Anda di halaman 1dari 33

Hubungan Motivasi Dengan Efikasi Diri

Pada Pasien Diabetes Mellitus


Di Rs Marinir Cilandak

Oleh :
Alesia Rahma Dina
262111002

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAYAPADA
TAHUN AJARAN 2024
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Secara epidemiologis, terjadi pergeseran pola penyakit di seluruh dunia, di
mana terjadi penurunan penyakit menular sebaliknya terjadi peningkatan penyakit
tidak menular (PTM) yang menjadi penyebab kematian. Di antara PTM tersebut,
diabetes melitus merupakan kasus yang paling umum (Syahid, 2021). Diabetes
melitus merupakan kelainan metabolik yang terjadi ketika terjadi peningkatan kadar
glukosa dalam darah sebagai akibat dari penurunan sekresi insulin yang berlangsung
secara progresif, yang kemudian dipicu oleh resistensi insulin (Soegondo, 2011).
Diabetes Mellitus (DM) mencakup sekelompok penyakit metabolik yang dicirikan
oleh adanya hiperglikemia, yaitu peningkatan kadar glukosa dalam darah, yang dapat
disebabkan oleh kelainan dalam sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya
(American Diabetes Association, 2004, dalam Smeltzer & Bare, 2008).
Diabetes menjadi salah satu ancaman utama bagi kesehatan manusia pada abad
ke-21. Menurut World Health Organization (WHO, 2018), jumlah penderita diabetes
di atas usia 20 tahun telah mencapai 150 juta orang pada tahun 2000, dengan proyeksi
meningkat menjadi 300 juta orang pada tahun 2025 (Sudoyo & Ary W, 2009).
Komplikasi akut dan vaskuler yang dapat timbul jika diabetes tidak terkontrol
meliputi mikroangiopati (Lemone & Burke, 2008; American Diabetes Association
(ADA, 2010).
Menurut American Diabetes Association (ADA), setiap 21 detik satu orang
baru didiagnosis dengan diabetes mellitus (DM). Prediksi ADA untuk tahun 2025
adalah terdapat 350 juta individu pengidap DM, dengan setengah populasi dunia yang
terkena dampak terbesar berada di negara-negara Asia seperti India, China, Pakistan,
dan Indonesia (Yosmar, Almasdy & Rahma, 2018). Kejadian diabetes melitus terus
meningkat dari tahun ke tahun, seperti yang dilaporkan oleh Federasi Diabetes
Internasional pada tahun 2018, yang merupakan tantangan signifikan bagi kesehatan
dan kesejahteraan individu, keluarga, serta
masyarakat. Pada tahun 2021, diperkirakan terdapat 537 juta individu dewasa
dalam rentang usia 20-79 tahun yang mengalami diabetes mellitus, dengan prediksi
meningkat menjadi 643 juta pada tahun 2045. Selain itu, 541 juta orang dewasa
mengalami gangguan toleransi glukosa (IGT), yang termasuk dalam kategori individu
dengan risiko tinggi mengalami diabetes (Ashari et al., 2021).
Menurut laporan dari World Health Organization (WHO, 2018), diperkirakan
jumlah penyandang diabetes di Indonesia meningkat dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Prediksi ini menunjukkan peningkatan
yang signifikan, dengan jumlah penderita diabetes melitus diperkirakan akan
meningkat 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Sementara itu, International Diabetes
Federation (IDF) memperkirakan kenaikan jumlah penderita diabetes di Indonesia
angkanya mencapai 19,5 juta pada 2021 berdasarkan survei dari International
Diabetes Foundation (IDF). Indonesia pun menempati peringkat kelima dari negara-
negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia.
Prevalensi diabetes di Indonesia, menurut Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (PERKENI, 2015), didominasi oleh jumlah penderita yang tidak terdeteksi
dan tidak mengkonsumsi obat, mencapai 73% dari total keseluruhan penderita
diabetes. Sisanya, sekitar 10,2% yang terdeteksi mengalami gangguan glukosa
(Riskesdas, 2013). Data dari International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2019
menunjukkan bahwa terdapat sekitar 19,47 juta penderita diabetes di Indonesia,
menjadikannya negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak ke-5 di dunia.
Prediksi ini menggambarkan eskalasi yang mengkhawatirkan dalam jumlah penderita
diabetes di Indonesia, menggaris bawahi urgensi upaya pencegahan dan pengelolaan
kondisi ini (IDF, 2019)
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan
tahun 2018, DKI Jakarta mencatat prevalensi diabetes melitus tertinggi di Indonesia,
yakni sebesar 3,4%, Ini menunjukkan bahwa Jakarta memiliki prevalensi diabetes
melitus tertinggi di Indonesia.
Diabetes Mellitus sering kali menimbulkan komplikasi yang serius, termasuk
stroke, gagal ginjal, penyakit jantung, nefropati, kebutaan, dan bahkan memerlukan
amputasi dalam kasus ekstrim seperti lika-gangrene (Annisa, 2004). Oleh karena
sifatnya yang dapat mempengaruhi semua organ tubuh, diabetes mellitus sering
disebut sebagai "silent killer" dan dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi
baik mikrovaskuler maupun makrovaskuler yang memengaruhi berbagai sistem dalam
tubuh (Annisa, 2004).
Johnson (1992, dalam Temple, 2003) menjelaskan bahwa efikasi diri pada
pasien diabetes mellitus mencerminkan kemampuan individu untuk membuat
keputusan yang tepat dalam merencanakan, memantau, dan melaksanakan regimen
perawatan sepanjang hidup. Efikasi diri ini berfokus pada keyakinan pasien akan
kemampuannya untuk melakukan perilaku yang mendukung perbaikan kondisinya
dan meningkatkan manajemen perawatan, seperti mengatur pola makan, berolahraga,
mengonsumsi obat, mengontrol kadar glukosa, dan melakukan perawatan DM secara
umum (Wu et al., 2006)’
Bandura (1994) mengemukakan, bahwa motivasi merupakan salah satu proses
pembentukan efikasi diri selain kognitif, afektif dan seleksi. Motivasi merupakan
dorongan yang berasal dari dalam diri maupun dari luar individu untuk melakukan
tugas tertentu guna mencapai suatu tujuan ini menjelaskan bahwa motivasi dan efikasi
diri dibutuhkan bagi pasien diabetes untuk meningkatkan kemandirian pasien dalam
mengelola penyakitnya. Motivasi yang tinggi dalam penerapan efikasi diri pada
pasien diabetes dapat berdampak pada peningkatan perawatan diri. Ini juga
menjelaskan bahwa pentingnya motivasi pada efikasi diri, karena motivasi yang tinggi
akan dapat meningkatkan efikasi diri pasien diabetes melitus dalam perawatan
dirinya,
Menurut penelitian Shigaki et al., (2010) tentang motivasi dan efikasi diri pada
pasien diabetes. menunjukkan hasil bahwa individu yang memiliki motivasi yang
tinggi akan memiliki frekuensi perawatan diri yang baik terutama untuk diet dan
pemeriksaan. kadar gula darah. Penelitian tersebut. merekomendasikan perlunya
dukungan dari semua pihak untuk selalu memotivasi pasien agar terjadi peningkatan.
manajemen perawatan diri. Paparan hasil penelitian diatas memberikan gambaran
tantangan yang harus dihadapi oleh tenaga kesehatan khususnya perawat yang
berperan sebagai edukator dan pemberi pelayanan keperawatan untuk membantu
meningkatkan motivasi dan efikasi diri pasien diabetes.
Berdasarkan studi literatur di atas, penulis ingin melakukan penelitian untuk
memahami lebih dalam hubungan antara motivasi dan efikasi diri pada pasien
diabetes melitus khusus nya di Rs Marinir Cilandak Dengan pemahaman yang lebih
baik tentang faktor-faktor yang memengaruhi motivasi dan efikasi diri pasien, perawat
dan tenaga kesehatan dapat mengembangkan intervensi yang lebih efektif dalam
meningkatkan manajemen perawatan diri dan kualitas hidup pasien DM. Melalui
penelitian ini, diharapkan dapat ditemukan solusi yang lebih efektif dalam
meningkatkan motivasi dan efikasi diri pasien diabetes melitus.
B. Rumusan Masalah
Maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan
motivasi dengan efikasi diri pada pasien Diabetes Mellitus di Rs Marinir Cilandak.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan Umum dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan
motivasi dengan efikasi diri pada pasien diabetes mellitus di Rs Marinir Cilandak
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui motivasi pada pasien diabetes melitus di Rs Marinir
Cilandak.
b. Untuk mengetahui efikasi diri pasien diabetes mellitus di Rs Marinir Cilandak
c. Untuk mengetahui hubungan Motivasi dengan efikasi diri pada pasien
Diabetes Melitus di Rs Marinir Cilandak
D. Manfaat penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai refrensi institusi yang
digunakan untuk penelitian selanjutnya dengan masalah “hubungan motivasi
dengan efikasi diri pada pasien diabetes melitus”
2. Bagi Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi pengembangan dan
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan mengenai motivasi dengan efikasi
diri pada pasien diabetes melitus
3. Bagi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan akan memberikan wawasan yang lebih baik
tentang bagaimana motivasi dan efikasi diri mempengaruhi pengelolaan kondisi
diabetes melitus oleh pasien, serta memberikan panduan bagi pendidikan
4. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berharga bagi
masyarakat dalam memahami pentingnya dukungan sosial dalam meningkatkan
motivasi dan efikasi diri pasien diabetes melitus

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Motivasi
1. Pengertian Motivasi
Secara Bahasa, istilah motivasi berasal dari Bahasa Latin memiliki kata
“movere” yang memiliki arti dan makna menggerakkan. Motivasi juga memiliki
arti dari beberapa ahli Bahasa seperti, menurut Weiner tahun 1990, motivasi
diartikan sebagai keadaan dimana diri manusia membangkitkan serta membangun
dirinya sendiri untuk segera bertindak, tindakan tersebut didasari atas keinginan
mencapai suatu tujuan dan agar diri kita tetap terpacu pada suatu kegiatan tertentu
(Weiner, B, 1990).
Motivasi bisa diartikan sebagai bentuk dorongan yang datangnya dapat
dari dalam maupun luar diri manusia yang memiliki ciri-ciri seperti adanya
dorongan, hasrat, keinginan, minat, harapan, cita-cita, penghormatan, serta
kebutuhan (Uno,B.H. 2007).
Menurut teori Bandura, motivasi dapat didefinisikan sebagai proses
dinamis di mana individu dipengaruhi oleh keyakinan mereka akan kemampuan
mereka untuk mencapai tujuan tertentu (self-efficacy), serta oleh hasil yang
mereka harapkan dari perilaku mereka (outcome expectations). Dalam konteks
teori ini, motivasi tidak hanya dipandang sebagai dorongan internal, tetapi juga
dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap kemampuan mereka untuk mengatasi
tantangan dan mencapai hasil yang diinginkan. Dengan kata lain, motivasi
dipandang sebagai hasil dari interaksi antara keyakinan diri individu dan
pengamatan mereka terhadap konsekuensi perilaku yang mungkin terjadi. Ini
menciptakan siklus di mana individu yang merasa percaya diri dalam kemampuan
mereka cenderung lebih termotivasi untuk mengambil tindakan dan mencapai
tujuan mereka (Bandura, 1986).
Dapat definisi di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi tidak hanya
berasal dari dorongan internal, tetapi juga dipengaruhi oleh persepsi individu
terhadap kemampuan mereka untuk mengatasi tantangan dan mencapai hasil yang
diinginkan. Ini menciptakan siklus di mana individu yang merasa percaya diri
dalam kemampuan mereka cenderung lebih termotivasi untuk mengambil
tindakan dan mencapai tujuan mereka.
2. Fungsi Motivasi
Motivasi erat kaitannya dengan tujuan, apapun bentuk kegiatannya akan
dengan mudah tercapai jika diawali dengan sebuah motivasi yang jelas. Untuk itu
dalam proses pembelajaran dan pembentukan perilaku, motivasi memiliki
beberapa fungsi antara lain, Motivasi sebagai pendorong individu untuk berbuat
Fungsi motivasi dipandang sebagai pendorong seseorang untuk berbuat sesuatu.
Dengan motivasi individu dituntut untuk melepaskan energi dalam
kegiatannya,Motivasi sebagai penentu arah perbuatan Motivasi akan menuntun
seseorang untuk melakukan kegiatan yang benar benar sesuai arah dan tujuan
yang ingin dicapainya, Motivasi sebagai proses seleksi perbuatan Motivasi akan
memberikan dasar pemikiran bagi individu untuk memprioritaskan kegiatan mana
yang harus dilakukan, Motivasi sebagai pendorong pencapaian prestasi Prestasi
dijadikan motivasi utama bagi seseorang dalam melakukan kegiatan.(Epiana,
2014)
3. Jenis Motivasi
Menurut Monks (2013) secara umum motivasi dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Motivasi intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam diri pribadi
individu itu sendiri tanpa adanya pengaruh dari luar individu. Contoh :
keinginan seorang individu untuk mencari penghasilan dan uang guna
membeli barang yang ia inginkan, membeli barang tersebut benar-benar
keinginannya bukan karena kebutuhan.
b. Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah dorongan terhadap perilaku seseorang
yang ada diluar perbuatan yang dilakukannya. Ia mendapat pengaruh atau
rangsangan dari luar. Motivasi ini biasanya datang ketika seseorang
menginginkan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain atau juga
biasanya mendapatkan barang yang orang lain punya, motivasi jenis ini
juga dapat muncul ketika seseorang ingin menjauhi sesuatu yang memiliki
pengaruh negatif dari luar.Contoh: ketika seseorang ingin mendapatkan
penghargaan dapat berupa pujian ataupun bonus dari orang lain, ketika
seseorang ingin mengikuti gaya hidup orang lain karena ia merasa gengsi,
ketika seseorang memiliki keinginan untuk dapat diterima oleh orang lain,
dan masih banyak lagi.
4. Komponen – komponen motivasi
Komponen utama dalam motivasi menurut (Maslow, A. H. 1943).
1) Kebutuhan: Kebutuhan terjadi ketika individu merasa ada ketidakseimbangan
antara apa yang dimiliki dan apa yang diharapkan. Kebutuhan ini dapat dibagi
menjadi lima tingkatan: kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan diri, dan kebutuhan aktualisasi.

2) Dorongan: Dorongan adalah kekuatan mental yang mendorong individu untuk


melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi harapan yang terkait dengan
kebutuhan. Dorongan ini merupakan usaha untuk mengatasi
ketidakseimbangan yang timbul dari kebutuhan.
3) Tujuan: Tujuan adalah hal yang ingin dicapai oleh individu. Tujuan ini
mengarahkan perilaku, seperti perilaku belajar, dan berfungsi untuk
menghilangkan kebutuhan dan mengurangi dorongan. Tujuan tersebut menjadi
pusat dari motivasi dan mengarahkan perilaku individu untuk mencapainya
Relasi antara kebutuhan, dorongan, dan tujuan dalam motivasi adalah sebagai
berikut:
1) Kebutuhan menjadi dasar dari motivasi, menciptakan dorongan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut.
2) Dorongan, yang dipicu oleh kebutuhan, mendorong individu untuk melakukan
tindakan tertentu.
3) Tujuan menjadi tujuan akhir dari dorongan, memberikan arah dan tujuan bagi
perilaku individu untuk mencapai keseimbangan dan kepuasan.
5. Faktor yang Berhubungan dengan motivasi
Faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi dapat bervariasi
tergantung pada konteksnya, baik itu dalam konteks individu, organisasi, maupun
Pendidikan (Deci, E. L., & Ryan, R. M. 2000).
1)Tujuan: Ketercapaian tujuan yang spesifik, menantang, dan relevan dapat
meningkatkan motivasi individu.
2)Reward dan Pengakuan: Penghargaan atau pujian atas pencapaian yang baik
dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk terus berkinerja.
3)Kontrol diri: Kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan perilaku serta
emosi dapat mempengaruhi tingkat motivasi seseorang.
4)Percaya Diri: Keyakinan individu terhadap kemampuan diri mereka (self-
efficacy) memainkan peran penting dalam motivasi.
5)Kepuasan Kerja: Lingkungan kerja yang mendukung dan memberikan kepuasan
dapat meningkatkan motivasi karyawan.
6)Dorongan Instrinsik dan Ekstrinsik: Motivasi instrinsik berasal dari kepuasan
internal yang didapat dari melakukan suatu tindakan, sedangkan motivasi
ekstrinsik berkaitan dengan hadiah eksternal atau konsekuensi dari tindakan
tersebut.
7)Lingkungan Sosial: Dukungan sosial dari teman, keluarga, atau rekan kerja
dapat mempengaruhi motivasi seseorang.
8)Pengetahuan dan Keterampilan: Rasa kompetensi yang didapat dari peningkatan
pengetahuan dan keterampilan juga dapat memengaruhi motivasi seseorang
untuk mencapai tujuan.
6. Teori – teori Motivasi
a. Teori Motivasi Abraham Maslow : Hierarki Kebutuhan Manusia
Teori motivasi yang dikemukakan Abraham Maslow bernama Teori
Hierarki Kebutuhan Manusia menjadi teori pertama dibuat, menjadi teori
yang paling terkenal, serta yang menjadi dasar dari terbentuknya teori-teori
motivasi lain. Teori ini berisi mengenai kebutuhanlah yang menjadi alasan
utama yang membuat manusia termotivasi untuk melakukan sesuatu. Teori
Hierarki Kebutuhan Manusia memiliki lima tingkatan pada tingkatan
piramida dimana urutan kebutuhan yang terbawah menjadi urutan pertama
alias prioritas yang harus diselesaikan dan dipenuhi terlebih dahulu.
Berikut penjelasan mengenai lima tingkatan piramida pada Teori Hierarki
Kebutuhan Manusia :
1) Physiological Needs
Kebutuhan fisiologi ini mencakup kebutuhan-kebutuhan dasar yang
dibutuhkan oleh manusia, seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan
lain sebagainya. Manusia yang berada pada hierarki kebutuhan tingkat ini jelas
tidak mementingkan kehormatan, uang tabungan, atau lain sejenisnya.
2) Safety Needs
Kebutuhan tingkat dua akan membuat manusia membangun motivasi
pada dirinya untuk segera memiliki rumah sebagai tempat berlindung.
3) Social Needs
Pada kebutuhan tingkat tiga manusia akan berusaha untuk berkenalan
dan menemukan orang yang dapat mereka percayai.
4) Esteem Needs
Kebutuhan pada tingkat empat menyangkut tentang kehormatan.
Manusia akan membangun motivasi agar mereka dapat dihormati dan dihargai
oleh orang lain, tentu mereka harus mendapatkan nama.gelar, serta status.
5) Self-Actualization
Pada tingkatan terakhir, manusia memiliki keinginan agar mereka bisa
berguna dan dapat diandalkan oleh orang lain. Tingkatan ini cenderung
membuat manusia memiliki keinginan untuk menjadi pemimpin dari suatu
organisasi agar memiliki kekuasaan dan dapat melakukan perubahan.

