Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tingkat kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu indikator di suatu
Negara. Angka kematian Maternal dan Neonatal masih tinggi, salah satu faktor
penting dalam upaya penurunan angka tersebut dengan memberikan pelayanan
kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas kepada masyarakat yang
belum terlaksana (Muslihatum, 2010)
Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap tahunnya, sekitar
65% mengalami ikterus. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari
beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross sectional yang dilakukan
di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama
tahun 2003, menemukan data tentang ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58%
untuk kadar bilirubin diatas 5 mg/dl dan 29,3% dengan kadar bilirubin diatas 12
mg/dl pada minggu pertama kehidupan.
Saat ini angka kematian perinatal di Indonesia masih cukup tinggi yaitu
40/1000 kelahiran hidup. Banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian
tersebut antara lain penyakit dan semua hal yang berkaitan dengan pelayanan
kesehatan baik langsung maupun tidak langsung. Faktor yang berhubungan
langsung pada bayi baru lahir adalah penyakit anatara lain. Penyakit tersebut
sangat beresiko tinggi pada bayi, oleh karenanya perlu mendapat
penatalaksanaan yang cepat sehingga angka kematian dan kesakitan dapat
diturunkan.
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling
sering ditemukan pada bayi baru lahir. Sekitar 25 – 50% bayi baru lahir
menderita ikterus pada minggu pertama. Angka kejadian hiperbilirubinemia
lebih tinggi pada bayi kurang bulan, dimana terjadi 60% pada bayi cukup bulan
dan pada bayi kurang bulan terjadi sekitar 80%. Hiperbilirubinemia adalah
peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang

1
diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Bilirubin ada 2
jenis yaitu bilirubin direk dan bilirubin indirek. Peningkatan bilirubin indirek
terjadi akibat produksi bilirubin yang berlebihan, gangguan pengambilan
bilirubin oleh hati, atau kelainan konjugasi bilirubin. Setiap bayi dengan ikterus
harus dapat perhatian, terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam
pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin meningkat >5 mg/dL dalam 24
jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari
satu minggu serta bilirubin direk >1 mg/dL juga merupakan keadaan yang
menunnjukkan kemungkinan adannya ikterus patologis (hiperbilirubinemia).
(Muslihatum, 2010)
Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan
ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna kuning pada sklera
dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari hemoglobin. Pada neonatus produksi
bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini
dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya
lebih pendek. Gejala paling mudah diidentifikasi adalah ikterus, yang
didefinisikan sebagai kulit dan selaput lendir menjadi kuning.
Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru
Lahir (BBL). Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah.
Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama
kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60%
bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Menurut beberapa penulis
kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 % pada bayi cukup bulan dan 75 % pada
bayi kurang bulan. Ikterus pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan
sebagian lagi mungkin bersifat patologis. Hiperbilirubinemia dianggap
patologis apabila waktu muncul, lama, atau kadar bilirubin serum yang
ditentukan berbeda secara bermakna dari ikterus fisiologis. Fototerapi
merupakan terapi dengan menggunakan sinar yang dapat dilihat untuk
pengobatan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Keefektifan suatu
fototerapi ditentukan oleh intensitas sinar. Adapun faktor yang mempengaruhi

2
intensitas sinar ini adalah jenis sinar, panjang gelombang sinar, jarak sinar ke
pasien yang disinari, luas permukaan tubuh yang terpapar dengan sinar serta
penggunaan media pemantulan sinar. (Ngastiyah, 2012)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang di maksud hiperbilirubin?
2. Apa etiologi dari Hiperbilirubin?
3. Apa klasifikasi dari hiperbilirubin?
4. Apa saja manifestasi dari hiperbilirubin?
5. Apa patofisologis hiperbilirubin?
6. Apa komplikasi hiperbilirubin?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang hiperbilirubun?
8. Bagaimana penatalaksanaan hiperbilirubin
9. Bagaimana Derajat hiperbilirubin

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu menjelaskan tentang penerapan asuhan keperawatan pada klien
dengan masalah hiperbilirubin
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui maksud dari hiperbilirbin?
b. Untuk mengetahui apa etiologi dari hiperbilirubun?
c. Untuk mengetahui klasifikasi dari hiperbilirubun?
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari hiperbilirubun?
e. Untuk mengetahui apa patofisologis hiperbilirubun?
f. Untuk mengetahui komplikasi dari hiperbilirubin?
g. Untuk mengetahui bagaimana pemerikasaan penunjang hiperbilirubun?
h. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan hiperbilirubun?
i. Untuk mengetahui derajat hiperbilirubin

3
1.4 Manfaat
1. Bagi Rumah Sakit
Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam
upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan khususnya penerapan asuhan
keperawatan pada klien dengan hiperbilirubun
2. Bagi Klien dan Keluarga
Menambah pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit
hiperbilirubun
3. Bagi Penulis
Sebagai acuan untuk menambah pengetahuan tentang asuhan
keperawatan pada klien dengan hiperbilirubun.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam
darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan
kernikterus jika tidak segera ditangani dengan baik. Kernikterus adalah suatu
kerusakan otak akibat peningkatan bilirubin indirek pada otak terutama pada
corpus striatum, thalamus, nucleus thalamus, hipokampus, nucleus merah dan
nucleus pada dasar ventrikulus ke-4. Kadar bilirubin tersebut berkisar antara 10
mg/dl pada bayi cukup bulan dan 12,5 mg/dl pada bayi kurang bulan
(Ngastiyah, 2012)

2.2 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatorum dapat
dibagi :
a. Produksi yang berlebihan, Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh imaturasi hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan funsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapanya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar)
Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan
penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.

5
c. Gangguan transfortasi bilirubin dalam darah terikat dengan albumin
kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam
darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekresi. Gangguan ini dapat terjadi akibatobstruksi dalam
hepar atau diluar hepar. Kelaianan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Kosim, dkk., 2012)

2.3 Klasifikasi
1. Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel
darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas
terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin
yang tidak terkonjugasi.
2. Ikterus hepatik
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat kerusakan
hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam hati
serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak sempurna dikeluarkan
ke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi dan regurgitasi.
3. Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan
bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus. Akibatnya
adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan bilirubin dalam
urin, tetapi tidak didaptkan urobilirubin dalam tinja dan urin.
4. Ikterus neonatus fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada hari ke-
7. penyebabnya organ hati yang belum matang dalam memproses bilirubin
5. Ikterus neonatus patologis

6
Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu badan
yang tinggi dan berat badan tidak bertambah, Jaundice yang tampak 24 jam
pertama disebabkan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu
dengan diabetk atau infeksi.
6. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada
otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus,
Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
(Dewi, dkk, 2010)

2.4 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala hiperbilirubinemia antara lain:
1. Kulit berwarna kuning sampai jingga
2. Pasien tampak lemah
3. Nafsu makan berkurang
4. Reflek hisap kurang
5. Urine pekat
6. Perut buncit
7. Pembesaran lien dan hati
8. Gangguan neurologic
9. Feses seperti dempul
10. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
11. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa
12. Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik pada
bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetk atau infeksi.
13. Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada hari
ke-4 dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice fisiologi

2.5 Patofisilogi

7
Bilirubin adalah produk pengurangan heme. Sebagian besar (85-90%)
terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa
lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap komplek haptoglobin
dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini
kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis
berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol
bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin
tak terkonjugasi, indirek). Kareana ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar
dalam tubuh dan melewati lobules hati, hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam
glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk). (Sarwono, Erwin, et all. 2014).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
masuk ke sistem empedu untuk diekresikan. Saat masuk kedalam usus,
bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat
diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan menjadi feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta
membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umunya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan
sebagai senyawa larut air bersama urin.
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2 mg/dl dan pada bayi baru
lahir akan muncul ikterus bila kadarnya > 7 mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat
disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal
untuk eksresikanya atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk
mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya
kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun dalam darah
dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa

8
ini akan berdifusike dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan
ini disebut ikterus atau jaundice. (Sarwono, Erwin, et all. 2014).

9
Pathway SEPSIS

Gangguan fungsi hepar


s
Sirkulasi darah terganggu

Hemoglobin

Globin Hema

Bilivirdin Feco

Peningkatan destruksi eritrosit (gangguan konjugasi


bilirubin/gangguan transport bilirubin/peningkatan siklus entero
hepatik), Hb dan eritrosit abnormal

Pemecahan bilirubin berlebih/ bilirubin


Indikasi yang tidak berikatan dengan albumin
fisioterapi meningkat

Sinar dengan intensitas Suplai bilirubin melebihi kemampuan


tinggi hepar

Resiko tinggi injuri Hepar tidak mampu melakukan


konjugasi
Kekurangan
volume cairan Sebagian masuk kembali ke
siklus enterohepatik

Hipertermi Peningkatan bilirubin unconjugned dalam darah,


pengeluaran meconeum terlambat, obstruksi usus,
tinja berwarna pucat

Icterus pada sklera, leher dan gangguan


badan peningkatan bilirubin integritas kulit
indirek > 12 mg/dl
Sumber : Muslihatum, 2010

10
2.6 Komplikasi
Menurut Menurut Mansjoer (2011) komplikasi terjadi kernicterus yaitu
kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak dengan
gambaran klinik:
1. Letargi/lemas
2. Kejang
3. Tak mau menghisap
4. Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus
5. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot,
epistotonus, kejang
6. Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Mansjoer (2011) pemeriksaan laboratorium antara lain:
1. Darah rutin : Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui adanya suatu
anemia dan juga keadaan infeksi.
2. Urin: Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat warna
urin dan melihat apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak.
3. Bilirubin: Penyebab ikterus yang tergolong prehepatik akan menyebabkan
peningkatan bilirubin indirek. Kelainan intrahepatik dapat berakibat
hiperbilirubin indirek maupun direk. Kelainan posthepatik dapat
meningkatkan bilirubin direk.
4. Aminotransferase dan alkali fosfatase
5. Tes serologi hepatitis virus: IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik
untuk hepatitis A akut. Hepatitis B akut ditandai oleh adanya HBSAg dan
deteksi DNA hepatitis B.
6. Biopsi hati: Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif untuk
ikterus hepatoseluler dan beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris
primer, kolestasis intrahepatik akibat obat-obatan (drug induced).

11
7. Pemeriksaan pencitraan: Pemeriksaan pencitraan sangat berharga ubtuk
mendiagnosis penyakit infiltratif dan kolestatik. USG abdomen, CT Scan,
MRI sering bisa menemukan metastasis dan penyakit fokal pada hati.
8. Endoscopic Retrograd Cholangiopancreatography (ERCP) dan PTC
(Percutans Transhepatic Colangiography).
ERCP merupakan suatu perpaduan antara pemeriksaan endoskopi
dan radiologi untuk mendapatkan anatomi dari sistim traktus biliaris
(kolangiogram) dan sekaligus duktus pankreas (pankreatogram). ERCP
merupakan modalitas yang sangat bermanfaat dalam membantu diagnosis
ikterus bedah dan juga dalam terapi sejumlah kasus ikterus bedah yang
inoperabel.
Indikasi ERCP diagnostik pada ikterus bedah meliputi:
a. Kolestasis ekstra hepatik
b. Keluhan pasca operasi bilier
c. Keluhan pasca kolesistektomi
d. Kolangitis akut
e. Pankreatitis bilier akut.
f. Di samping itu kelainan di daerah papila Vateri (tumor, impacted stone)
yang juga sering merupakan penyebab ikterus bedah dapat terlihat jelas
dengan teknik endoskopi ini.

2.8 Pentalaksanaan Medis


1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini
(pemberian ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran,
misalnya sulfa furokolin.
3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar
konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang mana

12
dapat meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance hepatik pigmen
dalam empedu. Fenobarbital tidak begitu sering digunakan.
Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
5. FototerapiFototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin
patologis dan berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja
dan urine dengan oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
6. Transfusi tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto
terapi.
(Sumber: IDAI, 2011)

2.9 Derajat hiperbilirubin menurut kramer

Perkiraan derajat
Derajat Daerah ikterus
Bilirubun

I Kepala sampai leher 5,0 mg%

II Sampai badan atas 9,0 mg%

Sampai badan bawah sampai


III 11,4 mg%
tungkai

Sampai daerah lengan, kaki


IV 12,4 mg%
bawah, lutut

Sampai daerah telapak tangan


V 16,0 mg%
dan kaki

13
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Umum


1. Identitas
Biasa ditemukan pada bayi baru lahir sampai minggu I, Kejadian ikterus:
60 % bayi cukup bulan & 80 %pada bayi kurang bulan. Perhatian utama:
ikterus pada 24 jam pertama & bila kadar bilirubin > 5mg/dl dalam 24 jam.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kehamilan
Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat – obat yang
meningkatkan ikterus ex: salisilat sulkaturosic oxitosin yang dapat
mempercepat proses konjungasi sebelum ibu partus.
b. Riwayat Persalinan
Persalinan dilakukan oleh dukun, bidan, dokter. Atau data obyektif :
lahir prematur/kurang bulan, riwayat trauma persalinan, hipoksia dan
asfiksia.
c. Riwayat Post natal
Adanya kelainan darah, kadar bilirubin meningkat kulit bayi tampak
kuning.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak polisitemia, gangguan
saluran cerna dan hati ( hepatitis )
e. Riwayat Pikososial
Kurangnya kasih sayang karena perpisahan, perubahan peran orang tua
f. Pengetahuan Keluarga
Penyebab perawatan pengobatan dan pemahan orang tua terhadap bayi
yang ikterus.

14
3. Pemeriksaan fisik dan pengkajian fungsional
a. Aktivitas / Istirahat
Letargi, malas.
b. Sirkulasi
Mungkin pucat menandakan anemia.
c. Eliminasi
1) Bising usus hipoaktif.
2) Pasase mekonium mungkin lambat.
3) Feses mungkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran
bilirubin.
4) Urin gelap pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
d. Makanan / Cairan
Riwayat perlambatan / makan oral buruk, mungkin lebih disusui dari
pada menyusu botol. Pada umumnya bayi malas minum ( reflek
menghisap dan menelan lemah, sehingga BB bayi mengalami
penurunan). Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limfa,
hepar
e. Neuro sensori
1) Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua
tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran /
kelahiran ekstraksi vakum
2) Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin
ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
3) Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat pistotonus dengan
kekakuan lengkung punggung, fontanel menonjol, menangis lirih,
aktivitas kejang (tahap krisis)
f. Pernafasan
Riwayat asfiksia

15
g. Keamanan
1) Riwayat positif infeksi / sepsis neonatus
2) Dapat mengalami ekimosis berlebihan, ptekie, perdarahan
intracranial.
3) Dapat tampak ikterik pada awalnya pada daerah wajah dan
berlanjut pada bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan
(sindrom bayi Bronze) sebagai efek samping fototerapi.
h. Seksualitas
1) Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi
dengan retardasi pertumbuhan intrauterus (LGA), seperti bayi
dengan ibu diabetes.
2) Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin,
asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia.
3) Terjadi lebih sering pada bayi pria dibandingkan perempuan.
i. Penyuluhan / Pembelajaran
1) Dapat mengalami hipotiroidisme congenital, atresia bilier, fibrosis
kistik.
2) Faktor keluarga :missal riwayat hiperbilirubinemia pada
kehamilan sebelumnya, penyakit hepar, fibrosis kristik, kesalahan
metabolisme saat lahir (galaktosemia), diskrasias darah
(sferositosis, defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase.
3) Faktor ibu, seperti diabetes; mencerna obat-obatan (missal,
salisilat, sulfonamide oral pada kehamilan akhir atau
nitrofurantoin (Furadantin),inkompatibilitas Rh/ABO, penyakit
infeksi (misal, rubella, sitomegalovirus, sifilis, toksoplamosis).
4) Faktor penunjang intrapartum, seperti persalinanpraterm,
kelahiran dengan ekstrasi vakum, induksi oksitosin, perlambatan
pengkleman tali pusat, atau trauma kelah

16
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Ikterus neonatus berhubungan dengan Usia < 7 Hari,
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hiperbilirubinemia (terapi
radiasi )

3.3 Intervensi Keperawatan


RENCANA KEPERAWATAN

NO DIANGOSA TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)


DX KEPERAWATAN
1 Ikterus neonatus NOC: NIC :
berhubungan dengan Integritas jaringan: Kulit dan 1. Observasi tanda-tanda ikterik
Usia < 7 Hari, Membaran mukosa pada sclera dan warna kulit
2. Monitor tanda-tanda vital 4
Kriteria Hasil : jam sekali
1. Warna kulit normal 3. Monitor tanda dehidrasi
2. Mata bersih 4. Monitor efek samping
3. Refleks mengisap baik fototerapi : hipertermi, diare,
4. Kadar bilirubin normal rush pada kulit, penurunan
beratbadan lebih dari 8-10%
5. Lepaskan pakaian bayi
kecuali popok dan beri
penutup mata (aye
protector/biliband)
6. Anjurkan ibu menyusui
sesering mungkin
7. Beri minum setiap 3 jam/8
kali perhari
8. Berikan informasi mengenai
prosedur dan perawatan
fototerapi
9. Pengambilan darah vena
2 Kerusakan integritas NOC : NIC :
kulit berhubungan Integritas jaringan: Kulit dan 1. Monitor warna kulit, suhu
dengan Membaran mukosa dan kelembapan
2. Gunakan popok yang longgar
hiperbilirubinemia
Kriteria Hasil : 3. Monitor perubahan pada
(terapi radiasi) 1. Pigmentasi abnormal tidak ada integritas kulit

17
2. Tidak ada pengupasan kulit 4. Monitor tanda-tanda vital
3. Tidak terjadi nekrosis 5. Cek intensitas lamou setiap
4. Tidak ada lesi mukosa hari
membran 6. Edukasi keluarga menganai
5. Lesi pada kulit tidak ada prosedur dan perawatan
fototerapi
7. Observasi tanda-tanda
dehidrasi ( turgor kulit buruk,
kehilangan berat badan)

18
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan
ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna kuning pada sklera
dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari hemoglobin. Pada neonatus produksi
bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini
dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya
lebih pendek. (Wiknjosastro, 2007).
4.2
Adapun saran yang dapat kami berikan adalah sebagai berikut:
1. Bagi mahasiswa.
Meningkatkan kualitas belajar dan memperbanyak literature dalam
pembuatan laporan agar membuat laporan yang baik dan benar
2. Bagi pendidikan.
Bagi dosen pembimbing agar dapat memberikan bimbingan yang lebih
baik dalam pembuatan laporan selanjutnya.
3. Bagi kesehatan.
Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa kesehatan khususnya
untuk mahasiswa keperawatan agar mengetahui bagaimana asuhan
keperawatan pada pasien ikterik neonatorum.

19
DAFTAR PUSTAKA

Kosim, M. Sholeh, dkk. 2010. Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta :


Perpustakaan Nasional.

Lia Dewi, Vivian Nanny, 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak balita.
Jakarta : Salemba Medika

Mansjoer, Arif. (2011). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Medika Aeselupius

Ngastiyah. (2012). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC


Muslihatum, Wafi Nur. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita.
Yogyakarta :Fitramaya

Sarwono, Erwin, et all. (2014). Pedoman Diagnosa dan Terapi Lab/UPF Ilmu
Kesehatan Anak, Ikterus Neonatus (Hiperbillirubinemia Neonatorum). Surabaya
RSUD dr. Soetomo

Pedoman Praktek Klinik: Ikatan Dokter Anak Indonesia (2011)

20

Anda mungkin juga menyukai