Anda di halaman 1dari 89

PENYELESAIAN SENGKETA

PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL


Penyelesaian Sengketa Internasional
A. Penyelesaian Sengketa Internasional secara Diplomatik/Politik:
 Negosiasi • Mediasi
 Konsiliasi • Rekonsiliasi
 Fact Finding • Good Offices (Jasa Baik)
B. Intervensi Kemanusiaan
C. Model Penyelesaian di Pengadilan
 The International Court of Justice (ICJ) – Subyek Negara
 Arbitrase Internasional
 The International Criminal Court (ICC) – Subyek Individu
D. Penyelesaian Sengketa dengan Kekerasan
Metode-metode Penyelesaian Sengketa

a.Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik;


a.Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik;
• Negosiasi • Mediasi
• Negosiasi • Mediasi
• Konsiliasi • Rekonsiliasi
• Konsiliasi • Rekonsiliasi
• Fact Finding • Good Offices (Jasa Baik)
• Fact Finding • Good Offices (Jasa Baik)
b. Penyelesaian Sengketa secara Hukum;
b. Penyelesaian Sengketa secara Hukum;
• Arbitrase Internasional
• Arbitrase Internasional
• The International Court of Justice (ICJ) – Subyek Negara
• The International Court of Justice (ICJ) – Subyek Negara
c. Penyelesaian Sengketa melalui Organisasi Internasional;
c. Penyelesaian Sengketa melalui Organisasi Internasional;
• Organisasi Regional
• Organisasi Regional
• Perserikatan Bangsa-Bangsa
• Perserikatan Bangsa-Bangsa
d. Peradilan Pidana Internasional;
d. Peradilan Pidana Internasional;
• Peradilan Internasional ad-hoc
• Peradilan Internasional ad-hoc
• The International Criminal Court (ICC) – Subyek Individu
• The International Criminal Court (ICC) – Subyek Individu
• Peradilan Campuran (hybrid tribunal atau mixed court)
• Peradilan Campuran (hybrid tribunal atau mixed court)
Penyelesaian Sengketa dengan Kekerasan
a. Pendahuluan;
a. Pendahuluan;
• Pasal 2 ayat (4) PBB, larangan penggunaan kekerasan – jus cogen
• Pasal 2 ayat (4) PBB, larangan penggunaan kekerasan – jus cogen
b. Justifikasi Penggunaan Kekerasan;
b. Justifikasi Penggunaan Kekerasan;
• Self Defence Rights
• Self Defence Rights
• Humanitarian Intervention
• Humanitarian Intervention
c. Penggunaan Kekerasan di bawah Piagam PBB;
c. Penggunaan
• Kewenangan Kekerasan di bawah Piagam PBB;
Dewan Keamanan untuk bertindak
• Kewenangan Dewan Keamanan untuk bertindak
• Laporan kepada DK PBB dari negara-negara menggunakan kekerasan
• Laporan kepada DK PBB dari negara-negara menggunakan kekerasan
atas alasan self defense
atas alasan self defense
d. Penjagaan Perdamaian;
d. Penjagaan Perdamaian;
• Peran alternatif DK dalam penjagaan perdamaian (a partial substitute)
• Peran alternatif DK dalam penjagaan perdamaian (a partial substitute)
• Peace Keeping dan Enforcement Action
• Peace Keeping dan Enforcement Action
e. Tindakan Regional di bawah PBB
e. Tindakan
• Pasal Regional di bawah PBB
52 Piagam PBB – Badan-badan Regional untuk menangani
• Pasal 52 Piagam PBB – Badan-badan Regional untuk menangani
masalah pemeliharaan perdamaian menurut cara sesuai bagi kawasan
masalah pemeliharaan perdamaian menurut cara sesuai bagi kawasan
• Mengutamakan penyelesaian secara damai, melalui badan regional
• Mengutamakan penyelesaian secara damai, melalui badan regional
sebelum diajukan kepada DK PBB
sebelum
• Pasal 53 diajukan kepada DK PBB
– DK menggunakan pengatuan atau badan regional untuk
• Pasal 53 – DK menggunakan pengatuan atau badan regional untuk
melakukan tindakan pemaksaan
melakukan tindakan pemaksaan
Penyelesaian Sengketa Internasional
Secara Diplomatik
Pasal 33 Piagam PBB, pasal menyatakan:
“Para pihak dalam suatu persengketaan yang
tampaknya sengketa tersebut akan membahayakan
perdamaian dan keamanan internasional, harus
pertama-tama mencari penyelesaian dengan cara
negosiasi (perundingan), penyelidikan, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, pengadilan, menyerahkannya
kepada organisasi-organisasi atau badan-badan
regional, atau cara penyelesaian damai lainnya
yang mereka pilih.”
a. Negosiasi
Cara penyelesaian sengketa yang paling
dasar dan paling tua digunakan oleh umat
manusia. Penyelesaian melalui negosiasi
merupakan cara yang paling penting.
Banyak sengketa diselesaikan setiap hari
melalui cara ini, para pihak melakukan
pertukaran perwakilan diplomatik
(diplomatic exchanges) terlebih dahulu
tentunya tanpa adanya publisitas atau
perhatian publik.
Continue…
Cara penyelesaian melalui negosiasi
biasanya adalah cara yang pertama kali
ditempuh manakala para pihak bersengketa.
Negosiasi dalam pelaksanaannya memiliki
dua bentuk utama, yaitu bilateral dan
multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan
melalui saluran diplomatik pada konferensi
internasional atau dalam suatu lembaga
atau organisasi internasional.
Continue…
Cara ini dapat pula digunakan untuk
menyelesaikan setiap bentuk sengketa,
apakah itu sengketa ekonomi, politik,
hukum, sengketa wilayah, keluarga, suku,
dan lain-lain. Bahkan, apabila para pihak
telah menyerahkan sengketanya kepada
suatu badan peradilan tertentu, proses
penyelesaian sengketa melalui negosiasi
ini masih dimungkinkan untuk
dilaksanakan.
Continue…
Kelemahan utama menggunakan cara ini
dalam menyelesaikan sengketa adalah:
pertama, manakala kedudukan para pihak
tidak seimbang. Salah satu pihak kuat,
sedang pihak yang lain lemah. Dalam
keadaan ini, pihak yang kuat berada dalam
posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini
acapkali terjadi manakala dua pihak
bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa
di antara mereka.
Continue…
 Kedua, bahwa proses berlangsungnya negosiasi
acapkali lambat dan memakan waktu lama. Hal
ini terutama dikarenakan permasalahan antar-
negara yang timbul, khususnya masalah yang
berkaitan dengan ekonomi internasional. Selain
itu, jarang sekali adanya persyaratan penetapan
batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaikan
sengketanya melalui negosiasi. Sehingga dapat
dikatakan jangka waktu penyelesaian sengketa
melalui negosiasi, sering memakan waktu yang
lama.
Continue…
 Ketiga, manakala suatu pihak terlalu keras dengan
pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan
proses negosiasi menjadi tidak produktif.