B. Konsep Efikasi Diri


1. Definisi
Gist (1987) dengan merujuk pendapat Bandura, Adam, Hardy dan Howells,
menyebutkan bahwa self-efficacy timbul dari perubahan bertahap pada kognitif yang
kompleks, sosial, linguistik, dan keahlian fisik melelui pengalaman. Individu-individu
nampak mempertimbangkan, menggabungkan, dan menilai informasi berkaitan
dengan kemampuan mereka kemudian memutuskan berbagai pilihan dan
usaha yang sesuai.
Bandura dan Wood (1989) menyatakan bahwa self-efficacy memiliki peran
utama dalam proses pengaturan melalui motivasi individu dan pencapaian kerja yang
sudah ditetapkan. Pertimbangan dalam self-efficacy juga menentukan bagaimana
usaha yang dilakukan orang dalam melaksanakan tugasnya dan berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas tersebut. Lebih jauh disebutkan bahwa
orang dengan pertimbangan self- efficacy yang kuat mampu menggunakan usaha
terbaiknya untuk mengatasi hambatan, sedangkan orang dengan zelf-efficacy yang
lemah cenderung untuk mengurangi usahanya atau lari dari hambatan yang ada.
Bandura (2001) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan manusia pada
kemampuan mereka untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi diri
mereka dan kejadian-kejadian di lingkunganya, dan ia juga yakin kalau self-efficacy
adalah fondasi keagenan manusia.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri menunjukan
bahwa self-efficacy memiliki peran yang signifikan dalam motivasi dan pencapaian
individu, serta merupakan faktor penting dalam kemampuan manusia untuk
mengontrol dan mengatur diri mereka sendiri dalam menghadapi berbagai situasi serta
mampu menentukan Tindakan dalam menyelesaikan tugas atau masalaj tertentu,
sehingga individu tersebut mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang
diharapkan.
2. Sumber – Sumber Efikasi Diri
Menurut Albert Bandura, efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang
kemampuannya untuk mencapai hasil yang diinginkan. Keyakinan ini didasari oleh
empat sumber utama:
a. Pengalaman Penguasaan (Mastery Experience)
Sumber ini merupakan sumber yang paling penting dan memiliki
pengaruh paling kuat. Pengalaman penguasaan mengacu pada pengalaman
individu dalam menyelesaikan tugas atau mencapai tujuan. Ketika
seseorang berhasil menyelesaikan tugas yang menantang, hal ini akan
meningkatkan keyakinannya terhadap kemampuannya untuk
menyelesaikan tugas serupa di masa depan.(Bandura, 1997).
b. Pengalaman Vikaris (Vicarious Experience)
Sumber ini mengacu pada pengalaman mengamati orang lain dalam
menyelesaikan tugas atau mencapai tujuan. Ketika seseorang melihat orang
lain yang mirip dengannya berhasil menyelesaikan tugas yang menantang, hal
ini dapat meningkatkan keyakinannya terhadap kemampuannya sendiri untuk
menyelesaikan tugas tersebut.(Bandura, 1997).
c. Persuasi Verbal (Verbal Persuasion)
Sumber ini mengacu pada pujian, dorongan, dan umpan balik positif
yang diterima seseorang dari orang lain. Ketika seseorang menerima pujian
atau dorongan atas pencapaiannya, hal ini dapat meningkatkan keyakinannya
terhadap kemampuannya untuk mencapai hasil yang serupa di masa depan
(Bandura, 1997).
d. Keadaan Fisiologis dan Emosional (Physiological and Emotional States)
Sumber ini mengacu pada keadaan fisik dan emosional seseorang saat
mengerjakan tugas. Ketika seseorang merasa sehat, berenergi, dan positif, hal
ini dapat meningkatkan keyakinannya terhadap kemampuannya untuk
menyelesaikan tugas. Bandura, 1997).
3. Proses Pembentukan Efikasi Diri
Efikasi diri terbentuk melalui empat proses, yaitu: kognitif, motivasional,
afektif dan seleksi yang berlangsung sepanjang kehidupan.
a. Proses kognitif efikasi diri mempengaruhi bagaimana pola pikir yang dapat
mendorong atau menghambat perilaku seseorang. Sebagian besar individu
akan berpikir dahulu sebelum melakukan sesuatu tindakan, seseorang dengan
efikasi diri yang tinggi akan cenderung berperilaku sesuai dengan yang
diharapkan dan memiliki komitmen untuk mempertahankan perilaku tersebut
(Bandura, 2015).
b. Proses motivasional kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan melakukan
perilaku yang mempunyai tujuan didasari oleh aktifitas kognitif. Berdasarkan
teori perilaku atau tindakan masa lalu berpengaruh terhadap motivasi
seseorang. Seseorang juga dapat termotivasi oleh harapan yang diinginkannya.
Disamping itu, kemampuan seseorang untuk mempengaruhi diri sendiri
dengan mengevaluasi penampilan pribadinya merupakan sumber utama
motivasi dan pengaturan dirinya (Bandura, 2015).
c. Proses afektif efikasi diri juga berperan penting dalam mengatur kondisi
afektif. Keyakinan seseorang akan kemampuannya akan mempengaruhi
seberapa besar stress atau depresi yang dapat diatasi, seseorang yang percaya
bahwa dia dapat mengendalikan ancaman/masalah maka dia tidak akan
mengalami ganggauan pola pikir, namun seseorang yang percaya bahwa dia
tidak dapat mengatasi ancaman maka dia akan mengalami kecemasan yang
tinggi. Efikasi diri untuk mengontrol proses berpikir merupakan faktor kunci
dalam mengatur pikiran akibat stress dan depresi (Bandura, 2015).
d. Proses seleksi ketiga proses pengembangan efikasi diri berupa proses kognitif,
motivasional dan afektif memungkinkan seseorang untuk membentuk sebuah
lingkungan yang membantu dan mempertahankannya. Dengan memilih
lingkungan yang sesuai akan membantu pembentukan diri dan pencapaian
tujuan (Bandura, 2015).
4. Dimensi Efikasi Diri
Efikasi diri terdiri dari 3 dimensi, yaitu: (Bandura, 2015).
a. Magnitude Dimensi ini berfokus pada tingkat kesulitan yang dihadapi oleh
seseorang terkait dengan usaha yang dilakukan. Dimensi ini berimplikasi pada
pemilihan perilaku yang dipilih berdasarkan harapan akan keberhasilannya.
b. Generality Generalitas berkaitan dengan seberapa luas cakupan tingkah laku yang
diyakini mampu dilakukan. Berbagai pengalaman pribadi dibandingkan
pengalaman orang lain pada umumnya akan lebih mampu meningkatkan efikasi
diri seseorang.
c. Strength (Kekuatan) Dimensi ini berfokus pada bagaimana kekuatan sebuah
harapan atau keyakinan individu akan kemampuan yang dimilikinya. Harapan
yang lemah bisa disebabkan karena adanya kegagalan, tetapi seseorang dengan
