himaayati as-Sunnah al-Gharra’ min Zallati ahl al-Akhtha’ wa Zaighi ahl al-Ahwa’,
oleh Syaikh Prof Dr Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly, hal: 55-74). Dan ini bukanlah termasuk
ghibah (menggunjing) yang diharamkan, sebagaimana yang diterangkan oleh Imam an-
Nawawy (Dalam Riyadh ash-Shalihin, hal: 489-490) dan ulama lainnya.

Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah juga mengatakan bahwa ada sepuluh hal yang
tidak bermanfaat.
1. Memiliki ilmu namun tidak diamalkan.
2. Beramal namun tidak ikhlash dan tidak mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
3. Memiliki harta namun enggan untuk menginfakkan. Harta tersebut tidak digunakan
untuk hal yang bermanfaat di dunia dan juga tidak diutamakan untuk kepentingan
akhirat.
4. Hati yang kosong dari cinta dan rindu pada Allah.
5. Badan yang lalai dari taat dan mengabdi pada Allah.
6. Cinta yang di dalamnya tidak ada ridho dari yang dicintai dan cinta yang tidak mau
patuh pada perintah-Nya.
7. Waktu yang tidak diisi dengan kebaikan dan pendekatan diri pada Allah.
8. Pikiran yang selalu berputar pada hal yang tidak bermanfaat.
9. Pekerjaan yang tidak membuatmu semakin mengabdi pada Allah dan juga tidak
memperbaiki urusan duniamu.
10. Rasa takut dan rasa harap pada makhluk yang dia sendiri berada pada genggaman Allah.
Makhluk tersebut tidak dapat melepaskan bahaya dan mendatangkan manfaat pada
dirinya, juga tidak dapat menghidupkan dan mematikan serta tidak dapat
menghidupkan yang sudah mati.
Di antara sepuluh hal tersebut yang paling berbahaya dan merupakan asal muasal segala macam
kelalaian adalah dua hal yaitu: hati yang selalu lalai dan waktu yang tersia-siakan. Hati yang
lalai akan membuat seseorang mengutamakan dunia daripada akhirat, sehingga dia cenderung
mengikuti hawa nafsu. Sedangkan menyia-nyiakan waktu akan membuat seseorang panjang
angan-angan. Di antara tanda baiknya seorang muslim adalah ia meninggalkan hal yang sia-sia
dan tidak bermanfaat. Waktunya diisi hanya dengan hal yang bermanfaat untuk dunia dan
akhiratnya. Sedangkan tanda orang yang tidak baik islamnya adalah sebaliknya.

D. Faedah Hadist
Islam menghendaki terbentuknya masyarakat mulia dan produktif,yang pemeluknya
selalu memanfaatkan setiap potensi dankesempatan serta tidak menyia-nyiakannya. Termasuk
sifat-sifat orang muslim adalah dia menyibukkan diridengan perkara-perkara yang mulia serta
menjauhkan perkara yanghina dan rendah. Pemahaman kebalikannya adalah bahwa
menyibukkkan diri dengan sesuatu yang tidak bermanfaatmerupakan tanda kelemahan iman.
Setiap muslim dituntut mendidik diri sendiri untuk meninggalkan apa yang tidak
bermanfaat di dalamnya. Penting untuk melibatkan diri dalam berbagai kegiatan positif
agar tidak ada waktu yang terisi dengan kesia-siaan.Pribadi Islam yang baik bukan hanya
mereka yang meninggalkan perkara-perkara haram atau makruh, tetapi juga bahkan
meninggalkan perkara yang dibolehkan, jika nyata-nyata hal tersebuttidak bermanfaat.
Hadist ini memberikan faedah-faedah berharga, di antaranya;