Mengenai pelaksanaan negosiasi, prosedur yang


terdapat di dalamnya perlu dibedakan sebagai berikut:
 Pertama, negosiasi yang digunakan manakala suatu
sengketa belum lahir (disebut pula sebagai
konsultasi).
 Kedua, digunakan manakala suatu sengketa telah
lahir. Prosedur negosiasi ini merupakan proses
penyelesaian sengketa oleh para pihak (dalam arti
negosiasi).
b. Mediasi
Suatu cara penyelesaian melalui pihak
ketiga. Pihak ketiga tersebut disebut
dengan mediator. Ia bisa berbentuk negara,
organisasi internasional (misalnya PBB)
atau individu (politikus, ahli hukum, atau
ilmuwan). Ia ikut serta secara aktif dalam
proses negosiasi. Biasanya ia dengan
kapasitasnya sebagai pihak yang netral
berupaya mendamaikan para pihak dengan
memberikan saran penyelesaian sengketa.
Continue…
Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para
pihak bersepakat dan mediator menerima syarat-
syarat yang diberikan oleh para pihak yang
bersengketa. Saat ini, mediasi sebagai salah satu
teknik penyelesaian sengketa yang telah
menyedot perhatian semua kalangan. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya pihak-pihak yang
bersedia menjadi mediator mulai dari Sekjen
PBB, Menteri luar negeri, sampai LSM. Di
samping itu, mediasi menjadi lebih menarik
adalah karena terbukanya kemungkinan bagi
para mediator untuk mempengaruhi hasil
Continue…
Pada prinsipnya mediasi ini merupakan negosiasi
yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan
tidak memihak yang bisa diterima kedua belah
pihak yang bersengketa. Dalam hal ini pihak
mediator sebatas memberikan bantuan substantif,
prosedural dan memberi saran pada pihak-pihak
yang bersengketa, sedangkan otoritas membuat
keputusan tetap berada pada konsensus para pihak
yang bersengketa. Keuntungan penggunaan jalur
mediasi adalah prosedurnya sederhana, efektif,
tidak mahal, putusan masih dalam pengendalian
(kontrol) pihak-pihak yang bersengketa.
Secara ideal mediasi akan berfungsi dengan baik
bilamana sesuai dengan beberapa syarat berikut
ini:
1. Para pihak mempunyai kekuatan tawar
menawar yang sebanding;
2. Para pihak menaruh perhatian terhadap
hubungan di masa depan;
3. Terhadap banyak persoalan yang
memungkinkan terjadinya perlu untuk
dikedepankan;
4. Terhadap banyak persoalan yang
memungkinkan terjadinya pertukaran (trade
off);
5. Para pihak tidak memiliki permusuhan yang
berlangsung lama dan mendalam;
Continue…
6. Apabila para pihak mempunyai pendukung
atau pengikut, mereka tidak memiliki
pengharapan yang banyak, tetapi dapat
dikendalikan;
7.Menetapkan preseden atau mempertahankan
suatu hak tidak lebih penting dibandingkan
menyelesaikan persoalan yang mendesak;
8. Jika para pihak berada dalam proses litigasi,
kepentingan-kepentingan pelaku lainnya, seperti
para pengacara dan penjamin tidak akan
diperlakukan lebih baik jika dibandingkan
dengan mediasi.
Dalam menjalankan fungsinya, mediator
tidak tunduk pada suatu aturan hukum
acara tertentu. Ia bebas menentukan
bagaimana proses penyelesaian
sengketanya berlangsung. Peranannya
disini tidak semata-mata mempertemukan
para pihak agar bersedia berunding, tetapi
ia juga terlibat dalam perundingan dengan
para pihak dan bisa pula memberikan
saran-saran atau usulan penyelesaian
sengketa. Bahkan mediator dapat pula
berupaya mendamaikan para pihak.
Menurut Bindschedler ada beberapa segi
positif dari mediasi, antara lain :
1. Mediator sebagai penengah dapat memberikan
usulan-usulan kompromi di antara para pihak;
2. Mediator dapat memberikan usaha-usaha atau
jasa-jasa lainnya, seperti memberi bantuan
dalam melaksanakan kesepakatan, bantuan
keuangan, mengawasi pelaksanaan
kesepakatan, dan lain-lain;
3. Apabila mediatornya adalah negara, biasanya
negara tersebut dapat menggunakan pengaruh
dan kekuasaannya terhadap para pihak yang
bersengketa untuk mencapai penyelesaian
sengketanya;
Continue…

4. Negara sebagai mediator biasanya


memiliki fasilitas teknis yang lebih
memadai daripada orang perorangan.
Sedang segi negatif dari mediasi adalah
mediator dapat saja dalam melaksanakan
fungsinya lebih memperhatikan pihak
lainnya.
Persamaan Prosedur mediasi dan jasa baik antara lain:

1. Prosedur jasa-jasa baik maupun mediasi


ditandai dengan intervensi satu negara
ketiga, suatu kelompok negara-negara atau
seorang tokoh dikenal.
2. Intervensi negara ketiga tidak memberikan
kewajiban apapun bagi negara-negara yang
bersengketa. Tawaran jasa-jasa baik
ataupun mediasi dapat ditolak kecuali kalau
ada konvensi mediasi wajib antara negara-
negara yang bersengketa.
Continue…
3. Negara-negara yang bersengketa dapat
dengan leluasa menolak, baik usul-usul
untuk dasar perundingan maupun
rumusan penyelesaian yang diajukan
pihak ketiga.
4. Sering pula terjadi negara yang
memberikan jasa-jasa baiknya bertindak
sebagai mediator.
 Untuk memudahkan penerimaan fungsi mediasi,
negara-negara yang bersengketa dapat pula atas
persetujuan bersama memilih tokoh-tokoh kenamaan
untuk ikut menyelesaikan sengketa mereka dan
bukan negara-negara. Misalnya yang bertindak
sebagai mediator dalam sengketa antara negara-
negara Arab dan Israel dulunya juga tokoh Swedia,
Duta Besar di Moskow, Gunar Jarring, namun
misinya tidak berhasil. Bahkan dalam Konvensi
Buenos Aires pada tanggal 23 Desember 1936 yang
dibuat antara Republik-republik Amerika Latin
menetapkan, bahwa bila mediasi diperlukan maka
mediatornya akan dipilih dari daftar nama-nama yang
telah disusun sebelumnya yang terdiri dari tokoh-
tokoh kenamaan.
c. Konsiliasi
Pengertian yang diberikan dalam Black’s Law
Dictionary dapat kita katakan bahwa pada
prinsipnya konsiliasi merupakan perdamaian.
Dalam hal yang demikian sebagaimana diatur
dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 Bab
kedelapanbelas Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, berarti segala sesuatu yang
dimaksudkan untuk diselesaikan melalui
konsiliasi tunduk pada ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, dan secara khusus Pasal
1851 sampai dengan Pasal 1864.
Continue…
Ini berarti hasil kesepakatan para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi inipun
harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara
bersama oleh para pihak yang bersengketa. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 6 ayat (7) jo Pasal 6 ayat (8)
Undang-Undang No 30 Tahun 1999, kesepakatan
tertulis hasil konsiliasi tersebutpun harus didaftarkan
di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal penandatanganan,
dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di
Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis hasil
konsiliasi bersifat final dan mengikat para pihak.
”Konsiliasi adalah cara penyelesaian
sengketa yang sifatnya lebih formal
dibanding mediasi. Konsiliasi adalah
suatu cara penyelesaian sengketa oleh
pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang
dibentuk oleh para pihak. Komisi ini
disebut dengan komisi konsiliasi.”
Continue…
Komisi konsiliasi bisa yang sudah
berlembaga atau ad hoc (sementara yang
berfungsi untuk menetapkan persyaratan
penyelesaian yang diterima oleh para
pihak. Namun, putusannya tidak mengikat
para pihak.
Continue…
 Persidangansuatu komisi konsiliasi biasanya terdiri
atas dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan.
Pertama, sengketa (yang diuraikan secara tertulis)
diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan
ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para
pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap
pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh
kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta yang
diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan
menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai
dengan kesimpulan, dan usulan-usulan penyelesaian
sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya tidaklah
mengikat. Karena diterima tidaknya usulan tersebut
Continue…
 Konsiliasi dalam Undang-Undang No 30 Tahun
1999 adalah identik dengan perdamaian yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
maka konsiliasi tidak hanya dapat dilakukan untuk
mencegah dilaksanakannya proses litigasi
(peradilan), melainkan juga dapat dilakukan oleh
para pihak, dalam setiap tingkat peradilan yang
sedang berlangsung, baik di dalam maupun di luar
pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau
sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, tidak dapat dilakukan konsiliasi.
d. Rekonsiliasi
Duane Ruth dan Heffelbower, menyebutkan
bahwa pihak-pihak yang mencoba menggunakan
proses rekonsiliasi ini, pertama-tama harus
bertekad untuk bersikap konstruktif. Ini berarti
bahwa mereka mau menghargai hubungan
mereka dengan pihak-pihak lain, menginginkan
perbaikan, dan akan ikut ambil bagian dalam
proses itu. Bagian tersulit rekonsiliasi adalah
mengupayakan kesepakatan untuk bersikap
konstruktif. Setelah semua pihak mempunyai
komitmen untuk bersikap konstruktif, proses ini
selanjutnya membutuhkan tiga langkah.
Continue…
 Pertama adalah pengakuan terhadap ketidakadilan. Langkah
ini biasanya melibatkan orang yang menceritakan kepada
yang lain bagaimana mereka mengalami peristiwa-peristiwa
yang menyakitkan, baik fakta-fakta maupun perasaan,
dengan para pendengar yang menguraikan dengan kata lain
apa yang mereka dengar untuk menunjukkan pengertian.
Langkah ini tidak memerlukan kesepakatan, hanya
pengakuan akan pengalaman orang lain. Setelah semua
berbagi rasa dengan cara ini dan setiap orang merasa bahwa
pengalamannya telah diakui, tiba saatnya untuk langkah
kedua, yakni memulihkan kesetaraan. Langkah ini biasanya
mendorong salah satu pihak untuk melakukan sesuatu guna
mengembalikan keseimbangan di antara mereka. Jika
keadaan sudah menjadi baik, maka langkah ketiga yakni
memperjelas maksud-maksud di masa depan.
Continue…
Ketika kesepakatan telah dibuat dan dijaga,
kepercayaan akan tumbuh. Sumber
kepercayaan adalah mengambil resiko
dengan hasil yang dapat diterima. Proses
rekonsiliasi harus memberikan banyak
kesempatan untuk mengambil resiko kecil
guna membangun kembali kepercayaan.
Proses itu sendiri mengijinkan ini dengan
ketaatan orang akan kesepakatan untuk
tidak saling menginterupsi satu sama lain.
e. Fact Finding
Merupakan suatu proses pencarian fakta dengan
menggunakan teknik seperti wawancara dan
kuisioner untuk mengumpulkan informasi
mengenai masalah. Para pihak yang
bersengketa dapat pula menunjuk suatu badan
independen untuk menyelidiki fakta-fakta yang
menjadi sebab sengketa. Tujuan utamanya
adalah untuk memberikan laporan kepada para
pihak mengenai fakta yang ditelitinya. Dengan
adanya pencarian fakta-fakta demikian,
diharapkan proses penyelesaian sengketa di
antara para pihak dapat segera diselesaikan.
Continue…
Dalam bahasa Inggris, dipergunakan dua istilah untuk
”pencarian fakta” yang sama artinya dan acap kali
digunakan secara bertukar, yaitu inquiry dan fact-finding.
Tujuan dari pencarian fakta untuk mencari fakta yang
sebenarnya adalah untuk:
1) membentuk suatu dasar bagi penyelesaian sengketa di
antara dua negara;
2) mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian internasional;
dan
3) memberikan informasi guna membuat putusan di tingkat
internasional (Pasal 34 Piagam PBB). Misalnya
pembentukan UNSCOM (United Nations Special
Commission) yang dikirim ke wilayah Irak untuk
memeriksa ada tidaknya senjata pemusnah massal.
Continue…
Tujuan pertama untuk menyelesaikan suatu
sengketa internasional. Tujuan kedua untuk
memastikan suatu kewajiban internasional
terlaksana dengan baik. Sedangkan tujuan
ketiga merupakan unsur yang penting dalam
proses pembuatan keputusan dalam organisasi
internasional.
Cara atau metode ini, biasanya digunakan
setelah penyelesaian sengketa secara diplomatik
dilaksanakan, namun hasilnya gagal.
Continue…
Salah satu instrumen hukum internasional
yang mengatur pencarian fakta ini adalah
Pasal 9-36 the Haque Convention on The
Pacific Settlement of Disputes tahun 1899
dan 1907. Pasal-pasal konvensi ini
mengatur cara-cara penyelesaian sengketa
melalui pencarian fakta dengan dengan
membentuk suatu komisi pencari fakta.
Cara penggunaan pencarian fakta ini
biasanya ditempuh manakala cara-cara
konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan
tidak menghasilkan suatu penyelesaian.
Dengan cara ini, pihak ketiga akan berupaya
melihat suatu permasalahan dari semua sudut
guna memberikan penjelasan mengenai
kedudukan masing-masing pihak. Cara ini
telah dikenal dalam praktik kenegaraan. Di
samping itu, organisasi internasional juga
telah memanfaatkan cara penyelesaian
sengketa melalui pencarian fakta ini.
f. Good Offices (Jasa Baik)

