Anda di halaman 1dari 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rorak Rorak merupakan lubang penampungan atau peresapan air, dibuat di bidang olah atau saluran resapan (Gambar 1). Pembuatan rorak bertujuan untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah yang tererosi. Pada lahan kering beriklim kering, rorak berfungsi sebagai tempat pemanen air hujan dan aliran permukaan. Dimensi rorak yang disarankan sangat bervariasi, misalnya kedalaman 60 cm, lebar 50 cm, dan panjang berkisar antara 50-200 cm. Panjang rorak dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu rorak dengan rorak lainnya berkisar 100-150 cm, sedangkan jarak horizontal 20 m pada lereng yang landai dan agak miring sampai 10 m pada lereng yang lebih curam. Dimensi rorak yang akan dipilih disesuaikan dengan kapasitas air atau sedimen dan bahan-bahan terangkut lainnya yang akan ditampung. Sesudah periode waktu tertentu, rorak akan terisi oleh tanah atau serasah tanaman. Agar rorak dapat berfungsi secara terus-menerus, bahan-bahan yang masuk ke rorak perlu diangkat ke luar atau dibuat rorak yang baru.

Gambar 1. Rorak dengan teras gulud. ( Foto: F. Agus)

2.2. Konstruksi Pembuatan Rorak/Saluran Buntu Konstruksi pembuatan rorak/saluran buntu dibangun pada bidang olah dengan ukuran tertentu, disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Rorak/saluran buntu ini bertujuan untuk menangkap air limpasan permukaan dan juga tanah yang tererosi. Dengan demikian, maka diharapkan air dapat masuk ke dalam tanah dan menampung sedimentasi sehingga dapat mengendalikan erosi. Pembuatan rorak/saluran buntu dapat dikombinasikan dengan bangunan konservasi tanah lainnya, seperti teras, guludan, saluran pembuangan air (SPA) dan lain-lain sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan. Pelaksanaan pembuatan konstruksi rorak dilakukan secara kontraktual oleh pihak ke tiga. Namun demikian dalam pelaksanaannya di lapangan dapat menggunakan para petani pelakana sebagai tenaga kerja. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dari petani pelaksana, sekaligus memberikan tambahan pendapatan.

2.3 Pemeliharaan Rorak/Saluran Buntu Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan pemeliharaan/perawatan terhadap bangunan rorak yang telah dikonstruksi. Hal ini dilakukan dengan cara setelah rorak penuh dengan endapan/sedimentasi tanah yang tererosi, digali kembali dan tanah galiannya diratakan pada bidang olah atau teras dan guludan. Pelaksanaan pemeliharaan rorak/saluran buntu dilakukan oleh para petani pelaksana secara berkala sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan.

2.4 Spesifikasi Teknis Pelaksanaan kegiatan pembuatan rorak dalam upaya konservasi tanah dan air mengacu pada norma, kriteria, standar teknis dan prosedur sebagai berikut : 2.4.1 Norma Kegiatan pembuatan rorak/saluran buntu diarahkan pada lahan-lahan yang memiliki potensi penurunan daya dukung lahan terutama pada lahan-lahan kering yang peka terhadap erosi dalam upaya penerapan azas konservasi tanah dan air untuk pengembangan pertanian.

