Anda di halaman 1dari 19

HUKUM WASIAT DAN WARIS DI INDONESIA

Nama : Ahmadi
Nim : 5022023026
Unit/Semester : I (Satu) / II (Dua)
Mata Kuliah : Hukum Wasiat dan Waris di Dunia Islam
Prodi : Hukum Keluarga Islam
Dosen Pengampu : Dr. Muhammad Suhaili Sufyan, Lc. MA

PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
LANGSA
2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji beserta syukur kita limpahkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Hukum Wasiat Dan Waris Di Indonesia”. Selanjutnya tak lupa pula kita
sanjung-sajikan keribaan Nabi besar Muhammad S.A.W. keluarga dan sahabat
beliau.

Penulisan makalah dilakukan sebagai bagian dari tugas mata kuliah


Hukum Wasiat dan Waris di Dunia Islam. Makalah ini sudah penulis susun
dengan maksimal hingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Terlepas
dari segala hal tersebut, penulis sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.

Oleh karenanya penulis dengan lapang dada menerima segala saran dan
kritik agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata penulis
berharap semoga makalah ilmiah bisa memberikan manfaat maupun inspirasi
untuk pembaca.

Langsa, Mei 2024

penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan ................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3

A. Pengertian Wasiat Menurut KUHPerdata ............................................ 3


1. Pengertian Wasiat .......................................................................... 3
2. Bentuk Wasiat ............................................................................... 5
3. Rukun Wasiat ................................................................................ 6
B. Pengertian Dan Dasar Hukum Kewarisan ............................................ 7
1. Pengertian Waris.............................................................................. 7
2. Sebab-Sebab Memperoleh Waris ......................................................... 9
3. Penghalang Waris ................................................................................... 9
B. Hukum Wasiat dan Waris di Indonesia................................................ 11

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 15

A. Kesimpulan ......................................................................................... 15
B. Saran .................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Harta adalah suatu benda berharga yang dimiliki manusia, karena dengan
harta tersebut, manusia dapat memperoleh apa pun yang dikehendakinya. Harta
tersebut bisa berbentuk benda yang bergerak juga tidak bekerja. Cara memperoleh
tersebut pun beragam, salah satunya adalah dari wasiat seseorang. Wasiat adalah
pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya
meninggal.
Pada zaman dulu keberadaan wasiat dianggap sebagai perlombaan
menunjukkan kemewahan kepada orang lain sedangkan kerabat dekatnya tidak
diperhatikan, semakin besarnya harta yang diwasiatkan semakin besar pula
kehormatan seseorang. Wasiat seperti itu berlaku sebelum datangnya Islam, yakni
pada masa kerajaan Romawi juga dilaksanakan pada zaman Arab Jahiliyah.
Kondisi tersebut kemudian berubah setelah datangnya Islam yang mengatur
tentang wasiat beserta rukun, syarat, dan pelaksanaannya yang mana diatur
dengan cermat demi kesejahteraan umat. Melaui ketentuan seperti ini diharapkan
generasi penerus keluarga atau anak dari salah satu yang meninggal (pewasiat)
dapat memperoleh harta peninggalan dari pewasiat dengan tidak menzholimi atau
merugikan hak orang lain.
Kita sering mendengar wasiat dalam hal kewarisan, kedua hal ini memang
saling berkaitan. Jika pewasiat membuat wasiat sebelum dia meninggal, maka
harta tersebut harus digunakan terlebih dahulu untuk kepentingan pengurusan
jenazah, pelunasan hutang si mayyit, dan wasiat, baru kemudian masalah warisan
dilakukan kepada ahli waris ini masih dipertanyakan kejelasan hukumnya apakah
boleh ahli waris juga menerima warisan.
Ketentuan mengenai ruku, syarat, dan pelaksanaan mengenai wasiat diatur
rapi dalam fiqih, adapun mengenai ketentuan dan pelaksanaan wasiat di Indonesia
dijelaskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan di dalam Kompilasi
Hukum Islam tepatnya pada Buku II tentang Kewarisan pad BAB V tentang

1
Wasiat. Tentunya Kompilasi Hukum Islam ini sangat berguna dan menjadi
pedoman bagi kita warga negara muslim Indonesia saat hendak melakukan wasiat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang wasiat?
2. Bagaimana penjelasan tentang waris?
3. Bagaimana hukum wasiat dan waris di Indonesia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan tentang wasiat
2. Untuk mengetahui penjelasan tentang waris
3. Untuk mengetahui hukum wasiat dan waris di Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wasiat Menurut KUHPerdata


