Anda di halaman 1dari 69

PRESENTASI KASUS

PEMFIGUS VULGARIS YANG DITERAPI DENGAN

KORTIKOSTEROID DAN AZATIOPRIN

Oleh :
Ricky Fernando Maharis

Pembimbing:
Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, SpKK(K), FINSDV, FAADV
PENDAHULUAN
Pemfigus merupakan sekelompok penyakit bula kronis dimana
didapatkan autoantibodi terhadap permukaan sel keratinosit
yang menyebabkan hilangnya adhesi antara keratinosit satu
dengan lainnya  akantolisis.

Dibagi menjadi 3 subtype yaitu: pemfigus vulgaris, pemfigus


foliaseus dan pemfigus paraneoplastik

Tujuan utama penanganan kasus pemfigus vulgaris adalah


untuk mencapai remisi atau perbaikan lesi, mencegah
rekurensi, membatasi efek samping obat serta meningkatkan
kualitas hidup pasien
EPIDEMIOLOGI

• Pemfigus Vulgaris adalah bentuk pemfigus tersering  70%


dari seluruh kasus pemfigus.
• Insidennya jarang, diperkirakan mengenai 0,1 - 0,5 pasien
per 100.000 populasi per tahunnya di seluruh dunia.
• Insidennya didapatkan lebih banyak pada perempuan
• Di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2014 -2016  11
kasus baru pemfigus vulgaris.
• Pemfigus Vulgaris dapat terjadi pada semua usia, tersering
pada dekade keempat hingga keenam.
PENDAHULUAN
• Mekanisme kerja kortikosteroid sistemik berperan penting
dalam hal menanggulangi proses inflamasi dan imunologis
yang terjadi, namun agen ini juga memiliki risiko efek
samping yang serius.

• Efek samping akibat penggunaan kortikosteroid sistemik


jangka panjang adalah osteoporosis, supresi adrenal,
hiperglikemia, dislipidemia, sindroma Cushing, gangguan
psikiatri, imunosupresi, komplikasi okuler, hipertensi dan
kelainan kutaneus.

• Kini telah banyak penelitian yang membahas mengenai


terapi adjuvan steroid guna mengurangi risiko timbulnya
efek samping penggunaan steroid tanpa mengurangi
efektivitas terapi
KOMPLIKASI AKIBAT PEMBERIAN TERAPI
KORTIKOSTEROID JANGKA PANJANG
PADA PENDERITA PEMFIGUS VULGARIS

wawasan mengenai pemfigus vulgaris,


efek samping terapi kortikosteroid
jangka panjang serta penatalaksanaan
yang tepat.
Perempuan
K 24 tahun
A Suku Bali, Warga Negara Indonesia
S 19.01.64.33
U Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum
S Pusat Sanglah
13 April 2019
Keluhan Utama : Gelembung berair pada kulit,
dan pecah menjadi luka pada seluruh tubuh
ANAMNESIS
Pasien mengeluh muncul gelembung kecil di lengan
A sejak 1 hari yang lalu yang semakin besar dan meluas,
N bertambah banyak dan menyebar di seluruh tubuh.
Menurut pasien gelembung tersebut mudah pecah
A
menjadi luka dan menimbulkan nyeri. Keluhan gatal
M disangkal. Pasien mengeluhkan seringkali mengalami
N sariawan pada rongga mulut sejak 5 bulan lalu,
E sehingga pasien sulit untuk makan dan minum.
S Keluhan lain seperti demam, mual, muntah, batuk dan
I pilek disangkal. Keluhan gigi berlubang, nyeri
tenggorokan dan telinga disangkal, nyeri saat buang
S
air kecil disangkal, diare disangkal.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat Penyakit Dahulu

• Pasien belum pernah mengalami sakit seperti


ini sebelumnya.
• Riwayat penyakit sistemik lain seperti
diabetes melitus, hipertensi, asma disangkal.
• Riwayat alergi makanan dan obat-obatan
disangkal.
RIWAYAT PENGOBATAN

Riwayat Pengobatan

• 5 bulan obat kumur dan salep yang tidak


diketahui namanya oleh pasien  tidak membaik.
• Riwayat meminum obat-obatan lain disangkal.
• Pasien tidak pernah berobat ke dokter untuk
sakitnya.
• Riwayat mengoleskan sesuatu sebelum muncul
keluhan ataupun setelah lesi muncul disangkal.
RIWAYAT KELUARGA