Jasa baik adalah cara penyelesaian


sengketa melalui keikutsertaan jasa pihak
ketiga, Bindschedler mendefinisikan
good offices sebagai: the involvement of
one or more State or an international
organization in a dispute between states
with the aim of settling it or contributing
to its settlement.
Continue…
Tujuan jasa baik ini adalah agar kontak
langsung di antara para pihak tetap terjamin.
Tugas yang diembannya, yaitu mempertemukan
para pihak yang bersengketa agar mereka mau
berunding. Cara ini biasanya bermanfaat
manakala para pihak tidak mempunyai
hubungan diplomatik atau hubungan diplomatik
mereka telah berakhir. Pihak ketiga ini bisa
negara, orang perorangan (seperti mantan
kepala negara) atau suatu organisasi, lembaga
atau badan internasional, misalnya Dewan
Keamanan PBB.
Continue…
Keikutsertaan pihak ketiga memberikan jasa-
jasa baik memudahkan pihak yang
bersengketa untuk bersama-sama
mempercepat perundingan di antara mereka.
Setiap pihak yang bersengketa dapat meminta
kehadiran jasa-jasa baik. Namun, pihak
lainnya tidak berkewajiban untuk menerima
permintaan tersebut. Dengan kata lain,
permintaan tersebut sifatnya tidak mengikat
dan tidak boleh dipandang sebagai tindakan
yang tidak bersahabat (unfriendly act).
Continue…
Ketentuan mengenai jasa baik dapat ditemui dalam
berbagai perjanjian multirateral dan bilateral.
Contoh perjanjian tersebut antara lain sebagai
berikut:
 Pertama, The Hague Convention on the Pacific
Settlement of International Dispute tanggal 18
Oktober 1907 (yang merupakan hasil dari
konferensi perdamaian Den Haag tahun 1899 dan
1907). Pasal 2 konvensi ini menyatakan bahwa
negara-negara peserta sepakat untuk menyerahkan
sengketa mereka kepada jasa-jasa baik atau mediasi
sebelum penyelesaiannya dilakukan dengan
menggunakan kekerasan.
Continue…
Kedua, dalam Bab VI (Pasal 33-38) Piagam PBB
mengatur penyelesaian sengketa secara damai
terhadap sengketa yang dapat membahayakan
perdamaian dan keamanan internasional. Ketentuan
pasal ini berada di bawah tanggung jawab Dewan
Keamanan dan biasanya dilaksanakan pula oleh
Majelis Umum atau suatu organisasi khusus yang
menawarkan jasa baik.
Ketiga, The American Treaty on Pacific Settlement
tanggal 30 April 1948 mengatur juga penggunaan jasa
baik untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di
antara Negara-negara Amerika.
Continue…
Keempat, jasa baik teknis untuk
melindungi kepentingan negara lain
dalam keadaan damai diatur dalam Pasal
45 dan 46 Konvensi Wina mengenai
hubungan diplomatik tanggal 18 April
1961 dan Pasal 8 Konvensi Wina
mengenai hubungan konsuler tanggal 24
April 1963.
Continue…
Secara prinsip, negara yang menawarkan
jasa-jasa baiknya tidak ikut secara langsung
dalam perundingan-perundingan, tetapi
hanya menyiapkan dan mengambil langkah-
langkah yang perlu agar negara-negara yang
bersengketa bertemu satu sama lain dan
merundingkan sengketanya. Bila pihak-
pihak yang bersengketa telah setuju untuk
saling bertemu, berakhir pulalah misi negara
yang menawarkan jasa-jasa baiknya tersebut.
Intervensi Kemanusiaan

Intervensi Kemanusiaan (Humanitarian


Intervention) yakni suatu bantuan yang
diberikan tidak hanya terbatas pada
penyediaan bantuan kemanusiaan semata.
Tetapi, lebih penting melakukan pengiriman
suatu kekuatan militer yang sah, baik secara
hukum maupun moral, untuk menggunakan
kekuatan militer agar tindakan kekerasan,
pembunuhan, genocide, atau ethnic cleansing
yang dilakukan oleh suatu kelompok atau
rejim penguasa dapat dihentikan secara segera.
Continue…
Penggunaan konsep intervensi semula
dipandang sebagai larangan, menginggat dapat
mencampuri urusan suatu negara yang
berdaulat. Intervensi digunakan sebagai
tindakan suatu negara turut campur atas urusan
dalam dan luar negeri dari suatu negara
berdaulat. Begitu pula intervensi dipandang
sebagai pelanggaran dan praktek hubungan
internasional. Dalam hukum internasional,
dikenal dengan kolektifitas internasional dan
intervensi bersifat menghukum (Collective
Punishment) yang diperbolehkan.
Continue…
 Namun, penggunaan intervensi kolektifsudah ada preseden
hukumnya sejak tahun 1820, Inggris, Perancis, dan juga
Rusia bekerjasama untuk menghentikan adanya
pertumpahan darah ketika masyarakat Yunani hendak
menjadi negara merdeka dari kekuasaan Kerajaan Raya
Yunani. Sama halnya, dengan keterlibatan negara-negara
besar pada saat terjadi krisis di Belgia tahun 1830. begitu
pula konsep Intervensi kemanusiaan ini diperdebatkan
karena tidak memiliki landasan hukum yang kuat, dan tidak
mudah disentuh dengan kekuatan negara-negara yang
terlibat dalam konflik fisik dan peperangan. Bagaimana
praktek intervensi kemanusiaan akhirnya dapat diterima
sebagai konsekuensi upaya untuk menegakkan hukum
internasional dan perdamaian, termasuk di dalam mencegah
timbulnya konflik dan peperangan. “But some (arguable)
precedents were astablished for late advocates of the
Continue…
Cristina Gabriela Badescu, menggunakan
istilah intervensi kemanusiaan sebagai hak
fundamental dan tanggungjawab dari hak-hak
untuk melindungi. Pasal 24 dari Kovenan Liga
Bangsa-Bangsa, bahwa menyediakan suatu
ketentuan tentang pentingnya perlakuan adil bagi
penduduk asli dari suatu wilayah. Tahun 1919,
perjanjian perdamaian antara Eropa Timur
dengan negara-negara Balkan Timur termasuk
pengaturan terkait perlindungan kaum minoritas.
Ketentuan tersebut pada dasarnya mengakhiri
perlakuan yang sama atas kesempatan dan
peluang bagi aktivitas kolektif.
Continue…
 Namun, tidaklah cukup kebolehan intervensi
kemanusiaan hanya didasarkan kepada keadaan
korban atau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
militer tersebut. Alasan untuk melakukan intervensi
diperlukan alasan obyektivitas. Seberapa gentingnya
ancaman ketertiban dan perdamaian dunia akan
terkena imbasnya. Hak-hak mereka untuk hidup,
makan dan minum, pemukiman, dan kemerdekaan
mereka dilanggar, oleh suatu kekuatan yang
sistemati. Situasi kejahatan dan pemusnahan sebagai
pelanggaran atas kejahatan HAM, tidak cukup
memadai tanpa alasan yang memberikan
pembenaran atas pentingnya intervensi militer.
Continue…
Setidaknya dua alasan yang dapat
diterima untuk melakukan intervensi
kolektif.
1) Adanya intervensi militer sebagai
tindakan yang masuk akal, dan karena itu
tindakan tersebut sungguh-sungguh akan
mengakhiri kekerasan dan penyiksaan.
Intervensi militer tersebut dilakukan akan
mengakhiri tindakan pembunuhan masal
“massacre” dan dapat mengentaskan
kemiskinan.
Continue…
2) Intervensi militer dilakukan dengan suatu
tindakan yang berimbang terhadap
penderitaan yang saat ini telah menjadi
beban. Pertimbangan diperlukan bahwa
intervensi yang dilakukan seminimal
mungkintidak akan menimbulkan korban-
korban manusia, baik terhadap sipil
(civilian) dan juga tentara dari Tim
penjaga Perdamaian,
Continue…
3) Intervensi militer akan dilakukan karena
kemampuan dan daya juang di lapangan
termasuk menjunjung tinggi berbagai
pandangan dari berbagai komunitas dunia.
Termasuk, berbagai rekomendasi dan
pandangan dari organisasi multilateral
yang secara hukum memberikan
legitimasi atas suatu keputusan karena
adanya pelanggaran kedaulatan terhadap
negara lain.
Continue…
Dalam Kasus pemusnahan etnis Rohingya,
Myanmar, bahwa pentingnya menyuarakan
intervensi kemanusiaan dan pembentukan Tim
Pencari Fakta yang dapat mengusulkan oknum
Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional.
Pertama, usulan untuk melakukan intervensi
kemanusiaan didasarkan pasal 53 piagam PBB.
Utamanya berkaitan dengan peran DK PBB
mencegah timbulnya kekerasan dengan
menggunakan kebijakan yang agresif, yang
mengancam tata tertib dan perdamaian dunia.
Relevansi pasal tersebut hendaknya dikaitkan
dengan Bab VII tentang sanksi atau punitive
Continue…
 Dalam Kasus pemusnahan etnis Rohingya, Myanmar,
bahwa pentingnya menyuarakan intervensi kemanusiaan
dan pembentukan Tim Pencari Fakta yang dapat
mengusulkan oknum Myanmar ke Mahkamah Pidana
Internasional. Pertama, usulan untuk melakukan intervensi
kemanusiaan didasarkan pasal 53 piagam PBB. Utamanya
berkaitan dengan peran DK PBB mencegah timbulnya
kekerasan dengan menggunakan kebijakan yang agresif,
yang mengancam tata tertib dan perdamaian dunia.
Relevansi pasal tersebut hendaknya dikaitkan dengan Bab
VII tentang sanksi atau punitive atau penghukuman.
Badan yang memiliki autoritatif untuk melakukan
penghukuman adalah DK PBB ditentukan dengan suatu
syarat dan prosedur baku. Usulan intervensi kemanusiaan
harus diajukan melalui DK PBB yang harus disepakati
oleh 5 Anggota Tetap DK PBB, dan 10 Anggota tidak
Continue…

Pewacanaan intervensi kemanusiaan juga


relevan ketika Organisasi Konferensi
Islam menyelenggarakan pertemuan, yang
dihadiri oleh lebih dari 40 utusan dari 20
anggota negara Muslim. Salah satu
agendanya, pembahasan minoritas
Rohingya di Myanmar sebagai anggota
masyarakat dunia yang paling tertindas.
Continue…
Dalam kasus Israel membombardir jalur
Gaza,bahwa menurut Brownlie, praktek
intervensi kemanusiaan, sangat jelas, baik Liga
Bangsa-Bangsa (LBB), Perjanjian Kellog-Briant
dan juga Piagam PBB tidak melarangnya secara
tegas. Intervensi kemanusiaan tergolong
ketentuan khusus yang diatur dalam Piagam
PBB dengan ketentuan bahwa serangan Israel
telah memenuhi tuntutan hukum internasional.
Adanya ancaman terhadap tata tertib dan
perdamaian dunia, meluasnya serangan eskalatif
sehingga menimbulkan korban lebih banyak.
Continue…
 Namun, gagasan untuk melakukan intervensi
kemanusiaan terhadap Israel banyak mengalami
hambatan. Negara-negara Barat, Amerika Serikat,
inggris, dan juga Perancis telah bekerjasama untuk
menolak penjatuhan sanksi terhadap Israel.
Kerjasama konspiratif ini, nyata-nyata telah
membiarkan tindakan kejahatan Israel terhadap
warga Palestina secara semena-mena.
Kesombongan Pemerintahan Israel tampak semakin
menjadi ketika sikap negara-negara adidaya tidak
memberikan respon signifikan. Dasar Piagam PBB,
yang menyediakan penggunaan hak veto oleh
negara-negara adidaya, menunjukkan ketidakadilan
struktural semakin menguat
Model Penyelesaian di Pengadilan
Penyelesaian secara hukum yang menghasilkan
keputusan-keputusan yang mengikat juga
berarti pengurangan kedaulatan negara-negara
yang bersengketa. Karena itu selagi masyarakat
internasional masih merupakan kesejajaran
negara-negara berdaulat, fungsi yurisdiksional
internasional tidak akan berkembang sempurna
seperti peradilan nasional negara-negara.
Peradilan nasional hanya dapat dijadikan
model oleh peradilan internasional karena
struktur masyarakat di mana kedua sistem
hukum itu berlaku masih berbeda-beda.
Continue…
Pengadilan berdasarkan permintaan dari para pihak
dapat memberikan putusan ex aequo et bono (sesuai
yang dianggap adil) daripada hukum. Tapi,
ketentuan ini belum pernah digunakan. Model lain
yang kurang radikal adalah putusan dengan
mendasarkan pada basis yang telah disetujui para
pihak. Kedua ketentuan ini mendekatkan antara
adjudikasi dan konsiliasi. Di samping itu terdapat
kemungkinan bagi pengadilan untuk menggunakan
inisiatifnya sendiri dengan perhitungan-perhitungan
yang equitable atas bermacam-macam hal. Hal ini
menunjukkan fleksibilitas yang tinggi dimiliki oleh
Pengadilan.
a. The International Court of Justice (Peradilan
Internasional)

Organisasi baru dunia bernama “the


United Nation Organization” terbentuk
setelah berakhirnya Konfensi San
Francisco pada tanggal 26 Juni 1945.
Organisasi yang biasa disebut dengan “the
United Nations” atau disingkat menjadi
“the U.N.” yang diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia menjadi “Perserikatan
Bangsa-Bangsa” atau disingkat dengan
PBB.
Continue…
Bersamaan dengan itu, dalam konferensi tersebut
telah disetujui pula berdirinya The International
Court of Justice (Peradilan Internasional).
Peradilan Internasional merupakan pengadilan yang
memiliki yurisdiksi atas berbagai macam persoalan
internasional. Struktur organisasi dan yurisdiksi
dapat ditemukan dalam Anggaran dasarnya. ICJ
mendapatkan kewenangan untuk memutuskan atas
sebuah kasus melalui persetujuan dari semua pihak
yang bersengketa. Sebelum berdirinya ICJ telah ada
the Permanent Court of International Justice
(PCIJ) berada di bawah lindungan PBB.
Continue…
Kedua pengadilan ini dijuluki sebagai ‘Pengadilan
Dunia’ atau ‘World Court’ yang merupakan
penerus dari PCIJ. Anggaran Dasar PCIJ dirancang
oleh sekelompok ahli hukum yang ditunjuk oleh
PBB. Setelah mulai amandemen mulai berlaku
pada tahun 1921. Sebagai kelemahannya, Brownlie
mengatakan Anggaran Dasar tidak memiliki
ketentuan yang mengatur mengenai perubahan
segala perubahan menuntut adanya persetujuan
secara bulat dari semua pihak. Kasus-kasus yang
menjadi objek ICJ adalah harus diajukan atas
negara sebagai subjek hukum internasional.
Continue…
Praktek pengadilan terdiri dari 15 Hakim yang memiliki
kebangsaan yang berbeda-beda dan dipilih oleh Majelis
Umum dan Dewan Keamanan. Asal-usul lima calon yang
merupakan ‘jatah’ dari anggota permanen Dewan
Keamanan. Sedangkan sisanya merupakan usulan yang
diajukan oleh beberapa negara dari the Permanent Court
of Arbitration. Tapi hal ini bukanlah pembagian yang
bersifat memaksa, hanya sebuah kebiasaan. Sebagai
tambahan dalam hal suatu negara tidak memiliki hakim
yang berasal dari negaranya dapat memilih seorang hakim
ad hoc. Hal mana semua ini ditujukan untuk memberikan
keterwakilan atas semua sistem hukum yang ada.
Continue…
Fungsi dari pengadilan sebagaimana dinyatakan
oleh Pasal 38 ayat (1) adalah ‘untuk memutuskan
perkara sesuai dengan hukum international’.
Sebagai jawaban atas apa yang dimaksudkan
dengan hukum internasional itu sendiri kita dapat
berpaling pada sumber-sumber hukum
internasional yang juga disebutkan oleh Pasal 38.
Di samping itu pengadilan dalam memutus harus
pula memperhatikan bukti-bukti yang diajukan
oleh para pihak yang bersengketa.
b. Arbitrase Internasional

Arbitrase adalah salah satu cara atau


alternatif penyelesaian sengketa yang
telah dikenal lama dalam hukum
internasional. Namun demikian sampai
sekarang belum ada batasan atau definisi
resmi mengenai arbitrase.
Continue…
Podesta Costa dan Ruda mendeskripsikan
badan ini sebagai berikut:
“Arbitration is the resolution of
international dispute through the
submission, by formal agreement of the
parties, to the decision of a third party who
would be one of several persons by means
of contentious proceedings from which the
result of definitive judgment is derived.”
Continue…
 Schochauer, mendefinisikan arbitrase secara
sempit, sebagai berikut:
“Arbitration is the process of resolving disputes
between states by means of an arbitral tribunal
appointed by the parties.”
 Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional
(International Law Commission) adalah: “a
procedure for the settlement of disputes between
states by binding award on the basis of law and as
a result of an undertaking voluntarily accepted.”
Continue…
Peradilan arbitrase ini jauh berbeda dengan
peradilan intern suatu negara karena bentuknya
yang non-institusional. Arbitrase dalam
hubungan internasional, dalam pengertian yang
luas, istilah ini merujuk pada cara penyelesaian
secara damai sengketa internasional yang
dirumuskan dalam suatu keputusan oleh
arbitrators yang dipilih oleh pihak-pihak yang
bersengketa. Pihak-pihak tersebut sebelumnya
menerima sifat mengikat keputusan yang akan
diambil.
Continue…
Syarat-syarat formil putusan Arbitrase diatur dalam
Pasal 32 UNCITRAL Arbitration Rules yang hampir
sama dengan yang ditentukan dalam Rv.

1. Syarat formil putusan tersebut adalah:


 Pertama, putusan berbentuk tertulis. ”The award
shall be made in writing”, dengan bunyi ketentuan
pasal 32 ayat 2. Dari penegasan ini, pembuatan
putusan dalam ”bentuk tertulis”, sifatnya imperatip.
Tidak boleh ditawar-tawar. Putusan secara lisan,
tidak sah dan tidak mengikat. Hanya putusan yang
berbentuk tertulis yang memiliki kekuatan ”final”
dan ”banding” kepada para pihak.
Continue…
Kedua, putusan ditandatangani para arbiter.
Pasal 34 ayat (4) menegaskan, putusan harus
ditandatangani oleh para anggota arbiter (The
award shall be signed by the arbitrators).
Penandatanganan harus dilakukan oleh semua
anggota arbiter.
Ketiga, tanggal dan tempat putusan dijatuhkan.
Syarat pencantuman tanggal dan tempat putusan
dijatuhkan ini merupakan salah satu faktor
pendukung keotentikan putusan. Syarat ini
terdapat pada semua Rules, Rv diatur dalam
Pasal 632.
Continue…
 Keempat, identitas para pihak. Suatu putusan yang
tidak menyebut identitas para pihak, tidak
mempunyai makna. Karena tanpa identitas, tidak
dapat ditentukan terhadap siapa putusan diambil,
sehingga tidak dapat diminta pemenuhan dan
pentaatannya kepada orang tertentu. Walaupun
putusan arbitrase versi UNCITRAL tidak
disinggung masalah identitas para pihak dalam
putusan yang merupakan syarat formil namun tidak
boleh diabaikan demi keabsahan putusan. Berbeda
dengan putusan arbitrase versi Rv. Pasal 632 Rv
secara tegas menyebut identitas-identitas para pihak
harus dimuat dalam putusan.
Continue…
Kelima, memasukkan interim atau
interlocutory dalam putusan. Menurut
ketentuan Pasal 32 ayat (1), dalam
pembuatan putusan akhir, harus
dimasukkan putusan sela baik yang
berupa “interim measures” atau
“interlocutory” yang pernah diambil
dalam proses pemeriksaan. Pemasukan
hal-hal itu ke dalam putusan akhir,
merupakan syarat formil.
Continue…
 Interim measures atau tindakan sementara yang diambil
oleh Mahkamah Arbitrase pada saat proses pemeriksaan
berlangsung. Tindakan yang seperti itu bisa berupa
“concervation” (sita) atas barang yang disengketakan,
penjualan barang obyek sengketa yang mudah rusak
maupun tindakan pendepositoan uang yang
disengketakan atas nama pihak ketiga. Interim measures
dapat dituangkan dalam bentuk penetapan atau putusan
sela (interim award). Maka apabila tiba saatnya
mengambil putusan akhir atau “final award”, semua
interim measures yang pernah diambil selama proses
pemeriksaan, harus dimasukkan seluruhnya. Dengan
demikian semua putusan sela atau penetapan yang
pernah diambil, secara formil dan materiil merupakan
bagian yang tidak terpisah dengan putusan akhir.
Continue…

Peradilan yang lalai memenuhi pemasukannya


dalam putusan akhir, dapat mengakibatkan
putusan ditolak pengakuan dan eksekusinya.
Oleh karena itu apabila para pihak telah
menerima salinan putusan, dan ternyata lalai
memasukkan interim measures yang telah pernah
diambil dalam proses pemeriksaan, mereka harus
segera mengajukan permohonan “additional
award” kepada Mahkamah Arbitrase yang
bersangkuta sesuai dengan tata cara yang diatur
Pasal 37.
2. Syarat materil putusan

Pada Pasal 632 ayat (1) Rv, syarat materil


putusan mengandung dua aspek. Aspek
pertama pencantuman kesimpulan pendapat
dan pendirian para anggota arbiter. Aspek
kedua mengenai alasan-alasan pertimbangan
serta diktum putusan. Jadi dalam Rv, uraian
kesimpulan setiap anggota arbiter merupakan
syarat materil putusan. Syarat ini hanya dapat
disingkirkan apabila para pihak secara tegas
menyepakati dalam perjanjian bahwa putusan
tidak perlu mencantumkan pendapat setiap
anggota arbiter.
Continue…

Sedang dalam ICSID syarat pencantuman


pendapat dan pendirian para anggota arbiter
dalam putusan, diperlunak menjadi syarat
mutlak yang bersifat fakultatif. Acuan
penerapannya, tidak mesti dicantumkan dalam
putusan dalam putusan apabila “tidak diminta”
oleh anggota arbiter yang bersangkutan. Tapi
apabila diminta, mutlak harus dimasukkan
dalam putusan, dan dilaksanakan mendahului
alasan pertimbangan.
Continue…

 Dalam UNCITRAL, syarat materil putusan dicantumkan


pada Pasal 32 ayat (3) yang berbunyi: The arbitral
tribunal shall state the reasons upon which the award is
base, unless the parties have agreed that no reasons to
be given.
 Apa yang menjadi syarat materil dalam pasal tersebut,
hanya pertimbangan yang dilandasi dengan alasan-
alasan. Dengan kata lain, syarat materil yang pokok
ialah “pertimbangan yang cukup”. Syarat yang seperti
itupun dituntut dalam dunia peradilan. Pertimbangan
harus berdasar alasan-alasan yang cukup, pertimbangan
putusan mesti seksama dan cermat secara menyeluruh
menilai semua fakta-fakta yang ditemukan selama
proses pemeriksaan berlangsung.
3. Putusan harus menurut hukum

Putusan Arbitrase versi Rv, Pasal 631,


maupun pada Pasal 42 ICSID, serta Putusan
Arbitrase UNCITRAL harus berdasar “rule of
law”, Pasal 33 ayat (1). Hukum yang
diterapkan dalam putusan ialah hukum materil
yang ditunjuk dan disepakati para pihak yang
erat kaitannya dengan substansi jenis bidang
yang disengketakan. Dengan demikian
Mahkamah Arbitrase harus meneliti lebih
dahulu apakah para pihak ada menunjuk
hukum materil yang disepakati para pihak
dalam perjanjian.
Continue…

Apabila para tidak ada menunjuk hukum materil


yang mereka sepakati barulah diperbolehkan
menerapkan hukum lain. Dalam hal ini, hukum
materil yang harus diterapkan ialah hukum yang
mengatur jenis persengketaan. Hal ini
ditegaskan dalam rumusan Pasal 33 ayat (1)
kalimat terakhir yang berbunyi: ‘Failing such
designation by the parties, the arbitral tribunal
shall apply the law determined by the conflict of
laws rules which it considers applicable’.
Continue…

Demikian urutan prioritas hukum materil yang


mesti diterapkan oleh Mahkamah Arbitrase
dalam putusan. Pertama-tama, hukum materil
yang diterapkan menyelesaikan sengketa ialah
hukum yang ditunjuk para pihak berdasarkan
kesepakatan yang mereka tentukan dalam
perjanjian. Jika hal itu tidak ada disepakati,
hukum yang diterapkan adalah hukum yang
berkenaan dengan aturan hukum yang mengatur
jenis persengketaan.
4. Putusan dapat didasarkan atas ex
aequo et bono,

Pasal 33 ayat 2 menegaskan,


“The arbitral tribunal shall decide as
amiable compositeur or ex aequo et bono
only if the parties have expressly
authorized the arbitral tribunal to do so
and if the law applicable to the arbitral
procedure permits such arbitration.”
Continue…

kebolehan Mahkamah Arbitrase memutus


sengketa berdasar “ex aequo et bono” atau
“compositeur”, hanya apabila hal itu
ditegaskan dengan jelas dalam perjanjian
oleh para pihak. Penggarisan ini sama
dengan ketentuan Pasal 631 Rv maupun
dengan ketentuan Pasal 42 ayat 3 ICSID.
Continue…
 Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di
Indonesia setelah memperoleh exequatur dari Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan terhadap putusan
ini tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Namun jika
putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah
menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu
putusan arbitrase internasional, maka terhadap putusan
ini dapat diajukan kasasi. Mahkamah Agung Republik
Indonesia mempertimbangkan serta memutuskan setiap
pengajuan kasasi dalam jangka waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi tersebut
diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan
terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut tidak dapat
diajukan upaya perlawanan. Pasal 66 huruf (d) UU No 30
Tahun 1999 jo. Pasal 68 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999.
Continue…
 Hal lain perlu ditambahkan mengenai larangan publikasi
putusan. Larangan ini sejalan dengan asas pemeriksaan
Mahkamah Arbitrase adalah dengan pintu tertutup. Asas
tersebut misalnya secara tegas disebut dalam Pasal 14
ayat 2 Peraturan BANI yang berbunyi “semua
pemeriksaan dilakukan dengan pintu tertutup”.
 Asas pemeriksaan pintu tertutup, berlanjut terus pada
pengucapan putusan. Mahkamah Arbitrase dilarang
untuk mempublikasi putusan. Penegasan larangan ini
diatur dalam Pasal 48 ayat 5 ICSID yang menyatakan:
“The centre shall not publish the award without the
consent of the parties”. Begitu pula dalam Pasal 32 ayat
2 UNCITRAL, terdapat larangan yang sama: “The
award may be made public only with the consent of both
parties”.
Penyelesaian Sengketa Dengan
Kekerasan

Persoalan penggunaan kekerasan merupakan isu yang


paling controversial dalam hukum internasional. Dalam
penggunaan kekerasan (Violent Settlement) dibolehkan
kita jalan damai tidak tercapai dalam mendapatkan
pembenaran. Mengingat Pasal 51 Piagam PBB. Pasal
51, mengamanahkan penggunaan kekerasan dalam hal
bela diri atau the right to self defence. Pengertian ‘bela-
diri’ pada saat ini telah meliputi konsep pre-emptive
strike sebagaimana yang diklaim oleh Amerika Serikat
dalam perang melawan kejahatan terror. Namun,
prinsip pre-emptive strike telah menimbulkan
kontroversi yang amat politis. Sebab prinsip tersebut
menyimpang dari pengertian tradisional bela-diri.
Continue…
Bela diri merupakan alasan utama bagi
penggunaan kekerasan oleh suatu Negara.
Hal ini mencerminkan dengan adanya
kesamaan pemahaman dari Negara-negara.
Dalam prakteknya pernyataan tersebut
ternyata tidak seluruhnya benar. Perbedaan
yang besar adalah terdapatnya perbedaan
pemahaman dalam luasnya cakupan self-
defence, terutama terkait dengan persoalan
interpretasi atas Pasal 51.
Continue…

Kelompok yang memilih interpretasi luas


beranggapan bahwa, pertama, referensi
atas ‘inherent right’ dalam pasal 51
menyediakan sebuah hukum kebiasaan
atas hak untuk self-defence. Kedua, hak
dalam hukum kebiasaan memberikan
pengertian yang lebih luas dan tidak
hanya atas serangan bersenjata.
Continue…

 Oleh karena itu, mereka menjustifikasi atas self-


defence yang bersifat antisipatif dan perlindungan
warga negaranya yang berada di luar wilayah
kedaulatannya. Sedangkan kelompok kedua yang
mengadvokasikan pengertian yang sempit
berpemahaman bahwa interpretasi yang dilakukan
oleh kelompok pertama bertentangan dengan
maksud yang dituju oleh Pasal 51. Sehingga, pada
saat yang bersamaan pasal tersebut menjadi tidak
relevan bilamana memberikan justifikasi atas self-
defence tanpa batasan. Sebab bertentangan
dengan hukum kebiasaan internasional.
Continue…
 Prinsip Negara dengan penggunaan kekerasan terkait
dengan penyerangan terhadap WTC dan Pentagon pada 11
September 2001. AS memulai operasi demi kebebasan yang
berkelanjutan (Operation Enduring Freedom) sejak tanggal
7 Oktober 2001 dan ditujukan untuk tidak lagi menjadikan
Afganistan sebagai sarang bagi terorisme. Dalam
laporannya kepada Dewan Keamanan AS mendasarkan
pada alasan self-deffence yang temuat dalam Pasal 51
Piagam PBB. Inggris juga terlibat mengklaim atas dasar
self-deffence yang bersifat individual maupun kolektif.
Dukungan muncul di antaranya dalam bentuk Resolusi,
yakni resolusi 1368 yang menyatakan bahwa Dewan
Keamanan mengutuk serangan terror dan sekaligus juga
memberikan pengakuan bagi hak atas self-defence.
Selanjutnya Resolusi 1373 pada 14 November 2001 juga
mengakui hak atas self-defence secara individual maupun
Continue…

 Implikasi lebih lanjut dari tindakan AS dan Inggris,


dapat menciptakan hukum kebiasaan internasional
instan mengingat cukup luasnya dukungan yang
ditujukan pada AS dan sikap kontra yang ditujukan
oleh Negara lain tidak tahan lama. Pengaruh yang
sangat jelas adalah salah satunya, memperluas
pengertian serangan bersenjata (armed attec) bagi
Negara-negara yang dipandang sebagai pelaku atau
pendukung terorisme. Karena itu prinsip penggunaan
kekerasan oleh Negara yang timbul dan perlu
mendapat jawaban adalah pertanyaan terkait dengan
necessity dan proportionality.

Anda mungkin juga menyukai