harapan yang kuat pada dirinya akan tetap berusaha gigih meskipun mengalami
kegagalan.
5. Perkembangan Efikasi Diri
Bandura (2015) menyatakan bahwa efikasi diri berkembang secara teratur
sesuai tumbuh kembang, usia, pengalaman dan perluasan lingkungan. Bayi mulai
mengembangkan efikasi dirinya sebagai usaha untuk melatih pengaruh lingkungan
fisik dan sosial. Mereka mulai mengerti dan belajar mengenai kemampuan dirinya,
kecakapan fisik, kemampuan sosial dan kecakapan berbahasa yang hampir secara
konstan digunakan dan ditujukan pada lingkungan. Awal dari perkembangan efikasi
diri dipusatkan pada orang tua kemudian dipengaruhi oleh saudara kandung, teman
sebaya dan orang dewasa lainnya.
Pada usia sekolah, proses pembentukan efikasi diri secara kognitif terbentuk
dan berkembang termasuk pengetahuan, kemampuan berpikir, kompetisi dan interaksi
sosial baik sesama teman maupun guru. Pada usia remaja, efikasi diri berkembang
dari berbagai pengalaman hidup, kemandirian mulai terbentuk dan individu belajar
bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Pada usia dewasa, efikasi diri meliputi
penyesuaian pada masalah perkawinan, menjadi orang tua, dan pekerjaan. Sedangkan
pada masa lanjut usia, efikasi diri berfokus pada penerimaan dan penolakan terhadap
kemampuannya, seiring dengan penurunan kondisi fisik dan intelektualnya (Bandura,
2015).
6. Faktor yang mempengaruhi Efikasi diri
Bandura (1997) menyatakan bahwa faktor – faktor yang dapat mempengaruhi
efikasi diri pada diri individu antara lain :
a. Budaya
Budaya mempengaruhi efikasi diri melalui nilai (values), kepercayaan
(beliefs), dalam proses pengaturan diri (self – regulatory process) yang
berfungsi sebagai sumber penilaian efikasi diri dan juga sebagai konsekuensi
dari keyakinan akan efikasi diri.
b. Gander
Perbedaan gander juga berpengaruhi terhadap efikasi diri. Hal ini
dapat dilihat dari penelitian bandura ( 1997) yang menyatakan bahwa Wanita
lebih efikasinya yang tinggi dalam mengelola peranya. Wanita karir akan
memiliki efikasi diri yang tinggi dibandingkan dengan pria yang bekerja.
c. Sifat dari tugas yang dihadapi
Derajat dari kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh
individu akan mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap
kemampuan dirinya sendiri. Semakin kompleks tugas yang dihadapi oleh
individu maka akan semakin rendah individu tersebut menilai
kemampuanya. Sebaliknya, jika individu dihadapkan pada tugas yang
mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut menilai
kemampuanya.
d. Intensif eksternal
Faktor lain yang dapat mempengaruhi efikasi diri individu adalah
insentif yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor
yang dapat meningkatkan efikasi diri adalah competent continges
incentive, yaitu insentif yang diberikan orang lain yang merefleksikan
keberhasilan seseorang.
e. Status atau peran individu dalam lingkungan.
Individu yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh
derajat control yang lebih besar sehingga efikasi diri yang dimilikinya juga
tinggi. Sedangkan individu yang memiliki status yang lebih rendah akan
memiliki control yang lebih kecil sehingga efikasi diri yang dimilikinya
juga rendah.
f. Informasi tentang kemampuan diri
Individu yang memiliki efikasi tinggi, jika ia memperoleh
informasi positif mengenai dirinya, sementara individu akan memiliki
efikasi diri yang rendah, jika ia memperoleh informasi negative mengenai
dirinya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor –
faktor yang mempengaruhi efikasi diri adalah budaya, gander, sifat dari
tugas yang dihadapi, intensif eksternal, status dan peran individu dalam
lingkungan, serta informasi tentang kemampuan dirinya.
7. Faktor yang Berhubungan dengan Efikasi Diri
berikut faktor-faktor yang berhubungan dengan efikasi diri, yaitu:
a. Usia DM
merupakan jenis DM yang paling banyak jumlahnya yaitu sekitar 90-
95% dari seluruh penyandang DM dan banyak dialami oleh dewasa diatas 40
tahun. Hal ini disebabkan retensi insulin pada DM cenderung meningkat pada
lansia (40-65 tahun), riwayat obesitas dan adanya faktor keturunan (Smeltzer
& Bare, 2013). Penelitian Wang dan Shiu (2014) menemukan bahwa ada
hubungan antara faktor demografi dengan aktifitas perawatan diri pasien DM
termasuk faktor usia, rata-rata pasien berusia 60 tahun. Menurut Potter dan
Perry (2005) usia 40-65 tahun disebut juga tahap keberhasilan, yaitu waktu
untuk pengaruh maksimal, membimbing diri sendiri dan menilai diri sendiri,
sehingga pasien memiliki efikasi diri yang baik (Wang dan Shiu, 2014).
b. Jenis kelamin
Hasil penelitian Mystakidou et al., (2012) pada pasien kanker
menyimpulkan bahwa efikasi diri pasien dipengaruhi oleh komponen
kecemasan, usia pasien, kondisi fisik dan jenis kelamin. Berdasarkan
penelitian tersebut, laki-laki memiliki efikasi diri yang lebih tinggi daripada
perempuan.
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan umumnya akan berpengaruh terhadap
kemampuan dalam mengolah informasi. Pendidikan merupakan faktor
yang penting pada pasien DM untuk dapat memahami dan mengatur
dirinya sendiri serta dalam mengontrol gula darah, pasien dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi dilaporkan memiliki efikasi diri dan prilaku
perawatan diri yang baik (Wu, 2013).
d. Status pernikahan
Menurut Delamater (2017), orang yang menikah atau tinggal
bersama pasangannya akan mempunyai penyesuaian psikologis yang baik,
responden yang menikah mempunyai kontrol DM yang baik dan
mempunyai status kesehatan yang lebih positif. Responden juga
mempunyai kecenderungan nilai HbA1c rendah yang mengindikasikan
kontrol metabolik baik (Delameter, 2017).
e. Status sosial ekonomi
Pasien dengan penghasilan yang baik berpengaruh positif terhadap
kesehatan dan kontrol glikemik. Penelitian Lau-Walker (Gayatri, 2010)
menunjukkan bahwa pekerjaan secara signifikan sebagai prediktor efikasi diri
secara umum, atau dengan kata lain seseorang yang bekerja memiliki
kepercayaan diri yang lebih tinggi untuk mengatasi masalahnya.
f. Lama menderita DM
Responden yang baru menderita DM selama 4 bulan sudah
menunjukkan efikasi diri yang baik, pasien yang telah menderita DM ≥ 11
tahun memiliki efikasi diri yang baik daripada pasien yang menderita DM
(Wu, 2013)

