Anda di halaman 1dari 31

DRAF

BEST PRACTICE PELAKSANAAN PROGRAM P2HA PELABUHAN DI 24 PELABUHAN DI INDONESIA


Meski terkejut, Putri Cherry tidak mengungkapkan rasa marah ketika suaminya akhirnya mengaku
bahwa ia adalah seorang pengidap HIV.

Mereka menikah atas dasar cinta. Pernikahan itu terjadi pada 2006. Putri sudah tahu suaminya
punya masa lalu kelam sebagai mantan pencandu narkoba. Ia bisa menerima itu walau tidak pernah
terpikir olehnya, dalam tubuh suaminya ada penyakit yang bersemayam dan bisa menulari sewaktu-
waktu.

Satu yang Putri rasa janggal dari suaminya. Sejak permulaan pernikahan mereka, ia mudah sakit,
sering terserang diare, dan saat tidur selalu banyak berkeringat. Ketika kondisi suaminya semakin
buruk, barulah pengakuan itu datang.

Apa yang terpikir oleh Putri saat itu hanya bagaimana menyembuhkan suaminya. Ia baru
memeriksakan diri ketika hendak menjalani operasi amandel. Kepada dokter, ia mengatakan
semuanya. Ia pun menjalani tes deteksi HIV dan dinyatakan positif.

Mereka kemudian memberi tahu keluarga. Keluarga suaminya memberi tanggapan yang tidak
menyenangkan. Tekanan datang kepada mereka berdua sampai-sampai suaminya tak tega dan
kemudian meminta Putri kembali ke rumah orang tuanya dan kembali bekerja. Tidak perlu lagi
merawat suaminya.

Setahun setelah pernikahan mereka, Putri mendapat kabar bahwa suaminya meninggal dunia.

Kabar itu bukan satu-satunya pukulan bagi Putri. Suatu ketika, ia akhirnya mengaku kepada
perusahaan tempatnya bekerja mengenai status kesehatannya. Ia lalu dipecat secara halus.

Rentetan situasi tersebut membuat Putri depresi. Namun, berkat dukungan ibunya, termasuk
dengan mengajaknya konsultasi ke dokter, semangat hidup Putri kembali. Dukungan keluarganya
sangat berarti, terutama dari sang ibu.

Di kemudian hari, bukan hanya semangatnya yang kembali, tetapi juga kehidupannya. Ia merasa
menjadi normal sebagaimana saat belum sakit. Kini ia telah menikah kembali dan dianugerahi tiga
anak. Suami dan anak-anaknya hingga saat ini sehat dan tidak tertular HIV.1

Putri tidak sendiri. suka duka serupa sedikit banyak juga dirasakan Ayu Oktariani.

Ayu mengetahui dirinya positif HIV setelah suaminya jatuh sakit di tahun 2009. Suaminya juga
mantan pencandu narkoba, tetapi tidak tahu-menahu dirinya mengidap HIV.

Khawatir jatuh sakit seperti suaminya adalah ketakutan pertama Ayu setelah mengetahui dirinya
memiliki virus HIV. Ketakutan itu memuncak setelah suaminya meninggal. Ia sempat putus asa dan
kehilangan tujuan hidup.

Tapi, kemudian pikiran itu sirna. Suatu hari ia tersentak, mengapa ia harus putus asa jika selama ini
anak dan orang tuanya justru bersemangat mendampinginya dan suaminya? Pikiran itu mau tidak

1
Kisah Putri Cherry dikutip dari artikel di Nova berjudul "Curahan Hati Seorang ODHA, Bahagia Bersama Suami
dan 3 Anak", dipublikasikan pada 5 Januari 2016 di http://nova.grid.id/News/Peristiwa/Curahan-Hati-Seorang-
Odha-Bahagia-Bersama-Suami-Dan-3-Anak. Artikel diakses pada 10 April 2018 pukul 13.23 WIB.
mau membuatnya tak mau kalah. “Kalau sekarang lu kalah, terus buat apa usahanya mereka?” kata
Ayu. Berlainan dari orang tuanya, anak Ayu negatif HIV.

Ayu kemudian mendaftar bekerja sebagai pendamping sebaya di sebuah kelompok dukungan
(support group) untuk pengidap HIV/Aids. Ia diterima dan sejak itu, ia berkeliling ke rumah sakit dan
puskesmas-puskesmas untuk memberi pendampingan kepada orang dengan HIV Aids (ODHA).

Suatu hari ia bertemu lagi dengan seorang suster yang pernah melakukan tes mantoux kepadanya
dulu. Ia ingat suster itu agak sembrono. Menusukkan jarum dengan keras sambil menceramahi Ayu,
“Jangan nikah lagi, ya, Mbak. Nyebarin lebih banyak penyakit ke orang-orang.”

Ada kalanya petugas di fasilitas kesehatan tidak cukup mengetahui apa itu HIV/Aids dan karena itu,
menjadi semena-mena. Setelah ia menjadi pendamping sebaya, salah satu tugasnya adalah
membantu pasien jika mendapat kesewenang-wenangan atau informasi yang salah dari petugas.

Menjadi pendamping sebaya juga salah satu cara yang membuatnya tetap kuat. “Setiap ketemu
dampingan, kan mereka rata-rata orang yang baru terdeteksi. Sama seperti aku dulu. (Mereka) di-
press, terus mereka feel better, energi positifnya balik, aku kayak jadi nge-charge baterai terus tuh
tiap hari,” kata Ayu.

Semua ODHA bisa menjalani hidup normal, termasuk menikah dan punya anak yang sehat. Tetapi,
ada yang harus dipersiapkan. Ketika Ayu menemukan pasangan baru, ia mewanti-wanti
pasangannya. “Kalau lu nggak siap, lebih baik mundur aja dari sekarang.” Pasangannya mengerti dan
memutuskan untuk terus. Tahun 2014 lalu, mereka memutuskan menikah.

“Perempuan dengan HIV punya kesempatan yang sama untuk merencanakan kehamilan, berapa kali
punya anak, memilih cara bersalin, pilihan memberikan makanan. Kami diberi informasi yang sangat
jelas (dari support group). Saya cuma pengin teman-teman yakin bahwa kita (ODHA) sama dengan
masyarakat Indonesia yang lain. Jangan mengecilkan hidup kita hanya karena HIV….”2

***

Isu HIV Aids bukan isu kesehatan yang seksi di Indonesia. Sebab, tidak seperti isu rokok dan susu
formula, misalnya, isu HIV Aids tidak menimbulkan kubu pro-kontra. Paparan statistik pengidap HIV
Aids juga bukan tema favorit media, berlainan apabila Badan Pusat Statistika tengah membuka hasil
pengukuran indeks kemiskinan, kebahagiaan, dan intoleransi yang bisa dipastikan akan mewarnai
headline media massa.

Hanya saja kadang terjadi perkecualian, seperti yang kita lihat di Desember 2017. Di bulan
peringatan Hari Aids Sedunia yang jatuh saban tanggal 1, isu HIV Aids menjadi topik ikutan yang
menyertai pro-kontra tentang legalisasi orang lesbian, gay, transgender, biseksual, dan queer
(LGBTQ) di Indonesia.

Kisahnya bermula ketika Mahkamah Konstitusi baru saja menolak permohonan uji materi dari Aliansi
Cinta Keluarga (AILA).3
2
Kisah Ayu Oktariani disarikan dari video wawancara Ayu dengan Rappler Indonesia berjudul "SAKSIKAN:
Pengalaman seorang perempuan yang hidup dengan HIV" di https://www.youtube.com/watch?v=6c-fGJjb1pk.
Video dipublikasikan pada 30 November 2016 dan diakses pada 10 April 2018 pukul 14.19 WIB.
3
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42348089
Yang ditolak MK ini meliputi, pertama, permintaan memperluas makna perzinaan di Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Saat ini, yang bisa disebut perzinaan di mata hukum di Indonesia
adalah ketika salah satu dari dua orang dewasa yang berzina sudah menikah. Perzinaan juga
merupakan delik perdata alias baru bisa dibawa ke meja hijau jika pasangan sah dari salah seorang
pihak yang dituduh berzina melapor ke polisi.

Kepada, AILA memohon agar definisi perzinaan diluaskan juga pada persetubuhan antara dua orang
dewasa yang belum menikah.

Kedua, agar makna pemerkosaan diubah. Dalam KUHP saat ini, pemerkosaan adalah kekerasan
seksual dari lelaki kepada perempuan. Hanya itu. AILA meminta, makna pemerkosaan diluaskan
menjadi juga antara sesama jenis.

Ketiga, menghilangkan batasan umur pada definisi pencabulan dari yang mulanya adalah “pelecehan
seksual oleh laki-laki dewasa kepada lelaki yang masih anak-anak” menjadi mencakup lelaki di umur
berapa saja.

MK menolak tiga poin permohonan uji materi tersebut. Segera saja muncul kegemparan. MK dan
negara dianggap menoleransi perzinaan dan homoseksualitas. Mantan Ketua MK Mahfud MD
sampai menanggapi dengan menjelaskan bahwa penolakan tersebut bukan karena isi permohonan
AILA, melainkan karena MK tidak berwenang menambah dan meluaskan isi hukum. Kewenangan MK
hanya ada pada membatalkan hukum jika terbukti bertentangan konstitusi tertinggi, yakni UUD
1945.

Dalam perdebatan publik, isu ini melebar kepada perjuangan legalisasi LGBTQ. Suara mayoritas
masih bernada sama seperti tahun-tahun lampau: tidak setuju LGBTQ diakui haknya oleh negara.
Entah kebetulan atau tidak, di Desember yang sama, masyarakat menyadari bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat tengah membahas revisi KUHP, tempat pasal tentang perzinaan, pemerkosaan,
dan pencabulan tadi bernaung. Dengan demikian, perdebatan makin sengit.

Begitu masuk pada isu LGBTQ inilah perkara HIV Aids mulai terseret. Yang membawa adalah pihak
yang kontra-legalisasi LGBTQ. Menurut kelompok ini, sudah saatnya ada hukum yang bisa
memidanakan hubungan sesama jenis karena orang LGBTQ adalah penyebar HIV Aids. Membiarkan
ketiadaan hukum atau malah memberi legalitas pada kaum LQBTQ berarti sama dengan
membiarkan penularan HIV Aids semakin menjadi.

Kehebohan Desember ini bisa memberi ilustrasi bagaimana HIV Aids dipahami oleh masyarakat. Jika
menengok data, akan diketahui bahwa penyuka lawan jenis sama berisikonya untuk tertular HIV
Aids.

Sejak kasus HIV Aids pertama kali ditemukan di Indonesia pada 1987 atau 30 tahun lalu di Provinsi
Bali, data total per tahun 2014 mencatat, sudah 150 ribu 4 penduduk Indonesia terinfeksi HIV.
Sedangkan untuk angka pengidap Aids sepanjang 1987-2014, jumlahnya mencapai 55 ribu orang. 5

Data juga mencatat, ada tiga besar kelompok yang rentan tertular. Mereka adalah orang
heteroseksual (menyukai lawan jenis), homoseksual (menyukai sesama jenis), dan pengguna

4
150.296
5
55.799
narkoba suntik. Orang heteroseksual menduduki peringkat satu. Sepanjang 2016 saja, dari 13 ribu
orang yang diketahui terinfeksi HIV, 53 persennya adalah heteroseksual dengan rasio jenis kelamin
laki-laki 2 banding perempuan 1.6

Ada sejumlah penyebab mengapa seseorang bisa terinfeksi HIV dan bahkan meningkat menjadi Aids.
Berhubung HIV hanya bisa menular lewat tiga medium, yakni darah, air susu ibu, dan cairan kelamin,
penularan HIV biasanya terjadi lewat hubungan seksual tidak aman, transfusi darah dan pemakaian
jarum suntik yang tidak steril, dan air susu dari ibu positif HIV Aids yang diberikan kepada bayinya.

Artinya, jika memiliki perilaku tidak sehat, siapa saja bisa terjangkit HIV. Seseorang itu bisa jadi
seorang wanita penjaja seksual yang sering melayani pelanggan tanpa memakai pengaman;
pasangan gay yang gonta-ganti pasangan; seorang pencandu narkoba suntik yang tidak memakai
jarum steril; atau siapa pun yang perilakunya kita anggap buruk dan tidak sehat.

Tapi, HIV bisa juga masuk ke tubuh seorang anak tak bersalah yang menerima transfusi darah yang
ternyata darah tersebut mengandung virus HIV. Atau kepada seorang istri setia yang tak tahu-
menahu bahwa suaminya kerap jajan di luar atau pernah menggunakan narkoba suntik.

