Anda di halaman 1dari 34

KOMUNIKASI PADA KONDISI GAWAT DARURAT

“KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PASIEN OVERDOSIS NARKOBA”

Disusun Oleh:

1. Rindi Antika (PO7120123021)


2. Aisyah Amanda (PO7120123035)
3. Dalilah Tsabita Hafizo (PO7120123044)

Dosen Pengampu: Dr. Ira Kusumawaty, S.Kp, M.Kes, MPH

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALEMBANG


PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Komunikasi terapeutik adalah unsur kunci dalam dunia kesehatan,


terutama dalam penanganan pasien yang mengalami overdosis narkoba. Overdosis
narkoba bukan hanya masalah medis, tetapi juga memiliki aspek psikologis yang
sangat penting. Dalam makalah ini, kami akan mengupas secara mendalam
bagaimana komunikasi terapeutik dapat menjadi instrumen yang efektif dalam
merawat pasien overdosis narkoba.
Pasien yang mengalami overdosis narkoba seringkali mengalami kondisi
yang sangat rentan, dan pendekatan komunikasi yang tepat dapat memainkan
peran besar dalam memulihkan kesehatan mereka. Dalam makalah ini, kami akan
membahas prinsip-prinsip dasar komunikasi terapeutik, teknik-teknik yang dapat
digunakan, serta tantangan-tantangan yang mungkin muncul dalam berkomunikasi
dengan pasien overdosis narkoba.
Selain itu, kami juga akan menyoroti pentingnya empati, pengertian, dan
non-judgmental attitude dalam komunikasi dengan pasien ini. Semua aspek ini
akan diilustrasikan melalui studi kasus nyata dan penelitian terbaru dalam bidang
komunikasi terapeutik.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan wawasan yang berharga
bagi para profesional kesehatan, terutama dalam membantu pasien overdosis
narkoba untuk pulih secara fisik dan psikologis.

Palembang, 09 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diperkirakan bahwa sejumlah total 250 juta orang, atau 1 dari 20 orang yang
berusia antara 15 sampai 64 tahun menggunakan obat terlarang pada tahun 2014
(World Drug Report, 2016). Sekitar satu dari sepuluh orang yang menggunakan
obat-obatan terlarang menderita dari bentuk gangguan penyalahgunaan napza,
termasuk ketergantungan narkoba. Hampir setengah dari seluruh orang dengan
ketergantungan napza menyuntikkan napza dan lebih dari 10% di antaranya hidup
dengan HIV, serta sebagian besar di antara mereka telah terinfeksi hepatitis C.
Gangguan penyalahgunaan narkoba merupakan masalah kesehatan yang besar di
dunia.
Gangguan penyalahgunaan narkoba merupakan masalah kesehatan yang
serius, dengan beban signifikan bagi individu yang terkena dampak dan keluarga
mereka. Selain itu, gangguan ini juga memunculkan biaya yang signifikan bagi
masyarakat termasuk hilangnya produktivitas, tantangan keamanan, kejahatan,
peningkatan biaya perawatan kesehatan, dan segudang konsekuensi sosial negatif
lainnya. Biaya sosial dari penggunaan obat-obatan terlarang diperkirakan
mencapai 1,7% dari PDB di beberapa negara (World Drug Report, 2016).
Merawat individu dengan gangguan penyalahgunaan napza membebani sistem
kesehatan masyarakat Negara-negara Anggota dan, oleh karena itu, sistem perlu
diperbaiki agar menjadi sistem yang terbaik yang bisa diterapkan di negara
tersebut. Sistem yang baik tidak diragukan lagi akan menguntungkan bukan hanya
untuk individu yang terkena, tetapi juga komunitas mereka dan seluruh
masyarakat.
Setelah melalui penelitian medis selama bertahun-tahun, saat ini sudah jelas
bahwa ketergantungan narkoba merupakan gangguan biologis dan perilaku
multifaktorial yang kompleks. Kemajuan ilmiah memungkinkan untuk
dikembangkannya perawatan yang membantu menormalkan fungsi otak individu
yang terkena dan mendukung mereka dalam mengubah perilaku mereka.
Keberadaan penawaran perawatan berdasarkan bukti ilmiah kini telah membantu
jutaan orang yang terkena dampak untuk dapat memperoleh kembali kendali atas
kehidupan mereka.
Sayangnya, pandangan usang tentang gangguan penyalahgunaan narkoba
masih banyak di temui di berbagai belahan dunia. Stigma dan diskriminasi yang
biasa diterapkan pada orang-orang yang dengan ketergantungan napza dan kepada
para profesional yang bekerja dengan mereka telah secara signifikan mengganggu
pelaksanaan intervensi perawatan berkualitas di bidang ini, menghalangi
pengembangan fasilitas perawatan, pelatihan profesional kesehatan, dan investasi
dalam program pemulihan. Meskipun bukti yang ada dengan jelas menunjukkan
bahwa gangguan penyalahgunaan narkoba akan paling baik dikelola dalam sistem
kesehatan masyarakat yang sama dengan masalah medis lainnya seperti infeksi
HIV atau hipertensi, masih sangat sulit untuk memadukan pengobatan gangguan
penyalahgunaan narkotik dan zat dalam dalam sistem kesehatan masyarakat di
sejumlah besar negara yang memiliki kesenjangan yang besar antara sains,
kebijakan, dan praktik klinis.
Di beberapa negara, gangguan penyalahgunaan napza masih dipandang
sebagai masalah peradilan pidana utama dan lembaga-lembaga di bawah
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehakiman, atau Kementerian
Pertahanan masih bertanggung jawab atas orang-orang yang terdampak, tanpa
pengawasan atau keterlibatan Kementerian Kesehatan. Penggunaan strategi dan
metode penegakan hukum saja tidak akan mungkin menghasilkan efek positif
yang berkelanjutan. Hanya pengobatan yang benar-benar memahami inti
ketergantungan napza sebagai kelainan biologis dan perilaku multifactorial yang
dapat diobati dengan menggunakan pendekatan medis dan psikologislah yang
dapat meningkatkan peluang pemulihan dari gangguan ini dan mengurangi
konsekuensi terkait penggunaan narkoba.
Saat ini, UNODC menunjukkan dalam World Drug Report bahwa, di tingkat
global, hanya 1 dari 6 orang yang membutuhkan pengobatan ketergantungan
napza yang memiliki akses ke program pengobatan, yaitu hanya 1 dari 11 orang di
Amerika Latin dan 1 dari 18 orang di Afrika. Pengobatan di banyak negara hanya
tersedia di kota-kota besar tetapi tidak tersedia di daerah pedesaan. Sayangnya, di
banyak tempat, pengobatan yang tersedia seringkali tidak efektif, tidak didukung
oleh bukti ilmiah, dan kadang-kadang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hak
asasi manusia. Kondisi ini juga terjadi di negara-negara yang sangat maju dengan
ketersediaan program perawatan berbasis bukti yang seringkali tidak mencukupi.

1.2 Tujuan Pengobatan


1. mengurangi penggunaan narkoba dan "craving" atau keinginan untuk
menggunakan narkoba
2. meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan fungsi sosial individu yang
terdampak, dan
3. Mencegah bahaya di masa depan dengan mengurangi risiko komplikasi dan
kambuh.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Komunikasi


