Anda di halaman 1dari 253

PENDAHULUAN

• Sebagian bayi baru lahir mempunyai keterbatasan terhadap lingkungan


ekstrauterin karena faktor imun, kelainan bawaan, atau kejadian
sebelum persalinan (gawat janin, ketuban pecah sebelum waktunya, ibu
infeksi, ibu DM, Ibu pre-eklamsi, dsb.
• Resusitasi sesudah bayi lahir adalah upaya untuk mengatasi
keterbatasan tersebut  membantu/menjaga paru senantiasa terbuka
 alveoli paru pernapasan bayi lebih baik  sirkulasi dari jantung ke
paru dan sebaliknya lebih lancar.
• Stabilisasi pascaresusitasi dapat dilakukan setiap saat dan dapat
dilakukan di mana saja: ruang persalinan, ruang transisi, ruang
perawatan bayi baru lahir, dan ruang rawat gabung.
PROBLEM TERSERING HARUS DIWASPADAI
PADA TAHAP STABILISASI
• Problem suhu. • Gangguan perfusi.
• Penurunan kadar gula • Kejang.
darah dengan/tanpa • Trias apnea-bradikardia-
gejala. desaturase.
• Gangguan fungsi saraf • Problema minum.
akibat trauma otak • Infeksi.
karena hipoksia yang
terjadi sebelum atau • Kecurigaan sumbatan
sesudah lahir. saluran cerna.
• Gangguan napas. • Kelainan bawaan di luar
saluran cerna.
LANGKAH-LANGKAH STABILISASI MELIPUTI

• Ruang persalinan • Ruang transisi


- mencegah hipotermia. - mempertahankan
- memberikan PEEP oksigenasi sesuai
(positive end-expiratory target.
pressure) agar alveoli - pemeriksaan
paru tetap terbuka. laboratorium
- memberikan VTP sederhana (skrining
(ventilasi tekanan infeksi, hipoglikemia).
positif).
- mempertahankan
oksigenasi.
LANGKAH-LANGKAH STABILISASI (Lanjutan)

• Ruang rawat gabung • Perawatan level 2


- mencegah hipotermia. - semua langkah stabilisasi
- pemeriksaan laboratorium kecuali memberikan CPAP
sedehana (skrining infeksi (continuous positive
dan hipoglikemia). airway pressure}
dan VTP. Bila terpaksa
diberikan hanya sementara
sebelum dirujuk dan tidak
boleh >24 jam.

• Ruang perawatan intensif


(NICU)
- semua langkah stabilisasi.
MENGATASI HIPOTERMIA DAN
MENJAGA STABILISASI SUHU
MEKANISME TERMOREGULASI

• Menjaga suhu tubuh normal merupakan prioritas setiap BBL.


• Suhu lingkungan yang baik penting selama stabilisasi untuk
mencegah kehilangan panas yang dapat berakibat kematian.
• Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh dan terjadi
keseimbangan antara kehilangan dan produksi panas tubuh
 suhu tubuh bayi stabil/optimal untuk metabolisme dengan
pemakaian energi tubuh yang minimal.
• Setiap BBL berisiko kehilangan panas (suhu dapat turun cepat
bila kehangatan tidak terjaga: 0,2–1⁰C/mnt.)
• Bayi mempunyai respons fisiologis dalam menghadapi stres
dingin, namun belum optimal apalagi bayi sakit dan prematur.
Lanjutan

• Segera setelah lahir suhu tubuh bayi turun seketika diikuti


dengan stres dingin. Panas tubuh diproduksi akibat pelepasan
norepinefrin  metabolisme lemak coklat ↑ dan untuk itu
pemakaian oksigen dan glukosa ↑
• Karena BBL tidak ada respons menggigil  mereka hanya
mengandalkan termogenesis secara kimiawi untuk
menghasilkan panas.
• Pada BBL risiko kehilangan panas lebih besar daripada
kemampuan memproduksi panas  BBL mudah sekali
mengalami hipotermia bila kehangatan bayi tidak dijaga.
BEBERAPA MEKANISME FISIOLOGI
KEHILANGAN PANAS
• Konduksi: perpindahan panas sebagai akibat perbedaan suhu
antara kedua objek. Kehilangan panas terjadi akibat kontak
langsung kulit BBL dengan permukaan yang lebih dingin 
suhu tubuh ↓.

• Pencegahan pengeluaran panas melalui konduksi:


- hangatkan benda sebelum bersentuhan dengan bayi
(tangan, tempat tidur bayi, stetoskop, selimut, papan x-ray);
- tutupi kepala bayi dengan topi;
- skin to skin contact antara ibu dan bayi.
Lanjutan

• Konveksi: transfer panas akibat selisih suhu antara


permukaan kulit bayi dan aliran udara dingin yang melalui
permukaan tubuh bayi.

• Pencegahan pengeluaran panas melalui konveksi:


- meningkatkan suhu ruang persalinan 26–28⁰C;
- bungkus badan bayi dengan plastik (untuk bayi <1.500 g);
- transpor bayi memakai inkubator yang telah dihangatkan;
- aliran oksigen dihangatkan dan dilembapkan terlebih dahulu
sebelum diberikan kepada bayi.
Lanjutan

• Evaporasi: panas terbuang akibat penguapan melalui


permukaan kulit atau saluran napas.

• Pencegahan pengeluaran panas melalui evaporasi:


- segera keringkan bayi sesudah dilahirkan atau sesudah
mandi dengan kain kering yang telah dihangatkan, lalu ganti
kain yang basah dengan yang kering;
- bungkus badan bayi dengan plastik dari leher hingga kaki;
- menghangatkan suhu ruangan 26–28⁰C;
- hangatkan dan lembapkan aliran oksigen sebelum diberikan
kepada bayi.
Lanjutan

• Radiasi: perpindahan suhu dari objek dengan suhu yang lebih


tinggi ke objek dengan suhu yang lebih rendah.

• Pencegahan pengeluaran panas melalui radiasi:


- jauhkan bayi dari jendela;
- lapisi inkubator dengan kain;
- gunakan inkubator double-wall untuk bayi kurang bulan.
HIPOTERMIA

• Bayi mengalami hipotermia bila terjadi ketidakseimbangan


antara kehilangan dan produksi panas.
• Suhu normal BBL: 36,5–37,5⁰C.
• Pembagian derajat hipotermia (WHO):
- hipotermia ringan: 36,0–36,4⁰C;
- hipotermia sedang: 32,0–35,9⁰C;
- hipotermia berat: <32,0⁰C.
Tidak ada perbedaan suhu/hipotermia pada bayi cukup
bulan dengan prematur.
TIGA CARA PEMERIKSAAN SUHU

• Suhu rektal: suhu rektal lebih mencerminkan suhu tubuh yang


sebenarnya. Cara ini sudah tidak direkomendasikan dilakukan
secara rutin, kecuali pada bayi yang sedang dilakukan terapi
hipotermia karena monitoring suhu harus dilakukan secara
kontinu dan tepat.
• Suhu aksiler: cara pemeriksaan suhu yang paling umum,
namun suhu yang terukur <0,5⁰C bila dibanding dengan suhu
rektal.
• Suhu kulit: biasanya dilakukan pada bayi yang dirawat di
inkubator (infant warmer). Ketepatan lebih kurang sama
dengan suhu aksiler.
APA YANG TERJADI BILA BBL HIPOTERMIA

• Bila hipotermia tidak dapat diatasi dengan respons fisiologis


bayi  norepinefrin ↑  vasokonstriksi pembuluh darah
sistemik  gangguan oksigenasi dan perfusi jaringan.
• Pada kondisi tertentu jaringan tubuh akan melangsungkan
proses metabolisme tanpa melibatkan oksigen (anaerob) 
hasil akhir berupa asidosis dan asam laktat ↑ serta bahan
toksik lainnya  kerusakan sel otak  apoptosis/kematian
sel.
• Hipotermia pada BBL dapat  morbiditas lain (hipoglikemia,
distres napas, dan bahkan dapat berlanjut  persistent
hypertension of the newborn (PPHN).
BBL YANG BERISIKO HIPOTERMIA

• Bayi kurang bulan.


• Bayi berat lahir rendah.
• Bayi kecil masa kehamilan.
• Bayi dengan pascaresusitasi berkepanjangan.
• Bayi sakit berat, sepsis, atau penyakit lain.
• Bayi dengan masalah jantung, neurologi, dan endokrin.
• Bayi dengan masalah bedah (defek pada dinding perut yang
terbuka).
• Bayi kurang aktif/hipotoni: sedasi, analgetik, paralitik, atau anestesi.
• Faktor lingkungan: dingin/berangin, baju basah, bayi sering
dipisahkan dari ibunya, penghangatan tidak memadai selama bayi
dirujuk.
GEJALA AWAL HIPOTERMIA

• Kemampuan menghisap rendah atau tidak dapat menyusu.


• Letargi, menangis lemah.
• Perubahan warna kulit dari pucat dan sianosis menjadi kutis
marmorata.
• Takipnea dan takikardia.
• Gejala lanjut adalah
- apnea, bradikardia, sianosis/desaturasi (konsentrasi O₂ ↓);
- hipoglikemia, asidosis metabolik, distres napas berat,
gangguan sirkulasi/hipotensi sampai syok.
PENGENDALIAN SUHU DI UNIT PERSALINAN
DAN PERAWATAN BBL
1. Di Ruang Bersalin atau Ruang Operasi Sesudah Resusitasi/
Perawatan Rutin
- Sesudah bayi dirawat rutin/resusitasi minimal (tidak
mendapat CPAP atau ventilasi positif) bayi dapat segera
dilakukan kontak kulit dengan kulit ibu.
- Selimuti ibu dengan bayinya sekaligus atau tutupi dengan
kain. Gunakan topi bayi jika ada untuk menutupi bagian
kepala.
- Bila suhu bayi hipotermia, segera dirawat di inkubator/
infant warmer/meja resusitasi yang sudah dihangatkan.
Lanjutan

2. Di Ruang Perawatan
- evaluasi faktor risiko hipotermia pada BBL;
- segera mengeringkan BBL dan menyingkirkan linen yang basah;
- bayi jangan telanjang kecuali bila dirawat dalam inkubator.
Pemakaian kain yang meliputi tubuh bayi yang dirawat dalam
inkubator terbukti dapat mempercepat bayi keluar dari
inkubator;
- saat ibu menengok bayinya sebaiknya ibu tetap dimotivasi agar
melakukan asuhan kontak kulit dengan kulit di atas dada ibu.
Jangan lupa punggung bayi ditutup dengan selimut hangat dan
beri tutup kepala;
- benda yang menyentuh kulit bayi (misal stetoskop) sebaiknya
dihangatkan dahulu.
Penggunaan Infant Warmer

• Bayi tidak berpakaian kecuali popok dan bondery.


• Suhu servo kulit diatur 36,5⁰C. Skin probe dianjurkan di perut
kanan atas bila bayi diposisikan terlentang. Bila bayi posisi
tengkurap, skin probe dapat diletakkan di punggung bawah.
Hindari penempatan skin probe pada sternum, skapula, kosta,
tangan, dan kaki karena memberikan suhu yang lebih rendah.
• Suhu diukur setiap 30 menit atau sesuai dengan instruksi
dokter untuk menentukan bahwa suhu BBL berada pada
kisaran yang tepat.
Perawatan dalam Inkubator

• Pastikan bahwa semua petugas yang terlibat mampu menggunakan


inkubator dengan benar, memantau suhu bayi, dan menyesuaikan
suhu inkubator untuk mempertahankan lingkungan suhu netral.
• Inkubator memerlukan pasokan listrik yang tidak terputus, petugas
terlatih untuk perawatan inkubator, serta kesediaan suku cadang
untuk perbaikan.
• Perhatikan lokasi inkubator di ruang bayi. Inkubator harus jauh dari
jendela yang tidak dapat ditutup rapat. Suhu ruangan harus tetap
dan tiupan angin minimal.
• Jika inkubator terkena sinar matahari langsung atau lampu
fototerapi dipakai, pemantauan suhu BBL dan suhu inkubator perlu
sering dilakukan untuk mencegah pemanasan yang berlebihan.
• Jika BBL memerlukan perawatan dalam inkubator penting
menganjurkan orangtua bayi berkunjung dan memeluknya
sesering-seringnya dan memanfaatkan kontak kulit dengan
kulit agar suhunya stabil.
• Suhu BBL harus dipantau secara berkala setiap 4 jam atau
sesuai instruksi dokter untuk mempertahankan suhu tubuh
36,5–37,5⁰C.
• Penempatan skin probe pada bayi dalam inkubator sama
dengan bayi pada infant warmer. Lubang jendela inkubator
sedapat-dapatnya harus digunakan saat perawatan BBL dan
tidak dengan membuka pintu inkubator.
• Pengaturan suhu inkubator untuk BBL mempertimbangkan
aspek berat badan lahir, usia kronologis, dan usia gestasi.
• Pada BBL usia sampai 7 hari pengaturan suhu dihitung
berdasar atas usia gestasi, sedangkan pada bayi sesudah usia
7 hari pengaturan suhu dihitung berdasar atas berat lahir.
Asuhan Kontak Kulit dengan Kulit
(Perawatan Metode Kanguru)
• Merupakan bentuk interaksi orangtua dengan bayinya.
• Kondisi ini diberikan kepada bayi yang lebih stabil di ruang
perawatan. Memberikan lingkungan suhu yang sesuai akan
memberikan keuntungan bagi ibu dan bayi di dalam atau di luar
fasilitas kesehatan.
• Ibu disarankan menggendong bayinya dan kontak kulit dengan kulit
pada posisi vertikal, kepala ditutup topi dengan posisi di atas atau di
antara payudara ibu, sedangkan posisi kedua kaki fleksi (frog
position).
• Tidak ada persyaratan usia kehamilan selama bayi stabil secara
fisiologis pada suhu lingkungan 36,0⁰C atau lebih.
• Pada situasi khusus juga bayi yang dapat terapi oksigen, CPAP
(continuous positive airway pressure).
Keuntungan Perawatan Metode Kanguru (PMK)

• Memberikan lingkungan suhu yang sesuai.


• Memperbaiki oksigenasi.
• Menurunkan kejadian apnea dan bradikardia.
• Memfasilitasi pemberian ASI dini.
• Meningkatkan lama menyusui.
• Menurunkan pemakaian kalori.
• Menurunkan kejadian infeksi.
• Mempercepat penambahan berat badan.
• Mendorong kelekatan serta ikatan emosional orangtua.
• Memperpendek masa rawat inap di rumah sakit.
Panduan Asuhan Kontak Kulit dengan Kulit

• Keputusan dilakukan asuhan PMK ditentukan oleh dokter bersama


perawat, namun harus didukung oleh semua pihak dalam keluarga.
• Metode kanguru boleh dilakukan oleh ayah atau anggota keluarga
lain bila kondisi ibu tidak memungkinkan.
• Semua orang yang terlibat harus merasa nyaman dan mendukung
keputusan ini.
• Sesudah keputusan dibuat suhu bayi harus dinilai pada suhu normal
dan dicatat pada flow sheet.
• Bila terpasang skin probe, probe suhu kulit dibiarkan tetap
terpasang, demikian juga semua kabel monitor, jalur i.v., dan selang
bantu napas harus dieratkan dengan aman. Bayi memakai popok
dan topi.
Persiapan Orangtua

• Jelaskan keuntungan jenis asuhan ini untuk bayi mereka.


• Perlihatkan cara memeluk bayi yang akan mereka lakukan.
• Ibu dianjurkan memakai baju dengan bukaan depan.
• Sedapat-dapatnya memberikan privasi dan ketenangan.
• Dianjurkan menggunakan cermin untuk melihat kondisi
anaknya.
Memantau BBL dalam PMK

• Sesudah bayi dilekatkan di atas dada ibu pemantauan harus


tetap dilakukan.
• Bayi harus dikembalikan ke inkubator jika terdapat tanda stres
yang menetap seperti takipnea, takikardia, ketidakstabilan
suhu, atau desaturasi oksigen.
• Dianjurkan PMK dilakukan minimal 1–2 jam. Lama PMK
bergantung pada kondisi BBL, kenyamanan orangtua, dan
sarana serta prasarana di layanan kesehatan tersebut.
• PMK intermiten atau kontinu tidak memberikan perbedaan
pada mortalitas maupun morbiditas dan kualitas
perkembangannya.
PENGENALAN TERAPI
HIPOTERMIA DAN PRINSIP
MERUJUK BAYI ASFIKSIA
PENDAHULUAN

• BBL yang asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas 


hipoksemia dan hiperkarbia. Hipoksemia  glikolisis anaerob 
asam laktat dan asidosis metabolik.
• Asidosis metabolik berat  kerusakan organ termasuk otak yang
disebut hypoxic ischemic encephalopathy (HIE).
• Sebenarnya kejadian ini merupakan kondisi yang sering kali dapat
dicegah dengan resusitasi yang tepat.
• Angka kejadian HIE: 3–5/1.000 kelahiran hidup terutama di negara
berkembang akibat kualitas layanan obstetrik dan perinatal yang
belum memadai.
• Dapat menimbulkan gangguan neurologis (palsi serebral, gangguan
perkembangan motorik/kognitif, epilepsi, tuli, gangguan belajar).
Lanjutan

• Untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut direkomendasikan


menjaga suhu bayi HIE: ±33,5–34,0⁰C (terapi hipotermia/cooling
treatment).
• Kondisi tubuh yang dibuat hipotermia ini telah terbukti dapat
mengurangi risiko kematian, trauma otak, dan ↑ kualitas
perkembangan bayi dibanding dengan bayi HIE tanpa terapi
hipotermia.
• Penentuan terapi hipotermia dan monitoring selama terapi
hipotermia dinilai lebih lanjut menggunakan skor Thompson.
Namun, terapi ini harus segera dimulai saat bayi berusia <6 jam
karena bila >6 jam diperkirakan telah terjadi kerusakan otak
permanen.
• Setiap bayi dengan riwayat asfiksia dan memenuhi kriteria HIE
HARUS SEGERA DIRUJUK.
Lanjutan

• Mengingat terapi hipotermia dapat menimbulkan komplikasi


kardiopulmonal yang dapat berat maka terapi ini sebaiknya
dilakukan di NICU dengan fasilitas bantu pernapasan dan alat
monitoring lengkap.
• Beberapa fasilitas/alat monitoring: ventilator, alat hipotermia (cool
cap atau whole body cooling), monitoring otak (amplitude EEG), alat
monitoring perfusi dan oksigenasi serebral (near infrared
spectroscopy/NIRS), serta alat pemeriksaan yang dapat dilakukan di
unit (foto rontgen, USG, ekokardiografi).
• Terapi hipotermia bermanfaat pada kualitas hidup bila usia
kehamilan >36 mgg, berat badan lahir >1.800 g, usia <6 jam, bayi
asfiksia HIE (hypoxic ischaemic ecephalopathy) ringan/sedang,
tidak ada kelainan bawaan fatal.
CARA MERUJUK BAYI ASFIKSIA DENGAN HIE

• Pada bayi yang akan dirujuk disarankan tidak dilakukan


metode kanguru dan cukup diletakkan dalam inkubator yang
tidak dihidupkan.
• Penting menjaga suhu bayi pada kisaran 35⁰C (agak sedikit
hipotermia).
• Meningkatkan suhu bayi pada suhu kisaran normal hanya
meningkatkan kebutuhan metabolisme sel otak bayi 
meningkatkan kerusakan otak.
• Jangan lupa sebelum dirujuk dipasang akses intravena,
persiapan intubasi (namun bila bayi tampak sesak disarankan
diintubasi dan dihubungkan ke alat bantu napas sebelum
rujukan dilakukan).
MEMPERTAHANKAN
NORMOGLIKEMIA
Pendahuluan

• BBL sehat maupun sakit dapat mengalami hipoglikemia pada


hari-hari pertama kehidupan.
• Hipoglikemia terjadi akibat ketidakseimbangan antara
produksi gula darah dan pemakaiannya.
• Pada BBl hipoglikemia transien merupakan kondisi yang sering
terjadi 4/1.000 kelahiran hidup bayi cukup bulan dan 6/1.000
kelahiran bayi kurang bulan.
• Kadar glukosa dipertahankan melalui proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis dari berbagai sumber energi non KH.
• Hipoglikemia BBL dapat terjadi bila bayi mengalami gangguan
tersebut.
Adaptasi Glukosa Pascanatal

• Selama kehidupan janin, glukosa berdifusi pasif menembus


barier plasenta sehingga 70–80% glukosa darah janin berasal
dari ibu. Berbeda halnya dengan insulin karena insulin tidak
dapat menembus barier plasenta  janin harus memproduksi
/meyekresikan insulin sendiri.
• Sesudah lahir tali pusat bayi dipisahkan dari plasenta 
glukosa darah ibu ke bayi berhenti, sedangkan laju sekresi
insulin bayi masih tetap. Ketidakeimbangan antara pasokan
gula dari ibu dan pemakaian gula melalui hormon insulin 
kadar gula darah BBL cenderung ↓ dalam jam-jam pertama
kehidupan. Untuk mengatasi hal itu dikeluarkan hormon
kontraregulator (glukagon dan kortisol)  produksi gula
endogen.
Pengertian Batasan Hipoglikemia BBL

• Batasan masih kontroversial.


• Sebagian besar konsensus menetapkan definisi hipoglikemia
bila kadar gula darah <45 mg/dL.
Kondisi Risiko Hipoglikemia

↓ simpanan glukosa dan produksi glukosa:


- pertumbuhan janin terhambat (PJT) atau kecil masa kehamilan
(KMK);
- bayi kurang bulan (BKB) atau bayi lebih bulan (BLB);
- penundaan pemberian minum/puasa;
- asfiksia perinatal;
- hipotermia dan atau stres dingin.
↑ pemakaian glukosa: Kombinasi kedua mekanisme:
- bayi dari ibu DM; - insufisiensi adrenal; - sepsis;
- bayi BMK (besar masa kehamilan); - glycogen storage diseases;
- polisitemia; - transfusi tukar; - penyakit jantung
- eritroblastosis fetalis. /hipopituitarisme kongenital;
- obat untuk ibu: steroid, beta bloker.
Identifikasi BBL Risiko Tinggi

• Bayi dengan ibu DM (infant of diabetic mother/IDM):


- ibu DM mempunyai kadar glukosa darah (GD) yang tinggi 
masuk ke dalam darah bayi melalui plasenta  produksi
insulin ↑ (hiperinsulinemia);
- sesudah bayi lahir dan dipisahkan dari plasenta  pasokan
gula ibu ↓ drastis, namun sekresi insulin masih tinggi
seperti saat janin  kadar gula darah bayi ↓ drastis untuk
periode yang lebih lama;
- pada bayi dari ibu DM, kadar GD akan mencapai titik nadir
dalam waktu 1 jam sesudah lahir dan normal sesudah usia 3
hari.
• Bayi dengan besar masa kehamilan:
- bayi BMK adalah bayi dengan berat badan lahir > persentil
ke-90 sesuai masa kehamilan: sering pada wanita DM
atau diabetes gestasional (DG);
- mekanisme yang mendasar pada bayi BMK adalah hiper-
insulinemia  deposit lemak berlebihan  bayi tumbuh
lebih besar daripada usia kehamilan yang semestinya;
- pada BMK perlu dicari penyebabnya: obesitas maternal,
riwayat bayi BMK sebelumnya, riwayat ibu DM tipe II, dan
riwayat ibu dengan sindrom polikistik ovarium.
• Bayi dengan kecil masa kehamilan (KMK):
- bayi KMK didefinisikan sebagai bayi dengan berat badan
lahir < persentil ke-10 sesuai masa kehamilan atau di bawah
rata-rata 2SD sesuai masa kehamilan;
- pada bayi KMK telah terjadi malnutrisi intrauterin dan
terdapat glikogen yang rendah. Saat lahir cadangan
glikogen sudah terpakai. Kecepatan metabolik pada bayi
KMK cenderung lebih tinggi  penggunaan glukosa lebih
tinggi dibanding dengan bayi berat badan sesuai masa
kehamilan (SMK).
• Bayi kurang bulan:
- bayi kurang bulan tidak mempunyai waktu membentuk
cadangan glikogen. Bayi ini sering mengalami stres saat
persalinan dibanding dengan bayi cukup bulan. Cadangan
glikogen cepat terpakai saat lahir.
• Bayi lebih bulan:
- terjadi ↓ fungsi plasenta  asupan nutrisi dari ibu ke bayi
terbatas dan bayi mulai memakai cadangan glikogen untuk
kebutuhan metabolisme  saat lahir cadangan glikogen
menjadi lebih sedikit.
• Bayi sakit atau stres:
- stres intrauterin dapat terjadi saat janin (hipertensi, pre-
eklamsi/eklamsi, plasenta previa, gawat janin, hipotermia,
sepsis. Bayi perlu energi ekstra karena kecepatan metabolik tinggi
sehingga glikogen cepat habis terpakai.
• Bayi dipuasakan:
- bayi yang dipuasakan dapat terjadi hipoglikemia akibat
cadangan glikogen habis terpakai. Pemberian glukosa i.v.
penting pada bayi sakit dan bayi risiko tinggi.
• Bayi dengan sumbatan saluran cerna:
- penyebab sumbatan saluran cerna a.l. atresia, malrotasi
dengan volvulus, morbus Hirschprung, meconium plug
syndrome.
• Bayi dari ibu mengonsumsi obat-obatan tertentu yang
mengganggu metabolisme glukosa.
Bayi dengan faktor risiko hipoglikemia seperti itu disarankan
untuk dilakukan pemeriksaan gula darah setiap 30–60 menit
sampai kadar gula darah >45 mg/dL dalam 2 kali pemeriksaan
yang dapat dipercaya.
Gejala Hipoglikemia pada BBL
Tersering asimtomatis, gejala tidak spesifik

Gejala Umum Gejala Neurologis:


• high-pitched cry, menangis • iritabel;
lemah; • tremor;
• jittery;
• malas minum; • otot lemas;
• hipotermia; • letargi;
• diaforesis. • kejang.

Gejala kardiorespiratori:
• takipnea;
• apnea;
• sianosis.
Tata Laksana Hipoglikemia pada BBL

• Pada neonatus: diagnosis hipoglikemia sulit karena sering


gejala tidak jelas sehingga kunci penanganan hipoglikemia
melalui pemantauan gula darah pada bayi dengan risiko
hipoglikemia dan ↑ kadar glukosa darah menjadi normal agar
risiko gangguan perkembangan dapat diminimalkan. Pada saat
yang sama dicari etiologi hipoglikemia.
• Semua BBL yang berisiko tinggi hipoglikemia harus dipantau
gula darah pada usia 1 jam sesudah lahir, kemudian setiap 2–4
jam selama usia 48 jam pertama atau sampai pemberian
minum berjalan baik dan kadar glukosa yang normal tercapai.
* Hipoglikemia termasuk salah satu kondisi kegawatdaruratan
tersering pada jam-jam pertama kehidupan neonatus selain
hipoksia, gangguan sirkulasi, dan hipotermia.

* Hipoglikemia merupakan kegawatan karena glukosa adalah


sumber energi dan metabolisme terutama bagi otak.

* Pada bayi dengan ketidakcukupan glukosa dapat


menyebabkan pasokan energi ke otak berkurang dan
meningkatkan risiko trauma otak.
Pencegahan Hipoglikemia

• Menghindari faktor risiko yang dapat dicegah seperti


hipotermia.
• Pemberian makan enteral merupakan tindakan pencegahan
yang utama.
• Jika bayi berisiko hipoglikemia tidak mungkin menyusu maka
pemberian minum dimulai menggunakan pipa orogastrik
dalam waktu 1–3 jam sesudah lahir.
• BBL yang berisiko tinggi harus dipantau kadar GD sampai
asupan nutrisi penuh dan 3x pengukuran normal (>45 mg/dL)
yang diperiksa sebelum pemberian minum.
• Jika ini gagal  terapi i.v. glukosa 10% dan kadar GD dipantau.
• Pemberian cairan infus menggunakan penghitungan
kecepatan infus glukosa/glucose infusion rate (GIR). Secara
umum bayi cukup dengan GIR 4–5 mg/kgbb/menit. Pada bayi
hipoglikemia yang memerlukan infus pemberian glukosa
dengan GIR lebih tinggi (dapat 10–12 mg/kgbb/menit).
• GIR (mg/kgbb/menit= kec cairan (cc/jam)xkons.dekstose (%)
dibagi 6xberat badan (kg)
atau diplot menggunakan grafik.
• Pemantauan GD berkala selama perawatan untuk memastikan
kecukupan kadar GD. Bila asupan nutrisi sudah dapat
ditoleransi dan kadar GD sudah normal maka infus diturunkan
bertahap yang memerlukan waktu 4–48 jam.
Prinsip Tata Laksana BBL Risiko Hipoglikemia

• Mulai pemberian minum lebih awal/secepat-cepatnya dan


sesering-seringnya (early frequent feeding) pada bayi
berisiko tanpa gejala. Berikan minum pertama dalam usia 4
jam pertama.
• Berikan ASI secara langsung atau melalui pipa orogastrik
sesering-seringnya dan lakukan skrining GD berkala.
• Berikan glukosa 10% i.v. pada bayi yang masih puasa atau yang
toleransi minumnya tidak baik.
Prinsip Tatalaksana pada Bayi Sakit dan
Bergejala Hipoglikemia
• Bayi dipuasakan, mulai pemberian dekstrose 10% (tanpa
elektrolit) 60–80 mL/kgbb/hari melalui infus vena
perifer/vena sentral.
• Bila GD <45 mg/dL berikan D10% 2 mL/kgbb kecepatan 1
mL/menit dilanjutkan cairan rumatan D10% 80 mL/kgbb/hari.
Target GD 50–110 mg/dL.
• Bila hasil GD masih <45 mg/dL ulangi bolus D10% 2 mL/kgbb
dan berikan cairan rumatan D10% 100 mL/kgbb/hari.
• Bila kadar GD <50 mg/dL atau lebih rendah/tidak meningkat
sesudah 2x bolus maka berikan D10% 120 mL/kgbb/hari atau
konsentrasi dekstrose ↑ lebih dari 12,5%.
• Cek GIR dan ulang GD setiap 30 menit  evaluasi setiap 30–
60 menit hingga GD >50 mg/dL tercapai pada 2x pemeriksaan.
• Bila terjadi hipoglikemia persisten  dikonsulkan ke bagian
endokrin dan segera rujuk ke fasilitas yang lebih tinggi.
• Bila konsentrasi dekstrose diperlukan lebih tinggi dari D12,5%
maka dibutuhkan akses vena sentral dan jangan lupa
menambahkan 0,5–1 unit heparin/1 mL cairan infus.
Pemasangan Kateter Vena dan Arteri
Umbilikalis
• Pada bayi hipoglikemia yang memerlukan terapi gula darah i.v.
dengan konsentrasi >D12,5% perlu mendapat akses vaskular
sentral a.l. vena umbilikalis karena pemasangannya mudah,
relatif lebih murah, dan tidak invasif.
• Diingat bahwa pemasangan akses vena umbilikalis berisiko
tinggi infeksi bila tidak dilakukan secara aseptis.
• Tidak semua terapi atau cairan diperbolehkan diberikan
melalui akses ini.
• Siapkan peralatan untuk pemasangan kateter umbilikal dan
komunikasikan dengan keluarga tentang tindakan yang akan
dilakukan dan diminta persetujuannya.
Persiapan Tempat:
* siapkan ruangan yang bersih, hangat, tidak agin, dan terang;
* siapkan meja yang datar, rata, bersih, kering, dan hangat.

Persiapan Alat-alat:
• sediakan set alat pemasangan kateter umbilikal: gunting kecil,
pinset arteri, pinset chirurgis, duk klem, bisturi, gagang bisturi,
mangkuk kecil betadin masing-masing sebuah, dan 2 klem
bengkok kecil;
• penting disiapkan pinset ½ bengkok untuk memasukkan
kateter umbilikal;
• sediakan alat pelindung diri (sungkup wajah dan tutup kepala,
dan 2 pasang sarung tangan steril) dan gaun steril;
• sediakan alat ukur (meteran) untuk mengukur panjang kateter
yang akan dimasukkan;
• three way stopcock (1 panjang dan 1 pendek);
• semprit 10 mL (sebuah/three way);
• benang jahit nomor 3/0 + jarum;
• cairan infus + set infus;
• kateter arteri dan atau vena umbilikal;
• klorheksidin, bila tidak tersedia dapat diganti betadin dalam bak
steril dan kasa steril;
• cairan NaCl 0,9% 25 mL + heparin (1 IU/mL NaCl) dalam bak steril;
• cairan NaCl 0,9% 25 mL dalam bak steril;
• plester/micropore ukuran 5 cm dua buah. Ditulis “arteri” dan
“vena.”
Persiapan diri:
• lepaskan semua perhiasan dari tangan dan jari;
• kenakan alat pelindung diri (sungkup wajah dan tutup kepala);
• cuci kedua tangan pada air mengalir dengan sabun, lalu
keringkan dengan kain atau tisu bersih;
• pakai gaun steril dan sarung tangan steril.
Pemasangan Kateter
1. Ukur panjang kateter umbilikal yang diperlukan. Ukur dari bahu
sampai umbilikal dan plot ukuran pada grafik untuk mendapatkan
panjang umbilikal. Bila pada kondisi emergensi dan grafik panjang
umbilikal tidak dapat diperoleh, ukuran arteri dapat ditentukan
dengan pendekatan arteri: umbilikal sampai dengan pangkal bahu,
sedangkan vena: umbilikal sampai dengan proccesus xyphoideus +
1 cm (dilakukan oleh asisten).
2. Letakkan semua alat yang diperlukan pada meja dengan alas steril
yang mudah dijangkau (dibantu oleh asisten).
3. Sambung kateter dengan three way stopcock panjang dan pendek.
Atur arah three way untuk mengisi seluruh kateter dengan NaCl
0,9% + heparin (ambil 1 mL heparin lalu diencerkan 4x dan diambil
6 mL heparin dalam 3 mL NaCl), kemudian ditutup.
4. Fiksasi tangan dan kaki bayi dalam posisi ekstensi.
5. Lakukan tindakan aseptik dengan antiseptik pada umbilikal
dan di sekitarnya. Ujung umbilikal dipegang memakai kasa
steril yang sudah dibasahi dengan klorheksidin (bila tidak ada
diganti betadin).
6. Pasang duk berlubang.
7. Ikat longgar pangkal umbilikal dengan kasa steril.
8. Potong umbilikal 1 cm dari pangkal.
9. Cari dan bedakan antara vena dan arteri umbilikal.
10. Masukkan kateter vena ke dalam vena umbilikal sedalam
ukuran yang telah ditentukan. Pastikan kateter masuk ke
dalam vena dengan cara menarik darah melalui kateter.
11. Sebelum kateter arteri dimasukkan, dilatasi arteri dengan ujung
pinset.
12. Masukkan kateter vena ke dalam arteri umbilikal sedalam ukuran
yang telah ditentukan. Pastikan kateter masuk ke dalam arteri
umbilikal.
13. Saat eksplorasi arteri atau vena kadang terjadi pedarahan
dari arteri atau vena. Jangan panik! Segera lakukan
penekanan perut. Cara menekan perut untuk menghentikan
perdarahan dari vena dan arteri membutuhkan teknik yang
berbeda.
14. Fiksasi kateter dengan cara dijahit. Beri tanda warna merah untuk
arteri dan warna biru untuk vena dengan micropore.
15. Ujung kateter disambung dengan cairan yang telah disiapkan.
16. Singkirkan duk berlubang. Bebaskan kaki dari fiksasi. Umbilikal
tidak ditutup, ujung umbilikal diberi klorheksidin/betadin.
17. Lakukan foto abdomen untuk memastikan letak kateter (bila
mungkin). Posisi kateter vena yang disarankan adalah pada setinggi
diafragma atau torakal 12.

Buat catatan mengenai


- tanggal dan jam saat dilakukan pemasangan kateter umbilikal;
- kondisi bayi sebelum dan sesudah pemasangan kateter;
- tindakan yang dilakukan.
PENAPISAN INFEKSI
DAN SISTEM SKORING
Mengapa BBL Mudah Terinfeksi

• Janin hidup dalam lingkungan intrauterin pada lingkungan


yang terjaga sterilitasnya, meskipun demikian terdapat
beberapa mekanisme membuat situasi intrauterin menjadi
tidak steril.
• Lingkungan intrauterin dapat terinfeksi melalui beberapa
mekanisme: amnion tidak intak (ketuban pecah dini, trauma
pada amnion); infeksi/inflamasi jalan lahir ibu lalu diteruskan
ke dinding selaput amnion  selaput tersebut mengalami
peradangan  peradangan meluas  cairan ketuban, proses
infeksi dari sistemik ibu meluas melalui transplasental dan tali
pusat.
• Beberapa faktor risiko ibu yang berkontribusi kuat infeksi pada
BBL: ketuban pecah dini >18 jam; ibu menderita sakit (diare,
infeksi saluran kencing/ISK, pre-eklamsi/eklamsi, lesi herpes
simpleks genital, kolonisasi grup B streptokokus/GBS dalam
jalan lahir/rektum ibu, riwayat terinfeksi GBS sebelumnya,
TORCH, hepatitis B, HIV, varisela, atau penyakit virus lain);
leukosit ibu >15.000/mmᴣ; CRP ibu >9 mg/dL; ibu febris
>38⁰C. Faktor risiko janin: gawat janin dan bayi kurang bulan.
• Risiko tersebut  bayi semakin mudah terinfeksi seperti
faktor internal bayi sendiri juga masih sangat terbatas (sistem
imun belum sempurna).
• Kadar antibodi IgG yang rendah pada bayi kurang bulan:
transfer antibodi yang dimiliki ibu (IgG) kepada janinnya mulai
terjadi pada trimester ke-3 sehingga bayi yang lahir prematur
mempunyai antibodi sangat rendah.
• Molekul antibodi IgM terlalu besar melewati barier plasenta
sehingga semua bayi cukup bulan atau kurang bulan tidak
memiliki cukup IgM.
• Pada bayi sakit atau bayi kurang bulan tidak dapat dihindari
prosedur invasif seperti intubasi, pemasangan ventilator,
CPAP, cairan infus rumatan, nutrisi parenteral bahkan
pemasangan orogastrik berisiko infeksi bila tidak dilakukan
secara higienis.
• Infeksi lokal dapat memicu infeksi sistemik bila tidak dirawat
baik (konjungtivitis, kolonisasi kulit oleh stafilokokus, dll.)
Bakteri dan Virus Penyebab Infeksi

Infeksi Bakteri Infeksi Virus


• Bakteri gram positif: • influenza virus, parvo b
- grup B streptokokus/GBS; virus, adenovirus, rotavirus.
- S. aureus, S. epidermidis • TORCHS (T: toxoplasma, O:
• Bakteri gram negatif: other (varicella, coxsackie,
HIV), R: rubella, C:
- E. coli, Serratia sp., E. cytomegalovirus, H: herpes
aerogenes, Klebsiella sp., simplex, S: syphilis.
Acinetobacter, • Semua infeksi virus
Pseudomonas sp. tersering saat intrauterin.
• Infeksi pada BBL dapat terjadi pada onset awal (early onset
sepsis/EOS) atau onset lambat (late onset sepsis/LOS)/infeksi
yang didapat dari rumah sakit/infeksi nosokomial.
• EOS sering  kematian pada BBL pada usia 7 hari pertama.
• BBL dengan LOS sering  perawatan ↑
• Menjadi problem pada penanganan BBL yang dicurigai infeksi
ini karena keterbatasan pemeriksaan kultur bakteri di layanan
kesehatan di Indonesia. Sampai saat ini belum ada deteksi
terhadap semua virus. Hanya virus tertentu yang dapat
dideteksi: hepatitis B, HIV, TORCH.
Gejala Klinis Infeksi pada BBL

• Gejala klinis infeksi pada BBL tidak spesifik.