Kaum istri memang rentan menjadi sasaran penularan HIV, dengan sangat mencolok angkanya
menunjukkan hal itu. Kisah Putri dan Ayu di awal tadi adalah contoh bahwa ketika istri hidup sehat,
risiko itu justru datang dari suami. Fenomena ODHA yang juga ibu rumah tangga merayap diam-diam
dalam statistik besar pengidap HIV/Aids di Indonesia.

Mari tengok angkanya.

Untuk kasus HIV yang sudah memasuki fase Aids, sepanjang 1987 sampai 2014 telah ditemukan 30
ribu orang yang hidup dengan Aids. Persentase jenis kelaminnya: 54 persen laki-laki, 29 persen
perempuan, 17 persen tidak tercatat jenis kelaminnya.

Dari 30 ribu orang tersebut, 24 persen alias 6 ribu di antaranya adalah ibu rumah tangga.
Bandingkan dengan wanita penjaja seksual yang orang awam bayangkan pasti sangat rentan pada
Aids, kelompok profesi ini ada di angka 2 ribu atau 6,7 persen.

Bisa disimpulkan bahwa, pertama, setiap ditemukan 20 orang dengan Aids, 8 orang adalah seorang
istri dan “cuma” 1 orang yang pekerja seks. Kedua, setiap ditemukan 3 perempuan dengan Aids, 2
adalah istri.

Berdasarkan analisis data konseling, penyebab utama mengapa angka ibu rumah tangga dengan HIV
begitu tinggi adalah penularan lewat suami. Artinya, selama tidak aman, hubungan seks berlawanan
jenis sama berbahayanya dengan hubungan seks sesama jenis

Usaha apa pun untuk meminimalisir penularan HIV Aids harus dihargai, tetapi peta besar
masalahnya tetap harus dimengerti. Pemerintah, LSM, dan masyarakat telah melakukannya
bertahun-tahun. Paling tidak dengan menyediakan fasilitas kesehatan yang bisa digunakan
masyarakat untuk melakukan tes deteksi HIV dan mengakses obat HIV Aids. Lebih bagus lagi jika
tersedia tenaga kesehatan yang memahami penyakit ini dan bisa memberi rujukan dan penanganan
yang tepat. Sebagai bentuk pencegahan, edukasi risiko HIV Aids dan memasyarakatkan penggunaan

6
http://spiritia.or.id/Stats/detailstat.php?no=8
alat pengaman seksual juga perlu. Juga memperbaiki prosedur transfusi darah sehingga darah yang
mengandung HIV tidak bisa lolos. Kini, ibu hamil juga wajib mengikuti tes deteksi HIV untuk
mencegah penularan kepada anak.

Sebagaimana berjaga-jaga dengan memiliki asuransi kesehatan itu perlu, mengetahui dokter dan
rumah sakit yang terbaik itu bagus, di atas semua itu, prinsip kesehatan yang utama adalah menjaga
diri agar jangan sampai sakit. Apa pun yang dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi
HIV Aids, yang terpenting tetaplah mengubah perilaku yang berisiko mengundang HIV menjadi lebih
aman. Dan yang harus mengubah perilaku bukan hanya kaum homoseksual atau pencandu narkoba
suntik. Menjadi laki-laki yang bertanggung jawab, setia pada pasangan, dan sadar pada kesehatan
diri sendiri, misalnya, juga menjadi prinsip.

Menyedihkan ketika apa yang dialami Ayu dan Putri harus terulang kepada perempuan lain, lagi dan
lagi. Bukan hanya yang istri yang terpuruk karena penyakit yang tak pernah diduga-duga, anak-anak
pun terancam kehilangan sosok ayah yang tak akan terganti sampai kapan pun.

***

Darah kita ibarat perahu yang ditumpangi orang yang tidak bisa berenang. Plasma darah adalah
perahu dan sel darah adalah orangnya. Tanpa plasma darah, sel darah tidak bisa ke mana-mana.

Oleh karena sel darah disusun oleh tiga bagian lagi, berarti ada tiga orang yang tidak bisa berenang
di perahu tersebut. Mereka adalah sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah. Ketiganya
harus ada di perahu karena punya tugas khusus masing-masing. Sel darah merah sebagai pembawa
oksigen dan makanan ke seluruh tubuh, sel darah putih sebagai penghasil kekebalan, dan keping
darah sebagai tukang tambal luka dan penghenti pendarahan. Berhubung sampai di sini perumpaan
justru membuat saya bingung sendiri, mari kita singkirkan saja soal perahu dan tiga penumpangnya
radi.

Sel darah putih terdiri lagi dari lima komponen. Ada basofil yang bertugas memberi reaksi alergi.
Eosinofil bertugas melawan infeksi parasit. Neutrofil melawan bakteri. Monosit menandai bakteri
yang telah dibunuh neutrofil. Terakhir, limfosit yang betugas melawan virus.

Limfosit sendiri terbagi ke dalam tiga jenis lain, yakni sel B, sel T, dan sel Natural Killer. Rupanya,
tidak ada satu barang pun yang tidak punya tugas dalam tubuh kita. Demikian pula dengan tiga sel
tersebut.

Fungsi Sel B adalah sebagai pembuat kekebalan. Sel T jenis CD4 sebagai penghambat perkembangan
virus. Sel T jenis CD8 adalah pembunuh virus. Kemudian sel Natural Killer sebagai pembunuh sel
kanker.

Pada sel T jenis CD4 inilah virus HIV terpaut. Ketika virus HIV masuk ke dalam tubuh, ia menggerogoti
sel CD4 serupa rayap memakan kayu. Pada orang sehat, jumlah normal sel CD4 sebanyak 500 sampai
1.600 sel per milimeter kubik darah. Pada orang dengan HIV, jumlahnya akan menurun.

Apabila jumlah sel CD4 menurun sangat jauh, kekebalan tubuh juga akan memburuk. Apa yang
terjadi selanjutnya bisa ditebak. Tubuh yang tidak kebal menjadi mudah terinfeksi penyakit. Jika
tidak diobati, sel CD4 akan dihabisi oleh virus HIV sehingga tubuh tak bisa lagi menahan penyakit apa
pun.

Di sinilah letak bahaya HIV atau human immunodeficiency virus. Ia merusak kekebalan tubuh
manusia. Pada kondisi seperti ini, bahkan sakit flu saja bisa menjadi petaka.

Petaka tersebut memiliki “tapi”. HIV memang berbahaya karena merusak kekebalan. Tapi… aspek
berbahaya itu baru akan ada jika orang yang terinfeksi tidak mengetahui bahwa ia sakit dan
kemudian tidak mengonsumsi obat untuk menekan perkembangan HIV dalam tubuhnya.

Bila seseorang diketahui positif HIV, petugas kesehatan akan segera membawanya ke rumah sakit
untuk menjalani tes CD4 alias tes pengukuran jumlah sel CD4 dalam darahnya. Jika hasilnya sel CD4
masih di jumlahnya yang normal, itu kabar bagus. Konsistensi angka tersebut harus, mengutip SBY
sekian tahun lalu, di-”lanjutkan!”.

Untuk mempertahankan jumlah CD4 di angka ideal, orang dengan HIV mesti menjalani terapi
antiretroviral (ART) dengan cara mengonsumsi obat antiretrovirus (ARV). Selain itu, pasien juga
disarankan menjalani gaya hidup sehat untuk menjaga kebugaran, mengonsumsi obat secara rutin
(setiap hari) dan teratur (di jam yang selalu sama) seumur hidup untuk mempertahankan kualitas
kesehatannya. Obat ARV ini bisa didapatkan di rumah sakit dengan gratis karena disubsidi
pemerintah (kecuali untuk obat pada infeksi HIV stadium lanjut).

HIV menjadi berbahaya jika tidak ditangani. Satu-satunya cara untuk mengecek apakah seseorang
terinfeksi HIV hanyalah dengan melakukan tes darah. Tidak ada gejala khusus HIV karena pada fase
awal infeksi, pasien hanya mengalami demam layaknya terserang flu. Di fase lanjutan, pasien akan
semakin mudah terserang berbagai penyakit, termasuk tuberkolosis. Di fase akhir infeksi HIV, ketika
jumlah sel CD4 sudah terjun bebas sampai ke angka hanya 200 sel per milimeter kubik darah, pasien
disebut disebut mengidap AIDS atau acquired immunodeficiency syndrome.

Jadi, orang yang memiliki HIV belum tentu memiliki Aids. Aids hanya dipakai untuk menyebut pasien
yang sudah rusak sistem kekebalan tubuhnya.

Aids adalah fase final dari infeksi HIV.

Dengan perawatan, orang dengan HIV memiliki harapan hidup yang wajar selayaknya orang sehat.
Sedangkan pada orang dengan Aids, harapan hidup berkisar antara satu sampai tiga tahun.

Orang menganggap HIV Aids tidak bisa disembuhkan. Gambaran ini menjadi momok menakutkan,
disertai dengan bayangan bahwa HIV berarti segera mati.

Nyatanya, HIV sama seperti virus flu atau parasit malaria. Walau sekali ia masuk ke tubuh, tidak bisa
diusir lagi, bibit penyakit ini tidak perlu membuat stres berat.

Pada kasus HIV, dengan konsumsi obat ARV yang rutin dan teratur serta menjalani gaya hidup sehat,
pengidap HIV akan tetap sehat dan bisa beraktivitas normal. Benar-benar sehat dan normal. Tidak
ada pantangan yang harus dianut.
Satu-satunya peringatan hanyalah menjaga diri dari potensi menularkan virus yang mediumnya
hanya ada tiga ini, yaitu darah, cairan kelamin, dan air susu ibu. Baiklah, kita revisi kata “tidak ada
pantangan” tadi. Orang dengan HIV punya pantangan, tapi tidak membuat horor.

Penderita HIV dilarang untuk berhubungan seksual tanpa kondom, menyusui bayi, serta
memungkinkan kontak darah-dengan-darah kepada orang yang sehat. Dengan terapi prevention of
mother-to-child transmission (PMTCT), penderita HIV bahkan masih bisa memiliki anak tanpa
menularkan virus tersebut kepada pasangan dan anaknya.

***

Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bekerja
selama bertahun-tahun untuk menekan angka HIV Aids di Indonesia. Ini sejenis kerja dalam diam
yang memang tidak seksi untuk di-blow up di media massa. Setidaknya kalah dari isu kesehatan
mayor seperti imunisasi dan rokok. Betapa pekerjaan ini berat dan lama bisa dilihat dari kerasnya
usaha petugas kesehatan dan penyuluh untuk berkampanye mengajak dan merayu orang agar
sukarela mengikuti tes deteksi HIV.

Usaha-usaha KPAN dan Kemenkes kadang bahkan diadang tembok. Dengan alasan moral dan tafsir
agama, bukan sekali dua kali KPAN dan Kemenkes menerima penolakan publik. Ini bisa tampak dari
tiga kasus.

Pertama, penutupan lokalisasi. Sebut saja kasus penutupan lokalisasi terbesar di Indonesia, Dolly di
Surabaya, 2014 lalu.

Sambil menangis, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjelaskan di acara bincang-bincang televisi
“Mata Najwa bahwa Dolly adalah penyakit sosial yang menyiksa nuraninya. Tak ada jalan lain
menurut Risma, Dolly harus ditutup.

Masalahnya, menurut laporan media,7 setahun setelah ditutup, nyatanya aktivitas transaksi seksual
di Dolly masih berlangsung. Bedanya, kini wanita penjaja seksual (WPS) bekerja tanpa mucikari dan
tidak melayani di dalam lokalisasi, melainkan di penginapan di luar Gang Dolly. Penutupan ini justru
menjadi kontraproduktif bagi usaha aktivis HIV Aids. Mereka jadi sulit mengedukasi dan mendata
pekerja seksual eks-Dolly karena pekerjanya terpencar dan menyebar, tidak terkumpul di satu
tempat lagi.

Padahal, perlu bagi petugas lapangan agar ada titik-titik kumpul bagi populasi kunci (istilah yang
dipakai untuk menyebut kelompok yang paling berisiko terkena HIV Aids). Tujuannya, supaya
mereka mudah didatangi. Di titik-titik berkumpulnya populasi kunci, petugas bisa mengimbau
penggunaan alat pengaman, menghitung angka pekerja dan pelanggan, dan terutama: mengadakan
tes deteksi HIV sehingga WPS yang terjangkit bisa segera diobati dan dijaga untuk tidak menularkan
penyakitnya.

Lalu tentang sosialisasi kondom.

