Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN

“Aliran-aliran Filsafat Pendidikan”

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Yalvema Miaz, M.A, Ph.D

Disusun Oleh kelompok 9:

Aliffya 23129005
Anastasya Br Sitorus 23129008
Anggun Norma Helda 23129009
Aufa Sadina Ayu 23129012
Rahmalia Putri wulandari 23129229
Viora Agustin 23129268

DEPARTEMEN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabaraktuh.

Alhamdulillah hirobbil ’alamin, marilah kita panjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah
Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Aliran-aliran Filsafat Pendidikan” tepat sesuai waktunya. Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan yang diampu oleh Bapak
Prof. Dr. Yalvema Miaz, M.A, Ph.D.
Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Yalvema Miaz, M.A, Ph.D. yang telah memberikan
kami tugas makalah ini, sehingga kami mendapatkan wawasan dan ilmu baru. Kami
menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna, karena masih banyak terdapat kekurangan
maupun kesalahan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami menerima segala bentuk
kritikan dan saran yang membangun serta membantu kami agar bisa lebih baik lagi
menyajikan makalah untuk kedepannya.

Padang, 30 April 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

cover
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................... 1
A. Latar belakang........................................................................................................................ 1
B. Rumusan masalah................................................................................................................... 1
C. Tujuan...................................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................................... 3
A. Pengertian Filsafat.................................................................................................................... 3
B. Aliran- Aliran Filsafat Pendidikan........................................................................................... 3
BAB III PENUTUP.............................................................................................................................. 9
A. Kesimpulan.............................................................................................................................. 9
B. Saran......................................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................ 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Idealisme Berakar dari pemikiran Plato yang menekankan pada dunia ide atau
konsep abstrak sebagai realitas yang sesungguhnya. Memandang bahwa realitas
tertinggi adalah ide atau konsep abstrak, seperti Kebenaran, Kebaikan, dan
Keindahan. Meyakini bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membantu peserta didik
mencapai pemahaman tentang ide-ide abstrak tersebut.
Realisme Berakar dari pemikiran Aristoteles yang menekankan pada realitas
objektif yang dapat diamati dan diverifikasi secara empiris. Memandang bahwa
realitas terdiri dari benda-benda fisik dan fenomena alam yang dapat dipelajari dan
dipahami melalui pengamatan dan eksperimen.Meyakini bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk membantu peserta didik memahami dan menguasai realitas alam
semesta.
Pragmatisme Dikembangkan oleh filsuf Amerika, seperti William James dan
John Dewey. Menekankan pada kegunaan praktis dan pengalaman sebagai dasar
untuk memahami realitas. Memandang bahwa pengetahuan dan kebenaran harus diuji
berdasarkan kemampuannya untuk memecahkan masalah praktis. Meyakini bahwa
tujuan pendidikan adalah untuk membantu peserta didik mengembangkan kemampuan
memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan yang selalu berubah.
Eksistensialisme Muncul dari pemikiran filsuf Eropa, seperti Soren
Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre. Menekankan pada kebebasan, tanggung jawab, dan
makna individual. Memandang bahwa realitas adalah hasil dari pilihan dan tindakan
manusia, bukan sesuatu yang sudah ditentukan. Meyakini bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk membantu peserta didik mengembangkan kesadaran diri dan kebebasan
untuk memilih dan menentukan tujuan hidup mereka sendiri.
Konstruktivisme Dipengaruhi oleh pemikiran Jean Piaget dan Lev Vygotsky.
Menekankan pada peran aktif peserta didik dalam membangun pengetahuan mereka
sendiri. Memandang bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang diterima secara pasif,
melainkan dibangun secara aktif oleh peserta didik. Meyakini bahwa tujuan
pendidikan adalah untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendorong peserta
didik terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
Setiap aliran filsafat pendidikan memiliki latar belakang yang berbeda,
namun semuanya bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara
optimal.
B. Rumusan masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan filsafat pendidikan?
2. Apakah saja aliran- aliran filsafat pendidikan?

1
C. Tujuan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan filsafat pendidikan
2. Mengetahui aliran-aliran filsafat pendidikan
.

2
BAB II
PEMBAHASAN
.

A. Pengertian Filsafat

Filsafat dalam arti harfiah berarti cinta kebijaksanaan. Dalam arti luas, filsafat
adalah upaya manusia untuk berpikir secara spekulatif, reflektif, dan sistematis tentang
alam semesta di mana dia hidup dan hubungannya dengan alam semesta. Tampilannya
yang luar biasa adalah upaya untuk mengevaluasi keseluruhan pengalaman manusia.
Filsafat tidak menambahkan fakta-fakta baru untuk pengetahuan yang ada. Filsafat
mengkaji fakta-fakta yang diberikan oleh para ilmuwan dan menganalisis makna,
interpretasi, signifikansi dan nilai dari fakta-fakta tersebut. Kebanyakan akan
menerima ide bahwa filsafat adalah penyelidikan yang sistematis dan logis akan
kehidupan sehingga mampu membingkai gugusan ide-ide di mana pengalaman
manusia dapat dievaluasi.

Jika pendidikan adalah untuk mempromosikan perubahan yang lebih baik, maka
filsafat menentukan apa yang "baik" bagi sebagian masyarakat tertentu atau
masyarakat secara keseluruhan. Filsafat pendidikan, dengan demikian, adalah aplikasi
filsafat untuk mempelajari semua faktor yang mempengaruhi tujuan dan sasaran
pendidikan, metode, isi dan organisasi dalam hal nilai-nilai manusia yang bisa
mempengaruhi sifat dan tujuan mereka serta masyarakat secara luas.

B. Aliran- Aliran Filsafat Pendidikan

1. Idealisme
Idealisme adalah filsafat yang menyatakan hakikat spiritual manusia dan alam
semesta. Sudut pandang dasarnya menekankan pada roh manusia, jiwa atau pikiran
sebagai unsur paling penting dalam hidup. Idealisme memandang bahwa baik, benar,
dan indah secara permanen adalah bagian dari struktur alam semesta yang koheren,
tertib, dan tidak berubah. Dalam idealisme, semua realitas direduksi menjadi satu
substansi-roh yang fundamental. Materi itu tidak nyata. Hanya pikiran yang nyata.

2. Realisme
Realisme dapat didefinisikan sebagai posisi filosofis yang menegaskan
 adanya tujuan dunia dan permulaan-permulaan di dalamnya;
 kemampuan mengetahui objek sebagaimana ia ada dalam dirinya sendiri;
 kebutuhan akan kesesuaian dengan realitas obyektif dalam perilaku manusia.

Kaum realis mengacu unsur-unsur universal manusia yang tidak berubah


terlepas dari waktu, tempat dan keadaan. Ini adalah watak universal yang membentuk

3
unsur-unsur dalam pendidikan manusia. Menurut kaum realis, pendidikan
mengandaikan pengajaran, pengajaran mengandaikan pengetahuan, pengetahuan
adalah kebenaran dan kebenaran adalah sama di mana-mana. Oleh karena itu,
pendidikan di mana-mana harus sama.

3. Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma, artinya 'sesuatu yang dilakukan,
sebuah fakta yang dipraktekkan'. Doktrin ini menyatakan bahwa arti proposisi atau ide
terletak pada konsekuensi praktisnya. Filsafat ini menekankan bahwa pendidikan telah
sia-sia jika tidak melakukan fungsi sosial yang ditugaskan untuk itu.19 Kaum
pragmatis mengklaim bahwa masyarakat tidak dapat memenuhi tugas pendidikan
tanpa sebuah lembaga yang dirancang untuk tujuan tersebut. Sekolah harus menjaga
hubungan intim dengan masyarakat jika ingin memainkan perannya dengan baik.
Mereka juga menegaskan bahwa sekolah harus bertujuan untuk institusi khusus dengan
tiga sasaran:
 dirancang untuk mewakili masyarakat untuk anak dalam bentuk yang
disederhanakan;
 selektif secara kualitatif, jika tidak etis, mengingat ia merepresentasikan
masyarakat untuk kaum muda; dan
 bertanggung jawab dalam memberikan anak pemahaman yang seimbang dan
benar-benar representatif dengan masyarakat.

4. Perenialisme
"Hakikat manusia tidak pernah berubah; Oleh karena itu pendidikan yang baik
juga tidak harus berubah". Kaum perenialis percaya bahwa ide-ide besar, yang telah
berlangsung selama berabad-abad, masih relevan hingga saat ini dan semestinya
menjadi focus pendidikan. Perenialisme adalah teori pendidikan yang sangat
dipengaruhi oleh prinsipprinsip realisme. Perenialisme memiliki pandangan yang
konservatif / tradisional akan hakikat manusia dan pendidikan. Kaum perenialis
berpendapat bahwa kebenaran bersifat universal dan tidak berubah, dan, karena itu,
pendidikan yang baik juga universal dan konstan.
Tujuan Pendidikan Bagi kaum perenialis, tujuan pendidikan adalah untuk
memastikan bahwa siswa memperoleh pemahaman tentang ide-ide besar dari
peradaban Barat. Ide-ide ini memiliki potensi untuk memecahkan masalah di era
apapun. Kaum perenialis memandang tujuan utama pendidikan adalah
mengembangkan kekuatan pikiran. Mereka melihat tujuan universal pendidikan
sebagai pencarian dan penyebaran kebenaran. Mereka menganggap sekolah sebagai
lembaga yang dirancang untuk mengembangkan kecerdasan manusia.
Robert Hutchins, juru bicara perenialisme yang paling artikulatif berpendapat
bahwa pendidikan harus menumbuhkan kecerdasan serta pengembangan harmoni dari
semua daya manusia. Tujuan utama pendidikan harus mengembangkan kekuatan
pikiran. Dia juga menggambarkan pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang
mengembangkan daya intelektual.
4
Kurikulum Fokusnya adalah untuk mengajarkan ide-ide yang kekal, untuk
mencari kebenaran abadi yang konstan, yang tidak berubah, sebagaimana dunia alam
dan manusia sebagai yang paling penting, yang tidak berubah. Mengajar prinsip-
prinsip yang tidak berubah ini adalah penting. Manusia adalah makhluk rasional, dan
pikiran mereka perlu dikembangkan. Dengan demikian, Pengembangan intelek adalah
prioritas tertinggi dalam pendidikan. Kurikulum berfokus pada pencapaian melek
budaya, menekankan pertumbuhan siswa dalam disiplin abadi. Prestasi paling mulia
dari manusia harus ditekankan - karya besar sastra dan seni, hukum atau prinsip-
prinsip ilmu pengetahuan.
Kaum perennialis memandang pendidikan sebagai proses berulang berdasarkan
kebenaran abadi; dengan demikian, kurikulum sekolah harus menekankan tema-
temaberulang kehidupan manusia. Kurikulum harus memuat pelajaran kognitif yang
menumbuhkan rasionalitas dan studi moral, estetika, dan prinsip-prinsip agama untuk
mengembangkan dimensi sikap. Kaum perenialis lebih memilih kurikulum materi
pelajaran yang meliputi sejarah, bahasa, matematika, logika, sastra, humaniora, dan
ilmu pengetahuan.
Filsafat pendidikan Robert Hutchins didasarkan pada premis bahwa hakikat
manusia adalah rasional, dan pengetahuan menduduki kebenaran yang tidak berubah,
mutlak, dan universal. Dia menekankan bahwa pendidikan harus bersifat universal
karena rasionalitas hakikat manusia adalah universal. Hutchins menganjurkan
kurikulum yang terdiri dari muatan-muatan yang permanen dan abadi. Dia sangat
menganjurkan studi pada warisanwarisan klasik, atau karya-karya besar Peradaban
Barat. Dia percaya bahwa membaca dan mendiskusikan buku besar berguna dalam
mengembangkan intelek dan menyiapkan siswa untuk berpikir hati-hati dan kritis.
Selain itu, ia juga menganjurkan studi tentang tata bahasa, retorika, logika,
matematika, dan filsafat.
Pendek kata, perenialisme mewakili pandangan teoritis konservatif yang
berpusat pada otoritas tradisi dan warisan-warisan klasik. Di antara prinsip-prinsip
utama pendidikan adalah:
 Kebenaran adalah universal dan tidak tergantung pada keadaan tempat, waktu,
atau orang;
 Pendidikan yang baik melibatkan pencarian dan pemahaman tentang
kebenaran;
 Kebenaran dapat ditemukan dalam karya besar peradaban; dan
 Pendidikan adalah latihan liberal yang mengembangkan intelek.

5. Esensialisme
Esensialisme adalah pendekatan tradisional pada pendidikan yang sering
disebut sebagai "Kembali ke Dasar". Pada dasarnya, kaum esensialis berkepentingan
dengan kebangkitan upaya dengan mengajarkan alat pembelajaran sebagai jenis yang
paling tak terpisahkan dari pendidikan. Kaum esentialis percaya bahwa ada inti
pengetahuan umum yang perlu ditransmisikan kepada siswa secara sistematis, disiplin.
Penekanan dalam perspektif konservatif ini adalah pada standar intelektual dan moral
5
yang harus diajarkan oleh sekolah.
Tujuan Pendidikan. Kaum esensialis menganggap tujuan pendidikan harus
mengarahkan manusia pada terbentuknya lembaga pendidikan baik swasta maupun
negeri yang adil, terampil dan murah hati. Pembelajaran informal membantu, tapi ini
seharusnya hanya pelengkap dan sekunder. Kaum esentialis percaya bahwa
keterampilan, pengetahuan dan sikap yang dibutuhkan oleh individu yang bersesuaian
dengan realitas kehidupan harus direncanakan secara sistematis. Mereka menekankan
otoritas guru dan nilai kurikulum materi pelajaran.
Kaum essensialis menyemaikan benih-benih program pendidikan mereka demi
terbentuknya
 sebuah kurikulum yang baik;
 penekanan pada sastra, matematika, sejarah,
 nilai-nilai pendidikan prasangka;
 pendidikan sebagai adaptasi individu pada pengetahuan mutlak yang ada
secara independen dari individu.

6. Progresivisme
Teori pendidikan progresivisme ini berbeda dengan pandangan tradisional
seperti esensialisme dan perenialisme. Gerakan Thailand adalah bagian dari gerakan
reformasi umum yang mencirikan kehidupan Amerika di akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20. Gerakan yang sering dikaitkan dengan pragmatisme John Dewey atau
experimentalisme, menekankan pandangan bahwa semua proses belajar-mengajar
harus berpusat pada kepentingan dan kebutuhan anak. Dalam "Demokrasi dan
Pendidikan" Dewey, ia menguraikan bahwa pendidikan yang benar-benar progresif
memerlukan filsafat berdasarkan pengalaman, interaksi orang dengan lingkungannya.
Seperti filsafat eksperiensial seharusnya tidak menetapkan tujuan-tujuan eksternal,
tapi, lebih tepatnya, produk akhir dari pendidikan adalah keberlangsungan pengalaman
yang memperantarai arah dan kontrol pengalaman berikutnya. Sesungguhnya
pendidikan progresif tidak mengabaikan masa lalu, tetapi menggunakannya untuk
mengarahkan pengalaman masa depan.
Tujuan pendidikan progresif adalah untuk memenuhi kebutuhan anak yang
sedang tumbuh. Sekolah harus menjadi tempat untuk belajar yang menyenangkan.
Konten kurikulum berasal dari minat dan kecenderungan siswa. Metode ilmiah
digunakan oleh pendidik progresif sehingga siswa dapat belajar materi dan peristiwa
secara sistematis. Penekanannya adalah pada proses-bagaimana seseorang sampai pada
suatu pengtahuan / pemahaman. John Dewey adalah pendukung utama aliran filsafat
ini. Salah satu prinsipnya adalah bahwa sekolah harus memperbaiki cara hidup warga
melalui pengalaman kebebasan dan demokrasi di sekolah-sekolah. Pengambilan
keputusan bersama, perencanaan guru dengan siswa, topik-dipilih siswa. Buku
hanyalah alat, bukan otoritas. Kaum progresif umumnya tidak tertarik dalam
kurikulum yang sudah disiapkan dan dirancang untuk mentransmisikan pengetahuan
kepada siswa. Sebaliknya, kurikulum itu bertolak dari minat dan kecenderungan anak
sehingga pembelajaran akan aktif, menarik dan bervariasi. Isi materi pelajaran
6
dilakukan oleh guru dan siswa sebagai proyek kelompok atau upaya kerjasama. Proyek
siswa didasarkan pada pengalaman bersama mereka bersama sehingga menolak
hambatan baik kelas, ras, atau keyakinan. Guru bertugas sebagai fasilitator sedangkan
siswa bekerja pada proyek-proyek mereka dan menyarankan cara lain untuk
melakukan proyek tersebut.
Pendidikan progresif meninggalkan warisan yang ditandai dengan:
 Penekanan pada anak sebagai peserta didik, bukan pada materi pelajaran;
 Penekanan pada anak sebagai pesrta didik, bukan pada ketergantungan buku
teks dan hafalan;
 Pembelajaran kooperatif, bukan pemblajaran kompetitif;
 Tidak adanya rasa takut dan hukuman untuk tujuan disiplin.
Kaum progresif percaya bahwa pendidikan harus fokus pada seluruh anak,
bukan pada konten lain atau guru. Filsafat pendidikan ini menekankan bahwa siswa
harus menguji ide dengan percobaan aktif. Belajar berakar pada pertanyaan peserta
didik yang muncul melalui pengalaman. Belajar bersifat aktif, tidak pasif. Pesrta didik
adalah pemecah masalah dan pemikir yang membuat makna melalui pengalaman
individualnya dalam konteks fisik dan budaya. Guru yang efektif memberikan
pengalaman sehingga siswa dapat belajar dengan melakukan.

7. Rekonstruktionisme
Sementara kaum progresif menekankan individualitas anak, maka kaum
rekonstruktionis lebih peduli dengan perubahan sosial. Mereka percaya bahwa sekolah
harus menghasilkan kebijakan dan kemajuan yang akan membawa reformasi tatanan
sosial, dan guru harus menggunakan kekuasaan mereka untuk memimpin yang muda
dalam program reformasi sosial. Kaum rekonstruktionis setuju filsafat pendidikan yang
berbasis pada budaya dan tumbuh dari pola budaya tertentu terkondisikan oleh
kehidupan pada waktu tertentu di tempat tertentu. Mereka percaya bahwa budaya
adalah dinamis, bahwa manusia dapat membentuk kembali budaya-nya sehingga ia
membuka kemungkinan optimal untuk pembangunan.

Kaum rekonstruktionis mengatakan bahwa umat manusia dalam keadaan krisis


budaya. Jika sekolah merefleksikan budaya mereka, maka pendidikan hanya akan
menularkan penyakit sosial. Masyarakat harus merekonstruksi nilai-nilainya, dan
pendidikan memiliki peran besar dalam menjembatani kesenjangan antara nilai-nilai
budaya dan teknologi. Adalah tugas sekolah untuk mendorong penyelidikan kritis
terhadap warisan budaya dan menemukan unsur-unsur yang akan dibuang dan unsur-
unsur yang harus diubah.

Tujuan Pendidikan. Pendidikan, bagi kaum rekonstruktionis bertujuan


membangkitkan kesadaran siswa tentang masalah sosial dan untuk secara aktif terlibat
dalam pemecahan masalah. Guru dan sekolah harus memulai penyelidikan kritis
terhadap budaya mereka sendiri. Sekolah-sekolah harus mengidentifikasi kontroversi
dan inkonsistensi yang ada dan mencoba memecahkan masalah-masalah kehidupan
7
nyata. Kaum rekonstruktionis percaya bahwa sekarang ada kebutuhan untuk
kemerdekaan internasional. Perang polusi dan nuklir tidak terbatas pada satu tempat
tetapi dalam lingkup internasional.

Kurikulum rekonstruksionis harus mencakup unsur-unsur pembelajaran untuk


hidup dalam lingkungan global. Dengan demikian, kaum rekonstruktionis
mengusulkan kebijakan pendidikan yang berkaitan dengan masalah nasional dan
internasional sebagai alat untuk mengurangi konflik dunia. Sekolah, oleh karena itu,
menjadi pusat kontroversi di mana siswa dan guru menekankan dan mendorong
diskusi tentang isu-isu kontroversial dalam agama, ekonomi, politik dan pendidikan;
diskusi ini tidak hanya latihan intelektual. Metode. Kaum rekonstruksionis umumnya
akan berusaha untuk menginternasionalisasikan kurikulum sehingga peserta didik akan
belajar bahwa mereka hidup di sebuah desa global. Sekolah dan guru menjadi insinyur
sosial yang merencanakan tindakan untuk sampai pada tujuan yang ditetapkan. Metode
kelas akan berorientasi pada masalah - siswa diminta untuk menyelidiki secara kritis
warisan budaya. Guru serta siswa membahas isu-isu kontroversial dan mereka
didorong untuk berkomitmen dan aktif dalam perubahan sosial. Siswa dan guru
berpartisipasi dalam program perubahan sosial, pendidikan, politik dan ekonomi
sebagai sarana pembaharuan budaya secara keseluruhan. Kelas menjadi laboratorium
percobaan pada praktek sekolah yang akan memungkinkan manusia untuk menangani
masalah krisis budaya akut dan disintegrasi sosial.

8. Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah cara melihat dan berpikir tentang kehidupan di dunia
sehingga lebih memprioritaskan pada individualisme dan subjektivitas. Kaum
eksistensialis percaya bahwa manusia adalah pencipta esensinya sendiri; ia
menciptakan nilai sendiri melalui kebebasan memilih atau preferensi individual.
Pengetahuan yang paling penting bagi manusia adalah pengetahuannya tentang realitas
kehidupan berikut pilihan-pilihan hidup yang harus ia ambil. Pendidikan adalah proses
manusia dalam mengembangkan kesadaran akan kebebasan memilih dan makna serta
tanggung jawab.

Tujuan Pendidikan. Pendidikan harus menumbuhkan intensitas kesadaran


peserta didik. Mereka harus belajar untuk mengakui bahwa sebagai individu mereka
secara terus-menerus, bebas, tanpa dasar, dan kreatif menentukan kebebasannya untuk
memilih. Pendidikan harus peduli dengan pengalaman yang efektif, dengan unsur-
unsur pengalaman yang subjektif dan personal. Tujuan pendidikan tidak dapat
ditentukan di muka ataupun dipaksakan oleh guru melalui sistem sekolah. Setiap orang
memiliki tanggung jawab untuk menentukan pendidikannya sendiri.

Kurikulum. Mata pelajaran hanyalah alat bagi realisasi subjektivitas. Belajar


tidak ditemukan dalam struktur pengetahuan maupun dalam disiplin yang terorganisir,
tetapi dalam kesediaan siswa untuk memilih dan memberi makna terhadap subjek/mata
8
pelajaran.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat menyediakan kerangka bagi pengorganisasian sekolah dan kegiatan / proses
belajar mengajar. Filsafat menjawab pertanyaan tentang tujuan sekolah, mata pelajaran,
danbagaimana siswa belajar. Filsafat adalah dasar atau titik awal dalam pengembangan
kurikulum. Ada tiga cabang utama bidang filsafat yaitu metafisika, epistemologi, dan
aksiologi. Metafisika berkaitan dengan pertanyaan tentang hakikat realitas.
Metafisika secara harfiah berarti "melampaui yang fisikal" dan berkaitan dengan
pertanyaan seperti, "Apa itu realitas?" Metafisika adalah upaya untuk menemukan
koherensi di seluruh bidang pemikiran dan pengalaman. Dalam dunia guru kelas,
manajemen kelas mungkin paling banyak terpengaruh oleh keyakinan-keyakinan metafisik.
Epistemologi berkaitan dengan pertanyaan tentang hakikat pengetahuan. Epistemologis
mencoba untuk menemukan apa yang terlibat dalam proses mengetahui.
Apakah mengetahui merupakan jenis khusus tindakan mental? Dapatkah orang
mengetahui segala sesuatu di luar objek-objek yang 'terindra'? Keyakinan epistemologis
mengemuka dalam kebijakan kurikuler dan instruksional. Guru harus memahami
bagaimana siswa belajar dan kurikulum macam apa yang mereka butuhkan. Aksiologi
berkaitan dengan pertanyaan tentang hakikat nilai-nilai. Kajian terhadap nilai-nilai ini
terbagi ke dalam etika (nilai-nilai moral dan perilaku) dan estetika (nilai-nilai dalam bidang
keindahan dan seni). Guru kelas harus memutuskan etika yang bagaimana yang harus
diajarkan di sekolah. Keyakinan etis guru mempengaruhi keputusan tentang disiplin dan
penilaian. Estetika dapat mempengaruhi keputusan tentang jenis seni / artistik seperti apa
yang harus menjadi bagian dari kurikulum.
Ada delapan filsafat atau teori pendidikan: Idealisme, Realisme, Pragmatisme,
Perenialisme, Esensialisme, progresivisme, Rekonstruksionism, dan Eksistensialisme.
B. Saran

Demikian makalah ini disajikan. Selaku penulis, kami menyadari dalam


penyusunan makalah ini terdapat berbagai kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, agar kedepannya kami
dapat menyajikan makalah dengan lebih baik lagi.

10
DAFTAR PUSTAKA

A.N., Whitehead, Science and the Modern World. New York: The Macmillan Co., 1926.

Amélie Oksenberg Rorty, Philosophers of Education: Historical Perspectives (London &


New York: Routledge, 1998.

Brightman E.S., Introduction to Philosophy. New York,Henery Holt&Co., 1925.

Carr, Wilfred, The Routledge Falmer Reader in Philosophy of Education. London:


RoutledgeFalmer, 2005.

Dewey, J., Democracy and Education. New York: Simon & Brown, 2011.

Dhawan, M. L. Philosophy of Education. New Delhi: Isha Books, 2005.

Ducasse, C.J., Philosophy of Art. New York: Dial Press, 1929.

11

Anda mungkin juga menyukai