M2 - Farhan Ramadhan - 225040207111072
M2 - Farhan Ramadhan - 225040207111072
“Studi Kasus Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah dan Langkah-langkah Teknis
Penanggulangannya”
Disusun oleh:
Nama: Farhan Ramadhan
NIM : 225040207111072
Kelas: Agroekoteknologi P
tanah bagian atas atau top soil menuju hilir melalui limpasan permukaan, apabila tutupan lahan ini
menghilang yang diakibatkan oleh menghilangnya tutupan lahan dan vegetasi, maka air hujan dan
limpasan permukaan akan dengan mudah mencapai tanah sehingga dapat menyebabkan erosi. Selain
itu, bila kemiringan dari lahan atau lereng tersebut terbilang cukup curam dan tidak ada vegetasi yang
berguna untuk menahan tanah di lahan tersebut maka akan menimbulkan bencana tanah longsor yang
merugikan.
Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akibat dari
pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan
dengan penurunan kandungan bahan organik tanah, aktivitas perakaran tanaman dan mikroorganisme
tanah. Penurunan ketiga agen pengikat agregat tanah tersebut selain menyebabkan agregat tanah relatif
mudah pecah sehingga menjadi agregat atau partikel yang lebih kecil juga menyebabkan terbentuknya
kerak di permukaan tanah (soil crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering. Agregat
atau partikel-partikel yang halus akan terbawa aliran air ke dalam tanah sehingga menyebabkan
penyumbatan pori tanah. Pada saat hujan turun kerak yang terbentuk di permukaan tanah juga
menyebabkan penyumbatan pori tanah. Akibat proses penyumbatan pori tanah ini porositas tanah,
distribusi pori tanah, dan kemampuan tanah untuk mengalirkan air mengalami penurunan dan limpasan
permukaan akan meningkat. Menghilangnya bagian top soil yang disebabkan oleh erosi akan
menyebabkan lahan semakin tidak produktif, sehingga tanaman yang ditanam pada lahan tersebut
menjadi tidak dapat tumbuh dengan optimal sehingga dapat menyebabkan hasil yang didapat tidak
maksimal. Hal ini mendorong para petani untuk melakukan pemupukan pada tanaman mereka, namun
dengan semakin mahalnya harga pupuk serta rendahnya hasil yang didapatkan dari ladang atau lahan
pertanian mereka menyebabkan semakin berkurang kesejahteraan para petani tersebut.
BAB II Analisis Masalah dan Solusi
2.1 Analisis Alur Pikir Terjadinya Masalah
Jumlah penduduk yang saat ini semakin meningkat karena berjalannya waktu hal ini
menyebabkan banyaknya alih fungsi lahan mulai dari daerah hutan hingga daerah persawahan yang
mengakibatkan beberapa permasalahan baru, seperti yang diungkapkan oleh Suprianto et al., (2019)
karena alih fungsi lahan hutan seperti hilangnya fungsi hutan yang berperan sebagai hidrologi air,
pengatur keseimbangan hama, pengatur kelembaban dan pengatur dalam proses pembuahan tanaman
merupakan permasalahan lingkungan yang baru, hal tersebut didorong oleh beberapa faktor untuk
pengalihan fungsi lahan yang dibagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal terdiri
dari faktor teknis, ekonomis, dan sosial, sedangkan untuk faktor eksternal sendiri terdiri dari migrasi,
kebijakan pembangunan pemerintah daerah spasial dalam tata guna ruang wilayah dan laju
pertumbuhan penduduk. Analisis kondisi lahan di Sumberjaya Lampung yang diamati, dapat di diambil
hipotesis terjadi degradasi lahan yang disebabkan karena inovasi teknis, konservasi tanah dan air,
pembangunan jalan dan infrastruktur, dan pengaturan penguasaan tanah. Akan tetapi keberadaan hutan
dianggap kurang memberikan manfaat secara langsung untuk masyarakat sekitar yang membutuhkan
lahan untuk digarap, karena hal itu konflik kepentingan antar kelestarian sumberdaya alam sebagai
kelestarian untuk ekologi dengan kebutuhan ekonomipun terjadi di Kecamatan Sumberjaya, Lampung.