Riwayat Keluarga

• Riwayat keluarga yang memiliki penyakit


serupa disangkal.
• Pasien merupakan anak kedua dari 2
bersaudara.
• Saat ini pasien kelas 3 sekolah menengah atas.
PEMERIKSAAN FISIK

STATUS PRESENT STATUS GENERALIS


• KU : lemah • Kepala : normosefali
• Kesadaran : compos mentis • Mata : an (-/-), ict (-)
• TD : 120/80 mmHg • Leher : pembesaran KGB (-)
• Denyut nadi: 90 x/mnt • Thorax : pembesaran KGB axilla (-/-)
• RR : 20 x/menit • Cor : S1S2 tgl, reg, murmur (-)
• Suhu aksila : 37,2OC • Pulmo : ves (+), rh (-), wh (-)
• BB : 43 kg • Abd : H/L ttb, BU (+) N, dist (-)
• TB : 160 cm • Ekst : hangat (+), edema (-)
• VAS : 2
STATUS DERMATOLOGIS
Lokasi :
Bibir, Wajah

Eflorosensi :
• Bula multipel, dinding
kendor, bentuk bulat,
ukuran diameter bervariasi
0,5-2 cm, berisi cairan
serous, konfigurasi dan
ditribusi tersebar, juga
tampak erosi dan ekskoriasi
multipel, bentuk geografika,
ukuran bervariasi 0,5x1 cm
hingga 3x4 cm, beberapa
ditutupi krusta kecoklatan.
• Mousy odor (+).
• Tanda nikolsky (+)
STATUS DERMATOLOGIS
Lokasi :
Thorak oabdominalis anterior dan
posterior

Eflorosensi :
• Bula multipel, dinding kendor,
bentuk bulat, ukuran diameter
bervariasi 0,5-2 cm, berisi
cairan serous, konfigurasi dan
ditribusi tersebar, juga tampak
erosi dan ekskoriasi multipel,
bentuk geografika, ukuran
bervariasi 0,5x1 cm hingga 3x4
cm, beberapa ditutupi krusta
kecoklatan.
• Mousy odor (+).
• Tanda nikolsky (+)
STATUS DERMATOLOGIS
Lokasi :
Ekstremitas atas kanan kiri

Eflorosensi :
• Bula multipel, dinding
kendor, bentuk bulat,
ukuran diameter bervariasi
0,5-2 cm, berisi cairan
serous, konfigurasi dan
ditribusi tersebar, juga
tampak erosi dan ekskoriasi
multipel, bentuk geografika,
ukuran bervariasi 0,5x1 cm
hingga 3x4 cm, beberapa
ditutupi krusta kecoklatan.
• Mousy odor (+).
• Tanda nikolsky (+)
PLANNING

1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, kimia klinik,


2. Pemeriksaan gram dari dasar erosi
3. Pemeriksaan Tzanck dari kerokan dasar bula
4. Pemeriksaan biopsi dari lesi bula
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

SGOT : 26.0 (0-27 U/L)


Leukosit : 12,10 (4-11 )
Netrofil : 6,6 (2-7) SGPT : 22.0 (0-34 U/L)
Limfosit : 3,3 (1-4)
Monosit : 0,8 (0-1) Albumin: 2,8 (3,4-4,8 g/dL)
Eosinofil : 0,01 (0-0,7) BUN: 23 (8-23 mg/dL)
Basofil : 0,06 (0-0,1)
Hb : 16,10 (13,5- Kreatinin: 0,6 (0,51-0,95 mg/dL)
17,5)
RBC : 5,07 (4,1-5,9) GDS: 80 (80-100 mg/dL);
HCT : 46,60 (41-53) Natrium:137 (136-145 mmol/L)
Trombosit : 220,0 (140-440)
Kalium : 3,8 (3,5-5,1 mmol/L
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Gram
Pemeriksaan Tzanck
leukosit 2-5/lpb
kokus gram positif (-) Sel akantolitik (+)
kokus basil negatif (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Biopsi
(14 April 2019)

Jaringan yang terdiri dari lapisan


epidermis dan dermis. Tampak bula
suprabasal dan hilangnya kohesi antar
keratinosit (akantolisis). Gambaran
morfologi berupa bula suprabasal dan
akantolisis pada epidermis sesuai
untuk pemfigus vulgaris. .
KULIT DAN KELAMIN
Diagnosis :
Pemfigus Vulgaris