1. Pengertian Wasiat
Pengertian wasiat menurut bahasa bermakna pesan atau pesan-pesan,1 atau
dipesankan kepada orang lain. Sedangkan meurut istilah hukum islam, wasiat
adalah pemberian seseorang lepada orang lain, baik berupa barang, piutang
maupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang
berwasiat meninggal.
Menurut kamus lengkap bahasa Indonesia, wasiat merupakan kata benda
yang memiliki dua arti. Pertama, wasiat artinya pusaka atau sesuatu yang bertuah.
Kedua, wasiat berarti pesan terakhir yang disampaikan orang yang meninggal
dunia.
Menurut Sajuti Thalib, wasiat adalah pesan, baik itu menentukan sesuatu
apa pun yang bersangkutan dengan harta peniggalan dalam bidang kewarisan atau
setidaknya yag berhubungan dengan soal kewarisan.
Imam Abu Hanifah mendefinisikan wasiat sebagai memberikan hak
memiliki sesuatu secara tabarru’ (sukarela) yang pelaksanaannya ditangguhkan
setelah adanya peristiwa kematian dari yang memberikan, baik sesuatu itu berupa
2
barang maupun manfaat. Adapun Imam Malik mendefinisikan wasiat sebagai
suatu perikatan yang mengharuskan penerima wasiat mendapatkan hak sepertiga
harta peninggalan si pewaris sepeninggalnya atau mengharuskan penggantian hak
sepertiga harta sepeninggalan si pewaris kepada si penerima wasiat
sepeninggalnya si pewaris. Wasiat adalah perbuatan berupa pesan dari seseorang
secara sukarela kepada orang lain untuk mengurusi sebagian harta miliknya sesuai
dengan isi pesan tersebut yang kemudian dilaksanakan setelah pemberi harta
meninggal dunia. Dengan kata lain, wasiat merupakan tasaruf terhadap harta
peninggalan yang akan dilaksanakan setelah meninggalnya orang yang berwasiat.

1
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Wa Dzuriyah 2007). h.500
2
Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya
1992), h.135-136

3
Suatu wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang
apa yang dikehendaki setelah ia meninggal. Pasal 875 KUHPerdata, surat wasiat
atau testament adalah suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa
yang akan terjadi setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat ditarik kembali.
Dalam pemberian wasiat, tidak serta merta perintah pewaris dalam testament
dapat dilaksanakan. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Apabila
ternyata tidak ada satupun faktor penghalang, berarti testament tersebut dapat
dipenuhi isinya. Bagian dari harta peninggalan pewaris yang dapat digunakan
untuk memenuhi testament hanya terbatas pada bagian yang tersedia saja. Dengan
demikian, persentasi harta kekayaan peninggalan pewaris untuk pemenuhan
testament tidak tergantung pada bunyi testament, tetapi sangat tergantung pada
jumlah harta peninggalan pewaris yang oleh hukum atau undang-undang tersedia
untuk pewaris.3
Adapun bangunan hukum wasiat dalam KUHPerdata terdapat pada pasal
874 sampai pasal 1002 KUHPerdata yang isinya sebagai berikut:
Ketentuan umum pengaturannya (diatur pasal 874 s/d pasal 894): yang
intinya, mengatur tentang segala harta peninggalan seseorang yang meninggal
dunia, adalah kepunyaan para ahli waris (pasal 874 KUHPerdata). Surat wasiat
atau testament adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya
(pasal 875 KUHPerdata). Ketetapan-ketetapan dengan surat wasiat tentang harta
benda dapat juga dibuat secara umum, dapat juga dengan atas hak umum, dan
dapat juga dengan ats hak khusus (pasal 876 KUHPerdata). Ketetapan dengan
surat wasiat untuk keuntungan keluarga-keluarga sedarah yang terdekat, atau
darah terdekat dan pewaris, dibuat untuk keuntungan para ahli warisnya menurut
undang-undang (pasal 877 KUHPerdata). Ketetapan dengan surat wasiat untuk
kepentingan orang-orang miskin, tanpa penjelasan lebih lanjut, dibuat untuk

3
Beni Ahmad Saebani, Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2011) h. 174

4
kepentingan semua orang, tanpa membedakan agama yang dianut (Pasal 878
KUHPerdata).4