Sehingga diperlukan solusi dengan alih fungsi lahan kawasan hutan untuk menghasilkan komposisi
tutupan lahan yang optimal yang berfungsi sebagai penyedia jasa lingkungan sekaligus peningkatan
pendapatan masyarakat yang perlu dilakukan untuk mencapai keberlanjutan ekonomi, sosial dan
ekologi dari ekosistem hutan yang lebih baik lagi.
Lahan Hutan di Sumberjaya Lampung setelah diamati menunjukkan kondisi yang kritis lahan
yang jika tidak dilakukan konservasi segera akan ditakutkan terjadi penurunan daya dukung tanah.
Tanah yang mengalami penurunan fungsi atau degradasi jika penurunan kualitas lahan tersebut masih
berlanjut. Wahyunto dan Dariah (2014) menyatakan gejala penurunan kualitas lahan di lapangan dapat
dicirikan dengan berkurangnya vegetasi yang menutupi lahan dan gejela erosi yang dapat ditandai
dengan banyaknya torehan atau alur drainase yang mempengaruhi fungshidrologi dan daerah di
sekitarnya. Kerusakan yang diakibatkan tersebut dapat berupa erosi pada skala tertentu yang merugikan
mulai dari segi ekonomi, kemampuan lahan dalam produksi tanaman pada kondisi optimum, dan tanah
akan mengalami degradasi unsur hara. Ketidakmampuan lahan pada pemberian hasil produksi tanaman
yang optimal akan menyebabkan kerugian pada petani dari segi pendapatannya yang berkurang. Akan
tetapi, petani juga terkadang melakukan tindakan yang malah mengakibatkan degradasi lahan yang
berupa penggunaan bahan kimia yang berlebih , alih fungsi lahan hutan menjadi area perumahan
(nonpertanian),dan degradasi lahan karena pengelolaan pertanian yang intensif.
Verbist, et al., (2004) berpendapat bahwa alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian yang
berupa sistem tanam yang terbuka dari aspek lingkungan mengakibatkan lahan menjadi tidak dapat
diolah untuk lahan berkelanjutan yang merupakan faktor utuma dari menurunnya ketersediaan air di
hilir sungai dan hilangnya fungsi perlindungan DAS. Hal ini didukung dengan pendapat Habibah et al.,
yang menyatakan Sedimentasi pada saluran irigasi dapat menyebabkan pendangkalan saluran sehingga
kapasitas saluran menjadi berkurang dan tidak mampu menampung depit limpasan yang terjadi, dampak
yang sering terlihat karena alih fungsi lahan tersebut seperti menurunnya tingkat kesuburan lahan
pertanian yang terjadi pada jangka pendek maupun jangka panjang, meningkatnya erosi tanah dan
sedimentasi pada sungainya. Erosi sendiri berawal dari penghancuran agregat tanah oleh air hujan
sehingga menyebabkan aliran air pada permukaan yang akhirnya akan mengikis lapisan tanah dan
menuju ke tempat yang lebih rendah dan terjadi pengendapan berupa sedimentasi di sungai, waduk, dan
juga laut. Hal ini juga menyebabkan unsur hara yang terkandung pada tanah juga menghilang,
sehingga petani berusaha mengembalikan unsur hara tersebut dengan penambahan bahan kimia ke
dalam tanah dengan tujuan tanah dapat kembali menyediakan unsur hara dan dapat mengembalikan
kondisi tanah seperti semula. Apabila hal tersebut dilakukan secara intensif makan dapat mengakibatkan
kerusakan ekosistem secara tidak langsung dan merugikan petani karena biaya perawatan juga akan
bertambah, sedimentasi pada sungai juga sama kondisinya pada daerah hulu yang tanahnya terbawa
oleh aliran air yang menyebabkan luapan air sungai hingga menyebabkan banjir
2.2 Analisis Penyebab Masalah
Penyebab terjadinya masalah pada suatu lahan yaitu adanya kemiringan lereng yang dapat
menyebabkan terjadinya suatu erosi. Kemiringan lereng memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
terjadinya erosi dan semakin tinggi nilai kemiringan lereng maka laju sedimentasinya semakin
meningkat (Yusuf et al., 2018). Berdasarkan gambar pada lahan yang berada di Sumberjaya Lampung,
lahan tersebut mengalami kerusakan berat yang mengakibatkan terjadi suatu erosi. Erosi yang terjadi
secara terus menerus seperti pada gambar dapat menyebabkan terjadinya bencana alam yaitu tanah
longsor ataupun bahkan dapat terjadi bencana alam yang lebih parah lainnya. Selain kemiringan
terjadinya erosi pada gambar tersebut juga dapat disebabkan karena kurangnya tutupan pada lahan.
Lahan yang terbuka tanpa ditutupi kanopi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya erosi yang
tinggi dibandingkan dengan lahan yang memiliki penutup.
Tutupan lahan atau vegetasi memiliki peran penting dalam aliran permukaan dan laju erosi
tanah yaitu melindungi tanah dari daya rusak yang ditimbulkan air terutama saat hujan Pitaloka et al.,
(2019). Kegiatan manusia juga menjadi penyebab masalah terbesar dalam kerusakan lahan yang dapat
menyebabkan menurunnya kualitas fisik, kimia maupun biologi tanah, berkurangnya hasil tanaman
serta kurangnya unsur hara akibat terbawa aliran air akibat terjadinya hujan. Contoh kegiatan manusia
yang dapat menjadi penyebab masalah yaitu kegiatan ekploitasi besar besaran, hal tersebut berpengaruh
pada kondisi tanah yang mengakibatkan penurunan pada kualitas lahan. Selain terjadinya penurunan
kualitas tanah pada lahan juga terlihat bahwa lahan pada daerah sumberjaya tersebut mengalami
kekurangan air. Hal tersebut dapat diketahui dari gambar dimana lahan terlihat sangat kering.
Penyebab masalah ini tidak hanya menjadi penyebab kerusakan pada satu daerah saja,
melainkan dapat menjadi suatu masalah mulai dari daerah hulu hingga daerah hilir. Erosi yang terjadi
di daerah hulu akan mengalir terbawa oleh aliran arus sungai menuju daerah hilir dengan membawa
berbagai unsur hara. Kemudian pada daerah hilir akan terjadi pengendapan yang dibawa arus sungai
dari daerah hulu. Dengan adanya sedimentasi dapat menyebabkan sungai menjadi dangkal dan adanya
penurunan kualitas air. Erosi tidak bisa dihilangkan sama sekali atau tingkat erosinya nol, khususnya
untuk lahan-lahan pertanian. Budidaya perkebunan di dataran tinggi dihadapkan pada faktor pembatas
biofisik seperti lereng yang relatif curam, kepekaan tanah terhadap erosi dan longsor dan curah hujan
yang tinggi (Idjudin, 2011). Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan di
dataran tinggi dapat menimbulkan kerusakan biofisik berupa degradasi kesuburan tanah dan
ketersediaan air yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di lahan dataran tinggi, tetapi
juga di bagian hilirnya.
2.3 Solusi dari Akar Masalah
Degradasi lahan akan berdampak buruk terhadap produktivitas lahan serta ekonomi
masyarakat. Lahan yang terdegradasi tidak hanya berdampak terhadap produktivitas lahan, tetapi juga
akan berpengaruh terhadap perubahan iklim global. Degradasi lahan menjadikan suatu lahan memiliki
tingkat kesuburan (baik fisik, kimia, dan/atau biologi) yang rendah sehingga tidak dapat mendukung
pertumbuhan tanaman secara optimal, juga bisa dikategorikan sebagai lahan suboptimal. Laju degradasi
lahan yang tinggi menandakan 5 bahwa bahan organik yang sangat rendah (<1%) yang terdapat di
beberapa kondisi lahan yang miring dan kering.
Kondisi lahan pada sumberjaya Lampung yakni miring dan kering menjadikan degradasi lahan menjadi
suatu permasalahan yang umum. Erosi merupakan salah satu penyebab utama degradasi lahan miring
dan kering. Upaya dalam menghindari kemungkinan terjadinya degradasi pada suatu lahan, makan
dilakukan konservasi untuk mengelola suatu lahan agar tetap lestari (Dariah dan Heryani, 2014).
