Anda di halaman 1dari 31

KULIT

Disusun Oleh :
IRA HERAWATI
131811123071
ANATOMI FISIOLOGI KULIT

Kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu


epidermis dan dermis. Epidermis merupakan
jaringan epitel yang berasal dari ektoderm,
sedangkan dermis berupa jaringan ikat agak padat
yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis
terdapat selapis jaringan ikat longgar yaitu
hipodermis, yang pada beberapa tempat terutama
terdiri dari jaringan lemak.
EPIDERMIS

Epidermis merupakan lapisan paling


luar kulit dan terdiri atas epitel berlapis gepeng
dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri
dari jaringan epitel, tidak mempunyai pembuluh
darah maupun limfe oleh karena itu semua
nutrien dan oksigen diperoleh dari kapiler
pada lapisan dermis.
Stratum basal (lapis basal, lapis benih) Stratum spinosum (lapis taju)

Lapisan ini terletak paling dalam dan terdiri Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang
atas satu lapis sel yang tersusun berderet-deret besar-besar berbentuk poligonal dengan inti
di atas membran basal dan melekat pada lonjong. Sitoplasmanya kebiruan, pada dinding sel
dermis di bawahnya. Selselnya kuboid atau yang berbatasan dengan sel di sebelahnya akan
silindris. Intinya besar, jika dibanding ukuran terlihat taju-taju yang seolah-olah menghubungkan
selnya, dan sitoplasmanya basofilik. sel yang satu dengan yang lainnya. Pada taju inilah
terletak desmosom yang melekatkan sel-sel satu
sama lain pada lapisan ini. Semakin ke atas bentuk
sel semakin gepeng.
Stratum granulosum (lapis berbutir) Stratum lusidum (lapis bening)

Lapisan ini terdiri atas 2-4 lapis sel gepeng Lapisan ini dibentuk oleh 2-3 lapisan sel
yang mengandung banyak granula basofilik yang gepeng yang tembus cahaya, dan agak eosinofilik.
disebut granula keratohialin, yang dengan Tak ada inti maupun organel pada sel-sel lapisan
mikroskop elektron ternyata merupakan partikel ini. Walaupun ada sedikit desmosom, tetapi pada
amorf tanpa membran tetapi dikelilingi ribosom. lapisan ini adhesi kurang sehingga pada sajian
Mikrofilamen melekat pada permukaan granula. seringkali tampak garis celah yang memisahkan
stratum korneum dari lapisan lain di bawahnya.
Stratum korneum (lapis tanduk)

Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel-sel mati, pipih


dan tidak berinti serta sitoplasmanya digantikan oleh keratin.
Selsel yang paling permukaan merupa-kan sisik zat tanduk
yang terdehidrasi yang selalu terkelupas.
SEL-SEL EPIDERMIS

 Keratinosit

Keratinosit merupakan sel terbanyak (85-95%), berasal dari ektoderm permukaan. Merupakan sel
epitel yang mengalami keratinisasi, menghasilkan lapisan kedap air dan perisai pelidung tubuh. Proses
keratinisasi berlangsung 2-3 minggu mulai dari proliferasi mitosis, diferensiasi, kematian sel, dan
pengelupasan (deskuamasi). Pada tahap akhir diferensiasi terjadi proses penuaan sel diikuti penebalan
membran sel, kehilangan inti organel lainnya. Keratinosit merupakan sel induk bagi sel epitel di atasnya dan
derivat kulit lain.
 Melanosit

Melanosit meliputi 7-10% sel epidermis, merupakan sel kecil dengan cabang dendritik panjang tipis
dan berakhir pada keratinosit di stratum basal dan spinosum. Terletak di antara sel pada stratum basal,
folikel rambut dan sedikit dalam dermis. Dengan pewarnaan rutin sulit dikenali. Dengan reagen DOPA
(3,4- dihidroksi-fenilalanin), melanosit akan terlihat hitam. Pembentukan melanin terjadi dalam melanosom,
salah satu organel sel melanosit yang mengandung asam amino tirosin dan enzim tirosinase. Melalui
serentetan reaksi, tirosin akan diubah menjadi melanin yang berfungsi sebagai tirai penahan radiasi
ultraviolet yang berbahaya.
 Sel Langerhans

Sel Langerhans merupakan sel dendritik yang bentuknya ireguler, ditemukan terutama di antara
keratinosit dalam stratum spinosum. Tidak berwarna baik dengan HE. Sel ini berperan dalam respon imun
kulit, merupakan sel pembawa-antigen yang merangsang reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit.

 Sel Merkel

Jumlah sel jenis ini paling sedikit, berasal dari krista neuralis dan ditemukan pada lapisan basal kulit
tebal, folikel rambut, dan membran mukosa mulut. Merupakan sel besar dengan cabang sitoplasma pendek.
Serat saraf tak bermielin menembus membran basal, melebar seperti cakram dan berakhir pada bagian
bawah sel Merkel. Kemungkinan badan Merkel ini merupakan mekanoreseptor atau reseptor rasa sentuh.
DERMIS

Dermis terdiri atas stratum papilaris dan


stratum retikularis, batas antara kedua lapisan tidak
tegas, serat antaranya saling menjalin.
 Stratum papilaris

Lapisan ini tersusun lebih longgar, ditandai oleh adanya papila dermis yang jumlahnya
bervariasi antara 50 – 250/mm2 . Jumlahnya terbanyak dan lebih dalam pada daerah di mana
tekanan paling besar, seperti pada telapak kaki. Sebagian besar papila mengandung pembuluh-
pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel di atasnya. Papila lainnya mengandung badan
akhir saraf sensoris yaitu badan Meissner. Tepat di bawah epidermis serat-serat kolagen tersusun
rapat.
• Stratum retikularis

Lapisan ini lebih tebal dan dalam. Berkas-berkas kolagen kasar dan sejumlah kecil serat elastin
membentuk jalinan yang padat ireguler. Pada bagian lebih dalam, jalinan lebih terbuka, rongga-rongga di
antaranya terisi jaringan lemak, kelenjar keringat dan sebasea, serta folikel rambut. Serat otot polos juga
ditemukan pada tempat-tempat tertentu, seperti folikel rambut, skrotum, preputium, dan puting payudara.
Pada kulit wajah dan leher, serat otot skelet menyusupi jaringan ikat pada dermis. Otot-otot ini berperan
untuk ekspresi wajah.

 Sel-sel dermis

Jumlah sel dalam dermis relatif sedikit. Sel-sel dermis merupakan sel-sel jaringan ikat seperti fibroblas,
sel lemak, sedikit makrofag dan sel mast.
HYPODERMIS / SUBCUTANEUS

Sebuah lapisan subkutan di bawah retikularis


dermis disebut hipodermis. Ia berupa jaringan ikat
lebih longgar dengan serat kolagen halus
terorientasi terutama sejajar terhadap permukaan
kulit, dengan beberapa di antaranya menyatu
dengan yang dari dermis. Jumlahnya tergantung
jenis kelamin dan keadaan gizinya. Lemak subkutan
cenderung mengumpul di daerah tertentu. Lapisan
lemak ini disebut pannikulus adiposus.
PROSES PERSYARAFAN