Komunikasi secara etimologi berasal dari bahasa latin “communicatus”,
kata ini bersumber dari kata “communis” yang memiliki makna berbagi atau
menjadi milik Bersama, yakni suatu usaha yang memiliki tujuan untuk
kebersamaan atau kesamaan makna. Menurut Effendi (2000:5) Komunikasi
adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk
untuk memberikan informasi atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku,
baik secara verbal maupun non verbal melalui media tertentu.
Hovlan dalam Hanani (2017:14) mengemukakan pengertian komunikasi,
yakni komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication in
the process to modify the behavior of other individuals). Pada kesempatan lain
dikemukakan komunikasi merupakan upaya yang sistematis untuk merumuskan
secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan
sikap. Sedemikian banyaknya pengertian tentang komunikasi, pentingnya
keberhasilan sebuah komunikasi ditentukan oleh kedekatan keintiman yang
terjadi, sehingga tujuan pesan yang disampaikan dapat efektif terjadi. Oleh karena
itu, proses komunikasi didahului dengan pendekatan psikologis, dengan tujuan
untuk membangun kedekatan dan keakraban.
Komunikasi adalah proses sosial dimana individu-individu menggunakan
simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam
lingkungan mereka. komunikasi diyakini sebagai suatu proses sosial, ketika
menginterpretasikan komunikasi secara sosial, maksud yang disampaikan adalah
komunikasi selalu melibatkan dua manusia serta interaktif, artinya komunikasi
selalu melibatkan dua orang atau lebih sebagai pengirim dan penerima pesan,
keduanya memainkan peranan yang penting dalam proses komunikasi. Dalam
pandangan secara sosial, interaksi yang dilakukan dalam komunikasi selalu
bertujuan untuk memberikan suatu niatan tertentu, motivasi dan mengarahkan
atau merubah perilaku seseorang sebagai penerima pesan komunikasi.
Manusia tanpa komunikasi tidak akan dapat menjalankan fungsi sosial,
berinteraksi dan membangun hubungan antar sesamanya, karena tanpa adanya
proses komunikasi ide-ide dan gagasan seseorang akan terhambat untuk di
distribusikan kepada orang lain. Keberhasilan berlangsungnya proses komunikasi
dipengaruhi oleh elemen-elemen yang menjadi unsur yang harus ada Ketika
seseorang melakukan kegiatan komunikasi. De Vito dan Erika Vera dalam
Bahfiarti (2013:18-25) menggambarkan elemen-elemen dasar komunikasi sebagai
berikut:
a. Sumber (Komunikator)
Sumber atau biasa disebut komunikator merupakan pihak penyampai pesan,
pengirim pesan atau seseorang yang memulai suatu proses komunikasi.
Komunikator dapat berupa individu atas nama diri sendiri, individu atas nama
kelompok atau mewakili kelompok, individu yang mewakili suatu organisasi atau
partai dan Lembaga atau institusi yang menyampaikan pesan melalui media massa
cetak atau elektronik.
b. Penerima (Komunikan)
Penerima pesan (Komunikan) merupakan seseorang, sekelompok orang, suatu
organisasi, masyarakat atau khalayak, atau mungkin suatu negara yang berperan
menerima pesan dari sumber (Komunikator).
c. Pesan
Pesan (message) merupakan ide, gagasan, pendapat yang diberikan oleh
komunikator kepada komunikan. Pesan yang disampaikan oleh komunikator
merupakan hasil pikiran dan perasaan yang telah diformulasikan berupa simbol-
simbol komunikasi yang diekspresikan dalam bentuk verbal maupun nonverbal
kepada komunikan untuk diketahui dan dimengerti.
d. Saluran (Media)
Saluran atau media merupakan sarana, alat atau wadah yang digunakan
komunikator salam menyampaikan pesan yang kemudian disampaikan dan
diteruskan kepada komunikan. Saluran atau media komunikasi pada dasarnya
sebagai alat atau perantara yang dipergunakan untuk membantu komunikator
untuk dapat menembus jarak, ruang dan waktu untuk menyampaikan pesan
kepada komunikan serta dipergunakan untuk menjangkau komunikan yang
jumlahnya besar, luas dan heterogen.
e. Efek atau Dampak
Efek atau dampak merupakan bentuk perubahan yang terjadi pada diri penerima
pesan setelah terjadinya proses komunikasi. Efek atau dampak yang terjadi pada
diri komunikan di pengaruhi oleh keahlian komunikator dalam memberikan
teknik-teknik atau strategi komunikasi untuk mempengaruhi komunikan namun
membutuhkan proses yang panjang.
Efek yang terjadi dapat digolongkan menjadi tiga bagian:
1. Efek Kognitif, yakni efek yang menyangkut perubahan pikiran dan daya nalar,
misalnya dari yang tidak tahu menjadi tahu.
2. Efek Afektif, yakni efek yang menyangkut perubahan perasaan atau suasana
hati yang dapat diungkapkan dengan tertawa, berteriak, menangis, gemetar dsb.
3. Efek Behavior, yakni efek yang menyangkut perubahan perilaku berupa
tindakan nyata atau tindakan fisik dimana seseorang melakukan sesuatu atas dasar
pengaruh yang diberikan komunikator.
f. Tanggapan balik (Umpan Balik)
Tanggapan balik atau berupa umpan baik merupakan suatu proses dimana pesan
atau informasi yang telah dikirim oleh komunikator direspon oleh komunikan
yang bertujuan untuk mengadakan perubahan dan perbaikan dalam kegiatan
selanjutnya. Umpan balik dapat terjadi pada semua komponen komunikasi, umpan
balik pada komunikator terjadi sebelum berkomunikasi dengan orang lain,
sehingga komunikator biasanya berpikir dan mempertimbangkan terlebih dahulu
apakah komunikasi yang telah direncanakan akan tetap dilanjutkan atau tidak.
g. Lingkungan
Lingkungan merupakan komponen proses komunikasi. Lingkungan atau situasi
dapat dibagi menjadi empat dimensi:
1. Dimensi Fisik, termasuk faktor geografis, jarak, transportasi Gedung, suasana
yang tidak kondusif dan sebagainya.
2. Dimensi Sosial, menyangkut masalah sosial budaya, ekonomi, politik, status
sosial, kepercayaan dan adat istiadat. Masalah tersebut mempengaruhi kelancaran
atau tidaknya proses komunikasi.
3. Dimensi psikologis, menyangkut eksistensi manusia sebagai makhluk yang
berpikir, berperasaan dan mempunyai keterbatasan. Misalnya menyampaikan
pesan berdasarkan perkembangan penerima, menjaga perasaan penerima dan
menahan agar tidak menimbulkan pemaksaan dalam menyampaikan pesan.
4. Dimensi Waktu, berhubungan dengan waktu atau kondisi saat komunikasi
dilangsungkan. Sehingga yang dibutuhkan adalah memperhatikan ketepatan
waktu dan kondisi penerima pesan saat hendak menyampaikan suatu pesan.

Komunikasi yang dapat dibangun dengan pasien pecandu narkoba antara lain:
1. Melakukan Pendekatan terhadap Pasien Pecandu Narkoba
Menghadapi pecandu memiliki tahapan-tahapan, karena pecandu
cenderung memiliki sifat yang tertutup. Ketika berkomunikasi dengan pasien
pecandu narkoba dan juga adanya ketidak sinambungan dikarenakan pasien
pecandu narkoba tidak dalam keadaan sadar atau mengalami kerusakan psikis,
ketika hal itu terjadi yang dilakukan oleh konselor ialah mengajak berkomunikasi
yang biasa atau sekedarnya saja, dengan catatan akan di follow up lagi sampai
akhirnya pasien pecandu narkoba mau membuka diri terhadap konselor atau
pendampingnya, dengan adanya keterbukaan diri pasien pecandu narkoba maka
konselor akan mengetahui permasalahan-permasalahan yang dialami oleh pasien
pecandu narkoba dan akan mencari solusi untuk menyelesaikan
permasalahannya.Dengan begitu komunikasi interpersonal yang dilakukan secara
bertahap melihat kondisi pasien ini akan berjalan efektif dan akan menimbulkan
feedback yang baik. Adanya keterbukaan pasien akan membuat konselor lebih
mudah untuk menyelesaikan masalah pasien pecandu narkoba maka konselor akan
bisa membuat pasien membuka diri sedikit demi sedikit, dengan hal itu membuat
konselor mengetahui berbagai permasalahan atau penyebab pasien terjerumus
menggunakan narkoba dan permasalahan-permasalahan lainnya sehingga konselor
dapat menyelesaikan permasalahan satu persatu.
2. Komunikasi Verbal dan Non Verbal antara Konselor dengan Pasien Pecandu
Narkoba
Salah satu hal yang terpenting dalam komunikasi yaitu bahasa, baik
bahasa verbal maupun non verbal, dimana dalam hal ini bahasa harus
menyesuaikan pasien dan tetap menggunakan tutur kata yang baik dan diiringi
bahasa non verbal yang baik pula, dari ekspresi muka yang ramah, intonasi yang
stabil, dan pakaian yang santai serta tindakan yang baik. Dengan penyesuaian
tersebut akan membuat pasien merasa mudah memahami apa yang disampaikan
oleh konselor. Pada komunikasi verbal pada penyampaian pesannya selain
memakai simbol-simbol yang menggunakan satu kata atau lebih sebagai
medianya, biasanya menggunakan media bahasa, sebab bahasa bisa
menerjemahkan pikiran yang dimiliki oleh komunikator terhadap komunikan.
Komunikasi non verbal merupakan kebalikan dari komunikasi verbal yakni suatu
proses komunikasi atau penyampaian pesan dari komunikator terhadap
komunikan tanpa adanya suatu ucapan atau kata-kata, akan tetapi caranya
menggunakan isyarat atau gerakan tubuh. Komunikasi non verbal yaitu “non”
berarti tidak, verbal bermakna kata-kata, sehingga komunikasi non verbal
dimaknai sebagai komunikasi tanpa kata-kata. Dapat juga diartikan komunikasi
non verbal adalah komunikasi dengan menggunakan gejala yang menyangkut:
gerak-gerik, sikap, ekspresi wajah, pakaian yang bersifat simbolik, isyarat dan lain
gejala yang sama, yang tidak menggunakan bahasa lisan dan tulisan.
Komunikasi verbal dan non verbal antara konselor dengan pasien pecandu
narkoba antara lain yaitu:
a. Menyesuaikan bahasa pasien pecandu narkoba Sebagai seorang individu,
jika tidak memiliki komunikasi yang baik maka individu itu akan kesulitan
dalam menjalin komunikasi dengan orang lain, agar mudah dalam
berkomunikasi maka konselor di IPWL BMCI Malang ini akan
menyesuaikan bahasa pasien pecandu narkoba. Penggunaan bahasa di sini
menjadi salah satu perangkat dalam komunikasi yang menjadi faktor
efektifnya pesan yang disampaikan. Jika dalam konteks rehabilitasi,
penggunaan bahasa disini digunakan karena melihat situasi dan kondisi
pasien. Sebab setiap pasien mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda,
selain itu faktor budaya juga cukup mempengarui bahasa yang digunakan.
Selain menambah nilai keakraban juga membuat pasien mengerti dan lebih
faham apa yang mereka sampaikan. Seperti yang dikatakan oleh mas Ubay
(konselor) bahwa cara berkomunikasi yang benar-benar harus diperhatikan
adalah dari segi bahasa yang digunakan oleh pasien pecandu narkoba
untuk menambah kesan keakraban dalam menjalin komunikasi karena
semua pasien dari berbagai daerah, mulai dari pulau jawa sampai luar
pulau Jawa.