C. Diabetes Mellitus
1. Definisi Diabetes Mellitus
(WHO, 2023) mendefinisikan diabetes mellitus sebagai gangguan
metabolisme kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah (glukosa)
dalam darah. Peningkatan gula darah ini disebabkan oleh kurangnya insulin yang
diproduksi oleh tubuh atau karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin secara
efektif.
(IDF, 2023) mendefinisikan diabetes mellitus sebagai gangguan metabolisme
kronis yang ditandai dengan hiperglikemia yang dihasilkan dari kekurangan insulin
absolut atau relatif, gangguan kerja insulin, atau keduanya.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2023 mendefinisikan diabetes
mellitus sebagai penyakit menahun yang ditandai dengan kadar gula darah tinggi
akibat kekurangan insulin atau resistensi insulin.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporan Global Diabetes Report
2023 mengklasifikasikan diabetes mellitus menjadi beberapa kategori berdasarkan
penyebab dan karakteristiknya:
a. Diabetes Mellitus Tipe 1
Disebabkan oleh kerusakan autoimun pada sel-sel beta pankreas yang
memproduksi insulin.Ditandai dengan kekurangan insulin absolut.
Memerlukan terapi insulin seumur hidup.
b. Diabetes Mellitus Tipe 2
Disebabkan oleh kombinasi resistensi insulin dan kekurangan insulin
relatif. Ditandai dengan hiperglikemia kronis.Pengelolaan dapat dilakukan
dengan kombinasi gaya hidup sehat, obat-obatan oral, dan terapi insulin jika
diperlukan.
c. Diabetes Mellitus Gestasional
Terjadi selama kehamilan dan biasanya hilang setelah melahirkan.
Disebabkan oleh resistensi insulin yang diperberat oleh perubahan hormonal
selama kehamilan. Memerlukan pemantauan gula darah yang ketat dan
intervensi gaya hidup atau obat-obatan jika diperlukan.
d. Diabetes Mellitus Lainnya
Disebabkan oleh berbagai faktor lain, seperti kelainan genetik,penyakit
pankreas, dan penggunaan obat-obatan tertentu.
2. Etiologi
Diabetes mellitus menurut Kowalak, (2011); Wilkins, (2011), dan Andra,
(2013), dalam Andriani (2017) mempunyai beberapa penyebab, yaitu:
a. Hereditas
Peningkatan kerentanan sel-sel beta pankreas dan perkembangan
antibody autoimun terhadap penghancuran sel-sel.
b. Lingkungan (makanan, infeksi, toksin dan stres)
Kekurangan protein kronik dapat mengakibatkan hipofungsi
pankreas. Infeksi virus coxsakie pada seseorang yang peka secara genetik.
Stres fisiologis dan emosional meningkatkan kadar hormon stress
(kortisol, epinefrin, glucagon dan hormon pertumbuhan), sehingga
meningkatkan kadar glukosa darah.
c. Perubahan gaya hidup
Seseorang secara genetik sangat rentan untuk terkena DM karena
perubahan gaya hidupnya yang menjadikan sesorang kurang aktif sehingga
menimbulkan kegemukan dan berisiko tinggi terkena diabetes melitus.
d. Kehamilan
Kenaikan kadar estrogen dan hormone plasental yang berkaitan
dengan kehamilan, yang mengantagoniskan insulin.
e. Usia
Usia diatas 65 tahun cenderung mengalami diabetes melitus,
karena pada usia lebih dari 40 tahun jumlah insulin dan resistensi insulin
telah berkurang yang disebabkan oleh fungsi sel beta pankreas mengalami
penurunan yang besarnya tergantung pada beban kerja sel beta pankreas,
sehingga kadar glukosa dalam darah akan meningkat.
f. Obesitas
Obesitas dapat menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam tubuh.
Insulin yang tersedia tidak efektif dalam meningkatkan efek metabolik.
g. Antagonisasi
Efek insulin yang disebabkan oleh beberapa medikasi, antara lain
diuretic thiazide, kortikosteroid adrenal dan kontraseptif hormonal.
3. Faktor – Faktor Resiko Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan
kadar gula darah tinggi (hiperglikemia). Hiperglikemia ini terjadi akibat tubuh
kekurangan insulin atau insulin tidak bekerja dengan efektif (ADA, 2020). Menurut
(NIDDK, 2023) Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang
terkena DM, dan faktor-faktor ini dapat dibedakan menjadi dua kategori utama:
a. Faktor Risiko yang tidak Dapat Diubah
Faktor-faktor ini tidak dapat diubah atau dimodifikasi oleh individu.
Faktor-faktor ini meliputi:
1) Usia : Resiko DM meningkat seiring bertambahnya usia
2) Ras dan etnis : orang – orang dari Ras dan etnis tertentu, seperti Afrika
– Amerika, Hispanik, dan Asia Amerika, memiliki risiko lebih tinggi
terkena DM tipe 2.
3) Genetika: Faktor genetik memainkan peran penting dalam etiologi
DM. Beberapa gen tertentu telah dikaitkan dengan DM, seperti gen
HLA dan gen INS.
b. Faktor Risiko yang Dapat Diubah
Faktor-faktor ini dapat diubah atau dimodifikasi oleh individu untuk
mengurangi risiko terkena DM. Faktor-faktor ini meliputi:
1) Gaya hidup : kurang aktivitas
2) Merokok
3) Konsumsi alkohol berlebihan
4) Pola makan tidak sehat (tinggi kalori, lemak jenuh, dan gula)
5) Obesitas : orang yang obesitas memiliki resiko lebih tinggi terkena
DM tipe 2
6) Tekanan Darah Tinggi : tekanna darah tinggi merupakan faktor risiko
utama untuk DM tipe 2
7) Kolesterol tinggi : Kolesterol LDL (kolesterol jahat) yang tinggi dan
kolesterol HDL (kolesterol baik) yang rendah merupakan faktor risiko
untuk DM tipe 2.
4. Manifestasi Klinis
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan
kadar gula darah tinggi (hiperglikemia). Hiperglikemia ini terjadi akibat tubuh
kekurangan insulin atau insulin tidak bekerja dengan efektif. Manifestasi klinis DM
dapat bervariasi tergantung pada tipe DM, keparahan penyakit, dan kondisi kesehatan
individu Gejala akut DM biasanya muncul pada DM tipe 1 dan pada DM tipe 2 yang
tidak terkontrol dengan baik. Gejala-gejala ini dapat meliputi, Sering buang air kecil
(poliuria): Hal ini terjadi karena kadar gula darah yang tinggi menarik air keluar dari
tubuh melalui ginjal, Sering haus (polidipsia) Hal ini terjadi karena tubuh kehilangan
banyak air melalui urin, Sering lapar (polifagia) Hal ini terjadi karena tubuh tidak
dapat menggunakan glukosa dengan baik sebagai sumber energi, Penurunan berat
badan tanpa sebab Hal ini terjadi karena tubuh membakar lemak dan protein untuk
energi karena tidak dapat menggunakan glukosa. Penurunan berat badan tanpa
sebab Hal ini terjadi karena tubuh membakar lemak dan protein untuk energi karena
tidak dapat menggunakan glukosa, KelelahanHal ini terjadi karena tubuh tidak
memiliki cukup energi, Penglihatan kabur Hal ini terjadi karena kerusakan saraf pada
mata akibat hiperglikemia, Mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki Hal ini
terjadi karena kerusakan saraf pada tangan dan kaki akibat hiperglikemia, Luka yang
sulit sembuh Hal ini terjadi karena hiperglikemia dapat mengganggu aliran darah dan
penyembuhan luka (NIDDK, 2023)

5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Diabetes Mellitus (DM) menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2023 berfokus pada mencapai dan mempertahankan kadar
gula darah yang optimal untuk mencegah dan menunda komplikasi. Penatalaksanaan
ini dilakukan secara komprehensif dan melibatkan berbagai aspek, termasuk:
a. Edukasi DM
Edukasi DM diberikan kepada pasien dan keluarga untuk meningkatkan
pemahaman tentang DM, termasuk jenis DM, faktor risiko, komplikasi, dan cara
penatalaksanaan.Edukasi ini penting untuk memotivasi pasien dalam melakukan
perubahan gaya hidup dan mematuhi pengobatan.
b. Diet DM
Diet sangat dianjurkan untuk mempertahankan kadar gula darah dan lipid
mendekati normal, mencapai dan mempertahankan berat badan dalam batas-batas
normal membantu pasien mencapai target kadar gula darah dan berat badan
ideal.Terapi ini melibatkan penyusunan pola makan yang sesuai dengan kondisi
pasien, kebutuhan kalori, dan aktivitas fisik.
a) Karbohidrat : 60-70% total asupan energy
b) Protein : 10-20% total asupan energy
c) Lemak : 20-25% kebutuhan kalori
c. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik secara teratur minimal 30 menit setiap hari, 5 hari dalam
seminggu, direkomendasikan untuk semua pasien DM.Jenis dan intensitas
aktivitas fisik disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan kemampuan pasien.
d. Farmakoterapi
Farmakoterapi atau pemberian obat-obatan digunakan untuk mencapai dan
mempertahankan kadar gula darah yang optimal.Jenis obat yang digunakan
tergantung pada tipe DM, keparahan penyakit, dan kondisi kesehatan pasien.
e. Pemantauan DM
Pemantauan DM secara berkala diperlukan untuk menilai efektivitas
penatalaksanaan dan mendeteksi komplikasi dini.Pemantauan ini meliputi
pemeriksaan kadar gula darah, tekanan darah, kolesterol, dan pemeriksaan kaki
diabetik.
f. Pencegahan dan Pengelolaan Komplikasi
Penatalaksanaan DM juga fokus pada pencegahan dan pengelolaan
komplikasi akut dan kronis, seperti penyakit jantung, stroke, gagal ginjal, dan
retinopati diabetik.

6. Tujuan Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi:
a. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup,
dan mengurangi risiko komplikasi akut.
b. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif (Perkeni, 2019).