Pemanfaatan lahan kering berlereng untuk produksi pangan memerlukan penerapan teknologi
konservasi tanah dan air yang tepat untuk meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan dan
menjaga kelestarian lingkungan. Konservasi tanah dan air melalui pendekatan agroekosistem dapat
meningkatkan keuntungan usaha tani, memperbaiki ketahanan pangan, dan meningkatkan produktivitas
lahan secara berkelanjutan (FAO 2011). Aspek penting dalam konservasi tanah dan air pada lahan kering
terdegradasi di daerah tropis ialah penutup tanah organik karena dapat memengaruhi aktivitas biologi
tanah, serta peningkatan bahan organik dan kesuburan tanah (Lahmar et al. 2011).
Kondisi lahan pada sumberjaya Lampung kering berlereng menjadikan erosi pada saat musim
hujan dan kekeringan pada musim kemarau menjadi suatu masalah utama. Maka dari itu untuk
menanggulangi masalah ini, perlu dilakukan tindakan-tindakan konservasi tanah. Keberhasilan
pengendalian erosi sangat ditentukan dari pengelolaan tanah yang baik dan tindakan-tindakan
argronomis. Menurut pendapat Idjudin (2011), tindakan konservasi tanah dalam mengendalikan erosi
tanah dapat dilakukan dengan beberapa cara adalah sebagai berikut:
1. Mengatur aliran permukaan sehingga dapat mengalir dengan kekuatan yang tidak merusak
Tujuan utama pembuatan saluran drainase adalah untuk mencegah genangan dengan
mengalirkan air aliran permukaan, sehingga kekuatan air mengalir tidak merusak tanah,
tanaman, dan/atau bangunan konservasi lainnya. Di areal rawan longsor, pembuatan saluran
drainase ditujukan untuk mengurangi laju infiltrasi dan perkolasi, sehingga tanah tidak terlalu
jenuh air, sebagai faktor utama pemicu terjadinya longsor.
2. Memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar memiliki ketahanan terhadap penghancuran
agregasi tanah dan pengangkutan, kemudian meningkatkan daya serap air di permukaan tanah
Budidaya dengan sistem tanam lorong (alley cropping) merupakan sistem budidaya dengan
menggunakan tanaman pagar yang ditanam sesuai dengan garis kontur untuk mengontrol tingkat erosi
yang terjadi pada suatu lahan dan antara tanaman pagar tersebut ditanami dengan tanaman semusim.
Menurut Ariani et al., (2018), Budidaya dengan sistem lorong dapat meningkatkan unsur hara di dalam
tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, serta meningkatkan kesuburan tanah melalui
aktifitas fauna dalam tanah sehingga dengan sistem ini dapat menurunkan erosi dan memperlambat air
hujan yang mengalir diatas permukaan tanah. Pengendalian erosi melalui sistem tanam lorong sangat
tergantung pada jenis tanaman pagar yang ditanam, jenis tanah, kemiringan lereng, jarak tanam yang
digunakan serta waktu penanaman.
Budidaya dengan sistem tanam lorong (alley cropping) paling dominan diterapkan pada kondisi
lahan berlorong dan di areal humid dan subhumid tropic. Langkah penerapan sistem pertanaman lorong
diiringi dengan penanaman tanaman pagar yang berupa tanaman pohon maupun leguminosa yang dapat
mengikat nitrogen. Setelah tanaman pagar tumbuh dengan baik, tanaman pagar sebaiknya dipangkas
secara teratur agar tidak menimbulkan naungan bagi tanaman utama (Ariani et al., 2018).
3. Penggunaan Mulsa Organik dari Bahan Hijauan
b) Pembuatan
1) Pembuatan bangunan saluran pembuangan air
Hal pertama yang digunakan penggalian tanah sesuai dengan profil, kemudian dasar SPA
(saluran pembuangan air) pada teras bangku dibuat dengan kemiringan 0,1-0,5 % ke arah luar sehingga
perbedaan tinggi sasar saluran yang berjarak 5 m adalah 0,5-2,5. Setiap jarak 1 meter sepanjang saluran
pembungan air ditanami gebalan rumput selebar 20 cm melintang saluran pembuangan air.
2) Pembuatan bangunan terjunan
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah dua atau tiga potong bambu bulat ditanam ke dalam
tanah 0,5 meter, sedangkan yang berada dipermukaan saluran dipasangan setinggi bangunan terjunan.
Kemudian bambu dibelah dan dipasang melintang terjunan dan kulit bagian luar bambu diletakkan di
bagian luar. Setelah itu, pemasangan bambu disusun mulai dari bawah dengan kedua ujungnya yang
dimasukkan ke dalam bagian kanan kiri dinding saluran pembuangan air dan diikatkan pada bambu
bulat.
3) Pemeliharan
Pemeliharaan dapat dilakukan dengan pembersihan saluran dari endapan dan perbaikan bambu
apabila terjadi kerusakan karena sudah lapuk atau karena akibat yang lainnya.
3. Bangunan Terjunan Air (BTA)
Lubis, N. 2021. Pengaruh Mikoriza dan Mikroba Pelarut Fosfat Terhadap Serapan P dan Pertumbuhan
dan Produksi Kacang Hijau (Vigna radiata L.) Pada Bekas Lahan Sawah. Juripol (Jurnal
Institusi Politeknik Ganesha Medan), 4(2): 179-189.
Mardiatno, D., dan Marfai, M. A. 2021. Analisis bencana untuk pengelolaan daerah aliran sungai
(das): studi kasus kawasan hulu das Comal. UGM PRESS.
Maria, R., Lestiana, H., dan Mulyono, A. 2012. Upaya Konservasi Tanah dan Air dengan Agroforestri
di Subang Selatan. Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI.
167-176.
Muhardiono, I. 2019. Konservasi Tanah dan Air Lahan Miring dengan Metode Mekanik (Countour
Farming).
Pitaloka, D., Talifatim, M., Nurrohman, R., dan Safitri, E. D. 2019. Teknik Konservasi Lahan
Menggunakan Metode Kanopi Tanaman Labu Siam (Sechium Edule) Di Desa
Sumber Brantas Batu Malang. Viabel: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian. 13(2): 36-40
Raka, I. D. N., Wiswasta, I. A., dan Budiasa, I. M. 2011. Pelestarian Tanaman Bambu Sebagai Upaya
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah di Daerah Sekitar Mata Air Pada Lahan Marginal di
Bali Timur. Jurnal Agrimeta, 1(01).
Roni, N. G. K. 2015. Konservasi tanah dan air. dalam Buku Ajar, Bali: Fakultas Peternakan
Universitas Udayana.
Sari, W. W. 2022. Olah Tanah dan Bermacam Tekniknya. Materi Lokalita. Diakses pada 24 Februari
2023. http://cybex.pertanian.go.id/artikel/100312/olah-tanah-dan-bermacamtekniknya/
Sistem Informasi Komunikasi Penataan Ruang Daerah Istimewa Yogyakarta. 2020. Bangunan Terjunan
Air. [Online]: http://www.sipr.jogjaprov.go.id/ Diakses pada 25 Februari 2023.
Suprianto., Eri Cahrial dan Hendar Nuryaman. 2019. Faktor-Faktor Pendorong Alih Fungsi Lahan
Sawah Di Kota Tasikmalaya. Jurnal Agristan. 1(1): 1-11.
Sutrisno, N. and Heryani, N., 2013. Teknologi konservasi tanah dan air untuk mencegah degradasi lahan
pertanian berlereng.
Tutuarima, C. T., Talakua, S. M., dan Osok, R. M. 2021. Penilaian Degradasi Lahan dan Dampak
Sedimentasi terhadap Perencanaan Bangungan Air di Daerah Aliran Sungai Wai Ruhu, Kota
Ambon. Jurnal Budidaya Pertanian, 17(1): 43-51.
Verbist, B., dan Pasya, G., 2004. Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik dan
Negosiasi Di Sumberjaya, Lampung Barat – Propinsi Lampung. Agrivita 26 (1): 2027.
Wahyudi, 2014. Teknik Konservasi Tanah serta Impelementasinya pada Lahan Terdegradasi dalam
Kawasan Hutan. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan.6(2):71-85.
Wahyunto dan Dariah. 2014. Degradasi Lahan di Indonesia: Kondisi Existing, Karakteristik, dan
Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju Satu Peta. Jurnal Sumberdaya Lahan. Vol
8(2): 81-93.
Yusuf, M. F., Yakub, S., Emi, S., Agung, M., Aton, P., Zufianldi, Z., 2018. Pengaruh Kemiringan Lereng
terhadap Laju Sedimentasi pada Rencana Bendungan Parigi.
Bulletin of Scientific Contribution, 16(2): 89-100.
22