2. Bentuk Wasiat
Dalam KUH Perdata disebutkan bahwa bentuk wasiat terbagi dua, yaitu
pengangkatan waris (erfstelling) dan hibah wasiat (legaat). Pengangkatan waris
(erfstelling) adalah sebagian tertentu yang disesuaikan dengan warisan, misalnya
setengah tanpa menyebutkan benda yang diwasiatkan, tapi hanya menyebutkan
nominalnya saja. Adapun mengenai hibah wasiat (legaat) dijelaskan dalam pasal
957 KUH Perdata, yakni sebagai suatu penetapan khusus di mana pewaris
memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, misalnya
seperti benda bergerak, benda tidak bergerak, dan atau hak pakai hasil atas suatu
barang.
Dalam Pasal 171 huruf ‘a’ Kompilasi Hukum Islam buku III hukum
kewarisan, yang dimaksud wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris
kepada orang lain atau lembaga yang berlakusetelah pewaris meninggal dunia.
Ketentuan tentang wasiat ini terdapat dalam Pasal 194-209 yang mengatur secara
keseluruhan prosedur tentang wasiat.
Wasiat termasuk salah satu kewenangan absolut Pengadilan Agama menurut
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, namun belum ada hukum
materiil dalam bentuk undang-undang yang mengaturnya, satu-satunya yang
mengatur wasiat adalah Buku II Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang
kewarisan, termuat dalam instrumen hukum berupa Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur wasiat dalam Pasal 194-
209 dipandang sebagai hukum materiil dan diberlakukan di peradilan dalam
lingkungan peradilan Agama.5

4
M. Wijaya, Tinjauan Hukum Surat Wasiat Menurut Hukum Perdata, Jurnal Ilmu Hkum
Legal Opinion, Edisi 5, Vol. 2, 2014
5
Siska Lis Sulistina, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta Timur: Sinar Grafika
2018) h.128-129

5
3. Rukun Wasiat
Rukun wasiat beserta syarat-syaratnya sebagai berikut:
a. Orang yang memberi wasiat (mushi), haruslah orang yang baligh,
berakal, tidak dalam keadaan terpaksa melakukan wasiat tersebut, dan
mushi adalah orang yang masih hidup.
b. Orang yang menerima wasiat (musholah), haruslah orang yang masih
hidup, jelas, ada saat proses penyerahan wasiat, dan cakap menjalankan
tugas yang diberikan oleh mushi.
c. Harta yang diwasiatkan (musho bih), haruslah barang yang bernilai, ada
wujud bendanya saat proses penyerahan wasiat, dan barang tersebut
milik penuh mushi, serta barang tersebut jumlahnya tidak melebihi
sepertiga dari harta yang dimiliki. Adapun pelaksanaannya setelah
mushi meninggal dunia.
d. Shigat, haruslah menggunakan katakata yang tegas menyatakan maksud
berwasiat, misalnya seperti “Saya berwasiat kepada saudara agar
memberikan seperenam peninggalan saya untuk keperluan mesjid B”.
Dalam melakukan shigat ini bisa dilakukan dengan lisan seperti yang
dicontohkan tadi juga bisa dengan tertulis, baik itu mushi langsung
yang menulisya atau perwakilan yang dipercayai oleh mushi. Baik itu
secara lisan atau tertulis, hendaknya shigat itu dilakukan dengan dua
orang saksi lakilaki yang adil.6
Dalam Pasal 874 KUH Perdata disebutkan mengenai syarat isi pernyataan
atau bentuk wasiat tidak boleh bertentangan undang-undang. Kemudian dalam
pasal 1005 KUH Perdata disebutkan bahwa pembuat wasiat mengangkat
seseorang untuk mengawasi dan mengatur pelaksanaan wasiat tersebut dan dalam
pasal 808 KUH Perdata dijelaskan bahwa pewasiat memilki hak untuk
menetapkan suatu syarat (voorwaarde) yang masuk akal terhadap erfstelling atau
legaat, hal ini dilakukan sebagai antisipasi terhadap pelaksanaan wasiat tersebut
kedepannya.7

6
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Pustaka Setia: Bandung, 2006), h.238-240
7
Idris Ramulyo, Op.Cit., h.143-144