 Ruffini : rangsang suhu panas


 Krause : rangsang suhu dingin
 Paccini : rangsang tekanan dan sentuhan
 Meissner : rangsang tekanan dan sentuhan
 Ujung saraf bebas : rangsang tekanan ringan &
sakit
Kelima sel saraf tersebut dapat kita kelompokan
menjadi tiga tipe reseptor yaitu :
 Termoreseptor (Ruffini dan Krause),
 Mekanoreseptor (Meisner dan Paccini)
 Reseptor rasa sakit (ujung saraf bebas).
PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Pemeriksaan KOH 10-20%

untuk mengetahui spora, hifa atau pseudohifa. Sampel : kerokan kulit, rambut (dicabut), kerokan kuku
atau apusan dari discar pada dinding vagina. Sampel diambil dari kerokan skuama diambil dari bagian tepi
lesi yang lebih eritem dan berskuama pada kasus dermatofitosis, atau psudomembran (membran berarna
putih) pada kasus kandidiasis kutis. Selanjutnya hasil kerokan dioleskan/langsung diletakkan di atas gelas
obyek dan ditutup dengan gelas penutup. Discar pada dinding lateral vagina diusap dengan lidi kapas steril,
selanjutnya dioleskan pada gelas obyek.

Cara pemeriksaan : Teteskan KOH 20% 1 tetes, pada bagian tepi gelas penutup dan biarkan cairan
KOH menyebar ke seluruh permukaan sampel yang ditutup. Tunggu 5-10 menit (kulit), 15-30 menit
(rambut), 1-2 hari (kuku).
 Pemeriksaan dengan KOH 10-20% + (tinta) Parker

Bertujuan agar psudohifa terlihat lebih jelas. Sampel : kerokan kulit. Cara pengambilan sampel : selotip ditempel
pada lesi yang berskuama halus. Cara pemeriksaan : Lekatkan sampel/selotip di gelas obyek. Tambahkan KOH-Parker
20% 1 tetes,Tunggu beberapa saat. Lihat di bawah mikroskop, apakah tampak spora dengan psedohifa

 Pemeriksaan BTA dengan pengecatan Ziehl-Nelson

Sampel : kerokan kulit dengan irisan, diambil dari daerah cuping telinga kanan dan kiri, dan dari lesi kulit yang
mengalami anestesi. Cara pengambilan sampel : Bersihkan dengan kapas alcohol, pencet dengan ibu jari dan jari
telunjuk sampai pucat, agar tidak keluar darah, dilakukan irisan/sayat dengan skalpel sepanjang 2-3 mm, dalam 1-2mm,
dan buat kerokan memutar 3600 hingga terbawa cairan dan sedikit jaringan. Oleskan ke gelas obyek, pengecatan
dengan larutan Ziehl Neelsen. BTA terlihat sebagai batang, merah (solid/utuh, fragmen/terpecah menjadi beberapa
bagian, granuler/ butiran).
 Pemeriksaan dengan pengecatan Gram

Untuk mengetahui bakteri atau jamur. Sampel : cairan eksudat, vesikel, bula atau pustul, ulkus, uretra,
vagina. Cara : Jika vesikel/bula atau pustul belum pecah, dilakukan insisi sedikit pada atap lesi, selanjutnya
cairan diambil dengan scalpel secara halus/pelan. Ulkus: ambil dengan lidi kapas, oleskan ke gelas obyek.
Uretra: diplirit/dengan lidi kapas, oleskan ke gelas obyek. Vagina/cervix: ambil discar/sekret dengan lidi
kapas, oleskan ke gelas obyek. Lakukan pengecatan dengan larutan Gram A, B, C dan D

Hasil pemeriksaan : Staphylococcus : bulat, biru ungu, bergerombol seperti anggur, stretococcus : bulat,
biru ungu, berderet, gonococcus : biji kopi berpasangan, merah (gram negatif).
 Pemeriksaan Tzank (dengan pengecatan Giemsa)

Sampel : cairan vesikel atau bula. Cara : Pilih lesi yang masih baru/ intact, dilakukan insisi kecil tepi/dinding lesi,
selanjutnya dilakukan kerokan pada dasar vesikel atau bula. Oleskan ke gelas obyek, fiksasi dengan alkohol 70% sampai
kering. Cat dengan Giemsa selama 20 menit, cuci dengan air mengalir, keringkan, periksa dengan mikroskop. Apabila
hasil pemeriksaan ditemukan sel akantolisis menunjukkan lesi pemfigus, dan pada infeksi virus akan ditemukan sel
berinti banyak dan besar (multinucleated giant cell).

 Pemeriksaan dengan cairan fisiologis (NaCl)

Sampel : apusan dari mukosa dinding forniks lateral (trikomoniasis), atau dasar vesikel (skabies). Cara : Discar
pada dinding forniks lateral diusap dengan lidi kapas steril, dasar vesikel dibuat apusan dengan scalpel. Oleskan ke gelas
obyek. Lihat di bawah mikroskop, apakah tampak T. vaginalis atau S.scabei. Pemeriksaan ini untuk memeriksa T. vaginalis
atau S. scabei dalam keadaan hidup.
 Pemeriksaan Medan Gelap

Sampel : ulkus/papul basah. Cara : Bersihkan ulkus dengan cairan fisiologis (NaCl), pijit sampai serum keluar,
selanjutnya serum dilekatkan ke gelas obyek, tetesi dengan cairan fisiologis. Periksa dengan mikroskop medan gelap.
Prinsip : melihat sesuatu yang bergerak dengan dasar gelap.

 Pemeriksaan dengan Lampu Wood,

Yaitu sinar dengan panjang gelombang 320-400 nm (365 nm) (berwarna ungu). Pemeriksaan ini untuk mengetahui
fluoresensi dari berbagai kuman pathogen dan juga untuk mengetahui kedalaman pigmentasi pada melisma.

 Pemeriksaan darah, urin, atau feces rutin, kimia darah (fungsi hati, fungsi ginjal, glukosa darah), serologi
(infeksi herpes simpleks, sifilis, HIV), biologi molekuler (PCR (polymerazed chain reaction) DNA tuberkulosis
kulit).
 Tes tusuk (Prick test)

Untuk mengetahui alergen yang terlibat pada reaksi hipersensitivitas tipe I (reaksi alergi tipe cepat) udara atau makanan pada kasus
urtikaria. Syarat : Bebas kortikosteroid sistemik maksimal 20mg/hari selama 1 minggu, bebas antihistamin minimal 3 hari, kondisi kulit
yang akan ditempeli bebas dermatitis, sembuh dari urtikaria minimal 1 minggu.

 Tes tempel (Patch test)

Untuk mengetahui atau membuktikan alergen kontak pada pasien dermatitis kontak alergi, dermatitis fotokontak alergi, atau
alergen udara dan makanan pada pasien dermatitis atopik. Prinsip : untuk mengetahui alergen yang terlibat pada reaksi
hipersensitivitas tipe IV (reaksi alergi tipe lambat). Syarat : Bebas kortikosteroid sistemik maksimal 20mg/hari selama 1 minggu,
kondisi kulit yang akan ditempeli bebas dermatitis, bebas rambut tebal, kosmetik dan salep. Area tes : punggung, lengan atas bagian
lateral

 Biopsi kulit untuk mengetahui jenis atau proses patologi penyakit.


DERMATITIS KONTAK ALERGI DAN DERMATITIS KONTAK IRITAN
DERMATITIS / EKSEMA
INFEKSI VIRUS (VARICELLA, HERPES ZOSTER, HERPES SIMPLEX)
INFEKSI VIRUS (MOLUSKUM KONTANGIOSUM)
INFEKSI VIRUS (VERUKA)
INFEKSI BAKTERI (ERISEPELAS DAN SELULITIS)
LEPRA
INFEKSI ZOONOSIS
PENYAKIT KULIT ERITROSKUAMOSA
REFERENSI

Kalangi, S. J. R. (2013) ‘Histofisiologi Kulit’, Jurnal Biomedik, 5(3), pp. 12–20. doi: 10.1016/j.jpedsurg.2016.11.019.
Adiguna et al (2017) Buku Panduan Belajar Koas Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Bali: Udayana University Press.

Anda mungkin juga menyukai