Penatalaksanaan :
• Infus NaCl 0,9% : dekstrosa 5% = 1:1 = 20 tetes per menit
• Injeksi metilprednisolon 125 mg intravena setiap 24 jam
• Lansoprazole 30 mg peroral tiap 24 jam
• Paracetamol 500 mg peroral setiap 8 jam
• Kompres terbuka NaCl 0,9% setiap 6 jam selama 15 menit pada lesi erosi
dan krusta
• Krim hidrokortisone 2,5% + kloramfenicol 2% secara topikal tiap 12 jam
pada lesi erosi yang sudah kering
• triamsinolon in ora base tiap 12 pada erosi di bibir
PENGAMATAN LANJUTAN I

Minggu ke-2
Tanggal 22 April 2019
ANAMNESIS
◦ Pada tanggal 22 April 2019 pasien kembali dirawat
◦ Bengkak pada bibir membaik, lesi baru tidak ada. Nyeri pada
luka akibat gelembung yang pecah membaik.
◦ Lesi lama meninggalkan bercak kecoklatan di seluruh tubuh.
◦ Tidak ada keluhan demam, nyeri kepala, nyeri kencing maupun
nyeri menelan.
◦ Pasien sering merasakan mual setelah minum obat, tidak ada
muntah.
RIWAYAT PENGOBATAN
◦ Pengobatan saat ini  Metilprednisolon 32mg-32mg-0
tablet (3 hari)

PEMERIKSAAN FISIK
◦ Status present dan status generalis dalam batas normal
◦ Berat badan 42 kg
◦ VAS score 2
STATUS DERMATOLOGIS

Lokasi :
Bibir, wajah

Eflorosensi :
• Erosi multipel, batas tegas, bentuk
geografika, ukuran bervariasi 0,5x1
cm-3x4cm. Juga tampak makula
hiperpigmentasi multipel, batas tegas,
bentuk geografika, ukuran 0,3x0,5 cm-
2x4cm
STATUS DERMATOLOGIS

Lokasi :
Thorakoabdominalis anterior
dan posterior

Eflorosensi :
• Erosi multipel, batas tegas,
bentuk geografika, ukuran
bervariasi 0,5x1 cm-3x4cm.
Juga tampak makula
hiperpigmentasi multipel,
batas tegas, bentuk
geografika, ukuran 0,3x0,5
cm-2x4cm
STATUS DERMATOLOGIS

Lokasi :
Ekstremitas atas kanan kiri dan
ektremitas bawah kanan kiri
Eflorosensi :
• Erosi multipel, batas tegas,
bentuk geografika, ukuran
bervariasi 0,5x1 cm-3x4cm.
Juga tampak makula
hiperpigmentasi multipel,
batas tegas, bentuk
geografika, ukuran 0,3x0,5
cm-2x4cm
KULIT DAN KELAMIN
Diagnosis :
Pemfigus Vulgaris

Penatalaksanaan :
 Infus NaCl 0,9% 20 tetes per menit
 Injeksi metilprednisolon 125 mg intravena setiap 24 jam
 Kompres NaCl 0,9% setiap 6 jam selama 15 menit pada lesi erosi dan krusta
 Krim hidrokortisone 2,5% + kloramfenikol 2% topikal tiap 12 jam pada lesi
erosi yang sudah kering
 Triamsinolon in ora base tiap 12 pada erosi di bibir
KULIT DAN KELAMIN
Diagnosis :
Pemfigus Vulgaris

Setelah 1 minggu perawatan, pasien dipulangkan


Obat Pulang yang diberikan :
 Metilprednisolon 32mg-32mg-0 tablet
 Azatioprine 100mg tablet per 24 jam
 Kompres NaCl 0,9% setiap 6 jam selama 15 menit pada lesi erosi dan
krusta pada kulit dan bibir
 Krim hidrokortisone 2,5% + kloramfenikol 2% topikal tiap 12 jam pada lesi
erosi
 Triamsinolon in ora base tiap 12 pada erosi di bibir.
PENGAMATAN LANJUTAN II

Minggu ke-4
Tanggal 3 Mei 2019
ANAMNESIS
• Pasien datang untuk kontrol di poliklinik kulit dan kelamin RSUP
Sanglah
• Tidak ada lesi baru pada kulit
• Lesi lama menjadi kecoklatan
• Tidak ada demam, nyeri kepala, mual, muntah, nyeri menelan,
nyeri kencing
RIWAYAT PENGOBATAN
• Pasien mengkonsumsi metilprednisolon tablet 32 mg-32mg-
0 peroral selama (1 minggu) dan azathioprine 100 mg
peroral tiap 24 jam selama (1 minggu).
• Pasien sempat rawat inap di RS Sanglah 2 kali  MRS
pertama selama 1 minggu (13/04/2019-20/04/2019), MRS
kedua selama 1 minggu (22/04/2019-28/04/2019).

PEMERIKSAAN FISIK
◦ Status present dan status generalis dalam batas normal
◦ Berat badan 42 kg
STATUS DERMATOLOGIS

Lokasi :
Bibir, Wajah

Eflorosensi :
 Erosi multipel, batas tegas, bentuk
geografika, ukuran bervariasi 0,5x1 cm-
2x3cm. Juga tampak makula
hiperpigmentasi multipel, batas tegas,
bentuk geografika, ukuran 0,3x0,5 cm-
2x5cm.
STATUS DERMATOLOGIS
Lokasi :
Thorakoabdominal
anterior dan posterior

Eflorosensi :
 Erosi multipel, batas
tegas, bentuk
geografika, ukuran
bervariasi 0,5x1 cm-
2x3cm. Juga tampak
makula
hiperpigmentasi
multipel, batas tegas,
bentuk geografika,
ukuran 0,3x0,5 cm-
2x5cm.
STATUS DERMATOLOGIS

Lokasi :
Ekstremitas atas kanan kiri

Eflorosensi :
• Erosi multipel, batas
tegas, bentuk geografika,
ukuran bervariasi 0,5x1
cm-2x3cm. Juga tampak
makula hiperpigmentasi
multipel, batas tegas,
bentuk geografika,
ukuran 0,3x0,5 cm-2x5cm
STATUS DERMATOLOGIS

Lokasi :
Ekstremitas bawah kanan kiri

Eflorosensi :
• Erosi multipel, batas tegas,
bentuk geografika, ukuran
bervariasi 0,5x1 cm-2x3cm.
Juga tampak makula
hiperpigmentasi multipel,
batas tegas, bentuk
geografika, ukuran 0,3x0,5
cm-2x5cm
PEMBAHASAN
PEMFIGUS VULGARIS

Pemfigus merupakan penyakit autoimun

Dimediasi oleh Imunoglobulin G pada sel epitel skuamous


berlapis, seperti pada kulit dan mukosa oral
Akantolisis (hilangnya adhesi antar sel) menyebabkan timbulnya
bula yang mudah pecah menjadi erosi
Autoantibodi terhadap molekul adhesi antar sel pada
keratinosit, menyebabkan akantolisis
EPIDEMIOLOGI/ FAKTOR RESIKO
KASUS

11 kasus baru
(Tahun 2014-
70% 2016)

Perempuan,
Insiden 0.1-0.5/100.000 Usia 17 Tahun
populasi/tahunnya

Dapat terjadi pada semua usia


(Dekade keempat - keenam)
PATOGENESIS PEMFIGUS VULGARIS
Circulating and tissue-bound
autoantibodies terhadap molekul
desmosome  Desmoglein 3 (Dsg3) &
Desmoglein 1 (Dsg1) pada permukaan
sel keratinosit

Dsg3 dan Dsg1 termasuk superfamili


cadherin  adhesi antar sel

Autoantibodi  hilangnya adhesi


antara sel epitel  celah suprabasal
MANIFESTASI KLINIS PEMFIGUS VULGARIS

Mukosa Genital
60% kasus Pemphigus Vulgaris

bulan

Gelembung yang
mudah pecah
Nyeri

minggu Bula dinding kendur

Lesi Primer
Gejala awal : kavitas oral
MANIFESTASI KLINIS PEMFIGUS VULGARIS
Induksi mekanik pada kulit yang
Nikolsky Sign + tampak normal dengan gesekan

Membran mukosa  erosi


Kulit  erosi yang berkrusta

KASUS
Manifestasi awal pada kavitas oral  ke
kulit berupa bula dengan dinding kendur
yang mudah pecah & menimbulkan erosi
pada kulit dan mukosa, nikolsky (+)
DIAGNOSIS PEMFIGUS VULGARIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Hapusan tzanck
4. Biopsi kulit
5. Imunofluerescence langsung
6. Imunofluorescence tidak langsung

Tzanck test  sederhana dan murah, tingkat spesifisitas 83% dan


sensitivitas 83.3% untuk PV
 Mengambil hapusan dari dasar lesi vesikel kemudian dihapuskan ke
objek glass kemudian diberi pewarnaan giemsa 15-20 menit

KASUS :
sel akantolitik (+)
DIAGNOSIS PEMFIGUS VULGARIS
TEORI KASUS

Akantolisis  Hilangnya adhesi antar sel Hasil biopsi pada kasus tampak adanya
keratinosit  Terbentuk bula suprabasal celah suprabasal, gambaran row of
intrepitelial tombstones appearance dan neutrophil.

Pemphigus Vulgaris Pemphigus Vulgaris

Adhesi sel terhadap membran basal


Lokasi dasar bula membentuk
tidak terpengaruh sehingga
gambaran barisan batu nisan atau
terdapat residual basal keratinosit
row of tombstones appearance.
pada basement membrane zone
TERAPI PEMFIGUS VULGARIS
Kortikosteroid Penyakit Autoimun

Antinflamasi & Imunosupresif

Efek pada
Penghambat pergerakan
poten dari & fungsi
aktivasi NF leukosit
kappa B serta faktor
humoral
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid sistemik  lini pertama pada Pemphigus Vulgaris

Kelenjar Adrenal

European Academy of Dermatology and Venereology 


Prednisolone mulai 0.5 mg – 1.5 mg/kg/hari

KASUS : kortikosteroid sistemik metil prednisolon sebagai terapi utama


PENCEGAHAN EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID

• Untuk meminimalkan efek samping akibat steroid  Dosis paling


rendah yang dianggap masih efektif  pemberian pagi hari
• Pemberian terapi adjuvan kortikosteroid (Sparing Agent) harus
dipertimbangkan.

Kasus

Dilakukan penurunan bertahap kortikosteroid sistemik menuju dosis paling


rendah yang dianggap masih efektif dan diberikan terapi adjuvan steroid. Saat
ini pasien mendapat metil prednisolon tablet 4 miligram tiap 24 jam pagi hari
dan terapi adjuvan steroid yaitu azathioprin.
KORTIKOSTEROID SPARING AGENT
• Azathioprin
Tujuan utama terapi  menemukan
• Methotreksat
modalitas terapi yang dapat • Siklofosfamid
mencapai dan mempertahankan • Dapson
remisi klinis tanpa penggunaan • Levamisol
kortikosteroid sistemik dengan • Siklosporin
• Mikofenolate mofetil
pemberian terapi adjuvan steroid 
Azathioprine & mikofenolat
belum bisa mofetil  lini pertama

Kasus
Pada hari ke-17 rawat inap pertama diberikan juga sparing agent berupa
siklosporin 50 mg tiap 12 jam per oral namun tidak menunjukkan hasil yang
memuaskan dan pada rawat inap kedua (minggu ke-20) dilakukan
penggantian sparing agent menjadi azathioprin dengan dosis 50 miligram
tiap 12 jam peroral.
KORTIKOSTEROID SPARING AGENT
Siklosporin terikat pada protein sitosolik T sel spesifik,
cyclophilin
Kompleks cyclosporine–cyclophilin menghambat
kalsineurin  bertanggung jawab pada transkripsi IL-2 
berakibat pada penurunan fungsi dari efektor sel T
Siklosporin juga digunakan sebagai terapi pemfigus.
Dosis 3–5 mg/kg/hari digunakan sebagai terapi adjuvan
untuk pemfigus dikombinasikan dengan steroid sistemik.
Efek samping utama dari siklosporin adalah hipertensi
dan disfungsi renal

Kasus
Diberikan siklosporin dengan dosis 100 miligram per hari
KORTIKOSTEROID SPARING AGENT

• Azathioprine merupakan prodrug imunosupresif analog


purin dan dimetabolisme menjadi bentuk aktif, 6-
mercaptopurine  hambat sintesis purin  hambat
proliferasi dari sel yang membelah dengan cepat,
terutama limfosit.
• Penekanan sumsum tulang merupakan efek samping
utama dari azathioprine, terutama pada pasien dengan
mutasi homozigot dari thiopurine methyltransferase.
Dosis 50–100 mg per hari saat ini digunakan sebagai
terapi pemfigus.

Kasus
Diberikan azathioprine dengan dosis 100 miligram per hari sebagai terapi
adjuvan
EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID
Hypertrichosis

Teori

Hypercortisolism

Cushing Syndrome

Kasus
EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID
TOPIKAL Risiko efek samping

• Striae
• Hipertrikosis
• Atrofi kulit
• Telangiektasia
• Perioral dermatitis

KASUS
Pemberian
Desoxymethasone topical
0.25% tiap 12 jam
CUSHINGOID APPEARANCE
• Terapi steroid berkepanjangan 
peningkatan berat badan dan
redistribusi dari jaringan lemak
yang mengakibatkan penampakan
cushingoid (obesitas trunkus,
jaringan lemak fasialis seperti
moon face dan jaringan lemak
dorsoservikal). Kasus
• Peningkatan berat (70%)
• Cushing Syndrome yang terjadi  Pada pasien didapatkan
dua bulan pertama terapi  adanya peningkatan berat
bergantung pada dosis dan durasi badan, moon face dan
terapi kortikosteroid buffalo hump
• Usia muda>>
KELAINAN MATA
• Kelainan mata seperti katarak, glaukoma dan central serous
chorioretinopathy (CSCR) meningkat pada pasien yang
menggunakan glukokortikoid.
• Penggunaan glukokortikoid  katarak subkapsular posterior
(posterior subcapsular cataracts/ PSCC).

Kasus
Terjadi komplikasi okuler
berupa katarak subkapsular
posterior pada okuli dextra
dan sinistra.
KELAINAN MATA
• Optic disc swelling merupakan kondisi patologis dengan berbagai penyebab.
Gejala klinis yang berhubungan dengan bilateral optic disc swelling umumnya
adalah papiledema, neuropati infiltratif, toxic optic neuropathy
• Mekanisme kortikosteroid menyebabkan edema papil  belum jelas
• Studi yang mempelajari masih terbatas  kasus yang dilaporkan tidak
banyak

Kasus
Setelah penegakkan papil
edema dilakukan 
Penanganan hanya berupa
terapi simtomatik oleh TS
Mata dan TS Neurologi
KELAINAN KULIT
Kortikosteroid menginduksi perubahan pada kulit
yang menyebabkan penipisan dan kerapuhan kulit Patogenesis
berupa purpura dan striae.
Penipisan kulit dan purpura biasanya reversibel Cross Linking
setelah penghentian terapi, tapi striae yang terjadi kolagen imatur
permanen pada dermis

Kortikosteroid dapat mengganggu jalannya proses


penyembuhan luka alamiah  menghambat
infiltrasi leukosit dan makrofag, menurunkan
sintesis kolagen dan maturasi luka dan mengurangi Robekan intradermal
ekspresi keratinocyte growth factor setelah luka  striae
pada kulit

Kasus
Didapatkan adanya striae pada area abdomen, lengan dan paha
KELAINAN KULIT
Erupsi akneiformis merupakan kelainan yang ditandai dengan papul dan pustul
menyerupai akne vulgaris

Perbedaan utama dengan akne vulgaris adalah tidak didapatkan adanya komedo
pada erupsi akneiformis

Patogenesis dari akne akibat steroid dianggap akibat degradasi epitel folikuler
yang mengakibatkan ektrusi dari isi folikuler.

Kasus
Didapatkan adanya papul dan pustul, tidak terdapat komedo
yang dikeluhkan sejak pengamatan kedua
KELAINAN KULIT
Kortikosteroid  meningkatkan
pertumbuhan rambut vellus
melalui mekanisme yang tidak
diketahui

Efek ini jarang didapatkan pada


penggunaan kortikosteroid topical
 lebih umum didapatkan saat
penggunaan kortikosteroid sistemik

Kasus
Didapatkan hipertrikosis pada saat pasien mendapat
kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan keluhan mulai membaik
dengan penurunan dosis kortikosteroid
KELAINAN PSIKIATRI
Gangguan psikiatri dan kognitif • Bergantung pada dosis dan durasi terapi
yang luas : • Terapi jangka pendek  euforia
- Gangguan daya ingat • Terapi jangka panjang  depresi
- Agitasi • Glukokortikoid  gangguan tidur &
- Cemas mimpi buruk
- Ketakutan • Gejala psikosis persisten  terapi anti
- Hipomania psikosis
- Insomnia
- Iritabilitas
- Labilitas mood Tatalaksana  memodifikasi waktu
- Lethargi pemberian glukokortikoid, bila diperlukan
- Psikosis pemberian obat sedasi di malam hari

Kasus
Terjadi gangguan psikiatri yaitu depresi berat, dikatakan gejala
berkurang dengan penurunan dosis kortikosteroid.
KELAINAN GASTROINTESTINAL

Kortikosteroid  meningkatkan
sekresi gastrin & menyebabkan
hiperplasia sel parietal 
1. Peningkatan sekresi asam Gastritis
2. Mengurangi sintesis lender
gaster
3. Menekan metabolism asam
arakidonik
4. Menekan sintesis
prostaglandin

Kasus
Komplikasi sistim gastrointestinal berupa Gastritis
KESIMPULAN
Telah dilaporkan sebuah kasus komplikasi dari
penggunaan kortikosteroid jangka panjang pada
penderita pemfigus vulgaris

Diagnosa ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang

Dilakukan penurunan dosis kortikosteroid pada


pasien untuk meminimalkan efek samping akibat
penggunaannya dan diberikan kortikosteroid sparing
agent

Dubius
Classification of severity in
Pemfigus
A number of severity indices (including the pemphigus disease

area index (PDAI, [87]) and autoimmune bullous skin disorder

intensity score (ABSIS, [88]) have been proposed in order to standardize

the assessment of patients with autoimmune blistering

disorders but none has yet been universally adopted [89,90]. However,

as consensus develops, these tools will become useful both in

the context of clinical trials and in the monitoring of the response

to treatment in individual patients

ROOKS
Disease course and prognosis
Pemphigus in its various forms typically has a chronic course with
an average disease duration of 10 years [91]. However, there is
great variability in disease length in patients. Various factors have
been suggested to influence this including the site and severity of
initial disease, with oral involvement an adverse prognostic factor
[92–94]. Immunologically, the presence of both Dsg 1 and 3
antibodies tends to associate with more active disease [95]. Recent
data from the UK suggest that early age of onset and Asian ancestry
associate with more prolonged disease activity
ROOKS
Histopathology
The earliest histological changes consist of intercellular oedema
with loss of intercellular attachments in the basal layer. Suprabasal
epidermal cells separate from the basal cells to form clefts and blisters.
Basal cells remain attached to the basement membrane but separate
from one another and stand like a ‘row of tombstones’ on the
floor of the blister. Blister cavities contain rounded‐up acantholyticcells,
which can be found in smears taken from the base of a blister
or an oral erosion (Tzank preparation). Clefting may extend into the
walls of adnexae. Blistering is preceded by eosinophilic spongiosis
in some cases. The superficial dermis has a mild, superficial, mixed
inflammatory infiltrate that may include eosinophils.
Direct immunofluorescence testing

Direct IF is the most accurate way to diagnose mucosal pemphigus


[97,98]. Specimens may be posted to a suitable laboratory in
Michel’s medium if facilities for snap‐freezing and storage of the
tissues are not available [99].
The diagnosis of pemphigus is confirmed by direct IF which
shows IgG and often C3 deposited on the surface of keratinocytes
throughout the epidermis in perilesional skin (see Figure 50.1).
IgG1 and IgG4 are the most common subclasses; IgM and IgA are
present less frequently than IgG.
Serological assays

Circulating pemphigus autoantibodies are detected by indirect


IF in over 80% of patients. The use of more than one substrate
improves sensitivity, oesophageal mucosal substrates being preferable
for the detection of antibodies to Dsg 3 [100] whereas normal
human skin shows higher sensitivity for the detection of antibodies
against Dsg 1. Rat bladder, which is a transitional epithelium
devoid of Dsg proteins, has proven a useful indirect IF substrate in
the diagnosis of paraneoplastic pemphigus [101].
Recombinant Dsg 1 and 3 have been used recently to develop
a sensitive and specific ELISA assays for the serological diagnosis
of pemphigus [102]. Using ELISA, over 95% of PV patients
have detectable Dsg 3 antibodies and around 50% have Dsg 1
antibodies. In appropriate dilutions, anti-Dsg ELISA assays can
be used to monitor disease activity [103,104]. Pemphigus‐like
circulating intercellular antibodies have been reported in conditions
such as thermal burns [105], toxic epidermal necrolysis
[106] and in first‐
EPIDEMIOLOGI
Ilmu yang mempelajari pola
kesehatan dan penyakit, serta
faktor yang terkait di tingkat
populasi

Anda mungkin juga menyukai