6
B. Pengertian Dan Dasar Hukum Kewarisan
1. Pengertian Waris
warisan adalah harta peninggalan (tirkah) pewaris setelah dikurangi biaya-
biaya seperti biaya perawatan, utang, dan wasiat, serta hal-hal yang terkait dengan
harta bersama, seperti pemisahan dari harta bersama (gono-gini), kalau dia
memiliki suami atau isteri. Secara ringkas, biaya-biaya itu dapat dijelaskan
sebagai berikut:8
a. Biaya perawatan
Biaya ini bisa berupa biaya perwatan ketika sakit dan biaya operasional
untuk penguburan, mulai dari biaya memandikan, mengafani, mengusung
(membawa) ke tempat pemakaman, sampai biaya penguburan.
b. Utang
Utang adalah suatu tanggungan yang wajib di lunasi sebagai suatu imbalan
dari suatu prestasi yang pernah diterima seseorang, seperti utang uang yang
belum dilunasi atau utang barang yang belum dibayar. Utang bisa juga
berupa kewajibankewajiban yang belum dilakukan terkait dengan harta,
seperti zakat dan kifarat (denda) yang belum dibayar. Dari sini, dapat
dipahami bahwa utangpiutang berkaitan dengan orang lain yang harus
dilunasi atau berhubungan dengan kewajiban kehartaan lainnya.
c. Wasiat
Wasiat adalah memberikan hak memiliki sesuatu secara sukarela dimana
pelaksanaannya ditangguhkan setelah pemberi wasiat meninggal dunia.
Akad wasiat bersifat kebendaan yang diucapkan ketika pewasiat masih
hidup, sementara realisasinya setelah pewasiat meninggal dunia. Wasiat
dalam hal ini berkaitan dengan harta.
Hukum waris tunduk kepada hukum yang di anut oleh pewaris. Sistem
hukum waris yang dianut di Indonesia meliputi: Hukum Waris Islam, Hukum
Waris Adat, dan Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

8
Yasin, Titik Temu Hukum Waris di Indonesia Adat, BW Dan Islam, (Kudus: STAIN
Kudus Press Bekerjasama Dengan Penerbit Idea Press Yogyakarta, 2011), h. 122-123

7
(BW). Berikut ini paparan mengenai pengaturan waris menurut ketiga hukum
tersebut.
a. Hukum Waris
Adat Sistem hukum waris merupakan hasil dari budaya masyarakat tempat
sistem hukum itu tumbuh dan berkembang. Sistem hukum waris adat Jawa
tumbuh dan berkembang di Jawa sebagai hasil karya dan karsa orang-orang
Jawa. Sebagaimana budaya yang lain, sistem hukum waris adat tumbuh dan
berkembang serta sejalan dengan kepribadian orang Jawa seperti
kebersamaan, kedamaian, keutuhan keluarga, tolong menolong dan lain-
lain.
b. Hukum Waris Islam
Hukum islam tidak membenarkan penundaan pembagian harta waris, karena
hal ini akan mengakibatkan munculnya masalah yang justru semakin sulit
dicarikan solusinya. Misalnya harta yang berupa hewan dapat juga telah
bertambah dan dijual oleh yang menguasai; harta yang berupa tanah sawah
dan digarap oleh salah satu ahli waris juga sumber masalah; rumah yang di
sewakan dan dikuasai oleh salah satu ahli waris atau bahkan oleh pihak
ketiga merupakan sumber masalah. Oleh karenanya Islam menyarankan
pembagian harta waris dilakukan sesegera mungkin.
c. Hukum Waris BW
Sistem hukum waris yang tertuang dalam KUHPerdata tidak membenarkan
adanya penundaan pembagian harta waris dan pembagian harta waris
sebelum si pewaris meninggal dunia. Kewarisan tidak mungkin terjadi
manakala tidak ada yang meninggal dunia. Namun pembagian harta waris
sesegera mungkin juga tidak selamanya merupakan hal yang baik dan tepat,
karena hal ini berarti mengesampingkan eksistensi masa berkabung. Budaya
ini rasanya kurang layak diterapkan oleh masyarakat Jawa muslim. Dalam
masa berkabung para ahli waris kurang layak manakala yang ada di benak
para ahli waris hanya pembagian harta waris. Namun disisi lain hal ini akan
lebih mempercepat penyelesaian masalah yang mungkin timbul, paling tidak

8
para ahli waris segera mengerti dan mengambil alih harta yang ditetapkan
menjadi miliknya.9

