Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Upaya pemerintah dalam hal penegakan hukum di Indonesia untuk

tercapainya sebuah tujuan hukum yakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan

salah satunya melalui hukum pidana. Karakteristik hukum pidana yang

membedakan dengan hukum lainnya adalah adanya sanksi pidana dan hukum

pidana merupakan hukum publik, dimana didalamnya memuat suatu aturan

yang mengatur hubungan antara individu dengan negara.1

Hukum Pidana secara luas dikemukakan oleh Moeljatno yang

menyatakan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruan hukum yang

berlaku disuatu negara yang mengatur dasar-dasar dan mengatur ketentuan

tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang yang disertai ancaman

pidana bagi barang siapa yang melakukan.2

Bertolak pada pengertian di atas maka Mardjono Reksodiputro

merumuskan 3 (tiga) tujuan dari Sistem peradilan pidana yang diantaranya

mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus

kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah

ditegakan dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan

tidak mengulanginya lagi,3 dalam penyelesaian kasus tindak pidana aspek

1
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Cahaya Atma Jaya,
Yogyakarta, Edisi Pertama, 2014. hlm. 16.
2
Ibid.
3
Abdul Basir, Polisi dan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana, Byrru Cakrawala,
Edisi Pertama, Jakarta, 2019. hlm. 14.
1
2

yang terpenting yakni aspek kesejahteraan dan perlindungan yang bersifat

imateril, terutama nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran serta keadilan. 4

Hukum pidana secara hukum positif (ius constitutum), pembagiannya

dibagi menjadi 2 (dua) yakni hukum pidana dalam arti materil dan hukum

pidana dalam arti formil.5 Hukum Pidana materil yakni keseluruhan

peraturan-peraturan hukum yang menunjukan perbuatan-perbuatan mana

yang seharusnya dikenakan pidana, dan dimana pidana itu seharusnya

terdapat, sedangkan dalam arti formil yakni mempelajari peraturan-peraturan

yang diciptakan oleh negara karena adanya dugaaan terjadi pelanggaran

Undang-Undang Pidana.6

Adapun peraturan-peraturan yang mengatur tentang hukum pidana

materil tidak hanya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

tetapi juga dalam peraturan perundang-undangan lainnya, begitu juga dengan

hukum acara pidana (formil) Perbuatan hukum pidana yang dilakukan oleh

tiap-tiap subyek hukum atau suatu delik yang diatur dalam KUHP maka

disebut sebagai tindak pidana umum, selanjutnya kalau delik diatur dalam

undang-undang selain KUHP, diluar KUHP dinamakan dengan tindak pidana

khusus.

Adanya perkembangan aturan-aturan hukum pidana yang diatur secara

terpisah dengan KUHP disebabkan karena berbagai faktor, salah satu faktor

yang melatarbelakangi adanya peraturan secara terpisah tersebut salah

satunya yakni, karena KUHP yang pada saat ini dinilai sudah tidak sesuai
4
Ibid.
5
Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2017. hlm. 2.
6
Ibid. hlm.6.
3

dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks dan

penanganannya membutuhkan aturan-aturan hukum yang baru pula,

Perkembangan hukum pidana di luar kodifikasi (KUHP), atau Undang-

Undang Tindak Pidana Khusus, memang sulit dihindari realitasnya,

mengingat berkembangnya berbagai kejahatan luar biasa

(extraordinarycrimes) seperti tindak pidana perdagangan orang (Human

Traficking).

Perdagangan orang adalah salah satu pelanggaran hukum yang buruk

karena merenggut harkat dan martabat manusia. Yang dapat mengakibatkan

kerugian materil maupun imateril Masalah perdagangan orang (human

trafficking) bukan lagi hal baru tetapi sudah menjadi masalah nasional dan

internasional yang berlarut-larut yang sampai saat ini belum dapat diatasi

secara tepat, baik oleh pemerintah setiap Negara maupun oleh organisasi-

organisasi internasional yang berwenang dalam menangani masalah

perdagangan orang.7

Perdagangan orang dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang termuat dalam Pasal 297

KUHPidana yang menyebutkan bahwa perdagangan wanita dan anak laki-laki

yang belum dewasa akan dikenakan sanksi berupa hukuman 6 tahun pidana

kurungan dan pencabutan beberapa hak.8

7
Anas, Implementasi Kebijakan Pencegahan dan Penaganan Perdagangan Perempuan
dan Anak pada Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Palu, e-
journal, Katalogis, Volume 5 Nomor 6, Juni 2017 h. 111-112
8
Paul, Sinlaeloe, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Malang, Setara Press, 2017
4

Di Indonesia saat ini, aturan tindak pidana perdagangan orang telah

direvisi dan disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

tentang Pemberantasan Tindak Pidanan Perdagangan Orang. Dalam undang-

undang ini telah diatur secara tegas mengenai sanksi bagi pelaku

kejahatannya, pada undang-undang ini menyebutkan bahwa Perdagangan

Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,

pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,

penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,

penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi

bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang

memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam

negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan

orang tereksploitasi.

Eksploitasi secara garis besar merupakan tindakan dengan atau tanpa

persetujuan mendapatkan keuntungan baik materiel maupun imateriel, dengan

demikian ketentuan tersebut menunjukan jika perdagangan orang sudah

dipastikan dilakukan oleh lebih dari satu orang atau satu subjek hukum, yang

artinya ketika suatu subjek hukum memperoleh manfaat dengan menerima

atau menyerahkan seseorang dengan secara melawan hukum atau

bertentangan dengan undang-undang maka dapat dikatakan sebagai perbuatan

perdagangan orang.

Dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana sendiri tertuang pada

ketentuan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyebutkan:


5

“dipidana sebagai pelaku tindak pidana:


1. Mereka yang melakukan;
2. Menyuruh melakukan;
3. Turut serta melakukan; dan
4. Menganjurkan atau menggerakan melakukan.”

Selain itu perlu sekiranya juga dilihat dari sisi pertanggungjawaban

hukumnya, Pertanggungjawaban dalam lingkup hukum pidana dapat diartikan

sebagai pertaggungjawaban pidana, dalam bahasa Belanda disebut

torekenbaarheid, sedangkan dalam Bahasa inggris disebut criminal

responsibility atau criminalliability. Pertanggungjawaban pidana dalam hal

ini adalah mengenakan hukuman atau sanksi terhadap subyek hukum karena

tindakannya yang melakukan suatu delik atau suatu peralihan

hukuman/sanksi pidana kepada pembuatnya.

Starfbaarfeit harus merupakan suatu perbuatan atau tindakan manusia,

perbuatan itu adalah perbuata wederrechtelijke (bertentangan dengan hukum),

perbuatan tersebut dilakukan terhadap subyek hukum yang dapat

mempertanggungjawabkan.9 Mempertanggungjawabkan seseorang dalam

hukum pidana adalah meneruskan hukuman yang secara objektif ada pada

perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya.10

Van Hamel, menyebutkan terdapat 3 (tiga) macam kemampuan untuk

tiap subjek hukum yang dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana

atas perbuatan delik yang telah dilakukan dari suatu keadaan normal dan

kematangan psikis pelaku, diantaranya:11

9
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit.
10
Ibid.
11
Ibid, hlm. 163.
6

1) Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri;

2) Menyadari bahwa perbuatanya itu tidak dibenarkan atau dilarang

oleh masyarakat; dan

3) Menentukan kemampuan terhadap perbuatan.