b. Intonasi yang stabil dan mimik muka yang ramah


Intonasi adalah bagian kecil dari sebuah kesatuan bahasa. Setiap individu
hanya memililiki satu tujuan utama dalam berbahasa. Tujuan utama itu
adalah untuk mengutarakan apa yang diinginkan dan berusaha membuat
keadaan diluar diri kita agar dapat memenuhi apa yang diinginkan. Ketika
berkomunikasi dengan Intonasi yang tinggi bisa menimbulkan persepesi
negatif bagi pasien, oleh karena itu berbicara dengan intonasi yang
standart menimbulkan persepesi yang positif bagi pasien. Ekspresi wajah
atau mimik muka merupakan salah satu bentuk komunikasi non verbal dan
dapat menyampaikan keadaan emosi dari seseorang kepada orang yang
mengamatinya. Mimik muka merupakan salah satu cara penting dalam
menyampaikan pesan sosial dalam kehidupan manusia. Intonasi yang
stabil serta mimik muka yang ramah juga menjadikkan pasien nyaman
berkomunikasi dengan konselor, tidak ada rasa takut pasien terhadap
konselor dan hal itu menjadikan komunikasi menjadi efektif.
c. Tindakan
Konselor berkomunikasi dengan pasien atau melakukan konseling
pecandu narkoba juga adanya pemberontakan karena kerusakan psikis
yang dialami oleh pasien pecandu narkoba. Jadi yang dilakukan oleh
konselor ialah menenangkan dan akan mendekati dengan penuh kesabaran.
3. Membuat Pasien Familiar dengan Konselor
Dalam proses konseling yang harus difahami ketika berkomunikasi dengan
pasien pecandu narkoba ialah membuat pasien itu familiar dengan dirinya. Artinya
mereka sendiri bisa berfikir bahwa mereka sebagai teman ataupun saudara bukan
hanya sekedar hubungan antar konselor dengan pasien. Persepsi pasien terhadap
konselor terjadi karena pasien tersebut memperhatikan sesuatu yang nampak pada
diri konselor yang meliputi fisik, perilaku dan juga tugasnya menjadi konselor,
jika penampilan fisik, perilaku dan ruang lingkup kerja konselor tidak seperti yang
diharapkan oleh pasien maka pasien akan berpersepsi kurang baik atau bisa
dibilang negatif terhadap konselor. Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa
masih ditemukan pasien yang menganggap konselor adalah seorang yang galak
atau tidak bisa diajak bercanda, maka dengan hal tersebut konselor IPWL BMCI
ini bisa membuat pasien familiar dengannya bukan hanya sebagai konselor saja
bahkan bisa sebagai saudara yang baik dan bisa diajak untuk sharing kapan saja.
4. Menumbuhkan Kepercayaan terhadap Pasien Pecandu Narkoba
Saling percaya merupakan sebuah kedekatan dalam hubungan komunikasi
interpersonal di mana kepercayaan yang tumbuh antara diri pasien pecandu
narkoba terhadap konselor di IPWL BMCI membuat pasien pecandu narkoba
merasakan kenyamanan untuk memusatkan keluhannya terhadap konselor. Rasa
percaya atau tidak percaya seseorang yang muncul dalam perilakunya ditentukan
oleh faktor-faktor seperti informasi, pengaruh, dan pengendalian. Kepercayaan
akan meningkat bila informasi yang diterima dinilai akurat, relevan, dan lengkap.
Tingkat kepercayaan juga dipengaruhi oleh pengalaman dimasa lalu, pengalaman
positif yang konsisten di masa lalu oleh suatu pihak akan meningkatkan rasa
saling percaya sehingga akan menumbuhkan harapan hubungan yang baik di masa
yang akan datang. Pada dasarnya sifat pecandu narkoba lebih tertutup. Akibatnya
konselor akan mengajak berkomunikasi secara bertahap dan sedikit demi sedikit
konselor akan membentuk rasa kepercayaan pasien pecandu narkoba terhadap
konselor, dengan timbulnya rasa kepercayaan pasien pecandu narkoba terhadap
konselor akan mempermudah jalannya sebuah komunikasi.
5. Menerapkan Sistem Kekeluargaan
Keluarga merupakan suatu kedekatan dalam hubungan komunikasi
interpersonal di mana ia merupakan institusi terkecil di dalam masyarakat yang
berfungsi untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai dan sejahtera
dengan suasana kasih sayang dalam setiap anggotanya. Keluarga merupakan
lembaga sosial paling dasar untuk mencetak kualitas manusia. Sampai saat ini
masih menjadi keyakinan dan harapan bersama bahwa keluarga senantiasa dapat
diandalkan sebagai lambang ketahanan moral, akhlak dalam konteks
bermasyarakat. Bahkan baik buruknya generasi bangsa ditentukan pula oleh
pembentukan pribadi dalam keluarga. Di sinilah keluarga memiliki peran yang
strategis untuk memenuhi harapan tersebut. Sebagaimana yang telah dilakukan di
IPWL BMCI ini di tanamkan rasa kekeluargaan yang sangat erat sehingga
menumbuhkan rasa nyaman terhadap pasien dan membuat mereka bisa bertahan
menjalani masa rehabilitasi di IPWL BMCI Malang ini. Seperti yang
diungkapankan oleh beberapa pasien dan mantan pecandu narkoba yang telah
selesai menjalani masa rehabilitasi di IPWL BMCI ialah rasa kekeluargaan yang
erat diterapkan di IPWL BMCI sehingga timbul rasa kenyamanan dan membuat
mereka bertahan menjalani masa rehabilitasi tersebut.

2.2 Bahaya Narkoba Bagi Generasi Muda


Penggunaan narkoba dapat menyebabkan efek negatif yang akan
menyebabkan gangguan mental dan perilaku. Berbagai upaya untuk mengatasi
berkembangnya pecandu narkoba telah dilakukan, namun terbentur pada
lemahnya hukum. Beberapa bukti lemahnya hukum terhadap narkoba adalah
sangat ringan hukuman bagi pengedar dan pecandu. Narkoba atau istilah lainnya
adalah Napza dimana Napza ini merupakan suatu zat yang dapat merubah keadaan
psikologi seseorang seperti perasaan, pikiran, suasana hati, serta perilaku
seseorang, napza sendiri adalah singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat
adiktif. Jika zat ini masuk kedalam tubuh manusia baik dengan cara dikonsumsi,
dihirup, disuntik, dan lain sebagainya.
Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang di kalangan generasi
muda dewasa ini kian meningkat. Maraknya penyimpangan perilaku generasi
muda tersebut, dapat membahayakan keberlangsungan hidup bangsa ini di
kemudian hari. Karena pemuda sebagai generasi yang diharapkan menjadi
penerus bangsa, semakin hari semakin rapuh digerogoti zat-zat adiktif penghancur
syaraf. Sehingga pemuda tersebut tidak dapat berpikir jernih, akibatnya, generasi
harapan bangsa yang tangguh dan cerdas hanya akan tinggal kenangan. Sasaran
dari penyebaran narkoba ini adalah kaum muda atau remaja. Kalau dirata-ratakan,
usia sasaran narkoba ini adalah usia pelajar, yaitu berkisar umur 11 sampai 24
tahun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bahaya narkoba sewaktu-waktu dapat
mengincar anak didik kita kapan saja.
Dalam bidang kesehatan, sebagian dari narkoba bermanfaat untuk
kehidupan, namun dapat pula disalahgunakan sehingga membawa dampak
negatif, karena itu penggunaan dan penyalahgunaan harus diatur dalam undang-
undang negara.14 Di Aceh, masalah penyalahgunaan narkoba semakin serius.
Narkoba sudah merambah ke seluruh wilayah Aceh dan menyasar ke berbagai
lapisan masyarakat tanpa kecuali, baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan anak-
anak, apalagi Aceh terkenal sebagai salah satu wilayah Indonesia yang cocok
ditanami ganja.

2.3 Pecandu Narkoba dan Penanganan Rehabilitas


Pecandu Narkoba merupakan orang yang telah menggunakan narkoba dan
telah menyalahgunakan narkoba dan dalam keadaan ketergantungan pada narkoba
baik fisik maupun psikis. Dari kebiasaan mengonsumsi narkoba tersebut dan
menjadikan ketergantungan pada narkoba baik fisik maupun psikis. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi pecandu narkoba diantaranya adalah faktor internal,
eksternal dan masyarakat.
Faktor internal;
1. Kepribadian individu yang lemah sangat mempengaruhi penggunaan narkoba
seperti pribadi yang mudah kecewa, pribadi yang mudah putus asa dan lain
sebagainya, berbeda dengan pribadi yang kuat, ia memiliki rasa tanggungjawab
yang lebih dan tau mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang seharusnya
ditinggalkan. Dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain.
2. Usia mayoritas, kebanyakan pemakai narkoba adalah usia remaja, dimana usia
remaja membutuhkan pengakuan
tentang keberadaannya, dan memiliki kelebihan emosi dan pemakai narkoba pada
usia tua hanya untuk penenang dirinya.
3. Dorongan kenikmatan, dari hasil wawancara yang peneliti lakukan kepada
korban pecandu narkoba kebanyakan mereka melakukannya faktor lingkungan,
faktor teman, yang awalnya coba-coba dan ikut-ikutan akhirnya mereka
merasakan kenikmatan yang enggan mereka hentikan, bahkan ketika sudah ada
ditempat rehabilitasi mereka bila ditanya apakah masih ingin menggunakan
narkoba mereka akan menjawab masih, tetapi mereka berusaha untuk tidak
menggunakannya lagi karena telah mengetahui dampak yang buruk yang ia
rasakan saat menjadi pecandu narkoba.
Faktor eksternal;
1. Ketidakharmonisan keluarga, banyak pemakai narkoba dari keluarga broken
home dimana ia tidak mendapatkan perhatian sama sekali oleh orang tuanya, salah
satu korban pecandu narkoba di IPWL Bahrul Maghfiroh ini mengaku orang
tuanya broken home dan ibunya bekerja di luar negeri sedangkan ayahnya
menikah lagi, ini salah satu penyebab anak mengungkapan rasa kecewa terhadap
kedua orang tuanya dan akhirnya mencoba mencicipi narkoba.
2. Pekerjaan, salah satu faktor memakai narkoba salah satunya adalah pekerjaan,
seperti yang terjadi pada korban pecandu narkoba yang melakukan rehabilitasi di
IPWL BMCI ini mengaku ia awalnya tidak tahu menahu yang ia konsumsi
sebenarnya adalah narkoba, ia berprofesi sebagai nelayan dimana profesi ini
membutuhkan tenaga yang kuat akhirnya bosnya memberikan obat kuat dan
ternyata itu adalah narkoba. Seperti yang dilakukan oleh artis-artis Indonesia yang
terjerat oleh narkoba karena mereka memiliki jadwal yang padat sehingga ia
mengkonsumsi narkoba sebagai obat kuat dan ia tidak merasakan capek ketika
menggunakan narkoba tersebut.
Faktor masyarakat;
1. Kelas sosial ekonomi menengah atas ini yang biasanya menggunakan narkoba
kerena biaya untuk membeli narkoba cukup mahal.
2. Tekanan kelompok, kebanyakan pemakai narkoba ini karena lingkungan dan
teman sebaya, karena jika suatu kelompok menggunakan narkoba dan salah
satunya tidak menggunakan maka ia akan dikucilkan oleh kelompoknya.
2.4 Rehabilitasi
Rehabilitasi dalam kamus kedokteran Dorlan edisi ke-29 menyebutkan
definisi rehabilitasi sebagai bentuk pemulihan ke bentuk atau fungsi yang normal
setelah terjadinya luka atau sakit pada tingkat fungsional di rumah dan
masyarakat, dalam hubungan dengan aktifitas fisik, psikososial, kejuruan dan
rekreasi. Jika seseorang mengalami cedera, luka atau sakit maka tahap yang harus
dilewati adalah penyembuhan luka terlebih dahulu. Setelah tahap penyembuhan
dan pengobatan dijalani maka masuk ke tahap pemulihan. Tahap pemulihan inilah
yang disebut dengan rehabilitasi. J.P. Caplin (2006:35) mengemukakan
rehabilitasi adalah restorasi (perbaikan, pemulihan) pada normalitas atau
pemulihan menuju status yang paling memuaskan terhadap individu yang pernah
menderita penyakit mental. Sehingga rehabilitasi dilakukan kepada seseorang
yang pernah mengalami gangguan mental yang diakibatkan dari faktor-faktor
tertentu diantaranya akibat penyalahgunaan narkoba.
Harahap & Putra (2019:45-46) menjabarkan pengertian rehabilitasi
sebagai usaha untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat,
sehingga dapat berperan kembali sebagai bagian dari masyarakat yang berguna
bagi orang lain dan dirinya sendiri, berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
Rehabilitasi terdiri dari beberapa jenis diantaranya:
a. Rehabilitasi Fisik, merupakan proses pemulihan yang dilakukan sebagai
upaya perbaikan terhadap fisik seseorang yang telah mengalami suatu
kejadian yang disebabkan suatu penyakit ataupun kecelakaan.
b. Rehabilitasi Sosial Vokasional, merupakan proses pemulihan terhadap
seseorang untuk menempati suatu pekerjaan/jabatan dengan kapasitas
kerja yang semaksimalnya sesuai dengan kemampuan dan ketidak
mampuan-nya.
c. Rehabilitasi Aesthesis, merupakan suatu proses pemulihan untuk
mengupayakan diterimanya kembali seseorang dikarenakan cacat fisik
maupun pernah dibuang dari masyarakat agar diterima kembali di tengah
masyarakat, sehingga dapat memperbaiki diri dan menyesuaikan kembali
kehidupan sosialnya.
d. Rehabilitasi Mental, merupakan proses pemulihan agar seseorang dapat
menyesuaikan diri kembali dengan kehidupan perorangan maupun sosial,
namun harus menjalani bimbingan kejiwaan sebelum kembali ke
masyarakat.