2. Sebab-Sebab Memperoleh Waris


a. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak,
saudara, paman, dan seterusnya.
b. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara
seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi
hubungan intim (bersanggama) antara keduanya. Adapun pernikahan
yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak
waris.
c. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-
‘itqi dan wala anni’mah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan
budak yang dilakukan seseorang. Dalam hal ini, orang yang
membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan)
yang dinamakan wala al-‘itqi‟. Orang yang membebaskan budak berarti
telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai
manusia. Oleh karena itu, Allah SWT. Menganugerahkan kepadanya
hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak tidak
memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab)
ataupun karena adanya tali pernikahan.10

3. Penghalang Waris
Para ulama madzab sepakat bahwa ada tiga hal yang menghalangi warisan,
yaitu perbedaan agama, pembunuan dan perbudakan. Untuk lebih jelasnya akan
terurai di bawah ini:
a. Karena hamba sahaya atau seorang budak
Seseorang yang berstatus sabagai budak tidak mempunyai hak untuk
mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab, segala sesuatu yang dimiliki

9
Ibid., h.185-189
10
Beni Ahmad Saebani Dan Syamsul Falah. Op.Cit., h.202-203

9
budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai
qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka
jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan
perjanjian pembebaan dengan tuannya, dengan persyaratan yang telah
disepakati kedua belah pihak). Untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi
disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.
Budak hanya akan mendapatkan waris jika telah dimerdekakan,
misalnya merdekanya budak karena adanya perjanjian dengan tuannya.
Seorang majkan dapat melakukan perjanjian dengan budaknya untuk
memerdekakannya, atau merdekanya budak itu dikaitkan dengan suatu sifat,
sebagaimana majikan berkata kepada budaknya,” jika istriku melahirkan
anak laki-laki, engkau merdeka”.
b. Karena membunuh
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris, ia tidak berhak
mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
“Pembunuh tidak berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya” Sangat
beralasan jika seorang pembunuh tidak berhak atas harta yang ditinggalkan
oleh orang yang dibunuhnya. Biasanya ia membunuh karena ingin cepat
mendapatkan harta waris. Oleh sebab itu, orang yang membunuh terhalang
oleh perbuatannya untuk mendapatkan harta warisan dari orang yang
dibunuhnya.
c. Perbedaan agama
Orang muslim hanya memberi waris kepada muslim. Jika yang
meninggal dunia orang muslim, sedangkan ahli warisnya bukan muslim,
maka dia tidak berhak mendapatkan harta waris. Rasulullah SAW bersabda:
“Orang islam tidak mendapat warisan dari orang kafir, dan orang kafir
tidak mendapat warisan dari orang Islam.”
Berdasarkan lahiriah hadist di atas, semua ulama mazhab sepakat
bahwa orang muslim dan orang kafir tidak saling mewarisi. Akan tetapi,
sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa orang Islam boleh menerima
waris dari orang kafir. Sebaliknya, orang kafir tidak boleh menerima harta

10
waris dari orang muslim. Pendapat tersebut bersandar pada hadis yang
diriwayatkan oleh Mu’az bin Jabal r.a. Pandangan yang paling rajih adalah
yang menyatakan tidak adanya saling mewarisi antara muslim dan kafir dan
sebaliknya antara kafir dan muslim, sedangkan antara Yahudi dan Nasrani
dapat saling mewarisi, karena keduanya kafir.11

C. Hukum Wasiat dan Waris di Indonesia


Adapun mengenai persyaratan wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam, kami
uraikan sebagai berikut:
1. Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa pewasiat haruslah
orang yang sekurangkurangnya berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa
ada paksaan melakukan wasiat tersebut. Dalam pasal ini juga menyebutkan
bahwa benda yang diwasiatkan adalah hak penuh milik si pewasiat. Pasal ini
juga menyebutkan bahwa wasiat tersebut dilaksanakan sesudah pewasiat
meninggal.
2. Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa wasiat dilakukan
secara lisan dan secara tertulis langsug kepada penerima wasiat juga bisa
dihadapan notaris dengan ditambah dua orang saksi. Wasiat yang
diperbolehkan maksimal sepertiga dari harta warisan, kecuali semua ahli
waris memiliki persetujuan untuk lebih dari sepertiga.
3. Pasal 196 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa wasiat yang
dilakukan secara tertulis atau lisan harus disebutkan secara tegas dan jelas
siapa saja orang atau lembaga yang mendapatkan wasiat tersebut.
4. Pasal 198 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa wasiat berupa hasil
dari suatu benda atau pemanfaatan suatu benda hendaknya diberikan jangka
waktu tertentu.
5. Pasal 200 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa harta wasiat yang
berupa barang tidak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah mengalami
penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal, maka
penerima wasiat akan mendapatkan barang yang tersisa tersebut.