• Gejala klinis infeksi dapat berupa:
- kesulitan bernapas (merintih, pernapasan cuping hidung,
retraksi, takipnea, atau serangan apnea);
- takikardia atau bradikardia (tersering takikardia) dan
hipotensi yang tidak dapat dijelaskan;
- suhu tidak stabil, terdapat minimal 2 episode suhu
abnormal (tersering hipotermia). Hipertermia sering lebih
banyak berkaitan dengan suhu lingkungan yang tinggi atau
pemasangan kateter infus yang lama (>10 hari).
- kutis marmorata, pucat, pengisian kapiler terlambat (>3
detik);
- malas minum sampai tidak mau menetek, perut kembung,
muntah, intoleransi minum (ada sisa minum);
- bayi letargi, iritabel, bahkan sampai kejang;
- ikterus;
- tanda infeksi lokal di kulit (bengkak, kemerahan, teraba
hangat, pustula) dan konjungtivitis (mata merah, bengkak,
berair, dan berisi pus).
Hasil Pemeriksaan Laboratorium

• Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk


membantu menegakkan diagnosis infeksi: darah rutin, CRP (C-
reactive protein), prokalsitonin, interleukin, kultur bakteri,
deteksi virus, dsb.
• Hanya dibicarakan pemeriksaan yang mudah dan
memungkinkan dilakukan di semua layanan kesehatan di
Indonesia: darah rutin (leukosit, neutrofil, trombosit), hitung
jenis, rasio sel muda terhadap jumlah neutrofil, pemeriksaan
laboratorium tambahan (GD, analisis gas darah/AGD).
• Darah perifer: nilai diagnostik untuk leukosit, trombosit, dan
hitung jenis sel terhadap infeksi tidak spesifik. Namun, nilai
diagnostik ↑ bila dilakukan pada usia >12 jam dan serial (usia
24–36 jam).
• Nilai darah perifer yang lebih bermakna untuk diagnosis
infeksi adalah
- leukopenia;
- neutropenia: berbeda pada setiap usia;
- rasio sel muda terhadap jumlah neutrofil (rasio imatur:total
(IT) >0,2 mempunyai nilai diagnostik yang tinggi. Pada rasio
IT <0,2 tidak dapat dikatakan bayi bebas dari infeksi;
- trombositopenia: dapat <100.000/uL. Awasi tanda-tanda
perdarahan, misal perdarahan yang tidak berhenti pada
bagian yang disuntik, perdarahan subkutan (memar,
petekia), perdarahan paru, perdarahan saluran cerna.
Trombositopenia sering pada infeksi bakteri gram negatif.
Absolute Neutrophil Count (ANC): C-Reactive Protein (CRP):
untuk mengetahui seberapa banyak adalah penanda inflamasi yang
neutrofil yang tersedia untuk dapat meningkat pada
melawan infeksi bakteri. Biasanya peradangan/infeksi. Nilai CRP
jumlah neutrofil pada bayi kurang mempunyai nilai diagnostik infeksi
bulan < bayi cukup bulan. yang baik bila dilakukan serial dan
usia >12 jam.
WBC (mmᴲ) x % neutrofil = ANC Dicurigai infeksi bila nilai CRP >10
atau CRP >6 atau menunjukkan
Gula Darah: peningkatan pada serial berikutnya.
Pengulangan disarankan dalam
Hipoglikemia atau hiperglikemia rentang usia bayi 24–36 jam atau
sering ditemukan pada bayi infeksi. setelah 12–24 jam pemeriksaan
Mekanisme belum dapat dijelaskan CRP sebelumnya.
secara pasti.
Pemeriksaan Lab Lainnya: atas
Analisis Gas Darah: indikasi.
Pada kasus berat asidosis Feses, urine, pungsi lumbal, fungsi
metabolik ginjal/hati, faktor pembekuan
darah.
Kapan Mendiagnosis Infeksi pada BBL

• Pada awalnya diagnosis infeksi pada BBL masih pada diagnosis


kecurigaan infeksi/suspek infeksi.
• Baku emas untuk diagnosis infeksi adalah kultur darah, namun
sayangnya hasil pemeriksaan kultur darah tidak dapat
diperoleh segera, selain itu tidak semua unit layanan
kesehatan mempunyai fasilitasnya.
• Pada bayi dengan gejala infeksi dan didiagnosis sebagai infeksi
segera diberikan antibiotik dapat dibenarkan dengan
beberapa pertimbangan: penundaan antibiotik pada bayi yang
ternyata betul infeksi dapat berakibat fatal; infeksi virus sulit
ditegakkan karena vasilitas laboratorium tidak selalu
memungkinkan; hasil biakan darah menunjukkan
pertumbuhan bakteri 48–72 jam sesudah dibiak.
Apa yang Dilakukan Bila Menjumpai Bayi
Dicurigai Infeksi?
• Disarankan melakukan observasi pada bayi yang mempunyai
risiko infeksi.
• Penapisan pemeriksaan infeksi disarankan pada
- bayi dengan risiko infeksi walaupun tanpa gejala klinis:
berisiko bila mempunyai minimal 2 risiko infeksi, baik risiko
ibu atau bayi meskipun tanpa disertai gejala klinis atau hasil
laboratorium abnormal;
- bayi dengan gejala klinis menyerupai infeksi dengan atau
tanpa didapatkan risiko infeksi.
Di unit layanan kesehatan dengan fasilitas terbatas kecurigaan
infeksi dapat ditegakkan dengan melakukan skoring yang
nilainya didapat berdasar atas pemeriksaan darah sederhana.
Skoring ini juga dipakai untuk pendekatan kebijakan terapi
antibiotik untuk sementara sebelum bayi dirujuk ke tingkat
layanan kesehatan yang lebih tinggi.
Kriteria Nilai Abnormal (uL) Skor

Jumlah leukosit ≤5.000 1


≥25.000 (saat lahir)
≥30.000 (usia 12–24 jam)
≥21.000 (usia >24 jam)
Jumlah PMN Tidak ada PMN matur 2
Meningkat/turun
PMN imatur Meningkat 1
Rasio imatur/total (rasio I:T) Meningkat 1
Rasio imatur/matur (rasio I:M) ≥0,3 1
Perubahan degenerasi PMN Granula toksik/sitoplasmik 1
vakuola
Hitung trombosit ≤150.000/uL 1
Interpretasi Skor Kriteria Hematologi Diagnosis Sepsis

Skor Interpretasi

≤2 Tidak ada infeksi

3–4 Ada kemungkinan infeksi

≥5 Kecurigaan kuat infeksi


Terapi Antibiotik

• Jika bayi dicurigai menderita infeksi sistemik ambil kultur darah (bila
mungkin)  segera diberikan antibiotik.
• Jangan menunggu hasil laboratorium dan kultur untuk memulai
pemberian antibiotik.
• Antibiotik yang dipilih harus efektif untuk bakteri gram negatif
maupun gram positif sebelum diketahui bakteri penyebabnya.
• Pilihan antibiotik yang dianjurkan adalah
Ampisilin plus Gentamisin
(bakteri gram positif) (bakteri gram negatif)
• Gentamisin i.v. perlahan selama 30 menit. Hindari secara bolus
untuk meminimalkan efek samping oto/nefrotoksisitas.
• Ampisilin dapat diberikan dengan tetesan lambat.
• Komite Pencegahan dan Penanganan Infeksi di setiap rumah
sakit harus memonitor organisme penyebab tersering.
• Jika hasil biakan darah ditemukan bakteri yang resisten
terhadap antibiotik lini pertama maka pemberian antibiotik
harus diganti yang disesuaikan dengan hasil sensitivitas
terhadap antibiotiknya.
• Terapi antibiotik diberikan selama 7–10 hari, namun bila
dalam 48–72 jam tidak didapatkan pertumbuhan bakteri 
antibiotik dihentikan selama klinis bayi terdapat perbaikan.
DETEKSI DINI PROBLEM
PERNAPASAN DAN TATA
LAKSANA STABILISASI
PERNAPASAN
PENDAHULUAN

• Kesulitan bernapas adalah alasan tersering BBL dirujuk untuk


perawatan di ruang NICU.
• BBL dengan sesak napas yang tidak segera ditangani  fatal karena
gagal napas dan kematian.
• Dukungan ventilasi serta reoksigenasi sangat penting dan bila tidak
optimal  tubuh akan makin hipoksemia (↓ kadar oksigen dalam
darah/PaO₂=partiel oksigen), hipoksia (↓ oksigenasi jaringan),
metabolisme tanpa melibatkan oksigen (metabolisme anaerob),
dan pada tingkat lanjut  kematian sel.
• Pada bayi yang penanganannya terlambat, namun dapat
diselamatkan tidak sedikit mempunyai problem pada kehidupan
selanjutnya (displasia bronkopulmonar, perkembangan terlambat).
Mengapa BBL Mudah Kesulitan Bernapas
• Saat kehidupan janin, paru relatif tidak berfungsi dan fungsi
pernapasan diambil alih oleh plasenta.
• Segera sesudah lahir bayi dipisahkan dari plasenta dan paru harus
segera mempunyai kemampuan melakukan proses pertukaran
oksigen dan CO₂.
• Proses pernapasan di paru dapat berjalan baik bila
- alveoli paru senantiasa mengembang;
- elastisitas alveoli baik  bayi dapat bernapas dengan efektif;
- tahanan pembuluh darah paru rendah  memungkinkan
aliran darah dari jantung kanan dapat mengalir sepenuhnya ke
paru;
- tidak ada jarak yang lebar antara dinding alveoli dan pembuluh
darah paru  terjadi proses difusi dengan mudah.
• Pada BBL yang tidak bernapas, resusitasi pada menit pertama
sangat penting. Ventilasi tekanan positif saat resusitasi diberikan
dengan tujuan agar bayi tidak jatuh dalam kondisi hipoksia yang
berat serta menstimulasi otak untuk  upaya napas spontan.
• Beberapa bayi pascaresusitasi masih memerlukan dukungan
ventilasi berikutnya. Hal ini disebabkan oleh asfiksia yang terjadi
merupakan fenomena karena masalah sebelumnya pada saat
kehidupan intrauterin dan  kelainan paru sbb.:
- alveoli mudah kolaps akibat defisiensi surfaktan;
- elastisitas alveoli ↓ akibat defisiensi/disfungsi surfaktan,
endapan mekonium/peradangan pada dinding alveol;
- tahanan vaskular paru masih tinggi akibat vaskular paru
masih relatif konstriksi/perubahan primer dinding vaskular paru.
- jarak antara dinding alveoli dan kapiler paru yang jauh
akibat imaturitas struktur jaringan paru.
• Namun, tidak semua bayi dengan kesulitan bernapas
mempunyai masalah primer di paru.
• Secara garis besar bayi dengan kesulitan bernapas dapat
disebabkan oleh
- problem obstruksi (udara pernapasan menuju alveoli
terhambat);
- problem jaringan paru;
- problem nonparu (sepsis berat, mekanis karena abdomen
cembung, dan paralisis/eventrasio diafragma).
Bayi Baru Lahir yang Berisiko Kesulitan
Bernapas
• Bayi kurang bulan <33 minggu, bayi dari ibu DM yang tidak
terkontrol.
• Bayi dengan aspirasi mekonium, bayi dari ibu dengan
kecurigaan amnionitis.
• Bayi yang dilahirkan secara SC.
• Bayi dari ibu dengan riwayat polihidramnion.
• Bayi dengan problem sumbatan jalan napas (atresia koane,
sumbatan jalan napas oleh lidah seperti pada bayi sindrom
Pierre Robin, hipersekresi bronkus pada bayi, trakeomalasia,
dsb.
• Bayi dengan sumbatan saluran cerna bagian bawah dan bayi
dengan infeksi sistemik.
Gejala Klinis Problem Pernapasan

1. Bayi sudah mengalami gagal napas.


2. Bayi mengalami sesak napas/kesulitan bernapas/distres
napas.
Sangat penting membedakan antara bayi distres napas dan
sudah gagal napas karena penanganannya sangat berbeda.
Tanda-tanda gagal napas adalah apnea atau napas megap-
megap (gasping). Bayi seperti ini sering disalahinterpretasi
sebagai distres pernapasan. Pernapasan megap-megap atau
bradipnea sudah tidak dapat menghasilkan proses
pertukaran gas yang adekuat.
• Kesulitan bernapas/distres pernapasan/sesak napas dapat
memberikan salah satu atau kombinasi gejala-gejala di bawah
ini:
- takipnea (laju pernapasan >60x/menit);
- kerja otot bantu napas ↑ (retraksi interkostal, retraksi
substernal, retraksi epigastrik);
- napas cuping hidung;
- sianosis;
- merintih (grunting).
• Gejala klinis bayi dengan kesulitan bernapas dapat tunggal
atau gabungan beberapa gejala. Selain itu, terdapat juga
gejala nonparu seperti takikardia, bradikardia (pada kondisi
lanjut), dan hipotensi (pada kondisi lanjut).
• Beberapa problem pernapasan dengan melakukan anamnesis
dan pengamatan yang cermat pada gejala yang ada dapat
membantu menemukan penyebabnya.
• Tidak semua gejala kesulitan bernapas adalah gejala abnormal
pernapasan seperti sianosis. Sianosis perifer (hanya pada
ekstremitas) lebih menggambarkan hipotermia. Sebaliknya,
sianosis sentral (sianosis pada bibir, sekitar bibir, mukosa
mulut dapat meluas sampai dada) lebih mencerminkan akibat
problem pernapasan.
Apa yang Harus Dilakukan pada Bayi Kesulitan
Bernapas
• Pertama yang dilakukan dalam stabilisasi terhadap setiap
bayi dengan problem pernapasan sama halnya dengan
langkah pada proses resusitasi, yaitu melakukan langkah awal
meliputi:
- menghangatkan;
- mengeringkan bayi (bila basah);
- menyingkirkan kain yang basah;
- memberi stimulasi (mengusap punggung atau menyentil
telapak kaki) sambil dilakukan reposisi kepala untuk
membuka jalan napas.
Membuka Jalan Napas

• Posisikan bayi telentang dan kepala bayi menghidu (posisi


setengah ekstensi) untuk membuka jalan napas. Bila perlu
dapat digunakan ganjal bahu.
• Bersihkan jalan napas: jika terdapat lendir atau muntahan di
dalam mulut atau hidung, bersihkan jalan napas dengan cara
mengisap mulut dulu kemudian lubang hidung. Jika cairan
amnion bercampur mekonium pada BBL atau ada aspirat lain
misalnya air susu  segera lakukan pengisapan langsung
pada trakea.
• Stimulasi taktil yang direkomendasikan meliputi menggosok
punggung dan menyentil telapak kaki.
Gejala Klinis Kesulitan Bernapas pada Kasus Spesifik
Gejala Klinis Evaluasi Kemungkinan Peyebab
Takipnea Cek tanda vital, riwayat Kemungkinan terjadi pada
perinatal, foto toraks.*isap semua problem napas.
lendir.

Auskultasi: sulit atau Masukkan kateter Ada sumbatan jalan napas oleh
tidak terdengar suara pengisap sonde untuk lendir.
napas evaluasi sumbatan koana. Sumbatan koana.
Jika ada sindrom Pierre Sindrom Pierre Robin.
Robin posisikan tengkurap.

Ketuban bercampur Isap jalan napas segera Hati-hati kemungkinan


mekonium setelah bayi lahir. mekonium sudah berada di jalan
Bila bayi tidak bugar: isap napas.
mekonium dari trakea
melalui pipa endotrakeal.

Suara napas menurun, Transiluminasi, foto Pneumotoraks.


sianosis mendadak, toraks.*
pergerakan dinding
dada kesan asimetris
Gejala Klinis Kesulitan Bernapas pada Kasus Spesifik
Gejala Klinis Evaluasi Kemungkinan Peyebab
Merintih adalah tanda Foto toraks.* Mengindikasikan alveoli yang
predominan kaku, paru dengan komplian
yang buruk.
Sianosis sentral Beri oksigen, foto toraks.* Indikasi saturasi oksigen di dalam
darah yang rendah
Bayi pucat, perfusi jelek, Skrining infeksi, ukur TD rendah, kehilangan volume
nadi lemah tekanan darah, CRT. tubuh, sepsis.

Abdomen cekung Pasang OGT, dekompresi Kemungkinan hernia


lambung,. Bila sesak: diafragmatika
intubasi dan VTP, posisi
kepala lebih tinggi 45⁰C.
Lendir saluran napas Pasang OGT, isap lendir Kemungkinan TEF.
berlebihan jalan napas, posisi kepala
lebih tinggi, foto toraks.*
• Setelah langkah awal dilakukan segera evaluasi apakah bayi masih
tetap mempunyai problem pernapasan atau tidak. Penilaian
meliputi menilai bayi upaya napas, laju jantung/menit, tanda
kesulitan bernapas, dan ada tidaknya sianosis.
• Langkah berikutnya adalah sbb.:
1. mengatasi kesulitan bernapas: perbaiki oksigenasi dan pantau
saturasi oksigen darah, perbaiki sirkulasi darah ke paru,
minimalkan kebutuhan oksigen;
2. cari penyebab, pertimbangkan DD yang paling mungkin: berapa
usia gestasi bayi (kemungkinan infeksi, polihidramnion), riwayat
persalinan (jenis persalinan, riwayat gawat janin), riwayat
resusitasi (apakah dapat VTP dengan tekanan tinggi), bila mungkin
periksa AGD, foto toraks, transiluminasi.
Mengatasi Problem Pernapasan
Terdapat 2 cara pemberian dukungan ventilasi pada BBL:
1. Continuous positive airway pressure (CPAP)
2. Ventilasi tekanan positif (VTP)
Continuous positive airway pressure (CPAP)
• Tidak semua BBL dengan kesulitan bernapas memerlukan
oksigen. Pada BBL proses adaptasi paru sedang berjalan.
Proses perubahan isi alveoli dari cairan (saat kehidupan janin)
menjadi sepenuhnya digantikan oleh udara memerlukan
waktu.
• Proses penyerapan cairan menuju ruang interstitial paru
memerlukan tekanan positif. Itulah sebabnya tangisan
pertama dan tangisan berikutnya yang adekuat saat setelah
lahir sangat penting. Pada bayi yang tidak menangis kuat dan
tidak mendapat resusitasi adekuat, proses penyerapan cairan
alveoli dapat terganggu  selanjutnya bayi mengalami
kesulitan bernapas.
* Pada bayi kurang bulan, terutama usia kehamilan <33 mgg
akibat belum sempurna pembentukan surfaktan walaupun
bayi menangis di awal lahir, alveoli mudah mengempis
(kolaps/atelektasis) pada saat bayi selesai ekspirasi. Tekanan
positif intra-alveolar saat akhir ekspirasi maksimal disebut
positive end expiratory pressure (PEEP).
• Pada bayi tanpa problem pernapasan besaran PEEP yang
dibutuhkan lk. 5 mmHg pada bayi cukup bulan dan 4 mmHg
pada bayi kurang bulan.
• Target utama CPAP: meningkatkan volume udara sisa
pernapasan (kapasitas residu fungsional/FRC=functional
residue capacity) pada PEEP intra-alveoli dan udara di jalan
napas.
Terdapat rongga pernapasan yang terbuka stabil dan alveoli
yang senantiasa mengembang akan mengakibatkan:

• proses pernapasan dapat terjadi dengan mudah (komplians


paru membaik);
• pengembangan alveoli membuat dinding alveoli menipis dan
memudahkan transfer tekanan positif antara alveoli dan
kapiler paru. Tekanan positif ini sangat diperlukan untuk
memutus ikatan Hb-CO₂ menjadi Hb-O₂, dengan kata lain
proses pertukaran gas menjadi lebih baik;
• mencegah alveoli paru kolaps dan reatelektasis;
• mempertahankan surfaktan;
• mempertahankan stabilitas diafragma.
Target utama pemberian CPAP adalah
meningkatkan volume udara sisa pernapasan
(kapasitas residu fungsional/FRC) intra-alveoli
dan di jalan napas
Karena CPAP hanya berdampak pada
peningkatan kapasitas residu fugsional maka
CPAP hanya diindikasikan pada semua bayi
baru lahir dengan kesulitan bernapas, namun
masih dengan napas spontan.

Sebagian udara CPAP ada yang masuk lambung,


oleh sebab itu CPAP tidak direkomendasikan
pada bayi dengan dugaan NEC dan sumbatan
saluran cerna.
Komponen CAAP Meliputi

1. sumber tekanan, idealnya oksigen yang dititrasi (blender


oksigen). Bila tidak ada blender oksigen dapat menggunakan
sumber udara dikombinasikan dengan sumber oksigen,
masing-masing dengan pengukur aliran (flow meter). Aliran
yang diberikan biasanya 5–12 liter/menit, namun aliran ini
bergantung pada jenis CPAP yang dipakai. Penting aliran
udara dihangatkan dan dilembapkan terlebih dahulu;
2. sirkuit pernapasan;
3. penghubung ke wajah bayi (interface). Dapat berupa sungkup
(sungkup wajah, sungkup laring) dan nasal prong. Sungkup
wajah tidak direkomendasikan pada proses stabilisasi karena
risiko kebocorannya yang besar. Pada resusitasi sungkup
wajah dapat dipakai karena pemakaiannya tidak lama.
Nasal prong double pendek lebih direkomendasikan daripada
nasal prong double yang panjang. Namun, hal ini belum dapat
dibuktikan secara ilmiah dengan kuat. Nasal prong double
lebih efektif dalam mencegah kebocoran dibanding dengan
nasal prong single sehingga ETT (endotracheal tube) tidak
direkomendasikan dalam pemberian CPAP (continuous
positive airway pressure);
4. pengatur tekanan PEEP (positive end-expiratory pressure).
Beberapa alat yang sering dipakai sebagai CPAP maupun VTP
pada proses stabilisasi BBL

1. CPAP (continuous positive airway pressure) bubble.


2. T-piece resuscitator.
3. Balon tidak mengembang sendiri (BTMS).
4. CPAP driver.
5. Ventilator.
Tiap-tiap alat tersebut mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Disarankan pemilihan alat CPAP disesuaikan
dengan fasilitas yang ada, kemampuan, sumber daya
manusia dalam menggunakannya, serta tidak melupakan
kenyamanan bayi dan kemudahan perawat untuk merawat
bayi.
Komplikasi CPAP

• Cedera pada hidung, misalnya erosi pada septal nasi dan nasal
snubbing. Penggunaan nasal prong atau sungkup wajah CPAP dapat
 erosi pada septal nasi, sedangkan pemakaian CPAP dalam jangka
waktu yang lama  snubbing hidung.
• Pneumotoraks sering berkaitan dengan PEEP >10 mmHg.
• Impedasi aliran darah paru. Terjadi karena ↑ resistensi vaskularisasi
paru dan ↓ volume sekuncup jantung yang disebabkan oleh ↑
tekanan intratorakal akibat PEEP yang terlalu tinggi/tidak sesuai.
• Distensi abdomen (CPAP Belly syndrome). Risiko terjadi distensi
abdomen dapat dikurangi dengan dekompresi lambung. Walau
jarang CPAP dapat  perforasi gaster.
• Nasal prong atau sungkup wajah pada CPAP  ketidaknyamanan
bayi sehingga terjadi agitasi dan kesulitan tidur pada bayi.
Pemantauan bayi Dalam CPAP

1. Evaluasi tanda vital bayi, perfusi sentral, perifer, dan tekanan


darah.
2. Respons neurologis (tonus otot, kesadaran, dan respons
terhadap stimulus) dan gastrointestinal (distensi abdomen,
kontur usus, dan bising usus).
3. Isap lendir sebaiknya dilakukan dari permukaan rongga
hidung menggunakan kateter nasal. Isapan tidak
direkomendasikan sampai mengenai mukosa hidung bagian
dalam karena akan memicu perdarahan. Isap lendir berdasar
atas kebutuhan bayi. Peningkatan upaya napas, kebutuhan
oksigen, dan apnea atau bradikardia dapat disebabkan oleh
lendir berlebih. Untuk melunakkan konsistensi lendir dapat
dipakai NaCL 0,9%.
4. Selama penggunaan CPAP harus selalu dipantau apakah alat
selalu berfungsi dengan baik dan tidak terjadi perburukan
pada kondisi bayi yang harus menghentikan penggunaan
CPAP.
5. Bayi dengan CPAP bukan kontraindikasi pemberian minum.
Namun, harus diingat TIDAK diperkenankan bayi mendapat
nutrisi langsung lewat mulut dan sebaiknya diberikan melalui
sonde.
Bayi Dinyatakan Mengalami Kegagalan CPAP

