Anda di halaman 1dari 19

TUGAS 7

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN

Disusun oleh:
Farhan Ramadhan 225040207111072

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Ir. Sugeng Prijono, SU.

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2024
DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. 3


BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 4
1.2 Dampak Degradasi Lahan .............................................................................................. 6
BAB II REKOMENDASI KE PETANI YANG MENGGARAP LAHAN / PEMILIK LAHAN .... 9
BAB III REKOMENDASI KE KEPALA DESA (APARAT DESA) .........................................12
BAB IV REKOMENDASI KE PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG ...........................15
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................18
5.1. Kesimpulan ..................................................................................................................18
5.2. Saran ...........................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................18
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.Teras Gulud ......................................................................................................... 10
Gambar 2. Cover Crop ......................................................................................................... 11
Gambar 3. Konsep Daur Hidrologi DAS (Suryani, 2019) ..................................................... 15
Gambar 4. Budidaya Lorong (alley cropping) ....................................................................... 15
Gambar 5. Lubang Resapan Biopori .................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahan terdegradasi salah satu masalah yang terjadi pada sektor pertanian. Lahan
terdegradasi adalah proses penurunan produktivitas lahan yang sifatnya sementara
maupun tetap, dicirikan dengan penurunan sifat fisik, kimia dan biologi. Lahan
terdegradasi adalah lahan pertanian yang produktivitasnya telah menurun akibat kondisi
lahan khususnya tanah permukaannya (top soil) telah memburuk. Menurut Wahyunto &
Dariah (2014) Luas lahan terdegradasi pada tahun 2008 dilaporkan mencapai 77,8 ha dan
hal ini dapat dikatakan bahwa lahan tergredasi di Indonesia selalu bertambah
luas.Kawasan budidaya pertanian telah mengalami terjadinya peningkatan kerusakan
lahan atau lahan kritis selama kurun waktu 10 tahun sebesar 5,2 juta ha. Usaha
penanggulangan dan pemulihan lahan terdegradasi belum sepenuhnya berhasil. Lahan
terdegradasi bukan saja merupakan lahan yang tidak produktif, tetapi juga dapat menjadi
sumber bencana, mulai dari kekeringan, banjir, tanah longsor, sampai kebakaran yang
bisa berdampak terhadap terjadinya percepatan pemanasan global. Akibat negatif adanya
lahan terdegradasi tidak hanya dirasakan di lokasi di mana lahan terdegradasi berada,
tetapi menyebar sangat jauh dan luas. Menurut Wahyunto & Dariah (2014) dampak
degradasi lahan di kawasan Puncak-Bogor menyebabkan banjir sampai dengan Jakarta
dan efek pemanasan global. Dengan semakin meluasnya lahan terdegradasi, baik di
kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, di lahan kering maupun di lahan basah
atau lahan rawa akan berakibat terhadap semakin parahnya kerusakan lingkungan, yang
mendorong terjadinya bencana alam yang intensitasnya semakin tinggi (Wahyunto &
Dariah, 2014). Khususnya pada Daerah Aliran Sungai (DAS) kegiatan pertanian yang
dilakukan tidak boleh dilakukan dengan sembarangan dan harus sesuai dengan prinsip
konservasi tanah dan air agar tidak menyebabkan degradasi lahan hingga bencana alam.
Jika dalam pengelolaan DAS semena-mena makan kondisi demikian akan berdampak
merusak keseimbangan ekosistem daerah aliran sungai (DAS) terutama dibagian hulu
DAS dan menyebabkan berlangsungnya proses degradasi lahan. Aktivitas budidaya
pertanian yang intensif pada lahan-lahan berlereng dan bertopografi kasar (bergelombang
sampai berbukit) berpengaruhterhadap kondisi lahan atau tanahnya, berdampak terhadap
mudahnya tanah lapisan atas tererosi dan terdegradasi, lambat laun terdegradasi berat,
gundul atau tidak bervegetasi dan menjadi lahan kritis (Wahyunto & Dariah, 2014).
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah keseluruhan daerah kuasa (regime) sungai yang
menjadi alur pengatus (drainage) utama. Batas DAS merupakan garis bayangan
sepanjang punggung pegunungan atau tebing atau bukit yang memisahkan sistim aliran
yang satu dari yang lainnya. Dari pengertian ini suatu DAS terdiri atas dua bagian utama
daerah tadah (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan daerah penyaluran air
yang berada di bawah daerah tadah (Fuady & Azizah, 2013). DAS juga berfungsi sebagai
pengendali erosi serta dapat mencegah terjadinya bencana seperti banjir dan tanah
longsor. Oleh karena itu DAS perlu dikelola dengan baik untuk menjaga kelestariannya.
Dalam pengelolaan DAS terdapat beberapa kendala seperti masih terbatasnya informasi
dan data bifoisik maupun sosial ekonomi masyarakat yang terdapat didalamnya. Sehingga
pengelolaan DAS yang bijak hendaklah didasarkan pada hubungan antara kebutuhan
manusia dan ketersediaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan manusia tersebut.
Pengelolan sumberdaya biasanya sudah menjadi keharusan manakala sumberdaya
tersebut tidak lagi mencukupi kebutuhan manusia maupun ketersediaannya melimpah.
Pada kondisi dimana sumberdaya tidak mencukupi kebutuhan manusia pengelolaan DAS
dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat sebaik-baiknya. Selain itu tidak tersedianya
informasi dan data dikarenakan wilayah DAS yang cukup luas serta kompleks. Cakupan
wilayah DAS dari hulu yang berada pada daerah pegunungan hingga bagian hilir pada
daerah pesisisir pantai. Oleh karena itu, dalam mencegah penurunan fungsi daerah
resapan pada hulu DAS, perubahan penggunaan lahan pada daerah hulu DAS harus
didasarkan pada usaha konservasi tanah dan air. Pada lahan di daerah hulu Daerah Aliran
Sungai (DAS) sering kali digunakan untuk lahan pertanian oleh penduduk. Kegiatan
pertanian yang dilakukan didaerah tersebut tanpa mempertimbangkan daya guna lahanya
(Halengkara, 2016).
Pada dasarnya degradasi lahan disebabkan karena adanya penggunaan atau
pengelolaan lahan yang kurang tepat. Degradasi lahan biasanya dimulai dengan adanya
konversi (alih fungsi) penggunaan lahan, dari lahan hutan untuk keperluan lain. Pada
lahan pertanian (khususnya pertanian di lahan kering), degradasi lahan utamanya terjadi
karena adanya erosi tanah yang dipercepat, penggunaan mesin-mesin pertanian, dan
pemakaian bahan kimia pertanian yang berlebihan (Wahyunto & Dariah, 2014). Erosi
adalah proses berpindahnya tanah atau batuan dari satu tempat yang lebih tinggi ke
tempat yang lebih rendah akibat dorongan air, angin, atau gaya gravitasi. Proses tersebut
melalui tiga tahapan, yaitu pelepasan, pengangkutan atau pergerakan, dan pengendapan.
Erosi yang terus-menerus terjadi mengakibatkan penurunan kualitas dan produktivitas
tanah, yang merupakan salah satu bentuk degradasi lahan. Kondisi atau gejala degradasi
di lapangan dicirikan oleh berkurangnya penutupan lahan (vegetasi) dan adanya gejala
erosi (ditandai dengan banyaknya alur-alur, sehingga pada akhirnya mempengaruhi fungsi
hidrologi dan daerah sekitarnya. Masalah Erosi yang terjadi di permukaan membawa
tanah bagian atas yang subur dan mengandung banyak humus sehingga menyebabkan
penurunan 2 produktivitas lahan disebutkan bahwa lahan terdegradasi dapat dilihat
dengan menggunakan parameter erosi pada lahan tersebut tetapi dalam mengukur tingkat
erosi bukanlah suatu yang mudah dikarenakan perlu memperhatikan beberapa faktor
seperti erosivitas hujan (intensitas hujan dalam memengaruhi tingkat erosi tanah),
erodibilitas tanah (kepekaan tanah terhadap erosi), kemiringan lereng, panjang lereng,
serta tutupan dan pengolahan lahan. Pada setiap unit lahan memiliki perbedaan terhadap
sensitivitas erosi, maka distribusi spasial perlu untuk diketahui informasi spasial dari setiap
lahan. Informasi yang bersisi kepekaan lahan terhadap erosi dan sebaran spasialnya
merupakan hal penting untuk mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS).
Konservasi tanah adalah penempatan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang
sesuai dengan kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat
yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Subagyono et al., 2003). Erosi tanah
sangat merugikan produktivitas tanahnya semakin rendah. Peranan teknik konservasi
tanah sangat penting dalam menanggulangi erosi dan memperbaiki tanah yang telah
rusak. Bahaya longsor dan erosi akan meningkat apabila lahan pegunungan yang semula
tertutup hutan dibuka menjadi areal pertanian tanaman semusim yang tidak menerapkan
praktek konservasi tanah dan air, atau menjadi areal peristirahatan dengan segala fasilitas
yang tidak ramah lingkungan. Menurut Idjudin (2011) Teknik konservasi tanah adalah cara-
cara pengawetan tanah dengan melindungi tanah terhadap kerusakankerusakan,
memperbaiki tanah yang telah rusak, dan membuat tanah sedapat mungkin menjadi
subur. Penerapan teknik konservasi secara mekanis efektif dalam menahan erosi dan
aliran permukaan, tetapi membutuhkan modal yang besar. Bagi petani dengan
kemampuan modal rendah, hal itu sangat memberatkan sehingga teknik konservasi tanah
secara vegetatif menjadi pilihan petani untuk memperbaiki dan meningkatkan
produktivitas lahannya (Idjudin, 2011). Tujuan konservasi tanah adalah meningkatkan
produktivitas lahan secara maksimal, memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan melakukan
upaya pencegahan kerusakan tanah akibat erosi. Sasaran konservasi tanah meliputi
keseluruhan sumber daya lahan, yang mencakup kelestarian produktivitas tanah dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendukung keseimbangan ekosistem
(Subagyono et al., 2003). Pengaruh yang menentukan keberhasilan olah tanah konservasi
adalah pemberian bahan organik dalam bentuk mulsa yang cukup, sehingga mampu
menekan pertumbuhan gulma.
Kebijakan penanganan konservasi secara sipil teknis tidak dapat menjamin masalah
sedimentasi dapat diatasi. Rekayasa teknis dan vegetatif harus dilaksanakan bersama-
sama. Teknologi vegetatif (penghutanan) sering dipilih karena selain dapat menurunkan
erosi dan sedimentasi di sungai-sungai juga memiliki nilai ekonomi (tanaman produktif)
serta dapat memulihkan tata air suatu DAS. Pengelolaan DAS yang tepat perlu dilakukan
untuk menekan degradasi. Strategi konservasi DAS dengan pendekatan vegetatif
merupakan salah satu solusi untuk memperbaiki kualitas. Dalam menurunkan erosi dan
sedimentasi di sungai sering dipilih pada teknologi vegetatif (penghutanan) memiliki nilai
ekonomi (tanaman produktif) serta dapat memulihkan tata air suatu DAS. Pendekatan
vegetatif merupakan usaha pengendalian erosi dan atau pengawetan tanah atau air yang
dilakukan dengan memanfaatkan peranan tanaman untuk mengurangi erosi dan
pengawetan tanah. Terdapat pelaksanaan vegetatif dapat meliputi kegiatan-kegiatan
penghutanan kembali (reboisasi) dan penghijauan, penanaman tanaman penutup tanah,
penanaman tanaman secara garis kontur, penanaman tanaman dalam strip, penanaman
tanaman secara bergilir, serta pemulsaan atau pemanfaatan serasah tanaman. Metode
vegetatif dalam strategi konservasi tanah dan air adalah pengelolaan tanaman dengan
cara sedemikian rupa sehingga dapat menekan laju erosi dan aliran permukaan (Maridi,
2013). Pengelolaan secara vegetatif merupakan teknologi konservasi tanah dan air yang
efektif untuk menekan degradasi (erosi dan sedimentasi). Teknologi ini direkomendasikan
untuk pengelolaan SDA berkelanjutan yang selain dapat meningkatkan kualitas tanah dan
air juga memiliki nilai ekonomi.
1.2 Dampak Degradasi Lahan
Dampak degradasi lahan yaitu dengan semakin meluasnya lahan terdegradasi, baik
di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, di lahan kering maupun di lahan basah
atau lahan rawa akan berakibat terhadap semakin parahnya kerusakan lingkungan, yang
mendorong terjadinya bencana alam yang intensitasnya semakin tinggi. Dalam praktek
budidaya pertanian sendiri sering akan menimbulkan dampak pada degradasi lahan. Dua
faktor penting dalam usaha pertanian yang potensial menimbulkan dampak pada
sumberdaya lahan, yaitu tanaman dan manusia yang menjalankan pertanian. Diantara
kedua faktor, faktor manusia yang sangat berpotensi berdampak positif atau negatif pada
lahan, tergantung dengan cara menjalankan pertaniannya. Apabila dalam menjalankan
pertanian benar maka akan berdampak positif, namun apabila cara menjalankan
pertaniannya salah maka akan berdampak negatif. Kegiatan menjalankan pertanian atau
cara budidaya pertanian yang menimbulkan dampak antara lain meliputi kegiatan
pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah lingkungan (pupuk dan
insektisida) serta sistem budidaya termasuk pola tanam yang mereka gunakan (Atmojo,
2006). Pada lahan terdegradasi, tanah dilahan tersebut tidak dapat lagi mencukupi
kebutuhan nutrisi yang diperguntakan bagi tanaman untuk tumbuh, sehingga petani harus
mensuplai nutrisi dari luar dengan penambahan pupuk. Hal tersebut dapat menyebabkan
kerugian bagi petani dimana petani pemasokan nutrisi tersebut akan menambah biaya
yang dikeluarkan akan tetapi tanaman tidak dapat menghasiltan produksi yang sesuai.
Degradasi lahan atau kemunduran lahan merupakan hasil dari satu atau lebih proses
terjadinya penurunan kemampuan tanah secara potensial ataupun aktual dalam
menghasilkan barang dan jasa. Seperti yang dinyatakan oleh (Wahyunto & Dariah, 2014),
bahwa degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya
sementara maupun tetap. Lahan terdegradasi dalam definisi lain sering disebut lahan tidak
produktif, lahan kritis, atau lahan tidur yang dibiarkan terlantar tidak digarap dan umumnya
ditumbuhi semak belukar Terdapat beberapa faktor yang menjadi pengaruh terjadinya
degradasi tanah, yaitu faktor manusia dan faktor alam. Faktor alam yang dimaksud seperti
area yang memiliki kelerengan curam, tanah yang mudah rusak, kebakaran hutan, curah
hujan yang intensif, maupun erosi. Sementara itu faktor manusia yaitu adanya
peningkatan jumlah populasi, tingkat kemiskinan penduduk, kepemilikan lahan,
marginalisasi penduduk, kesalahan pengelolaan, kondisi sosial ekonomi masyarakat,
deforestrasi, serta pengembangan pertanian yang tidak sesuai.
Berdasarkan prinsipnya, degradasi lahan dapat terbagi menjadi tiga aspek yaitu kimia,
fisika, dan biologi (Wahyunto & Dariah, 2014). Pada aspek kimia terjadi karena
ketidakseimbangan unsur hara dan pencucian hara dalam tanah. Pada aspek fisika terjadi
karena adanya kerusakan pada tanah dala bentuk padatan, drainasenya tidak berimbang,
dan dapat merubah struktur tanah. Pada aspek biologi terjadi karena kurangnya
keanekaragaman hayati yang berada di tanah, kurangnya vegetasi tananaman, dan
karbon biomas. Degradasi atau kemunduran lahan merupakan sebuah ancaman bagi