11
Ibid., h.206-210

11
6. Pasal 201 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa jika wasiat
melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris yang tidak
menyetujuinya, maka wasiat hanya dilakukan sampai batas sepertiga dari
harta warisan.
7. Pasal 202 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa jika wasiat
ditujukkan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedangkan harta pewasiat tidak
mencukupi, maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang harus
diutamakan terlebih dahulu.
8. Pasal 203 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa jika surat wasiat
dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannya di tempat notaris yang
membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada
hubungannya. Jika suatu surat wasiat dicabut, maka surat tersebut
diserahkan kembali pada pewasiat.
9. Pasal 204 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa, jika pewasiat
meninggal dunia, maka wasiat yang tertutup (rahasia) yang disimpan di
notaris atau di suatu tempat seperti KUA, dibuka oleh notaris atau pegawai
KUA tersebut dihadapan ahli waris beserta dua orang saksi yang mengikuti
akad wasiat sebelumnya. Setelah semua isi serta maksud diketahui secara
jelas, barulah notaris atau pegawai KUA menyerahkan wasiat tersebut
kepada penerima wasiat yang sesuai dengan akad sebelumnya.
10. Pasal 205 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa para anggota
tentara atau orang yang terlibat dalam peperangan di suatu tempat
diperbolehkan membuat surat. wasiat dihadapan komandannya dan
dihadapan dua orang saksi.
11. Pasal 206 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa mereka yang
berada dalam pelayaran laut diperbolehkan membuat surat wasiat di
hadapan nahkoda atau mualim kapal dengan dua orang saksi.
12. Pasal 207 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa wasiat tidak
diperkenankan diberikan untuk pelayanan bagi seseorang dan kepada
pemuka agama, kecuali dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa mereka.

12
13. Pasal 208 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa wasiat tidak
diperkenankan diberikan bagi notaris dan saksi.

Berikut ini prosedur melakukan wasiat sesuai dengan ketentuan dalam


Kompilasi Hukum Islam:
1. Pewasiat yang telah memenuhi syarat ketentuan yang tercantum dalam Pasal
194 Kompilasi Hukum Islam, hendaknya pewasiat membuat surat (secara
tertulis). Walaupun bisa dilakukan secara lisan, tapi hendaknya pewasiat
membuat surat wasiat. Hal ini dilakukan agar surat tersebut dapat dijadikan
akta otentik, karena di dalam sana terdapat tanda tangan pewsiat, penerima
wasiat, notaris, dan dua orang saksi, yang akan berguna nantinya jika wasiat
tersebut mengalami senketa. Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 196
Kompilasi Hukum Islam.
2. Pewasiat hendaknya menyebutkan secara jelas objek yang dituju, siapa dan
lembaga apa yang dimaksud, hal ini sesuai dengan Pasal 196 Kompilasi
Hukum Islam.
3. Hendaknya pewasiat membuat surat tersebut kepada notaris dengan
mendatangkan dua orang saksi, ini dilakukan agar surat wasiat serta
pelaksanaannya nanti terjaga keamanannya oleh hukum, hal ini sesuai
dengan Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam.
4. Jika isi dari surat wasiat tersebut rahasia, maka pewasiat tidak perlu
memberitahukan kepada notaris maupun dua saksi yang terlibat, dalam hal
ini pewasiat cukup memberitahukan keterangan untuk menjalankan proses
wasiat ini nantinya, hal ini sesuai dengan Pasal 203 Kompilasi Hukum
Islam, yag kemudian proses pembukaan surat tersebut dijelaskan dalam
Pasal 204 Kompilasi Hukum Islam.
5. Mengenai benda yang diwasiatkan entah itu berupa uang tunai, benda
bergerak seperti mobil atau kendaraan lainnya, serta benda tidak bergerak
seperti tanah atau rumah, memang harus ada wujudnya saat akad wasiat
berlangsung, wujud langsung tersebut tidak harus ada di hadapan saat proses
akad melainkan memang sudah ada bendanya, misal seperti rumah atau