2.4.2 Kriteria Kriteria lokasi pebuatan rorak/saluran buntuk dalam upaya konservasi tanah dan air adalah sebagai berikut : 1. Lokasi merupakan kawasan lahan kering yang masih diusahakan oleh petani, strategis, mudah dilihat dan mudah dijangkau dengan kendaraan roda empat atau roda dua bila tidak memungkinkan 2. Status pemilikan tanah jelas dan tidak dalam keadaan sengketa. 3. Pada lahan tersebut terdapat petani diutamakan yang telah tergabung dalam kelompok tani. 4. Petani bersedia mengikuti kegiatan dan melakukan pemeliharaan selanjutnya serta tidak menuntut ganti rugi. 5. Terdapat petugas lapangan yang aktif. 2.4.3 Standar Teknis Standar teknis pembangunan rorak/saluran buntu dalam upaya konservasi tanah dan air adalah sebagai berikut : 1. Lahan berupa lahan kering/upland dan terletak dalam satu hamparan minimal seluas 8 hektar. Dalam satu hektar dibangun konstruksi rorak sebanyak 30 unit. 2. Panjang rorak/saluran buntu 5 meter, lebar 0,30 meter dan kedalaman 0,4 meter. 3. Kemiringan lahan 3 % s/d 30%. Untuk menjamin keberhasilan sebaiknya dipilih lahan yang tidak terlalu curam sehingga tidak diperlukan adanya pembangunan teras bangku yang relatif mahal. 4. Ketinggian tempat lebih rendah dari 1.500 meter di atas permukaan laut dimana berbagai jenis tanaman masih memungkinkan untuk diusahakan. 5. Lahan peka terhadap erosi. 6. Lahan masih diusahakan oleh petani, tetapi produktivitasnya telah mengalami degradasi/menurun. 2.4.4 Prosedur Prosedur pembangunan rorak/saluran buntu dalam upaya konservasi tanah dan air adalah sebagai berikut : 1. Persiapan (CLCP)

2. Desain (rancangan teknis) sederhana 3. Konstruksi pembuatan rorak/saluran buntu. 4. Pemeliharaan 5. Monitoring dan pelaporan

Direktorat Pengelolaan Lahan, Departemen Pertanian (2006), menerbitkan standar teknis pembangunan rorak/saluran buntu dalam upaya konservasi tanah dan air, yaitu: 1. Lahan berupa lahan kering/upland dan terletak dalam satu hamparan minimal seluas 8 hektar. Dalam satu hektar dibangun konstruksi rorak sebanyak 30 unit. 2. Panjang rorak/saluran buntu 5 meter, lebar 0,30 meter dan kedalaman 0,4 meter. 3. Kemiringan lahan 3 % s/d 30%. Untuk menjamin keberhasilan sebaiknya dipilih lahan yang tidak terlalu curam sehingga tidak diperlukan adanya pembangunan teras bangku yang relatif mahal. 4. Ketinggian tempat lebih rendah dari 1.500 meter di atas permukaan laut dimana berbagai jenis tanaman masih memungkinkan untuk diusahakan. 5. Lahan peka terhadap erosi. 6. Lahan masih diusahakan oleh petani, tetapi produktivitasnya telah mengalami degradasi/menurun.

Pedoman Konservasi Tanah dan Air yang diterbitkan oleh Tim Peneliti BP2TPDAS IBB Departemen Kehutanan (2002) merekomendasikan pembuatan rorak dengan persyaratan teknis: 1. Ukuran panjang 1 2 meter, lebar 25-50cm dan dalam 20 30 cm. 2. Rorak dapat diisi dengan mulsa untuk mengurangi sedimentasi dan meningkatkan kesuburan tanah. 3. Pembuatan rorak mengakibatkan pengurangan luas lahan olah sebesar 3 10% 4. Rorak buntu dapat dibuat pada bagian lereng atas dari tanaman 5. Sedimen yang tertampung dalam rorak buntu

DAFTAR PUSTAKA

Morgan, I.M. 1984. Osmo regulator and water stress in higher plants. Annu. Rep. Plant Physiol. 35: 299-319. Rusmin, D., Sukarman, Melati, dan M. Hasanah. 2002. Pengaruh cekaman air terhadap pertumbuhan bibit empat nomor jambu mente

(Anacardium occidentale L.). Jurnal Penelitian Tanaman Industri 8(2): 49-54. Trubus. 1993. Peluang ekspor mente Indonesia belum sepenuhnya digarap. Trubus XXIV(279): 50-52. Wahid, P., J. Pitono, dan M.Y. Lubis. 1998. Pengaruh cekaman air terhadap pertumbuhan dan pembungaan pada tanaman jambu mente. Laporan Teknis Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 49-58.

Anda mungkin juga menyukai