Bahwa dengan demikian dari 4 (empat) kategori sebagaimana

disebutkan di atas menunjukan jika baik yang melakukan, turut serta

melakukan, menyuruh melakukan atau menganjurkan melakukan suatu

perbuatan delik dikonotasikan sebagai pelaku sehingga dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana kecuali perbuatan yang dilakukannya

terdapat alasan pembenar ataupun pemaaf.

Namun ketentuan-ketentuan sebagaimana penulis uraikan di atas

sepertinya tidak diterapkan dengan baik guna melakukan pemberantasan

pelaku tindak pidana perdagangan orang yakni pada perkara putusan nomor

Putusan Nomor 30/Pid.Sus/2023/PN.Cbi.

Pada kasus a quo terjadi sekira pada tahun 2022 lalu yang bermula

pada adanya seseorang yang tidak mempunyai keturunan atas pernikahannya

kemudian menghubungi sauadaranya untuk mencarikan bayi atau orang tua

yang rela anaknya di adopsi oleh dirinya.

Kemudian saudaranya tersebut menghubungi terpidana untuk dicarikan

bayi atau orang tua yang mau jika anaknya di adopsikan, bahwa terpidana

setiap harinya melakukan kegiatan menampung ibu-ibu hamil yang hamil

diluar kandungan dengan harapan agar dapat mengurangi angka kematian

bayi yang dibuang oleh orang tuanya akibat tidak mau menanggung rasa malu
7

karena hamil sebelum melaksanakan pernikahan yang kemudian setelah

ibunya melahirkan bayi tersebut akan di serahkan ke panti asuhan.

Bahwa terdapat salah satu ibu hamil yang atas kemauannya

menginginkan jika anaknya agar di adopsikan saja agar pendidikannya jelas

terjamin selain itu ibu dari anak tersebut beranggapan jika bayinya di

adopsikan maka ibu tersebut akan sering diberi uang oleh adopter mengingat

pada fakta sosialnya seringkali terjadi hal demikian, atas kemauannya

tersebut akhirnya terdakwa menghubungi calon adopter jika ada bayi yang

mau di adopsikan dengan catatan terdapat biaya yang harus ditanggung

sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

Bahwa adopsi tersebut dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak, setelah bayi diserahkan dan uang diterima oleh

terdakwa maka uang tersebut terdakwa berikan kepada ibu dari anak itu

sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Bahwa perbuatan tersebut diketahui oleh dinas sosial setempat dan

dinas sosial segera melaporkan hal ini kepada Kepolisian Resort Cibinong

untuk dilakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan tindak pidana

perdagangan orang.

Bahwa namun perkara tersebut sampai dengan diperiksa di pengadilan

pada Pengadilan Negeri Cibinong dan telah berkekuatan hukum tetap

berdasarkan Putusan Nomor 30/Pid.Sus/2023/PN.Cbi, Ibu dari anak tersebut,

seseorang yang mengadopsi (adopter) dan peranatar dari si seseorang yang


8

pengadopsi tidak dimintakan pertanggungjawaban secara pidana padahal

perbuatannya menurut hemat penulis jelas memenuhi unsur-unsur

sebagaimana termuat pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidanan Perdagangan Orang Jo. Pasal 55 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana dan tidak terdapat alasan pemaaf maupun

pembenar atas perbuatan yang dilakukan olehnya.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan penulis di

atas, bahwa terjadi disparitas antara das sollen dan das sein serta

permasalahan hukum tersebut menarik untuk dikaji untuk mengetahui

bagaimana pertaggungungjawaban pidana terhadap pihak-pihak yang tidak

ditetapkan sebagai tersangka pada pada kasus tersebut. Sehingga penulis

mengontruksikan penelitian ini dengan judul

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU TINDAK

PIDANA PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN PASAL 55

KITAB-UNDANG HUKUM PIDANA” (Analisis Putusan Nomor

30/Pid.Sus/2023/PN.Cbi).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan, penulis

menyusun masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana

Perdagangan Orang berdasarkan Pasal 55 Kitab-Undang Hukum Pidana

pada perkara Putusan Nomor 30/Pid.Sus/2023/PN.Cbi?


9

2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku pada perkara

Putusan Nomor 30/Pid.Sus/2023/PN.Cbi?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan oleh penulis di atas,

maka ada beberapa tujuan ingin penulis capai dari hasil penelitian ini, yaitu:

a) Untuk mengetahui Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak

Pidana Perdagangan Orang berdasarkan Pasal 55 Kitab-Undang Hukum

Pidana pada perkara Putusan Nomor 30/Pid.Sus/2023/PN.Cbi; dan

b) Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku pada perkara

Putusan Nomor 30/Pid.Sus/2023/PN.Cbi.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana dimaksud diatas manfaat yang

diharapkan oleh peneliti dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teori

Secara teori penelitian ini diharapkan dapat menunjang

pengembangan ilmu dibidang hukum pidana khususnya terkait dengan

tindak pidana perdagangan orang, pelaku tindak pidana perdagangan

orang jika dilihat pada ketentuan Pasal 55 Kitab-Undang Hukum Pidana,

dan sejauh mana seseorang atau subjek hukum dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana

2. Secara Praktik
10

Mengembangkan pola pikir dan pemahaman serta mengetahui

kemampuan penulis menerapkan ilmu yang tengah diperoleh selama

menjadi mahasiswa fakultas hukum di Universitas Pamulang.Hasil

penulisan ini juga diharapkan dapat memberikan informasi, pandangan

dan gagasan kepada pembaca mengenai hukum pidana berkaitan dengan

tindak pidana perdagangan orang dan pertanggungjawaban pidana.

E. Kerangka Teori

1. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban dalam lingkup hukum pidana dapat diartikan

sebagai pertaggungjawaban pidana, dalam bahasa Belanda disebut

torekenbaarheid, sedangkan dalam Bahasa inggris disebut criminal

responsibility atau criminalliability. Pertanggungjawaban pidana dalam

hal ini adalah mengenakan hukuman atau sanksi terhadap subyek hukum

karena tindakannya yang melakukan suatu delik atau suatu peralihan

hukuman/sanksi pidana kepada pembuatnya.

Starfbaarfeit harus merupakan suatu perbuatan atau tindakan

manusia, perbuatan itu adalah perbuata wederrechtelijke (bertentangan

dengan hukum), perbuatan tersebut dilakukan terhadap subyek hukum

yang dapat mempertanggungjawabkan.12 Mempertanggungjawabkan

seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan hukuman yang secara

objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap

pembuatnya.13

12
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit.
13
Ibid.
11

Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan

pembuat dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur tindak

pidana. Dengan demikian kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu

pertanggungjawaban pidana dan tak hanya dipandang sekedar unsur

mental dalam tindak pidana.

Van Hamel, menyebutkan terdapat 3 (tiga) macam kemampuan

untuk tiap subjek hukum yang dimintakan pertanggungjawabannya

secara pidana atas perbuatan delik yang telah dilakukan dari suatu

keadaan normal dan kematangan psikis pelaku, diantaranya:14

1. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri;

2. Menyadari bahwa perbuatanya itu tidak dibenarkan atau

dilarang oleh masyarakat; dan

3. Menentukan kemampuan terhadap perbuatan.

Syarat-syarat lain pertanggungjawaban pidana selain sebagaimana

dimaksud dijelaskan di atas yakni

1. Pertama, dengan sengaja (dolus).

manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat

karena manusia hanya dapat menginginkan., mengharpkan, atau

membayangkan adanya suatu akibat adalah sengaja apabila

suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan di

bayangkan sebagai maksud tindakan dan karena itu tindakan

yang bersangkutan dilakukan sesuai denganbayangan terlebih

dahulu telah dibuat;


14
Ibid, hlm. 163.
12

2. Kedua, Kelalaian (Culpa).

Dalam undang-undang tidak mendefinisikan secara gamblang

apa yang dimaksud dengan kelalaian ini Tetapi hal tersebut

dapat dilihat dalam Mvt (Memori van toelichting) mengatakan

bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan;

dan

3. Ketiga, tidak ada alasan penghapusan pidana.

Alasan-alasan ini merupakan alasan yang dapat dijadikan dasar

seseorang tidak dikenakan sanksi pidana atau tidak dapat

mintakan pertanggunjawaban pidana, secara umum dapat kita

pahami terdapat 2 (dua) alasan yakni karena keadaan fisiknya

yang tidak waras dan dibawah pengampuan (alasan pemaaf)

serta tindakannya merupakan suatu tindakan yang didasarkan

karena perintah dari undang-undang (alasan pembenar).

F. Orisinalitas Penelitian

Untuk membuktikan keorisinalitasan atau keaslian penelitian maka dengan

ini peneliti uraikan 3 (tiga) penelitian tentang tindak pidana korupsi dan

peneliti akan uraian perbedaan dan persamaan dengan penelitian yang

dilakukan oleh peneliti:

1. Siska Saragih, Tahun 2022, Judul Penelitian “PENEGAKAN

HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN

ORANG (Studi Putusan No.337/Pid.Sus/2020/PN Bna)”15

15
Siska Saragih. "Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Perdagangan Orang
(Studi Putusan No. 337/Pid. Sus/2020/PN Bna)." (2022).
13

Dalam penelitian tersebut memiliki letak persamaan dengan penulis yaitu

berkaitan dengan bagaimana penegakan hukum atau Sistem Peradilan

Pidana (Criminal Justice System) bagi pelaku tindak pidana perdagangan

orang (Human Trafficking), penerapan sanksi yang diberikan terhadap

pelaku, dan jenis data yang digunakan peneliti yakni data skunder yakni

data yang didapatkan dari hasil kepustakaan sedangkan letak perbedaan

peneliti dengan penulis yakni;

a) Penulis dalam hal ini lebih menekankan pada penerapan Pasal 55

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berdasarkan teori

pertanggungjawaban pidana sedangkan Peneliti menekankan

penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum secara

garis besar;

b) Penulis melakukan penelitian terhadap perkara pada Putusan Nomor

Putusan Nomor 30/Pid.Sus/2023/PN.Cbi pada Pengadilan Negeri

Cibinong sedangkan Peneliti terhadap perkara pada Putusan Nomor

337/Pid.Sus/2020/PN Bna pada Pengadilan Negeri Banda Aceh;

c) Penulis dalam hal ini melakukan penelitian pada perkara tindak

pidana perdagangan orang dalam ruang lingkup anak;

2. Fairuz Sulthan, Tahun 2018, Judul Penelitian “PERTANGGUNG

JAWABAN PIDANA BAGI ANAK BERSTATUS MUNCIKARI

DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SEKS

KOMERSIAL ANAK DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG


14

NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA

PERDAGANGAN ORANG”16

Dalam penelitian tersebut memiliki letak persamaan dengan

penulis yaitu berkaitan dengan bagaimana pertanggungjawaban pidana

terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (Human Trafficking),

dan penerapan sanksi yang diberikan terhadap pelaku sedangkan letak

perbedaan peneliti dengan penulis yakni;

a) Penulis melakukan penelitian pada suatu kasus yang telah

memperoleh putusan pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap

(inkracht) sedangkan Peneliti secara umum melakukan penelitian

terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak

Pidana Perdagangan Orang;

b) Penulis melakukan Penelitian terhadap pelaku yang dilakukan oleh

seseorang dewasa (cakap) sedangkan Peneliti terhadap pelaku tindak

pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh anak;

c) Penulis melakukan Penelitian tindak pidana perdagangan orang

(Human Trafficking) dengan tindakan adopsi illegal sedangkan

Peneliti yang dilakukan atas perbuatan pelaku yang memiliki latar

belakang mucikari untuk kepentingan seks komersial

3. Muhammad Noor Alfi Syahrin, Tahun 2021, Judul Penelitian

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG

16
Sulthan, Fairuz. PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA BAGI ANAK BERSTATUS
MUNCIKARI DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SEKS KOMERSIAL ANAK
DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG. Diss. Fakultas Hukum Unpas, 2018.
15

MENJADI KORBAN PERDAGANGAN ORANG MENURUT

KONVENSI HAK ANAK 1989 DAN HUKUM NASIONAL”.17

Dalam penelitian tersebut memiliki letak persamaan dengan

penulis yaitu berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang (Human

Trafficking) dalam lingkup anak dan jenis data yang digunakan peneliti

yakni data skunder yakni data yang didapatkan dari hasil kepustakaan

sedangkan letak perbedaan peneliti dengan penulis yakni:

a) Penulis lebih berfokus pada bagaimana pertanggungjawaban pelaku

sedangkan Peneliti lebih berfokus pada bagaimana perlindungan

hukum terhadap anak yang menjadi korban sebagai pemenuhan hak-

hak yang dimilikinya selaku korban tindak pidana perdagangan

orang (Human Trafficking);

b) Penulis melakukan penelitian lebih berfokus terhadap suatu kasus

sedangkan Peneliti melakukan penelitian berkaitan dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c) Penulis lebih berfokus pada bagaimana penerapan Pasal 55 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang sedangkan

Peneliti lebih berfokus pada bagaimana penerapan Konvensi Hak

Anak Tahun 1989 Peraturan Perundang Undangan yang berlaku di

Indonesia (Ius Constitutum).

G. Sistematika Penulisan

17
Syahrin, Muhammad Noor Alfi. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang
Menjadi Korban Perdagangan Orang Menurut Konvensi Anak 1989 Dan Hukum Nasional."
16

Untuk lebih memudahkan menguraikan pembahasan masalah skripsi ini,

maka penyusunanya dilakukan secara sistematis. Skripsi ini terbagi dalam

lima bab, yang gambaranya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitin, Manfaat Penelitin, Kerangka Teori,

Orisinalitas Penelitian, dan Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini berisi mengenai tinjauan umum mengenai,

pertanggungjawaban pidana, tindak pidana, tindak pidana

perdagangan orang, penyelidikan, penyidikan, dan penyertaan

tindak pidana.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi mengenai Jenis Penelitian, Spesifikasi Penelitian,

Sumber dan Jenis Data, Lokasi Penelitian, Teknik

Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISA

Bab ini berisi mengenai Hasil Penelitian dan Pembahasan dari

permasalahan yang dirumuskan.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi mengenai kesimpulan dan saran dari

permasalahan penelitian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban dalam lingkup hukum pidana dapat diartikan

sebagai pertaggungjawaban pidana, dalam bahasa Belanda disebut

torekenbaarheid, sedangkan dalam Bahasa inggris disebut criminal

responsibility atau criminalliability. Pertanggungjawaban pidana dalam hal

ini adalah mengenakan hukuman atau sanksi terhadap subyek hukum karena

tindakannya yang melakukan suatu delik atau suatu peralihan

hukuman/sanksi pidana kepada pembuatnya.

Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana, berarti berbicara

mengenai orang yang melakukan perbuatan pidana, George P. Flecher

secara lengkap menyatakan:

“Orang yang melakukan perbuatan pidana tentu dijatuhi pidana,


tergantung apakah orang tersebut dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana ataukah tidak. Sebaliknya, seseroang
yang dijatuhi pidana sudah pasti telah melakukan perbuatan pidana
dan dapat dipertanggungjawabkan, elemen terpenting dari
pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan.18

Kesalahan bertalian dengan dua hal, yaitu dapat dicelanya

(verwijtbaarheid) perbuatan dan sifat dapat dihindarinya (vermijdbaarheid)

perbuatan melawan hukum.19

Sedangkan kesalahan dalam arti psikologis adalah hubungan batin

antara pelaku dengan perbuatan yang dilakukannya, jika perbuatan itu

18
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Cahaya Atma
Pustaka, 2017.Hlm.154.
19
Ibid. Hlm. 158.
17
18

dihendaki maka pelaku telah melakukan perbuatan yang disengaja,

sebaliknya jika perbuatan yang dilakukan tidak dihendaki olehnya maka

perbuatan yang terjadi karena suatukealpaan.20

Starfbaarfeit harus merupakan suatu perbuatan atau tindakan manusia,

perbuatan itu adalah perbuatan wederrechtelijke (bertentangan dengan

hukum), perbuatan tersebut dilakukan terhadap subyek hukum yang dapat

mempertanggungjawabkan.21 Mempertanggungjawabkan seseorang dalam

hukum pidana adalah meneruskan hukuman yang secara objektif ada pada

perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya.22

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur pertanggungjawaban

yakni:

1. Kemampuan bertanggungjawab yang mencakup yakni keadaan

jiwanya (tidak cacat/idiot/temporarir), dapat menginsyafi

hakekat dari tindakannya itu sendiri atau mengetahui mana yang

benar mana yang tidak;

2. Kesalahan Kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau

karena kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan

keadaan atau akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan

dilakukan dengan mampu bertanggungjawab.

20
Ibid. Hlm.159.
21
Ibid.
22
Ibid.
19

Dalam hukum pidana, menurut Moeljatno kesalahan dan kelalaian

seorang dapat diukur dengan apakah pelaku tindak pidana itu mampu

bertanggungjawab, yaitu bila tindakannya itu memuat 4 unsur yakni:23

1) Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum;

2) Di atas usnsur tertentu mampu bertanggungjawab;

3) Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau

kealpaan; dan

4) Tidak adanya alasan pemaaf atau pembenar.

B. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana dalam bahasa Belanda disebut Straafbaarfeit, yang

terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit

dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedangkan

straafbaar mempunyai arti dapat dihukum, sehingga secara harfiah

straafbaarfeit mempunyai arti sebagian dari penyataan yang dapat

dihukum24

Istilah delik merupakan kata yang berasal dari istilah bahasa latin

delictum dan delicta. Delik dalam bahasa asing disebut strafbaarfeit. Istilah

strafbaarfeit terdiri dari 3 (tiga) kata yaitu straf, baar, dan feit. Straf diartikan

sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh.

Sedangkan feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran, dan

23
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta , Jakarta, 2009. Hlm. 177.
24
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. hlm. 5
20

perbuatan. Jadi istilah strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana

atau perbuatan yang dapat dipidana.25

Simons merumuskan, “strafbaarfeit” adalah kelakuan yang diancam

dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubung dengan kesalahan

yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.26

Sedangkan Van Hamel berpendapat bahwa, “strafbaarfeit” itu adalah

kelakuan orang yang dirumuskan dalam Undang-Undang, bersifat melawan

hukum, patut dipidana, dan dilakukan dengan kesalahan.27

Strafbaarfeit juga diartikan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku

karya Lamintang, sebagai Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap

tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah

dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap

pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.28

Sementara Jonkers merumusan bahwa Strafbaarfeit sebagai peristiwa

yang diartikan sebagai “suatu perbuatan yang melawan hukum

(waderrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan

yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.29

Istilah strafbaarfeit setelah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia,

yang kemudian diartikan secara berbeda-beda oleh beberapa ahli hukum


25
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education, Yogyakarta, 2012,
Hlm.19.
26
E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, Hlm. 205.
27
Ibid.
28
Lamintang, P.AF. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cita Aditya Bakti,
Bandung, 2000, Hlm. 34.
29
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I; Stelsel Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002, Hlm.
72.
21

pidana, sehingga melahirkan istilah yang berbeda-beda pula. Ada yang

menggunakan istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang

dapat dihukum, tindak pidana, dan delik.

Utrecht dalam hal ini lebih menganjurkan pemakaian istilah peristiwa

pidana, karena istilah pidana menurut beliau meliputi “perbuatan (andelen)

atau doen positif atau melainkan (visum atau nabetan) atau met doen

negative/maupun akibatnya.30

Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”, karena

menurutnya, “kata “perbuatan” lebih lazim digunakan setiap hari, contohnya

perbuatan cabul, perbuatan jahat atau perbuatan melawan hukum.31

Adapun S.R. Sianturi menggunakan istilah tindak pidana dalam

memberikan perumusannya, menurutnya Tindak pidana adalah sebagai

suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang

(atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh Undang-Undang bersifat

melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang

bertanggungjawab).32

Sedangkan Andi Hamzah dalam bukunya, menggunakan istilah delik,

yang berarti “suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam

dengan hukuman oleh Undang-Undang (pidana)”.33

30
Amir Ilyas, Op. Cit, Hlm. 22.
31
E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, Op. Cit, Hlm. 207.
32
Ibid. Hlm.211
33
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineke Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 72.
22

2. Unsur Tindak Pidana

Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, apabila

perbuatan tersebut mengandung unsur-unsur yang mendukung dan termasuk

dalam syarat-syarat perbuatan pidana tersebut. Unsur tersebut terdiri dari

unsur objektif dan unsur subjektif.

Unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakantindakan

dari si pelaku itu harus dilakukan. Sedangkan unsur subjektif adalah unsur

unsur yang melekat pada diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu

segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya.34

Ada beberapa pandangan mengenai unsur-unsur tindak pidana, antara

lain:

Menurut Simons, unsur-unusr tindak pidana yaitu:35

a) Perbuatan manusia (baik dalam arti perbuatan positif (berbuat)

maupun perbuatan negatif (tidak berbuat);

b) Diancam dengan pidana;

c) Melawan Hukum;

d) Dilakukan dengan kesalahan; dan

e) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

Menurut Moeljatno, untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana,

maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:36

34
Amir Ilyas, Op.Cit. Hlm. 45.
35
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia: Dalam Perspektif Pembaharuan,
UMM Press, Malang, 2020. Hlm. 105
36
Ibid. Hlm. 107.
23

a) Perbuatan;

b) Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c) Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Menurut R. Tresna, unsur perbuatan pidana harus memuat:37

a) Perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia;

b) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

c) Diadakan tindakan hukuman.

C. Tindak Pidana Perdagangan Orang

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan suatu kejahatan

dengan bentuk dan modus operandi yang sangat kompleks, karena terkait

dengan bentuk-bentuk kejahatan baru, seperti white collar crime, organized

crime dan transnational crime. Kejahatan TPPO adalah kejahatan yang

melibatkan tindakan perekrutan, mentransfer, menyembunyikan atau

menerima seseorang melalui penggunaan kekerasan, pemaksaan atau

lainnya, untuk tujuan mengeksploitasi mereka, TPPO menjadikan setiap

tahun ribuan pria, wanita/perempuan dan anak-anak jatuh ke tangan

pedagang, baik di negara mereka sendiri maupun di luar negeri.

Perdagangan orang menjadi bisnis yang sangat menggiurkan. Uang

yang beredar dalam bisnis haram ini menempati urutan ketiga stelah

perdagangan narkotika dan penyelundupan senjata gelap/ilegal.38

Instrumen hukum tindak pidana perdagangan orang dapat dilihat pada

Konstitusi Negara Republik Indonesia yang secara umum telah


37
R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana Cet. Ke-3, Tiara Ltd, Jakarta, 1990, Hlm. 20.
38
http://www.pelitaonline.com/read-cetak/3216/perdagangan-orang-merupakan-
kejahatankemanusiaan, diakses pada 20 Maret 2024. Pukul 15.01 WIB.
24

menyebutkan bahwa warga negara Indonesia berhak atas hal-hal yang

tertuang di dalam Pasal Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28B ayat (2) UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang juga sebagai dasar

pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.39

Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pasal 1 Ayat (2)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu: “Tindak Pidana

Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang

memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang di tentukan dalam

UndangUndang ini.”

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946

tentang Peraturan Hukum Pidana yang selanjutnya di sebut KUH Pidana,

Tindak Pidana Perdagangan Orang di sebut sebagai kejahatan terhadapa

kemerdekaan orang yang diatur dalam Bab XVIII Pasal 324, yang berbunyi:

“Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan

perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan

sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu

perbuatan tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua

belas Tahun.”

Selain itu, definisi mengenai perdagangan orang yang dipublikasikan


oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai ketentuan umum dari:
“Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons
(Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan
39
Fadilla, Nelsa. "Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang." Jurnal Hukum dan Peradilan 5.2 (2016): 181-194.
25

Manusia) Human Trafficking is a crime againist humanity. It involves


an act of recruiting, transporting, transfering, harbouring or receiving
a person through a use of force, coercion or other means, for the
purpose of exploiting them. (Perdagangan manusia adalah tindakan
kriminal terhadap kemanusiaan. Kegiatannya meliputi tindakan
perekrutan, pengangkutan, mentrasfer, menyimpan atau menerima
seorang manusia menggunakan kekerasan, pemaksaan atau lainnya
untuk keperluan mengeksploitasi mereka).40

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang selain dibentuk berdasarkan Pasal 20, Pasal 21, dan

Pasal 28B ayat (2) juga terilhami dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all

Forms of Discrimination Against Women) dan Protokol PBB tahun 2000

tentang Mencegah, Memberantas dan Menghukum Tindak Pidana

Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak (Protokol Palermo)

yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia.41

Tindakan pencegahan dan penanggulangan lebih mengandalkan sarana

penal, penanganan dan penindakan banyak diwarnai dengan permainan

kotor dan kurang intensif dan efektifnya kerjasama di dalam negeri maupun

lintas batas negara secara bilateral, regional dan internasional. Akan tetapi

persoalannya berawal dari banyak ragamnya definisi perdagangan orang.42

Kebijakan formulasi terkait perumusan definisi perdagangan orang

termasuk sumber pemicu munculnya kontroversi, baik di kalangan lembaga-

40
http://www.undoc.org/unodc/en/human-trafficking/what-is-human-trafficking.html,
diakses pada tanggal 20 Maret 2024. Pukul 13.21 WIB.
41
Fadilla, Nelsa. "Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang." Jurnal Hukum dan Peradilan 5.2 (2016): 181-194.
42
Heni Siswanto, Rekonstruksi Sistem Penegakan Hukum Pidana Menghadapi
Kejahatan Perdagangan Orang, Pustaka Magister, Semarang, 2023, hlm. 12
26

lembaga pemerintah maupun non-pemerintah. Telah banyak definisi

perdagangan orang yang dikemukakan oleh berbagai kalangan, tetapi tidak

satu pun dari definisi tersebut diakui secara luas.43

Bahkan dalam konteks internasional, masalah definisi perdagangan

orang menjadi masalah yang mengandung perdebatan dan perhatian yang

cukup serius, terutama terkait makna perdagangan orang dan upaya-upaya

tertentu yang harus ditempuh untuk menanggulanginya.44

Berdasarkan pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)

yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan ada 3 (tiga) unsur

untuk dapat dikategorikan sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang yakni:

1) Adanya unsur perbuatan yaitu perekrutan, penampungan,

pengangkutan, pemindahan, pengiriman, penerimaan

2) Adanya sarana dan cara untuk mengendalikan para korban yaitu

dengan cara pengancaman, pemaksaan, kekerasan, penipuan,

penyelahgunaan kekuasaan, memberi atau menerima pembayaran

atau keuntungan; dan

3) Adanya tujuan untuk mengeksploitasi korban seperti prostitusi,

kerja paksa, perbudakan, pengambilan organ tubuh.

Adapun serangkaian tindakan yang termasuk kedalam ruang lingkup

Tindak Pidana Perdagangan Orang, sebagai berikut:45


43
Fara Gold, “Redefining the Slave Trade: The Current Trends in the International
Trafficking of Women”, University of Miami International and Comparative Law Review,
Volume 11, 2003.
44
Shelley Case Inglis, “Expanding International and National Protections againts
Trafficking for Forced Labor Using A Human Rights Framework”, Buffalo Human Rights
Law Review, Volume 7, hlm. 59
45
Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007, LN Nomor 58 Tahun 2007, TLN Nomor 4720, Ps. 2.
27

a) Setiap tindakan sesuai unsur-unsur kejahatan dalam Undangundang

Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang;

b) Segala upaya untuk membawa warga negara Indonesia dari Indonesia

dimaksudkan untuk di eksploitasi di luar Indonesia;

c) Setiap tindakan yang mengangkat anak dengan menjanjikan sesuatu

untuk tujuan di eksploitasi;

d) Tindakan mengirim anak keluar dari Indonesia dimaksudkan untuk

dieksploitasi di luar Indonesia;

e) Penyalahgunaan kekuasaan yang mengarah pada Tindak Pidana

Perdagangan Orang;

f) Mereka yang melakukan tindakan perdagangan orang, tetapi tidak

terjadi;

g) Mendukung, membantu, berupaya melakukan setiap kejahatan

perdagangan orang;

h) Merencanakan atau menyetujui untuk melaksanakan setiap tindakan

kejahatan perdagangan orang;

i) Memanfaatkan korban perdagangan manusia untuk melakukan

hubungan seksual, pelecehan, dan mempekerjakan korban untuk terus

terlibat dalam perdagangan manusia dan menerima manfaat;

j) Setiap tindakan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang di lakukan

oleh suatu korporasi dan/atau kelompok terorganisasi;


28

Eksploitasi di dalam tindak pidana perdagangan orang adalah unsur

paling utama. Definisi eksploitasi salah satunya dapat ditemukan dalam

Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak

Pidana Perdagangan Orang yang bunyi Pasal nya yaitu:

“Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban


yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan,
penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi,
atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau
kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan
baik materiil maupun immateriil.”46

Dapat diuraikan bahwa bentuk-bentuk eksploitasi yang diatur di dalam

Pasal 1 angka 7 tersebut yaitu pelacuran, kerja atau pelayanan paksa,

perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan,

pemanfaatan fisik, pemanfaatan seksual, organ reproduksi, atau secara

melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau

jaringan tubuh, atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh

pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun

immateriil.47

D. Penyelidikan

Didalam Hukum Acara Pidana apabila dipandang dari sudut

pemeriksaan, maka hal ini dapat dirinci dalam dua bagian yaitu pemeriksaan

pendahuluan dan pemeriksaan disidang pengadilan. Pemeriksaan

pendahuluan dilakukan pertama kali oleh polisi, baik sebagai penyelidik

46
Fadilla, Nelsa. "Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang." Jurnal Hukum dan Peradilan 5.2 (2016): 181-194.
47
Ibid
29

maupun sebagai penyidik, apabila ada dugaan bahwa hukum pidana materil

telah dilanggar. Sedangkan disidang pengadilan adalah pemeriksaan yang

dilakukan untuk menentukan apakah dugaan bahwa seseorang yang telah

melakukan tindak pidana itu dapat dipidana atau tidak.

Menurut pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana, sebelum melakukan penyidikan maka

terlebih dahulu dilakukan penyelidikan karena merupakan salah satu cara

atau metode atau sub dari pada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan

lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan,

penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan

pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.

Jadi, sebelum akan melakukan penyidikan, dilakukan terlebih dahulu

penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan

mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan

tindak lanjut penyidikan.48

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8

tahun 1981 Pasal 1 angka (5) menegaskan bahwa: Penyelidikan adalah

serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu

peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau

tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang

undang ini.

48
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002,
hlm. 121-122
30

Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan, penyelidikan berfungsi

untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah

terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporan yang nantinya

merupakan dasar permulaan penyidikan. Istilah penyidikan dipakai sebagai

istilah yuridis atau hukum sejak pada tahun 1961 dimuat dalam

UndangUndang No 13 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kepolisisan Negara.49

Dalam sistem Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

No 8 tahun 1981 kewenangan penyelidikan ada pada pejabat polisi Negara

Republik Indonesia (Pasal 4 KUHAP), sedangkan kewenangan penyidikan

ada pada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai

Negeri Sipil yang syarat kepangkatannya diatur dalam Peraturan Pemerintah

(Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP).

E. Penyidikan

Penyidikan sendiri berdasarkan pasal 1 angka 2 KUHAP adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini untukmencari serta mengumpulkan bukti itu

membuat terang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Sedangkan M. Yahya Harahap meyebutkan penyidikan adalah suatu

tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan

pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah

49
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003, hlm. 101.
pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu

peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana.50

Merujuk pada penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penyidikan

merupakan tindakan penyidik setelah diketahuinya peristiwa pidana guna

mengumpulkan bukti-bukti permulaan yang cukup supaya terang akan

pidana guna menemukan siapa tersangkanya.

Yang dimaksud dengan bukti permulaan jika merujuk pada putusan MK

Nomor 21/PUU-XII/2014 yakni 2 (dua) alat bukti sebagaiana termuat dalam

Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana diantaranya:51

1. Saksi;

2. Keterangan Ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk; dan

5. Keterangan Terdakwa.

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyidikan merujuk

pada ketentuan Pasal 1 Angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana yakni Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat

pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-

undang untuk melakukan penyidikan.

Pejabat yang diberi wewenang menyidik oleh perundang-undangan

tersebut antara lain pejabat imigrasi, bea cukai, dinas kesehatan, pajak,
50
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, 2002. hlm. 99-100.
51
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
31
angkatan laut untuk ordnansi laut teritorial dan lingkungan maritime, dan

lain-lain.52

Dalam melakukan tugasnya penyidik Polri dan pegawai negeri sipil

memiliki kewenangan yang berbeda, wewenang penyidik polri dapat

ditelisik pada ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, diantaranya:

a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya

tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi;

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

i. Mengadakan penghentian penyidikan;

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

52
Eddy O.S. Hiariej, Hukum Acara Pidana, Universitas Terbuka, Tangerang Selatan,
2017. Hlm 2.9.
32
Wewenang penyidik pegawai negeri sipil tertentu mempunyai

wewenang sesuai dengan undang-undang hukumnya masing-masing dan

dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan

penyidik Polri (Pasal 7 Ayat (2) KUHAP).53 Dengan kata lain wewenang

penyidik pegawai negeri sipil tertentu hanya terbatas sesuai dengan

undanag-undang yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas mereka.

Penyidikan mulai dapat dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat

Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang yang dalam

instansi penyidik manakala penyidik tersebut telah menerima laporan

terjadinya suatu peristiwa tindak pidana.54

Setelah diselesaikannya proses penyidikan maka penyidik menyerahkan

berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum,

selanjutnya tugas penuntut umum yaitu memeriksa kelengkapan berkas

tersebut apakah sudah lengkap atau belum, bila berkas perkara telah lengkap

yang dilihat dalam empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan

berkas pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahu bahwa berkas

tersebut lengkap sebelum empat belas hari maka berkas perkara dapat

dilanjutnya ke proses persidangan.55

F. Penyertaan

53
Ibid. Hlm. 2.13.
54
Ibid.
55
Siahaan, Herikson Parulian, Marlina Marlina, and Muaz Zul. "Peran Kepolisian
dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi pada Kepolisian Daerah Sumatera
Utara)." ARBITER: Jurnal Ilmiah Magister Hukum 1.2 (2019): 137-147.
33
Sebagian besar sarjana hukum di Belanda dan di Indonesia

berpandangan bahwa ajaran tentang penyertaan sebagai

strafausdehnungsgrund, yaitu dasar memperluas dapat dipidananya orang

yang tersangkut dalam terwujudnya delik, sebagaimana halnya dengan

ajaran tentang Percobaan dan Pembantuan Pidana, ketentuan normatif

mengenai penyertaan diatur dalam Pasal 55 sampai dengan Pasal 60

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pembuat dalam arti orang yang disebut dalam Pasal 55 ayat (1) tidak

melakukan tindak pidana secara pribadi, melainkan secara bersama-sama

dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu. Jika dilihat dari

sudut perbuatan mana hanyalah memenuhi sebagian dari syarat atau unsur

tindak pidana. Semua syarat tindak pidana terpenuhi tidak oleh satu peserta

akan tetapi oleh rangkain semua peserta.56

Moejatno merumuskan, ada penyertaan apabila bukan satu orang saja

yang tersangkut dalam terjadinya perbuatan pidana, akan tetapi beberapa

orang. Menurut Moejatno, tidak semua orang yang terlibat dalam terjadinya

tindak pidana dapat dinamakan peserta dalam makna Pasal 55 dan 56

KUHP.57

Prof. Satochid Kartanegara mengartikan Deelneming apabila dalam satu

delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang. Menurut doktrin,

Deelneming berdasarkan sifatnya terdiri atas:58

56
Adami Chazawi, Hukum Pidana bagian 3, Percobaan dan Penyertaan, Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2002. Hlm. 81
57
Tofik Yanuar Chandra, Hukum Pidana, PT Sangir Multi Usaha, 2022. Hlm. 127.
58
Ibid.
34
a. Deelneming yang berdiri sendiri, yakni pertanggung jawaban dari

setiap peserta dihargai sendirisendiri; dan

b. Deelneming yang tidak berdiri sendiri,yakni

pertanggungjawabandari peserta yang satu digantungkan dari

perbuatan peserta yang lain. Penyertaan dalam Hukum Pidana,

diatur dalam Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.

Persoalannya apakah konsepsi ajaran penyertaan pidana yang

dirumuskan di dalam Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

sudah memadai dalam pemberantasan kejahatan khususnya tindak

pidana korupsi dengan peran dan struktur pelaku yang kompleks.