kehidupan manusia. Jika kita kurang mewaspadai dan mengantisipasinya degradasi dapat
mengakibatkan lahan-lahan seperti perkebunan, perhutanan, dan pertanian makin lama
akan menjadi kering dan bisa saja menyerupai gurun atau padang pasir sehingga tidak
dapat ditanami kembali. Setelah kekeringan melanda dan lahan berubah menjadi padang
pasir maka tidak akan ditemukan lagi tanda-tanda kehidupan di lahan tersebut
Dampak degradasi lahan yaitu dengan adanya konversi lahan. Konversi lahan
pertanian yang semakin meningkat akhir-akhir ini merupakan salah satu ancaman
terhadap keberlanjutan pertanian. Salah satu pemicu alih fungsi lahan pertanian ke
penggunaan lain adalah rendahnya isentif bagi petani dalam berusaha tani dan tingkat
keuntungan berusahatani relatif rendah. Selain itu, usaha pertanian dihadapkan pada
berbagai masalah yang sulit diprediksi dan mahalnya biaya pengendalian seperti cuaca,
hama dan penyakit, tidak tersedianya sarana produksi dan pemasaran. Alih fungsi lahan
banyak terjadi justru pada lahan pertanian yang mempunyai produktivitas tinggi menjadi
lahan non-pertanian (Atmojo, 2006). Dampak degradasi pada bagian hulu dan hilir
terdapat pada aspek sosial ekpnomim, ekologi, maupun pembangunan kesejahteraan
masyarakat. Dampak lahan terdegradasi pada DAS bagian hulu akan berdampak
menyeluruh. DAS bagian hulu memiliki arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi
tata air atau siklus hidrologi, karena itu setiap terdapat kegiatan di daerah hulu akan
menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air juga pada transport
sedimen dan material terlarut dalam aliran airnya. Menurut (Effendi, 2005) DAS pada
bagian hulu memiliki fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS, perlindungan ini
antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali
menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai
keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. DAS bagian hulu mempunyai peran penting,
terutama sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu
bagian hulu DAS seringkali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan,
terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, serta permukiman.
Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap
kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya,
DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspekaspek yan
berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem
tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur
hidrologi (Effendi, 2005). DAS pada bagian hilir merupakan DAS yang pemanfaatanya
sebagai sumberdaya air serta pertanian. DAS pada bagian hilir didasarkan pada fungsi
pemanfaatan sumberdaya air yaitu sungai yang dikelola untuk memberikan manfaat bagi
kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air,
kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan
pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Kelembagaan yang efektif seharusnya
mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga
tersebut beroperasi. Apabila aktifitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan
dampak yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir dari
DAS yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan
bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan (Effendi, 2005).
Upaya perbaikan atau konservasi yang dilakukan pada Daerah Aliran Sungai juga
harus dilakukan pada tiap komponennya yang saling berkaitan. Seperti pada kasus (Isrun,
2009), upaya konservasi pada DAS lebih banyak dilakukan di daerah hulu dan
pengelolaannya harus diintegrasikan dengan upaya pengembangan DAS (sumber daya
air) yang lebih banyak dilakukan di bagian tengah dan bagian hilir. Dengan kata lain antara
“watershed management/conservation” dan “water resources development” haruslah
menjadi satu paket di dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Upaya – upaya yang
dapat dilakukan dalam pengelolaan DAS meliputi, pengelolaan lahan, pengelolaan air
termasuk pemeliharaan prasarana pengairan, pengelolaan vegetasi dan pembinaan
aktivitas manusia dalam penggunaan sumber daya alam.
BAB II REKOMENDASI KE PETANI YANG MENGGARAP LAHAN / PEMILIK
LAHAN
Berdasarkan studi kasus dan 8 regulasi yang sudah dibahas dimana
mencangkup kasus penggunaan lahan miring pada budidaya kentang di Desa Ranu
Pane, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Penggunaan lahan miring ini tidak
melakukan tindakan konservasi sehingga menimbulkan erosi yang tinggi. Tingkat
erosi yang tinggi membuat tanah terssebut mengalami degradasi lahan. Menurut
Kusumoarto dan Hidayat (2018) dampak degradasi lahan ini cukup kompleks
dikarenakan terjadi degradasi lahan ini membuat berpengaruh luas di dunia. Faktor
yang mempengaruhi degradasi lahan ini bisa terjadi karena faktor alami dan faktor
campur tangan manusia. Sudah banyak lahan pertanian menjadi non pertanian atau
disebut dengan ahli fungsi lahan. Faktor alami yang menyebabkan degradasi lahan
anatar lain area lahan tersebut berlereng curam, tanahnya mudah rusak, curah hujan
yang intensid dan lain-lain. sedangkan faktor degradasi yang diakibatkan oleh
manusia itu dibagi menjadi dua secara langsung dan tidak langsung yaitu perubahan
populasi yang membuat adanya ahli fungsi lahan, marjinalisasi penduduk, kemiskinan
penduduk, masalah kepemilikan lahan, kondisi sosial dan ekonomi serta
pengembangan pertanian yang tidak tepat. Faktor penyebab degradasi tanah yang
secara langsung yaitu deforestasi, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan, industri
dan lain sebagainya. Faktor- faktor tersebut membuat meningkatnya lahan yang
terdegradasi di Indonesia.
Dampak yang terjadi yaitu kesulitan untuk mendapatkan air bersih untuk
kehidupan sehari hari dan lahan pertanian akan mengalami gagal panen karena
terkena banjir atau longsoran dari bagian hulu. Kesulitan air bersih ini akan membuat
masyarakat membayar pihak lain untuk dapat menyediakan air bersih dan kebutuhan
akan pangan juga tidak tersedia. Jika hal-hal tersebut terjadi masyarakat bagian hilir
akan sengsara dimana tidak bisa bertahan hidup. Selain itu adanya bencana banjir
dan longsor juga dapat merusak fasilitas umum seperti jembatan, rumah warga, lahan
pertanian dan lain sebagainya (Sutrisna et al., 2010). Maka dari itu perlu adanya
penanganan yang serius di bagian hulu agar tidak terjadi dampak yang besar di bagian
hilir. Hal tersebut perlu adanya dukungan dari beberapa pihak khususnya yaitu petani
yang harus menjaga ekosistem.
Tindakan konservasi merupakan bentuk strategi dalam menjaga kelestarian
dan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Peran petani dalam mengerjakan lahan
yang miring harus dilakukan konservasi agar tidak terjadi tingkat erosi yang tinggi.
Menurut Edwar (2017) petani harus melakukan sistem pertanian yang melakukan
tindakan konservasi tanah dan air. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga
keseimbangan lingkungan yang berkelanjutan. Pengendalian erosi ini dapat dilakukan
dengan metode vegetative, mekanis dan kimia. Namun sering kali metode yang
dipakai hanya 2 yaitu metode vegetative dan mekanis. Menurut Arsyad (2000) metode
konservasi tanah dan air ini bisa dibagi menjadi 3 kategori yaitu metode mekanik,
vegetative dan kimiawi. Metode mekanis merupakan perlakuan fisik mekanis yang
diberikan terhadap tanah dimana untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi serta
meningkatkan kemampuan tanah. Metode mekanis ini dapat dilakukan dengan :
Gambar 1.Teras Gulud