Program rehabilitasi juga diberikan kepada orang yang mengalami


kecanduan narkoba, menurut situs resmi Badan Narkotika Nasional (BNN)
pecandu narkoba dianggap sebagai seseorang yang sedang mengalami suatu
penyakit yang berhubungan dengan otak dan psikis. Pecandu narkoba perlu
diberikan perawatan agar dapat menjauhkan diri dari ketergantungan terhadap
narkoba.
Realitas yang terjadi di masyarakat, masih banyak pecandu narkoba yang
menjadi korban dari penyalahgunaan narkoba yang seharusnya mendapatkan
program rehabilitasi namun diberikan hukuman pidana oleh penegak hukum.
Menyikapi hal tersebut Supratomo (2004:8) menyatakan rehabilitasi yang
diberikan kepada pecandu narkoba bukan hanya sebagai bentuk pemidanaan, asas-
asas perlindungan korban merupakan salah satu dari beberapa hal yang
mendorong lahirnya pemidanaan dalam bentuk rehabilitasi.
Menurut Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,
rehabilitasi narkoba adalah serangkaian proses rehabilitasi terpadu yang
mencakup rehabilitasi medis dan sosial serta layanan pasca rehabilitasi dalam
rangka pemulihan fisik dan mental pada kondisi sebelumnya bagi penyalahguna
atau pecandu narkoba untuk dapat pulih, produktif dan berfungsi sosial di
masyarakat.
Pengertian lain rehabilitasi terkait pemulihan terhadap pecandu narkoba
oleh Sudarsono (1997:78) adalah usaha untuk memulihkan pecandu narkoba
untuk dapat hidup sehat jasmani dan rohani, sehingga dapat menyesuaikan dan
meningkatkan kembali keterampilan, pengetahuannya, serta peran sosialnya
dalam lingkungan hidup.
Proses rehabilitasi dapat dilakukan kepada pecandu narkoba baik secara
individu maupun kelompok. Rehabilitasi yang diberikan secara individu dapat
berupa konseling, sehingga pecandu narkoba dapat melakukan komunikasi secara
intensif dengan konselor agar tercipta hubungan terapi yang diharapkan. Konselor
dituntut untuk mampu menjadi motivator sekaligus memberikan empati kepada
residen dengan menggunakan pendekatan secara interpersonal, selanjutnya
konselor dapat memberikan jalan keluar atau saran bagi residen
untukmenyelesaikan permasalahannya, hingga residen dapat terbebas dari
kecanduan akan narkoba.
Selain itu rehabilitasi bagi pecandu narkoba dapat diberikan secara
berkelompok dan dibentuk menjadi sebuah komunitas antar pecandu narkoba,
komunitas tersebut disebut sebagai Therapeutic Community. Terapi rehabilitasi
yang dilakukan pada pecandu narkoba disesuaikan dengan permasalahan
kelompok tingkat kecanduan-nya. Nalini Muhdi dalam Hari Sasangka (2010:46-
47), menggolongkan beberapa kelompok pecandu narkoba :
a. Kelompok Primair yaitu kelompok yang mengalami masalah kejiwaan,
penyebabnya bisa karena kecemasan, depresi dan ketidak mampuan
menerima kenyataan hidup yang dijalani. Hal ini diperparah lagi karena
mereka ini biasanya orang yang memiliki kepribadian introfet atau
tertutup. Dengan mengonsumsi narkoba atau sesuatu yang diyakini bisa
membuat terlepas dari masalah kendati hanya sementara waktu. Kelompok
primair sangat mudah dipengaruhi untuk mencoba narkoba jika
lingkunganya menunjang dia memakai narkoba.
b. Kelompok sekunder yaitu kelompok yang mempunyai sifat anti sosial dan
kepribadiannya selalu bertentangan dengan norma- norma masyarakat.
Sifat egosentris sangat kental dalam dirinya, akibatnya dia melakukan apa
saja semaunya.
c. Kelompok tersier adalah kelompok ketergantungan yang bersifat reaktif,
biasanya terjadi pada remaja yang labil dan mudah terpengaruh dengan
kondisi lingkungannya, juga terjadi pada mereka yang kebingungan untuk
mencari identitas diri, selain itu adanya ancaman dari pihak tertentu untuk
ikut mengonsumsi narkoba.
Upaya rehabilitasi bagi pecandu narkoba membutuhkan waktu yang
panjang, fasilitas dan ketersediaan tenaga professional yang berkompeten.
Beberapa faktor yang mempengaruhi efektifnya program dan proses rehabilitasi
antara lain :
a. Kemauan untuk sembuh yang kuat dari pecandu narkoba b.
Profesionalisme, kompetensi dan komitmen dari konselor c. Sistem
rujukan antar Lembaga yang baik
d. Sarana, prasarana dan fasilitas yang baik
e. Perhatian dan dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan f. Kerjasama dan
koordinasi lintas profesi yang baik.
Berlangsungnya proses rehabilitasi bagi pecandu narkoba memiliki
beberapa tahapan yang telah ditentukan sebelumnya, Equatora (2017:27- 36)
membagi tahapan pelayanan dari program rehabilitasi yang dijalani menjadi
beberapa tahapan yakni:
a. Intakes Process
Merupakan upaya untuk memperoleh data dari calon residen yang dilakukan oleh
petugas melalui wawancara. Data yang dikumpulkan meliputi latar belakang
individu residen, data Kesehatan, data keluarga, informasi lingkungan tempat
tinggal sebelumnya, Riwayat Pendidikan, Riwayat penggunaan narkoba dan lain
sebagainya.
b. Introduction/Orientasi
Merupakan tahap dimana residen masuk ke dalam lingkungan program setelah
selesai menjalani fase intake. Residen diperkenalkan kepada lingkungan
rehabilitasi meliputi pengenalan terhadap konselor dan petugas, tujuan kegiatan,
filosofi, norma, aturan serta gambaran umum lainnya.
c. Primary Stage
Merupakan suatu tahapan dimana residen memasuki proses rehabilitasi, tahap ini
bertujuan untuk memperkuat kondisi mental dan fisik yang telah dicapai pada
tahap orientasi. Dalam primary stage terdapat beberapa fase yang menjadi
pembatas antara residen berdasarkan masa pelaksanaan program terapi yang telah
dijalani. Perbedaan tersebut digolongkan menjadi younger member, middle peer,
dan older member.
d. Re-Entry Stage
Merupakan suatu proses yang dilakukan untuk melatih residen bergabung kembali
dengan keluarga, lingkungan keluarganya dan masyarakat pada umumnya, tahap
ini memiliki tujuan untuk meningkatkan interaksi residen dengan lingkungan
sosialnya.
e. After Care Stage
Merupakan suatu tahap yang sangat penting bagi mantan pecandu narkoba, dalam
tahap ini mereka dituntut untuk siap bekerja, siap bergabung kembali dengan
masyarakat dan meninggalkan kecanduan terhadap narkoba.
Upaya rehabilitasi bagi pecandu narkoba membutuhkan waktu yang
panjang, fasilitas dan ketersediaan tenaga professional yang berkompeten.
Beberapa faktor yang mempengaruhi efektifnya program dan proses rehabilitasi
antara lain :
a. Kemauan untuk sembuh yang kuat dari pecandu narkoba
b. Profesionalisme, kompetensi dan komitmen dari konselor
c. Sistem rujukan antar Lembaga yang baik
d. Sarana, prasarana dan fasilitas yang baik
e. Perhatian dan dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan
f. Kerjasama dan koordinasi lintas profesi yang baik.

beberapa alasan para pecandu narkoba menolak untuk menjalankan rehabilitasi


ialah :
1. Menyangkal, alasan paling dasar para pengguna narkoba tidak mengikuti
rehabilitasi adalah mereka tidak sadaar atau menyangkal bahwa
menyalahgunakan narkoba adalah suatu masalah.
2. Takut, para pecandu narkoba takut akan stigma yang menganggap bahwa
mereka bukanlah korban, melainkan pelaku tindak kriminal. Oleh karena
itu, mereka mengira rehabilitasi berarti mereka akan ditangkap dan
dipenjarakan.
3. Kurang dukungan, ada beberapa pecandu narkoba yang tidak mendapat
dukungan dari orang terdekatnya untuk mengikuti rehabilitasi.
Menggunakan narkoba adalah aib yang tidak seharusnya diketahui oleh
orang lain bagi beberapa keluarga.
4. Penolakan, biasanya terjadi pada pecandu yang sudah sangat
ketergantungan. Pecandu jenis ini biasanya sudah dikendalikan oleh
narkoba dan ini berpengaruh pada otak saat mengambil keputusan.
5. Malu, beberapa pecandu narkoba merasa malu dan tidak layak untuk
mendapat bantuan.

Standar Pelayanan Rehabilitasi Narkoba


Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam Buku Standar
Pelayanan Minimal Terapi Medik Ketergantungan Narkotika, Psikotropika, dan
Bahan Aditif Lainnya, terbitan tahun 2003 perlu adanya standar pelayanan
minimal diperlukan sebagai panduan bagi pemerintah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan rehabilitasi sosial korban narkoba secara lebih profesional.
Aspek-aspek yang harus distandarisasi adalah :
1. Legalitas Institusi Pengelola.
Institusi pengelola pelayanan dan rehabilitasi sosial korban
penyalahgunaan narkoba wajib mempunyai legalitas. Sebuah panti pelayanan dan
rehabilitasi sosial korban narkoba tercatat di instansi sosial terkait (Dinas Sosial
setempat, Departemen Sosial R.I), mempunyai struktur organisasi, anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga (AD/ART) dan akte notaris.
2. Pemenuhan Kebutuhan Klien / Residen
Kebutuhan pokok klien / residen dipenuhi oleh pengelola panti pelaksana
pelayanan dan rehabilitasi sosila, dengan mempertimbangkan kelayakan dan
proporsionalitas. Kebutuhan yang harus dipenuhi adalah:
a. Makan 3 kali sehari ditambah dengan makanan tambahan (bubur
kacanghijau, dan sebagainya, dengan mempertimbangkan kecukupan gizi
dengan menu gizi seimbang.
b. Pelayanan kesehatan, untuk pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan
dengan kerjasama Puskesmas, dokter praktek, dan rumah sakit setempat
yang menguasai masalah penyalahgunaan narkoba.
c. Pelayanan rekreasional, dalam bentuk penyediaan pesawat televisi, alat
musik sederhana, rekreasi di tempat terbuka, dan lain – lain.
3. Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahguna
narkoba dilaksanakan dengan tahap yang baku / standar, meliputi :
a. Pendekatan Awal
Pendekatan awal adalah kegiatan yang mengawali keseluruhan
proses pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan dengan
penyampaian informasi program kepada masyarakat, instansi
terkait, dan organisasi sosial (lain) guna memperoleh dukungan dan
data awal calon klien / residen dengan persyaratan yang telah
ditentukan.
b. Penerimaan
Pada tahap ini dilakukan kegiatan administrasi untuk menentukan
apakah diterima atau tidak dengan mempertimbangkan hal – hal
sebagai berikut:
1. Pengurusan administrasi surat menyurat yang diperlukan untuk
persyaratan masuk panti (seperti surat keterangan medical check
up, test urine negatif, dan sebagainya).
2. Pengisian formulir dan wawancara dan penentuan persyaratan
menjadi klien / residen.
3. Pencatatan klien / residen dalam buku registrasi.
c. Asesmen
Asesmen merupakan kegiatan penelaahan dan pengungkapan
masalah untuk mengetahui seluruh permasalahan klien / residen,
menetapkan rencana dan pelaksanaan intervensi.

Kegiatan asesmen meliputi :


1. Menelusuri dan mengungkapkan latar belakang dan keadaan
klien / residen.
2. Melaksanakan diagnosa permasalahan.
3. Menentukan langkah – langkah rehabilitasi.
4. Menentukan dukungan pelatihan yang diperlukan.
5. Menempatkan klien / residen dalam proses rehabilitasi.
d. Bimbingan Fisik
Kegiatan ini ditujukan untuk memulihkan kondisi fisik klien /
residen, meliputi pelayanan kesehatan, peningkatan gizi, baris
berbaris dan olah raga.
e. Bimbingan Mental dan Sosial
Bimbingan mental dan sosial meliputi bidang keagamaan / spritual,
budi pekerti individual dan sosial / kelompok dan motivasi klien /
residen (psikologis).
f. Bimbingan orang tua dan keluarga
Bimbingan bagi orang tua / keluarga dimaksudkan agar orang tua /
keluarga dapat menerima keadaan klien / residen memberi support,
dan menerima klien / residen kembali di rumah pada saat
rehabilitasi telah selesai.
g. Bimbingan Keterampilan
Bimbingan keterampilan berupa pelatihan vokalisasi dan
keterampilan usaha (survival skill), sesuai dengan kebutuhan
klien / residen.
h. Resosialisasi / Reintegrasi
Kegiatan ini merupakan komponen pelayanan dan rehabiltasi yang
diarahkan untuk menyiapkan kondisi klien / residen yang akan
kembali kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini meliputi:
1. Pendekatan kepada klien / residen untuk kesiapan kembali ke
lingkungan keluarga dan masyarakat tempat tinggalnya.
2. Menghubungi dan memotivasi keluarga klien / residen serta
lingkungan masyarakat untuk menerima kembali klien / residen.
3. Menghubungi lembaga pendidikan bagi klien yang akan
melanjutkan sekolah.

i. Penyaluran dan Bimbingan Lanjut (Aftercare)


Dalam penyaluran dilakukan pemulangan klien / residen kepada
orang tua / wali, disalurkan ke sekolah maupun instansi /
perusahaan dalam rangka penempatan kerja. Bimbingan lanjut
dilakukan secara berkala dalam rangka pencegahan kambuh /
relapse bagi klien dengan kegiatan konseling, kelompok dan
sebagainya.
j. Terminasi
Kegiatan ini berupa pengakhiran / pemutusan program pelayanan
dan rehabilitasi bagi klien / residen yang telah mencapai target
program (clean and sober).
4. Sumber Daya Manusia
Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkoba
adalah kegiatan yang harus dilaksanakan oleh para profesional. Dalam
rangka mencapai target yang baik, maka diperlukan sumber dayamanusia
yang mempunyai kualifikasi tertentu. Dalam bidang administrasi kegiatan
pelayanan dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkoba
membutuhkan tenaga pimpinan/kepala / direktur, petugas tata usaha,
keuangan, pesuruh / office boy, petugas keamanan / security.
Dalam bidang teknis diperlukan tenaga pekerja sosial, bekerja sama
dengan psikologi, psikiater / dokter, paramedik / perawat, guru / instruktur,
konselor, dan pembimbing keagamaan.
5. Sarana Prasarana (Fasilitas)
Sesuai dengan fungsi panti, maka sarana dan prasarana dapat
dikelompokkan menjadi:
a. Sarana bangunan gedung, misalnya: kantor, asrama, ruang kelas, ruang
konseling, ruang keterampilan, aula, dapur, dan sebagainya.
b. Prasarana, misalnya: jalan, listrik, air minum, pagar, saluran air
/drainage, peralatan kantor, peralatan pelayanan, dan sebagainya.Untuk
terlaksananya tugas dan fungsi panti secara efektif dan effisien, diperlukan
sarana dan prasarana yang memadai, baik jumlah maupun jenisnya
termasuk letak dan lokasi panti, yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Untuk pembangunan panti pelayanan dan rehabilitasi korban
penyalahgunaan narkoba sebaiknya dicari dan ditetapkan lokasi luas tanah dan
persyaratan sesuai kebutuhan, sehingga dapat menunjang pelayanan, dengan
memperhatikan hal – hal sebagai berikut :
a. Pada daerah yang tenang, aman dan nyaman. Kondisi lingkungan yang sehat
b. Tersedianya sarana air bersih
c. Tersedianya jaringan listrik
d. Tersedianya jaringan komunikasi telepon
e. Luas tanah proporsional dengan jumlah klien / residen yang ada.

Sebelum menetapkan lokasi panti sebaiknya dilakukan studi kelayakan tentang :


a. Statusnya, agar hak pemakaian jelas dan sesuai dengan peruntukan lahan,
sehingga tidak terjadi hal – hal yang kurang menguntungkan;
b. Mendapatkan dukungan dari masyarakat terhadap keberadaan panti, sehingga
proses resosialisasi dan reintegra si dalam masyarakat dapat dilaksanakan.
6. Aksesibilitas
Di dalam masyarakat, panti pelayanan dan rehabilitasi sosial korban
penyalahgunaan narkoba tidaklah berdiri sendiri. Panti ini terkait dengan seluruh
aspek penanggulangan penyalahgunaan narkoba. Oleh karena itu panti ini harus
membuka diri dan menciptakan kerja sama dengan pihak terkait lain, seperti
dalam pelaksanaan sistem referal / rujukan. Bentuk aksesibilitas semacam itu
harus pula bersifat baku / standar.

2.5 Pecandu Narkoba


Kecanduan merupakan suatu ketergantungan yang dialami seseorang baik
secara fisik maupun psikologis terhadap zat-zat tertentu seperti alkohol, kafein,
tembakau heroin atau nikotin, sehingga akan memaksa tubuh atau pikiran
seseorang secara buruk untuk menginginkan atau memerlukan sesuatu agar dapat
dikonsumsi ke dalam dirinya. Kecanduan juga bisa dipandang sebagai keterlibatan
secara terus-menerus dengan sebuah zat atau aktivitas tertentu meskipun hal
tersebut mengakibatkan kosekuensi negatif. Kenikmatan dan kepuasan-lah yang
pada awalnya dicari, tetapi perlu keterlibatan selama beberapa waktu dengan suatu
zat atau aktifitas itu agar seseorang merasa normal kembali.
Seseorang pecandu narkoba memiliki gejala dini yang dialami oleh laki-
laki maupun perempuan yang dapat dilihat secara kasat mata diantaranya:

1) Segala kegiatan aktifitas-nya biasanya bermalas-malasan dan menurunnya


prestasi kerja
2) Pola tidurnya berubah menjadi larut malam dan sulit untuk dibangunkan
3) Banyak menghindar Ketika ada pertemuan dengan orang lain, kerabat
maupun keluarga satu tempat tinggalnya dan banyak mengurung diri di
kamar
4) Wataknya berubah menjadi kasar, berani melawan kepada orang yang
lebih tua dan bersifat tempramental
5) Sering dijumpai dalam keadaan mabuk, mata terlihat sayu dan bicara
sering melantur
6) Sering merasa tegang, gelisah, ceroboh dan tidak percaya diri.