Kemenkes memang aktif mengampanyekan pemakaian kondom untuk meningkatkan kesadaran


perilaku seks yang aman kepada masyarakat. Caranya termasuk dengan membagikan kondom secara

7
https://www.rappler.com/indonesia/114539-lokalisasi-dolly-tutup-hiv-meningkat
gratis di event-event publik. Tapi, ada tentangan keras pada kebijakan ini dengan argumen,
melegalkan kondom sama saja melegalkan seks di luar nikah. Debat ini umumnya masuk terkait
dengan tafsir agama. Bahkan hingga hari ini, Takhta Vatikan masih menganggap penggunaan
kondom sebagai tindakan amoral.

Padahal, kondom sejauh ini adalah alat ampuh untuk mencegah HIV Aids dan penyakit menular
seksual (PMS) berpindah. Pemerintah dan aktivis memang mengajak masyarakat untuk mengubah
perilaku, justru itulah tujuan besarnya. Tapi, sembari proses itu berjalan, harus ada pilihan
pencegahan HIV menular, dan kondom menjadi satu-satunya jawaban. Kendala lain, bagi pengguna,
ada anggapan bahwa memakai kondom membuat hubungan seksual tidak nyaman.

Ketiga, kembali ke perkara LGBTQ. Kelompok gay termasuk yang berisiko tinggi tertular HIV dan
terjangkit penyakit menular seksual. Sepanjang 1987 sampai 2016, dari 30 ribu orang pengidap Aids,
sebanyak 2,4 persen di antaranya tertular lewat aktivitas seksual lelaki dengan lelaki. Selain itu,
antara 2010-2014, ada kecenderungan kenaikan angka infeksi HIV pada kelompok ini, di saat angka
infeksi di kelompok pengguna narkoba suntik justru menurun.

Tapi, sentimen anti-LGBTQ yang makin keras justru membuat penjangkauan dan deteksi dini HIV
Aids pada orang homoseksual sangat sulit. Pasalnya, tahun-tahun belakangan, razia dan persekusi
terhadap orang homoseksual tengah tinggi-tingginya. Seperti yang terjadi di Aceh Desember 2017
ketika tujuh orang waria ditangkap satpol PP, salah satunya ditangkap saat sedang makan di tempat
umum. Bukan cuma persekusi, menunjukkan dukungan pada hak LGBTQ juga rentan mengundang
serangan. Lima tahun terakhir, tercatat muncul seruan boikot sejumlah perusahaan seperti aplikasi
perpesanan LINE, media sosial Facebook, dan gerai kopi Starbucks karena ketiganya menyatakan
pro-LGBTQ. Menurut laporan media, aksi-aksi diskrimiasi tersebut membuat orang homoseksual
enggan membuka jati diri dan mengakses layanan kesehatan karena khawatir dengan keselamatan
diri.8

Dengan segala tantangan tersebut, kerja pencegahan penularan HIV Aids terus berjalan. Selama
bertahun-tahun, fokus besarnya mengarah kepada populasi kunci yang paling berisiko, yakni wanita
penjaja seksual, kelompok homoseksual, dan pengguna narkoba suntik. Belakangan, setelah
menyadari bahwa ibu rumah tangga adalah kelompok yang selama ini justru paling banyak masuk ke
fase Aids, fokus kerja mengatasi HIV bertambah. Buku ini akan mengisahkan salah satu cara yang
dipilih pemerintah untuk menekan angka infeksi HIV pada ibu rumah tangga.*

8
https://www.vice.com/id_id/article/599m48/maraknya-penangkapan-lgbt-bikin-penanganan-hivaids-
bertambah-berat
Pada Januari 2016, sebuah program pencegahan dan penanggulangan HIV-Aids skala nasional
diluncurkan oleh kolaborasi tiga lembaga: Komisi Penanggulangan HIV-Aids Nasional (KPAN),
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia, dan Yayasan Spiritia, dengan lembaga
internasional Global Fund sebagai penyandang dananya. Program ini khusus menyasar pada laki-laki
yang bekerja di pelabuhan laut.

Tingginya angka pengidap HIV-Aids di kelompok ibu rumah tangga adalah penyebab mengapa
program ini berfokus pada laki-laki yang bekerja di pelabuhan laut.

Dari analis data konseling dengan ibu rumah tangga yang didapati terinfeksi HIV, rata-rata virus itu
didapat dari suami mereka. Dalam studi HIV-Aids, laki-laki, atau persisnya lagi laki-laki berisiko tinggi
(LBT)9, adalah jembatan penular penyakit ini dari populasi kunci ke masyarakat umum.

Ketika populasi kunci terkumpul dan terpusat pada satu titik, semisal lokalisasi, lewat LBT yang
berkunjung ke prostitusi dan kemudian tertular, penyakit tersebut akan dibawa keluar. Pada kasus
lain, suami-suami yang menggunakan narkoba suntik juga membawa HIV ke rumah mereka.

Selama ini, penanggulangan dan pencegahan HIV-Aids di kalangan populasi kunci yang meliput
wanita pekerja seks, pengguna narkoba suntik, dan kelompok homoseksual sudah banyak dilakukan.
Tidak saja oleh institusi pemerintahan seperti puskesmas dan dinas kesehatan, tetapi juga lembaga
swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat. Tapi, pekerjaan itu akan sia-sia jika tidak dibarengi
dengan menyasar kelompok yang menjadi penghubung penularan penyakit dari populasi kunci ke
masyarakat umum, dalam hal ini mereka adalah LBT.

Dengan menyasar LBT, penularan melalui transmisi seksual (PTMS) diharap bisa ditekan.

Tapi, menjalankan program pencegahan pada LBT punya satu kendala yang tidak ditemukan pada
populasi kunci, yakni: Di mana petugas program bisa menemukan, mengedukasi, dan melakukan tes
HIV-Aids kepada mereka?

Menurut Staf KPA Nasional Muhammad Yusuf, meski LBT bisa dijumpai di lokalisasi, tetapi bukan
langkah taktis dan praktis untuk mengedukasi dan melakukan tes kepada mereka di sana. Situasinya
tidak kondusif, sementara edukasi dan tes deteksi HIV-Aids harus dilakukan sukarela alias, jika
mereka tak nyaman, mereka berhak menolak.

Alternatifnya adalah dengan menyasar tempat di mana LBT berkumpul, bukan cuma belasan atau
puluhan orang tetapi dalam skala besar agar jika program dilangsungkan di sana, bisa mencakup
jumlah besar. Syarat lain, tempat itu diatur dalam sebuah suatu hierarki koordinasi sehingga para
LBT yang berada di sana bisa dimobilisasi secara massal.

Dua syarat itu memunculkan pilihan pelabuhan laut.

Pelabuhan adalah pintu masuk manusia dari berbagai penjuru. Kepadatannya melebihi pelabuhan
darat dan udara. Sebagai salah satu pusat transaksi ekonomi dan berkumpulnya manusia, di banyak
kota di Indonesia, letak lokalisasi tak jauh-jauh dari pelabuhan laut. Ini berhubungan dominasi
tenaga kerja laki-laki di pelabuhan. Bisa dibilang, mirip dengan lokasi pertambangan atau konstruksi,
pelabuhan laut adalah satu tempat yang dipadati manusia dalam jumlah besar serta nyaris

9
LBT adalah istilah untuk laki-laki yang perilakunya mengandung risiko tertular HIV-Aids.
semuanya laki-laki. Ada prinsip bahwa HIV mudah ditemukan di suatu lokasi yang memiliki kriteria
4M, yakni man (laki-laki), mobile (berpindah-pindah), money (uang), macho (kejantanan). Kriteria itu
bisa ditemukan di pelabuhan laut.

Seberapa besar laki-laki yang bekerja di pelabuhan laut berisiko tertular HIV Aids? Survei
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku yang diselenggarakan Komisi Penanggulangan Aids Nasional pada
2014 di pelabuhan Semarang, Surabaya, Cirebon, Batam, dan Makassar menjawabnya.

Di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, 60% responden pekerja pelabuhan mengaku pernah
berhubungan seks dengan wanita penjaja seks tanpa memakai kondom.

Di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, 88% pekerja pelabuhan responden mengaku pernah
berhubungan seks dengan wanita penjaja seks, 68% di antaranya mengaku tidak menggunakan
kondom.

Di Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar, 79,2% pekerja pelabuhan responden mengaku pernah


berhubungan seks dengan wanita penjaja seks dan 92,9%-nya mengaku tidak konsisten memakai
kondom.

Dengan berbagai karakter pelabuhan laut dan manusianya, tempat ini ideal untuk disasar oleh
program HIV-Aids. Terlebih, pelabuhan laut adalah kawasan terbatas di bawah pengaturan
Kementerian Perhubungan. Instansi inilah yang menjadi juru kunci di pelabuhan, dan dalam konteks
program penanggulangan dan pencegahan HIV-Aids, pihak yang bisa menyukseskan usaha melawan
penularan HIV.

***

Tidak ada cara lain untuk mengetahui secara pasti seseorang memiliki HIV atau tidak selain lewat tes
darah. Tidak dengan melihat mimik mukanya, kondisi kesehatannya, kebiasaan buruknya, apalagi
status Facebooknya. Tapi, kondisi kesehatan atau kebiasaan buruk (yang lebih bijak disebut perilaku
berisiko) dapat menjadi tanda-tanda bahwa seseorang mungkin perlu melakukan tes deteksi HIV.

Jika Anda berkunjung ke rumah sakit dalam kondisi sakit tuberkulosis (TB) atau terinfeksi penyakit
menular seksual/PMS (kencing nanah, raja singa, dst.), Anda pasti akan disarankan untuk tes HIV.
Sebab, kedua jenis penyakit itu adalah indikasi seseorang berpotensi mengidap HIV.

Mudah untuk melakukan tes HIV di rumah sakit karena rata-rata fasilitas tes sudah tersedia. Lain
ceritanya jika Anda adalah awak kapal yang mungkin sebulan sekali menyentuh daratan. Kebanyakan
pelabuhan jauh dari rumah sakit dan kalaupun Anda mendapat izin turun kapal, mungkin
kesempatan itu lebih berharga dipakai untuk pelesir mencari hiburan selingan setelah terus-terusan
melihat air.

Sudah menjadi cerita umum bahwa awak kapal bergaji besar dan sebagian gajinya itu kadang dipakai
untuk mencari kesenangan pada perempuan penghibur karena kondisi mereka yang sering lama
berpisah dari istri. Cerita umum lainnya: awak kapal rentan terkena penyakit kelamin dan mereka
lebih suka mengobatinya sendiri dengan obat dari apotek.

Pengalaman seperti itu membentuk kerangka pikir program penanggulangan dan pencegahan HIV-
Aids di pelabuhan. Mengapa pekerja pelabuhan sering tidak mengobati penyakit (kelamin) mereka?
Kemungkinan besar karena tidak ada layanan kesehatan yang mudah dijangkau dan menyediakan
pengobatan untuk penyakit tersebut. Pertanyaan itu lalu dibawa mundur: Mengapa sampai sakit
kelamin?

Kemungkinan besar karena berhubungan seksual tanpa memakai kondom.

Pertanyaan dibawa mundur lagi: Mengapa tidak memakai kondom?

Bisa karena tidak sadar kondom penting atau tidak bisa membeli.

Kenapa tidak sadar atau tidak membeli?

Karena tidak ada yang edukasi soal pentingnya seks yang aman dan tidak ada akses untuk mendapat
kondom.

Lalu bagaimana mengatasinya? Dari pertanyaan yang bergerak mundur tadi, konseptor program
maju kembali. Bagaimana menyediakan edukasi dan akses pada kondom?

Harus ada tim yang siap sedia untuk membagi informasi dan akses kondom.

Berhubung pelabuhan laut adalah kawasan terbatas, tidak bisa tidak, pemangku kebijakan di wilayah
ini harus diajak bekerja sama. Poin keterlibatan pemangku kebijakan di pelabuhan adalah salah satu
titik tekan program ini. Jika ingin program ini sukses, pihak yang punya kuasa untuk
mengoordinasikan para pekerja pelabuhan harus digandeng,

Jika informasi dan alat penunjang sudah disiapkan, harapannya LBT di pelabuhan akan berubah
perilaku. Selemah-lemahnya iman ialah dengan membiasakan diri menggunakan pengaman saat
berhubungan seks berisiko. Sedangkan sebaik-baiknya perilaku adalah dengan berhenti
berhubungan seksual dengan pasangan tidak resmi.

Selain informasi dan layanan kontrasepsi, sebuah layanan kesehatan untuk mendeteksi penyakit
menular seksual dan HIV juga harus ada.

Sebuah alur kerja program kemudian disusun oleh tiga pihak dalam kolaborasi program
penanggulangan dan pencegahan HIV-Aids di pelabuhan tadi. Kemenkes, KPAN, dan Yayasan Spiritia
—yayasan ini yang memfokuskan diri pada pendampingan orang dengan HIV-Aids dan orang yang
hidup dengan HIV-Aids. Ketika ditetapkan bahwa program ini akan dilaksanakan di 24 pelabuhan di
Indonesia, masing-masing lembaga tersebut mulai membuat koordinasi kerja dengan lembaga-
lembaga perpanjangan tangan mereka di berbagai kabupaten.

Sesungguhnya, tim ini tidak bekerja dari nol. Sebuah program pendahuluan yang disebut pilot
project sudah dijalankan selama setahun, pada Oktober 2014 hingga Desember 2015. Pilot project
itu dan program selanjutnya mirip dalam banyak hal, yakni:

1. sama-sama berfokus pada pekerja laki-laki di pelabuhan,


2. sama-sama melibatkan pemangku kebijakan di pelabuhan.

Kedua program itu juga memiliki perbedaan.


Pertama, ada pada durasi. Pilot project berdurasi satu tahun. Sementara program selanjutnya
dilaksanakan selama dua tahun).

Kedua, skup pilot project mencakup 5 pelabuhan besar di Indonesia, di program selanjutnya meluas
menjadi 24 pelabuhan).

Ketiga, pelaksana fungsi koordinasi di daerah pada pilot project bukanlah Komisi Penanggulangan
Aids di Kabupaten/Kota, melainkan lembaga swadaya masyarakat. Di program selanjutnya, kesemua
pelaksananya adalah KPA Kabupaten/Kota.

Keempat, penyandang dana pilot project adalah Family Health International, sedangkan di program
selanjutnya adalah The Global Fund.

Bermodal dari apa yang telah dirintis oleh pilot project selama setahun, tiga lembaga tersebut
bergerak dalam tiga jenis pekerjaan. Kemenkes mengoordinasikan fungsi pelayanan kesehatan. KPA
Nasional menggordinasikan fungsi komunikasi antarlembaga dan penyuluhan. Yayasan Spiritia
mengoordinasikan fungsi pendampingan pada ODHA yang ditemukan dalam program ini.

Oleh Kemenkes, yang mula-mula dilakukan adalah membuat agar Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP)
siap melakukan tes deteksi HIV Aids secara jemput bola (nanti akan jamak disebut mobile VCT atau
tes VCT yang bergerak).

Layanan kesehatan di dalam wilayah pelabuhan, entah darat, laut, maupun udara memang tidak
dilayani oleh puskesmas yang menginduk kepada dinas kesehatan di masing-masing kabupaten.
Penanggung jawab kesehatan di wilayah pelabuhan adalah KKP.

Sebuah tim yang siap bergerak jemput bola melakukan tes deteksi HIV dibentuk di masing-masing
KKP yang terhubung dengan program ini. Tim ini terdiri dari lima orang, yakni 1 oang konselor yang
melakukan konseling sebelum dan setelah tes HV, satu orang dokter yang melakukan prosedur tes
HIV, satu orang perawat yang membantu dokter, satu orang analis laboraturium yang melakukan
analisis tes HIV, dan satu orang tenaga pencatatan administratif. Tim ini nanti akan disebut sebagai
tim mobile VCT10.

Jika koordinasi Kemenkes kepada KKP menyangkut teknis pelaksanaan tes, dengan dinas kesehatan
di masing-masing kota atau kabupaten, Kemenkes melakukan koordinasi penyaluran logistik tes HIV.

Pada KPA Nasional, tugas pertamanya adalah membuat kesepakatan kerja sama berupa
memorandum of understanding (MoU) dengan Komisi Penanggulangan Aids Provinsi tempat
program berlangsung. Setelah itu, KPA Provinsi yang akan membuat MoU dengan KPA
Kabupaten/Kota. Pengurus KPA Kabupaten/Kota kemudian mencari pengelola program (PP) yang
nanti menjalankan program ini. Rekrutmen PP dilakukan lewat mekanisme lowongan terbuka untuk
umum.

10
VCT adalah singkatan dari voluntary counseling and testing. VCT adalah salah satu prinsip yang dipakai ketika
seseorang melakukan tes kesehatan. Prinsip ini berarti, seseorang melakukan tes atas kesukarelaan
(voluntary). Sebenarnya VCT bukan istilah khusus untuk tes HIV, tetapi istilah tes VCT akan akrab dipakai dalam
program ini dan pada layanan tes deteksi HIV secara umum.
Jika sudah didapat, pengelola program ini yang akan bertugas (1) membuat kesepakatan kerja sama
dengan unsur-unsur di pelabuhan untuk bersama-sama mengerjakan program ini dan (2) merekrut
penyuluh atau peer educator (PE, penyuluh sebaya) yang nantinya menjadi petugas lapangan.

Lembaga terakhir, Yayasan Spiritia, mengontak jejaringnya di daerah untuk menjadi partner dalam
program ini. Lembaga-lembaga partner Spiritia di daerah yang akan bekerja mendampingi pasien
positif HIV yang ditemukan lewat program ini. Pendampingan itu berupa dukungan moral, dukungan
informasi, dan bantuan mengakses layanan kesehatan dan obat-obatan.

Pada Januari 2016, konsep ini sudah siap dan telah diteruskan ke masing-masing dari 24 daerah
lokasi program, yang meliputi,

1. Medan, Sumatera Utara


2. Padang, Sumatera Barat
3. Palembang, Sumatera Selatan
4. Jambi, Jambi
5. Batam, Batam
6. Dumai, Riau
7. Bandar Lampung, Lampung
8. Jakarta Utara, DKI Jakarta
9. Cilegon, Banten
10. Cirebon, Jawa Barat
11. Semarang, Jawa Tengah
12. Cilacap, Jawa Tengah
13. Surabaya, Jawa Timur
14. Banyuwangi, Jawa Timur
15. Pontianak, Kalimantan Barat
16. Samarinda, Kalimantan Timur
17. Banjarmasin, Kalimantan Selatan
18. Denpasar, Bali
19. Bitung, Sulawesi Utara
20. Palu, Sulawesi Tengah
21. Parepare, Sulawesi Selatan
22. Makassar, Sulawesi Selatan
23. Ambon, Maluku
24. Jayapura, Papua

Program penanggulangan dan pencegahan HIV-Aids berlangsung di pelabuhan-pelabuhan kedua


puluh empat kabupaten dan kotamadya tersebut, berlangsung dari Januari 2016 hingga Desember
2017.

Program ini memang dirancang secara nasional. Ada standar pelaksanaan yang dilaksanakan
serentak dari Medan sampai Jayapura. Namun, yang bisa disaksikan setelah dua tahun program
berjalan, masing-masing daerah memiliki peluang dan tantangannya sendiri. Bab selanjutnya akan
merangkum bagaimana program ini dimulai, berlangsung, mendapat tantangan-tantangan, dan
ditanggapi oleh orang-orang yang mengerjakannya.*
Pertengahan November 2017, saya dan Muhammad Yusuf, koordinator nasional program pelabuhan
ini datang ke Banyuwangi. Di bandara Banyuwangi, kami dijemput dua orang lelaki.

Mengikuti melihat wajah Yusuf dari pintu kedatangan, keduanya langsung menyapa hangat. Saya
lalu berkenalan. Yang berkacamata dan punya tahi lalat di dagu adalah Tunggul Herwanto, lelaki satu
lagi yang memakai topi bernama Hariyanto.

Kami digiring ke parkiran, naik Kijang Super cokelat yang disopiri Tunggul. Dari bandara Banyuwangi,
mobil melaju mencari tempat makan siang di tengah kota. Baliho-baliho pencalonan Saifullah Yusuf
dan Azwar Anas, bupati Banyuwangi, di pilgub Jawa Timur 2018 selang-seling sepanjang perjalanan.

Sepanjang perjalanan ke pusat kota, mereka bertiga langsung berbincang akrab. Mereka memanggil
Yusuf “cap”, kependekan dari captain. Sungguh panggilan yang sangat maritim, batin saya, teringat
bahwa mereka terhubung karena program pelabuhan.

Tunggul adalah pelaksana program (PP) pelabuhan Banyuwangi. Selama tiga hari ia mengantar kami
ke mana-mana. Mencari makan, mengantar ke hotel, menjemput lagi besok paginya, mengantar
pulang kembali, dan seterusnya. Setelah tahu bahwa selain sibuk mengurusi program HIV-Aids di
siang hari ia masih mengurusi taman baca di rumahnya pada malam hari, saya sampai berpikir
bahwa ia tidak pernah tidur.

Bukan staf tetap KPA Kota Banyuwangi, Tunggul bergabung dengan program ini lewat rekrutmen
terbuka. Ia masuk sejak April 2016. Sebelumnya ia bekerja di lembaga swadaya masyarakat yang
bergerak salah satunya di isu HIV-Aids bernama Kelompok Kerja Bina Sehat (KKBS). Sebelumnya lagi
ia kuliah di sekolah perawat, ia masuk kuliah tahun 2005.

Sebagai PP, Tunggul menjadi orang pertama yang harus “buka hutan” ketika program dimulai di
Banyuwangi. Pekerjaan pertamanya “mengadvokasi ke unsur maritim”. Ini kata yang sering dipakai
orang-orang program ini. Maknanya, pendekatan kepada pemegang kebijakan yang berkaitan
dengan program dan berkedudukan di pelabuhan. Unsur maritim bisa siapa saja, mulai dari Kantor
Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (instansi di bawah Kementerian Perhubungan yang berjurisdiksi
di pelabuhan), PT Pelindo yang menjadi pengelola pelabuhan bongkar muat, PT Pertamina yang
memiliki galangan bongkar muat di pelabuhan Banyuwangi, PT ASDP Ferry Indonesia yang mengelola
kapal-kapal penyeberangan Jawa-Bali, sampai kepada ketua paguyuban pedagang asongan, tukang
ojek, polisi air, dan TNI Angkatan Laut yang bertugas di dermaga.

Mengadvokasi unsur maritim adalah pekerjaan tidak mudah. Tunggul jelas sudah akrab dengan isu
HIV-Aids, tapi dengan lingkungan pelabuhan yang berjarak 10 kilometer dari pusat kota? Ini bukan
“wilayah kekuasaannya”. Tunggul harus mengatur strategi. Itulah awal terlibatnya Hariyanto.

Hariyanto adalah teman kerja Tunggul di KKBS. Sejak kecil ia sudah nongkrong di pelabuhan LCM
(Landing Craft Machine). Bisa dibilang, Hari, begitu sapaannya, adalah orang pelabuhan. Saat SD,
Hari bocah penyelam yang melakukan atraksi memungut uang logam yang dilemparkan orang ke air.
Orang Banyuwangi menyebutnya anak logam. Ia juga pernah menjadi pedagang asongan di atas feri.

Hari punya banyak kenalan di pelabuhan, teman-teman lamanya, terutama para pengojek dan
pengasong. Di pelabuhan LCM yang ditongkrongi banyak wanita penjaja seksual (WPS), pengojek
kerap dimintai tolong untuk mengantar WPS yang sakit.
“Sempat jadi perdebatan, soalnya asongan nggak masuk juknis (petunjuk teknis) sebagai sasaran
program. Tapi, kami butuh mereka untuk terhubung dengan tokoh (di pelabuhan). Dan ini berhasil
karena asongan punya paguyuban yang punya link dengan pemerintah desa Ketapang dan ASDP
(perusahaan pengelola pelayaran feri),” jelas Tunggul.

Masuk lewat paguyuban pengasong adalah salah penyesuaian program yang dilakukan Tunggul.
Berkat bantuan Hari, Tunggul berharap bisa mendapat informasi yang untuk memetakan tokoh-
tokoh kunci di sana.

Sembari melakukan pendekatan kultural, Tunggul juga mulai mendatangi instansi-instansi di


kawasan ini. Masa-masa inisiasi program ia kenang sebagai fase paling sulit dan menguras tenaga. Di
kantor dan perkumpulan-perkumpulan pekerja pelabuhan, ia harus memperkenalkan program HIV-
Aids tersebut.

Tapi, yang terutama harus ia tembus adalah Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas
II Banyuwangi. Tunggul punya misi utama untuk menggaet semua unsur maritim dan membuat
mereka bersepakat membentuk sebuah kelompok kerja (pokja) penanggulangan dan pencegahan
HIV-Aids di pelabuhan Banyuwangi. Apabila KSOP sudah seiya, dengan restu kantor ini, mengajak
kantor lain dan perusahaan-perusaahaan di lingkungan pelabuhan akan lebih mudah.

Pembuka jalan seperti Tunggul punya satu bekal surat sakti yang bisa dipakai untuk meloloskan
masuknya program ini. Surat sakti itu adalah Instruksi Menteri Perhubungan Nomor 5 Tahun 2005
tentang Tim Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di Lingkungan Departemen
Perhubungan yang dikeluarkan di era Menteri Hatta Radjasa. Instruksi Menteri ini memerintahkan
pembentukan tim penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di lingkungan
Departemen Perhubungan (sekarang Kementerian Perhubungan). Tim itu nantinya akan bertugas
menyebarkan informasi tentang penanggulangan HIV/Aids, bekerja sama dengan instansi lain dalam
tugas itu, dan mengimbau BUMN dan usaha lain di sektor transportasi untuk menyukseskan program
penanggulangan HIV/Aids.

Pada Mei 2016, Tunggul menyelesaikan tugasnya untuk menginisiasi pembentukan pokja pelabuhan.
Unsur-unsur maritim itu berkumpul dan membuat struktur, dari ketua sampai anggota. Yang
didaulat sebagai ketua adalah KSOP. Kesepakatan ini diresmikan dalam bentuk surat keputusan (SK)
yang ditandatangani oleh kepala KSOP.

Setelah pokja terbentuk, ia meminta masing-masing lembaga anggota pokja mengirimkan dua orang
anggota mereka untuk dilatih sebagai peer educator—petugas lapangan yang melakukan
penyuluhan tentang HIV-Aids kepada pekerja pelabuhan sasaran program. Orang-orang dikirimkan,
pelatihan peer educator (PE) digelar KPA Kota Banyuwangi.

Tapi, PE dari internal pelabuhan tidak cukup efektif. Kerangka nasional program ini memiliki target
jumlah pekerja pelabuhan yang telah menerima sosialisasi dan melakukan tes HIV. Target itu dibagi
dalam empat semester. Dalam satu semester, mereka punya jumlah yang pasti berapa orang yang
harus sudah dijangkau dan dites.

Untungnya, ada skema lain. Program mensyaratkan dua macam PE: PE internal pelabuhan dan PE
eksternal pelabuhan. Selain sebagai PP, Tunggul juga merupakan PE eksternal pertama dalam tim. PE
keduanya Hariyanto. Setelah mereka, PE-PE eksternal lain direkrut. Berturut-turut adalah Abdilla,
Alfaur Rosidin, Mila Lianawati, Ali Asikin, dan Deby Setiawan.

Dengan menghitung Tunggul sendiri, kini ada tujuh orang yang berada di tim Tunggul. Lima orang
diambil dari tempat kerja lamanya, KKBS. Sedangkan Mila adalah pegiat HIV dari komunitas Raung
Community. Hanya Deby yang dilatih dari nol untuk menjadi PE.

Setiap semester, para PE bergerilya menjangkau pekerja-pekerja pelabuhan untuk memenuhi sekian
ribu target orang. Ada kalanya mereka membuat janji dengan manajemen satu instansi lalu
mengadakan sesi penyuluhan di dalam lingkungan kantor, di lain waktu mereka naik ke kapal-kapal
yang baru merapat, kadang mereka ikut berlayar dengan feri Banyuwangi-Bali bolak-balik dan
selama itu, memberi penyuluhan di atas air.

Semua kegiatan jangkauan akan dicatat pada satu formulir dan kemudian dilaporkan ke Tunggul.
Tunggul menyalin ulang data itu ke pangkalan data online. Di database ini, jumlah jangkauan, detail
jenis kelamin, usia, alamat, dan pekerjaan dikumpulkan dari seluruh Indonesia. Dengan sistem
tersebut, dari kantornya di Jakarta, “Captain” Yusuf memantau perkembangan tim di 24 kabupaten
dan kota. Di waktu-waktu tertentu, Yusuf akan datang ke lokasi program, bergilir dari satu kota ke
kota lain, untuk merembukkan apa saja yang dialami tim. Itulah yang dilakukan Yusuf di Banyuwangi
kali ini.

Selama di mobil, mereka bertiga membincangkan pekerjaan, makanan-makanan khas Banyuwangi,


dan kemudian festival.

Kata Tunggul, Banyuwangi tengah mem-branding diri sebagai kota seribu festival. Tiada hari tanpa
festival. Kami bisa lihat, di tengah kota, baliho-baliho promosi festival bertebaran.

“Eh, Mas, saya itu lihat ada info festival ABK. Wah ini kesempatan, nanti mau saya datangi, mau tak
VCT semua,” timpal Hari.

“Tapi, Mas,” lanjut Hari lagi, “ABK itu kalau festival ngapain? Apa iya mau dikumpulkan gitu? Lalu
acaranya ngapain, ya?”

Tunggul bukannya menjawab, malah tertawa.

“Mas Hari, festival ABK bukan ABK anak buah kapal, tapi itu lho, anak berkebutuhan khusus.”

Saya dan Yusuf langsung ngakak. Mungkin ini akibat terlalu bersemangat mengejar target.

***

Ada dua jenis pekerjaan lapangan di program pelabuhan. Pertama, memberi informasi dasar
mengenai HIV Aids kepada pekerja pelabuhan. Kedua, melakukan tes HIV. Tugas ini dibagi dua
antara tim KPA dan tim Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Tugas pertama ditangani tim KPA, kerja
kedua dilakukan tim KKP.

Untuk tugas pertama, PE-lah ujung tombak di lapangan.

Program menggariskan harus ada dua jenis PE, dari internal pelabuhan dan dari luar pelabuhan. PE
dari dalam pelabuhan biasanya masih awam dengan isu HIV-Aids. Mereka dilatih untuk bisa
menyampaikan informasi HIV-Aids kepada rekan-rekan kerja mereka. Pelatihan itu diadakan oleh
KPA setelah pokja terbentuk.

Konsep PE internal ialah jika yang menyampaikan adalah rekan sebaya (peer) dari pekerja
pelabuhan, proses edukasi pasti akan lebih natural. Sementara PE eksternal pelabuhan yang bukan
pekerja pelabuhan jelas akan berjarak dan butuh waktu untuk melakukan pendekatan psikologis
dengan orang-orang pelabuhan. Idealnya, dua macam PE ini berjalan semua.

Tunggul menghadapi kenyataan PE-PE internal tak bisa secekatan yang dibayangkan. Mereka tak
bisa dibebani target karena punya pekerjaan sehari-hari yang pasti akan lebih diprioritaskan. Untuk
mengatasi itu, tim Tunggul menumpukan kekuatan pada PE eksternal.

Enam orang PE eksternal dalam tim Tunggul yang kemudian lebih banyak bergerak menjangkau
pekerja pelabuhan. Untungnya, tim ini solid.

Lima dari enam orang PE eksternal punya pengalaman di LSM atau komunitas peduli HIV Aids. Ali
Asikin bahkan terhitung veteran, sudah 12 tahun menjadi petugas lapangan pendamping wanita
penjaja seksual (WPS) di KKBS. “Insyaallah, WPS dari Ketapang sampai Pulau Merah (jaraknya hampir
100 kilometer), saya kenal semua,” kata Ali membanggakan reputasinya.

Jadi, pekerjaan ini tidak asing lagi bagi mereka.

Yang juga membuat mereka solid adalah keakraban. Abdilla (Dilla), Alfaur Rosyidin (Diding), Ali Asikin
(Ali), Hari, dan Tunggul sendiri adalah eks LSM yang sama, KKBS. Jika semuanya bertemu, mereka
bercanda tak habis-habis. Debby yang sering jadi sasaran karena ia yang paling muda.

“Coba sini lihat kuku, Deb,” kata Hari saat mereka berkumpul suatu sore.

Debby mengulurkan jari-jarinya ke depan, ke hadapan Hari.

“Kan!” Hari langsung ngakak.

Kata Hari, seorang laki-laki sejati saat diminta melihat kuku, akan mengepalkan tangannya ke arah
mukanya sendiri. Kalau laki-laki “melambai”, dia akan mengulurkan jari-jari ke depan, seperti gaya
perempuan.

“Ada potensi LSL dek e (dia),” kata Nurul, istri Hari, sambil tertawa. Bagi orang-orang LSM ini, LSL
atau laki-laki seks dengan laki-laki merujuk pada gay. Debby yang wajahnya kinclong sendiri diejek
gay habis-habisan. Karena Debby malah tertawa-tawa, tampaknya candaan itu sudah berlangsung
lama.

“Mas Hari ini banyak yang suka, sering diincar gay,” ujar Nurul sambil melirik Hari yang cengengesan.
Di KKBS, Hari memang sering berinteraksi dengan kelompok homoseksual. Ia petugas lapangan
pendamping LSL.

Kali ini Diding yang menyahut, “Secara gitu lho, Mbak, suami sampean itu laki banget!”

“Dari mananya?” sergah Nurul. Hari makin cengengesan.


“Sudahlah, Mbak, suami Mbak itu memang laki banget. Kalau ngomongin seks, ibaratnya
imajinasinya tinggi. Itu anak-anak homo lho yang ngomongin,” kata Diding.

“Ada temenku, dia guru. Dari SMP memang sudah gay,” ujar Nurul, “Suatu hari dia datang ke rumah
mau ketemu aku. Tak tinggal sebentar, tak suruh ngobrol sama Mas Hari. Eh, besoknya dia datang
lagi, nanyain aku. Kayaknya dia ngarep lebih.”

“Ha-ha-ha! Cemburu ning lanang (cemburu sama laki-laki)!” sambar Diding.

“Heh, ojo macem-macem!”

Nurul Qomaria, istri Hari, bukan bagian dari tim ini, tapi mengenal mereka semua karena ia juga
bekerja di KKBS. Karena pembawaannya yang ramah dan jenaka, perempuan ini sering dimintai
tolong untuk menjadi pendamping di program pelabuhan.

Suatu kali, tes HIV di pelabuhan menemukan satu anak buah kapal (ABK) yang positif HIV. Oleh
dokter KKP, pemuda ini kemudian disambungkan dengan Nurul. Untuk jadi teman curhat. Tak
berapa lama, pemuda ini harus berlayar kembali, meninggalkan pelabuhan Banyuwangi.

“Tiap malam dia telepon istri saya, Cap. Nangis-nangis,” kata Hari.

Nurul menjadi pendamping untuk satu orang lain yang ditemukan positif HIV lewat program
pelabuhan. Orang ini tinggal di Banyuwangi. Setelah acara kumpul-kumpul PE, Nurul berjanji
membawa kami bertemu dengannya.

***

Menuju rumah Pak S, orang yang hendak kami sambangi, harus menempuh jalan berliku. Begitu
kami tiba di rumahnya, ia dan istrinya tampak sudah menunggu. Kami datang berenam: saya, Yusuf,
Hari, Nurul, Tunggul, dan Cahyo Setiabudi, staf program dari Jakarta.

Informasi bahwa seseorang terinfeksi HIV harus dirahasiakan. Bahkan ketika dokter mendapati hasil
positif, ia harus menawarkan apakah pasien setuju didampingi orang seperti Nurul. Jika setuju,
pendamping akan membantunya mengakses obat di rumah sakit, membagi informasi dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan, dan menjadi tempat mencurahkan perasaan.

Pak S termasuk pasien yang terbuka. Ia tidak keberatan ketika Nurul menyampaikan permintaan
kami untuk bertemu dan berbagi cerita.

Begitu kami tiba di ruang tamu rumah itu, Pak S tengah duduk sambil memainkan ponsel. Istrinya
yang bertindak sebagai tuan rumah, sibuk menghidangkan soda dingin dan marning jagung yang
diambil dari warung di depan rumah. Begitu Ibu R selesai dengan kerepotannya, ia lalu duduk di
hadapan tamu dan langsung bercerita panjang lebar. Pak S lebih banyak diam dan hanya menimpali
sesekali.

Pak S pertama kali diketahui positif HIV saat mengikuti tes HIV massal dalam rangka peringatan Hari
Aids Sedunia pada 2016. Acara itu diadakan oleh tim HIV pelabuhan, berlangsung di Pelabuhan
Tanjungwangi, Banyuwangi. Saat acara itu, semua pekerja pelabuhan, termasuk Pak S, dikerahkan
untuk mengikuti acara penyuluhan dan tes HIV.
Menurut prosedur, jika seseorang yang positif telah menikah, pasangannya harus dites juga. Tiga
hari kemudian, Ibu R dipanggil puskesmas. Sebelum ke puskesmas, penjelasan dari Pak S kepadanya
hanya bahwa “Pak S sakit dan Ibu R harus diperiksa juga karena ada kemungkinan tertular”.

Hasil tes Ibu R negatif. Karena bingung, ia bertanya kepada dokter ihwal sakit suaminya. “Kalau sakit
gitu itu gimana sih? Kok bisa nular begitu? Apa karena capek kerja, Dok?”