1. Teras (gulud, bangku, irigasi)


Pembuatan teras ini ditujukan untuk mengurangi panjang lereng, menahan air yang
dapat mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permikaan serta mempermudah tanah
dalam penyerepan air. Teras yang sering digunakan oleh petani yaitu teras bangku dan
teras gulud. Teras bangku ini dapat dibuat dengan memotong panjang dan meratakan
tanah di bagian bawahanya. Fungsi utama dari teras bangku adalah memperlambat
aliran permukaan, meningkatkan laju ilnfiltrasi, dan mempermudah pengolahan tanah.
Sedangkan teras gulud merupakan barisan guludan yang dilengkapi dengan saluran
air di belakang guludnya. Fungsinya teras gulud ini hampir sama dengan teras bangku.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan teras gulud yaitu jika pada
tanah yang memiliki permeabilitas tinggi maka guludan dibuat arah garis kontir.
Sedangkan permeabilitas rendah guludan dibuat miring. Hal ini dilakukan bertujuan
untuk air tidak segera masuk kedalam tanah dapat disalurkan dengan kecepatan
rendah di luar lahan (Idjudin, 2011).
2. Saluran Pembuangan Air (SPA)
Saluran Pembuangan Air (SPA) merupakan saluran terbuka yang dibuat pada
permukaan tanah dimana sudah diteras dengan searang garis kontur. Hal tersebut
bertujuan untuk sisa aluran permukaan disalurkan ke tempat yang aman dari bahaya
erosi dan longsor (Nursa’ban, 2006).
3. Saluran peresapan dan check DAM
Pembuatan bendungan kecil ini bertujuan untuk membndung aliran air permukaan.
Hal ini dapat mencegah sedimen atau material tidak langsung terkena lahan pertanian
tetapi menuju ke parit-parit cekdam tersebut. Dengan begitu lapisan tanah menebal
dan kesuburan tanah tidak akan hilang terbawa air (Kusumoarto dan Hidayat, 2018).
4. Penghijauan
Penghijauan merupakan penanaman pada tanah yang mengalami kerusakan baik
di dataran rendah maupun tinggi. Hal ini bertujuan untuk mengawetkan tanah dan
melindungi tanah dari limpasan air hujan secara langsung yang dimana dapat
menyebabkan erosi tanah terjadi (Nursa’ban, 2006).
Metode vegetatif merupakan pemanfaatan tanaman atau vegetasi sebagai
pelindung tanah dari pancaran sinar matahari secara langsung, pelindung tanah dari
erosi, penghambat laju aliran permukaan, peningkatan kandungan lengas tanah,
perbaikan sifat tanah baik fisik, kimia maupun biologi. Hal ini sesuai dengan
Nursa’ban (2006) fungsi tanaman ini dapat melindungi tanah dari butir-butiran hujan
secara langsung, melindungi tanah dari daya perusak aliran air dan memperbaiki
penyerapan air oleh tanaman. Selain itu metode ini dapat memperbaiki kapasitas
infiltrasi tanah dan mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Metode vegetative ini
dapat dilakukan dengan :
Gambar 2. Cover Crop