1. Kebutuhan FiO₂ >40% pada PEEP sudah mencapai 8 mmHg.


2. Bila analisis gas darah dapat dilakukan: asidosis respiratorik
dengan PaCO₂ >60 mmHg.
3. Terlihat upaya bernapas bayi yang tinggi (retraksi yang
semakin lama semakin meningkat dan menunjukkan
kelelahan pada bayi).
4. Sering mengalami apnea dan bradikardia.
Ventilasi Tekanan Positif (VTP)

• VTP diberikan bila bayi mengalami apnea atau megap-megap


atau denjut jantung <100 denyut/menit.
• Jika dilakukan dengan benar, VTP akan efektif membantu
hampir semua BBL yang apnea atau bradikardia. Keberhasilan
VTP ditandai dengan pengembangan dada dan peningkatan
denyut jantung.
• Pemberian VTP dapat dengan balon mengembang sendiri,
balon tidak mengembang sendiri, dan T-piece resucitator.
Cara melakukan VTP dengan Balon dan
Sungkup
1. Pastikan posisi bayi menghidu.
2. Pasang sungkup dan periksa perlekatannya:
- pasang sungkup sehingga menutup dagu, mulut, hidung;
- rapatkan sungkup ke muka dengan menekan bantalan sungkup
ke bawah secara ringan;
- pompa balon dengan 2 jari atau tangan bergantung pada ukuran
balon;
- periksa perlekatan dengan cara memompa balon 2x dan amati
pengembangan dada.
3. Bila sungkup telah melekat erat dan ada gerakan dada naik turun
waktu balon dipompa, pompa bayi dengan udara kamar.
4. Pertahankan frekuensi pemompaan dengan tepat (40–60x/menit.) dan
tekanan yang tepat (dengan mengamati pengembangan dada):
- jika dada mengembang berarti tekanan ventilasi adekuat;
- jika dada tidak mengembang:
. periksa ulang perlekatan sungkup, posisi bayi;
. jika masih belum mengembang lakukan isap lendir, buka
mulut, dan tambah tekanan pompa balon lebih kuat
untuk meningkatkan tekanan ventilasi;
. jika dada masih belum mengembang juga pertimbangkan
intubasi.
5. Pompa balon selama 30 detik, lalu hentikan dan secepatnya
periksa denyut jantung, napas spontan, dan saturasi:
- jika frekuensi napas 30–60x/mnt dan denyut jantung
>100x/menit hentikan ventilasi;
- jika ditemukan sianosis sentral (bibir dan lidah biru),
tarikan dinding dada, suara merintih atau frekuensi napas
20–30x/menit lanjutkan ventilasi dengan balon dan
sungkup serta kelola sebagai kesulitan bernapas;
- jika bayi megap-megap, tidak bernapas, atau frekuensi
napas <20x/menit, atau denyut jantung <100x/menit,
teruskan ventilasi dengan balon dan sungkup.
6. Jika bayi mulai bernapas, hentikan pemberian ventilasi, amati
frekuensi napas selama 5 menit:
- jika frekuensi napas 30–60x/mnt dan denyut jantung >100x/
mnt, hentikan ventilasi, pantau saturasi;
- jika ditemukan sianosis sentral (bibir dan lidah biru), retraksi
dada, suara merintih, atau frekuensi napas <40x/menit,
lanjutkan ventilasi dengan balon dan sungkup serta kelola
sebagai kesulitan bernapas;
- jika bayi megap-megap, tidak bernapas, atau frekuensi
napas <40x/menit atau denyut jantung <100x/mnt, teruskan
ventilasi dengan balon dan sungkup.
Beberapa Pertimbangan Mengapa Intubasi
Trakea Perlu Dilakukan
• Jika ventilasi melalui sungkup wajah tidak berhasil (laju
denyut jantung tetap <100x/menit, saturasi oksigen gagal naik
meskipun dengan oksigen 100% atau pada VTP yang
berkepanjangan).
• Pada keadaan khusus seperti hernia diafragmatika atau berat
lahir bayi amat rendah.
• Untuk bayi yang lahir dengan denyut jantung <100x/menit.
• Laringoskop untuk BBL harus memiliki daun lurus/Miller
dengan ukuran 1 (10 cm) untuk bayi cukup bulan, ukuran 0
(7,5 cm) untuk bayi kurang bulan, dan ukuran 00 (6 cm) untuk
bayi sangat prematur (<28 minggu).
• Penting disiapkan forseps Magill dan anestesi topikal pada
pipa endotrakeal bila intubasi dilakukan melalui hidung.
• Sesuaikan ukuran pipa ET dengan bayinya:
- pipa diameter 2,5 mm untuk bayi BBL <1.000 g
- pipa diameter 3,0 mm untuk bayi BBL 1.000–2.000 g
- pipa diameter 3,5 mm untuk bayi BBl 2.000–3.000 g
- pipa diameter 3,5–4,0 mm untuk bayi BBL >3.000 g
Bila VTP Diberikan Terlalu Lama
(Berkepanjangan)
• Pada bayi dengan VTP yang berkepanjangan pastikan udara
lambung tidak menghambat pengembangan paru. Segera pasang
kateter orogastrik (OGT) dan segera isap udara lambung setelah
kateter terpasang.
Langkah-langkah pemasangan pipa orogastrik
1. Ukur panjang pipa yang akan masuk (ukur dari pangkal hidung,
tragus telinga sampai umbilikal. Hasil yang terukur DIKURANGI 2
cm).
2. Masukkan pipa dengan lembut. Setelah masuk sampai ukuran
berada di bibir, tes apakah pipa sudah benar berada di lambung
dengan memasukkan udara melalui semprit 10 mL dan dengarkan
dengan stetoskop. Tempatkan stetoskop di atas lambung bila
terdengar suara udara maka artinya kateter berada di lambung.
* Bila intubasi tidak dapat dilakukan, sungkup laring sebagai pilihan.
Sungkup laring (laryngeal mask airway/LMA) dinilai sebagai alat
yang mudah dipasang oleh siapa saja dan cukup praktis karena tidak
memerlukan alat bantu.
• Melalui sungkup laring pemberian dukungan CPAP atau ventilasi
tekanan positif. Sayangnya, sungkup tersebut untuk BBL hanya 1
ukuran dan hanya dapat dipakai pada BBL >32 mgg.
• Sungkup laring berbentuk lonjong dengan bagian tepi yang dapat
dikembangkan dan sangat lunak. Pemasangannya menggunakan jari
telunjuk menyusuri langit-langit keras hingga ujung sungkup
mencapai epiglotis. Sesudah LMA berada pada tempatnya tepi
sungkup dikembangkan. Sungkup ini akan menjaga laring tetap
terbuka dan tepi sungkup akan mengikuti bentuk hipofaring
sehingga esofagus akan terdorong tertutup oleh tekanan ringan dari
tepi sungkup yang mengembang.
• Sungkup laring ini dapat digunakan untuk memberikan CPAP
atau juga memberikan VTP. Cara ini lebih efektif dibanding
dengan CPAP atau VTP melalui sungkup wajah karena sungkup
laring tidak memerlukan perlekatan yang erat dengan wajah.
Selain itu, risiko tidak efektifnya VTP akibat mulut yang tidak
terbuka atau lendir di rongga mulut dapat dikurangi dengan
metode ini.
• LMA ini mempunyai adaptor berukuran 15 mm yang dapat
dihubungkan dengan balon resusitasi atau ventilator.
• Keterbatasan sungkup laring:
- tidak dapat digunakan untuk mengisap cairan mekonium;
- tidak dapat dipakai untuk memberikan obat intratekal;
- tidak dapat dipakai untuk pemakaian resusitasi jangka
panjang.
Mempersiapkan LMA
• Memakai sarung tangan dan mengikuti prosedur standar tindakan
steril.
• Keluarkan LMA nomor 1 dari tempatnya dengan steril.
• Pastikan sungkup, midline aperture bar, tabung saluran napas,
konektor nomor 15, dan balon pilot dalam keadaan baik.
• Sambungkan tabung jarum suntik dengan balon pilot dan isilah tepi
sungkup dengan udara 4 mL untuk mengujinya. Kempiskan kembali
tepi sungkup dengan tabung jarum suntik yang sama.
• Bersiap memasang LMA, yaitu memposisikan bayi dengan posisi
menghidu seperti akan melakukan intubasi endotrakeal.
• Peganglah alat ini seperti memegang pensil dengan jari telunjuk
berada di sambungan antara sungkup dan tabung saluran napas.
Bagian terbuka dari sungkup menghadap ke depan, sedangkan
bagian yang rata dan tidak terbuka menghadap palatum bayi.
• Beberapa klinisi menggunakan pelumas berbasis air pada saat
pemasangan LMA. Bila menggunakan pelumas jangan sampai
mengenai bagian terbuka dari sungkup.
• Memasukkan LMA, yaitu secara perlahan buka mulut bayi, lalu
gerakkan ujung sungkup menyusuri dinding palatum durum.
• Gunakan jari telunjuk untuk meratakan ujung sungkup menyusuri
palatum durum dan pastikan ujung sungkup tidak menggulung;
• Gunakan jari telunjuk dengan lembut untuk memasukkan alat
menyusuri palatum durum menuju kerongkongan. JANGAN KASAR.
Gerakkan ujung sungkup hati-hati saat melewati lidah masuk ke
hipofaring hingga terasa tahanan.
• Sebelum mengeluarkan jari telunjuk pertahankan alat pada
tempatnya dengan jari lain. Hal ini agar alat tidak tertarik keluar
saat jari telunjuk dikeluarkan. Pada saat ini ujung LMA berada dekat
jalan masuk esofagus.
• Kembangkan tepi sungkup dengan udara sebanyak 2–4 mL. Sungkup
dikembangkan dengan udara secukupnya sehingga melekat erat
dengan dinding laring. Jangan memegang tabung saluran napas
pada saat tepi sungkup dikembangkan. Pada saat pengembangan
sungkup akan tampak alat bergerak keluar. Hal ini adalah normal.
Jangan mengembangkan LMA nomor 1 dengan udara lebih 4 mL.
• Pertahankan posisi dan berikan ventilasi melalui LMA sbb.:
- sambungkan balon resusitasi dengan adaptor nomor 15 mm
pada alat dan berikan ventilasi tekanan positif;
- pastikan letak LMA telah terpasang pada tempatnya dengan
memeriksa frekuensi jantung yang meningkat, pergerakan
dinding dada, dan terdengar suara napas yang sama di kedua
lapangan paru dengan stetoskop. Pantau kadar CO₂ untuk
memastikan pertukaran gas yang adekuat.
• Pertahankan posisi pipa saluran napas dengan plester seperti
memfiksasi pipa endotrakeal.
• Komplikasi sungkup laring: trauma jaringan lunak,
laringospasme, dan distensi lambung yang disebabkan oleh
udara yang mengalir melalui celah di sekitar sungkup.
Penggunaan jangka panjang merusak saraf orofaring.
• Sungkup laring dilepas bila 1) bayi sudah ada napas spontan
dan adekuat dan 2) sudah ada tenaga yang akan memasang
pipa ET.
Terapi Oksigen
• BBL yang mengalami sianosis saat bernapas dengan udara kamar
dan mengalami gangguan napas ringan hingga sedang
membutuhkan oksigen dalam penanganannya.
• Terapi oksigen ialah salah satu terapi yang sering digunakan pada
BBL yang bermasalah untuk mencegah hipoksemia, mengurangi
kerja otot pernapasan, dan menurunkan beban miokardium.
• Terapi oksigen yang berlebihan dalam jangka panjang dapat 
toksisitas sehingga pemakaiannya harus diatur. Berapa lama
oksigen memberikan efek toksik hingga saat ini masih dalam
penelitian. Efek toksik: retinopathy of prematurity,
bronchopulmonary displasia, enterokolitis nekrotikans, perdarahan
intrakranial. Hipoksemia  dampak pertumbuhan otak 
gangguan perkembangan di kemudian hari.
Terdapat Beberapa Kebijakan Terapi Oksigen
• Direkomendasikan terapi oksigen 21% untuk bayi cukup bulan dan
oksigen >21–30%/40% untuk bayi kurang bulan. Berikan konsentrasi
oksigen serendah-rendahnya dengan menetapkan target saturasi
oksigen (SaO₂ 88–92% atau PaO₂ di AGD 50–70 mmHg untuk bayi
kurang bulan dan 90–95% atau PaO₂ di AGD 70–80 mmHg untuk
bayi cukup bulan.
• Pemberian oksigen idealnya dengan menggunakan alat pencampur
oksigen/blender oksigen (campuran antara oksigen 100% dan udara
21%).
• Bila hanya mempunyai sumber oksigen 100% maka VTP dianjurkan
menggunakan BMS (balon mengembang sendiri). Pemberian VTP
melalui BMS dengan sumber oksigen 100% dapat menghasilkan
beberapa konsentrasi, yaitu 21%, 40%, dan 100%.
• Aliran oksigen dan udara sebaiknya dilembapkan dan dihangatkan.
Jangan lupa aseptisitas.
Monitoring Oksigen
• Setiap bayi yang memerlukan oksigen dengan atau disertai
dukungan ventilasi sebaiknya dipasang monitoring saturasi
oksigen darah (SaO₂) dengan oksimeter. Pemasangan
oksisensor pada tangan kanan bila bayi berusia <3 hari dan
pada usia selanjutnya dapat dilakukan di mana saja. Tentukan
target SaO₂. Target SaO₂ berkisar 88–92% (bayi kurang bulan)
dan 90–95% (bayi cukup bulan).
• Dalam penilaian saturasi oksigen, bila saturasi tidak mencapai
target berdasar atas usia, pertimbangkan kemungkinan
hipotermia, apakah ada edema pada tempat pemasangan
oksisensor dan apakah bayi dalam kondisi syok. Pada keadaan
tersebut SaO₂ dapat tidak terukur atau terukur < sebenarnya.
• Pemantauan pemberian oksigen dilakukan dengan penilaian klinis
maupun dengan pengukuran saturasi.
• Observasi klinis respons bayi terhadap terapi oksigen meliputi
warna, frekuensi napas, upaya napas, dan keadaan umum (bayi
hipoksia dapat terlihat letargis).
• Pencatatan respons bayi dilakukan setiap jam hingga kondisi bayi
stabil, selanjutnya setiap 2–4 jam sesuai dengan kebutuhan.
• Oksisensor untuk memantau bayi dapat dipasang pada beberapa
tempat.
• BBL lebih sensitif terhadap kerusakan akibat oksidan dibanding
dengan anak atau orang dewasa karena mekanisme pertahanan
terhadap oksigen kurang/imatur  setiap intervensi oksigen
harus disertai dengan monitoring saturasi oksigen.
Respons terhadap Hasil Analisis Gas Darah

Nilai PaO₂ Tindakan


<45 mmHg • Naikkan FiO₂ dengan cepat hingga
PaO₂ berada dalam kisaran 45–75
mmHg. Jika PaO₂ menurun cepat,
evaluasi terdapat pneumotoraks
atau masalah mekanik lain seperti
dislokasi pipa ET.
45–75 mmHg • Tidak perlu diubah.
75–120 mmHg • Turunkan FiO₂ bertahap tiap 5%.
>120 mmHg • Turunkan FiO₂ bertahap tiap 10%.
Respons terhadap Hasil Saturasi Oksigen

Pembacaan oksimeter Tindakan


• Saturasi oksigen (SaO₂) <85% • Naikkan FiO₂ hingga SaO₂ mencapai
85–95% dalam 1–2 menit. Jika SaO₂
menurun dengan cepat evaluasi
terdapat pneumotoraks atau
masalah mekanik lain seperti
dislokasi pipa ET.
• SaO₂ 85–95% • Tidak perlu dilakukan tindakan
cepat. Namun, perlu dilakukan
analisis gas darah secara berkala
untuk menilai PaO₂, PaCO₂, dan pH
(bila AGD mungkin dilakukan).
• SaO₂ >95% • Turunkan FiO₂ bertahap tiap
5%/mnt hingga SaO₂ mencapai
95%. Lalu periksa AGD (bila
mungkin) untuk menilai PaO₂ darah
arteri.
Pemberian oksigen melalui kanula nasal
• Kanula nasal digunakan pada bayi yang memerlukan oksigen dalam
kadar rendah. Biasanya diberikan pada bayi tidak dalam kondisi
problem pernapasan akut, namun setelah bayi tersebut melewati
masa akutnya.
• Pada pemberian seperti ini disarankan diberikan dengan aliran
rendah (kecepatan aliran <2 L/menit.). Pemberian dengan aliran
rendah ini cukup nyaman dan tidak memerlukan penghangatan
atau pelembapan. Metode seperti ini disebut metode nasal kanula
aliran rendah (nasal canula low flow).
• Akhir-akhir ini sedang dikembangkan teknik pemberian aliran tinggi
melalui kanula nasal (nasal canula high flow). Bayi mendapat
aliran >2 L/mnt. Meode ini diberikan sebagai pengganti CPAP.
Metode ini harus memakai blender oksigen dan udara
dilembapkan. Bila tidak  erosi mukosa hidung dan intoksikasi
oksigen akibat oksigen 100%.
Analisis Gas Darah
• Pada bayi dengan kesulitan bernapas, idealnya bila mungkin
dimonitoring analisis gas darah. Dari analisis gas darah dapat
disimpulkan seberapa berat tingkat hipoksemia bayi dan
bagaimana keseimbangan fungsi pernapasan dengan fungsi
metabolik bayi. Sayangnya, pemeriksaan ini tidak selalu dapat
dilakukan di seluruh layanan di Indonesia.
• Perlu diperhatikan dalam pengambilan sampel darah untuk
analisis gas darah (AGD): 1) pengambilan AGD dapat
dilakukan di beberapa lokasi, bila AGD diambil dari darah vena
atau kapiler maka nilai PaO₂ tidak dapat dipertimbangkan dan
nilai PaO₂ dapat dilihat dari nilai SaO₂; 2) pengambilan melalui
kapiler atau vena lebih strategis karena pada saat yang sama
bayi dalam proses stabilisasi perlu dilakukan pemasangan
akses intravena.
Pneumotoraks: Problem Tersering Pascaresusitasi
• Pneumotoraks ialah suatu kondisi alveolus atau kantung
udara dalam paru mengalami pembesaran akibat ventilasi
berlebihan yang melampaui ambang elastisitasnya sehingga
 alveolus pecah  udara bocor ke ruang antara paru dan
dinding dada.
• Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan, namun
penyebab tersering pada bayi dengan riwayat pemberian
ventilasi tekanan positif yang berlebihan (periode resusitasi,
bayi kurang bulan pascasurfaktan, ventilasi mekanik
berlebihan, bayi sindrom aspirasi mekoneum, dan bayi hernia
diafragmatika).
• Gejala klinis seperti gejala kesulitan bernapas bayi dengan
problem pernapasan lainnya.
• Terdapat beberapa hal yang patognomonis seperti
1) dada pada sisi pneumotoraks kelihatan cembung;
2) pada auskultasi didapatkan suara napas bayi pada bagian paru
yang mengalami pneumotoraks menurun, suara napas akan
terdengar lebih keras pada bagian paru yang normal.
• Pemeriksaan tambahan yang sangat mudah dilakukan adalah
menggunakan transiluminasi sinar merah atau pemeriksaan
rontgen dada. Pada transiluminasi didapatkan pelebaran cahaya
merah pada sisi pneumotoraks, sebaliknya paru normal tidak
didapatkan penyebaran sinar.
• Bila memungkinkan penting dilakukan foto toraks yang tampak
gambaran radiolusens pada sisi pneumotoraks, pelebaran sela iga,
dan pergeseran mediastinum kontralateral sisi pneumotoraks.
• Pada situasi tersebut, aspirasi udara toraks melalui jarum suntik
harus SEGERA dilakukan. Bila sesudah evakuasi, produksi udara
tetap ada dipasang water seal drainage (WSD) dan bayi dirujuk ke
tempat dengan fasilitas lengkap.
Prosedur Aspirasi Jarum
• Siapkan peralatan yang diperlukan.
• Gunakan sarung tangan steril, bersihkan kulit dengan cairan
antiseptik. Lakukan semua prosedur secara steril.
• Ada dua pendekatan untuk insersi jarum, yaitu lateral dan
anterior. Pendekatan lateral direkomendasikan karena
mengurangi risiko melukai pembuluh darah besar di daerah
anterior dan medial dada.
• Pendekatan lateral: putar bayi pada posisi 45⁰ dengan bagian
yang akan diinsersikan menghadap ke atas, letakkan kain kecil
di punggung, singsingkan lengan dari tempat insersi kateter.
Gunakan teknik steril, insersikan jarum/kateter/stilet antara
sela iga ke-4 dan ke-5 di daerah midaksila atau linea aksilaris
anterior. Lokasi ini biasa sejajar dengan puting susu, turun ke
bawah sekitar 1 cm.
• Pendekatan anterior: posisikan bayi terlentang dengan kepala
sedikit tengadah sehingga posisi udara akan berada di atas.
Gunakan teknik steril, insersikan jarum pada sela iga ke-2 dan
ke-3 pada garis midklavikular.
• Aspirasi jarum memakai kateter no. 18 dan three ways
stopcock. Setelah kateter masuk ke dalam rongga pleura,
segera lepaskan stilet dari kateter untuk menghindari insersi
yang terlalu dalam dari stilet. Masukkan kateter lebih dalam
ke rongga pleura dan sambungkan kateter dengan T-
connector/stopcock dengan semprit 20 mL. Kateter i.v. yang
digunakan harus lembut dan fleksibel sehingga
memungkinkan untuk difiksasi setelah tindakan, jika terdapat
akumulasi udara maka dapat dilakukan aspirasi secara
periodik.
Langkah-langkah Aspirasi Toraks
• Bersihkan kulit menggunakan cairan aseptik, gunakan sarung
tangan steril, dan jaga seluruh tindakan serta prosedur dalam
kondisi steril.
• Menentukan lokasi tempat akan dilakukan fungsi, yaitu daerah sela
iga ke-4 dan ke-5 di daerah midaksilaris atau aksila anterior. Lokasi
ini biasa sejajar dengan garis puting susu, turun ke bawah sekitar 1
cm.
• Insersikan kateter atau jarum pada rongga pleura di atas iga untuk
menghindari arteri interkostal yang berlokasi di bawah iga.
• Jika memakai kateter i.v., lepaskan stilet segera setelah masuk di
dalam rongga pleura, hubungkan tubing i.v. dengan stopcock-
semprit yang telah tersambung sebelumnya.
• Hindari memasukkan stilet terlalu dalam.
• Jika memakai jarum kupu-kupu, hubungkan tubin, i.v., stopcock, dan
jarum suntik rakit sebelum memulai prosedur. Periksa untuk
melihat bahwa stopcock terbuka dari jarum i.v. ke jarum suntik.
Masukkan ke dalam rongga pleura dengan jarum dan kemudian
berhenti. Jangan memasukkan jarum i.v. lebih lanjut pada saat ini
(untuk menghindari menusuk jaringan paru). Aspirasi dengan
lembut sampai ada tahanan atau sampai jarum suntik yang penuh
dengan udara. Jika memakai jarum kupu-kupu dan tidak diperoleh
udara, masukkan jarum sedikit lebih jauh dan ulangi prosedur
sampai dapat udara.
• Putar stopcock off untuk pasien. Isap udara dari jarum suntik keluar.
Berhati-hatilah tidak menyemprotkan udara ini yang mungkin berisi
cairan tubuh. Ulangi proses ini sampai semua udara terevakuasi.
Bila prosedur ini selesai, lakukan transiluminasi dada atau jika
mungkin lakukan pemeriksaan ulang rontgen dada.
PERTAHANKAN SIRKULASI
OPTIMAL
Apa yang Dimaksud Syok dan Faktor Risiko
yang Berpengaruh
• Sel memerlukan oksigen untuk mempertahankan hidup dan
fungsinya. Pada kondisi perfusi jaringan dan hantaran oksigen ke
organ vital tidak adekuat dinamakan insufisiensi sirkulasi. Bila
kondisi ini dibiarkan dan tidak ditangani segera bayi dapat
mengalami syok.
• Pada gangguan sirkulasi awal terjadi mekanisme kompensasi untuk
memenuhi aliran darah yang teralihkan dari organ nonvital ke organ
vital, yaitu jantung dan otak. Pada situasi kompensasi tersebut
paling tepat mendapat penanganan segera sebelum bayi jatuh pada
gangguan sirkulasi lanjut, metabolisme anaerob, dan akumulasi
asam laktat  metabolik asidemia  mengganggu kerja jantung
(cardiac output ↓). Bila tidak segera ditangani  syok  risiko
kematian.
Periode stabilisasi pengenalan dini gangguan awal
sirkulasi merupakan kunci penaganan dan lebih
menjanjikan keberhasilannya dibanding dengan
mengatasi syok itu sendiri.
Pemahaman Cardiac Output dan Faktor yang Berpengaruh

• Cardiac output (CO)/curah jantung: hasil perkalian frekuensi jantung


dengan volume sekuncup jantung/stroke volume. Compliant
miokardium BBL yang masih belum optimal akan membatasi
kapasitas peningkatan volume sekuncup itu. Untuk meningkatkan
CO, jantung akan meningkatkan denyutnya  terjadi takikardia.
• Berikut rumus: HR x SV = CO
• Faktor-faktor yang memengaruhi CO adalah
- ketidakseimbangan elektrolit, mineral, dan energi;
- aliran balik vena ke jantung (preload) ↓ sehingga  kontraksi
jantung ↓;
- resistensi vaskular sistemik (after load) ↑  kerja jantung lebih
berat untuk memompa darah;
- kontraktilitas miokardium ↓  memperburuk kontraksi jantung
 lebih sedikit darah yang diejeksikan setiap denyut jantung.
Kondisi Bayi dengan Tekanan Darah Menurun
• Tubuh bayi pada keadaan syok (tekanan darah ↓) akan
berupaya menyesuaikan dengan cara organ vital mendapat
aliran darah dan oksigen adekuat dari volume darah yang
tersedia dengan mengutamakan aliran darah ke organ vital
(otak, jantung, dan paru).
• Akibat dari syok tersebut dapat terjadi
1. Oksigenasi tidak adekuat; misal syok akibat kehilangan
volume darah  kehilangan sel darah merah. Sel darah yang
tersisa tidak mampu membawa oksigen yang cukup ke otak
dan beberapa organ vital. Bayi akan berupaya
mengompensasi dengan mempercepat/takipnea karena tidak
dapat memenuhi kebutuhan oksigen untuk menjaga kadar
oksigen darah tetap normal.
2. Asidosis (pH darah rendah): tekanan darah menurun berdampak
penutupan atau konstriksi pembuluh darah yang lebih kecil ke organ
yang kurang vital (kulit, otot) sebagai upaya mempertahankan aliran
darah ke organ vital (otak, jantung, dan paru). Konsekuensi restriksi
aliran darah yang timbul adalah:
- peningkatan produksi asam laktat: suplai oksigen terbatas 
metabolisme kurang efisien dan memproduksi asam
berlebihan;
- penurunan pengeluaran asam laktat: aliran darah terbatas
sehingga mengurangi jumlah produksi dan metabolisme yang
harus dibuang;
- asam laktat akan terakumulasi dalam jaringan lunak sehingga 
pH darah ↓  CO ↓.
Syok Hipovolemik
1. Kehilangan darah intrapartum
• Plasenta previa atau solusio plasenta (risiko fetus kehilangan volume
darah), plasenta tidak sengaja terpotong selama proses seksio sesaria.
• Cedera tali pusat (robekan pembuluh darah umbilikal, penjepitan
umbilikal tidak sempurna).
• Laserasi organ atau luka pada persalinan sulit.
• Perdarahan fetomaternal:
bila hubungan abnormal terjadi antara fetus dan sirkulasi maternal di
plasenta akan  fusi janin-maternal. Transfusi maternal-janin tidak dapat
terjadi karena perbedaan tekanan pada daerah intervillous pada plasenta
yang mengaliri darah dari fetus ke maternal. Jika terjadi transfusi feto-
maternal maka BBL akan memiliki gejala serupa dengan fetus pendonor.
Jika dicurigai transfusi feto-maternal lakukan pemeriksaan darah ibu untuk
melihat sel dari janin memakai uji Kleihauer-Betke.
• Twin-to-twin transfusion. Bayi baru lahir dari kehamilan ganda dan janin
berisiko gangguan sirkulasi plasenta pada salah satu fetus.
Hal tersebut terjadi karena terbentuk anastomosis vaskular
plasenta yang tersusun secara seimbang sehingga salah satu
fetus kembar menerima darah lebih besar. Kebanyakan hal
tersebut terjadi pada plasenta monokorion. Akibatnya, terjadi
transfusi fetus-fetus  salah satu janin menjadi pendonor
darah ke fetus lainnya (resipien). Keadaan kehilangan darah
pada fetus pendonor berlangsung lama yang dapat
dikompensasi, tetapi tidak terjadi kehilangan sel darah merah.
Oleh karena itu, fetus pendonor biasanya tidak terjadi
hipovolemik, tetapi lebih sering ditemukan anemia. Jika
hubungan abnormal ini berlangsung terus, fetus pendonor
akan mengalami anemia berat yang nantinya akan 
pembentukan hydrops (edema generalisata pada fetus akibat
anemia kronik). Fetus resipien akan berwarna kemerahan
akibat proses polisitemia. Tekanan darah dan Ht harus
diperiksa pada bayi kembar maupun triplet dan seterusnya.
2. Perdarahan pascanatal: perdarahan intrakranial, perdarahan
paru.
3. Lain-lain: trauma tali pusat, kebocoran kapiler, dan dehidrasi.
Syok Kardiogenik
• Asfiksia intrapartum atau pascapartum.
• Hipoksia dan/atau asidosis metabolik.
• Infeksi bakteri atau virus.
• Gangguan napas berat yang perlu bantuan ventilasi.
• Hipoglikemia berat.
• Gangguan metabolik dan/atau elektrolit berat.
• Aritmia.
• Penyakit jantung bawaan.
Syok Septik

• Penyebab syok septik adalah infeksi berat karena bakteri,


virus, dan jamur.
• Syok septik berkembang cepat menjadi kritis dan berisiko
integritas vaskular hilang  cairan keluar dari pembuluh
darah ke jaringan. Hipotensi akan berlanjut dan respons
terhadap resusitasi cairan tidak berespons baik.
Gejala Klinis Gangguan Sirkulasi BBL
• Semua bayi boleh diperiksa tekanan darahnya sebagai pemeriksaan
tanda vital rutin. Beberapa bayi memerlukan pemeriksaan tekanan
darah lebih sering jika mempunyai risiko tekanan darah menjadi
turun.
• Gejala-gejala yang perlu dilakukan pemeriksaan tekanan darah:
- pernapasan: takipnea, upaya napas ↑ (terlihat merintih, retraksi,
napas cuping hidung);
- warna kulit: pucat dan/kutis marmorata, sianosis;
- frekuensi jantung: takikardia (denyut jantung >160x/mnt
saat bayi tenang);
- denyut nadi: nadi lemah;
- produksi urin: oliguria (produksi urin <1 mL/kgbb/jam);
- tekanan nadi: < normal (nilai normal BCB 25–30 mmHg dan
prematur 15–25 mmhg).
- ukuran jantung pada foto toraks: ukuran jantung melebar
dipikirkan kemungkinan disfungsi miokardium, sedangkan
ukuran mengecil diperkirakan pengisian yang tidak adekuat pada
jantung.
- pengisian pembuluh darah kapiler lambat: pengukuran pengisian
pembuluh darah kapiler dilakukan dengan penekanan di atas
tulang panjang bayi, baik pada tungkai maupun lengan selama
beberapa detik. Setelah tekanan dilepaskan bekas area
penekanan yang pucat harus menghilang dalam waktu <3 detik.
Jika warna pucat area penekanan tidak hilang dalam 3 detik dapat
dikatakan bayi mempunyai waktu pengisian pembuluh darah
kapiler yang lambat.
Pemeriksaan Tekanan Darah
• Tekanan darah ialah tekanan yang digunakan untuk
mendorong/memompa darah menuju sistem sirkulasi. Tekanan
darah dipengaruhi oleh 3 faktor: pemompaan jantung; tonus
pembuluh darah; dan jumlah darah atau volume darah.
• Pemeriksaan tekanan darah: nilai tekanan sistole, diastole, dan rata-
rata.
- tekanan sistole terjadi pada setiap akhir kontraksi jantung yang
merupakan angka tertinggi dari pengukuran tekanan darah;
- tekanan diastole terjadi sebelum setiap kontraksi jantung (periode
istirahat) yang merupakan angka terendah dari pengukuran
tekanan darah;
- tekanan rata-rata ialah hasil pengukuran tekanan sistole dan
diastole rata-rata.
Cara Memeriksa Tekanan Darah Bayi
• Secara tidak langsung (indirek): menggunakan metode palpasi dan
oscillometry. Metode palpasi memberi hasil tunggal dan hasil yang
didapat sedikit lebih rendah dibanding dengan tekanan sistole
sebenarnya. Pengukuran dilakukan memakai manset tensimeter,
manometer, dan jari telunjuk pemeriksa. Metode palpasi ini
memberikan hasil bacaan akurat bila tekanan darah >20 mmHg.
• Persiapan metode palpasi: peralatan yang diperlukan pengukur
tekanan darah, manset, manometer merkuri standar atau
manometer aneroid; manset berukuran sesuai dan ujung manset
harus tumpang tindih; bladder merupakan bagian manset yang
mengembang dan harus menutup mengelilingi permukaan
lengan/tungkai bayi.
• Secara langsung (direk): metode melalui arteri sentral dan doppler.
Cara Pengukuran Tekanan Darah Metode Palpasi
• Pilih manset yang akan digunakan (manset bayi cukup bulan atau
prematur).
• Pasangkan manset mengelilingi lengan/tungkai.
• Hubungkan pengukur tekanan darah dengan manset; periksa apakah
petunjuk pada alat pengukur sudah berada pada posisi angka 0.
• Pegang lengan bayi agar tetap lurus dengan telapak tangan dan bagian
dalam lengan bayi menghadap pemeriksa.
• Raba pembuluh darah arteri brakialis dengan menggunakan jari telunjuk
pada lengan yang sama, di atas lipatan siku, dan sedikit ke arah lengan
dalam.
• Jika perabaan tarasa baik, lakukan penekanan ringan dengan jari telunjuk.
• Pompa manset menggunakan tangan lain hingga air raksa ataupun jarum
penunjuk berada di atas angka nilai bayi untuk usianya, misalnya 80
mmHg. Lalu longgarkan baut penahan/lepaskan tekanan pada manset
sehingga air raksa/jarum penunjuk turun secara perlahan. Jika turun
terlalu cepat hasil bacaan tekanan darah akan lebih rendah.
• Bagian atas dari cairan merkuri/jarum penunjuk diawasi saat
diturunkan. Angka diingat saat mulai terasa pulsasi di jari
telunjuk.
• Hasil bacaan tekanan darah ketika pertama kali dirasa pulsasi
arteri lebih rendah sedikit daripada tekanan darah sistole
sebenarnya.
• Setelah pulsasi arteri dirasakan, kemudian manset
dikempeskan.
• Catat hasil bacaan tekanan darah dan metode yang
digunakan. Sebagai contoh, jika pulsasi arteri mulai dirasakan
saat 47 mmHg, pencatatan tekanan darah ditulis 47
mmHg/palpasi (atau 47 mmHg/P).
Kesalahan yang Terjadi pada Pengukuran TD Secara Palpasi
• Terlalu kuat menekan arteri brakialis dengan jari telunjuk sehingga
menghambat aliran darah arteri yang berakibat hasil bacaan tidak
tepat.
• Perabaan mulainya dirasakan pulsasi arteri tidak tepat. Bayi sakit
mempunyai pulsasi lemah sehingga sulit menemukan perabaan
pulsasi yang tepat.
• Tahapan pemeriksaan dilakukan sudah tepat, tetapi pemeriksaan
tekanan darah lanjutan tidak dilakukan. Bayi sakit dan tidak stabil
membutuhkan pemeriksaan tekanan darah yang berkala. Satu kali
pemeriksaan menunjukkan hasil bacaan normal belum tentu
menunjukkan keadaan tekanan darah selanjutnya.
• Manset terpasang terlalu ketat atau manset tidak dikempiskan
dengan sempurna. Hal ini dapat menghambat aliran darah
ekstremitas bayi dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
• Bladder manset terlalu kecil atau terlalu besar.
• Pengempisan manset terlalu cepat sehingga hasil bacaan akan lebih
rendah.
Pengukuran Tekanan Darah Metode Oscillometry
• Pengukuran ini merupakan hasil deteksi osilasi pada dinding
pembuluh darah arteri karena perubahan tekanan di antara arteri.
• Hasil bacaan masih akurat meskipun nilai tekanan darah di bawah
20 mmHg.
• Pemeriksaan ini memerlukan manset yang sesuai ukurannya, yaitu
ukuran untuk cukup bulan atau prematur dihubungkan dengan
monitor. Hasil osilometri ditampilkan pada layar monitor sebagai
sistole, diastole, tekanan darah rata-rata.
• Alat yang diperlukan adalah alat pengukur tekanan darah
oscillometry disertai kabel monior jantung yang sesuai untuk BBL;
manset dengan ukuran yang sesuai; pemilihan ukuran manset
berdasar atas berat bayi (terlihat pada panduan pabrik); jika
memakai alat yang terpisah hubungkan monitor dengan stop kontak
dan hidupkan monitor.
• Catat tekanan darah bayi sistole, diastole, dan rata-rata yang
terlihat pada monitor.
• Contoh: hasil bacaan tekanan darah sistole 62 mmHg, diastole
42 mmHg, dan rata-rata (mean arterial pressure/MAP) 52
mmHg. Penulisan tekanan darah adalah 62/42 mmHg dan
MAP 52 mmHg.
• INGAT SELALU MENYEDIAKAN BERBAGAI UKURAN MANSET
PENGUKUR TEKANAN DARAH BAGI BAYI BARU LAHIR!
Interpretasi Tekanan Darah Bayi Baru Lahir

• Kisaran nilai tekanan darah BBL jauh lebih rendah dibanding dengan
tekanan darah anak atau dewasa. Nilai tekanan darah BBL bervariasi
sesuai usia dan berat bayi lahir. Tekanan darah ↑ seiring dengan
penambahan berat bayi lahir dihubungkan dengan usia
kehamilan/gestasi dan hitungan hari maupun minggu sejak lahir.
• Saat lahir tekanan darah erat hubungannya dengan berat bayi lahir
dan usia gestasi. Pada BBL didapatkan peningkatan tekanan darah
sistole dan diastole secara lambat dalam 5 hari pertama bayi
dengan 4 kelompok gestasi yang berbeda (≤28 mgg, 33–36 mgg,
dan ≥37 mgg).
• Tekanan darah bayi usia >5 hari berhubungan dengan usia
postmenstrual (usia gestasi bayi saat lahir + jumlah minggu sejak
kelahiran bayi).
Tekanan Nadi Kemungkinan Penyebab
• Sempit • Koarktasio aorta.
• Pneumotoraks.
• Pneumoperikardium
hemoperikardium.
• Stenosis aorta.
• Hipoplasi jantung kiri.
• Syok (kardiogenik, septik,
hemoragik).
• Gagal jantung.
• Duktus arteriosus persisten.
• Celah aortopulmonar.
Tekanan Nadi Kemungkinan Penyebab
• Lebar • Fistula arteriovenosus.
Tekanan nadi ialah selisih antara
tekanan sistole puncak dan tekanan • Trunkus arteriosus.
diastole minimum. Lebar atau • Hipertiroid.
sempitnya tekanan nadi
menggambarkan ada kelainan • Regurgitasi aorta.
jantung. Perubahan pada tekanan
nadi juga dapat menggambarkan
gangguan seperti pneumotoraks
atau pneumoperikardium yang
berdampak pada fungsi jantung.
Nilai normal pada BBL belum ada.
Tekanan nadi <20 mmHg dianggap
terlalu sempit.
Volume Darah Bayi Nomal
• Volume darah bayi normal adalah 90 mL darah/kgbb.
Contoh: Bayi A 1.500 g memiliki 135 mL darah. (1,5 x 90 mL =
135 mL). Bayi B 3.170 g memiliki 280 mL darah (3,17
x 90 mL= 280 mL).
• Jumlah kehilangan volume darah yang menyebabkan syok:
kehilangan volume darah >25%.
Contoh: berat badan bayi 2.000 g. Volume darah bayi 2 x 90 mL=
180 mL. Dalam keadaan syok disebabkan oleh kehilangan
volume darah 180 mL x 25% = 45 mL (sekitar 3 sendok
makan).
• Bila bayi yang sama lahir dengan plasenta previa/solusio plasenta,
ibu bayi akan kehilangan 1.000 mL darah selama proses melahirkan.
Jika 5% (50 mL) darah ini merupakan darah bayi maka bayi tersebut
akan jatuh dalam keadaan syok.
Catatan: penting mencegah kehilangan darah
berlebihan akibat pengambilan darah untuk
pemeriksaan laboratorium.
Disarankan meningkatkan keterampilan dalam
pengambilan darah untuk menghindari
pengulangan.
Tata Laksana Bayi Mengalami Hipotensi
• Bayi hipotensi pada umumnya karena kehilangan darah sehingga
menyebabkan syok hipovolemik. Tujuan tata lakasana umum
hipovolemik adalah meningkatkan volume sirkulasi darah sehingga
kaskade kekurangan darah sampai mengakibatkan gangguan
oksigenasi jaringan, asidosis, dan kerusakan sel dapat dicegah.
• Selalu mencari kemungkinan penyebab hipotensi sampai syok.
Tekanan darah awal bayi yang mengalami masalah perinatal sering
ditemukan rendah sebagai akibat dari hipoksia berat dan asidosis.
Penatalaksanaan terpenting bayi ini adalah resusitasi yang tepat,
cepat, dan efisien. Resusitasi yang efektif akan memperbaiki
oksigenasi jaringan termasuk jantung sehingga biasanya tekanan
darah menjadi normal kembali.
• Jika tidak terdapat perbaikan dengan resusitasi, obat-obat spesifik
seperti dopamin mungkin dibutuhkan untuk ↑ curah jantung.
Tata Laksana Syok Hipovolemik
1. Berikan cairan NaCl 0,9% sebagai pengganti darah pada
keadaan darurat sambil menunggu tersedianya sel darah
merah/packed red cell (PRC). Cairan NaCl 0,9% sebanyak 10
mL/kgbb/kali diberikan i.v. selama 15–30 menit. Pemberian
PRC secara perlahan dan kontinu selama 30 menit–2 jam.
Perubahan mendadak volume darah pada bayi prematur
berisiko  perdarahan intraventrikular (otak). Kecepatan
pemberian PRC pada bayi dengan tekanan darah normal
dilakukan lebih perlahan-lahan dibanding dengan saat
darurat.
• Penting memastikan cairan NaCl 0,9% agar selalu tersedia di
kamar bersalin dan ruang perawatan neonatus.
2. Monitor tekanan darah: jika normal lanjutkan untuk
melakukan pemeriksaan tekanan darah bayi (setiap 10 menit
untuk sementara dan selanjutnya dengan interval yang lebih
lama) untuk memastikan bahwa tekanan darah telah stabil.
Jika masih rendah: berikan dosis volume selanjutnya dan cek
berulang kali tekanan darah bayi.
3. Cari kemungkinan lain penyebab hipotensi.
Tata Laksana Syok Kardiogenik
• Tata laksana syok kardiogenik adalah tata laksana masalah yang
mendasari yang berdampak buruk terhadap fungsi jantung
(misalnya hipoksia, hipoglikemia, hipotermia, asidosis, aritmia, dan
infeksi).
• Diawali dengan pemberian cairan, kemudian memperbaiki masalah
yang mendasari dan pemberian obat yang diperlukan.
• Obat-obatan yang diperlukan pada syok kardiogenik:
1. dopamin hidroklorida drip sebagai inotropik meningkatkan CO dan
tekanan darah. Dosis 5–20 mikrogram/kgbb/mnt melalui infus i.v.
menggunakan semprit pump. Bila memungkinkan melalui jalur vena
sentral (vena umbilikal dengan ujung kateter berada di posisi yang
tepat dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan foto toraks). Jika jalur
vena sentral tidak memungkinkan dapat diberikan melalui vena
perifer yang terpisah dari pemberian nutrisi atau obat-obatan dan
dipantau ketat bila terjadi infiltrasi.
2. natrium bikarbonat 4,2% dalam bentuk cairan (0,5 mEq/mL).
Dosis untuk tatalaksana asidosis metabolik berat: 1–2
mEq/kgbb/kali diberikan selama 30–60 menit. Obat ini tidak
direkomendasikan dan berbahaya karena dapat
menyebabkan kerusakan vaskular sehingga ekstravasasi
darah terjadi hebat dan memberikan dampak nekrosis
jaringan di sekitarnya.

Tata laksana syok septik


Bayi yang mengalami sepsis juga dapat mengalami hipotensi. Jika
dicurigai sepsis sebagai penyebab hipotensi harus dilakukan
kultur darah dan segera diberikan antibiotik. Pada syok
septik terjadi kehilangan cairan keluar dari pembuluh darah
ke jaringan. Tata laksana adalah perbaiki syok hipovolemik
serta pengobatan infeksi beratnya.
DETEKSI DINI DAN MENGATASI
KEJANG
Pendahuluan
• Kejang pada BBL merupakan suatu tanda penyakit yang menyerang
susunan saraf pusat (SSP), kelainan metabolik, dan penyakit lain
yang dapat menyebabkan kerusakan otak.
• Pada BBL cukup bulan atau kurang bulan, kejang dapat 
kerusakan SSP yang menetap  gangguan neurologis: gangguan
kognitif yang berkepanjangan dan ↑ risiko epilepsi.
• Kejadian kejang pada BBL sulit ditentukan bergantung pada
populasi yang diteliti serta kriteria yang digunakan dalam
menegakkan diagnosis kejang.
• Penelitian di AS tahun 2000: kejang pada BBL 0,15–3,5/1.000
kelahiran hidup dengan angka tertinggi pada bayi kurang bulan (2–3
episode/1.000 kelahiran hidup pada bayi cukup bulan dan 10–
15/1.000 kelahiran hidup pada bayi kurang bulan).
• Kejang merupakan masalah pada BBL karena manifestasi klinis
kejang tidak spesifik dan dapat menyerupai morbiditas lain.
• Pada bayi pascaresusitasi atau sakit berat sering melibatkan
problem pernapasan atau gangguan oksigenasi. Problem
pernapasan itu  hipoksia otak  kejang. Selain berdampak pada
kerusakan otak, kejang yang timbul juga dapat  masalah
pernapasan.
• Pengenalan dini dan penanganan yang tepat sangat penting dalam
stabilisasi BBL.
• Kejang pada BBL merupakan manifestasi gangguan fungsi neuron
yang terlihat dengan aktivasi paroksismal pada EEG yang diikuti
dengan manifestasi motorik, klinis autonom, atau perilaku.
• Kejang pada BBl: 1. kejang epileptik (klinis berhubungan dengan
gambaran aktivitas EEG); 2. kejang nonepileptik (klinis tanpa
disertai perubahan gambaran EEG); 3. kejang EEG (aktivitas kejang
pada EEG yang tidak disertai tanda kejang secara klinis).
Klasifikasi Kejang pada Bayi Baru Lahir
1. Subtle: umumnya dijumpai pada bayi cukup bulan dengan angka
kejadian 10–35%. Manifestasi klinis: mata tiba-tiba terbuka dengan
bola mata terfiksasi pada satu arah; gerakan mengisap, mengunyah,
menjulurkan lidah; serta dapat seperti gerakan normal misalnya
berenang, mendayung, bertinju, atau bersepeda.
2. Klonik: kejang klonik dijumpai pada 50% bayi yang mengalami
kejang, umumnya pada bayi cukup bulan. Pada kejang klonik
biasanya kesadaran bayi tetap baik. Kejang klonik fokal dapat
berupa gerakan klonik pada satu sisi ekstremitas atau wajah dan
dapat menjadi petunjuk terdapat neuropati fokal. Sementara itu,
kejang klonik multifokal merupakan gerakan klonik dari salah satu
atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah.
3. Tonik: kejang tonik terjadi pada 20% bayi yang mengalami
kejang, umumnya bayi kurang bulan. Gerakan yang tampak
berupa gerakan ekstensi ekstremitas atas dan bawah disertai
dengan opistotonus. Kejang ini dapat berupa kejang tonik
fokal ataupun umum.
4. Kejang mioklonus: kejang ini paling jarang dijumpai pada bayi
baru lahir. Sekitar 5% bayi yang mengalami kejang
memperlihatkan gerakan mioklonus berupa gerakan
menyentak yang terjadi akibat kontraksi pada otot fleksor dan
dapat bersifat fokal, multifokal, atau umum.
Etiologi dan Diagnosis Banding Kejang

Penyebab Keterangan
• Ensefalopati iskemik hipoksik • Penyebab tersering. Sering terjadi
dalam usia24 jam pertama. Sulit
(HIE=hypoxic ischaemic dikontrol dengan obat-obatan.
encephalopathy). Cooling treatment dapat
dianjurkan.
• Perdarahan intraventrikel,
• Perdarahan intracranial. intraserebral, subdural, dan
subaraknoid.
• Bakteri, virus, meningitis,
• Infeksi SSP. ensefalitis, infeksi TORCH.
• Oklusi arteri atau trombus vena.
• Strok. • Hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesemia,
• Metabolik. hipo/hipernatremia, defisiensi
piridoksin
• Inborn errors of metabolism • Bila ada memerlukan identifikasi
(jarang). dan penanganan segera.
• Kelainan genetik. • Kelainan kromosom, kelainan
struktur otak bawaan, gangguan
neurodegeneratif.
• Benign idiopathic neonatal • Fifth day fits adalah kejang yang
convulsions. biasanya muncul pada hari ke-5 dan
berhenti setelah 15 hari.
Manifestasi kejang berupa kejang
klonik multifokal. Penyebab belum
diketahui.
• Benign familial neonatal • Bentuk kejang biasanya berupa
convulsions. tonik atau klonik pada hari ke-2
atau ke-3. Kejang berhenti setelah
beberapa minggu. Prognosis baik.
• Jarang terjadi (2–5% kejadian
• Idiopatik. kejang).
• Sangat sulit menegakkan diagnosis kejang pada BBL. Hal ini
disebabkan oleh gerakan kejang tidak khas (menyerupai gerakan-
gerakan normal), sebagian kejang adalah subtle, pada bayi baru
lahir yang sakit berat dan sering mendapat sedasi gejala klinis tidak
tampak (masking effect).
• Untuk meningkatkan akurasi diagnosis kejang disarankan
mengombinasikan gejala klinis dengan pemeriksaan EEG (bila
memungkinkan). Untuk mencari penyebab kejang dapat
dipertimbangkan pendekatan usia saat terjadinya kejang.
• Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan untuk memastikan
etiologi kejang. Darah perifer, C-reactive protein, kultur darah, dan
kultur cairan serebrospinal perlu dilakukan untuk menentukan
infeksi yang melibatkan SSP. Kadar elektrolit dan gula darah harus
dipastikan karena gangguan elektrolit dan hipoglikemia sering
penyebab kejang pada BBL. Pemeriksaan radiologis (USG kepala, CT-
scan, dan MRI) utk menentukan penyebab gangguan struktural.
Etiologi Utama Kejang pada Bayi Baru Lahir berdasar atas
Waktu Awitan dan Frekuensi Kejang
Waktu Awitan Frekuensi Relatif
0–3 hari >3 hari Prematur Aterm
HIE + +++ +++
Perdarahan + + ++ +
intrakranial
Infeksi + + ++ ++
intrakranial
Gangguan + + ++ ++
perkembangan
Hipoglikemia + + +
Hipokalsemia + + + +
Kelainan + +
metabolik lain
Sindrom + + +
epilepsi
Tata Laksana Kejang pada Bayi Baru Lahir
• Bila menjumpai bayi kejang, sebelum memberikan terapi
antikejang, tindakan awal adalah membebaskan jalan napas serta
menilai fungsi pernapasan dan sirkulasi. Pemberian obat untuk
mengatasi kejang harus diberikan segera dan simultan dengan
mencari penyebab kejang.
• Elektroensefalografi mempunyai peran penting pada kejang BBL.
Sering kejang pada BBL tidak memperlihatkan manifestasi klinis dan
hanya tampak pada pemeriksaan aEEG (kejang elektrik)  EEG
sangat penting untuk mendiagnosis dan mengevaluasi terapi kejang
yang telah diberikan. Disarankan untuk tetap merujuk BBL dengan
kejang walaupun terdapat perbaikan kejang secara klinis.
• Pemberian obat antikonvulsan untuk memberantas kejang pada BBL
berbeda dengan bayi dan anak besar. Pada BBL diazepam bukan
obat pilihan pertama karena dapat  depresi napas.
• Obat antikonvulsan pilihan pertama adalah fenobarbital.
Apabila kejang tidak teratasi dengan fenobarbital dosis
maksimal (40 mg/kgbb) dapat diberikan obat antikonvulsan
lini kedua, yaitu fenitoin atau midazolam.
• Midazolam terbukti efektif dan aman digunakan sebagai obat
sedasi dan antikonvulsan. Pasien dengan midazolam
sebaiknya dirawat di NICU karena obat tersebut dapat 
depresi napas dan hipotensi.
• Pada kejang yang tidak memberikan respons adekuat
terhadap terapi antikonvulsan dipertimbangkan pemberian
piridoksin i.v. 50–100 mg. Kejang yang disebabkan oleh
ketergantungan piridoksin akan memberikan respons yang
baik dan cepat bila diberikan piridoksin.
Dokumentasi Kejadian Kejang
• Untuk bayi berisiko atau yang diduga mempunyai aktivitas kejang
dokumentasikan setiap episode gerakan yang tidak biasa atau stereotip
(berulang) dan perubahan dalam fungsi autonom. Informasi sebaiknya
mencakup
- tanggal, waktu, dan durasi (lama) setiap kejang;
- apakah ada gerakan berulang/streotip;
- jenis kejang (gerakan umum, tonik, klonik, mioklonik, dan
fokal atau umum);
- apakah ada gerakan mata abnormal;
- progresivitas kejang;
- apakah ada perubahan sistem autonom seperti apnea,
hipotensi, hipertensi;
- apakah ada kejang yang berkorelasi dengan gambaran
elektrografik pada eEEG (jika mungkin monitoring aEEG);
- apakah kejang dapat terstimulasi dengan faktor lingkungan sekitar
(kebisingan, sentuhan perawat);
- apakah kejang dapat dihentikan setelah mendapat obat antikejang.
Daftar Obat Antikonvulsan untuk Bayi Baru
Lahir

Obat Dosis dan Pemberian


• Fenobarbital. • Dosis bolus: 20 mg/kgbb i.v.
diberikan selama 10–15 menit.
Dosis dapat ditambah sampai 40
mg/kgbb. Dosis rumatan: 2,5–5
mg/kgbb/x i.v. tiap 12 jam
(dimulai 12–24 jam setelah dosis
bolus.
• Fenitoin. • Dosis bolus: 15–20 mg/kgbb i.v.
(kecepatan 0,5 mg/kgbb/mnt).
Dosis rumatan: 2,5–5 mg/kgbb/x
i.v. tiap 12 jam (dimulai 12 jam
setelah dosisi bolus).
• Midazolam. • Dosis bolus: 0,2 mg/kgbb i.v.
minimal selama 5 menit.

• Klonazepam. • Dosis rumatan: 0,1–0,4


mg/kgbb/jam.
100 mcg/kgbb, bolus i.v. selama 2
menit.
Diulang interval 24 jam jika
diperlukan.
Obat golongan midazolam dan
klonazepam sebaiknya diberikan
di tempat dengan fasilitas yang
lengkap.
TATA LAKSANA RUJUKAN BAYI
BARU LAHIR
• Penanganan kegawatan BBL adalah penanganan yang
kompleks karena harus mempertimbangkan 2 aspek:
1. meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidup dan
mengurangi morbiditas yang ada tanpa menciptakan
morbiditas baru (mengurangi angka morbiditas dan
mortalitas);
2. menyelamatkan otak saat proses kegawatan tersebut/
problem tersebut berlangsung (meningkatkan kualitas
hidupnya).
Beberapa Risiko yang Sering Terjadi
• Merujuk BBL akan aman selama risiko potensial kegawatan
yang muncul dapat diantisipasi dan segera diatasi. Beberapa
risiko yang sering terjadi selama proses rujukan seperti:
- hipotermia, hipoglikemia;
- kebutuhan ventilasi/oksigenasi yang tidak teratasi;
- insufisiensi sirkulasi yang terjadi akibat kurang cepat klinisi
memberikan respons dalam mengatasi ventilasi dan
oksigenasi;
- kejang yang tidak terdeteksi;
- insufisiensi sirkulasi akibat proses inflamasi yang semakin
meluas.
• Risiko tersebut merupakan risiko medik dan di Indonesia
dengan kondisi geografis yang sangat spesifik dan sulit, risiko
tersebut meningkat.
• Idealnya dan pilihan terbaik bila memungkinkan adalah
merujuk ibu hamil. Situasi ini tidak selalu mudah untuk
diantisipasi mengingat ibu hamil sering datang pada kondisi
sudah in partu dan terkadang dapat berisiko bila ibu dirujuk.
Pada situasi seperti itu dengan sangat terpaksa bayi dilahirkan
di tempat dengan fasilitas terbatas.
Hal-hal yang Harus Dilakukan Bila Bayi
Dilahirkan di Fasilitas Terbatas
1. Persiapan alat dan panggil bantuan sebelum bayi dilahirkan.
Penting penolong persalinan mempunyai komunikasi kerja
yang baik dan erat dengan teman seprofesinya.
2. Persetujuan tindakan medik dilakukan oleh suami atau pihak
keluarga. Di dalam persetujuan tindakan medik sebaiknya
mencakup penanganan medis 3 hal, yaitu
- tindakan resusitasi;
- tindakan stabilisasi; dan
- rujukan.
3. Tentukan tempat rujukan yang TEPAT. Sangat penting dan hal
ini sebaiknya dikomunikasikan sebelumnya dengan pihak
keluarga pada setiap kehamilan/persalinan risiko tinggi.
Pertimbangkan jarak dan ke tempat rujukan yang lengkap.
4. Lakukan beberapa hal penting sebelum rujukan.
- pahami algoritma rujukan;
- lakukan stabilisasi medik yang diperlukan mengacu pada konsep
stabilisasi neonatus;
- perhatikan keamanan pasien selama proses stabilisasi dan
rujukan;
- komunikasi dengan pihak keluarga dan RS yang akan dituju;
- merujuk bayi dengan PMK dapat dipakai sebagai alternatif bila
tidak ada inkubator. Merujuk dengan cara ini terbukti aman
karena suhu tubuh dapat terjaga baik. Penting diperhatikan
menjaga posisi kepala agak sedikit ekstensi untuk menjaga jalan
napas terbuka. Suhu tubuh bayi selama dirujuk dimonitor setiap
30 mnt dan bila suhu stabil dimonitor setiap 1 jam. Jangan lupa
menggunakan tutup kepala dan disarankan pakai baju kanguru.
Level Layanan Tipe Provider
Level I -Resusitasi bayi baru lahir Dokter spesialis anak,
Perawatan bayi -Stabilisasi dan perawatan bayi usia dokter keluarga,
normal. gestasi 35–37 mgg yang stabil. perawat, dan perawat
-Stabilisasi sementara bayi yang dengan sertifikat lanjut.
sakit serta bayi usia gestasi <35
mgg sebelum dirujuk ke layanan
lebih tinggi.
Level II Level I ditambah Tenaga kesehatan level I
Perawatan khusus -Perawatan bayi usia gestasi ≥32 ditambah dokter
bayi baru lahir. mgg dan bb ≥1.500 g yang fisiologis spesialis anak umum,
/sakit sedang yang diharapkan spesialis anak
dapat membaik dalam waktu neonatologi, dan
singkat dan tidak perlu perawatan perawat khusus bayi
subspesialis segera. baru lahir.
-Perawatan bayi pasca NICU.
-Perawatan dgn ventilasi mekanik
sementara/<24 jam atau CPAP, atau
keduanya.
-Stabilisasi sementara bayi <32 mgg
atau dg BBL <1.500 g sebelum
dirujuk.
Level Layanan Tipe Provider

Level III Level II ditambah Tenaga kesehatan level II


NICU. -Perawatan penunjang hidup ditambah dokter anak
secara terus menerus. subspesialis anestesi
-Perawatan komprehensif untuk pediatrik, bedah anak,
bayi <32 mg dan BBL <1.500 g. dan oftalmologi
-Semua bayi sakit kritis dengan pediatrik.
atau tidak memerlukan akses
langsung dengan bidang
subspesialis, yaitu dokter anak
subspesialis lain, bedah anak,
anestesi pediatrik, dan oftalmologi
pediatrik.
-Menyediakan bantuan ventilasi
konvensional maupun HFO dan NO.
-Menyediakan pencitraan tingkat
lanjut termasuk CT, MRI, dan
ekokardiografi.
Level Layanan Tipe Provider
Level IV Level III ditambah Tenaga kesehatan level
NICU regional. -Terletak di institusi yang dapat III ditambah dokter
menyediakan tindakan bedah bedah anak
repair untuk masalah kelainan subspesialisasi.
kompleks baik bawaan atau
didapat.
-Memelihara tersedia layanan
dokter anak subspesialis, bedah
anak, dan anestesi.
-Memfasilitasi transpor dan
menyediakan layanan pendidikan.
Stabilisasi Medik
Beberapa hal yang harus dilakukan sebelum merujuk bayi.
1. Menghangatkan, mengeringkan, serta menutup badan bayi dan
ekstremitas yang bebas dari akses i.v. serta memasang tutup
kepala. Bila tidak ada inkubator transpor segera gunakan metode
kanguru.
Pilihan pertama KMC (kangaroo mother care) adalah dengan ibunya
bila kondisi ibu memungkinkan karena ibu yang baru melahirkan
mempunyai suhu tubuh yang lebih tinggi terutama di ke-2 belah
payudara akibat tingginya aliran darah di payudara tsb. Sentuhan
bayi dengan ibu secara langsung akan memperkuat ikatan psikologis
dan diyakini dapat ↑ produksi ASI. Bila kondisi ibu tidak
memungkinkan, KMC dapat dilakukan oleh suaminya atau pihak
keluarga lainnya. Perlu diingat pada bayi dengan HIE metode
kanguru tidak dianjurkan.
2. Memberi bantuan pernapasan bila bayi sesak/sianosis:
membebaskan jalan napas dengan memposisikan kepala menghidu
dan menghisap jalan napas. Selanjutnya, bila bayi tetap
sesak/sianosis dengan laju denyut jantung >100x/mnt: pasang
sungkup laring dan hubungkan dengan CPAP menggunakan BTMS
atau t-piece rescucitator. Bila sarana untuk memberikan CPAP tidak
tersedia, berikan VTP dengan BMS dengan laju pemberian VTP tidak
lebih dari 20x/mnt.
• Bila bayi tidak mempunyai napas spontan (apnea atau megap-
megap) dengan atau tidak disertai laju denyut jantung <100x/mnt
segera berikan VTP dengan BMS atau BTMS melalui sungkup laring.
3. Pasang akses i.v. perifer atau vena umbilikalis dengan cara sangat
aseptis. Pada saat pemasangan jalur i.v. ambil sampel darah 0,2 mL
utk pemeriksaan gula darah, darah rutin, dan hitung jenis atau
sampel darah 2 mL utk pemeriksaan AGD, gula darah, gol. darah/
rhesus, dan kultur darah (pada layanan fasilitas laboratorium yang
memungkinkan).
• Sebelum merujuk bayi penting memberikan cairan NaCl fisiologis
0,9% sebanyak 10 mL/kgbb selama 30 mnt pada bayi cukup bulan, 1
jam pada bayi kurang bulan >32 mgg, 1–2 jam pada bayi kurang
bulan kecil <32 mgg.
• Setelah pemberian cairan fisiologis selesai pasang infus dekstrosa
10% dengan total kebutuhan cairan 60–80 mL/kgbb/ hari; 60
mL/kgbb/hari untuk bayi cukup bulan dan 80 mL/kgbb/hari untuk
bayi kurang bulan.
4. Bila waktu yang diperlukan untuk sampai di tempat rujukan >3 jam
pada bayi dengan risiko infeksi petimbangkan memberikan suntikan
antibiotik spektrum luas terlebih dahulu, yaitu kombinasi ampisilin
(100 mg/kgbb/hari 2 dosis) dan bila sudah ada diuresis dapat
diberikan gentamisin (5 mg/kgbb/hari 1 dosis). Pertimbangkan
pemberian fenobarbital dosis bolus 20 mg/kgbb untuk 1x
pemberian, diberikan selama 30 mnt pada bayi kecurigaan kejang
atau risiko tinggi kejang.
5. Pasang pipa orogastrik dan melakukan dekompresi lambung
secara aktif dan selanjutnya pipa orogastrik dibiarkan
terbuka. Pada produksi lendir yang terus menerus sehingga
mengganggu jalan napas, pengisapan dapat dilakukan secara
kontinu melalui mesin isap dengan tekanan -8 mmHg.
Sebelum pipa dimasukkan ke lambung jangan lupa mengukur
panjang pipa orogastrik dan mengevaluasi apakah pipa sudah
benar di lambung.
Kontrol Infeksi Selama Proses Stabilisasi
• Tidak semua ibu hamil dan melahirkan selalu diperiksa status
hepatitis B dan HIV. Selain itu, pada ibu yang terinfeksi hepatitis B
atau HIV tidak menunjukkan manifestasi klinis. Dengan demikian,
dalam melakukan tindakan medis atau perawatan senantiasa
mencegah terjadi kontak langsung antara cairan tubuh bayi dan
tenaga medis/paramedis.
• Upaya kontrol infeksi tersebut juga memberikan manfaat dalam
mencegah penularan infeksi dari satu bayi ke bayi yang lain.
• Memberikan perhatian khusus terhadap upaya pencegahan infeksi
dalam setiap pekerjaan medis seperti
- sarung tangan harus selalu dipakai pada setiap kontak
dengan cairan tubuh bayi seperti darah, kulit yang luka, membran
mukosa, dan semua cairan tubuh kecuali keringat;
- hanya menggunakan 1 sarung tangan untuk 1 bayi;
- sarung tangan tidak dapat menggantikan cuci tangan dan
pemakaian alcohol based hand rub sehingga setiap melepas
sarung tangan harus diikuti dengan cuci tangan dan
membasuh tangan dengan cairan aseptik;
- setiap sebelum dan sesudah kontak dengan bayi selalu
membersihkan tangan menggunakan cairan antiseptik;
- bayi yang perlu dilakukan isolasi khusus seperti bayi
diare, pneumonia, infeksi kulit terbuka, infeksi
stafilokokus (pustulosis, abses), cacar air, dan TB
kongenital. Bila tidak ada ruang khusus sebaiknya bayi
hanya dirawat oleh satu perawat;
- pembuatan infus, pencampuran infus, dan obat sebaiknya
dilakukan dalam kondisi aseptis dan dilakukan di luar unit
perawatan.
Evaluasi Beberapa Aspek Keamanan Bayi
Sebelum Dirujuk
• Bila bayi dipasang sungkup laring jangan lupa meniupkan
udara 4 mL melalui semprit untuk menggembungkan sungkup
wajah laring.
• Evaluasi kemungkinan flebitis, infus bengkak.
• Bila terpasang vena umbilikalis amati ukuran kateter yang
berada di permukaan umbilikus apakah masih sesuai dengan
ukuran yang sudah ditentukan sebelumnya dan apakah
kateter telah terfiksasi dengan baik.
• Bayi dengan sumbatan saluran cerna, INGAT pemasangan
CPAP tidak boleh diberikan, demikian juga pada bayi dengan
sumbatan saluran cerna yang belum dapat dipastikan, namun
terdapat riwayat kehamilan dengan polihidramnion. Lebih dari
60% bayi sindrom Down mengalami sumbatan saluran cerna
bagian atas (stenosis/atresia duodenum).
- Pada fasilitas dengan ketersediaan blender oksigen dan
pengukur saturasi oksigen (oksimeter), amati saturasi
oksigen agar tidak memberikan secara berlebihan dengan
menetapkan saturasi oksigen sekitar 88–92% pada bayi
kurang bulan dan 90–95% pada bayi cukup bulan.
- Jangan lupa memuasakan bayi selama proses stabilisasi atau
selama merujuk. Pada stabilisasi di ruang perawatan,
keputusan memberikan minum harus dengan evaluasi
beberapa aspek.
- Alat-alat yang harus dibawa selama proses rujukan dan
informasi tindakan medik agar selalu dicatat dalam tabel
yang sudah disiapkan.
Beberapa Pertimbangan dalam Pemberian Minum
Selama Proses Stabilisasi di Ruang Perawatan

Faktor Risiko Respons


• Banyak lendir. • Jangan diberi minum terlebih
dahulu sebelum dipastikan tidak
terdapat fistula trakeoesofageal
dan atresia esofagus dengan cara
memasukkan selang nasogastrik
(NG) atau orogastrik (OG).
• Riwayat hidramnion pada ibu. • Monitor toleransi minum bayi
dengan hati-hati. Jika ditemukan
distensi abdominal atau muntah
berulang, puasakan bayi, masukkan
selang NG (nasogastrik) atau OG
(orogastrik), dan lakukan rontgen
abdomen.
• Distensi abdomen. • Masukkan NG atau OG dan isap
lambung untuk melakukan
kompresi perut. Jangan beri minum
bayi sebelum dipastikan tidak
terdapat obstruksi atau ileus.
• Jangan beri minum bayi dengan
• Distres napas, napas cepat, atau botol atau menetek ibu sebelum
bayi tidak aktif. frekuensi napas <60x/mnt dan bayi
dapat mengoordinasi proses
mengisap, menelan, dan bernapas
dengan baik.

• Beri minum melalui NG atau OG


• Bayi dengan usia gestasi <32–34 atau berikan cairan i.v. hingga
mgg, dapat mengisap, menelan, selang minum terpasang. Bayi
dan bernapas dengan adekuat, prematur mempunyai kebutuhan
namun belum terkoordinasi baik. nutrisi khusus.
• Muntah hijau atau muntah • Puasakan. Lakukan rontgen
/meludah persisten. abdomen untuk kemungkinan
obstruksi saluran pencernaan.

• Tidak buang air besar dalam 48 • Puasakan. Evaluasi tedapat


jam pertama. obstruksi atau ileus.

• Riwayat resusitasi yang lama • Puasakan hingga bayi stabil.


(risiko tinggi terjadi ileus atau Tetap puasakan hingga 24 jam
necrotizing enterocolitis). atau hingga bising usus
terdengar normal.
• Sepsis. • Jaga kebutuhan cairan dan gula
darah bayi melalui cairan
intravena.
Daftar Peralatan untuk Stabilisasi Bayi Baru Lahir
Jenis Check List

Peralatan isap lendir. 1. Balon pengisap lendir.


2. Kateter pengisap (ukuran 6, 8, 10, 12 Fr).
3. Aspirator mekoneum.
4. Pengisap dan pipa mekanik
5. Pipa lambung ukuran 8 Fr dan semprit
20 mL.
Peralatan balon dan sungkup resusitasi. 1. Balon resusitasi bayi yang mampu
memberikan 90–100% oksigen dan
mempunyai katup pelepas tekanan/alat
ukur tekanan.
2. Oksigen dengan pengukur aliran dan
selang.
3. Sungkup/sungkup wajah.
4. Nasal prong/kanul nasal.
5. Oral airway, ukuran bayi cukup bulan
dan prematur.
6. T-piece resuscitator (bila ada).
7. Sumber oksigen dan blender.
Daftar Peralatan untuk Stabilisasi Bayi Baru Lahir
Jenis Check List

Peralatan intubasi. 1. Laringoskop dengan lampu dan baterei


cadangan.
2. Bilah laringoskop no. 1 (bayi cukup
bulan), no. 0 (bayi kurang bulan), no. 00
(bayi sangat prematur). Dianjurkan
memakai bilah lurus.
3. Pipa endotrakeal lurus dengan diameter
dalam 2,5; 3,0; 3,5; dan 4,0 mm.
4. Stilet yang cocok dengan ukuran pipa
endotrakeal atau Magyl untuk intubasi
nasotrakeal.
5. Sarung tangan.
Obat-obatan. 1. Epinefrin 1:10.000 (0,1 mg/mL).
2. Natrium bikarbonat 8,4%.
3. Dekstrosa 10%.
4. Akuades.
5. Volume expander: RL, NaCl, darah.
Daftar Peralatan untuk Stabilisasi Bayi Baru Lahir
Jenis Check List

Lain-lain. 1. Infant warmer.


2. Stetoskop.
3. Plester.
4. Semprit (ukuran 1, 3, 5, 10, 20, dan 50
mL).
5. Kateter umbilikal (ukuran 3, 5, dan 5`Fr).
6. Oksimeter nadi dengan sensor (probe)
neonatus.
7. Jarum (ukuran 25, 21, dan 18).
8. Alcohol swab.
9. Tempat untuk kateterisasi pembuluh
umbilikal: skalpel/gunting, kateter
umbilikal, pengikat, antiseptik, threeway
stopcock.
Daftar Peralatan untuk Stabilisasi Bayi Baru Lahir
Tahapan Checklist

Sugar and safe care. a. jarum, abocath + selang infus bayi baru lahir.
b. Dekstrostiks.
c. Dekstrosa 10%.
d. Akses i.v. /umbilikal: abocath/kateter
umbilikal, ET 1/100 cm, dan semprit 50 mL.
e. Cairan infus mengandung dekstrosa 10%.
Temperature. a. Inkubator/infant warmer yang masih
berfungsi baik.
b. Kain kering/selimut hangat, topi, kantong
plastik.
c. Termometer.
d. Lampu sorot (jika diperlukan).
e. Perlengkapan KMC.
Daftar Peralatan untuk Stabilisasi Bayi Baru Lahir
Tahapan Checklist

Airway. a. Alat intubasi: laringoskop dengan lampu dan


baterei cadangan, bilah laringoskop, pipa
endotrakeal dengan diameter dalam 2,5; 3.0;
3,5; dan 4,0; stilet/magyll plester kedap air,
gunting.
b. Kateter pengisap (ukuran 6, 8, 10, dan 12 Fr).
c. Sumber oksigen dan blender.
d. Stetoskop.
e. Nasal prong/kanul nasal.
f. Balon resusitasi/T-piece resuscitator + selang
oksigen.
g. Sungkup wajah.
h. Support ventilasi: CPAP, ventilator mekanik.
i. Pipa orogastrik ukuran 8 Fr.
j. Oksimeter nadi dengan sensor (probe)
neonatus.
k. Oral airway.
Daftar Peralatan untuk Stabilisasi Bayi Baru Lahir
Tahapan Checklist

Blood pressure a. Tensimeter neonatus.


b. Cairan fisiologis NaCl 0,9% atau RL.
c. Obat-obatan: dopamin.

Laboratory a. Semprit ukuran 1, 3, atau 5 mL.


b. Heparin (bila perlu).
c. Alat pemeriksaan lab portable: analisis gas
darah dan darah perifer lengkap.
d. Alcohol swab.
e. Plester kedap air.
f. Antibiotik (bila terdapat indikasi).
ETIKA MEDIK DAN DUKUNGAN
EMOSI TERHADAP KELUARGA
Pendahuluan
• Dalam pelayanan medik paling sedikit terdapat tiga komponen
penting, komponen ilmu dan teknologi; komponen moral dan etika
medik; dan komponen hubungan interpersonal antara petugas
pelayanan medik dan pasien.
• Petugas pelayanan medik dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
baik dokter maupun paramedik harus menerapkan ketiga
komponen tersebut dalam satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.
• Perlu menerapkannya dalam menjalankan tugas dan fungsinya
memberikan pelayanan perawatan pasien.
• Dalam paradigma baru yang sesuai dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran  hubungan antara petugas pelayanan medik dan
pasien adalah kemitraan.
• Pasien harus dihargai sebagai pribadi yang berhak atas
tubuhnya. Pasien adalah subjek dan bukan semata-mata objek
yang boleh diperlakukan tanpa sepengetahuannya dan tanpa
kehendaknya.
• Hubungan interpersonal antara petugas pelayanan medik dan
pasien merupakan suatu seni yang mengatur bagaimana
sebaiknya berkomunikasi, berempati (upaya menolong
pasien dengan pengertian terhadap apa yang diperlukan
pasien), bersimpati, sopan santun, dan penuh perhatian
terhadap pasien dengan masalah kesehatannya.
Etika Medik
• Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti
kebiasaan-kebiasaan atau tingkah laku manusia. Etika
merupakan studi tentang nilai-nilai perilaku bagaimana
manusia sebaiknya berperilaku berdasarkan pertimbangan
baik buruk.
• Etika medik ialah suatu sistem prinsip-prinsip moral berdasar
atas nilai-nilai dan hukum praktik kedokteran. Prinsip-prinsip
utama dalam etika medik diterapkan dan digunakan sebagai
petunjuk umum untuk tindakan medik dalam menyelesaikan
masalah dalam pelayanan medik.
• Prinsip utama etika medik meliputi autonomi, beneficence,
nonmalefience, dan justice.
Prinsip Utama Etika Medik
• Autonomi : berarti mengatur diri sendiri, yaitu bebas dari kontrol
pihak lain. Berarti mengakui hak individu, yaitu menghormati
autonomi pasien dalam menentukan pilihannya sendiri atas
tindakan medik yang akan dilakukan pada dirinya.
• Beneficence: berarti berbuat baik. Dalam hal ini yang dimaksud
adalah prinsip yang mengharuskan petugas medik dalam memilih
tindakan medik yang akan diterapkan semata-mata demi kebaikan
dan keuntungan pasien.
• Nonmalefience: berarti tidak merugikan/mencederai pasien. Prinsip
yang mengharuskan petugas medik memilih/memutuskan tindakan
medik yang paling minimal merugikan/mencederai pasien.
• Justice: prinsip yang harus diterapkan untuk memberikan pelayanan
medik yang terbaik dalam keterbatasan alokasi sumber daya medik
yang ada tanpa membeda-bedakan status sosial dan ekonomi
pasien.
Keempat prinsip tersebut menjadi alasan
petugas medik untuk meminta pasien bersedia
dilakukan tindakan medik sesudah diberikan
penjelasan secara rinci (informed consent).
• Untuk terlaksananya prinsip-prinsip dalam etika medik petugas
kesehatan harus melakukan langkah-langkah yang terkait dengan
prinsip etika ini dengan tidak melupakan kemungkinan terjadi
berbagai permasalahan.
• Menerapkan keempat prinsip tersebut dalam praktik pelayanan
medik tidaklah mudah karena kadang terjadi konflik antara prinsip
yang satu dan yang lainnya. Misalnya antara pilihan medik demi
kebaikan pasien dan prinsip autonomi yang memberikan hak pasien
untuk menolak hal itu.
• Keputusan yang dibuat dengan latar belakang konflik ini tidak
tertutup kemungkinan dapat menjadi masalah, misal pasien lalu
menggugat petugas pelayanan medik terkait dengan etika. Bila
gugatan ini berlanjut sampai ke Komite Etik Profesi, petugas
pelayanan medik yang tergugat harus menjawab berbagai hal yang
diajukan oleh Komite Etik terkait dengan keempat prinsip etika.
Beberapa Permasalahan yang Dapat Terjadi Sebelum
Membuat Keputusan Klinik Terkait Etika Medik

• Perbedaan budaya dapat menyebabkan masalah dalam etika medik.


Ada kepercayaan berdasarkan spiritual atau magis yang
dihubungkan dengan terjadinya penyakit.
• Pada beberapa penyakit seperti keganasan sering kali tidak
dijelaskan dengan baik secara terus terang.
• Tidak ada biaya menyebabkan penanganan tidak optimal. Sering
kali pasien membutuhkan pemeriksaan penunjang serta pemberian
obat-obatan tertentu yang tidak dapat dilaksanakan.
• Petugas kesehatan sering kali tidak mengetahui atau memahami
bahwa setiap keluarga memiliki riwayat hidup yang berbeda,
misalnya latar belakang kebiasaan yang berbeda dalam menghadapi
kelahiran bayi terlebih lagi BBL yang sakit.
• Umumnya pasien pada saat memerlukan pertolongan kepada
petugas pelayanan medik mempunyai harapan besar yang kadang
terlalu besar yang bila tidak tercapai  tuntutan atau gugatan.
Langkah-langkah Petugas Pelayanan Medik dalam
Memberikan Pelayanan Medik Terkait Prinsip Etika
1. Identifikasi siapa yang berhak membuat persetujuan medik
(informed consent) apakah orangtua, wali, atau anggota keluarga
yang lain. Persetujuan medik harus sepenuhnya dimengerti dan
dipahami lebih dulu sehubungan dengan risiko atau keuntungan
dari tindakan pengobatan yang akan dilakukan.
2. Kumpukan data, lalu ditetapkan fakta dan permasalahannya.
3. Identifikasi semua pilihan (alternatif) tindakan medik yang dapat
dilakukan.
4. Evaluasi setiap pilihan tindakan sesuai dengan prinsip etika.
5. Identifikasi konflik etika yang mungkin terjadi dan susunlah skala
prioritas.
6. Pilihlah tindakan medik yang paling baik sesuai prinsip etika.
7. Setelah tindakan medik dilakukan, evaluasi ulang keputusan yang
dipilih tersebut.
Dukungan Emosional
• Bagi orangtua memiliki bayi sakit berat atau bayi kurang bulan
sehingga harus dirujuk atau dirawat di Unit Perawatan Intensif
Neonatal (NICU) merupakan masalah tersendiri yang sulit diterima
begitu saja tanpa bantuan dukungan emosional.
• Sumber pemberi dukungan emosional terbaik adalah para petugas
pelayanan yang ada di unit tersebut (tenaga medik, pekerja sosial).
• Di RS perawatlah yang paling ideal dalam memberi dukungan
emosional kepada orangtua bayi dan keluarganya.
• Kemampuan berkomunikasi dengan pasien merupakan salah satu
kompetensi yang harus dikuasai petugas pelayanan medik termasuk
perawat. Tidak jarang petugas pelayanan medik tidak mempunyai
waktu cukup berbicara dengan pasiennya. Komunikasi dengan
pasien yang kurang baik sering  kekecewaan pasien/keluarga 
konflik antara petugas pelayanan medik dan pasien.
• Komunikasi nonverbal: gerak-gerik tubuh, ekspresi, dan isyarat.
TRAUMA LAHIR PADA
NEONATUS
PENDAHULUAN

• Kelahiran seorang bayi merupakan saat yang


membahagiakan orangtua, terutama bayi yang lahir sehat.
Bayi yang nantinya tumbuh menjadi anak dewasa melalui
proses yang panjang dengan tidak mengenyampingkan
faktor lingkungan keluarga.
• Terpenuhinya kebutuhan dasar anak oleh keluarga akan
memberikan lingkungan yang terbaik bagi anak sehingga
tumbuh kembang anak akan seoptimal-optimalnya.
• Tidak semua bayi lahir dalam keaaan sehat, beberapa bayi
lahir dengan gangguan pada masa prenatal, natal, dan
pascanatal yang akan memengaruhi tumbuh kembang
anak.
• Pada saat persalinan perlukaan atau trauma kelahiran
kadang-kadang tidak dapat dihindarkan dan lebih
sering ditemukan pada persalinan yang terganggu oleh
suatu sebab.
• Penanganan persalinan secara sempurna dapat
mengurangi frekuensi peristiwa tersebut.
• Insidensi trauma lahir diperkirakan 2–7/1.000 kelahiran
hidup. Walaupun hanya trauma tersebut yang bersifat
sementara, tetapi sering menyebabkan kecemasan
orangtua yang memerlukan pembicaraan bersifat
suportif dan informatif.
• Trauma lahir juga merupakan salah satu faktor
penyebab utama kematian perinatal.
• Definisi trauma lahir: trauma pada bayi yang
diterima dalam atau proses kelahiran. Istilah
trauma lahir dipakai untuk menunjukkan
trauma mekanik dan anoksik baik yang dapat
dihindarkan maupun yang tidak dapat
dihindarkan pada masa persalinan dan
kelahiran.
FAKTOR PREDISPOSISI TRAUMA LAHIR
• Makrosomia.
• Prematurits.
• Disproporsi sefaloselvik.
• Distosia.
• Persalinan lama.
• Persalinan yang diakhiri alat (ekstraksi vakum dan forseps).
• Persalian SC.
• Kelahiran sungsang.
• Presentasi bokong
• Presentasi muka.
• Kelainan bayi letak lintang.
KELAINAN PADA BBL AKIBAT TRAUMA LAHIR

1. Perlukaan jaringan lunak


• Perlukaan kulit: kelainan ini mungkin timbul
pada persalinan yang memakai alat seperti
cunam atau vakum. Infeksi sekunder
merupakan bahaya yang dapat timbul, karena
itu kebersihan dan pengeringan kulit yang
terluka perlu diperhatikan. Bila perlu dapat
digunakan obat antiseptik lokal. Biasanya
diperlukan 6–8 minggu untuk penyembuhan.
• Eritema, petekia, abrasi, ekimosis, dan
nekrosis lemak subkutan.
Jenis persalinan yang sering menyebabkan
keadaan ini adalah presentasi muka dan
persalinan yang diselesaikan dengan ekstraksi
cunam dan vakum. Kelainan ini memerlukan
pegobatan khusus dan menghilang pada
minggu pertama.
• Perdarahan subponeurotik: perdarahan ini
terjadi di bawah aponeurosis akibat vena yang
menghubungkan jaringan di luar dengan sinus di
dalam tengkorak pecah. Hal ini dapat terjadi pada
persalinan yang diakhiri alat dan biasanya tidak
mempunyai batas tegas sehingga kadang kepala
berbentuk asimetris. Kelainan ini dapat 
anemia, syok, atau hiperbilirubinemia. Pemberian
vit K dosis 1–2 mg/kgbb/hari selama 3 hari dan
transfusi darah bila diperlukan.
• Trauma m. sternokleidomastoideus: kelainan ini
didapat pada persalinan sungsang karena upaya
untuk melahirkan kepala bayi. Kepala serta leher
bayi cenderung miring ke arah otot yang sakit dan
jika dibiarkan otot sembuh, tetapi lebih pendek
daripada normal. Sebelum hal itu terjadi perlu
fisioterapi dengan pengurutan setempat dan
peregangan leher secara pasif ke sisi yang
berlawanan. Jika setelah 6 bulan tidak berhasil 
pembedahan korektif.
• Caput succedaneum: merupakan edema subkutis
akibat penekanan jalan lahir pada persalinan
letak kepala, berbentuk benjolan yang segera
tampak setelah bayi lahir, tidak berbatas tegas,
dan melewati batas sutura. Ditemukan pada
presentasi kepala sesuai dengan posisi bagian
yang bersangkutan. Pada bagian tersebut terjadi
edema sebagai akibat pengeluaran serum dari
pembuluh darah. Tidak perlu terapi khusus dan
biasanya menghilang setelah 2–5 hari.
• Cephal hematoma: pengumpulan darah di atas tulang
tengkorak yang disebabkan oleh perdarahan subperiosteal
dan berbatas tegas pada tulang yang bersangkutan yang
tidak melampaui sutura di sekitarnya, serta sering
ditemukan pada tulang temporal dan parietal. Kelainan
dapat terjadi pada persalinan biasa, tetapi lebih sering pada
persalinan lama atau persalinan yang diakhiri dengan alat
seperti ekstraksi cunam atau vakum. Gejala lanjut yang
mungkin timbul: anemia dan hipebilirubinemia. Kadang
disertai fraktur tulang tengkorak di bawahnya atau
perdarahan intrakranial. Bila tidak didapat gejala lanjut
tidak perlu perawatan khusus dan hilang dengan sendirinya
setelah 2–12 minggu. Pada keadaan yang agak luas
penyembuhan kadang disertai kalsifikasi.
• Caput vakum: pengumpulan cairan sero-
sanguis yang terbatas pada tempat cup vakum
dipasang. Keadaan ini biasanya disertai
dengan aberasi dan laserasi kulit kepala serta
akan menghilang dalam beberapa hari. Jarang
sekali terjadi anemia dan ikterus akibat
keadaan ini. Bila disertai laserasi perlu
diperhatikan kemungkinan terjadi infeksi.
• Perdarahan subkonjungtiva: keadaan ini
sering ditemukan pada bayi baik pada
persalinan biasa maupun pada persalinan
yang sulit. Darah yang tampak di bawah
konjungtiva biasanya diabsorbsi setelah 1–2
minggu tanpa diperlukan pengobatan apa-
apa.
2. Perdarahan intrakranial
• Perdarahan subdural: kelainan ini terjadi akibat
tekanan mekanik pada tengkorak yang dapat
menimbulkan robekan falks serebri atau
tentorium serebeli sehingga terjadi perdarahan.
Hal ini biasanya ditemukan pada persalinan
dengan disproporsi sefalopelvik yang dipaksakan
untu lahir per vaginal dan lebih sering ditemukan
pada bayi aterm daripada bayi prematur.
• Perdarahan subependimal dan
intraventrikular: kejadian ini lebih sering
disebabkan oleh hipoksia dan biasanya
terdapat pada bayi prematur.
• Perdarahan subaraknoidal: perdarahan ini
juga ditemukan pada bayi prematur dan
mempunyai hubungan erat dengan hipoksia
pada sat lahir.
• Bayi dengan perdarahan intrakranial
menunjukkan gejala asfiksia yang sukar diatasi.
Bayi setengah sadar, merintih, pucat, sesak
napas, muntah, dan kadang-kadang kejang.
• Bayi dapat meninggal atau hidup terus tanpa
gejala-gejala lanjut atau dengan gejala-gejala
neurologik yang beraneka ragam bergantung
pada tempat dan luasnya kerusakan jarigan otak
akibat perdarahan.
TINDAKAN PADA PERDARAHAN
INTRAKRANIAL
• Kelainan yang membawa trauma harus dihindari dan kalau ada
disproporsi harus dilakukan sectio caesaria.
• Bayi dirawat dalam inkubator.
• Temperatur harus dikontrol.
• Kalau perlu diberikan tambahan oksigen.
• Sekret dalam tenggorokan diisap keluar.
• Bayi jangan terlampau banyak digerakkan dan dipegang.
• Kalau ada indikasi diberikan vitamin K.
• Konvulsi dikendalikan dengan sedativa.
• Kepala jangan direndahkan karena dapat menambah perdarahan.
• Jika pengumpulan darah subdural dicurigai harus dilakukan pungsi
lumbal untuk mengurangi tekanan.
• Diberikan antibiotik sebagai profilaktik.
3. Patah tulang.
• Fraktur klavikula: fraktur ini tersering pada BBL bila
terdapat kesulitan mengeluarkan bahu pada
persalinan. Hal ini terjadi pada kelahiran presentasi
puncak kepala dan pada lengan yang telentang pada
kelahiran sungsang. Gejalanya kelemahan lengan yang
terkena, krepitasi, ketidakteraturan tulang mungkin
dapat diraba, perubahan warna kulit bagian atas tulang
yang terkena, dan refleks Moro hilang pada sisi
tersebut. Diagnosis dapat ditegakkan dengan palpasi
dan foto rontgen. Penyembuhan sempurna setelah 7–
10 hari dengan imobilisasi (posisi abduksi 60 derajat
dan fleksi 90 derajat dari siku yang terkena).
• Fraktur humeri: terjadi karena kesalahan teknik
dalam melahirkan lengan pada presentasi puncak
kepala atau letak sungsang dengan lengan
membumbung ke atas. Pada keadaan ini biasanya
sisi yang terkena tidak dapat digerakkan dan
refleks Moro pada sisi tersebut menghilang.
Prognosis penderita baik dengan dilakukan
imobilisasi lengan,yaitu mengikat lengan ke dada
dengan memasang bidai berbentuk segitiga dan
bebat atau dengan pemasangan gips. Membaik
dalam 2–4 minggu.
• Fraktur tulang tengkorak: kebanyakan terjadi
akibat persalinan per vaginam karena
penggunaan cunam atau forseps yang salah.
Fraktur linier paling sering dan tidak memerlukan
pengobatan serta fraktur depresi yang biasanya
kelihatan sebagai lekukan pada kalvarium yang
mirip dengan lekukan pada bola pingpong. Semua
fraktur ini harus direposisi untuk menghindari
cedera korteks akibat tekanan yang terus
menerus dengan menggunakan anestesi lokal
dalam minggu pertama dan segera setelah
kondisi bayi stabil.
• Fraktur femoris: jarang terjadi dan bila
ditemukan biasanya disebabkan oleh
kesalahan teknik pada pertolongan presentasi
sungsang. Gejala berupa pembengkakan paha
disertai nyeri bila dilakukan gerakan pasif pada
tungkai. Pengobatan melakukan traksi pada
kedua tungkai walaupun fraktur hanya
unilateral. Penyembuhan sempurna didapat
setelah 3–4 minggu pengobatan.
• Fraktur dan dislokasi tulang belakang: jarang, terjadi
bila dilakukan traksi kuat untuk melahirkan kepala janin
pada presentasi sungsang atau untuk melahirkan bahu
pada presentasi kepala. Lebih sering pada tulang
belakang servikal bagian bawah dan torakal bagian
atas. Lesi berupa perdarahan setempat hingga
destruksi total medula spinalis. Keadaan bayi mungkin
buruk sejak kelahiran disertai depresi napas, syok, dan
hipotermia. Bila keadaan parah bayi dapat memburuk
dengan cepat  kematian dalam beberapa jam. Pada
bayi yang selamat pengobatan yang dilakukan bersifat
suportif dan sering terdapat cedera permanen.
4. Perlukaan susunan saraf
• Paralisis nervus fasialis: kelainan ini terjadi akibat
tekanan perifer pada nervus fasialis saat kelahiran. Hal
ini sering terjadi pada bayi yang lahir dengan ekstraksi
cunam. Kelumpuhan perifer ini bersifat flasid dan bila
kelumpuhan terjadi total akan mengenai seluruh sisi
wajah termasuk dahi. Kalau bayi menangis hanya dapat
dilihat pergerakan pada sisi wajah yang tidak
mengalami kelumpuhan dan mulut tertarik ke sisi itu.
Pada sisi yang terkena gangguan, dahinya licin, mata
tidak dapat ditutup, lipatan nasolabial tidak ada, dan
sudut mulut kelihatan jatuh. Kelainan biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa tindakan khusus.
• Paralisis nervus frenikus: biasanya terjadi di sebelah
kanan dan menyebabkan paralisis diafragma. Sering
ditemukan pada kelahiran sungsang. Pada paralisis
berat bayi dapat memperlihatkan sindrom gangguan
pernapasan dengan dispnea dan sianosis. Diagnosis
ditegakkan dengan rontgen toraks atau fluoroskopi
yang terlihat diafragma yang terganggu posisinya lebih
tinggi. Pengobatan biasanya simtomatik. Bayi harus
diletakkan pada sisi yang terkena gangguan dan bila
perlu diberi oksigen. Infeksi paru merupakan
komplikasi yang berat. Penyembuhan spontan pada
bulan ke-1 sampai bulan ke-3.
• Kerusakan medula spinalis: terjadi pada
kelahiran letak sungsang, presentasi muka atau
dahi. Hal ini terjadi akibat regangan longitudinal
tulang belakang karena tarikan, hiperfleksi, atau
hiperekstensi pada kelahiran. Gejala yang
ditemukan bergantung pada bagian medula
spinalis yang terkena dan dpt memperlihatkan
sindrom gangguan pernapasan, paralisis kedua
tungkai, retensio urin, dll. Kerusakan yang ringan
kadang tidak memerlukan tindakan apa-apa,
tetapi pada beberapa keadaan perlu tindakan
bedah atau bedah saraf.
5. Perlukaan lain
• Perdarahan intra-abdominal. Keadaan ini dapat terjadi
karena teknik yang salah dalam memegang bayi pada
ekstraksi persalinan sungsang. Gejala yang dapat dilihat
adalah tanda-tanda syok, pucat, anemia, dan kelainan
abdomen tanpa tanda-tanda perdarahan yang jelas.
Ruptur hepar, lien, dan perdarahan adrenal merupakan
beberapa faktor yang dapat menyebabkan perdarahan
ini. Operasi dan transfusi darah dini dapat
memperbaiki prognosis bayi.
KELAINAN KONGENITAL
DAN FAKTOR YANG
MENDASARINYA
PENDAHULUAN

• Cacat bawaan ialah keadaan cacat lahir pada


neonatus yang tidak diinginkan kehadirannya
oleh orangtua maupun petugas medis.
• Cacat bawaan adalah keadaan cacat yang
terjadi sebelum kelahiran.
• Laporan dari beberapa penelitian dari dalam
maupun luar negeri bahwa angka kejadian
cacat bawaan dari tahun ke tahun cenderung
meningkat.
KELAINAN KONGENITAL
• Kelainan kongenital atau bawaan merupakan kelainan dalam
pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil
konsepsi sel telur. Hal ini sudah ada sejak lahir yang dapat
disebabkan oleh faktor genetik maupun nongenetik.
• Penyebab abortus, lahir mati, atau kematian segera setelah
lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupan
sering disebabkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat.
• Umumnya bayi berat lahir rendah dan sering kecil untuk
masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan
kongenital berat kira-kira 20% meninggal dalam minggu
pertama kehidupannya.
PATOGENESIS DEFEK PADA JANIN
• Deformasi: anomali yang disebabkan oleh tekanan
mekanik yang abnormal pada janin yang sedang
berkembang sehingga mengubah bentuk, ukuran, atau
posisi sebagian dari tubuh yang semula berkembang
normal. Contoh: talipes, dislokasi sendi panggul
kongenital, skoliosis kongenital, tortikolis, mandibula
tidak simetris.
• Disrupsi: dapat disebabkan oleh iskemia, perdarahan,
atau perlekatan. Kelainan akibat disrupsi biasanya
mengenai beberapa jaringan yang berbeda. Deformasi
maupun disrupsi biasanya mengenai struktur yang
semula berkembang normal dan tidak menyebabkan
kelainan intrinsik pada jaringan yang terkena.
• Malformasi: kelainan yang disebabkan oleh kegagalan atau
ketidaksempurnaan satu atau lebih proses embriologenesis.
Perkembangan awal suatu jaringan/organ berhenti, melambat, atau
menyimpang menyebabkan kelainan struktur yang menetap. Kelainan
dapat terbatas pada satu daerah anatomi, mengenai seluruh organ,
ataupun mengenai berbagai sistem tubuh yang berbeda. Malformasi
mayor apabila tidak dikoreksi  gangguan fungsi tubuh serta mengurangi
angka harapan hidup. Malformasi minor tidak akan menyebabkan problem
kesehatan yang serius dan mungkin hanya berpengaruh pada segi
kosmetik.
• Displasia: kerusakan/kelainan struktur akibat fungsi atau organisasi sel
abnormal, mengenai satu macam jaringan di seluruh tubuh. Sebagian
besar disebabkan oleh mutasi gen. Karena jaringan itu sendiri abnormal
secara intrinsik, efek klinisnya akan menetap atau semakin memburuk.
Displasia dapat terus menerus menimbulkan perubahan kelainan seumur
hidup.
ANGKA KEJADIAN
• Kelainan kongenital pada BBL dapat satu kelainan saja
atau dapat pula beberapa kelainan kongenital secara
bersamaan sebagai kelainan multipel.
• Kadang-kadang kelainan kongenital belum ditemukan
atau belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru
ditemukan beberapa waktu setelah kelahiran bayi.
Dengan kemajuan teknologi kedokteran kadang-kadang
kelainan kongenital telah diketahui selama kehidupan
fetus.
• Bila ditemukan satu kelainan kongenital besar pada BBL
perlu kewaspadaan ada kelainan kongenital di tempat
lain.
• Bila ditemukan 2 kelainan kongenital kecil
kemungkinan ditemukan kelainan kongenital
besar di tempat lain sebesar 15%, sedangkan
bila ditemukan ≥3 kelainan kongenital minor
maka kemungkinan ditemukan kelainan
kongenital mayor sebesar 90%.
FAKTOR ETIOLOGI
• Kelainan genetik dan kromosom. Kelainan genetik pada ayah atau ibu
kemungkinan besar akan berpengaruh pada kelainan kongenital anaknya.
• Mekanik. Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin  deformitas
organ tersebut. Contoh: talipes varus, talipes valgus, talipes ekuinus, dan talipes
ekuinovarus (clubfoot).
• Infeksi. Infeksi pada periode organogenesis pada trimester 1 kehamilan. Dapat
pula menimbulkan abortus. Contoh: virus rubella  kelainan kongenital pada mata
sebagai katarak, kelainan sistem pendengaran, dan kelainan jantung bawaan).
• Obat-obatan. Beberapa jenis obat yang diminum pada trimester 1 diduga sangat
erat hubungannya dengan kelainan kongenital pada bayinya. Contoh: thalidomide.
• Usia ibu. Mongolisme lebih sering ditemukan pada ibu yang mendekati
menopause.
• lHormonal. Ibu hipotiroidism atau DM.
• Radiasi. Akibatnya terjadi mutasi pada gen. Radiasi untuk keperluan diagnostik dan
terapeutik sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan.
• Gizi.
• Lain-lain. Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Misalnya
masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia.
DASAR DIAGNOSIS
• Pendekatan diagnosis kelainan bawaan saat
lahir: penelahaan prenatal, riwayat ibu,
penerapan genetik dalam bidang prenatal,
riwayat persalinan, riwayat keluarga, analisis
dismorbik/dismorfologi/sindromologi, analisis
kromosom, analisis DNA, analisis enzim/biokimia,
dan pemeriksaan penunjang.
• Kelainan kromosom yang penting: Trisomi 21
(sindrom Down), Trisomi 18 (sindrom Edward),
Trisomi 13 (sindrom Patau), dan sindrom Turner.
Trisomi 21 (sindrom Down)
• Angka kejadian 1/700 kelahiran hidup.
• Fisura palpebra miring ke atas, hidung pesek,
hipotonia, kulit leher longgar, oksiput datar
(brakisefali), garis Simian, kelingking bengkok
(klinodaktili), serta jarak yang lebar antara jari
kaki ke-1 dan ke-2.
• IQ biasanya <50.
• Akibat non disjunction.
Trisomi 18 (sindrom Edward)
• Angka kejadian 1/3.000 kelahiran hidup.
• Lebih banyak bayi perempuan.
• Berat lahir biasanya rendah, oksiput
prominen, dagu kecil, telinga abnormal dan
letak rendah, tangan mengepal dengan ibu jari
menumpang pada jari ke-3 dan kelingking
menumpang pada jari ke-4 (clenched hands),
rockerbottom feet, sternum pendek. Sering
pula terdapat kelainan pada jantung, ginjal,
dan berbagai organ.
Trisomi 13 (sindrom Patau)
• Angka kejadian 1/5.000 kelahiran hidup.
• Hipotelorisme, mikroftalmia, celah bibir dan
langit-langit, telinga abnormal, defek pada
kulit kepala, kulit longgar pada tengkuk,
clenched hand, garis Simian (60%), polidaktili,
tumit prominen.
• Sering terdapat penyakit jantung bawaan.
• Usia rata-rata 7 hari.
Sindrom Turner (45,x)
• Angka kejadian 1/5.000 kelahiran hidup bayi
perempuan; 99% mengalami abortus spontan.
• Pada saat lahir dapat dikenal dengan kulit
yang berlebih pada leher, limfedema perifer,
tubuh pendek, amenore primer, webbed neck,
kuku hipoplastik, dan nevus pigmentosus
multipel.
• Pada 20% kasus terdapat penyakit jantung
bawaan (koartasio aorta, ASD).
TATA LAKSANA

Pencegahan
• Konseling prakonsepsi.
• Konseling genetik.
Pengobatan
• Kelainan kromosom.
• Kelainan kromosom seks, terapi sulih hormon
seks.
• Kelainan autosom biasanya hanya tersedia
pengobatan simtomatik.
• Kelainan gen tunggal.
Terapi Efektif pada Kelainan Gen Tunggal
Kelainan Terapi
Hiperplasia adrenal kongenital. Terapi sulih hormon.
Fenilketonuria. Diet rendah fenilalanin.
Galaktesomia. Diet rendah galaktosa.
Hemofilia. Terapi sulih faktor pembekuan.
SCID. Cangkok sumsum tulang.
Sistinuria. Asupan cairan tinggi, penisilamin.
poliposkoli. Kolektomi.
Agamaglobulinemia. Imunoglobulin.
B-thalassemia. Cangkok sumsum tulang.
Metilmalonikasiduria. Vitamin B12-kofaktor enzim.
Penyakit polikistik ginjal. Cangkok ginjal.
Penyakit Wilson. D-penisilamin.
Hiperkolesterolemia familial. Diet, obat-obatan.
Sferositosis herediter. Splenektomi.
Hemokromatosis. Venaseksi.
Terapi Efektif Kelainan Multifaktorial
Kelainan Terapi
Celah bibir dan langit-langit. Tindakan bedah.
Stenosis pilorus. Tindakan bedah.
Penyakit jantung bawaan. Tindakan bedah, obat-obatan.
Hidrosefalus. Tindakan bedah, obat-obatan.
Diabetes melitus. Obat-obatan.
Hipertensi. Obat-obatan.
Epilepsi. Obat-obatan.

Anda mungkin juga menyukai