7. Tabel Kadar Gula darah


Pemeriksaan Kadar gula darah Kadar gula darah Normal
penderita DM
Gula darah puasa 90 – 130 mg/dl < 110 mg/ dl
Setelah makan 90 – 130 mg/dl < 110 mg/ dl
2 jam setelah 120 – 160 mg/dl < 140 mg/dl
makan
Sebelum tidur 110 – 150 mg/dl < 120 mg/dl

8. Penelitian terkait tentang Hubungan motivasi dengan efikasi diri pada pasien diabetes
mellitus
No Populasi Intervensi Komparatif Outcome Time
1 Populasinya dalam penelitian Untuk data Peneliti berasumsi Penelitian ini
terdapat 137 ini hanya 15 numerik (umur, bahwa hasil efikasi bertempat di
orang pasien pernyataan yang jumlah diri yang baik pada Poliklinik
penderita DMT2 digunakan, penghasilan, pasien DM tipe 2 di Rumah Sakit
namun untuk dimana lama DM). RSU GMIM Umum
pengambilan pernyataan Sedangkan Pancaran Kasih ini GMIM
sampelnya yaitu tersebut terdiri Analisis bivariat tidak lepas dari Pancaran
dengan metode dari diet (7 item), bertujuan untuk beberapa faktor Kasih
nonprobability dalam penelitian mengetahui pendukungnya. Manado pada
sampling dengan ini hanya 15 adakah Faktor pendukung bulan Mei –
teknik purposive pernyataan yang hubungan yang tersebut dapat Oktober 2018
sampling, yaitu digunakan, signifikan antara berasal dari Rumah
pengambilan dimana 2 variabel Sakit, dalam hal ini
sampel yang pernyataan (Hastono, 2007). tenaga kesehatan
didasarkan atas tersebut terdiri Analisis bivariat yang melakukan
pertimbangan dan dari diet (7 item), dilakukan untuk pengobatan terhadap
sesuai dengan membuktikan pasien, dukungan
kriteria inklusi hipotesa keluarga, sumber
dan eksklusi maka penelitian yaitu informasi. Efikasi
di dapati adakah diri yang kurang baik
sebanyak 34 hubungan antara tentu akan
pasien yang akan motivasi dengan menimbulkan
menjadi efikasi diri dampak psikologis
respondennya. pasien DM tipe yang muncul akibat
2 di RSU penyakit DM tipe 2
GMIM Pancaran karena seperti yang
Kasih, peneliti kita ketahui DM tipe
menggunakan 2 merupakan salah
uji Fisher Exact. satu penyakit kronis.
Uji Fisher Exact Efikasi diri dapat
digunakan untuk ditingkatkan dengan
menguji pemberian informasi
keterkaitan mengenai diabetes
antara dua melitus tipe 2 itu
variabel sendiri, sehingga
katagorik tingkat pengetahuan
dimana ada sel pasien akan
yang memiliki bertambah mengenai
nilai harapan manajemen kontrol
kurang dari 5, diabetes.
dengan kata lain
data yang
terlibat dalam
uji Fisher Exact
sedikit. Dengan
nilai α = 0,05.
Bila nilai P 
nilai , maka
keputusannya
adalah Ho
ditolak.
2 Populasi dalam sedangkan Jenis data yang Dari hasil penelitian Medan 2019
penelitian ini sampel yang digunakan ini dengan uji
adalah pasien digunakan adalah data atatistik pearson
Diabetes Mellitus adalah sampling primer, data chi-square, menunju
berjumlah 115 aksidental denga sekunder, dan kkan bahwa hasil P
responden, n rumus slovin data tertier, value sebesar 0,001.
yaitu sebanyak 53 sedangkan Dimana nilai tertentu
responden. analisa data lebih kecil dari nilai
yang digunakan α sebesar 0,05, maka
yaitu analisa ada hubungan antara
univariat dan motivasi dengan
analisa bivariat efikasi diri pada
pasien diabetes
melitus di Klinik
Diabetes Dharma
Medan

3 Penelitian Kuesioner terdiri Data dianalisis Hasil penelitian PERSADIA


dilakukan di dari: kuesioner secara univariat, didapatkan bahwa salatiga
kelompok demografi (umur, bivariat (chi karakteristik
PERSADIA jenis kelamin, square dan responden tidak ada
(Persatuan lama menderita independent t yang berhubungan
Diabetes) Salatiga DM, pendidikan, test), dan dengan efikasi diri
dengan populasi pekerjaan, dan multivariat kecuali pekerjaan (p
110 status marital), (regresi logistik value=0,000;
kuesioner berganda). α=0,05) dan
motivasi, dan pendidikan (p
skala pengukuran value=0,049;
dukungan α=0,05). Ada
keluarga serta hubungan antara
depresi dukungan keluarga
dengan efikasi diri (p
value=0,045;
α=0,05), ada
hubungan antara
depresi dengan
efikasi diri (p value
0,022; α: 0,05), dan
motivasi
berhubungan dengan
efikasi diri (p value
0,000; α: 0,05).
Responden yang
memiliki motivasi
baik berpeluang
4,315 kali untuk
memiliki efikasi diri
baik dibanding
dengan responden
yang memiliki
motivasi kurang baik
setelah dikontrol
oleh pekerjaan,
pendidikan,
dukungan keluarga,
dan depresi (OR
95% CI: 0,082-
6,874)
4 Sampel dalam Intrumen atau alat Variable Hasil analisis dimulai dari
penelitian ini pengumpulan independent penelitian tanggal 28
populasi 66 data yang motivasi yaitu memperlihatkan Juli hingga 5
responden digunakan dalam berupa kusioner hubungan antara Agustus 2016
penelitian ini dengan motivasi dengan
mengadop dari menggunakan efikasi diri pada
penelitian skala Likert pasien diabetes
(Ariani, 2011). yang memiliki melitus tipe 2 yaitu
mata relibialitas didapatkan nilai p-
0,839 dan value > 0,05
variable menandakan bahwa
dependen efikasi H0 ditolak dan dapat
diri berupa diartikan bahwa
kusioner dengan tidak terdapat
menggunakan hubungan antara
skala Likert motivasi dengan
yang memiliki efikasi diri pada
nilai relibialitas pasien diabetes
0, 904. melitus tipe 2
5 Populasi Pengambilan Pada penelitian Berdasarkan dari Adapun
penelitian ini sampel ini, jenis hasil penelitian yang waktu
d.
adalah seluruh menggunakan penelitian yang dilakukan tentang penelitiannya
penderita diabetes metode digunakan hubungan motivasi dilaksanakan
di RSUD nonprobability adalah analitik dengan efikasi diri pada bulan
sampling dengan kuantitatif pada pasien Diabetes Mei sampai
Cideres.
teknik purposive dengan Tipe II di RSUD Juni 2018.
sampling yaitu pendekatan Cideres tahun 2018,
pengambilan crosssectional maka dapat ditarik
sampel yang yaitu peneliti kesimpulan sebagai
didasarkan atas melakukan berikut:
pertimbangan dan pengukuran atau
1. Rata-rata motivasi
sesuai dengan penelitian dalam
pada pasien Diabetes
kriteria inklusi satu waktu.
Tipe II di RSUD
dan ekslusi Tujuan spesifik
Cideres tahun 2018
penelitian
adalah 54,8763
crosssectional
adalah untuk 2. Rata-rata efikasi
mendeskripsikan diri pada pasien
fenomena atau Diabetes Tipe II di
hubungan RSUD Cideres tahun
berbagai 2018 adalah
fenomena atau 162,4433
hubungan antara
variabel 3. Terdapat
independen dan hubungan yang
variabel signifikan antara
dependen dalam motivasidengan
satu efikasi diri pada
waktu/sesaat pasien Diabetes
(Sastroasmoro Mellitus Tipe II di
& Ismail, 2010) RSUD Cideres tahun
2018 (p=0,002)
dengan memiliki
kekuatan
hubungan sedang (r
= 0,314) dengan
korelasi positif.
Artinya semakin
tinggi motivasi yang
dimiliki oleh pasien
Diabetes
MellitusTipe II maka
semakin tinggi
efikasi dirinya
9. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan suatu uraian atau gambaran tertulis yang
menjelaskan hubungan antar konsep atau variabel yang akan diteliti dalam suatu
penelitian. Kerangka konsep berfungsi sebagai peta atau panduan dalam penelitian,
membantu peneliti untuk memahami dan menjelaskan hubungan antara berbagai
elemen penelitian(Notoatmodjo, 2023).Variabel yang diteliti dalam penelitian ini ada
dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Yang termasuk dalam
variabel independen adalah motivasi. Sementara yang termasuk dalam variabel
dependen adalah efikasi diri.

DM

Motivasi
1. Faktor Internal: Pengetahuan tentang Efikasi diri
kondisi diabetes, keinginan untuk hidup Keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk
sehat, keinginan untuk mengendalikan mengelola diabetes melalui pengaturan pola
kadar gula darah. makan, olahraga teratur, dan pemantauan
kadar gula darah.
2. Faktor Eksternal: Dukungan sosial dari
keluarga dan teman, informasi dan Diperkuat oleh pengalaman sebelumnya dalam
edukasi dari tenaga medis, insentif atau mengelola diabetes dan melihat hasil yang
reward sistem yang memotivasi untuk positif dari upaya-upaya yang dilakukan.
mengikuti perawatan

Faktor yang mempengaruhi


10. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu dugaan atau jawaban sementara atas suatu pertanyaan
penelitian yang dirumuskan berdasarkan teori atau hasil penelitian sebelumnya.
Melalui pembuktian dari hasil penelitianm maka hipotesis ini dapat benar atau salah
dapat diterima atau ditolak (Notoatmodjo, 2023).
1. Hipotesis Alternatif (H1)
Hipotesis alternatif adalah hipotesis yang menyatakan adanya hubungan atau
perbedaan antara variabel yang diteliti, dan merupakan kebalikan dari hipotesis nol. ada
hubungan motivasi dengan efikasi diri pada penderita DM di Rs Marinir
2. Cilandak Hipotesis Nol (H0)
Hipotesis nol adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan atau
perbedaan antara variabel yang diteliti. Motivasi Efikasi diri Tidak ada hubungan
motivasi dengan efikasi diri pada penderita DM di Rs Marinir Cilandak

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan desain penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari paradigma penelitian kuantitatif yang
memanfaatkan data numerik dan mengimplementasikan teknik analisis statistik untuk
menguji hipotesis serta memberikan jawaban terhadap pertanyaan penelitian yang
diajukan (Creswell, J. W., 2014). Dalam konteks ini, pendekatan yang diadopsi adalah
desain penelitian deskriptif korelasi dengan menggunakan pendekatan cross-sectional.
Metode ini memungkinkan peneliti untuk mengamati dan menganalisis hubungan antara
variabel-variabel yang relevan dalam satu titik waktu tertentu, memberikan pemahaman
yang lebih mendalam tentang fenomena yang diteliti dalam konteks populasi yang
bersangkutan.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi penelitian
Lokasi penelitian merujuk pada tempat atau area di mana data dikumpulkan atau
penelitian dilakukan. Lokasi dapat menjadi faktor penting dalam penelitian karena
dapat memengaruhi hasil dan generalisasi temuan (Creswell, J. W. 2014) Lokasi
penelitian ini akan dilakukan di RSUD Tangerang Selatan. Alasan penelitian ini
memilih lokasi ini dikarenakan penderita DM setiap tahunnya terus meningkat dan
berdasarkan prevelensi di Jakarta
3.2.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian mengacu pada periode waktu ketika penelitian dilakukan, yang
dapat berdampak pada konteks dan relevansi hasil penelitian (Babbie, E. 2016).
Penelitian akan dilakukan pada April – juni tahun 2024
3.3 Teknik Sampling
Purposive Sampling, atau Pemilihan Sampel Berdasarkan Tujuan, adalah teknik di
mana sampel dipilih berdasarkan karakteristik khusus yang relevan dengan tujuan
penelitian. Dalam metode ini, peneliti secara sengaja memilih sampel yang dianggap
memiliki informasi penting atau mewakili dengan baik variabel yang sedang diteliti
(Babbie, E. 2016).
3.4 Populasi dan Sampel
3.4.1 Populasi
Menurut Notoadmojo (2010), populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau
objek yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita DM di Rs
Marinir Cilandak
3.4.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi.
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Notoadmojo, 2010). Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan teknik deskriptif analitik dengan pendekatan
cross sectional. Sampel yang digunakan 30 pasien.
3.5 Definisi Operasional
Defenisi operasional adalah suatu sifat atau nilai dari objek atau kegiatan yang
dimiliki variasi tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2015)
Tabel 2 Variabel penelitian, definisi operasional dan skala pengukuran
Variable Definisi Alat ukur Skala Hasil ukur
penelitian operasional ukur
Variabel Suatu dorongan Kusioner Ordinal Penilaian menggunakan
Independen: dari dalam diri skala likert :
Motivasi individu maupun 1. Sangat tidak
dari luar individu setuju (skor 1)
untuk melakukan
2. Tidak setuju
manajemen
(skor 2)
perawatan DM
3. Setuju (skor 3)
4. Sangat setuju
(skor 4)

Interprestasi total : a.
kurang <50%
b. baik > 50%

Variabel Keyakinan diri Kusioner Ordinal 1. Tidak mampu


Dependen : pasien akan
2. Kadang mampu
efikasi diri kemampuannya
melakukan 3. Kadang tidak
perawatan diri mampu
meliputi diet?
makanan, 4. Mampu
olahraga,
monitoring gula Interprestasi total :
darah dan a. kurang <50%
pengobatan secara b. Baik > 50%
umum

3.6 Etika Penelitian Kperawatan


1. Informed consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan
responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.
2. Anonimity (tanpa nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan
dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak mencantumkan nama
responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar
pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan
hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya (Hidayat, 2011)
3.7 Alat Pengumpulan Data
3.7.1 Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau metode yang digunakan oleh peneliti
untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian. Instrumen tersebut dapat berupa
kuesioner, wawancara, tes, observasi, atau teknik pengukuran lainnya yang sesuai
dengan tujuan dan metodologi penelitian yang digunakan (Sugiyono. 2019).dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan instrument kusioner terkait variable motivasi dan
variable efikasi diri.
3.7.2Uji Validasi
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan bahwa variabel yang diukur
memang benar-benar variabel yang hendak diteliti oleh peneliti. Kuisoner ini diadopsi
dari penelitian sebelumnya oleh Butler (2012). Variabel dalam penelitian ini adalah
motivasi dan efikasi diri.

3.7.3Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas adalah suatu proses untuk mengukur seberapa konsisten atau
dapat diandalkan suatu instrumen pengukuran dalam menghasilkan data yang serupa
jika digunakan dalam situasi yang sama atau sejenis. Reliabilitas mengukur tingkat
kestabilan atau konsistensi instrumen pengukuran dalam mengukur variabel yang sama
dari waktu ke waktu atau dari sampel ke sampel (Sugiyono. 2019). Reliabilitas
menunjuk pada suatu pengertian bahwa instrumen yang digunakan dalam penelitian
untuk memperoleh informasi yang digunakan dapat dipercaya sebagai alat
pengumpulan data dan mampu mengungkap informasi yang sebenarnya dilapangan.
3.8 Prosedur pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan langkah awal dalam mendapatkan data
penelitian. Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan tahap sebagai berikut
(Soediman, 2016)
3.8.1 Tahap persiapan
Tahap penelitian merupakan langkah-langkah atau proses yang harus dilalui
oleh peneliti untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Tahap-tahap ini
mencakup perencanaan, pelaksanaan, analisis, dan pelaporan hasil penelitian (Bungin,
B. 2017).
3.8.2 Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan penelitian merupakan fase di mana peneliti menjalankan
rencana penelitian yang telah disusun pada tahap persiapan. Ini meliputi pengumpulan
data, analisis data, dan interpretasi hasil penelitian (Sugiyono. 2019). Peneliti
menjelaskan kepada responden atas maksud dan tujuan kedatangannya.
1. Peneliti meminta persetujuan responden atas ketersediannya menjadi
responden.
2. Menjelaskan pada responden tentang tujuan, manfaat, akibat menjadi
responden.
3. Responden yang setuju diminta tanda tangan pada lembar surat pernyataan
kesanggupan menjadi responden.
4. Peneliti memberikan kuisoner kepada responden yang sudah
menandatangani informed consent,
5. Setelah kuisoner terisi dikumpulkan kembali dan diperiksa kelengkapannya.
3.9 Pengolahan dan Analisa Data
3.9.1 Pengolahan Data
1. Editing
Meliputi kembali data yang terkumpul untuk mengetahui apakah sesuai seperti yang
diharapkan atau belum.
2. Coding
Coding adalah usaha mengklasifikasikan jawaban-jawaban atau hasil-hasil yang ada
menurut macamnya. Klasifikasi dilakukan dengan jalan menandai masing-masing
jawaban dengan kode berupa angka kemudian dimasukkan dalam lembaran tabel
kerja guna mempermudah membacanya. Hal ini penting untuk dilakukan karena alat
yang digunakan untuk analisa data dalam komputer yang memerlukan suatu kode
tertentu.
3. Entri
Entri adalah memasukkan data yang diperoleh menggunakan fasilitas komputer
dengan menggunakan sistem atau program komputer.
4. Verifikasi
Melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah di input.
5. Tabulating
Kegiatan memasukkan data-data hasil penelitian ke dalam tabel-tabel sesuai kriteria
sehingga didapatkan jumlah data sesuai dengan yang di observasi (Mubarak, 2017)
3.9.2 Analisa Data
Analisa data dilakukan dengan menggunakan pengukuran terhadap
masingmasing responden lalu masukkan dalam tabel distribusi frekuensi, kemudian
presentasekan masing-masing variabel responden lalu melakukan pembahasan dengan
menggunakan teori dari pustaka yang ada.
1. Analis univariat
Analisa univariat digunakan untuk melihat deskripsi dan distribusi masing masing
variabel, yaitu variabel independen (Motivasi) dan dependen (efikasi diri).
2. Analisa bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variable, analisa ini
dilakukan dengan menggunakan uji chi-square, dengan kriteria:
a. Jika P-Value < 0,1, maka ditolak dan Ha diterima, motivasi berpengaruh
dengan efikasi diri pada pasien DM
b. Jika P-Value > 0,1, maka Ha ditolak dan diterima motivasi tidak berpengaruh
dengan efikasi diri pada pasien DM