1. Cover crop
Cover crop ini bisa disebut dengan tanaman penutup tanah. Fungsi adanya penutup
tanah yaitu untuk menutupi tanah dari air hujan secara langsung, menjaga kesuburan
tanah, menyediakan bahan organik yang dibutuhkan oleh tanaman dan rehabilitasi
lahan kritis. Tanaman penutup tanah ini pada umumnya ditanam dengan tanaman jenis
legum yang ditanam di antara tanaman tahunan atau secara bergilir dengan tanaman
semusim dan dapat sebagai tanaman pionir untuk rehabilitasi lahan kritis
(Idjudin, 2011).
2. Mulching
Mulching dapat berasal dari hijauan hasil pangkasan tanaman pagar, strip rumput
atau sisa tanaman. Mulsa ini bisa memanfaatka nsisa tanaman yang bagiannya tidak
digunakan oleh petani. Fungsi mulsa ini dapat memperbaiki struktur tanah,
menyediakan hara secara cepat dan dapat menghambat laju aliran permukaan
(Idjudin, 2011).
3. Crop rotation
Pergantian tanaman ini sangat penting dilakukan karena dapat menjaga kesuburan
tanah yang dimana unsur hara akan terambil saat pemanenan. Pergantian tanaman
ini dapat dilakukan dengan memvariasikan jenis tanaman pada saat pergantian masa
tanam. Selain itu hal tersebut dapat mencegah tanah yang kekurangan jenis unsur
hara tertentu (Kusumoarto dan Hidayat, 2018).
4. Strip cropping, dan Alley cropping
Alley cropping ini bisa disebut sistem budidaya lorong yang menguntungkan antara
tanaman pagar dan tanaman pokok. Keuntungannya yaitu seresah dari tanaman padat
dapat menurunkan kehilangan air melalui evaporasi dari permukaan, naungan
tanaman pagar dapat menekan pertumbuhan gulma, dan tanaman pagar dapat
mengikat unsur hara nitrogen
yang dibutuhkan oleh tanaman. Sedangkan strip cropping yang bisa disebut dengan
penanaman sejajar garis kontur ini bertujuan untuk menyerapnya air di dalam tanah
dan menghambat laju erosi (Haerani, 2017).
BAB III REKOMENDASI KE KEPALA DESA (APARAT DESA)

Hasil pengamatan pada studi kasus yang disediakan dengan titik lokasi di Desa
Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur menunjukkan
bahwa telah terjadinya degradasi lahan akibat praktik pertanian budidaya hortikultura
(khususnya komoditas kentang) yang dilakukan oleh para petani tidak dijalankan
bersamaan dengan usaha konservasi dan air memadai, selain itu juga dapat diketahui
dari dokumentasi yang menunjukkan tidak adanya sistem guludan yang dapat
meminimalisirkan kemungkinan terjadinya limpasan permukaan. Sehingga
mengakibatkan terjadinya erosi sangat tinggi pada lahan dan berdampak pada
terjadinya bencana alam berupa banjir dan pendangkalan pada perairan danau ranu
pani. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual terhadap dokumentasi bukti
degradasi lahan hortikultura kentang di Desa Rani Pani menunjukkan bahwa lahan
mulai berubah bentuknya menjadi cekung dan mengakibatkan bertambahnya faktor LS
(panjang dan kemiringan lereng), menurut Wahyudi (2016) hal tersebut menunjukkan
bahwa dapat diperkirakan lahan akan mengalami bencana longsor rotasi.
Permasalahan bencana alam berupa longsor rotasi dijelaskan di dalam tulisannya
bahwa merupakan longsor dengan ciri di lapangnya mengakibatkan pergerakan massa
tanah dan batuan pada lahan tersebut tergelincir dan kemudian akan membentuk
cekungan.
Rekomendasi yang dapat dilakukan oleh kepala desa atau aparat desa yang
berada di Kabupaten Lumajang yaitu dengan pengaturan sumber daya air yang mana
berdasarkan UU No. 17 tahun 2019 tentang Sumberdaya Air. Sumber Daya Air (SDA)
adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan sumber
daya air (SDA) dilakukan berdasarkan asas kemanfaatan umum, keterjangkauan,
keadilan, keseimbangan, kemandirian, kearifan lokal, wawasan lingkungan,
kelestarian, keberlanjutan, keterpaduan dan keserasian, transparansi dan
akuntabilitas. Pengaturan sumber daya air (SDA) yang dilakukan oleh aparat desa
bertujuan untuk memberikan pelindungan dan menjamin pemenuhan hak rakyat atas
air, menjamin keberlanjutan ketersediaan air dan sumber air, menjamin pelindungan
dan pemberdayaan masyarakat, serta mengendalikan daya rusak air secara
menyeluruh dengan upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
Keberadaan air dalam suatu wilayah dipengaruhi oleh siklus hidrologi yang memiliki
hubungan erat terhadap cuaca dan iklim suatu daerah. Adanya perbedaan cuaca akan
menyebabkan perbedaan ketersediaan air di setiap daerah. Ketersediaan air yang
kurang akan menimbulkan berbagai permasalahan. Keterbatasan tersedianya sumber
daya air diiringi dengan peningkatan kebutuhan air oleh masyarakat dapat
menimbulkan banyaknya persaingan dan konflik akibat adanya perebutan sumber daya
air sehingga akan menimbulkan permasalahan dalam berbagai sektor. Oleh karena itu,
perlunya kepala desa atau aparat desa dalam melakukan pengaturan sumber daya air.
Adanya peraturan undang-undang dapat membantu pembagian tugas terhadap
pemerintah di tingkat desa dalam mengelola sumberdaya air dan mengusahakan peran
serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya air. Pengaturan kewenangan dan
tanggungjawab pengelolaan sumber daya air disusun secara terkoordinasi dalam pola
pengelolaan sumberdaya air. Pola pengelolaan tersebut nantinya akan dijabarkan ke
dalam rencana pengelolaan sumberdaya air. Rencana pengelolaan sumberdaya air
akan menjadi dasar yang digunakan dalam penentuan penggunaan sumberdaya air
untuk kebutuhan pokok dan pertanian. Pada kelompok masyarakat yang akan
menggunakan sumberdaya air dalam kebutuhan yang besar harus memiliki perizinan
baik pada golongan masyarakat yang membutuhkan air dalam jumlah besar maupun
petani yang melakukan irigasi di petak-petak lahannya. Perizinan akan memuat batas
maksimal penggunaan air sehingga air dapat terbagi dengan lebih adil kepada
masyarakat lain yang juga membutuhkan.