Sibuea (2016:21-23) menjelaskan beberapa tingkatan yang dialami


pecandu narkoba berdasarkan tingkat ketergantungan dan dampak langsung yang
ditimbulkan, Kelasifikasi pecandu narkoba ia golongkan sebagai berikut:
a. Abstience, yaitu periode dimana seseorang sama sekali tidak
menggunakan narkoba untuk tujuan rekreasional.
b. Social use, yaitu periode dimana seseorang sudah mulai mencoba narkoba
untuk tujuan rekreasional namun tidak berdampak pada kehidupan sosial,
finansial, dan kondisi medis si pengguna, artinya si pengguna masih dapat
mengendalikan kadar penggunaan narkoba tersebut.
c. Early problem use, yaitu periode dimana individu sudah menggunakan zat
adiktif dan perilaku penyalahgunaan sudah menimbulkan efek dalam
kehidupan si penyalah guna seperti malas sekolah, malas bekerja, bergaul
dengan orang-orang tertentu dsb.
d. Early addiction, yaitu kondisi si pecandu yang sudah menunjukan perilaku
ketergantungan baik fisik maupun psikologis, dan perilaku ini
mengganggu kehidupan sosial yang bersangkutan. Si pecandu sangat sulit
untuk menyesuaikan dengan pola kehidupan normal, dan cenderung
melanggar nilai dan norma yang berlaku.
e. Severe addiction, yaitu periode seseorang yang hanya hidup untuk
mempertahankan kecanduan-nya dan sudah mengabaikan kehidupan sosial
dan diri sendiri. Pada titik ini si pecandu sudah berani melakukan tindak
criminal demi memenuhi kebutuhan untuk mengonsumsi narkoba.
Menurut Alatas (2001:23-24) ada beberapa faktor yang mengakibatkan individu
mengonsumsi narkoba, faktor tersebut dibedakan menjadi dua yakni faktor
internal dan faktor eksternal.

a. Faktor Internal
1) Kepribadian.
Kepribadian seseorang memiliki peranan yang besar dalam
penyalahgunaan narkoba. Individu yang memiliki kepribadian yang lemah
(mudah kecewa, tidak mampu menerima kegagalan) dianggap lebih rentan
menjadi penyalahguna narkoba.
2) Intelegensi.
Dalam konseling sering dijumpai kecerdasan pemakai narkoba berada
dibawah rata-rata kelompok seusia-nya.
3) Usia Mayoritas.
Kebanyakan pemakai narkoba adalah kaum remaja, hal ini disebabkan
kondisi psikososial yang butuh pengakuan, identitas dan kelabilan emosi,
sementara individu yang lebih tua menggunakan narkoba sebagai
penenang.
4) Dorongan kenikmatan narkoba.
Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Perasaan
enak mulanya diperoleh dari coba-coba lalu menjadi suatu kebutuhan.
5) Perasaan ingin tahu adalah kebutuhan setiap orang.
Proses awal terbentuknya seseorang pemakai diawali dengan coba-coba
karena rasa ingin tahu, kemudian menjadi iseng, dan menjadi pemakai
tetap hingga pada akhirnya menjadi seorang pemakai yang
ketergantungan.
6) Pemecah masalah.
Para pemakai narkoba kebanyakan menggunakan narkoba untuk
menyelesaikan sebuah masalah. Pengaruh narkoba dapat menurunkan
tingkat kesadaran pemakai dan membuatnya melupakan persoalan yang
dihadapinya.
b. Faktor Eksternal
1) Ketidakharmonisan keluarga. Banyak pemakai narkoba berasal dari
keluarga yang broken home karena keputusasaan dan kecewa sehingga
mendorong pemakai untuk mencari dunianya degan menggunakan
narkoba sebagai pelarian.
2) Pekerjaan. Pada umumnya pemakai narkoba menggunakan uang hasil
bekerja untuk membeli narkoba, serta beberapa tekanan pekerjaan menjadi
faktor seseorang menggunakan narkoba.
3) Kelas sosial ekonomi. Banyak pecandu narkoba berasal dari kelas
ekonomi menengah ke atas, hal ini terjadi karena mereka relatif memiliki
uang yang cukup untuk membeli narkoba.
4) Tekanan kelompok. Kebanyakan pemakai mulai mengenal narkoba dari
teman kelompoknya, kelompok pergaulan acap kali menekan anggotanya
untuk turut serta menggunakan narkoba, apabila menolak maka akan
dikucilkan dari kelompok hingga dikeluarkan dari kelompok.
Menurut Sujono & Daniel (2011:118) setelah mengamati perjalanan
Kriminalisasi terhadap pecandu narkoba khususnya pada kelompok- kelompok
rentan sebagai korban penyalahgunaan narkoba, hukuman pidana bagi pecandu
narkoba bukan merupakan suatu jalan keluar yang efektif untuk menanggulangi
permasalahan terkait penyalahgunaan narkoba, bahkan pengguna dan pecandu
narkoba samakin meningkat jumlahnya dikarenakan faktor penyebab kecanduan
narkoba belum direduksi terlebih dahulu.
Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai salah satu unsur penegak
hukum memberikan pernyataan dan menyadari bahwa Sebagian besar dari
narapidana dan tahanan kasus narkoba adalah termasuk katagori pemakai atau
bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek Kesehatan, mereka
sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit. Oleh karena itu memenjarakan
para pemakai atau korban penyalahguna narkoba bukanlah sebuah Langkah yang
tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.
Pecandu narkoba merupakan bagian dari masyarakat yang harus di tolong
dan di perhatikan oleh pemerintah karena merupakan sebuah korban dari
penyalahgunaan narkoba. Upaya rehabilitasi harus dilakukan agar pecandu
tersebut dapat terbebas dari jerat narkoba, sehingga dapat kembali lagi ke
masyarakat sebagai manusia yang lebih aktif dan produktif serta memiliki peran
sosial yang tinggi.
a. Narkoba
Narkoba merupakan akronim dari narkotika dan obat-obatan, kata narkoba
berasal dari bahasa Yunani “Narkoun” yang berarti membuat lumpuh atau mati
rasa. Menurut Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
menjelaskan narkoba adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintesis maupun semi-sintesis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran (Anestetik),menghilangkan rasa nyeri (Analgesik), dan
dapat menimbulkan ketergantungan.
Sejarah ditemukannya narkoba terjadi pada tahun 2000 sebelum masehi,
dengan ditemukannya bunga Opion atau Opium di Samaria wilayah pegunungan
Galilea. Pada tahun 1806 Friedrich Willheim menemukan modifikasi opium yang
dicampur amoniak yang kemudian dikenal dengan nama Morphine, hingga pada
saat terjadinya prang saudara di Amerika Serikat Morphine digunakan sebagai
penghilang rasa sakit akibat luka perang.
Terdapat beberapa penggolongan jenis narkoba berdasarkan proses
pembuatannya, Handoyo (2004:5-7) menggolongkan sebagai berikut:

1) Alamiah
Merupakan narkoba yang dibuat dengan menggunakan bahan- bahan alami
seperti tumbuhan dan sebagainya. Jenis-jenis narkoba alamiah antara lain:
a. Opium, yaitu jenis narkoba yang dihasilkan dari getah tanaman Papaver
Somniverum. Pada awal ditemukan-nya tanaman ini dipergunakan oleh
tantara pada saat berperang sebagai penghilang rasa sakit.
b. Kokain atau candu atau lomarch, yaitu jenis narkoba yang dihasilkan
dari daun tumbuhan Erythroxyloncoca. Candu ini dapat menghasilkan
morfin, heroin dan kodein.
c. Cannabis (ganja), yaitu jenis narkoba yang berasal dari daun tanaman
Canabis Sativa. Nama lain ganja adalah Marihuana atau Marijuana. Daun
ganja mengandung zat kimia yakni THC (Tetra Hydra-Cannabinol), suatu
zat elemen aktif yang memiliki dampak halusinasi bagi orang yang
mengonsumsi-nya.
2) Semi Sintesis
Narkotika Semi sintesis merupakan narkoba yang diperoleh dari proses
laboratoris hasil sistesis dari bahan dasar narkoba yakni opium, kemudian akan
menghasilkan narkoba lain seperti heroin, kokain, dan kodein.
3) Sintesis
Narkotika sintesis merupakan narkoba yang dibuat secara laboratoris
menggunakan bahan dasar dari senyawa kimia, kemudian akan menghasilkan
narkoba seperti Leritune dan Nisentil.
Pada proses kemunculan-nya banyak ahli yang mengembangkan narkoba
sebagai salah satu bahan dasar pembuatan obat-obatan yang dipakai dalam praktik
kesehatan. Sujono & Daniel (2011:301) mengemukakan tujuan penggunaan
narkoba pada awalnya dipergunakan untuk kepentingan pengobatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan namun disalahgunakan oleh banyak orang
sebagai sarana rekreasi dan menjadi gaya hidup, sehingga pemerintah Indonesia
mengeluarkan aturan mengenai penggolongan jenis sebagai pengklasifikasian
jenis-jenis narkotika mana saja yang dapat dipergunakan dan yang tidak dapat
dipergunakan.
1) Narkotika Golongan I
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi kesehatan, namun memiliki potensi
sangat tinggi dapat menyebabkan ketergantungan. Yang termasuk narkotika
golongan I adalah: Opium, Kokain, Ganja, Heroin, Ekstasi, Katinon, dsb.

2) Narkotika Golongan II
Narkotika yang dipergunakan sebagai pilihan terakhir untuk kepentingan
pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan, namun mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Yang termasuk narkotika golongan II adalah: morfin, petidin, fentanil dan
metadon.
3) Narkotika Golongan III
Narkotika yang dapat dipergunakan dalam pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Yang termasuk
narkoba golongan III adalah: Kodein, Buprenorfin, Etilmorfina, dsb.
Kandungan dari beberapa jenis narkoba memiliki berbagai efek atau
dampak yang terjadi dalam tubuh manusia apabila dikonsumsi dalam jumlah yang
cukup banyak, berikut efek dan dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan
narkoba:
1) Depresant, yakni efek yang dapat menyebabkan kendurnya dan
mengurangi aktifitas atau kegiatan susunan syaraf pusat, sehingga efek ini
digunakan untuk menenangkan syaraf seseorang untuk dapat memperoleh
ketenangan.
2) Stimulant, yakni efek yang dapat meningkatkan keaktifan susunan syaraf
pusat, sehingga dapat merangsang dan meningkatkan fisik seseorang
beberapa kali lebih kuat disbanding biasanya
3) Halusinogen, yakni efek yang dapat menyebabkan perasaan yang tidak riil
atau khayalan-khayalan yang menyenangkan, namun dalam dosis berlebih
dapat mengakibatkan mual, muntah, rasa takut yang berlebih, kecemasan
secara terus- menerus hingga mengakibatkan depresi.
4) Dahidrasi, yakni penggunaan narkoba yang dapat menyebabkan
berkurangnya kandungan elektrolit dalam tubuh, akibatnya tubuh
mengalami kekurangan cairan. Pada efek ini tubuh akan mengalami
kejang-kejang, perilaku yang lebih agresif, dan rasa sesak pada bagian
dada, hingga dalam jangka panjang akan mengakibatkan kerusakan pada
otak.
5) Timbulnya kerusakan pada organ tubuh misalnya kulit, hati ginjal, organ
pernafasan dan organ pencernaan.
6) Kecanduan, yakni ketergantungan yang diakibatkan dari penggunaan
narkoba, efek kecanduan ini merangsang timbulnya kecenderungan
pemakai narkoba untuk melakukan penyimpangan sosial dalam
masyarakat seperti berkelahi, seks bebas, mencuri, merampok dan lain
sebagainya untuk mendapatkan uang yang dipergunakan membeli
narkoba.
7) Kematian, dampak narkoba yang terburuk adalah overdosis yakni kondisi
dimana seseorang menggunakan narkoba melebihi dosis yang dapat
diterima oleh tubuh sehingga akan mengakibatkan kematian.
Beberapa faktor pendukung tahapan pembinaan lanjutan bagi alumni pecandu
narkoba adalah:
a. Faktor Keluarga
Faktor keluarga membantu mantan pecandu agar tetap abstinence
(pantang) terhadap narkoba perlu diperhatikan, terutama dalam hubungan antara
mantan pecandu dengan co-dependents (orangtua, suami, istri, anak dan keluarga
dekat lainnya). Peran co-dependents sangat dibutuhkan untuk mengawasi dan
mempengaruhi aspek emosional, psikis dan tingkah laku mantan pecandu dalam
kehidupan sehari-hari agar menjauhi faktor-faktor kembalinya ia menjadi pecandu
narkoba.
b. Teman Sebaya (Peer Group)
Peran teman sebaya sangat penting terhadap mantan pecandu narkoba
yang tergolong dalam kelompok usia remaja, yakni untuk membantu membentuk
identitas diri dan menjadi model yang conformity (sesuai) dalam perkembangan
dirinya. Co-dependents harus mampu mengarahkan mantan pecandu untuk
mendapatkan teman sebaya yang positif, terutama agar mantan pecandu tidak
terpengaruh lagi mengonsumsi narkoba.
c. Lingkungan Kerja (Work Place)
Lingkungan kerja pada tahap after care dalam rangka membentuk
hubungan kerja dan jaringan kerja merupakan suatu titik awal mantan pecandu
kembali ke dunia kerja kembali. Dalam hal ini lingkungan kerja harus bisa
memberikan kepercayaan kembali terhadap kompetensi dan potensi mantan
pecandu untuk dapat bekerja dengan maksimal.
d. Lingkungan Sosial Masyarakat
Dukungan lingkungan sosial dapat terwujud melalui respon masyarakat
untuk menerima kembali mantan pecandu narkoba di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini dapat menumbuhkan rasa percaya diri mantan pecandu narkoba sehingga
ia dapat mengaktualisasikan dirinya kembali di lingkungan sosialnya, sehingga ia
tidak terjerumus lagi sebagai pecandu narkoba.
e. Pengetahuan Tentang Relapse
Relapse atau kambuh diartikan sebagai suatu kondisi dimana seorang
mantan pecandu narkoba kembali mengonsumsi narkoba. Relapse sering terjadi
Ketika komponen masyarakat di sekitar mantan pecandu tidak dapat dipersiapkan
dengan baik, akibatnya rasa kesal dan penolakan dari relasi sosial masyarakat
menyebabkan mantan pecandu kembali mengonsumsi narkoba.

2.6 Komunikasi untuk Keperawatan


Hubungan antara pasien dan penyedia layanan kesehatan mempengaruhi
komunikasi dan asuhan. Komunikasi telah dipelajari di dalam banyak disiplin
ilmu layanan kesehatan, termasuk psikologi dan psikologi sosial. Subbab ini
meninjau empat model komunikasi dengan penggunaan pada komunikasi perawat
– pasien di lokasi layanan kesehatan. Walaupun bukan merupakan teori
keperawatan tersendiri, masing – masing teori ini berkontribusi dalam
pemahaman kita dan memberikan kerangka teoritis mengenai model komunikasi
dan beberapa komponen teori keperawatan, teori tersebut diantaranya:
1. Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model)
Model Kepercayaan Kesehatan (Rosenstock, 1974) berfokus pada
perspektif pasien dalam komunikasi kesehatan. Model ini sangat berpengaruh
karena mencoba menjelaskan bagaimana kepercayaan pasien dapat memprediksi
adopsi perilaku yang sehat. Termasuk karakteristik demografik seperti usia, jenis
kelamin, dan kelompok etnik; ancaman yang dirasakan; dan isyarat terhadap aksi
(misalnya, saran, iklan, atau penyakit di dalam anggota keluarga). Contohnya,
remaja muda lebih rentan terhadap iklan rokok (isyarat terhadap aksi) dan tekanan
teman bermain (variabel terkait – usia) dibandingkan dewasa paruh-baya. Pada
Model Kepercayaan Kesehatan, isyarat terhadap aksi dimasukkan ke dalam
intervensi untuk mengoptimalkan keefektifannya dalam mengubah perilaku.
Contohnya, mengiklankan kampenye untuk menghentikan remaja meroko
mungkin lebih efektif jika dilakukan dengan mengirimkan video pelajar yang
sedang menempatkan kantung jenazah di depan kantor perusahaan tembakau ke
YouTube dibandingkan menyediakan selebaran untuk orang tua di kantor spesialis
pediatri. Di sisi lain, diagnosis kanker paru-paru dalam anggota keluarga (isyarat
terhadap aksi) akan lebih mengena dalam mempengaruhi dewasa paruh-baya agar
berhenti merokok dibandingkan remaja. Komunikasi pada tingkat perawat –
pasien harus diarahkan untuk memahami persepsi pasien mengenai kesehatannya
dan menggunakan intervensi yang sesuai untuk karakteristik demografik mereka.
2. Model Interaksi Raja ( King Interaction Model )
Model Interaksi Raja (1971, 1981) menekankan pada proses komunikasi
dalam hubungan perawat – klien. Hubungan antar pribadi di dalam asuhan
kesehatan menggabungkan hubungan, proses, dan transaksi. Hubungan antara
perawat dan klien dimulai dengan penilaian masing–masing pihak mengenai pihak
lainnya berdasarkan persepsi mereka mengenai situasi tersebut. Model Interaksi
Raja menjelaskan transaksi sebagai hasil dari komunikasi bersama dan hubungan
antara perawat dan klien.
3. Model Rogerian
Model Rogerian menjelaskan peran hubungan antara penyedia layanan
kesehatan dan pasien. Carl Rogers (1951) menjelaskan hubungan terapeutik
sebagai pusat dalam membantu penyesuaian yang sehat pada pasien. Komunikasi
bersifat terpusat–klien karena pasien merupakan fokus interaksi. Penolong atau
penyedia layanan kesehatan berkomunikasi dengan empati, pandangan positif
(atau hormat), dan kongruensi (atau kesungguhan) untuk membantu penyesuaian
pasien terhadap situasi dan tindakan yang mengarah pada kesehatan. Walaupun
pada awalnya ditulis untuk psikoterapis, model ini telah terbukti bermanfaat
dalam keperawatan dan pencapaian hubungan terapeutik perawat–pasien.
4. Model Crick dan Dodge
Pemrosesan Informasi Sosial Model Pemrosesan Informasi Sosial
menyediakan konstruksi yang bermanfaat yang dapat dipakai oleh perawat dalam
belajar merespon pasien. Model Crick dan Dodge (Crick & Dodge, 1994)
merupakan gambaran sirkular tentang proses emosinal dan kognitif yang terlibat
dalam pembelajaran merespon isyarat sosial. Inti model ini adalah kumpulan data
memori, aturan sosial yang didapat dan pengetahuan secara skema sosial. Jika
diterapkan dalam keperawatan, kumpulan data dapat mencakup pengalaman sosial
sebelumnya dalam lingkup pribadi dan profesi, pendidikan formal mengenai
keterampilan komunikasi, dan harapan terhadap peran, termasuk bidang etika dan
hukum, harapan sosial, dan tugas profesional dalam keperawatan. Perawat belajar
untuk mengembangkan keterampilan komunikasi profesional mereka dengan
mengatur naiknya emosi (perawat mengontrol responnya terhadap pernyataan
pasien), khususnya pada percakapan yang lebih menantang, mengembangkan
efikasi–diri (kepercayaan diri), memutuskan respon yang akan diberikan dan
akhirnya memberikan respon yang membantu pasien maupun perawat mencapai
tujuan mereka. Perawat mengadaptasi peran mereka sebagai penyedia layanan
kesehatan profesional dengan mempelajari metode yang efektif untuk merespon
pasien dan mengembangkan kepercayaan diri untuk berinteraksi dalam berbagai
situasi pasien.

Setiap orang yang mungkin mengalami sindrom putus obat parah setelah
penghentian penggunaan narkoba, dan orang-orang yang penggunaan narkoba
mereka saat ini menyebabkan risiko bahaya yang signifikan adalah yang paling
membutuhkan layanan ini. Kriteria berikut harus dipertimbangkan ketika
memutuskan apakah perawatan residensial
jangka pendek atau pengaturan perawatan lain berlaku:
a. Jenis obat yang digunakan
b. Kemungkinan sindrom putus obat
c. Keparahan ketergantungan narkoba
d. Masalah kesehatan dan sosial terkait
e. Masalah medis dan kejiwaan yang terjadi bersamaan
f. Gejala putus obat penenang dan opioid bisa parah, dan sangat
mungkin terjadi pada orang yang menggunakan dosis tinggi selama
periode waktu yang lama.

Program perawatan jangka pendek untuk gangguan penyalahgunaan napza


harus mencakup kegiatan berikut:
a. Penilaian medis dan psikososial komprehensif
b. Rencana perawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan individu
c. Detoksifikasi dengan bantuan obat jika diindikasikan
d. Inisiasi terapi rumatan jika diindikasikan
e. Strategi untuk menumbuhkan motivasi pasien untuk berubah
f. Kontak dengan individu yang penting dalam jejaring sosial pasien
untuk melibatkan mereka dalam rencana perawatan
g. Inisiasi strategi perawatan perilaku untuk pengobatan gangguan
penyalahgunaan narkoba
h. Inisiasi pengobatan untuk gangguan medis dan kejiwaan yang
terjadi bersamaan, jika waktu dan sumber daya memungkinkan
i. Evaluasi berkelanjutan dari kemajuan pasien dalam perawatan, dan
penilaian klinis terus menerus yang dibangun ke dalam program
j. Perencanaan pemulangan pasien dengan pencegahan kambuh dan
strategi perawatan berkelanjutan untuk periode setelah perawatan
di rumah, termasuk terapi rumatan jika diindikasikan, tingkat
perawatan psikososial yang sesuai, dan perawatan berkelanjutan
untuk masalah medis dan kejiwaan yang terjadi bersamaan.

Keberhasilan penyelesaian perawatan residensial jangka pendek dapat


dievaluasi untuk setiap pasien berdasarkan beberapa dimensi termasuk:
a. Resolusi gejala putus obat
b. Pemahaman mengenai gangguan penggunaan zat dan masalah
terkait
c. Motivasi untuk terlibat dalam pengobatan lanjutan setelah pulang ,
yaitu dalam perawatan residensial jangka panjang atau pengobatan
rawat jalan
d. Peningkatan kesehatan fisik dan jiwa serta inisiasi rencana
perawatan dan/atau pemulangan untuk menangani masalah-
masalah terkait kesehatan dalam jangka panjang
e. Peningkatan dalam pengendalian hasrat untuk mengkonsumsi
napza (craving) dan mulai mengembangkan keterampilan untuk
mengendalikan pemicu (pikiran, emosi, dan perilaku) yang
mengarah pada penggunaan narkoba

Program-program seperti perawatan intensif sehari-hari memerlukan


interaksi yang sering dengan pasien (yaitu setiap hari, atau beberapa jam dalam
satu hari atau lebih). Komponen dan aktivitas layanan ini meliputi:
a. Penilaian medis dan psikososial komprehensif saat masuk layanan
b. Rencana perawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan individu
c. Pengobatan bersifat sukarela, dengan partisipasi pasien dalam
keputusan terkait pengobatan
d. Detoksifikasi dengan bantuan obat, jika diindikasikan
e. Inisiasi pengobatan rumatan, jika diindikasikan
f. Kontak dengan keluarga dan orang-orang penting lainnya di
jejaring sosial untuk melibatkan mereka dalam pengobatan
berkelanjutan
g. Perawatan perilaku dan psikososial untuk gangguan
penyalahgunaan narkoba dan gangguan kejiwaan yang terjadi
bersamaan
h. Perawatan farmakologis untuk gangguan medis dan kejiwaan yang
terjadi bersamaan
i. Kontrak pengobatan yang dengan jelas menguraikan semua
prosedur pengobatan, layanan dan kebijakan serta peraturan
lainnya dan harapan pasien terhadap program
j. Evaluasi berkelanjutan terhadap kemajuan pasien dalam
pengobatan dan penilaian klinis terus menerus yang dibangun ke
dalam program
k. Strategi pencegahan kambuh dan strategi pemulangan pasien untuk
pengobatan berkelanjutan setelah perawatan residensial, termasuk
terapi rumatan jika diindikasikan, tingkat perawatan psikososial
yang tepat, dan pengobatan berkelanjutan untuk masalah medis dan
kejiwaan yang terjadi bersamaan
l. Dukungan sosial intensif termasuk akomodasi dan pekerjaan

Tujuan Utama Perawatan Jangka Panjang untuk Pasien


a. untuk mengurangi risiko kembali menggunakan narkoba aktif
b. untuk mengobati gangguan kejiwaan dan penggunaan narkoba
melalui terapi obat dan terapi psikososial
c. untuk mengembangkan keterampilan mengatasi ketagihan dan
stress kehidupan tanpa menggunakan narkoba
d. untuk meningkatkan kesehatan pribadi dan keluarga serta
lingkungan kerja dan fungsi sosial
e. untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang efektif
dengan pasien dan staf lain sambil memperoleh keterampilan sosial
baru, mendapatkan kepercayaan diri, dan menerima penghargaan
untuk perilaku positif
f. untuk mengembangkan keterampilan interpersonal dan komunikasi
untuk membangun jejaring teman-teman yang berpantang narkoba
g. untuk memperoleh gaya hidup yang lebih sehat, misalnya nutrisi
yang baik, rutinitas tidur/bangun yang stabil, pemantauan
kesehatan rutin, dan kepatuhan terhadap pengobatan
h. untuk menyelesaikan pendidikan mereka dan mengembangkan
keterampilan kejuruan untuk semakin bisa mendapatkan kembali
kendali atas kehidupan mereka begitu mereka kembali ke
masyarakat umum
DAFTAR PUSTAKA

ANALISIS KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PROGRAM REHABILITASI BAGI


PECANDU NARKOBA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA
KELAS IIA SUNGGUMINASA ANALYSIS OF THERAPEUTIC
COMMUNICATION IN REHABILITATION PROGRAM FOR DRUG USER IN
LAPAS NARKOTIKA KELAS IIA SUNGGUMINASA. (n.d.).
EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI PECANDU NARKOBA DALAM
PROSES PENDAMPINGAN DI LEMBAGA PERSAUDARAAN KORBAN NAPZA
MAKASSAR (PKNM). (n.d.).
Hubungan Komunikasi Terapeutik Dengan Self Efficacy Pada Pecandu Narkoba
Dalam Proses Konseling (Studi Pada Residen Rawat Jalan Di Badan Narkotika
Nasional Kota Lubuklinggau). (n.d.).
Kasus, S., Dan, P., Tramadol, P., Rato, D., Bolo, K., & Bima, K. (n.d.). POLA
KOMUNIKASI INTERPERSONAL PENYALAHGUNAAN OBAT TERLARANG.
Kesehatan Masyarakat, J., Riza Azmiyati, S., Hary Cahyati, W., & Woro Kasmini
Handayani Klinik Aisyah, O. (2014). GAMBARAN PENGGUNAAN NAPZA
PADA ANAK JALANAN DI KOTA SEMARANG. In KEMAS (Vol. 9, Issue 2).
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas
KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM REHABILITASI PECANDU NARKOBA
DI INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR BAHRUL MAGHFIROH CINTA
INDONESIA (IPWL BMCI) MALANG SKRIPSI. (n.d.).
Olivia, C. H. (2013). STRATEGI KOMUNIKASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL
( BNN ) DALAM MENGURANGI JUMLAH PENGGUNA NARKOBA DI KOTA
SAMARINDA. 1(1), 428–441.
Roos dan Kusnarto Progdi Ilmu Komunikasi UPN, D. F., & Timur, J. (2015).
KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENYEMBUHAN PECANDU
NARKOBA ( Studi Deskriptif Komunikasi Terapeutik dalam Penyembuhan
Pasien Pecandu Narkoba di Yayasan Panti Rehabilitasi ORBIT Surabaya). In
Jurnal Imu Komunikasi (Vol. 7, Issue 2).
Standar Internasional untuk Rawatan Gangguan Penyalahgunaan Napza. (n.d.).
Studi, P., Komunikasi, I., Dakwah, F., Komunikasi, D., Ampel, S., Yani, S. J. A.,
Surabaya, J., Timur, I., & Rahmah, A. F. (2020). KOMUNIKASI
INTERPERSONAL REHABILITASI PECANDU NARKOBA DI MALANG.
Jurnal Ilmu Komunikasi, 10(1). http://jurnalfdk.uinsby.ac.id/index.php/JIK
Tri Yolanda, W. (n.d.). REHABILITASI DI PUSAT PERAWATAN PECANDU
NARKOBA DITINJAU DARI KOMUNIKASI TERAPEUTIK.
YAYASAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM RIAU UNIVERSITAS ISLAM RIAU
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI Komunikasi Terapeutik Pecandu Narkoba di
Yayasan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) Mercusuar Riau SKRIPSI. (n.d.).
Badan Narkotika Nasional 2004. Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan
Narkoba Bagi Remaja. Jakarta : BNN.
Hawari, Dadang. 2015. Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika,
Alkohol & Zat Adiktif). Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Indriany. Henny 2012. Data Tindak Pidana Narkoba Tahun 2007- 2011. Badan
Narkotika Nasional Republik Indonesia.
Shadily, Hassan. 1983. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Cet. IX. Jakarta:
Bina Aksara.
Rahmah Ayu Fatihatur. (2019). Komunikasi Interpersonal dalam Rehabilitasi
Pecandu Narkoba di Institusi Penerima Wajib Lapor Bahrul Magfiroh
Cinta Indonesia (IPWL BMCI) Malang.
Harahap, Rika Mayasari. Strategi Komunikasi Konselor Adiksi dalam Membantu
Pemulihan Pecandu Narkoba. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2016.
Hidayat Deddy N. (2003).Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik
Klasik - Jakarta : Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Unversitas
Indonesia.
Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial (YAHREHSOS). 2004.
Penyelenggaraan Rehabilitasi bagi Korban Penyalahgunaan Narkoba.
Undang-Undang No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Undang-Undang No.2
Tahun 1997 Tentang Narkotika.
Hariani, Diah. BNN Khawatir dengan Jumlah Pengguna Narkoba di Indonesia.
Diakses 20 Desember 2011 dari www.bnn.go.id

Anda mungkin juga menyukai