• Keislaman seseorang yaitu ketundukannya hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla baik
zahir dan batin, ada pun secara batin ketundukan seorang hamba kepada RabbNya, yaitu
dengan memperbaiki aqidah dan hatinya, dan hal itu dengan mengimani segala apa-apa
yang wajib diimani seperti dalam hadits Jibril yang masyhur. Ada pun ketundukkan
secara zahir adalah memperbaiki perbuatan zahirnya, seperti ucapan dengan lisan dan
perbuatan dengan lahiriyahnya.
• Tolok ukur mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dan meninggalkan sesuatu yang tidak
bermanfaat, ialah dengan Syariat Islam.
• Hadits ini mengisyaratkan salah satu standar bagusnya kualitas keislaman, ketundukan,
dan kesempurnaan iman seseorang adalah meninggalkan perkataan dan perbuatan yang
tidak bermanfaat bagi orang tersebut, baik manfaat dunia maupun akhirat.
• Orang yang menyibukkan diri dalam urusan yang tidak bermanfaat akan melupakannya
dari kebaikan dan amal yang bermanfaat. Sebab ketika seseorang sibuk dengan
kebatilan maka dia tidak mungkin pada saat yang sama sibuk dengan kebaikan, dan
begitu pun sebaliknya.
• Hendaklah seorang muslim mencari berbagai kebaikan keislamannya dan
meninggalkan segala apa yang tidak bermanfaat baginya sehingga merasa tenang.
Sebab, bila ia disibukkan dengan urusan yang tidak penting dan tidak bermanfaat, akan
membuat dirinya lelah.
• Sepatutnya bagi seorang muslim memanfaatkan waktu dengan sesuatu yang dapat
mendatangkan manfaat di dunia dan akhirat, dan hal ini merupakan jalan selamat.
• Dianjurkan untuk menjauhi perkara-perkara yang rendah dan tidak bermanfaat.
• Dianjurkan untuk melatih jiwa dan membersihkannya, yaitu dengan menjauhkannya
dari berbagai kekurangan, kehinaan, dan syubhat yang mengotorinya.
• Sibuk dan mencampuri urusan orang lain merupakan perbuatan sia-sia dan sebagai
tanda lemahnya keimanan, serta dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan
antara manusia.
• Seorang muslim harus berpikir sebelum berkata dan berbuat, apakah perkataan dan
perbuatannya bermanfaat ataukah tidak, bermanfaat tidak untuk dirinya, keluarganya,
dan untuk Islam dan kaum muslimin menurut tolok ukur syari’at.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

ََ ُ ُ َ َْ َ ُ ْ
Hadits "‫ " ِمن ح ْس ِن ِإ ْسال ِم امل ْر ِء ت ْركه َما ال ي ْع ِن ْي ِه‬merupakan pesan penting bagi umat Islam
untuk memanfaatkan waktu dan tenaga dengan sebaik-baiknya. Sanad hadits ini memiliki
variasi kualitas, dengan sanad Tirmidzi yang tergolong shahih dan sanad Ibnu Majah dan
Ahmad yang tergolong hasan. Memahami makna dan implikasi hadits ini dapat membantu kita
menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan bermanfaat.
Hadits meninggalkan hal yang tidak bermanfaat merupakan ajaran penting dalam Islam
yang mengajarkan kita untuk fokus pada hal-hal yang bermanfaat dan produktif, serta
menghindari segala bentuk kesibukan yang tidak membawa manfaat. Hadits ini memiliki dasar
yang kuat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta didukung oleh berbagai studi kasus dan
penelitian ilmiah.
Dengan meninggalkan hal yang tidak bermanfaat, kita dapat menjalani kehidupan yang
lebih produktif, bermakna, dan berkah. Hadits ini mengajarkan kita untuk fokus pada hal-hal
yang penting dan bermanfaat, serta menghindari segala bentuk kesibukan yang tidak membawa
manfaat. Dengan mengikuti ajaran hadis ini, kita dapat menjalani kehidupan yang lebih baik di
dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA

H. Ibnu Rajab Al-Hambali.Tahqiq: Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan ke-10, Tahun


1432. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis. Penerbit Muassasah Ar-Risalah;
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan
ketiga, Tahun 1425 H. Penerbit Dar Tsuraya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 181)
H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Musthofa Sayyid Muhammad, dkk.Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim.
Cetakan pertama, Tahun 1421. Penerbit Muassasah Qurthubah.
Mahajjah al-Baidha fi Himayati as-Sunnah al-Gharra’ min Zallati Ahl al-Akhtha’ wa Zaighi
Ahl al-Ahwa’, Prof. Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly.
Bahreisj, Hussein. Ajaran-ajaran Akhlaq Imam Ghozali. Surabaya: Al-Ikhlas, 1981
al-Bukhari, Muhammad bin Isma'ilibn al-Mugirah, Shahih Bukhari; Beirut: Dar Ibn Katsir,
1989.
Bustamin, Metode Kritik Hadis, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2010
Badai’ at-Tafsir al-Jami’ li Tafsir Ibn Qayyim al-Jauziyah, Yusri as-Sayyid Muhammad.
Bahjah al-Qulub al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun al-Akhbar fi Syarh Jawami’ al-Akhbar,
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy.
Iqadz al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
Jarifin, A. (2019). 88 Strategi Bisnis Ala Rasulullah yang Tak Pernah Rugi. Araska Publisher.
Syarah Riyadhus Shalihin dan Hadits Arba’in lin Nawawi karya Ibnu al Utsaimin dan sejumlah
ulama lainnya seperti Ibnu Daqiq Al ‘Id dan Ismail Al Anshari rahimahumullah.
Jami’ al Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab.
Mauqif Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah min Ahl al-Ahwa’ wa al-Bida’, Dr. Ibrahim bin Amir
ar-Ruhaily.
Rifqan Ahl as-Sunnah bi Ahl as-Sunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Abdul
Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr.

Anda mungkin juga menyukai