Peran kontribusi pihak aparat desa terhadap permasalahan degradasi yang ada
pada Desa Ranu Pani telah dibahas dalam pasal 17 UU Nomor 17 tahun 2019 tentang
Sumberdaya Air, dalam UU tersebut disebutkan terdapat beberapa hal yang dapat
dilakukan oleh pihak aparat desa yaitu sebagai sebagai berikut:
a) Membantu Pemerintah Pusat dan/ atau Pemerintah Daerah dalam mengelola Sumber
Daya Air di wilayah desa berdasarkan asas kemanfaatan umum dan dengan
memperhatikan kepentingan desa lain;
b) Mendorong prakarsa dan.. partisipasi masyarakat desa dalam Pengelolaan Sumber
Daya Air di wilayahnya;
c) Ikut serta dalam menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan
Pengelolaan Sumber Daya Air;
d) Membantu Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam memenuhi kebutuhan pokok
minimal sehari-hari atas Air bagi warga desa
Kewenangan yang dimiliki oleh aparat desa seperti yang sudah disebutkan di
atas ditujukan sebagai upaya kontribusi aparat dalam membantu pemerintah
melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya air serta mendorong prakarsa dan
partisipasi masyarakat desa dalam pengelolaan sumberdaya air di wilayahnya.
Pengelolaan tersebut dinilai penting dikarenakan persebaran air tidak merata pada
setiap waktu dan setiap daerah disebabkan keberadaan air yang tergantung dengan
siklus hidrologi suatu wilayah. Seperti yang ada pada gambar di bawah, dapat diketahui
bahwa konsep daur hidrologi DAS menunjukkan butiran air hujan yang secara langsung
mengenai permukaan tanah dan kemudian akan terbagi menjadi beberapa komponen
siklus air seperti air larian, evaporasi dan infiltrasi yang seluruh komponen tersebut
pada akhirnya akan mengalir sebagai debit aliran ke arah sungai (Suryani, 2019).

Gambar 3. Konsep Daur Hidrologi DAS (Suryani, 2019)

Rekomendasi berikutnya yang dapat dilakukan oleh kepala desa atau aparat
desa yaitu dengan melakukan beberapa kegiatan konservasi tanah dan air khususnya
pada areal lahan pertanaman kentang yang mana berdasarkan Peraturan Dirjen
Pengendalian DAS dan Hutan Lindung No P6/PDASHL/SET/Kum.1/8/2017 tentang
Petunjuk Teknis Bangunan Konservasi Tanah dan Air. Beberapa rekomendasi
bangunan yang tepat untuk diberikan pada areal lahan pertanaman kentang yaitu
rorak, saluran pembuangan air, teras, lubang resapan biopori, strip rumput dan
budidaya lorong. Menurut Sutrisno dan Nani (2013), tujuan pembuatan bangunan ini
adalah untuk mengurangi aliran permukaan dan sedimentasi serta meningkatkan air
tanah sehingga meminimalisir terjadinya degradasi lahan.
Gambar 4. Budidaya Lorong (alley cropping)

Gambar 5. Lubang Resapan Biopori


BAB IV REKOMENDASI KE PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG
Komoditas utama pertanian lahan kering di Wilayah Ranu Pane adalah
kentang, kubis, dan daun bawang. Kentang merupakan komoditas utama di wilayah
tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Anggiana dan Bagas (2014) dengan melakukan
wawancara ke petani, kentang memiliki keuntungan yang lebih besar dibandingkan
dengan komoditas yang lain. Pola pertanian di lahan miring pada umumnya tidak lagi
menggunakan sistem terasering dengan alasan untuk memaksimalkan kuantitas hasil
produksi. Pola yang dipakai dengan tanpa adanya terasering ini mengakibatkan
tingkat erosi yang lebih tinggi sehingga menjadikan daerah pegunungan di Wilayah
Ranu Pane rawan longsor. Selain itu, adanya erosi tanah di sekitar Danau Ranu Pane
akan menyebabkan sedimentasi dan pendangkalan danau. Pihak penanggung jawab
yang ditunjuk Pemerintah Pusat mulai menata batas-batas kawasan konservasi
dengan tanah milik penduduk di wilayah Wilayah Ranu Pane. Terkait masalah
degradasi lahan di Ranu Pane tersebut, pemerintah mulai membatasi penggunaan
kawasan sesuai batas pengelolaan, Balai Taman Nasional mulai menetapkan
kawasan di Wilayah Ranu Pane sebagai Taman Nasional sehingga terdapat beberapa
perubahan akses menurut Anggiana dan Bagas (2014), perubahan akses penduduk
terhadap kawasan pasca penetapan Taman Nasional dengan melarang pemanfaatan
lahan dalam kawasan konservasi. Secara mutlak penduduk dilarang memanfaatkan
lahan untuk pertanian pada setiap zonasi pengelolaan. Lahan-lahan pertanian yang
telah dimanfaatkan sebelum penetapan Taman Nasional terpaksa harus ditinggalkan
para penduduk. Beberapa hamparan lahan sudah dibuka sebelum Perhutani intensif
mengelola kawasan hutan. Sebagian lainnya adalah lahan-lahan bekas program
tumpangsari Perhutani, dan lahan bekas program rehabilitasi kawasan. Pemanfaatan
hasil hutan kayu dan non- kayu. Seluruh aktivitas pemanfaatan hasil hutan kayu
berupa penebangan pohon dan pemanfaatan kayu pohon tumbang di dalam kawasan
tidak dapat dilakukan oleh penduduk. Hal serupa terjadi pada kasus pohon-pohon di
dalam kawasan yang ditanam penduduk, baik tanaman program rehabilitasi (jenis
akasia), maupun jenis-jenis lainnya yang ditanam secara mandiri oleh masyarakat.
Pemerintah Lumajang sebagai pihak pemegang kekuasaan dan kebijakan dalam
pengelolaan di daerah Ranu Pane, melihat kondisi lahan di Wilayah Ranu Pane yang
semakin terdegradasi akibat kegiatan pertanian yang dilakukan oleh petani dengan
didasarkan pada prinsip konservasi tanah dan air. Hal tersebut karena minimnya
pengetahuan petani tentang budidaya tanaman dengan prinsip konservasi tanah dan
air tersebut. Maka dari itu tindakan konservasi yang dilakukan juga melibatkan
masyarakat dimana para pihak (khususnya untuk pihak pemerintah Lumajang dan
aktivis LSM) lainnya melakukan tindakan yang bersifat tindakan nyata
(perilaku/psikomotorik) yang berupa pengarahan dalam upaya untuk peningkatan
pemahaman dan kesadaran masyarakat setempat. Pengarahan yang dimaksud
mengenai beberapa kebijakan kehutanan atau pembangunan terkait secara umum,
khususnya menyangkut tata ruang dan upaya konservasi sumberdaya (Darusman et
al., 2016). Menimbang dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
2014 bahwa konservasi tanah dan air adalah upaya pelindungan, pemulihan,
peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan kemampuan
dan
peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan kehidupan
yang lestari. Berdasarkan pertimbangan dari undang-undang tersebut kegiatan
konservasi sumberdaya alam yang ada di daerah Ranu Pane yang dilakukan baik oleh
petani maupun pemerintah Lumajang dkelola secara bijaksana dan
berkesinambungan. Dalam mencapai tujuan tersebut pengelolaan oleh petani dapat
dilakukan dengan pembuatan terasiring atau tindakan konservasi mekanis dan
vegetative yang dapat dilakukan dalam kegiatan pertanianya. Sedangkan pemerintah
Lumajang dapat menetapkan regulasi dan penyusunan rencana tindakan konsrevasi
yang akan dilakukan. Berdasarkan pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 37 Tahun 2014 tujuan konservasi tanah dan air adalah, melindungi permukaan
tanah dari pukulan air, meingkatkan kapasitas infiltrasi tanah, menjamin dan
mengoptimalkan fungsi tanah, meningkatkan daya dukung DAS. Dari tujuan tersebut
rekomendasi tindakan konservasi tanah dan air yang dilakukan pada lahan pertanian
di wilayah Ranu Pane sehingga dapat melindungi dan meningkatkan kapasitas
infiltrasi tanah adalah secara mekanis yaitu pembuatan terasering dan pembuatan
saluran pembuangan air pada lahan pertanian masyarakat, penggunan terasering
khususnya pada lahan berlereng dapat mengurangi tingkat erosi yang terjadi menurut
Kurnia, Rachman, & Dariah (2004) teras merupakan metode konservasi yang
ditujukan untuk mengurangi panjang lereng, menahan air sehingga mengurangi
kecepatan dan jumlah aliran permukaan, serta memperbesar peluang penyerapan air
oleh tanah. Pembuatan saluran pembuangan air atau terjunan bertujuan untuk
mengalirkan sisa aliran permukaan yang tidak terserap oleh tanah. Secara vegetative
dapat dilakukan dengan penanaman tanaman tutupan, tumpeng sari, tumpang gilir,
penanaman strip dan sebagainya.
Selain pada lahan pertaian di daerah Ranu Pane juga dilakukan pengelolaan pada
danau Ranu Pane. Danau Ranu Pane merupakan salah satu sumber mata air utama
yang digunakan oleh masyarakat sekitar untuk kegiatan sehari-harinya.
Permasalahan yang terjadi akibat dari degradasi lahan pertanian di Ranu Pane adalah
pendangkalan danau yang dikarenakan sedimentasi hasil erosi dari wilayah
perbukitan sekitar. Permasalah ini selain menyebabkna pendangkalan danau, juga
memengaruhi kualitas kebersihan air yang digunakan oleh masyarakat sekitar.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2019 Tentang
Sumberdaya Air pada pasal 1 menyatakan bahwa Konservasi Sumber Daya Air
adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi
Sumber Daya Air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan manusia dan makhluk hidup lainnya, baik pada
waktu sekarang maupun yang akan datang. Menimbang dari Undang-undang tersebut
pemerintah Lumajang dapat melakukan perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan dan
pemeliharan sumberdaya air pada danau Ranu Pane. Berdasarkan Pasal 38 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2019 tahapan dalam pengelolaan
sumberdaya air yang dilakukan meliputi, perencanaan pengelolaan, pelaksanaan
konstruksi prasarana, pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumberdaya air, dan
pemantauan serta evaluasi pengelolaan sumberdaya air. Rekomendasi yang dapat
dilakukan berdasarkan regulasi diatas adalah penanggunalangan sedimetnasi
berbasis masyarakat dimana masyarakt diedukasi dalam pemilihan tanaman dan
pengelolaan dalam kegiatan pertanianya karena hal tersebut
berkaitan dengan tingkat sedimentasi yang ada di danau Ranu Pane, menurut Nada
et al. (2017) penggunaan lahan untuk pertanian hortikultura dengan pemakaian pupuk
organik yang tinggi volume dan intensitasnya menyebabkan laju sedimentasi sangat
tinggi yang dibawa oleh aliran permukaan (surface run off) pada saat musim hujan.
Tindakan pelaksanaan dan pemeliharaan sumber daya air juga dapat dilakukan
secara mekanis, karena danau ranu Pane sudah megalami pendangkalan, maka
pengerukan sedimentasi merupakan salah satu tindakan yang tepat, hal tersebut
berdasarkan Andriawati et al. (2015) mengatakan sedimentasi waduk dapat
berdampak serius pada pasokan air dan pengendalian banjir, oleh karena itu
sedimentasi waduk harus diatur dan dikendalikan dan pengerukan dianggap sebagai
penanganan utama untuk memperbaiki situasi tersebut. Akibat dari penumpukan
sedimetnasi pada danau Ranu Pane menyebabkan permukaan danau Ranu Pane
ditumbuhi oleh tumbuhan invasive yaitu ki ambang (S. molesta) dimana hal ini dapat
menurunkan kualitas airnya, untuk menangani hal tersebut penanggulangan menurut
Sawitri dan Takandjandji (2019) dapat dilakukan Secara biologi, pengendalian ki
ambang (S. molesta) di Danau Ranu Pane dapat dilakukan dengan cara
membudidayakan ikan pemakan tumbuhan air, menyebarkan kumbang jenis
Cyrtobagous salvinia Calder dan Sands yang mampu memotong bagian daun ki
ambang sehingga tumbuhan invasive yang menutupi sekitar 80% permukaan air
danau dapat dikurangi dan dapat meningkatkan kualitas air pada danau Ranu Pane.
Uraian diatas merupakan beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan oleh
Pemerintah Lumajang berdasar pada regulasi yang ada dengan tujuan konservasi
tanah dan air yang ada di wilayah Ranu Pane.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan kasus degradasi lahan hortikultura di Ranu Pane, diperlukan
tindakan konservasi untuk mengatasinya dan perlunya rekomendasi tindakan
konservasi kepada petani penggarap lahan, kepala desa (aparat desa), dan
pemerintah Lumajang yang didasari oleh delapan regulasi. Rekomendasi kepada
petani penggarap meliputi penggunaan teknologi ramah lingkungan yang mengatasi
kondisi lahan, yakni dengan membuat bangunan teras untuk memperkecil
kemiringan lahan, membuat bedengan searah garis kontur untuk meminimalisir erosi
akibat air hujan, membuat rorak, memilih sistem tanam agroforestri, memperbanyak
penanaman cover crop, penggunaan pupuk kimia tidak berlebihan, dan melakukan
penghutanan kembali untuk mengatasi kehilangan vegetasi. Adapun rekomendasi
yang diberikan kepada aparat desa dan pemerintah Lumajang, yakni diantaranya
membuat perencanaan konservasi tanah dan air, membuat kebijakan hukum yang
mengatur tentang eksploitasi sumberdaya alam, kebijakan hukum mengenai
konservasi tanah dan air beserta sanksi pelanggarannya, berkoordinasi dengan
pemangku kebijakan yang terlibat, serta mengadakan kegiatan yang melibatkan
masyarakat seperti reboisasi untuk menutup lahan, dan memberikan pendampingan,
penyuluhan, serta pelatihan sebagai upaya untuk membimbing masyarakat dalam
mengelola sumberdaya alam dan lahan.
5.2. Saran
Kegiatan konservasi untuk mengatasi permasalahan lahan melibatkan berbagai
pihak yakni dari pemerintah sampai ke petani sebagai penggarap lahan. Oleh karena
itu kegiatan konservasi harus mematuhi kebijakan yang telah ada dan perlunya
kerjasama yang baik dari berbagai pihak pendukung, agar peran setiap pihak dapat
berjalan lancar, dan tercapainya kondisi lahan yang sehat.
DAFTAR PUSTAKA

Andriawati, I. D., Rispiningtati, & Juwono, P. T. (2015). Efektifitas Kegiatan


Pengerukan Sedimen Waduk Wonogiri Ditinjau Dari Nilai Ekonomi. Jurnal Teknik
Pengairan, Volume 6, Nomor 1, 55-65.
Anggiana, & Bagas, V. (2014). Laporan Penelitian Tim Bromo Tengger Semeru:
Pembangunan Pariwisata dan Perampasan Ruang Hidup. 1-31.
Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu
Tanah.Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Atmojo, S. W. 2006. Degradasi lahan & ancaman bagi pertanian.
Darusman D, S. Lubis, E. Wetik. 2006. Para Pihak Kehutanan di Kalimantan Analisis
Permasalahan dan Kebutuhan. Kelompok Kajian Kebijakan Pembangunan
Kehutanan Universitas Mulawarman Dan Kerjasama Tropenbos International
Indonesia. Kalimantan, in press
Edwar, 2017. Pengalaman Petani dalam Konservasi Lahan Melalui Usaha Tani (Studi
Kualitatif pada Petani Kelompok Konservasi SDA Karya Bhakti di Desa Srikuncoro
Kabupaten Bengkulu Utara). Jurnal Ilmiah Pendidikan Lingkungan dan
Pembangunan, 12(1), pp. 88-100.
Effendi. 2005. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Das) Terpadu.
Fuady, Z., dan Azizah, C. 2013. Tinjauan Daerah Aliran Sungai Sebagai Sistem Ekologi.
Dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Jurnal Lentera, 6(1): 1– 10.
Haerani Nining. 2017. Alley Cropping Meningkatkan Resiliensi Produksi Pertanian Pada
Lahan Kering (A Review). Jurnal Ilmu Pertanian Universitas Al Asyariah Jurnal
Ilmu Pertanian Universitas Al Asyariah 72-82.
Halengkara, L. 2016. Analisis Kerusakan Lahan untuk Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Melalui Integrasi Teknik Penginderaanjauh dan Sistem Informasi
Geografis. Analisis Kerusakan Lahan Untuk Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Melalui Integrasi Teknik Penginderaanjauh dan Sistem Informasi Geografis 26(2):
149–173. https://doi.org/10.22146/mgi.13421.
Idjudin A. A. 2011. Peranan Konservasi Lahan dalam Pengelolaan Perkebunan. Jurnal
Sumberdaya Lahan. 5(2): 103-116.
Idjudin, A. A. 2011. Peranan konservasi lahan dalam pengelolaan perkebunan. Jurnal
Sumber Daya Lahan, 5(2): 103–116.
Isrun. 2009. Analisis Tingkat kerusakan Lahan pada Beberapa SUB DAS di Kawasan
Danau Poso. Media Litbang Sulteng, 2 (1): 67-74. ISSN: 1979- 5971.
Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9): 1689–1699.
Kurnia, U., Rachman, A., & Dariah, A. (2004). Teknologi Konservasi Tanah Pada Lahan
Pertanian Berlereng. Bogor: : Pusat Penelitian dan Penelitian Tanah dan
Agroklimat (Puslitbangtanak) .
Kusumoarto A., dan Hidayat R. 2018. Pemantauan Dan Pengendalian Kerusakan Lahan
untuk Produksi Biomassa Di Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Jurnal Program
Studi Arsitektur. 01(01) : 01- 20.
Maridi. 2013. Pendekatan Vegetatif Dalam Upaya Konservasi DAS Bengawan Solo
(Studi Kasus di Sub DAS Keduang): 421–440.
Nada, I. M., Suryatmaja, I. B., & Wiswasta, I. G. (2017). Model Penanggulangan
Sedimentasi Danau Berbasis Masyarakat Di Pulau Bali. Jurnal Bumi Lestari Vol.
17 No. 02, 100-117.
Nursa’ban Muhammad. 2006. Pengendalian Erosi Tanah Sebagai Upaya Melestarikan
Kemampuan Fungsi Lingkungan. Geomedia. 4(2): 93-116.
Sawitri, R., & Takandjandji, M. (2019). Konservasi Danau Ranu Pane Dan Ranu Regulo
Di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam Vol. 16 No. 1, 35-50..
Subagyono, K., Marwanto, S., dan Kurnia, U. 2003. Teknik Konservasi Tanah Secara
Vegetatif. In Sesi Monograf No.1 Sumber Daya Tanah Indonesia.
Suryani, H, A. 2019. Analisis Kualitas Air dan Daya Tampung Beban Pencemar di Sungai
Citarum. Skripsi. Teknik Lingkungan. Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi
Lingkungan. Universitas Trisakti.
Sutrisna, N., S. R.P. Sitorus, Dan K. Subagyono. (2010). Tingkat Kerusakan Tanah di
Hulu Sub DAS Cikapundung Kawasan Bandung Utara. Jurnal Tanah Dan Iklim. 32
: 71-82.
Wahyudi, R. 2016. Analisa Zona Kawasan Rawan Longsor di Kabupaten Aceh Besar
Menggunakan Sistem Infomasi Geografis. Skripsi. Informatika. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Syiah Kuala
Wahyunto, dan Dariah, A. 2014. Degradasi Lahan di Indonesia: Kondisi Existing,
Karakteristik, dan Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju Satu Peta.
Jurnal Sumberdaya Lahan, 8(2): 81–93. https://doi.org/10.2018/jsdl.v8i2.6470.

Anda mungkin juga menyukai