3.10 Diagram penelitian


Variabel Independent Variabel dependent

Motivasi Efikasi diri

Ket :
: Variabel independent
: Variabel dependent
: Garis koneksi
: Variabel yang tidak ada

BAB IV
Daftar Pustaka
BAB 1 LATAR BELAKANG
Syahid, A. (2021). Diabetes Mellitus: Tinjauan Epidemiologi dan Penatalaksanaan. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Indonesia, 9(2), 157-165.
Soegondo, S. (2011). Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2: Apa Yang Baru? Jurnal Penyakit
Dalam Indonesia, 1(1), 63-69.
American Diabetes Association. (2004). Diagnosis and classification of diabetes mellitus.
Diabetes Care, 27(Supplement 1), S5-S10. doi:10.2337/diacare.27.2007.s5
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (Eds.). (2008). Brunner & Suddarth's Textbook of Medical-
Surgical Nursing (11th ed.). Lippincott Williams & Wilkins.
World Health Organization. (2018). Global report on diabetes. WHO Press.
Sudoyo, A. W., & Ary W. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Lemone, P., & Burke, K. (2008). Medical-surgical nursing: Critical thinking in client care.
Prentice Hall.
American Diabetes Association. (2010). Standards of Medical Care in Diabetes.
International Diabetes Foundation (IDF). (n.d.). Berita tentang prevalensi penyakit diabetes
melitus di Indonesia. [Online]. Retrieved from https://www.detik.com/sulsel/berita/d-
6351363/cara-menulis-daftar-pustaka-dari-jurnal-berbagai-format-beserta-
contohnya[5].
Kemenkes RI. (2020). Riskesdas 2018. [Online]. Retrieved
from https://kemenkes.go.id/sites/default/files/2020-08/RISKESDAS%202018.pdf[3].
Dinas Kesehatan Provinsi Bali. (2020). Jumlah Penderita Diabetes Melitus di Kabupaten
Buleleng. [Online]. Retrieved from https://www.bali.go.id/berita/jumlah-penderita-
diabetes-melitus-di-kabupaten-buleleng[3].
International Diabetes Federation (IDF). (2021). Jumlah Penderita Diabetes di Indonesia
Diproyeksikan Capai 28,57 Juta Pada 2045. [Online]. Retrieved
from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/24/jumlah-penderita-
diabetes-di-indonesia-diproyeksikan-capai-28-57-juta-pada-2045[4].
American Diabetes Association. (2022). Symptoms of Diabetes. Retrieved from
https://www.diabetes.org/diabetes/symptoms.
Centers for Disease Control and Prevention. (2022). Risk Factors for Type 2 Diabetes.
Retrieved from https://www.cdc.gov/diabetes/basics/risk-factors.html.
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. (2022). Diabetes
Complications. Retrieved from
https://www.niddk.nih.gov/health-information/diabetes/overview/preventing-
problems
Bandura, A. (1986). Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory.
Prentice-Hall
Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall
BAB 2 MOTIVASI
https://www.gramedia.com/literasi/teori-motivasi/#Sejarah_Teori_Motivasi
Weiner, B. (1990). "Motivation research from the perspective of a cognitive psychologist."
The European Journal of Social Psychology, 20(1), 79-90.
Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Monks, F. J. (2013). "Membangun motivasi dalam pembelajaran." Bandung: Remaja
Rosdakarya.
McDonald, J. (2013). "Understanding Motivation: A Review of Relevant Literature." Journal
of Psychology, 45(2), 123-135.
Sadiman, A. S. (2015). "Psikologi Pendidikan." Jakarta: Rajawali Pers.
Morgan, L. (2013). "Understanding Human Needs: A Psychological Perspective." Journal of
Psychology, 55(3), 321-335.
Jurnal Adabiya, Vol. 1 No. 83 Tahun 2015 hal 3-4
Epiana. (2014). "Peran Motivasi dalam Pembelajaran." Jurnal Psikologi Pendidikan, 8(2),
112-125.
Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50(4), 370.
BAB 2 EFIKASI DIRI
Gist, M. E. (1987). Self-efficacy: Implications for organizational behavior and human
resource management. Academy of Management Review, 12(3), 472-485.
Bandura, A., Adam, K., Hardy, A., & Howells, G. (1989). Importance of assessing self-
efficacy in both performance and cognition settings. Journal of Personality and Social
Psychology, 56(5), 749-761.
Bandura, A. (2001). Social cognitive theory: An agentic perspective. Annual Review of
Psychology, 52(1), 1-26.
Bandura, A. (1977). Social learning theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: Freeman.
https://en.wikipedia.org/wiki/Efficacy
https://www.pinterest.com/pin/selfefficacy-theory--66920744452255317/
https://www.verywellmind.com/what-is-self-efficacy-2795954
Bandura, A. (2015). Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York, NY: W.H. Freeman
and Company.
Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York, NY: W.H. Freeman
and Company.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2013). Brunner & Suddarth's Textbook of Medical-Surgical
Nursing. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Fundamentals of Nursing. St. Louis, MO: Mosby.
Wang, R. H., & Shiu, L. J. (2014). The relationship between demographic characteristics and
self-care behavior in patients with type 2 diabetes. Contemporary Nurse, 46(2), 246-
255.
Mystakidou, K., Parpa, E., Tsilika, E., Pathiaki, M., Galanos, A., & Vlahos, L. (2012).
Gender differences in health-related quality of life and psychological distress in
patients with advanced cancer. The International Journal of Clinical Practice, 66(8),
773-777.
Wu, S. F. (2013). Self-efficacy mediates the impact of depression on self-care behavior in
patients with type 2 diabetes. International Journal of Nursing Practice, 19(6), 594-
600.
Delamater, A. M. (2017). Psychological care of children and adolescents with diabetes.
Pediatrics, 139(5), e20170603.
Gayatri. (2010). Factors associated with self-efficacy in patients with type 2 diabetes: A
literature review. Jurnal Ners, 5(2), 184-190.
BAB 2 DIABETES MELLITUS
https://www.who.int/health-topics/diabetes
https://p2ptm.kemkes.go.id/informasi-p2ptm/penyakit-diabetes-melitus
International Diabetes Federation. (2019). IDF Diabetes Atlas, 9th edn. Brussels, Belgium:
International Diabetes Federation.
Andriani, T. (2017). Diabetes Mellitus: Faktor Penyebab dan Pengaruhnya Terhadap
Kesehatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(2), 123-135.
Kowalak, J. P. (2011). Diabetes mellitus. In L. L. Stanitski & J. P. Kowalak (Eds.), The
Medical Encyclopedia (3rd ed., Vol. 2, pp. 882-887). New York: Aesculapius
Publishers.
Wilkins, R. L. (2011). Diabetes mellitus. In R. L. Wilkins (Ed.), Essentials of Medical
Diagnosis (3rd ed., pp. 297-306). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Andra, S. (2013). Understanding Diabetes: Causes, Symptoms, Diagnosis, and Treatment.
New York: Springer.
https://www.niddk.nih.gov/ (2023)
https://www.mayoclinic.org/ (2023)
www.caresdiabetes.com/
academicworks.cuny.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=5931&context=gc_etds
www.northwestfamilyclinics.com/blog/diabetes-explained
www.sace.sa.edu.au/documents/652891/03511f3f-d047-df2b-91b8-7bb6f0ab971d
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Pedoman Nasional Pengendalian dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Perkeni. (2019). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia 2019. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Notoatmodjo, (2023). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
BAB 3 METODOLOGI
Creswell, J. W. (2014). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods
approaches. Sage publications.
Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2017). Research design: Qualitative, quantitative, and
mixed methods approaches. Sage publications.
Babbie, E. (2016). The practice of social research. Cengage Learning.
Notoadmojo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.
Hidayat, A. A. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Salemba Medika.
Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta.
Soediman. (2016). Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan. Raja
Grafindo Persada.
Bungin, B. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan
Publik serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Kencana.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta.
Mubarak, S. (2017). Metode Penelitian: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai