Anda di halaman 1dari 15

PROBLEMATIKA KELUARGA DALAM

MASYARAKAT KONTEMPORER
KELOMPOK 2 :
 Leni Herliani (1104015169)
 Anggita Okvia Putri (1404015032)
 Muhammad Rangga Maulana (1404015224)
 Yosi Nur Oktaviyanti (1404015387)
Pengertian masyarakat kontemporer

Masyarakat kontemporer adalah masyarakat yang sebagian besar


warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam
peradaban masa kini. Pada umumnya masyarakat kontemporer tinggal di daerah
perkotaan, sehingga disebut masyarakat kota. Masyarakat kontemporer relatif
bebas dari kekuasaan adat dan istiadat lama. Karena mengalami perubahan dalam
perkembangan zaman dewasa ini.
Perubahan-perubahan itu terjadi sebagai akibat masuknya pengaruh
kebudayaan luar yang membawa kemajuan terutama di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Dalam mencapai kemajuan tersebut masyarakat kontemporer
berusaha agar mereka mempunyai pendidikan yang cukup tinggi dan berusaha agar
mereka selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi seimbang dengan kemajuan
di bidang lainnya, seperti ekonomi politik hukum dan sebagainya.
Kedudukan pernikahan dalam perspektif masyarakat
kontemporer

Perkawinan dalam islam ialah suatu akad atau perjanjian yang mengikat
antara laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan biologis antara
kedua belah pihak dengan sukarela berdasarkan syaratislam. Kerelaan kedua
belah pihak merupakan suatu modal utama untuk mewujudkan kebahagian hidup
berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang di
Ridhoi Allah SWT, Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai
basis suatu masyarakat yang baik dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya
dipertalikan oleh ikatan lahir saja, tetapi juga dengan ikatan bathin.
Perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga yang
mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dan
pembentukan peradaban.
Dulunya kontrak perkawinan dilakukan berdasarkan murni hukum agama atau
hukum adat, tetapi di zaman modern karena dinamika kehidupan yang semakin
berkembang, maka negara merasa perlu membuat berbagai aturan yang diharapkan
dapat menjaga ketertiban masyarakat sehingga moral atau akhlak masyarakat tetap
terjaga dan peradaban tetap berlangsung. Aturan-aturan hukum tersebut ada yang
merupakan pengembangkan hukum perkawinan yang sudah ada di masa lalu dan ada
juga yang merupakan hukum baru.

Salah satu permasalahan dalam hal perkawinan sebagai kontrak adalah tentang
status kontrak itu sendiri, apakah sama dengan perjanjian lain yang bersifat sekular
(terlepas dari agama), atau perjanjian suci bersifat keagamaan
Permasalahan ini erat hubungannya dengan tabiat sebuah negara. Dalam
negara yang menerapkan sekularisasi seperti pada negara-negara Barat pada
umumnya, maka kontrak perkawinan tak obahnya seperti kontrak-kontrak lain yang
bersifat sekular, yang dapat diatur berdasarkan kemauan bebas para pihak sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam sebuah negara sekular,
perkawinan sekular terpisah dari perkawinan agama, dan negara hanya mengakui
perkawinan sekular oleh negara dan tidak mengakui perkawinan agama. Sebaliknya
dalam negara yang ikut membawa peran serta agama, seperti Indonesia dan negara-
negera berpenduduk mayoritas muslim, maka perkawinan adalah sebuah kontrak suci
agama yang dapat dikukuhkan dengan kontrak sekular keduniaan.
Jadi pada dasarnya, perundang-undangan Indonesia tetap meneruskan hukum
perkawinan berdasarkan agama yang sudah berlaku sejak lama di Indonesia. Campur
tangan negara hanyalah dalam bidang pencatatan sehingga ayat (2) Pasal 2 UUP/1974
menyatakan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”
Permasalahan yang dilahirkan dari praktek
Pasal 2 UUP/1974 antara lain:
Pertama: Sebagian kecil masyarakat tidak melaksanakan perkawinan menurut
hukum agamanya. Permasalahan ini timbul antara lain karena adaya pasangan yang
melangsungkan perkawinan berbeda agama (walaupun persentasenya sangat kecil),
sementara itu UUP/1974 tidak mengatur perkawinan beda-agama.
Praktek yang ditempuh, biasanya salah satu pihak pindah ke agama pihak lain.
Ini memang banyak terjadi, tetapi bila salah satu pihak tidak mau dimurtadkan ke
agama calon suami atau isteri, maka perkawinan batal dilaksanakan. Atau jalan keluar
yang ditempuh adalah melaksanakan perkawinan di luar negeri, yaitu di salah satu
negara sekular yang tidak mengharuskan perkawinan berdasarkan hukum agama,
misalnya Singapura.
Kedua: Sejumlah cukup bararti masyarakat melaksanakan perkawinan
berdasarkan hukum agama, tetapi tidak mencatatkannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan agama tanpa pencatatan ini, misalnya,
dapat dilihat dari jumlah kasus yang cukup perarti di berbagai Pengadilan Agama
tentang permohonan itsbat nikah (penetapan perkawinan), yang diajukan oleh salah
satu pasangan yang pernah menikah secara agama atau ahli waris mereka guna untuk
mendapatkan harta warisan. Bila perkawinan yang pernah dilakukan oleh pemohon
dapat dibuktikan di PA dan disahkan, maka harta almarhum dapat dibagi kepada ahli
warisnya.
Ketiga: Adanya gejala samen leven, terutama di daerah perkotaan, yaitu
pasangan pria-wanita yang hidup bersama tanpa perkawinan agama dan pencatatan
negara. Gejala ini antara lain adalah akibat dampak samping proses modernisasi di
Indonesia yang diikuti dengan menurunnya pegangan hidup kepada nilai-nilai moral
dan agama. Segi lain adalah kurangannya pengawasan masyarakat dan akibat
ketiadaan norma hukum yang melarang dan mempidanakan perbuatan tersebut. Di
kalangan anak muda sering terdengar ungkapan: Do it; everybody does! Salah satu
jalan keluarnya adalah revisi perundang-undangan dengan memidanakan perbuatan
pasangan hidup bersama tanpa tali perkawinan yang sah.
Keempat: Adanya dua pencatat perkawinan yang berbeda, (1) PPN (Pegawai Pencatat
Nikah pada Kantor Urusan Agama) dan (2) Kantor Catatan Ssipil (KCS). Menurut PP RI No.
9 Tahun 1975 [Pasal 2 ayat (1) dan (2)], perkawinan Islam dicatatkan di PTN dan perkawinan
non-Islam di KCS. Ini jelas tidak efisien dari segi administratif pencatatan dan cita-cita
penyatuan hukum nasional. Jalan keluar untuk dualisme pencatatan ini tentu adalah revisi
peraturan perundang-undangan tentang catatan sipil dan perundang-undangan tentang PPN
Kelima: Sesuai UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sengketa kewarisan
antara penduduk beragama Islam diselesaikan melalui Peradilan Agama [Pasal 49 ayat (1)
huruf (b)]. Sungguhpun demikiran, perkara kewarisan ummat Islam masih diperiksa, diputus
dan diselesaikan di Peradilan Umum. Sebuah penelitian doktor di Universitas Diponegoro atas
nama Afdhal menemukan bahwa kebanyakan perkara kewarisan ummat Islam di wilayah
Jawa Timur diadili di Peradilan Umum. Permasalahan timbul, pertama karena Peradilan
Umum masih menerima perkara sengketa ummat Islam tentang perkawinan secara umum dan
kewarisan secara khusus. Kedua, adanya celah hukum bagi pencari keadilan untuk memilih
Peradilan Agama atau Peradilan Umum, bila salah satu dari dua pengadilan menguntungkan
dirinya.
Keenam. Sebagai kelanjutan dari permasalahan keenam di atas, bila perkara
perkawinan pangadilan tingkat pertama dan kedua sampai kasasi atau peninjauan
kembali di Mahkamah Agung, maka terdapat kemungkinan bahwa perkara yang
tadinya diputus berdasarkan hukum Islam di Pengadilan Agama akan ditolak atau
dikabulkan oleh MA berdasarkan hukum adat, atau sebaliknya perkara ummat Islam
yang diputus berdasarkan hukum adat di Pengadilan Umum akan ditolak atau
dikabulkan di MA berdasarkan hukum Islam. Jalan keluar untuk permasalahan ini,
bahwa perkara kasasi dan peninjauan kembali tentang perkawinan diperiksa oleh satu
tim di MA (misalnya Tim E) sehingga tidak melahirkan dualisme yurisprudensi di
MA.
Problematika keluarga dalam masyarakat kontemporer

Keluarga memang bisa diartikan bermacam-macam, tetapi yang penting keluarga


adalah sekelompok orang-orang di mana terdapat kepala keluarga dan anggota keluarga.
Dengan demikian akan terdapat keluarga seniman, keluarga sopir, keluarga tukang becak,
keluarga elite dsb., yang masing-masing akan mencerminkan keadaan keluarga tersebut ke
dunia luar.

Keluarga ini adalah merupakan bentuk mini dari suatu masyarakat oleh karena itu
segala sesuatu yang merubah masyarakat di suatu tempat akan mempengaruhi pula
keadaan kehidupan suatu keluarga yang ada di masyarakat tersebut atau sebaliknya.
Tidak jarang perubahan-perubahan ini akan menimbulkan gangguan
ketenteraman atau membuat suatu kegelisahan dalam keluarga karena suatu
modernisasi belum tentu bisa diikuti oleh setiap anggota keluarga yang akibatnya akan
menimbulkan pertikaian kecil atau timbulnya perubahan kepribadian dalam salah satu
anggota keluarga sehingga timbullah berbagai manifestasi dari kelainan mental yang
berarti terganggunya “kesehatan jiwa” pada keluarga tersebut.

Dari keadaan sekelumit seperti di atas akan jelaslah bahwa modernisasi dalam
suatu masyarakat akhirnya akan berpengaruh pula terhadap suatu keluarga dan akan
terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan bila anggota keluarga itu sendiri tidak bisa
menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada pada saat itu.
Pada umumnya suatu keluarga untuk dapat bertahan dalam suatu keadaan
memerlukan kebutuhan sebagai berikut :

1. Kebutuhan vital, yang berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal.

2. Kebutuhan biologis, juga merupakan kebutuhan yang menyangkut/bertanggung jawab atas


terbentuknya generasi-generasi yang akan datang yang akan mewarisi yang sudah tidak ada
lagi.

3. Kebutuhan psikologis, di mana kebutuhan ini banyak menyangkut soal emosi hingga
merupakan bagian yang sensitif oleh karena menyangkut hubungan interpersonal yang boleh
dikatakan tidak begitu riil. Misalnya, kebutuhan perlindungan, kebutuhan hiburan, kebutuhan
pendidikan, dan sebagainya.
Akar-akar problematika keluarga di masyarakat kontemporer

Bila masyarakat menuju suatu modernisasi maka hal ini akan membawa
perubahan total dalam tata cara penghidupan anggota-anggotanya termasuk keluarga
dengan segala akibatnya. Pada taraf tertentu perubahan ini akan merembes ke
pedesaan yang juga dengan segala konsekuensinya. Kalau tadinya keluarga di
pedesaan merupakan keluarga yang sangat praktis dan bersifat autonom di mana
segala sesuatunya dapat diusahakan sendiri dari lingkungan dekatnya, maka dengan
timbulnya ekonomi, akhirnya manusia segala usahanya ditujukan mencari uang
dengan berprinsip pada mendapat untung yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran
yang sekecil-kecilnya, karena dengan uang segala sesuatu bisa didapat yang berarti
segala kebutuhannya dapat dipenuhi dengan uang. Kehidupan masyarakat seperti ini
dapat kita lihat di kota-kota di mana mereka mencari pekerjaan untuk mendapat gaji
atau nafkah dengan ini cara hidup yang autonom yang dulu dirombak menjadi cara
hidup yang bergantung dari besar kecilnya pendapatan dari suatu keluarga. Segala
sesuatu dirombak sedemikian rupa sehingga orang dengan mudah mendapatkan segala
kebutuhannya hanya dengan uang saja.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai