Anda di halaman 1dari 18

“KAJIAN AGRIBISNIS KOMODITI LADA”

APA ITU LADA

Tanaman lada (Piper nigrum L) adalah tanaman


perkebunan yang bernilai ekonomis tinggi. Tanaman ini
dapat mulai berbuah pada umur tanaman berkisar antara
2-3 tahun. Pada umumnya orang-orang hanya mengenal
lada putih dan lada hitam yang mana sering dimanfaatkan
sebagai bumbu dapur. Tanaman ini merupakan salah satu
komoditas perdagangan dunia dan lebih dari 80% hasil
lada Indonesia diekspor ke negara luar. Selain itu, lada
mempunyai sebutan The King of Spice (Raja Rempah-
Rempah) yang mana kebutuhan lada di dunia tahun 2000
mencapai 280.000 ton.
KONSEP AGRIBISNIS LADA
Lada memiliki peran penting dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai sumber
devisa, penyedia lapangan kerja, bahan baku industri, dan konsumsi langsung. Devisa dari
lada menempati urutan keempat setelah minyak sawit, karet, dan kopi, dengan nilai ekspor
US$123.345,7 juta (Badan Pusat Statistik). Lada merupakan bahan baku industri makanan
siap saji, obat obatan, kosmetik, dan lainnya.
Berikut ini beberapa alasan yang mendukung prospek bisnis lada, yaitu :
1. Konsumsi lada cenderung meningkat pertumbuhan penduduk, perkembangan industri
makanan dan obat-obatan, serta peningkatan konsumsi per kapita.
2. Lada merupakan komoditas pertanian yang banyak menyerap tenaga kerja, baik
petani, pekerja, maupun pedagang.
3. Teknik budidaya yang diterapkan Indonesia sangat baik dan terbukti tidak banyak
memerlukan perlakuan mekanis sehingga besar peranannya dalam pemanfaatan tenaga
kerja.
4. Wilayah pengembangannya masih tersedia sangat luas
ANALISIS AGRIBISNIS LADA
Agro Input
1. Pupuk
2. Pestida

Pemupukan berkaitan dengan kesuburan tanah. Pemupukan dilakukan dengan tujuan


menambah kandungan unsur hara dalam tanah yang secara langsung dapat meningkatkan
kesuburan tanah. Pada tanaman lada pupuk yang diberikan ada dua jenis yaitu pupuk
organik dan pupuk anorganik. Pemupukan memiliki pengaruh besar terhadap produktivitas
lada.
Agro Produksi
1. Syarat Tumbuh

Lada tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian 0-


500m dari permukaan laut, namun yang terbaik adalah pada
ketinggian 100m dari permukaan air laut. Curah hujan yang
dikehendaki berkisar antara 2.000-3.000 mm per tahun. Kisaran
suhu udara yang terbaik adalah 23-32oC dengan suhu siang
hari 29oC. Tekstur tanah yang dikehendaki adalah tanah
berstektur ringan, gembur, berdrainase baik, dan subur. Tanah
dengan Ph 4 – 7 dapat ditolerir namun yang terbaik adalah Ph 6
2. Budidaya

a. Penanaman
Setek dengan panjang tujuh ruas ditanam dalam lubang di dekat
panjatan, empat ruas berada dalam tanah dan tiga ruas di atas
tanah. Pohon panjat sudah harus ditanam setahun sebelum
penanaman lada agar dapat tumbuh dengan baik. Pohon panjat
umumnya ditanam dari setek sepanjang 1 – 1,5 m. Pohon
panjatan ditanam pada jarak sekitar 2,5 x 2,5 m. Dalam lubang
tanam sebaiknya diberi pupuk kandang sekitar 5 – 10 kg.
Petani Lampung mempunyai kebiasaan merendog tanaman
lada. Merendog adalah pekerjaan menurunkan kembali
tanaman lada yang berumur sekitar satu tahun ditanami
melingkar pohon panjat dan ujungnya diikatkan kembali ke
panjatan. Teknologi ini berguna untuk meningkakan produksi
lada dan meningkatkan ketahanan lada terhadap kekeringan
maupun penyakit akar.
b. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan pemeliharaan diantaranya penyiangan gulma,
pemangkasan, pemupukan dan penyulaman. Penyiangan gulma
dilakukan setiap 2 – 3 bulan sekali. Pemangkasan pohon
panjatan dilakukan 2 – 3 kali setahun. Pohon panjatan harus
dijaga ketinggiannya sekitar 4 – 6 m, pemangkasan akan
mendorong peningkatan produksi.

c. Panen
Tanaman lada mulai memberi hasil pada umur empat tahun,
selanjutnya produksi terus meningkat. Panen untuk lada hitam
dilakukan ketika buah sudah dengan 1 – 2 buah yang
menguning. Panen untuk lada putih dilakukan ketika buah
dalam malai sudah masak
d. Pascapanen
Kegiatan pascapanen utama lada meliputi pengolahan hasil
panen sampai didapatkan produk lada yang siap dipasarkan.
Buah lada dapat diolah menjadi lada hitam dan lada putih.
Untuk membuat lada hitam, buah lada yang baru dipanen
langsung diperam dengan cara ditimbun atau ditumpuk selama
2 – 3 hari. Selain dengan cara ditimbun, pemeraman buah lada
dapat dilakukan dengan cara direndam di dalam air panas
selama beberapa saat. Dalam keadaan diperam tersebut kulit
buah akan berubah warna menjadi hitam. Selanjutnya dijemur
di bawah sinar matahari langsung hingga kering. Dari
penjemuran akan dihasilkan buah lada yang berwarna hitam
kelam dengan kulit keriput. Setelah kering, seluruh buah yang
melekat pada tangkai malai dilepaskan dengan cara diinjak-
injak. Lalu lada dibersihkan dari segala kotoran.
Agro Industri
1. Hasil Olahan Lada
Agro Niaga
1. Biaya Pemasaran
Pada tingkat petani/produsen lada biaya yang dikeluarkan hanya dalam kegiatan
pemeliharaan (sebelum panen), panen, pembersihan dan angkut yang dinilai
berdasarkan harga jual lada. Adapun biaya tersebut
1. Retribusi Rp 3000/karung/50 Kg (Rp 100/Kg) ,
2. Sewa tempat 1 kali seminggu Rp 500/karung/50Kg.
Pada tingkat pedagang pengumpul biaya yang dikeluarkan meliputi ;
1. Angkutan Rp 8750/Karung/50 Kg (Rp. 175/Kg),
2. Penimbangan Rp 3750/karung /50 Kg (Rp.75/Kg),
3. Penyimpanan dan penjemuran Rp 5000/ karung /50 Kg (Rp 100/Kg).
Pada tingkat pedagang pengecer, biaya yang dikeluarkan meliputi ;
1. Bongkar muat/angkutan Rp 7500/karung/50 Kg (Rp 150/Kg),
2. Retribusi Rp 3000/karung (100 Kg).
PROSPEK PENGEMBANGAN
AGRIBISNIS LADA
1. Lahan Lahan Pertanian adalah sebuah lahan yang mencakup kondisi
tanah, iklim, hidrologi dan udara yang digunakan untuk
memproduksi tanaman pertanian atau melakukan pertenakan
hewan. Lahan pertanian adalah salah satu dari sumber daya
utama pada bidang pertanian. Luas tanaman lada provinsi Aceh
pada 2017 mencapai 1.185 ha (Sumber data BPS). Saat ini
daerah di Aceh yang mengembangkan lada adalah Aceh Besar,
Bireuen, Aceh Utara, Pidie, Lhokseumawe, dan Aceh Timur.
Namun, daerah terbesar yang membudidayakan lada adalah
Aceh Besar dengan luas lahan mencapai 50 hektare dan
Lhokseumawe seluas 30 hektare. Aceh sangat potensial untuk
pengembangan lada karena lahan kosong masih luas. Iklim di
Aceh juga cocok untuk tanaman ini. (Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Aceh). Sehingga prospek budidaya
tanaman lada masih sangat potensial di Aceh.
2. Tenaga Kerja

Perkebunan lada merupakan salah satu sektor pertanian yang


cukup banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini mengingat
sebagian besar usaha perkebunan lada di Indonesia terdiri dari
perkebunan rakyat. Budidaya sebanyak 262.574 rumah tangga
yang mengusahakan perkebunan lada di Indonesia (BPS, 2015),
sehingga dapat dikatakan bahwa perkebunan lada mampu
menyerap tenaga kerja yang cukup besar bagi masyarakat. Pada
pengusahaan tanaman lada secara intensif, satu keluarga hanya
mampu mengelola kurang lebih 0.5 ha lahan perkebunan lada.
Besarnya kebutuhan tenaga kerja dalam pengelolaan lada,
menjadikan usaha pembudidayaan lada menjadi usaha yang
mampu memberikan kesempatan kerja yang luas bagi
masyarakat.

Lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase penduduk yang bekerja terutama pada
Perdagangan besar dan eceran (1,56 persen poin), Jasa Pendidikan (0,85 persen poin), dan Administrasi
Pemerintahan (0,83 persen poin). Sementara lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan utamanya
pada Pertanian (2,80 persen poin); Konstruksi (1,12 persen poin); serta Jasa Keuangan dan Asuransi (0,12
persen poin). Data BPS Aceh 2019
3. Harga

Pengembangan lada terganjal masalah harga yang terus


merosot di tingkat dunia. Kementerian Perdagangan
mencatat, pada 2017 harga lada sempat mencapai Rp120 ribu
per kilogram. Namun, tahun ini di bawah Rp50 ribu.
Anjloknya harga lada itu disebabkan ketersediaan lada yang
melimpah di level global. Di lain pihak, pertumbuhan
konsumsi masyarakat tidak setinggi produksi. Dan masih
berlanjut sampai sekarang.
4. Perminataan Pasar

Apabila dilihat dari segi permintaan baik permintaan domestik maupun


permintaan luar negeri, Indonesia memiliki keunggulan dan potensi yang
besar dalam perdagangan lada dunia. Kondisi permintaan tersebut dapat
memberikan dukungan terhadap peningkatan daya saing lada Indonesia di pasar
dunia walaupun masih terdapat sedikit kendala dalam proses peningkatannya.
Apabila kendala yang ada tersebut dapat diatasi dengan baik maka posisi
Indonesia sebagai salah satu produsen dan menghadapi liberalisasi perdagangan
KEBIJAKAN
1. Kebijakan Operasional Subsistem Hulu
Rendahnya pemakaian bibit bermutu kebijakan operasionalnya adalah berdirinya industri
pembibitan lada di sentra-sentra produksi, pemerintah menfasilitasi berupa ; (1)
menyiapakan semua perangkat lunak yang diperlukan (Undang-Undang Budidaya No.12,
Undang-Undang Perkebuanan No. 18. Perda tentang Perizinan, dll), (2) perangkat
kerasnya berupa : akses ke stock seed, sumberdaya manusia, pemodalan, keamanan dan
lainnya. Kebijakan Badan Litbang Pertanian membentuk UPBS (Unit Pengelolaan Benih
Sumber) dan UKT (Unit Komersialiasasi Teknologi) untuk mendukung kegiatan dapat
dijadikan rintisan. Pengembangan industri alat dan mesin dapat dilakukan dengan dengan
penajaman dari industri mesin dan logam yang ada. Efisiensi penggunaan pupuk kebijakan
operasionalnya adalah industri “blending” dan pupuk tablet (slow release) serta pupuk
organik. Di Aceh terbatasnya ketersediaan pupuk kandang perlu didorong berdirinya
industri kompos.
2. Kebijakan Operasional Subsistem Produksi
Kebijakan operasional yang terkait dengan pertumbuhan pusat agribisnis lada adalah membentuk
Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) (Ditjenbun, 2003), yaitu kawasan atau
wilayah yang terukur. Sedangkan yang terkait dengan imput luar rendah adalah : sosialisasi
penggunaan tiang panjat campuran/ hidup, penggunaan pupuk organik dan pestisida nabati,
penggunaan penutup tanah A. pintoii. Demikian pula untuk mendorong pemakaian bibit unggul
adalah : berdirinya industri bibit, pengemasan dan pelabelan, harga bibit yang terjangkau dan
mencegah beredarnya bibit palsu. Kebijakan operasional pengendalian hama dan penyakit
Busuk Pangkal Batang adalah menerapkan paket pengendalian terpadu yang dapat menekan
intensitas serangan 80-90% (Manohara dan Kasim, 1996). Percepatan penerapan PTT dan
integrasi tanaman lada-ternak adalah: sosialisasi dan advokasi keunggulan PTT, penyediaan
sarana dan prasarana pendukung, penumbuhan kelembaga-an (kelompok tani, dll).
3. Kebijakan Opersional Subsistem Pengolahan Hasil
Kondisi pasar menuntut kualitas hasil olahan yang meningkat mutunya. Agar lada Indonesia
mampu bersaing di pasar internasional perlu diterapkan standar ISO 9000, ISO 14000, HACCP
dan SPS (Risfaheri, 1996). Melalui kelembagaan (koperasi) pengolahan lada ASTA dan FAQ
dapat dilakukan petani. Pangsa pasar lada hijau Indonesia masih kecil (2%), Indonesia
berpeluang untuk meningkatkannya. Upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah
mendorong dan memfasilitasi pendirian industri pengolahan dan sosialisasinya.
3. Kebijakan Operasional Subsistem Pemasaran Lada
Efisiensi pemasaran kebijakan operasionalnya adalah menekan biaya tataniaga, pencabutan
beberapa perda tentang ekport lada, penurunan pajak ekspor dan lainnya. Perkuatan posisi
tawar petani dilakukan peningkatan informasi pasar. Promosi produk sebagai ajang
peningkatan pemakaian lada untuk konsumsi domestik dan ekspor. Kebijakan operasional
melalui pendekatan dan pengenalan produk lada yang mudah dijangkau oleh masyarakat,
serta pengenalan lada perdu sebagai tanaman hias. Promosi pasar untuk ekpor dilakukan
dengan mendorong intensitas usaha-usaha IPC (Internasional Papper Community), dan
promosi melalui Badan Pengembangan Ekspor serta kedutaan besar Indonesia.
4. Kebijakan Operasional Subsistem Kelembagaan
Keberadaan koperasi di masyarakat perladaan adalah sangat strategis, baik sebagai
organisasi pemasaran maupun sebagai organisasi pembiayaan. Kebijakan operasionalnya
seperti diusulkan oleh Adnyana (2005) pada padi dimungkinkan dapat pula diterapkan pada
lada, yaitu Sistem Agribisnis Korporasi Terpadu (Integrated Corporate Agribisnis System,
ICAS). Bentuk kelembagaan ini adalah; petani melakukan konsolidasi manajemen usaha
pada komponen lahan yang memenuhi skala usaha, untuk lada adalah skala KIMBUN,
konsolidasi manajemen dituangkan dalam bentuk kelembagaan agribisnis seperti KUAT, dan
lainnya, kelompok usaha tersebut sebaiknya berbentuk korporasi, asosiasi, atau koperasi
berbadan hukum, diterapkannya manajemen korporasi dalam menjalankan sistem usaha
agribisnis, dan pengembangan kemitraan terpadu dengan mitra. Pada kemitraan terpadu
dapat dilakukan; petani sebagai plasma bermitra dengan inti (swasta, eksportir, prosesor)
melalui korporasi yang mereka bentuk (koreksi terhadap PIR), korporasi berdiri sendiri tanpa
perlu bemitra dengan perusahaan inti dan pemerintah menjadi avalist (penjamin).

Anda mungkin juga menyukai