Bentuk-bentuk yang dimaksudkan di dalam Pasal 55 KUHP Indonesia

sebagai berikut:

Pertama, Pelaku (pleger) ialah orang yang melakukan sendiri perbuatan

yang memenuhi rumusan delik. Dalam memori penjelasan Kitab Undang

Hukum Pidana (memorie van toelichting) tidak dijumpai keterangan

sedikitpun, padahal plegen diketahui bagian atau termasuk juga dader. Hal

ini menjadi tidak sukar menentukan siapa yang disebut sebagai plegen

atau pelaku pidana.59

Pelaku (pleger) adalah orang yang memenuhi semua unsur delik

sebagaimana dirumuskan oleh undang-undang (termasuk juga dalam bentuk

percobaannya) dalam delik formil pelakunya adalah berangsiapa yang

59
R.Soernato Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah
Agung dan Hoge Raad, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hal.52
35
memenuhi unsur perbuatan yang dinyatakan dalam delik tersebut.

Sedangkan pada delik materil pelakunya adalah barangsiapa yang

menimbulkan akibat yang dilarang dalam perumusan delik tersebut dan

harus ditentukan dengan ajaran kausalitas.60

Dalam delik formil misalnya delik pencurian yang dianggap sebagai

pelaku adalah barangsiapa mengambil barang sebagian atau seluruhnya

milik orang lain dengan maksud memiliki secara melawan hukum.

Sedangkan pada delik materil yang dianggap sebagai pelaku adalah

barangsiapa yang menimbulkan akibat hilangnya nyawa orang lain. Orang

yang menyuruh atau orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan

pencurian dan pembunuhan tidak dapat disebut sebagai pelaku (pleger)

melainkan disebut sebagai pembuat dalam kappasitas sebagai doenpleger

dan uitlokker.

Kedua, Orang Yang Menyuruh Melakukan (Doenplager) ialah orang

yang melakuka perbuatan dengan perantara orang lain, sedang perantara ini

hanya diumpamakan sebagai alat, dengan demikian pembuat langsung

(onmiddelijke dader, actor physicus, manus ministra) sedangkan pembuat

tidak langsung (middelijke dader, doenpleger, auctor intellectuals, manus

domina).61

Pada doenplager terdapat unsur-unsur alat yang dipakai merupakan

manusia, alat yang dipakai itu “berbuat” (bukan alat yang mati), dan alat

yang dipakai itu “tidak dapat dipertanggungjawabkan” unsur ketiga inilah

60
Tofik Yanuar Chandra, Hukum Pidana, PT Sangir Multi Usaha, 2022. Hlm. 130.
61
Ibid
36
yang merupakan tanda ciri dari doenpleger. Menyuruh melakukan

(doenplegen) suatu tindak pidana, menurut hukum pidana syaratnya adalah

bahwa orang yang disuruh itu menurut hukum tidak dapat

dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya sehingga oleh karenanya

tidak dapat dihukum.62

Berkaitan dengan Orang Yang Menyuruh Melakukan (Doenpleger)

oula dijelaskan pada Yurisprudensi dalam dalam putusannya Nomor 137

k/Kr 1956 Tanggal 1-12- 1956 antara lain memuat:

“Makna dari menyuruh melakukan (doenplegen) suatu tindak pidana

sebagaimana dimaksud oleh Pasal 55 ayat (1) sub. 1 KUHP, syaratnya

menurut ilmu hukum pidana adalah bahwa orang yang disuruh itu tidak

dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya, dan oleh karena itu,

tidak dapat dihukum”.63.

Ketiga, Orang Yang Turut Melakukan (Medepleger) yakni bentuk

perbuatan pidana yang berada di antara pelaku pelaksana (pleger) dengan

pembantuan (medeplichtig). Pelaku peserta adalah orang yang turut

serta melakukan sebagian dari unsur-unsur delik. Jadi bedanya antara

pelaku peserta dengan pelaku pembantu perbuatan pidana adalah: "Pelaku

pelaksanan (plegen) sebagai pembuat pidana tunggal yaitu melaksanakan

semua unsur-unsur delik."64

62
Siahaan, Herikson Parulian, Marlina Marlina, and Muaz Zul. "Peran Kepolisian
dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi pada Kepolisian Daerah Sumatera
Utara)." ARBITER: Jurnal Ilmiah Magister Hukum 1.2 (2019): 137-147.
63
Yurisprudensi Putusan Nomor 137 k/Kr 1956 Tanggal 1-12- 1956
64
Ibid
37
Keempat, Orang Yang Membujuk Melakukan (Uitlokker), ialah orang

yang menggerakan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan

menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang untuk

melakukan kejahatan. Jadi hampir sama dengan menyuruh mlakukan (doen-

pleger), pada penganjuran (outlokking) ini ada usaha untuk menggerakan

orang lain sebagai pembuat materiil atau auctor physicus.65

Sama halnya dengan bentuk menyuruhlakukan (doenpelegen), bentuk

penyertaan uitlokking terdapat dua orang atau lebih yang masing-masing

berkedudukan sebagai orang yang menganjurkan dan orang yang

dianjurkan. Orang yang menganjurkan disebut ouctor intellectualis dan

orang yang dianjurkan disebut sebagai auctor materialis atau materieele

dader.66

Ada 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi dalam bentuk penyertaan

uitlokking, yaitu:67

1. Kesengajaan untuk menggerakkan atau menganjurkan orang lain

melakukan suatu perbuatan pidana;

2. Ada orang lain yang dapat melakukan perbuatan yang digerakkan

atau dianjurkan, artinya kehendak tersebut juga ada pada orang

yang digerakkan atau dianjurkan. Hal ini berkaitan dengan

kausalitas psikis;

65
Fitri Wahyuni, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Nusantara Persada
Utama, Tangerang Selatan. 2017. Hlm. 126
66
Ibid.
67
Ibid. Hlm. 127.
38
3. Orang yang digerakkan benar-benar mewujudukan perbuatan

pidana atau percobaan perbuatan pidana yang dikehendaki oleh

penggerak atau penganjur. Itikad buruk saja tidaklah cukup, tanpa

terwujudnya perbuatan oleh orang yang dianjurkan atau

digerakkan;

4. Menganjurkan atau menggerakkan harus dengann cara-cara yang

telag ditentukan secara limitatif sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 55 ayat (1) ke-2 diatas.

5. Orang yang digerakkan atau dianjurkan harus dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana.

Kelima, Pembantuan (Medeplechtige) adalah bentuk ke-5 dari

penyertaan yang diatur di dalam Pasal 56, 57 dan 60 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana. Definisi pemberian bantuan sebelum dan ketika delik

terlaksana pada hakekatnya adalah perbuatan yang tidak termasuk

perbuatan pelaksanaan dari suatu delik, melainkan merupakan perbuatan

"yang mempermudah" terjadinya suatu delik atau memperlancar

terlaksananya suatu delik.68

Argumentasi bahwa pembantuan merupakan bentuk kelima dari

penyertaan menurut hukum pidana Indonesia adalah sebagaimana hukum

pidana Belanda yang dikutip dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana bahwa title v tentang Deelneming aan strafbare feiten termasuk

pula pembantuan dimana khusus bentuk kesatu sampai kelima

68
Bassang, Tommy J. "Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Deelneming." Lex
Crimen 4.5 (2015).
39
diatur dalam Pasal 47 dan pembantuan diatur dalam Pasal 48 Wetboek

van Strafrecht atau Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.