Dokter kemudian menjelaskan kepadanya. HIV adalah virus penyakit yang ditularkan lewat darah
dan cairan kelamin. Bisa ketika orang ditato (lampirkan faktor risiko HIV saat konseling) dan jarum
yang digunakan tidak steril (jarum tersebut digunakan oleh pengidap HIV dan kemudian ada sisa
darah yang kemudian masuk ke tubuh orang sehat), bisa karena menggunakan narkoba suntik
dengan mekanisme penularan sama seperti jarum tato tadi, dan terakhir, ditularkan lewat hubungan
seksual langsung tanpa pengaman.

Berhubung Pak S tidak memakai narkoba suntik dan tidak bertato, Ibu R segera tahu dari mana
penyakit suaminya datang. Ia langsung dongkol setengah mati. Begitu bertemu suaminya, ia
memberondong.

“Heh, tidur sama siapa?!”

Suaminya tidak bisa berkelit.

“Namanya laki, Dek,” sahut suaminya lemah.

Ibu R orang yang supel sekaligus punya aura galak. Dalam istilah suaminya sendiri, Ibu R memberi
kesan menakutkan bagi orang yang baru mengenalnya, tetapi menyenangkan jika sudah akrab. Ia
punya kualitas khas stereotip ibu-ibu: tidak terlalu muda atau tua, sangat cerewet, bicara cepat dan
blak-blakan, lucu, sekaligus punya sifat ramah yang keterlaluan.

Setelah Ibu R menginterogasi suaminya tentang “tidur sama siapa” tadi, suaminya mengaku pernah
berhubungan dengan wanita penjaja seksual. Interogasi itu berjalan mendetail, menelusuri sampai
kepada nama si wanita dan di mana ia tinggal.

Dengan informasi dari suaminya, Ibu R datang ke lokalisasi bernama Warung Panjang, tak jauh dari
Pelabuhan Tanjungwangi, Banyuwangi.

“Tak (saya) cari perempuannya sama Ibu.” Ia menyebut dirinya ibu.

“Mau kububarkan itu Warung Panjang. Nggak takut, Ibu.”

Suasana di ruang tamu rumah Ibu R dan Pak S menjadi canggung. Kami berenam sungkan sendiri
karena Ibu R menggunjingkan suaminya yang juga duduk di situ.

Hari ambil inisiatif untuk mencairkan suasana.

“Saya dulu kayak gitu. Sekarang, ndak. Ampun.”

Kata-kata Hari baru habis, langsung disambar Ibu R.


“Terusin! Biar ada penyakit gitu. Biar. Siapa yang mau megang kalau udah ndak bisa dipegang?
Katanya lama-lama ndak bisa dipegang. Menular ya?”

Hari salah ambil langkah rupanya.

Tapi, kemudian Nurul menyambung kalimat Bu R tentang “ndak bisa dipegang” itu.

“Kata siapa, Bu?”

“Eh, di Ketapang itu ada lo, katanya tetangga ndak boleh dekat ya. Sampai meninggal. Dibungkus
dari rumah sakit pakai plastik itu (mayatnya). Iya ya, sungguhan itu?”

Nurul kemudian menjelaskan bahwa penularan HIV AIDS tidak melalui sentuhan maupun napas. Ibu
R menyimak, tapi kemudian mencari topik lain untuk memarahi suaminya lagi.

“Saya sering marah-marah bapaknya, ‘Biar, kalau sudah menjalar, siapa yang mau ngerumati
(mengurus)?”

“Ya, janganlah (ngomong begitu), Bu,” kata Nurul.

“Ya, biar! Biar nggak ke sana-sana lagi, gitu!”

Cerita Ibu R kembali lagi ke kisah pelabrakan di lokalisasi. Acara pelabrakan itu tanpa sepengetahuan
Pak S.

Kisah Bu R, “Perempuan itu bilang, ‘Saya sudah bertahun-tahun kenal sama Pak S.’ Ngomongnya gitu
sama Ibu. Ya Allah, (saya) langsung berdiri, sininya (bahunya) tak pegang sama Ibu. (Dia) diam
terusan.”

Ibu R juga tahu dari suaminya kalau Pak S berkenalan dengan perempuan itu via ponsel. “Ya, ketemu
di hape-hape. Goblok kan bapaknya, senjata makan tuan.”

Kali ini kami tak bisa sungkan lagi. Hari tertawa keras. Bagaimana lagi, meski kisah ini sesungguhnya
sedih, Ibu R bercerita dengan lagak yang komikal. Tangannya bergerak-gerak, nadanya naik turun.
Benar-benar tanpa tedeng aling-aling.

Suaminya sendiri akan diam setiap Ibu R bercerita. Menunduk.

“Ibu mikir dua kali, gimana caranya ngomong sama orang penyakit memalukan kayak gitu. Terus Ibu
kalau pulang (berpisah dari suaminya), siapa yang bayar utang?”

Bu R tidak meninggakan suaminya. Ia sampai hari ini masih di rumah. Mengelola rumah tangga dan
merawat suaminya. Sambil menyaksikannya bercerita, saya membayangkan diri saya sendiri ada di
posisinya dan malah jadi terharu, padahal baru sekadar membayangkan. Saya membatin, di balik
ceritanya yang bisa dianggap mempermalukan suami sendiri di depan orang lain ini, Bu R masihlah
orang supel yang baik.

Kata Bu R, setelah kedongkolan pada suaminya “habis”, ia mulai berpikir mencari obat “alternatif”
untuk penyakit Pak S.
Ia kemudian mendapat info, kabarnya perasan belimbing wuluh diicampur abu kayu bisa
menyembuhkan. Entah bagaimana ceritanya, ketika ramuan itu dihidangkan kepada suaminya,
suaminya juga memberi respons bagus.

“Saya enakan makan, Dek.”

Gara-gara komentar itu, Ibu R pun berburu belimbing wuluh dan terus-terusan membuat obat.

Tapi, belakangan ia dapat info lagi bahwa ramuan itu berguna mengobati sifilis. Dan ciri sifilis salah
satunya adalah sakit saat kencing.

“Kamu kencing ndak sakit?” ia bertanya kepada suaminya.

“Ndak.”

Astaga, Ibu R baru insyaf ia salah beri obat.

Sehari-hari Pak S bekerja sebagai sopir forklift di Pelabuhan Tanjungwangi. Forklift adalah
pengangkut barang seperti peti kemas saat bongkar muat kapal. Sudah sembilan tahun ia di balik
kemudi garpu pengangkat ini. Sebelumnya, ia bekerja sebagai sopir mobil sewaan dan menyambi
bekerja serabutan.

Ibu R senang dengan pekerjaan Pak S di pelabuhan. Ada musim-musim ketika pengiriman sedang
ramai dan Pak S bekerja lembur selama berbulan-bulan. Di masa seperti itu, biasanya Pak S akan
membawa pulang uang tambahan di luar gaji pokok. Rumah mereka yang saat ini dihuni, misalnya,
dibangun dari hasil tujuh bulan kerja lembur.

Kalau lembur di luar Banyuwangi, uang tambahannya bisa lebih banyak. Dua kali lipat gaji. Pernah
suatu kali saat masa ramai tersebut, suaminya pulang dan melempar plastik ke hadapannya. Isinya,
hadiah gelang emas. Di lain waktu, suaminya pulang dan memberi uang sembari berpesan, “Untuk
beli kalung.”

“Kejutan, ceritanya,” kata Ibu R sambil tertawa.

Hari ketika tes HIV itu adalah salah satu hari yang tak akan pernah Pak S lupakan. “Pas dikasih tahu,
nangis saya,” kenangnya.

Karena standar prosedur setelah peserta tes HIV dinyatakan positif adalah dirujuk ke rumah sakit
untuk melakukan tes lanjutan dan memeriksa kondisi kesehatan, Pak S ditawari oleh tenaga
kesehatan yang memberi tahu hasil tesnya, apakah ia mau didampingi pendamping penderita HIV
terlatih. Ia mengiyakan.

Selepas tes itu, ia dibawa dengan ambulan ke Rumah Sakit Blambangan. Di sana, ia menjalani tes
pengukuran jumlah sel darah putih dan rontgen dada untuk memastikan apakah ada komplikasi
penyakit lain.

Di RS Blambangan ia bertemu Nurul Qomaria, orang yang dijanjikan untuk menadi pendampingnya.
Hasil tes lanjutan menunjukkan kesehatan Pak S sangat bagus. Seminggu sebelum tes HIV di
pelabuhan, ia memang sempat demam tinggi selama empat hari, demam yang divonis dokter
sebagai akibat “kecapekan kerja”, tapi jumlah leukosit atau sel darah putih (yang berfungsi sebagai
pertahanan kekebalan tubuh) bagus dan tak ada indikasi tuberkolosi sebagaimana biasa ditemui
pada penderita HIV stadium lanjut.

Salah satu tugas Nurul sebagai pendamping adalah membantu Pak S mengurus pengambilan obat
anti-retroviral (ARV). Obat ini wajib dikonsumsi pengidap HIV untuk mempertahankan kekebalan
tubuhnya yang sudah digerogoti virus HIV. Ia mendapat dua jenis obat yang diminum dua kali sehari.

Ibu R mengenang saat pertama ia tahu suaminya terkena HIV. “Bikin malu kata Ibu kalau dengar
bapaknya kena kayak gitu waktu pertama, kalau sekarang tak bawa sambil gurau gitu. Kalau
pertama, Ibu malu, sumpah, malu sungguhan.”

Setahun sejak divonis mengidap HIV, kata Pak S ia tidak memiliki keluhan lain setahun terakhir ini,
kecuali sesekali muncul rasa mual dan sensitivitas lidah dalam merasa agak hilang. Keduanya
merupakan efek samping dari obat ARV yang Pak S konsumsi. Karena kehilangan rasa, ia juga
berhenti merokok karena sudah tidak merasa nikmat.

Di acara bertamu Magrib itu, Nurul Qomaria yang merupakan pendamping Pak S untuk pertama kali
bertemu Bu R. Sebelumnya ia cuma bertemu Pak S. Jika Nurul dan Pak S bertemu di rumah sakit, Bu
R tidak ikut serta. Malu, katanya.

“Ibu pernah ikut satu kali (mengambil obat ARV ke rumah sakit). Ibu sering diajak, ‘Ndak, saya malu,’
nanti disangka Ibu yang punya penyakit kayak gitu.”

Bu R kemudian berkonsultasi kepada Nurul tentang aturan konsumsi obat Pak S. Apakah obatnya
harus dikonsumsi di waktu yang sama setiap hari? Katakanlah selalu diminum pukul 7. Sebab, ia
bilang lagi, Pak S kerap terlambat minum obat.

Nurul kemudian menjelaskan bahwa obat sebaiknya diminum tepat waktu dan tidak pernah
terlewat. Saran yang sama pernah disampaikan Bayu, manajer kasus di RS Blambangan yang menjadi
langganan Pak S mengambil obat ARV. Kata Nurul, jika terlewat, apalagi sengaja dilewatkan dalam
jangka waktu yang panjang, kesehatan pasien bisa menurun. Dan bila hendak menyambung
pengobatan kembali, obat yang diberikan akan berbeda karena kesehatan pasien menurun. Dosisnya
akan semakin tinggi dan harganya lebih mahal.

“Tapi, itu bisa sembuh ya kayak gitu?” Ibu R menceletuk.

“Bisa sehat,” balas Nurul.

“O, bisa sehat thok, bukan bisa sembuh?”

“Ya, kan yang penting sehat, Bu.”

Lokalisasi Warung Panjang yang hendak dibubarkan Ibu R itu sesungguhnya memang sudah ditutup
pemerintah daerah Banyuwangi, tetapi sesungguhnya aktivitas diam-diam tetap berjalan. Dengan
wanita penjaja seksual di Warung Panjang, Pak S mendapat penyakitnya.

Ketika melabrak perempuan itu, Ibu R mendapat pengakuan bahwa suaminya membayar 500 ribu
untuk sekali transaksi. Dan katanya lagi, mereka memang cuma pernah berhubungan sekali.
Bu R mengulang kata-katanya saat suaminya bilang ia cuma pernah pernah jajan sekali, “Biar cuma
satu kali, kamu pokoknya yang bikin penyakit!”

Satu kali tapi bawa penyakit itu karena Pak S tidak menggunakan kondom pengaman. Menurut Pak
S, ia memang tidak ditawari menggunakan kondom oleh partnernya. Bisa jadi, ini ada hubungan
sebab akibat dengan penutupan lokalisasi di Banyuwangi.

Kata Yusuf, sebenarnya penutupan lokalisasi punya imbas tak begitu bagus untuk upaya pencegahan
penularan HIV Aids. Misal, jika dulu puskesmas bisa rutin datang ke sana untuk mengedukasi dan
menggelar tes HIV, kini karena di atas kertas lokalisasi sudah tidak ada, maka puskesmas tidak bisa
mendapat surat tugas untuk jemput bola melakukan penyuluhan di sana.

Selain itu, dengan ketiadaan lokalisasi sementara praktiknya sebenarnya masih berjalan, penjaja seks
tidak terlokalisir di satu tempat yang mudah dijangkau penyuluh dan dokter. Dulu, petugas lapangan
dari lembaga swadaya masyarakat bisa datang dan mengisi stok kondom agar selalu tersedia di
setiap kamar layanan dan mengedukasi penjaja seks untuk selalu meminta pelanggan memakai
kondom sebelum berhubungan.

Ada dugaan, jika partner Pak S memang orang yang sudah lama di bekas lokalisasi tesebut, harusnya
ia sudah tahu prosedur harus memakai kondom. Bahkan, jika ia memang benar orang lama, bisa jadi
ia sudah tahu bahwa ia positif HIV.

Ibu R tiba-tiba bertanya kepada Yusuf.

“Bisa ndak kalau dia habis sama orang lain, terus menular ke bapaknya?”

“Bisa.”

“Tapi, mbaknya tadi itu punya (HIV) juga ya?”

“Iya, pasti.”

Lalu tanpa diduga-duga, Ibu R justru menyatakan simpatinya. “Aduh, kasihan. Itu sana diperiksa,
namanya Bu Y. Kasihan, anaknya kecil-kecil….”

Kata Hari, suami Nurul, Ibu Y tersebut sudah ditangani oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan
Tanjungwangi. Ibu R lalu terdiam, kemudian mengatakan sesuatu yang membuatnya saya sekali
terharu.

“Kalau ndak ketemu (penyakitnya Pak S), rumahnya Ibu habis sudah.”

Kami terdiam.

***

Oktober 2017, saat sedang melakukan tugasnya berjaga di pos pintu masuk Pelabuhan Tanjungwangi
profil pelabuhan, Firman didatangi Dilla. Saat itu ada lima orang di pos sekuriti. Sambil mengobrol
santai, Dilla membagikan leaflet berisi informasi mengenai HIV Aids.
Firman pernah mendengar nama HIV Aids sebelumnya. Penyakit yang menular lewat hubungan
seksual dan susah diobati, pengatahuannya sebatas itu. Dilla kemudian memberi tahu bahwa
penularan HIV bisa dicegah dengan kondom.

Saat melakukan penyuluhan, PE biasanya membagikan leaflet agar orang bisa menyimak sambil
membaca. Kadang PE juga memberi kondom dan pelicin (lubricant) gratis. Kedua jenis logistik ini
disuplai dari KPA Nasional.

Menurut Hari dan kawan-kawan, saat penyuluhan, cara penularan dan tanda-tanda telah terinfeksi
adalah hal yang paling sering ditanyakan. Karena tahu PE membawa kondom gratis ke mana-mana,
kadang saat mereka bertemu kembali di pelabuhan, orang-orang yang pernah mendapat
penyuluhan ini meminta kondom lagi.

“’Oi, Pak! Kondom!’ gitu,” kata Hari menirukan.

Di kali lain, setelah penyuluhan, ada orang-orang yang meminta nomor telepon atau pin BBM.
Karena malu ada teman-teman, mereka memilih bertanya-tanya lebih lanjut lewat ponsel.

Mungkin karena merasa penyuluhan ini bermanfaat dan gratis, tidak sekali dua kali PE diberi buah
tangan sebelum pulang. “Kalau pas ketemu nelayan, biasanya dikasih ikan,” kata Hari.

“Tapi, saya nggak mau.”

“Kalau sosialisasi di ABK (di atas kapal), kaptennya kadang ngasih uang 100 ribu buat beli rokok.
Kalau ini saya mau, ha-ha-ha.”

Penyuluhan dengan nelayan terjadi jika mengunjungi pelabuhan ikan Muncar. Setelah menggarap
tiga pelabuhan utama, yakni pelabuhan bongkar muat Tanjungwangi dan LCM (Landing Craft
Machine) serta pelabuhan penumpang Ketapang, tim bergerak ke selatan Banyuwangi, ke pantai-
pantai yang banyak disandari kapal-kapal nelayan, seperti pantai Muncar, Rajekwesi, Blimbingsari,
dan Cemara.

“Ekspansi wilayah juga penting. Di juknis (petunjuk teknis), bunyinya hanya di wilayah Kecamatan
Ketapang (lokasi tiga pelabuhan utama). Tapi, bicara target, Banyuwangi punya garis pantai panjang
dengan mobilitas nelayan hampir dari dan ke seluruh Indonesia. Jadi, kenapa tidak (ekspansi)? Di
Muncar itu kalau musim ikan, (hasil uangnya) nggak hanya untuk memenuhi materi aja, tapi
kebutuhan biologisnya juga. Dan lokalisasi selalu ramai di musim ikan. Muncar kan pelabuhan
nelayan paling besar di Indonesia.”

Pantai-pantai itu banyak dikunjungi nelayan dari Pantai Utara Jawa. Menurut Hari, mereka banyak
menemukan nelayan-nelayan berusia 16 sampai 17 tahun yang sudah terkena penyakit menular
seksual. Sebagian besar nelayan dari Pekalongan.

***

Ketika kami bertemu Tunggul, program tinggal sebulan lagi sebelum berakhir. Selama hampir dua
tahun itu, ada dua tantangan besar yang mereka hadapi.
Pertama, masa-masa awal ketika merintis pokja. Ia harus sowan ke “unsur maritim” dan bersikeras
mengenalkan program. Setelah terbentuk tim pokja, ia berharap pokja bisa proaktif mengawal
program ini. Memberi evaluasi, memecahkan bersama hambatan di lapangan. Tapi, yang terjadi, KPA
dan KKP yang lebih banyak punya inisiatif untuk bergerak.

Meski sudah berbekal SK pokja yang disahkan Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan, mereka
masih menemui kesulitan menembus masuk beberapa perusahaan BUMN dan swasta. Urusan
administrasi berbelit dan makan waktu lama. Untuk mengejar target, tim memilih menyasar tempat-
tempat yang lebih mudah ditembus.

Kedua, PE internal tidak seideal yang dibayangkan. Untungnya, PE eksternal bisa menjadi tumpuan.

***

Saya sempat bingung harus memanggilnya siapa. Rekan kerjanya di KPA Kota Cirebon menyapanya
Joe—saya melihat cara menulis namanya di whiteboard kantor. Tapi, para PE menyebutnya Mbak
Yuli. Saat saya menanyakan yang mana namanya yang asli, ia malah membuat saya makin pusing
dengan bilang, “Kalau sama pekerja seks panggilannya beda lagi.”

Joe adalah PP program pelabuhan Cirebon. Penampilannya supertomboy: rambut cepak, bercincin
akik, dan kalau berjalan langkahnya lebar. Sikapnya supel dan ditambah dengan gaya androgininya,
Joe mudah membaur dengan laki-laki, jenis kelamin yang menjadi sasaran program yang ia tangani.

Ia pernah menjadi pekerja pabrik tekstil, penjaga konter ponsel, dan kemudian masuk LSM menjadi
petugas penjangkau pengguna narkoba suntik. Ia bilang ia punya banyak teman berkat hobi
nongkrong. Ketika ia masuk ke KPA Kota Cirebon pada 2015 dan terlibat di pekerjaan di pelabuhan
dan berurusan dengan laki-laki, Joe tidak dan tidak akan canggung karena “Sebelum di KPA, saya
sudah sering main di pelabuhan karena ada teman yang kerja di perusahaan di pelabuhan. Biasa,
bapak-bapak (saya berpikir, jadi teman yang dimaksud ini bapak-bapak?), suka nongkrong. Sama ABK
(anak buah kapal) saya juga sering nongkrong. Makanya, pas masuk pelabuhan, sudah biasa.”

Selesai dia bilang begitu saat kami bertemu di Cirebon awal Desember 2017, sebenarnya saya mau
mengacungkan jempol sambil bilang, “Mantap, Mbak!” tapi urung karena malu.

Berbeda dengan Banyuwangi, Cirebon sudah menjalankan program HIV-Aids pelabuhan sejak akhir
2015. Kota ini adalah satu dari lima wilayah yang menjadi lokasi pilot project setahun sebelumnya.
Cirebon adalah satu-satunya kota yang saat pilot project, pelaksananya adalah KPA Kota, bukan LSM.

Tapi, Joe menjadi PP barulah pada semester kedua 2017 setelah PP sebelumnya mengundurkan diri.

Dalam program ini, Joe dan timnya yang berjumlah tiga orang, yakni dirinya, satu orang koordinator
PE, dan satu orang petugas pencatatan, lebih banyak berurusan dengan teknis sosialisasi di
lapangan. Sementara urusan lobi birokrasi alias “advokasi unsur maritim” tadi, semua sudah
ditangani oleh Sekretaris KPA Kota Cirebon Sri Maryati.

Di bagian ini, Joe lebih “beruntung” dari Tunggul. Secara implisit, tim KPA Cirebon membagi kerja
dengan komposisi: lobi birokasi dikoordinir oleh Sekretaris KPA, jalannya program lapangan
dikoordinir oleh PP.
Sri lebih leluasa dengan urusan birokrasi, itu karena latar belakangnya. Sebelum menerima SK
sebagai sekretaris KPA, Sri adalah anggota DPRD dari fraksi PDIP periode 2004-2009. Ia bahkan sudah
menceburkan diri di isu kesehatan dan reproduksi sejak 2001. Sibuk adalah nama tengahnya. Saat
ini, sembari mengoordinir KPA Kota Cirebon, ia menyambi kuliah doktoral, menjadi sekretaris Komite
Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Cirebon, masih anggota di Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI), dan melakoni setumpuk kegiatan lain.

Mungkin kegiatan yang banyak itulah yang membuat Sri biasa bergerak cepat. Termasuk pada 2015,
ketika KPA Nasional mengabarkan Cirebon masuk pilot project HIV pelabuhan. Kata Sri, begitu ada
kepastian program berjalan, ia langsung meneruskan kabar tersebut kepada Ketua KPA Kota Cirebon
yang dijabat oleh Wali Kota saat itu. 11 Wali Kota kemudian mengadakan satu pertemuan yang
mengumpulkan unsur maritim dan instansi-instansi terkait lainnya, seperti LSM peduli HIV Aids dan
pemerintah desa di sekitar pelabuhan. Dalam pertemuan tersebut, Wali Kota menegaskan bahwa
program ini akan dimulai di kota pesisir tersebut dengan pelaksana program adalah KPA Kota
Cirebon.

“Sejak itu stakeholder terbuka. Kami tindak lanjuti dengan pertemuan-pertemuan untuk membuat
kebijakan yang memudahkan pelaksanaan program,” kata Sri.

Dengan bantuan terbuka dari pemerintah kota, jalan program ini di Cirebon jadi lebih lancar. Setelah
pertemuan dengan Wali Kota, KPA bersama KSOP Pelabuhan Cirebon membuat pertemuan lain yang
lebih mendetail. Hasilnya adalah dua dokumen.

Dokumen pertama adalah SK pembentukan tim HIV Aids di Pelabuhan Cirebon. SK ini berisi struktur
tim beserta tanggung jawabnya. Dokumen kedua adalah SK kelompok kerja, semacam surat tugas
yang berisi nama-nama yang tergabung dalam tim teknis. Termasuk siapa saja yang ditugasi sebagai
peer educator.

Pertemuan-pertemuan itu digelar pada September 2014. Bulan depannya, tim sudah bergerak
melakukan edukasi dan tes HIV. Menurut Sri, SK tim dan SK pokja sangat membantu tim mereka
untuk bergerak cepat. Satu hal lain, berkat pendekatan pada KSOP, kantor ini kemudian
mengeluarkan surat edaran yang menyerukan agar instansi-instansi di lingkungan pelabuhan
memfasilitasi sosialisasi HIV Aids dan tes VCT di internal mereka masing-masing. Sri menyebut surat
edaran ini sebagai “surat sakti”.

“90% perusahaan yang ada di pelabuhan Cirebon sudah mengikuti sosialisasi dan mobile VCT,” kata
Sri.

Bisa jadi salah satu faktor yang membuat Sri berhasil memuluskan lobi birokrasi adalah faktor
karakternya. Selain sangat proaktif dan energik, Sri adalah sosok yang supel. Saya membuntutinya
selama tiga hari dan selama itu, saya melihat para pegawai di di instansi yang sering bersinggungan
dengannya memanggilanya dengan sapaan akrab “Bunda”. Dari para dokter di Kantor Kesehatan
Pelabuhan, petinggi di KSOP, kepala bidang di Dinas Kesehatan, semua memanggilnya dengan
sebutan itu. Mungkin kalau sebulan lebih lama di Cirebon, saya juga akan memanggilnya demikian.

***

11
Sri Maryati punya dua tujuan saat mengantar kami menemui kepala Kantor syahbandar dan Otoritas
Pelabuhan (KSOP) Kelas II Cirebon. Satu, untuk mengantar kami, kedua, untuk berkenalan dengan
kepala KSOP yang baru.

Hari itu adalah hari kedua Supriyono berkantor dan kali pertama bertemu Sri. Ia mengajak kami
bergeser dari ruang kerjanya ke ruang tamu. Sejak tadi ia bersin-bersin karena sinusnya kumat. AC
ruang kerjanya terlalu dingin.

Sudah berkali-kali Sri sowan saban kepala KSOP berganti. Rotasi kepala KSOP lumayan sering, di era
Menteri Jonan bisa sampai berganti setiap semester.

Viva, staf KSOP yang hadir di pertemuan siang itu, mengenang. Ia ditugaskan di Cirebon sejak 2016,
bersamaan dengan datangnya kepala KSOP baru.

Saat itu, kata Viva, Sri datang kepada mereka dan menjelaskan kembali program yang sudah berjalan
sejak 2015 ini. Sri juga meminta Kepala KSOP memperbarui SK pokja karena ada nama-nama yang
diganti.

Dengan landasan Instruksi Menteri Perhubungan Nomor 5 Tahun 2003, KSOP langsung menyambut
baik Sri. Setelah kesepakatan terjadi, Kepala KSOP bahkan safari ke sejumlah instansi di dalam
pelabuhan bahkan ke Muspida. Obrolan tentang program HIV disinggung.

Bantuan lain dari KSOP adalah dengan menyilakan penyuluhan atau tes dilakukan di kantor mereka.
Tapi, kata Viva, peran KSOP “sebatas” mengintroduksi Sri dan tim KPA masuk ke pelabuhan.

“Yang berperan sekali dari timnya Bu Sri ini. Dari kami untuk ngerangkulnya saja. Bu Sri yang aktif
datengin satu-satu. Kami yang kasih aba-aba, biar Bu Sri bisa masuk karena ga bisa ujuk-ujuk (tiba-
tiba). KKP-nya juga, Pak Ananto (kepala KKP) aktif datang. Jadi nggak cuma omong kosong. Sentra
kegiatan HIV di sini itu bagus. Dan jika ada masyarakat yang malu untuk datang, tim Bu Sri yang akan
datangin,” jelas Viva.

Supriyono juga memuji inisiatif tim Sri yang menggandeng puskesmas untuk melakukan tes HIV.
Kantor KKP lumayan jauh letaknya dari pelabuhan, sementara di sekitar pelabuhan ada puskesmas
yang menyediakan layanan tes HIV. Menggandeng puskesmas membuat kerja tim lebih gesit.

“Saya lihat di Benoa, Banyuwangi, Batam, lokasi pelabuhannya jauh dari masyarakat. Jadi di
pelabuhan ada KKP dan dia kayak berdiri sendiri. Kayak otonom gitu. Untuk organisir dengan
puskemas setempat, jadi jauh. Sedangkan di sini majemuk, ada kolaborasi KKP dan puskesmas.
Bagus juga melibatkan puskesmas.”

Pelabuhan Cirebon memang unik. Jika pelabuhan lain berjarak sampai 20 atau 30 kilometer dar
pusat kota, di sini, cukup berkendara 15 menit untuk mencapai pelabuhan dari alun-alun kota.

Diterimanya program ini oleh unsur maritim membuat tim lebih mudah bergerak. Misal saat harus
memasuki dermaga yang merupakan area terbatas. Karena Pelindo sebagai pengelola dermaga
sudah mengenal tim Sri, ketika mereka minta izin untuk naik ke kapal, bukan hanya izin yang
diberikan. Mereka bahkan diantar dengan kendaraan dan dikawal oleh sekuriti Pelindo.

***
Sebagaimana Banyuwangi, juga ada PE internal dan eksternal di tim Cirebon. Kata Sri, ada 25 orang
PE internal yang aktif di Cirebon. Mereka karyawan dan pegawai dari instansi pemerintahan dan
perusahaan di dalam pelabuhan. Sedangkan PE eksternal adalah para staf KPA, termasuk Sri sendiri.

Berhubung program hanya memfasilitasi satu kali pelatihan PE, mereka kemudian membagi tugas:
PE internal bertugas menggordinir pertemuan sosialisasi dan tes VCT di kantor mereka, PE eksternal
yang menjadi penyuluhnya.

Dengan pembagian tugas seperti itu, Cirebon mengalami kendala yang sama dengan Banyuwangi,
yakni PE internal tersita waktunya oleh jam kerja mereka sendiri. Tetapi, karena sejak awal
kemungkinan kendala seperti itu sudah disadari, skema yang disusun langsung menanggapi potensi
tersebut.

Cirebon adalah contoh menarik bagaimana persoalan PE internal tidak bisa seaktif yang dibayangkan
kemudian diposisikan.

Tugas PE yang ideal adalah

1. mengumpulkan orang untuk diberi penyuluhan,


2. menjadi pemateri penyuluhan, dan
3. memberi edukasi yang disisipkan dalam interaksi pertemanan sehari-hari.

Oleh karena PE internal sebenarnya juga baru mengenali isu HIV Aids, ditambah pula mereka
memiliki beban pekerjaan sehari-hari, fungsi PE internal dimodifikasi. Mereka dijadikan saluran
komunikasi tim sehingga ketika tim hendak mengadakan sosialisasi di kantor mereka, cukup dengan
mengontak PE internal kantor tersebut tanpa perlu melalui surat-menyurat dan birokrasi yang
lambat.

Fungsi itu tergambar dari hubungan tim dengan Dedi, kepala perkumpulan pengojek di pelabuhan
Cirebon.

Pengojek adalah profesi sampingan Dedi selain sebagai sekuriti kapal perusahaan agen kapal PT
Spectra Tirtasegara Line. “Pak Dedi ini 24 jam di pelabuhan,” kata Joe saat kami hadir di pertemuan
PE di Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan Kelas II Cirebon, “Kalau ada kapal gede masuk dan
Pak Dedi tahu, Pak Dedi akan kontak KPA supaya datang. Saya follow-up lagi, bisanya (mengadakan
sosialisasi di kapal) hari apa? Lalu saya follow-up lagi ke puskesmas.”

Dedi juga sering membantu mengorganisir acara sosialisasi. “Tapi, yang ngomong (memberi
sosialisasi) bukan saya.”

Walau PE internal tidak bisa dijadikan andalan utama untuk menjadi penyuluh secara formal,
penyuluhan kultural tetap berjalan. Seperti yang dilakukan Mulyadi.

Mulyadi adalah karyawan PT Vinici Inti Lines. Pekerjaannya sehari-hari mengurus surat-menyurat
kapal yang sedang bersandar di pelabuhan Cirebon.

Tahun 2015, saat KPA menyurati PT Vinici untuk mengirim orang yang dilatih sebagai PE, Mulyadi
salah satu yang datang.
“Sebelum pertemuan itu saya sudah tahu ada penyakit namanya HIV Aids. Kalau ada teman yang
kena, jangan satu sendoklah, jangan satu piringlah, jangan satu gelaslah. Begitu saya masuk (pokja),
baru saya tahu, penularan HIV Aids itu dari ini, dari itu.

“Tugas saya sebagai PE sekadar memberi tahu ke rekan-rekan saya atau kru kapan, 'Hati-hati lho
kalau mau main kayak gitu. Kalau mau main berhubungan badan. Walaupun tidak semuanya (saya
kasih tahu), adalah satu dua orang (yang dapat).

“Kita ngasih tahu lewat obrolan santai saja. Pas kita ngecek kapal, iseng-iseng kita bercakap-cakap.
Kadang ada yang minta, 'Pak, cariin (perempuan).' Saya bilang, 'Ah, nggak usah. Main-main aja ke
swalayan. Obrolan itu awak kapal yang selalu mulai duluan, bukan kita.

“Saya biasanya dikasih Mbak Joe kondom 3 sampai 4 boks. Langsung saya bagi-bagikan. Mereka
sudah tahu. Saya kan tanggung jawab, jangan sampai nanti pas awak kapal balik kapal, jalannya
pincang. Ditanya kenapa, 'Patil, Pak.' Bahasanya orang kapal kan gitu. sakit... kena raja singa atau
entah apa.”

Ada tujuh PE internal yang hadir di pertemuan hari itu. Dua di antaranya perempuan. Titi Sumiarti,
salah satunya. Ia tenaga keuangan di perusahaan agen kapal PT Transuta Lintas Samudera.

Seperti Mulyadi, Titi awam tentang HIV. Ia kira itu nama lain untuk penyakit raja singa. “Dulu
mikirnya, kalau dekat orang yang punya HIV, kita bakal kena.”

“Ibu kan perempuan, sementara yang harus dikasih edukasi laki-laki, apa nggak sungkan?” tanya
saya.

“Saya sudah berkeluarga, jadi nggak sungkan ngomong sama teman kerja yang rata-rata emang laki-
laki. Apalagi di pelabuhan, ngomongin masalah gini (seks) tuh biasa. Nggak digoda-godain.”

“Kalau nggodain Bu Titi, nanti gajinya ditahan,” Jo menyahut. Titi tertawa.

“Saya ngasih penjelasan itu pas lagi ngumpul di kantor. Terus ada brosur (leaflet), saya bagikan. Ada
teman-teman juga yang suka jajan, saya kasih kondom, pelicin…. Teman-teman itu terbuka kalau
mereka suka jajan.

“Tapi, saya nggak bisa menjangkau ABK karena saya bukan orang lapangan. Hanya bisa ketemu jika
mereka ke kantor. Biasanya sih dimulai dengan ngobrol, pas nyerempet hal ‘gitu’, saya langsung
masuk. Obrolannya modus aja.”

Satu PE perempuan lain, Vivi, punya pengalaman lebih lucu.

Sepulang dari dikirim perusahaannya, PT Admiral Lines, untuk mengikuti pelatihan PE oleh KPA, ia
justru bingung. Ia pemalu dan masih muda, belum menikah pula. Memberi tahu perkara HIV Aids
yang menyerempet soal hubungan seksual kepada teman-teman kerjanya yang jauh lebih tua dan
laki-laki pula, bikin Vivi canggung.

“Jadi saya titip ke Bu Titi aja buat ngasih tahu.”

“Apalagi kalau bagiin kondom. Saya taruh terus saya cuma bilang, ‘Nih ada yang ngasih, kalau mau
ambil aja.” Setelah bilang begitu, Vivi akan langsung ngacir.
“Pernah saya digodain pas bagiin kondom. Dibecandain, ‘Kamu bagiin ini, emangnya kamu udah
make?” kata Vivi sambil tertawa malu.

Menurut Joe, praktik penyuluhan cenderung mudah. Cukup mendatangi keramaian di pelabuhan,
bergabung, ia bisa langsung cuap-cuap. Namun, ketika tim hendak mengagendakan tes HIV, PE lebih
berperan. Karena tahu jadwal internal perusahaan atau paguyuban mereka, PE bisa menyarankan
untuk memasukkan agenda HIV ke acara yang akan diselenggarakan perusahaan atau paguyuban.

PE seperti Dedi juga sangat berguna. Saat hendak menyuluh di atas kapal yang disatpami Dedi, Dedi
yang mengenal para ABK akan menjadi orang yang memperkenalkan tim kepada awak kapal.
"Mungkin ABK pada mau (ikut penyuluhan) karena Pak Dedi yang ditugaskan di situ," kata Joe.

Joe mengenal Dedi ketika ia baru masuk pelabuhan. Hasil dari nongkrong dan nimbrung dengan
pekerja pelabuhan, salah satu keahlian alami Joe, ia mendapat informasi jika Dedi adalah orang yang
berpengaruh di kalangan pengojek dan ABK. Ia vokal dan bisa memengaruhi teman-temannya. Dari
sana, Joe mengajak Dedi bergabung di pokja.

Persoalan penyuluhan dan PE bukan problem bagi tim pelabuhan Cirebon. Yang lebih menantang
justru pelaksanaan tes HIV. Banyak orang yang enggan karena takut. Dengan jarum suntik maupun
takut jika hasilnya positif.

Tapi, Sri Maryati sebenarnya menginginkan ada pelatihan PE yang rutin. Mereka tetap menghadapi
bongkar pasang PE. Ada PE yang tidak aktif dan keluar, ada PE yang pindah tempat kerja. Sementara
anggaran program hanya mengalokasikan satu kali pelatihan PE dalam dua tahun ini. Pelatihan rutin
juga berguna untuk menyegarkan ingatan PE atas materi.

***

Anda mungkin juga menyukai