Kelompok 4 Ibu Yani
Kelompok 4 Ibu Yani
Dosen Pengampu
Asri Kusyani, S. Kep., Ns., M. Kep
Oleh Kelompok 4:
AssalamualaikumWr. Wb.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan nikmat hidup bagi
umat manusia dan karena rahmat dan kehendak-Nya, makalah ini. dapat diselesaikan.
Sholawat dan salam kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW
dan untuk para keluarganya, sahabat, dan pengikut-pengikutnya yang setia mendampingi
beliau. Terima kasih kepada kedua orang tua, dosen pembimbing, dan teman yang terlibat
dalam pembuatan makalah ini yang dengan doa dan bimbingannya makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik dan lancar.
Kami sadari sepenuhnya bahwa makalah yang berjudul "Perawatan Terhadap
Individu Dan Komunitas, Perawatan Psikososial Dan Spiritual Pada Korban
Bencana, Perawatan Untuk Populasi Rentan (Lansia,Wanita Hamil, Anak-Anak,
Orang Dengan Penyakit Kronis, Disabilitas, Sakit Mental)” yang kami susun ini sangat
jauh dari kesempurnaan, baik dari segi penulisan maupun isinya yang masih kurang tepat.
Kesalahan demikian adalah karena masih sangat terbatas ilmu yang kami miliki, oleh
karena itu dengan kerendahan hati, kami harapkan kritik dan saran yang membangun selalu
mengalir untuk kesempurnaan makalah ini. Sebagaimanakala sederhana yang kami
harapkan seluruh pecinta ilmu pengetahuan, sudah sepatutnya kita memohon kepada Allah
SWT. Semoga Allah selalu senantiasa memberkati fikiran dan semua tindakan yang kita
lakukan Aamiin Allahumma Aamiin.
Wassalamu’alaikumWr. Wb.
Penulis,
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Posisi wilayah Indonesia, secara geografis dan demografis rawan terjadinya bencana
alam dan non alam seperti gempa tektonik, tsunami, banjir dan angin puting beliung.
Bencana non alam akibat ulah manusia yang tidak mengelola alam dengan baik dapat
mengakibatkan timbulnya bencana alam, seperti tanah longsor, banjir bandang,
kebakaran hutan dan kekeringan. The United National Disaster Management Training.
Program,mendefinisikan bencana adalah kejadian yang datang tiba-tiba dan
mengacaukan fungsi normal masyarakat atau komunitas. Peristiwa atau rangkain
kejadian yang menimbulkan korban jiwa, kerusakan atau kerugian infrastruktur,
pelayanan umum, dan kehidupan masyarakat. Peristiwa ini diluar kapasitas normal dari
masyarakat untuk mengatasinya, sehingga memerlukan bantuan dari luar masyarakat
tersebut (Kollek, 2013). Berdasarkan pengertian-pengertian bencana diatas, bencana
dapat diartikan sebagai suatu kejadian atau peristiwa yang tidak dapat diatasi oleh
masyarakat dan dapat menimbulkan korban jiwa, kerusakan maupun kerugian harta
benda. Menurut Badan Penanggulan Bencana Inonesia (2016) telah terjadi 2.384 bencana
alam di seluruh Indonesia Angka ini meningkat signifikan dibanding tahun 2015 dimana
catatan bencana alam berjumlah 1.732 kejadian. Selama 2016 terjadi 766 bencana banjir,
612 longsor, 669 puting beliung, 74 kombinasi banjir dan longsor, 178 kebakaran hutan
dan lahan, 13 gempa, tujuh gunung meletus, dan 23 gelombang pasang dan abrası.
Dampak yang ditimbulkan bencana telah menyebabkan 522 orang meninggal dunia dan
hilang, 3,05 juta jiwa mengungsi dan menderita, 69.287 unit rumah rusak dimana 9.171
rusak berat, 13.077 rusak sedang, 47.039 rusak ringan, dan 2.311 unit fasilitas umum
rusak (BNPB, 2016). Dampak yang ditimbulkan menimbulkan kedaruratan disegala
bidang termasuk kedaruratan situasi pada masalah kesehatan pada kelompok rentan.
Kelompok rentan adalah sekelompok orang yang membutuhkan penanganan khusus
dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui dan
lanjut usia baik dengan fisik normal maupun cacat. Bencana alam bisa menimbulkan
korban jiwa yang tinggi pada kelompok rentan, salah satunya penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau
mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
1
melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik,
penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan mental (Peraturan
Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan
Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Hasil Riskesdas 2018 mendapatkan 74,3% lansia
dapat beraktifitas sehari-hari secara mandiri, 22,0% mengalami hambatan ringan, 1,1%
hambatan sedang, 1% hambatan berat, dan 1,6% mengalami ketergantungan total. Ketika
terjadi suatu bencana akan timbul beberapa kejadian atau situasi psikologis maupun
mental yang dialami oleh biasa sehingga gangguan mental yang sering muncul pada
lansia setelah bencana adalah depresi dan gangguan fungsi kognitif. korban, termasuk
juga per5 dari 37 mental seperti kepanikan yang luar.