Berdasarkan Memori Penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

bahwa pemberian bantuan adalah sesudah delik selesai dilakukan,

hanya dapat dijatuhi pidana, apabila pemberian bantuan itu dirumuskan

sebagai "delik khusus".69

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini, yaitu penelitian

hukum normatif (normative law research) menggunakan studi kasus

normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya mengkaji Undang-


69
Ibid.
40
Undang. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma

atau kaidah yang belaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku

setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada

inventarisasi hukum positif, asasasas dan doktrin hukum, penemuan hukum

dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi,

perbandingan hukum dan sejarah hukum70. Berdasarkan penjelasan di atas,

penulis memutuskan menggunakan metode penelitian hukum normatif

untuk meneliti dan menulis pembahasan skripsi ini sebagai metode

penelitian hukum.

B. Spesifikasi Penelitian

Adapun spesifikasi dalam penelitian ini, adalah penelitian

deskriptif analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan

hukum positif yang menyangkut permasalahan yang telah dirumuskan.71

Penelitian deskriptif analistis berfungsi untuk mendeskripsikan atau

memberi gambaran terhadap tindak pidana perdagangan orang yakni pada

perkara putusan nomor Putusan Nomor 30/Pid.Sus/2023/PN.Cbi dan data-

data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa pengujian hipotesis

dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.

C. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan diolah dalam penelitian hukum

normatif adalah data sekunder, yakni studi dokumen atau kepustakaan


70
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet 2, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 32

71
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2010, hlm. 53
41
dengan cara mengumpulkan dan memeriksa atau menulusuri dokumen dan

kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang

dibutuhkan oleh peneliti. Sumber data sekunder dalam penelitian ini dibagi

menjadi : 72

1. Bahan Hukum Primer

Adapun sumber bahan hukum primer yang digunakan dalam

penelitian ini adalah :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 Tentang Pengesahan


Protocol to Prevent, Auppress and Punish Trafficking in
Persons, Especially Women and Children, Supplementing
The United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime (Protokol Untuk Mencegah, Menindak, dan
Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan
Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang
Terorganisasi).
4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan.
6) Putusan Pengadilan Nomor 30/Pid.Sus/2023/PN.Cbi

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang terdiri atas buku-

buku, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana (doktrin), kasus-

kasus hukum, jurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir,

yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.73

72
Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, PT Bumi multitama Sejahtera, Jakarta,

2009, hlm. 86.

73
Jhony Ibrahim, Teori dan Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,
42
3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, misalnya penjelasan perundang-undangan,

ensiklopedi hukum, dan indeks majalah hukum.

D. Teknik Pengumpulan Data

Di dalam penelitian, dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu

studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan

wawancara atau interview.74 Teknik pengumpulan data melalui studi

kepustakaan, yaitu mengkaji peraturan perundang-undangan, buku-buku

literatur, karya tulis dari ahli hukum dan Putusan Pengadilan Nomor Nomor

30/Pid.Sus/2023/PN Cbi (Perlindungan Anak).

E. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan

menggunakan metode kualitatif,75 yaitu metode analisis data dengan cara

mengelompokkan dan menseleksi data yang diperoleh dari penelitian

lapangan menurut kualitas dan kebenarannya kemudian disusun secara

sistematis, yang selanjutnya dikaji dengan metode berfikir secara deduktif

dihubungkan dengan teori-teori dari studi kepustakaan (data sekunder),

kemudian dibuat kesimpulan yang berguna untuk menjawab rumusan

2006, hlm. 295


74
2 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, UI-Press,
Jakarta, 1984, hlm. 21
75
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. 1, PT. Citra AdityaBakti,
Bandung, 2004, hlm. 52
43
masalah dalam penelitian ini. Hasil analisis tersebut di paparkan secara

deskriptif, yaitu cara menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan

sehingga diperoleh uraian hasil penelitian yang bersifat deskriptif-kualitatif

yang nantinya akan diperoleh arti dan kesimpulan untuk menjawab

permasalahan.

44
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdul Basir, Polisi dan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana, Byrru Cakrawala,
Edisi Pertama, Jakarta, 2019.

Adami Chazawi, Hukum Pidana bagian 3, Percobaan dan Penyertaan, Raja


Grafindo Persada, Jakarta 2002.

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I; Stelsel Pidana, Teori-Teori


Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja Grafindo,
Jakarta, 2002.

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education, Yogyakarta, 2012.

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineke Cipta, Jakarta, 1994.

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,


2002.

E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan


Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002.

Eddy O.S. Hiariej, Hukum Acara Pidana, Universitas Terbuka, Tangerang


Selatan, 2017.

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Cahaya Atma
Jaya, Yogyakarta, Edisi Pertama, 2014.

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Fitri Wahyuni, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Nusantara Persada


Utama, Tangerang Selatan. 2017.

Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2017.

Heni Siswanto, Rekonstruksi Sistem Penegakan Hukum Pidana Menghadapi


Kejahatan Perdagangan Orang, Pustaka Magister, Semarang, 2023.

Lamintang, P.AF. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cita Aditya Bakti,


Bandung, 2000.

45
46

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar


Grafika, Jakarta, 2002.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta , Jakarta, 2009.

Paul, Sinlaeloe, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Malang, Setara Press, 2017.

R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana Cet. Ke-3, Tiara Ltd, Jakarta, 1990.

Tofik Yanuar Chandra, Hukum Pidana, PT Sangir Multi Usaha, 2022.

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia: Dalam Perspektif Pembaharuan,


UMM Press, Malang, 2020.

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, Sinar


Grafika, Jakarta, 2003.

Jurnal:

Anas, Implementasi Kebijakan Pencegahan dan Penaganan Perdagangan


Perempuan dan Anak pada Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan
Perempuan Kota Palu, e-journal, Katalogis, Volume 5 Nomor 6, Juni
2017.

Bassang, Tommy J. "Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana


Deelneming." Lex Crimen 4.5 (2015).

Fadilla, Nelsa. "Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban


Tindak Pidana Perdagangan Orang." Jurnal Hukum dan Peradilan 5.2
(2016): 181-194.

Fara Gold, “Redefining the Slave Trade: The Current Trends in the International
Trafficking of Women”, University of Miami International and
Comparative Law Review, Volume 11, 2003.

Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,


UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007, LN Nomor 58 Tahun 2007, TLN
Nomor 4720, Ps. 2.

R.Soernato Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi


Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2012.
47

Shelley Case Inglis, “Expanding International and National Protections againts


Trafficking for Forced Labor Using A Human Rights Framework”, Buffalo
Human Rights Law Review, Volume 7.

Siahaan, Herikson Parulian, Marlina Marlina, and Muaz Zul. "Peran Kepolisian
dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi pada Kepolisian Daerah
Sumatera Utara)." ARBITER: Jurnal Ilmiah Magister Hukum 1.2 (2019):
137-147.

Siska Saragih. "Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Perdagangan Orang


(Studi Putusan No. 337/Pid. Sus/2020/PN Bna)." (2022).

Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Protocol to Prevent,


Auppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and
Children, Supplementing The United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (Protokol Untuk Mencegah, Menindak,
dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-
Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi).

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan


Orang.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang


Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Yurisprudensi:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014

Yurisprudensi Putusan Nomor 137 k/Kr 1956 Tanggal 1-12-1956

Website:

http://www.pelitaonline.com/read-cetak/3216/perdagangan-orang-merupakan
kejahatankemanusiaan, diakses pada 20 Maret 2024.
48

http://www.undoc.org/unodc/en/human-trafficking/what-is-human-
trafficking.html, diakses pada tanggal 20 Maret 2024

Anda mungkin juga menyukai