13
tanah, memang sudah ada wujudnya rumah dan tanah tersebut dan
dinyatakan milik penuh pewasiat.
6. Mengenai pelaksanaan wasiat setelah pewasiat meninggal, terlebih dahulu
notaris atau pihak yang menyimpan surat tersebut membacakan dan
memberitahukan isi maksud dari surat tersebut di hadapan ahli waris juga di
hadapan dua orang saksi, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 204
Kompilasi Hukum Islam.
7. Jika memang harta benda yang diwasiatkan tersebut tidak diperlukan untuk
biaya yang lebih diutamakan seperti pembiayaan pemakaman pewasiat juga
melunasi hutang-hutang pewasiat, kemudian dinyatakan bahwa nilai benda
tersebut tidak melebihi sepertiga dari harta warisan, maka wasiat tetap harus
dilaksanakan.
8. Berbeda halnya jika ternyata harta benda wasiat tersebut digunakan untuk
melunasi hutang-hutang pewasiat atau pewasiat menetapkan lebih dari
sepertiga harta untuk diwasiatkan, para ahli waris memiliki hak untuk
memutuskan perkara tersebut untuk hanya menggunakan sepertiga dari harta
yang diwariskan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 201 Kompilasi
Hukum Islam.
9. Setelah semuanya dinyatakan selesai tidak terdapat lagi persengketaan,
wasiat harus segera dilaksanakan sesuai dengan isi maksud dalam surat
wasiat tersebut. Barulah, sisa harta dari wasiat tersebut dijadikan sebagai
harta warisan yang kemudian dibagi kepada ahli waris.12

12
Muhammad Syafiq, Tinjauan Hukum Wasiat Kepada Ahli Waris, Fakultas Syariah,
Institut Agama Islam Darussalam Martapura 2020, h.1-14

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam praktik pelaksanaannya wasiat yang diberikan kepada ahli waris
harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu seperti: tidah boleh melebihi
sepertiga dari harta warisan dan harus diketahui oleh ahli waris yang lain, hal
tersebut agar tidak merugikan para ahli waris.
Sedangkan dalam KUH Perdata (BW) terdapat didalam pasal 875, serta
didalam pasal 954 juga ada aturan wasiat (testament) khusus yang artinya
diperuntukkan untuk ahli waris dalam garis keturunan lurus kebawah
(erfsitelling). Adapun mengenai dalam hukum adat beberapa wilayah di Indonesia
juga ada yang memakai wasiat hibah ini tetapi dibatasi sepertiga dan dua pertiga.
Namun hasil penelusuran peneliti belum menemukan apakah ada wasiat hibah
yang diperuntukkan kepada ahli waris seperti saudara dan kerabat lain apakah itu
ada. Yang jelas kebanyakan wasiat hibah diberikan kepada ahli waris yang terkait
dengan pewasiat saja seperti anak perempuan.
Demikian hasil penelusuran peneliti tentang wasiat yang diberikan kepada
ahli waris, bahwa diperbolehkan selama ahi waris lain tidak ada menggugat hak
mereka dan ahli waris yang mendapat wasiat diberi izin untuk menerima wasiat
oleh ahli waris.

B. Saran
Dalam penulisan tugas ini penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam
bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan tugas
ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ramulyo, Idris. 1992, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Pedoman


Ilmu Jaya

Saebani, Beni Ahmad dan Syamsul Falah. 2011, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia

Sulistina, Siska Lis. 2018, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta Timur:
Sinar Grafika

Syafiq, Muhammad. 2020, Tinjauan Hukum Wasiat Kepada Ahli Waris, Fakultas
Syariah, Institut Agama Islam Darussalam Martapura

Umam, Dian Khairul. 2006, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia

Wijaya, M. 2014, Tinjauan Hukum Surat Wasiat Menurut Hukum Perdata, Jurnal
Ilmu Hkum Legal Opinion, Edisi 5, Vol. 2

Yasin. 2011, Titik Temu Hukum Waris di Indonesia Adat, BW Dan Islam, Kudus:
STAIN Kudus Press Bekerjasama Dengan Penerbit Idea Press Yogyakarta

Yunus, Mahmud. 2007, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Wa Dzuriyah

16

Anda mungkin juga menyukai