2
1.3 Tujuan
1. Perawatan Terhadap Individu Dan Komunitas
a. Mengetahui definisi bencana
b. Mengetahui prinsip-prinsip penanggulangan bencana
c. Mengetahui masalah-masalah Kesehatan Masyarakat akibat bencana alam
d. Mengetahui tujuan penanggulangan bencana
e. Mengetahui langkah-langkah dalam penanggulangan bencana
f. Mengetahui dampak dari bencana
2. Perawatan Psikososial Dan Spiritual Pada Korban Bencana
a. Mengetahui terapi psikososial
b. Mengetahui terapi spiritual
3. Perawatan Untuk Populasi Rentan (Lansia, Wanita Hamil, Anak-Anak, Orang
Dengan Penyakit Kronis, Disabilitas, Sakit Mental)
a. Mengetahui definisi kelompok rentan
b. Mengetahui perawatan populasi rentan pada lansia
c. Mengetahui perawatan populasi rentan pada lansia disabilitas
d. Mengetahui perawatan populasi rentan pada lansia pada sakit mental
e. Mengetahui perawatan populasi rentan pada Wanita Hamil
f. Mengetahui perawatan populasi rentan pada Anak-Anak
g. Mengetahui perawatan populasi rentan pada Orang dengan Penyakit Kronis.
h. Mengetahui sumber daya yang tersedia dilingkungan untuk kebutuhan kelompok
resiko
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
7. Harus ada sistem komunikasi sentral untuk satu kota atau daerah dengan nomor
telepon khusus seperti 118
8. Sistem ambulance dengan petugas dinas 24 jam dan mampu melakukan resusirasi
dan life support seperti ambulan 118 yang dapat dimanfaatkan untuk menolong
penderita gawat dan korban kecelakaan
9. Dari segi medis melaksa Dari segi medis melaksanakan tindakan-tindakan yang
nakan tindakan-tindakan yang mudah cepat dan mudah cepat dan menyelamatkan
jiwa
10. Lebih mencurahkan perhatian pada penderita yang mempunyai harapan yang lebih
baik, seperti perdarahan luar, traumatic, amputasi, gangguan jalan napas, dan lain-
lain
11. Kerjasama yang baik di bawah seorang pimpinan yang disebut dengan petugas
triage
12. Menggunakan buku pedoman bagi petugas polisi, dinas kebakaran, dan medis /
para medis, satuan SAR dalam penanggulangan bencana.
5
tenaga medis dan para medis yang bertindak cepat untuk mengurangi
kematian tersebut.
3. Masalah Kesehatan Lingkungan
Mencakup masalah-masalah yang berkaitan erat dengan sanitasi lingkungan,
tempat penampungan yang tidak memenuhi syarat,
seperti penyediaan penyediaan air bersih, bersih, tempat pembuangan
pembuangan tinja dan air bekas, tempat pembungan pembungan sampah,
sampah, tenda penampungan penampungan dan kelengkapannya, kelengkapannya,
kepadatan dari tempat penampungan, dsb.
4. Suplai Bahan Makanan dan Obat-obatan
Apabila kekurangan suplai makanan dan obat-obatan untuk membantu korban
bencana, maka kemungkinannya akan menimbulkan berbgaai masalah
diantaranya:
a. Kekurangan gizi dari berbagai lapisan umur
b. Penyakit infeksi dan wabah, diantaranya infeksi pencernaan (GED), infeksi
pencernaan akut seperti influenza, penyakit kulit
5. Keterbatasan Tenaga Medis dan Paramedis serta Transportasi ke Pusat Rujukan
Tabel Kemungkinan Akibat Bencana Menurut Jenis Bencana
Macam Kematian Kesakitan Penyakit Penyakit
Bencana Primer Primer Primer Sekunder
Gempa Bumi +++ + Trauma fisik, GED, defisiensi
psikis gizi, penyakit
kulit, infeksi
pernafasan
Letusan ++ +++ Trauma fisik, Idem
Gunung psikis dan
Merapi termis
Banjir + + Infeksi Idem
saluran cerna,
saluran
pernafasan
Gerakan ++ + Idem Idem, tidak
Tanah - (gempa) terlalu
6
mengkhawatirkan
Angin Topan + + Idem Idem + malaria
-
Gelombang ++ + Idem Idem
Pasang -
7
b. Sistem kardiovaskular, meliputi tekanan darah; tinggi atau rendah; nadi cepat,
lambat, atau lemah
c. Sistem musculoskeletal. seperti luka, trauma, fraktur
d. Tingkat kesadaran, kompos mentis – koma
2. Pertolongan darurat
Evaluasi melalui sistem triage sesuai dengan urutan prioritas
a. Atasi masalah jalan napas; atur posisi (semi fowler, high
fowler), bebaskan bebaskan jalan napas dari sumbatan, sumbatan, berikan
berikan oksigen oksigen sesuai kebutuhan, awasi pernapasan
b. Atasi perdarahan; bersihkan luka dari kotoran dan benda asing, desinfeksi
luka, biarkan darah yang membeku, balut luka
c. Fraktur atau trauma; imobilisasikan dengan memasang spalak, balut
d. Kesadaran terganggu; bebaskan jalan napas, awasi tingkat kesadaran, dan
tanda-tanda vital
3. Rujukan segera ke puskesmas/rumah sakit Dengan menyiapkan ambulan dan
melakukan komunikasi sentral ke pusat rujukan.
8
tahan tubuh dan bila tidak segera ditanggulangi akan menimbulkan masalah di bidang
kesehatan. Sementara itu, pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana
sering menemui banyak kendala akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak
memadainya jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan
dan dana operasional. Kondisi ini tentunya dapat menimbulkan dampak lebih buruk
bila tidak segera ditangani (Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat
Jenderal Departemen Kesehatan, 2001).
Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berbeda- beda, antara
lain tergantung dari jenis dan besaran bencana yang terjadi. Kasus cedera yang
memerlukan perawatan medis, misalnya, relatif lebih banyak dijumpai pada bencana
gempa bumi dibandingkan dengan kasus cedera akibat banjir dan gelombang pasang.
Sebaliknya, bencana banjir yang terjadi dalam waktu relatif lama dapat menyebabkan
kerusakan sistem sanitasi dan air bersih, serta menimbulkan potensi kejadian luar
biasa (KLB) penyakit-penyakit yang ditularkan melalui media air (water-borne
diseases) seperti diare dan leptospirosis. Terkait dengan bencana gempa bumi, selain
dipengaruhi kekuatan gempa, ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi banyak
sedikitnya korban meninggal dan cedera akibat bencana ini, yakni: tipe rumah, waktu
pada hari terjadinya gempa dan kepadatan penduduk (Pan American Health
Organization, 2006).
Bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan bagi
masyarakat terdampak. Dampak ini akan dirasakan lebih parah oleh kelompok
penduduk rentan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 (2) UU Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: 1). Bayi, balita
dan anak-anak; 2). Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; 3). Penyandang
cacat; dan 4) Orang lanjut usia. Selain keempat kelompok penduduk tersebut, dalam
Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara
Pemenuhan Kebutuhan Dasar ditambahkan „orang sakit‟ sebagai bagian dari
kelompok rentan dalam kondisi bencana. Upaya perlindungan tentunya perlu
diprioritaskan pada kelompok rentan tersebut, mulai dari penyelamatan, evakuasi,
pengamanan sampai dengan pelayanan kesehatan dan psikososial.
Pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering tidak memadai.
Hal ini terjadi antara lain akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya
jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan, terbatasnya
dana operasional pelayanan di lapangan. Bila tidak segera ditangani, kondisi tersebut
9
tentunya dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk akibat bencana tersebut.
Salah satu permasalahan kesehatan akibat bencana adalah meningkatnya
potensi kejadian penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Bahkan, tidak
jarang kejadian luar biasa (KLB) untuk beberapa penyakit menular tertentu, seperti
KLB diare dan disentri yang dipengaruhi lingkungan dan sanitasi yang memburuk
akibat bencana seperti banjir. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan
keluhan yang yang paling banyak diderita pengungsi sepuluh jenis penyakit bencana.
letusan Gunung Merapi tahun 2010 di Kabupaten Sleman. Berbagai literatur
menunjukkan bahwa sanitasi merupakan salah satu kebutuhan vital pada tahap awal
setelah terjadinya bencana (The Sphere Project, 2011; TekeliYesil, 2006). Kondisi
lingkungan yang tidak higienis, persediaan air yang terbatas dan jamban yang tidak
memadai, misalnya, seringkali menjadi penyebab korban bencana lebih rentan untuk
mengalami kesakitan bahkan kematian akibat penyakit tertentu. Pengalaman bencana
letusan Gunung Merapi pada tahun 2006 (USAID Indonesia – ESP, 2006) dan 2010
(EHA – WHO Indonesia, 2010; Forum PRB DIY, 2010; ACT Alliance, 2011; BNPB,
2010, gempa bumi di Pakistan (Amin dan Han, 2009) dan Iran (Pinera, Reed dan
Njiru, 2005) pada tahun 2005, banjir di Bangladesh pada tahun 2004 (Shimi, Parvin,
Biswas dan Shaw, 2010), serta gempa disertai tsunami di Indonesia (Widyastuti dkk,
2006) dan Srilanka (Fernando, Gunapala dan Jayantha, 2009) pada akhir 2004
menunjukkan beberapa masalah terkait kesehatan lingkungan dan sanitasi.
Permasalahan tersebut termasuk terkait penilaian kebutuhan (assessment ) yang tidak
mudah dan cepat, ketersediaan dan kecukupan sarana, distribusi dan akses yang tidak
merata, privasi dan kenyamanan korban bencana (khusunya kelompok perempuan)
serta kurangnya kesadaran dan perilaku masyarakat terkait sanitasi pada kondisi
darurat bencana.
Kesehatan reproduksi merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang
perlu mendapatkan perhatian, khususnya pada bencana yang berdampak kepada
masyarakat dalam waktu relatif lama. Peran penting petugas kesehatan diperlukan,
tidak hanya untuk memberikan pelayanan KB pada situasi bencana, tetapi juga untuk
mengedukasi pasangan untuk mencegah kejadian kehamilan yang tidak direncanakan.
10
kesehatan psikologis namun penelitian psikoterapi mengungkapkan bahwa banyak
pasien tidak menunjukkan perubahan yang signifikan secara klinis. Sehingga
diperlukan untuk mengoptimalkan psikoterapi untuk kecemasan kesehatan
psikologis. Dengan cara membiasakan selama paparan sebagai mekanisme
perubahan sentral. Menurut teori emosional bahwa efek terapi eksposur disebabkan
oleh aktivasi struktur ketakutan dan integrasi informasi yang tidak sesuai dengannya
(misalnya penggabungan korektif informasi) yang mengarah pada pengembangan
struktur non ketakutan yang bersaing dengan ketakutan yang asli. Keuntungan dari
terapi eksposur virtual realiti adalah untuk gangguan kecemasan bahwa seseorang
kemungkinan kecil untuk berhenti dari perawatan sebelumnya jika perawatan
digunakan untuk menghadapi ketakutan seseorang didunia virtual daripada dunia
nyata. Gangguan kecemasan diukur menggunakan DSM-IV merupakan hal yang
paling umum mengenai gangguan mental. Terapi eksposur virtual realiti ini juga
baru dikembangkan untuk gejala PTSD, depresi. Adanya penurunan gejala PTSD
setelah melakukan perawatan dengan terapi eksposur. VRE juga dapat disampaikan
karena aman dan pengobatan yang menjanjikan untuk PTSD dengan trauma seksual
militer.
11
b. Khusyu‟
Pada kunci yang kedua, peneliti juga menganjurkan kepada responden untuk
khusyu dan memusatkan pikiran pada saat berdoa dengan penuh kerendah hatian.
c. Ikhlas
Pada kunci yang ketiga, peneliti meminta kepada responden untuk ikhlas terhadap
masalah yang dialaminya yaitu pada waktu terkena dampak erupsi merapi.
d. Pasrah
Pada kunci ini peneliti meminta kepada responden untuk pasrah atau menyerahkan
kepada Tuhan tentang masalah yang dialaminya.
e. Syukur
Dan pada kunci terakhir, peneliti menganjurkan kepada responden.
2.3 Perawatan Untuk Populasi Rentan (Lansia, Wanita Hamil, Anak-Anak, Orang
Dengan Penyakit Kronis, Disabilitas, Sakit Mental)
2.3.1 Definisi Kelompok Rentan
Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam situasi
bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat diakibatkan
adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang pada saat bencana terjadi
menjadi beresiko lebih besar, meliputi: bayi, balita, dan anak-anak; ibu yang sedang
mengandung / menyusui; penyandang cacat (disabilitas); dan orang lanjut usia.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia,kelompok rentan adalah
semua orang yang menghadapi hambatan atauketerbatasan dalam menikmati standar
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat
yangberperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang
harus mendapatkan perlindungan dari pemerintahkarena kondisi sosial yang sedang
mereka hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai : (1)
mudah terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah ini
lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang
lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang mudah
dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang
pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.
12
1. Definisi
Lansia merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental dan
ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan
kemampuan mobilitas fisik dan atau karena mengalami masalah kesehatan kronis
(Klynman et al,2007).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca
bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang
dapat memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut
(Klynmman et al,2007).
2. Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Beresiko Pada Lansia
a. Pra Bencana
1) Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster plan
di rumah.
2) Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan
bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum
bencana yakni
1) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara
penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan setelah itu
pun berjalan secara sistematis.Sebagai hasilnya, dilaporkan bahwa orang
lansia dan penyandang cacat yang disebut kelompok rentan pada bencana
tidak pernah diabaikan, sehingga mereka bisa hidup di pengungsian dengan
tenang.
2) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan pelatihan
praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan yang realistis dan
bermanfaat akan tercapai. (Farida, Ida. 2013).
b. Saat Bencana
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko
kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari trauma sekunder
13
2) Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi roda,
tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah
1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan orang
lansia ke tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh informasi
karena penuruman daya pendengaran dan penurunan komunikasi dengan
luar
2) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah dan
ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun berkecenderungan
terlambat dibandingkan dengan generasi yang lain.
3) Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera orang
lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses menua, maka
skala rangsangan luar untuk memunculkan respon pun mengalami
peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa
c. Pasca Bencana
1) Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas dengan
lansia dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
a) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-kegiatan
sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang
muda dan lansia (community awareness)
b) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam kegiatan
bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency perlindungan anak di
posko perlindunga korban bencana
2) Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang
sehat di lokasi penampungan korban bencana
3) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill
lansia.
4) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri
5) Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian
lansia.
14
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah
bencana adalah
1) Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai ketidakcocokan
dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh fungsi fisik yang dibawa
oleh setiap individu sebelum bencana dan perubahan lingkungan hidup di
tempat pengungsian. Kedua hal ini saling mempengaruhi, sehingga
mengakibatkan penurunan fungsi fisik orang lansia yang lebih parah lagi.
2) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia, tetapi juga
keadaan yang serius pada tubuh.Seperti penumpukan kelelahan karena
kurnag tidur dan kegelisahan.
3) Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan
perabotannya di luar dan dalam rumah.Dibandingkan dengan generasi
muda, sering kali lansia tidak bisa memperoleh informasi mengenai
relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga tersebut dengan optimal.
4) Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa
mengadaptasikan/menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru
(lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu yang
singkat
5) Mental Care
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya adaptasi,
sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh stressor.Namun
demikian, orang lansia itu berkecenderungan sabar dengan diam walaupun
sudah terkena dampak dan tidak mengekspresikan perasaan dan keluhan.
1. Perawatan Di Rumah
a. Cara Keluarga (Caregiver)
Kebutuhan Dasar Merawat lansia Kebutuhan dasar merawat lansia pada
penelitian teridentifikasi kebersihan diri (mandi, ganti baju, kebersihan mulut,
dan eliminasi), nutrisi, istirahat, mobilisasi, sosial dan pemberian obat.
Lueckenotte (2000) perawatan dasar pada lansia berhubungan dengan aktivitas
15
dasar sehari – hari bagi lansia yang sebenarnya meliputi tugas perawatan
pribadi setiap harinya yang berkaitan dengan kebersihan diri, nutrisi, aktivitas
lain seperti latihan fisik yang bertujuan untuk mempertahankan kualitas
hidupnya. Hasil penelitian memaparkan lansia selain memerlukan aktivitas
keseharian juga memerlukan istirahat yang cukup dalam mendukung kualitas
hidupnya agar tetap dalam keadaan sehat. Lansia membutuhkan aktivitas
untuk bersosialisasi dengan orang lain. Lansia yang mengalami masalah
kesehatan juga memerlukan perawatan dasar lain yang berguna untuk
meningkatkan kesehatannya yaitu pemberian obat. Didukung penelitian
Stanley (2005) mengungkapkan pemberi perawatan perlu memenuhi sebagian
besar AKS (Aktivitas Kebutuhan Sehari – hari) pada lansia. Hal tersebut
menjelaskan pemberi perawatan harus mengetahui benar tentang kebutuhan
dasar pada lansia yang dirawat sehingga lansia dapat mencapai kualitas hidup
di usia senjanya. Kebutuhan yang mendasar yang dibutuhkan lansia yang harus
dipenuhi adalah kebutuhan kebersihan diri, nutrisi, istirahat, mobilisasi atau
aktifitas fisik, kebutuhan dukungan sosial dan juga jika lansia mengalami
masalah kesehatan dukungan pengobatan harus diberikan oleh keluarga atau
pemberi perawatan.
b. Tujuan Merawat Lansia
Teridentifikasi dua tujuan yaitu membantu lansia dan menjaga keamanan
pada lansia. Tujuan merawat lansia yang dilakukan oleh caregiver menurut
Maryam (2008) untuk menghindari kecelakaan 8 dengan perbaikan lingkungan
disekitar lansia, membantu lansia dalam pemenuhan kebutuhan.Terdapat
persamaan antara konsep dengan hasil penelitian.Tujuan dalam perawatan
lansia adalah membantu lansia dalam memenuhi kebutuhannya dan menjaga
lansia agar tidak mengalami masalah karena sakit atau kecelakaan.Hal ini
didukung Sukmarini (2009) dalam Sarwendah (2013) yang menjelasakan
bahwa caregiver adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada orang
yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena penyakit
dan keterbatasannya.Hal tersebut memaparkan tujuan perawatan lansia yang
dilakukan oleh caregiver adalah untuk membantu lansia yang mengalami
keterbatasan dan ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu hal.
c. Metode Merawat Lansia
Metode merawat lansia dilakukan dengan upaya peningkatan kenyamanan
16
lansia (menawari hal yang disukai dan penuh perhatian), melibatkan keluarga
sebagai caregiver yang lain selama perawatan, dan membawa ke pelayanan
kesehatan baik itu ke rumah sakit ataupun puskesmas/ klinik kesehatan
terdekat. Videbeck (2008) memaparkan metode yang dapat digunakan untuk
memberikan perawatan pada lansia melalui pengobatan selain melalui
pendekatan individu yang dapat dilakukan dengan intervensi meningkatkan
keamanan klien melalui kerjasama dengan anggota keluarga yang ada sebagai
caregiver.Metode pemberian perawatan lansia dapat dilakukan dengan
pengobatan lansia dibawa ke tempat pelayanan kesehatan untuk mendapatkan
pengobatan yang sesuai dengan masalah yang dialaminya. Mengikut sertakan
anggota keluarga lainnya sebagai caregiver dapat dilakukan dalam mengurangi
beban bagi caregiver yang selama ini merawat lansia dalam kurun waktu yang
cukup lama, selain itu akan semakin meningkatkan rasa kekeluargaan diantara
anggota keluarga yang ada.
d. Dukungan Sosial Dalam Merawat Lansia
Keluarga yang berperan sebagai caregiver mendapatkan dukungan dari
internal yaitu suami/ istri dan juga dari eksternal yang berasal dari 9 kakak/
adik ipar, kakak/ adik kandung, kader lansia, dan tenaga kesehatan yang ada.
Bentuk dukungan yang didapat berupa dukungan informal yang berasal dari
kader posyandu, tenaga kesehatan baik itu perawat maupun dokter.Friedman
(1998) menjelaskan keluarga sebagai caregiver mendapat dukungan internal
seperti dukungan istri/suami, atau dukungan saudara kandung dan dukungan
eksternal yang berasal dari luar keluarga.Bentuk dukungan teridentifikasi
dukungan informal didapatkan oleh keluarga sebagai caregiver. Menurut
Suparyanto (2011) dukungan informasional keluarga didapatkan melalui
ketersediaan nasehat atau masukan dari petugas pelayanan kesehatan
terdekat.Dukungan informal yang telah didapatkan oleh caregiver yang sejalan
dengan konsep teori adalah yang berasal dari tenaga kesehatan. Hal tersebut
tergambar pentingnya informasi tentang perawatan lansia kepada keluarga
pemberi perawatan lansia tidak hanya informasi lisan tetapi juga informasi
tulisan demi meningkatkan kualitas perawatan.
17
Wanita hamil dalam keperawatan bencana merujuk pada wanita yang sedang
mengandung atau dalam keadaan hamil saat terjadi bencana alam atau situasi
bencana lainnya. Wanita hamil termasuk kelompok rentan dalam konteks
bencana, karena kehamilan mereka memerlukan perhatian khusus untuk
memastikan kesehatan dan keselamatan mereka serta perkembangan janin yang
sehat.
18
d) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi
bencana
2) Saat Bencana
a) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko
kerentanan bumil dan busui.
b) Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan
transportasi karena dapat merangsang kontraksi pada ibu hamil
c) Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
d) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban bumil
dan busui
3) Pasca Bencana
a) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan
emosional
b) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah
penampungan korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan
pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.
c) Melibatkan petugas petugas konseling untuk mencegah,
mengidentifikasi, mengurangi risiko kejadian depresi pasca bencana
19
bencana adalah anak-anak baik itu pada bencana alam maupun bencana yang
disebabkan oleh manusia (Powers & Daily, 2010).
Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau wali
mereka saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anakanak Indonesia
kehilangan satu atau dua orang tua mereka saat kejadian tsunami 2004. Terdapat
juga laporan adanya perdagangan anak (ChildTrafficking) yang dialami oleh anak-
anak yang kehilangan orang tua/wali (Powers & Daily, 2010).
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah kesehatan
jangka pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi,
penyakit-penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi,
ketidakmampuan melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan
kemampuan koping. Kondisi tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak
diidentifikasi dan ditangani dengan segera oleh petugas kesehatan (Powers &
Daily, 2010; Veenema, 2007).
3. Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada anak-anak
a. Pra Bencana
1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiagsiagaan
bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran atau gempa bumi
2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada
saat bencana
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko
b. Saat Bencana
1) Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar yang
digunakan saat bencana.
2) Lakukan pertolongan kegawat daruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan
tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan aspek
tumbuh kembangnya, misalnya menggunakan alat dan bahan khusus untuk
anak dan tidak disamakan dengan orang dewasa.
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua,
keluarga atau wali mereka.
c. Pasca Bencana
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
20
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan
sekolah
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
3) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
4) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan emosional
5) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi evakuasi
sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi resiko
kejadian depresi pada anak pasca bencana.
6) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkungan yang aman untuk mereka.
21
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan
bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan
kebutuhan khusus (cacat dan penyakit kronis).
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum
bencana bagi korban dengan penyakit kronik
1) Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien,
alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
2) Membantu pasien membiasakan diri untuk mencatat mengenai isi dari
obat yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga.
3) Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai
penanganan bencana sejak masa normal
c. Saat Bencana
1) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat
dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya), alat bantu
berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll.
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.
22
teratur. Karena banyak obat-obatan komersial akan didistribusikan
ketempat pengungsian, maka muncullah resiko bagi pasien penyakit
kronis yang mengkonsumsi beberapa obat tersebut tanpa memperhatikan
kecocokan kombinasi antara obat tersebut dan obat yang diberikan di
rumah sakit.
d. Pasca Bencana
1) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian
individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya:
kursi roda, tongkat, dll.
2) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu
dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis.
3) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.
23
(PRB), (3) aksesbilitas penyandang disabilitas terhadap materi ajar/belajar PRB,
(4) penyandang disabilitas tidak bisa sepenuhnya bertindak cepat dalam
penyelamatan diri, (5) kurangnya pendataan spesifik tentang identitas dan kondisi
penyandang disabilitas, dan (6) kurangnya fasilitas dan layanan yang aksesibel di
pengungsian (Konsorsium Hak Difabel (2012, h.23-27).
Penyandang disabilitas bertemu dengan tantangan yang unik dalam setiap
tahapan manajemen bencana, hal yang terlihat adalah gangguan fisik saja namun
yang sebenarnya terjadi adalah gangguan fisik, sosial, dan ekonomi, hal tersebut
diungkapkan oleh Raja dan Narasiman (2013, h.15). Gangguan sosial terjadi ketika
lingkungan sosial dari penyandang disabilitas tidak bisa mengakomodasi
keberadaanya dan gangguan ekonomi adalah permasalahan kemiskinan yang
seringkali sudah melekat pada dirinya.
Beberapa Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Inklusif bagi Penyandang
Disabilitas Menurut Andriani (2014, h.7-11), antara lain :
Menurut Andriani (2014, h.7-11) kegiatan dalam PRB Inklusif bagi
penyandang disabilitas antara lain:
a. Situasi Sebelum Bencana
Kegiatan yang seharusnya dilaksanakan pada situasi sebelum bencana antara
lain:
1) Koordinasi dan diskusi dengan komuitas/organiasi penyandang disabilitas
terkait risiko bencana dan membuat persiapan apabila teradi bencana;
2) Membuat pemetaan kebutuhan panyandang disabilitas ada saat
3) bencana alam; dan
4) Melatih penyandang disabilitas dan kerabat terdekat tentang kegiatan PRB.
b. Situasi Saat Bencana
Kegiatan yang dilakukan pada situasi saat bencana antara lain:
1) Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh dari lokasi
bencana;
2) Mengevakuasi penyandang disabilitas yang ditinggal oleh keluarganya saat
terjadi bencana;
3) Menampung di pengungsian;
4) Membawa korban ke rumah sakit;
5) Melakukan pendataan dan penilaian;
6) Memberikan konseling; dan
24
7) Memberikan terapi.
c. Early Recovery Early recovery dalam PRB inklusif bagi penyandang disabilitas
antara lain:
1) Melibatkan diri secara aktif dalam posko pemberian layanan dalam bencana
dan
2) Pemberian pelatihan penyelamatan diri bagi penyandang disabilitas.
d. Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Kegiatan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain:
1) Melaksanakan penilaian kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonsiliasi dalam
bidang ekonomi dan sarana prasarana;
2) Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir trauma;
3) Asistensi activity daily living serta sosialisasi kepada masyarakat; dan
4) Asistensi pemberdayaan ekonomi
2. Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada orang dengan
kecacatan/disabilitas
a. Pra bencana
1) Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll.Perlunya diadakan
pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan kebutuhan khusus
(cacat).
b. Saat bencana
1) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat,
alat bantu berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali
pakai, dll.
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat
yakni:
1) Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang
lama untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam
mengambil keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi
25
persiapan evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang
cacat dan penolong evakuasi
2) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat
disesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email,
sms, dll) dan siaran televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat
membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yag dilengkapi dengan alat
handsfree untuk tuna daksa dan sebagainya.
c. Pertolongan pada penyandang cacat
1) Tunadaksa
Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan
mudah jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau
pemakai kursi roda yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada di
tempat yang jalannya tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap
kursi roda seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus
mengecek keinginan si pemakai kursi roda dan keluarga.
2) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena
menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang
kondisi sekitar rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah
di tempat yang tidak familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah,
peganglah siku dan pundak, atau genggamlah secara lembut pergelangannya
karena berkaitan dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah
langkah di depannya.
3) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketikaberkunjung ke rumahnya karena tidak
dapat menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa
tulis, bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi
belum tentu semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat.
4) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena
kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan
seringkali mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan
pertanyaan yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa
26
mereka belum mengerti sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah
dimengerti (Farida, Ida. 2013).
d. Pasca bencana
1. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian
individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya:
kursi roda, tongkat, dll.
2. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu
dengan keterbatasan fisik Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana
pada penyandang cacat:
1) Kebutuhan rumah tangga.
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK
(mandi, cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan
tempat tidur, pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
2) Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-
obatan, perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan
kejiwaan
3) Tempat ibadah sementara
4) Keamanan wilayah
5) Kebutuhan air
6) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air bersih,
MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam
masyarakat dan pihak luar, penerangan/listrik, sekolah sementara, alat
angkut/transport, gudang penyimpanan persediaan, tempat pemukiman
sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan.
27
tindakan (psychomotor). Dimana para pengidap gangguan jiwa merupakan
penyandang disabilitas atau cacat mental.
Seperti halnya manusia pada umumnya, ketika terjadi suatu bencana akan
timbul beberapa kejadian atau situasi baik psikologis maupun mental yang dialami
oleh korban, termasuk juga penyandang cacat mental seperti kepanikan yang luar
biasa.
Secara prinsip, penanggulangan bencana dilaksanakan secara cepat dan tepat,
mengutamakan priorotas, adanya koordinasi dan keterpaduan,berdaya guna dan
berhasil guna, adanya transparansi dan akuntabilitas, system kemitraan dan
pemberdayaan, non diskriminatif dan nonproletisi. Non diskriminatif disini
mengandung pengertian bahwa dalam kegiatan penanggulangan bencana, pihak
manapun baik aparat maupun masyarakat tidak boleh membeda-bedakan satu sama
lain. Baik pembagian hak maupun kewajiban dalam kegiatan penanggulangan
resiko bencana.
Di dalam UU no 24 tahun 2007 tersebut telah disebutkan bahwa dalam
penanganggulangan bencana saat tanggap darurat terdapat perlindungan terhadap
kelompok rentan dilakukan dengan memberikan prioritas kepada kelompok rentan
berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan
psikososial. Kelompok rentan tersebut antara lain bayi, balita, anak-anak, ibu yang
sedang mengandung atau menyusui, penyandang cacat, dan orang lanjut usia.
Kelompok rentan yang disebutkan dalam Undang-Undang tersebut dapat
diartikan sebagai penyandang disabilitas atau difabel yang berasal dari kata
‘different abilities’ yaitu kemampuan yang berbeda. Dimana penyandang
disabilitas adalah setiap orang yang mengalami gangguan, kelainan, kerusakan,
dan/atau kehilangan fungsi organ fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam
jangka waktu tertentu atau permanen dan menghadapi hambatan lingkungan fisik
dan sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan kaum penyandang sakit
mental dalam setiap Negara pasti adab.
2. Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada Pengidap Gangguan
Jiwa
a. Pra Bencana
1) Bantuan Evakuasi : Saat bencana terjadi, penyandang cacat membutuhkan
waktu yang lama untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat
dalam mengambil keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi
28
persiapan evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang
cacat dan penolong evakuasi.
2) Mengikutsertakan dalam PRB : partisipasi penyandang dalam pendidikan
pegurangan risiko bencana (PRB).
3) Memberikan penyandang gangguan mental terhadap materi ajar/belajar PRB.
b. Saat Bencana
1) Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh dari lokasi
bencana
2) Mengevakuasi penyandang gangguan mental yang ditinggal oleh
keluarganya saat terjadi bencana
3) Menampung di pengungsian
4) Membawa korban ke rumahsakit
5) Melakukan pendataan dan penilaian
6) Memberikan konseling
7) Memberikan terapi
c. Pasca Bencana
1) Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir trauma
2) Kebutuhan Rumah Tangga : Air minum, makanan, susu bayi, sanitasi, air
bersih dan sabun untuk MCK (mandi, cuci, kakus/jamban), alat-alat untuk
memasak, pakaian, selimut dan tempat tidur, dan permukiman sementara
3) Kebutuhan Kesehatan : Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan
medis (obat-obatan, perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan
kejiwaan
4) Kemanan Wilayah : Kebutuhan ketentraman dan stabilitas – seperti
keamanan wilayah
5) Kebutuhan Air : Kebutuhan sanitasi – air dan tempat pengelolaan limbah dan
sampah
6) Sarana dan Prasarana : Kebutuhan sarana dan prasarana yang mendesak –
seperti air bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat
komunikasi dalam masyarakat dan pihak luar, penerangan /listrik, sekolah
sementara, alat angkut/transport, gudang penyimpanan persediaan, tempat
permukiman sementara, pos kesehatan, alat dan bahan-bahan.
29
Sumber Daya Yang Tersedia Di Lingkungan Untuk Kebutuhan Kelompok Beresiko
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap
kelompok-kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek
maupun jangka panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam
penanganan encana perlu mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang
tersedia di lngkungan yang dapat digunakan saat bencana terjadi, diantaranya
(Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency (FEMA), 2010;
Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007 ) :
1) Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus
mensosialisasikan kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area
yang rentan terhadap kejadian bencana.
2) Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana
dari kelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan
seperti : beberapa jumlah incubator untuk bayi baru lahir, tempat tidur
untuk pasien anak, ventilator anak, fasilitas persalinan, fasilitas perawatan
pasien dengan penyakit kronis, dsb.
3) Adanya symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu-
individu dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi,
lokasi pengungsian dll.
4) Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus
menangani kelompok beresiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini
kondis depresi pasca bencana pada kelompok tersebut sehingga intervensi
yang sesuai dapat diberikan untuk merawat mereka.
5) Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah
(NGO yang membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok
beresiko seperti : agensi perlindungan anak dan perempuan, agency
pelacakan keluarga korban bencana ( tracking centre), dll.
6) Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian yang
berisi informasi – informasi tentang bagaimana perencanaan
kegawatdaruratan dan bencana pada kelompok-kelompok dengan
kebutuhan khusus dan beresiko.
30
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan
kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan
pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantun luar biasa dari
pihak luar. Masalah-masalah kesehatan masyarakat akibat bencana alam yaitu,
peningkatan morbiditas, tingginya angka kematian, masalah kesehatan lingkungan,
suplai bahan makanan dan obat-obatan, dan keterbatasan tenaga medis dan paramedis
serta transportasi ke pusat rujukan
Langkah-langkah dalam penanggulangan bencana yaitu, 1) pengkajian awal
terhadap korban bencana periksa keadaan jalan napas, sistem kardiovaskular, sistem
musculoskeletal, dan tingkat kesadaran, 2) pertolongan darurat, 3) evaluasi melalui
sistem triage sesuai dengan urutan prioritas, dan 4) rujukan segera ke puskesmas /
rumah sakit.
Bencana yang diikuti dengan pengungsian berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan yang sebenarnya diawali oleh masalah bidang/sektor lain. Timbulnya
masalah kesehatan antara lain berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada
buruknya kebersihan diri, buruknya sanitasi lingkungan yang merupakan awal dari
perkembangbiakan beberapa jenis penyakit menular.
b. Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran
dari pembaca sangatlah kami perlukan agar dalam pembuatan makalah selanjutnya
akan lebih baik dari sekarang dan kami juga berharap pengetahuan tentang perawatan
individu dan komunitas pada bencana dapat terus dikembangkan dan diterapkan
dalam bidang keperawatan.
31
DAFTAR PUSTAKA
Ninda Ayu Prabasari P; Linda juwita ; Ira Ayu Maryuti.2017. Pengalaman Keluarga Dalam
Merawat Lansia Di Rumah.Surabaya
Santoso Anang Dwi, Irwan Noor, Mochamad Chazienul Ulum. DISABILITAS DAN
BENCANA (Studi tentang Agenda Setting Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana
Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Indonesia)
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 3, No. 12, Hal. 2033-2039
Widowati Evi, Dimas Ayu Novalita. 2018. KESIAPSIAGAAN SEKOLAH LUAR BIASA
(SLB) NEGERI CILACAP DALAM MENGHADAPI BENCANA DI KABUPATEN
CILACAP. Journal of Health Education.
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar V: Keperawatan
Bencana pada Penyandang Cacat. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.
Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing. Cambridge, UK: The
World Association for Disaster and Emergency Medicine & Cambridge University
Press.
Iskandar Husein, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak, Minoritas, Suku
Terasing, dll) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Makalah Disajikan dalam
SeminarPembangunan Hukum Nasional ke VIII Tahun 2003, Denpasar, Bali, 14 - 18
Juli 2003
World Health Organization (WHO) & International Council of Nursing (ICN). 2009. ICN
Framework of Disaster Nursing Competencies. Geneva, Switzerland: ICN.
Ratih Probosiwi, 2016. KETERLIBATAN PENYANDANG DISABILITAS DALAM
PENANGGULANGAN BENCANA DI YOGYAKARTA.Journal of Health
Education
(http://repository.ung.ac.id/get/singa/1/1222/Pemberdayaan-Masyarakat-Melalui-Upaya-
Penerapan-Mitigasi-dan-Adaptasi-untuk-Mewujudkan-Desa-Tanggap-Bencana.pdf)
(https://media.neliti.com/media/publications/83165-ID-disabilitas-dan-bencana-studi-tentang-
ag.pdf)
Ferry Effendi dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik
Dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Effendy, Nasrul. 2005. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta EGC
32
Dharma, K. (2011). Metodologi [ penelitian keperawatan: panduan melaksanakan dan
menerapkan hasil penelitian, Jakarta, Trans InfoMedia.
Astuti, R.T. 2012. Traumatic experience of adolescent female in flods of cold lava after the
eruption of Mount Merapi in the perspective of growth and development in Magelang
regency shelter. (Master Thesis, University of Indonesia, 2012). dari
http://lontar.ui.ac.id/opac/ui/
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2018). 1.999 Kejadian Bencana Selama Tahun
2018, Ribuan Korban Meninggal Dunia. Retrieved March, 20, 2019
https://www.bnpb.go.id/1999- from kejadian-bencana-selama-tahun-2018-ribuan-
korban-meninggal-dunia
33