Anda di halaman 1dari 6

Reynald D.

T Marjun

161006096

PENDAHULUAN

Jika melihat seseorang mengenakan kemeja lengan panjang dan dasi, lengkap dengan setelan
jas dan sepatu fantovel, juga dengan jam tangan mewah seperti Rolex melingkar di
pergelangan tangannya, orang akan menilai bahwa ia adalah orang yang mapan. Penilaian ini
akan berbeda ketika melihat seseorang yang lain, mengenakan kaos, celana dan jaket jeans,
serta sandal gunung, orang akan menilainya sebagai orang santai dan easy going. Fashion
menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari penampilan dan gaya keseharian. Benda-
benda seperti baju dan aksesori yang dikenakan bukanlah sekadar penutup tubuh dan hiasan,
lebih dari itu juga menjadi sebuah alat komunikasi untuk menyampaikan identitas pribadi.
Dalam perkembangan selanjutnya fashion tidak hanya menyangkut soal busana dan aksesoris
semacam perhiasan seperti kalung dan gelang, akan tetapi benda-benda fungsional lain yang
dipadukan dengan unsur-unsur desain yang canggih dan unik menjadi alat yang dapat
menunjukkan dan mendongkrak penampilan si pemakai. Fashion bisa menjadi etalase kecil
tentang diri seseorang bagi orang lain. Gaya berpakaian atau berbusana merupakan sebuah
bahan penilaian awal dari diri seseorang. Di samping itu juga juga fashion menjadi cara untuk
mengekspresikan diri seseorang.

Produsen pun berlomba untuk membuat barang bukan lagi sekedar fungsi semata yang
berbicara, tetapi juga bagaimana barang produksinya bisa merefkleksikan kepribadian si
pemakai. Di dalam masyarakat, di mana persoalan gaya adalah sesuatu yang penting (atau
malah gaya merupakan segalanya), semua manusia adalah performer. Setiap orang diminta
untuk bisa memainkan dan mengontrol peranan mereka sendiri. Gaya pakaian, dandanan
rambut, segala macam aksesoris yang menempel, selera musik, atau pilihan-pilihan kegiatan
yang dilakukan, adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri. Seseorang
kemudian bisa memilih tipe-tipe kepribadian yang diinginkan melalui contoh-contoh
kepribadian yang beredar di sekitar, seperti bintang film, bintang iklan, penyanyi, model,
bermacam-macam tipe kelompok yang ada atau seseorang bisa menciptakan sendiri gaya
kepribadian yang unik, yang berbeda, bahkan jika perlu yang belum pernah digunakan orang
lain. Kesemuanya itu semata-mata demi gaya karena gaya adalah segala-galanya, dan segala-
galanya adalah gaya. Dengan gaya seseorang bisa menunjukkan siapa dirinya.

Karena identitas dibangun dan diproduksi secara kultural serta dikonstruksi secara sosial
dalam masyarakat, maka identitas merupakan sesuatu yang cair dan terus-menerus dibentuk
dalam interaksi (Cerulo, 1997). Kenyataan ini bisa terjadi pada entitas apa pun, baik individu
maupun kelompok. munculnya masyarakat jaringan mendorong munculnya pertanyaan
mengenai bagaimana konstruksi identitas selama periode itu (Castells 1997, 2000; Eades
2000; Kumar 1997; Schneider 1997; Wilenus 1998). Hal ini mengindikasikan bentuk
perubahan sosial yang baru disebabkan masyarakat jaringan mengalami kesenjangan sistemik
antara yang lokal dan yang global bagi kebanyakan individu dan kelompok sosial.

Di bawah kondisi baru ini, masyarakat sipil mengalami kemunduran dan disartikulasi karena
tidak sesuai lagi dengan logika pembuat kekuasaan dalam jaringan global dan logika asosiasi
serta representasi dalam masyarakat dan budaya yang spesifik. Pencarian makna akhirnya
terletak pada identitas yang defensif di antara prinsip-prinsip komunal. Kebanyakan aksi
sosial menjadi terorganisasi dalam oposisi antara yang tidak dikenal dan yang terisolasi.
Dengan demikian, hipotesis Castells yang menyatakan bahwa siapapun yang mengonstruksi
identitas dan untuk tujuan apapun, seringkali ditentukan oleh makna simbolik yang ada pada
identitas tersebut. Dalam konsep project identity, identitas dibangun oleh aktoraktor sosial
yang dengan basis material memungkinkan mereka membangun identitas baru, yang
mendefinisikan posisi mereka dalam masyarakat.

Faktor-Faktor Pembentuk identitas diri Life Style (Gaya Hidup) Menurut pendapat Amstrong
(dalam Nugraheni, 2003) gaya hidup seseorang dapat diidentifikasi dari perilaku orang
tersebut menyatakan bahwa faktor-faktor meliputi kelompok referensi, keluarga, kelas sosial,
dan kebudayaan. Faktor-faktor ini sangat juga mempengaruhi pembentukan gaya hidup.
Faktor eksternal dijelaskan oleh Nugraheni (2003) sebagai berikut:

a. Kelompok referensi Kelompok referensi adalah kelompok orang-orang yang dianggap


mampu dan memiliki pengetahuan untuk memberikan pengaruh terhadap pembentukan sikap
dan perilaku seseorang, pengaruh yang diberikan bisa bersifat langsung dan tidak langsung,
masukan dari kelompok referensi bisa mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu
produk sehingga akhirnya membentuk gaya hidupnya. Kelompok referensi bisa meliputi
orang-orang yang ada di masyarakat luas karena silsilah, pengetahuan, reputasi dan lain
sebagainya.

b. Keluarga Keluarga memegang peranan terbesar dan terlama dalam pembentukan sikap dan
perilaku individu. Oleh karena itu masukan dari keluarga berupa nasihat dan cerita mengenai
pengalaman akan mempengaruhi gaya hidup seseorang, budaya salah satu anggota keluarga
dapat menjadi kebiasaan bagi anggota keluarga lainnya yang mengamati setiap harinya, tidak
heran jika ada saudara yang memiliki gaya hidup yang sama dengan kita.

c. Kelas sosial Kelas sosial adalah sebuah kelompok yang relatif homogen dan bertahan lama
dalam sebuah masyarakat, yang tersusun dalam sebuah urutan Angga Sandy Susanto:
Membuat Segmentasi Berdasarkan Life Style (Gaya Hidup) 3 jenjang, dan para anggota
dalam setiap jenjang itu memiliki nilai, minat, dan tingkah laku yang sama. Kelas sosial
biasanya dibuat karena adanya kebutuhan akan prestise dan berhubungan dengan kemampuan
ekonomi atau diatur oleh budaya, setiap kelas cenderung memiliki gaya hidup yang khas
dibandingkan kelas sosial lainnya. Kelas sosial bisa diklasifikasikan sebagai kelas bawah,
menengah, atas dan sebagainya.

d. Kebudayaan Kebudayaan bisa meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,


hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang membentuk gaya hidup seseorang dan
akhirnya membuat pemasar mudah untuk mengidentifikasi apakah kelompok konsumen
dengan kebudayaan tersebut cocok dengan produknya atau tidak. Orang-orang di seluruh
dunia menyadari akan budaya merayakan malam tahun baru dengan mensuarakan terompet di
setiap malam tahun baru. Hal ini menjadikan pemasar untuk menemukan peluang dalam
memproduksi terompet secara masal di setiap menjelang malam tahun baru.

PERAN MEDIA SEBAGAI PERANGKAT GAYA HIDUP

Menurut tinjauan teori ekonomi politik media, institusi media harus dinilai sebagai bagian
dari sistem ekonomi yang juga berkaitan erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan
tentang masyarakat yang diproduksi oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat
ditentukan oleh nilai tukar berbagai ragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan
pesan, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan.
Konsekuensi keadaan seperti itu terlihat dalam wujud berkurangnya jumlah sumber media
independen, terciptanya konsentrasi pada pasar besar, munculnya sikap masa bodoh terhadap
calon khalayak pada sektor kecil (McQuail, Denis & Sven Windahl , 1993:63). Walaupun
pendekatan ini memusatkan perhatian pada media sebagai proses ekonomi yang
menghasilkan komoditi (content), namun pendekatan ini kemudian melahirkan ragam
pendekatan baru yang menarik, yaitu ragam pendekatan yang menyebutkan bahwa media
sebenarnya menciptakan khalayak dalam pengertian bahwa media mengarahkan perhatian
khalayak ke pemasang iklan dan membentuk perilaku publik media sampai pada batas-batas
tertentu (McQuail, Denis & Sven Windahl, 1993:64). Sementara itu, jika kita melihat media
sebagai bagian dari aktivitas industri, ada yang menyebutnya sebagai media economics, yaitu
studi mengenai bagaimana industri media menggunakan sumbersumber yang terbatas
jumlahnya untuk memproduksi isi yang nanti didistribusikan kepada konsumen dalam
masyarakat untuk memuakan beragam keinginan dan kebutuhan. Pendekatan media
economics akan membantu kita di dalam memahami hubungan antara produsen media
terhadap khalayaknya, pengiklan, dan masyarakat. Pada level makro, analisis media akan
berkaitan dengan ekonomi politik, agregasi produksi dan konsumsi, pertumbuhan ekonomi,
lapangan pekerjaan dan inflasi, sedangkan pada level mikro terkait dengan pasar yang
spesifik, struktur, tingkah laku dan perilaku pasar, aktivitas dari produsen dan konsumen
(Albarran, 1996:5). Industri media adalah industri yang unik karena mereka melayani dua
pasar yang berbeda sekaligus dengan satu produk (dual product market). Pada pasar yang
pertama yaitu khalayaknya (pembaca, pemirsa, pendengar), industri menjual produk berupa
‘goods’. Radio dan TV menjual program acaranya yang dinilai dalam bentuk rating,
sedangkan koran dan majalah berupa bentuk fisik dari majalah dan koran tersebut yang
dinilai dalam jumlah tiras. Pasar yang kedua adalah pengiklan. Kepada para pengiklan, media
menjual “service” berupa ruang atau waktu siarnya untuk digunakan (Albarran, 1996:27).
Ada tiga sumber kehidupan bagi media, yaitu content, capital dan audiences. Content terkait
dengan isi dari sajian media, misalnya program acara (TV, radio), berita/feature, dan lain
sebagainya.

Televisi, Penonton, dan Konstruksi Ideologis

Sudah lama televisi mendapat perhatian dalam kajian budaya karena kedudukan sentralnya
dalam praktik komunikasi masyarakat modern. Perhatian ini menjadi makin kuat seiring
pergeseran televisi global dari jasa penyiaran publik menjadi televisi komersial yang
didominasi perusahaan-perusahaan multimedia dalam pencarian mereka akan sinergi dan
konvergensi. Mengglobalnya institusi-institusi televisi dibarengi oleh peredaran global narasi
dan genre-genre utama televisi, seperti berita, opera sabun, televisi musik, olahraga dan
permainan-permainan, yang disetel dalam kerangka budaya ‘promosional’ dan postmodern,
ditandai oleh adanya brikolase, intertekstualitas dan kaburnya genre. Kajian budaya juga
menaruh perhatian pada konstruksi ideologis program-program televisi, seperti versi-versi
hegemonik berita dunia yang menyingkirkan perspektif-perspektif alternatif. Meski demikian,
program televisi juga dipandang bersifat polisemik; memuat berbagai makna yang biasanya
kontradiktif. Ini memungkinkan audiens mengeksplorasi beragam makna potensial. Bukti-
bukti juga telah menunjukkan bahwa audiens adalah pencipta makna yang aktif dan tidak
begitu saja mengambil makna-makna tekstual yang ditemukan oleh para kritiku

KESIMPULAN
Kesimpulan Fashion telah hadir dan menciptakan (pseudo) realitasnya sendiri. yang mana di
dalam fashion ada identitas baru yang melekat dan menjadi penilayian masyarakat serta
meresap dan diterima nyaris tanpa resistensi oleh masyarakat. identitas ini muncul secara
tidak langsung di lingkungan masyarakat yang mana masyarakat melihat serta menilai apa
yang di kenakan oleh masyarakat lainnya melalui fhasion atau cara berpakayaan, seberapa
mahal dan seberapa murah pakayaan mereka menentukan status serta identitas sosial mereka.
dan apa yang Apabila pada masa lalu, fashion biasanya hanya dihubungkan dengan
perempuan, maka saat ini banyak pula pria yang telah menjadi “pemuja tubuh dan gaya
hidup”. Dan media mempunyai peran besar dalam mengkonstruksikan mengenai bagaimana
khalayak dapat tampil cantik atau tampan,serta menyebarkan cara berpenampilan dan gaya
hidup, menjadi sebuah pilihan bagi banyak organisasi masyarakat luas. Disin Media-media
tersebut membantu serta memungkinkan terjadinya penyebaran gaya hidup dalam waktu yang
sangat cepat. Ini mempengaruhi masyarakat untuk menggikuti serta akan mencoba
mengimitasi penampilan fashion yang ada di media yang dikaguminya. Mereka akan
mencocokkan fashion, aksesoris, gaya rambut, bentuk tubuh dan gaya hidup para selebriti.
Mereka berlaku layaknya selebriti dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengaktualisasikan
diri, mall menjadi salah satu situs penting dalam kebudayaan kontemporer. Mall adalah
tempat di mana mereka bisa dilihat dan melihat. Gaya hidup adalah komoditas baru dalam
kapitalisme. Ia bahkan bisa menelusup masuk dalam simbol-simbol agama dan bergerak dari
dalam seraya menawarkan Ada preferensi sosial yang diam-diam diadopsi oleh masyarakat
dan menggantikan nilai-nilai lama.

DAFTAR PUSTAKA
Junah.Raudlatul.2012.”Jamber Fashion Carnaval:Konstruksi Identitas Dalam Masyarakat
Jaringan.”Jurnal Sosiologi MASYARAKAT,Vol.17.No.2.Juli 2012:135-151
Adlin, Alfathri, (Ed.), 2006, Resistensi Gaya Hidup : Teori dan Realitas, Jalasutra,
Yogyakarta.
Barnard, Malcolm, 2006, Fashion as Communication, diterjemahkan oleh Idy Subandy
Ibrahim, Fashion sebagai Komunikasi Cara Mengkomunikasikan Identias Sosiasl, Seksual,
Kelas dan Gender, Jalasutra, Yogyakarta.
Retno hendariningrum /M. Edy Susilo Fashion & Gaya Hidup
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 6, Nomor 2, Mei – Agustus 200832
Bing, B. T. Pengaruh Media Komunikasi Massa
Terhadap Popular Culture Dalam
Kajian Budaya / Cultural Studies, Jurnal Ilmiah Scriptura ISSN 1978- 385X Vol. 1 No.2
Juli 2007.
Hedonisme Media Massa. Friday, March 31, 2006.
http://ekawenats.blogspot.com/2006_03_26_ar chive.html

Anda mungkin juga menyukai