Penyelesaian Sengketa Internasional A. Penyelesaian Sengketa Internasional secara Diplomatik/Politik: Negosiasi • Mediasi Konsiliasi • Rekonsiliasi Fact Finding • Good Offices (Jasa Baik) B. Intervensi Kemanusiaan C. Model Penyelesaian di Pengadilan The International Court of Justice (ICJ) – Subyek Negara Arbitrase Internasional The International Criminal Court (ICC) – Subyek Individu D. Penyelesaian Sengketa dengan Kekerasan Metode-metode Penyelesaian Sengketa
a.Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik;
a.Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik; • Negosiasi • Mediasi • Negosiasi • Mediasi • Konsiliasi • Rekonsiliasi • Konsiliasi • Rekonsiliasi • Fact Finding • Good Offices (Jasa Baik) • Fact Finding • Good Offices (Jasa Baik) b. Penyelesaian Sengketa secara Hukum; b. Penyelesaian Sengketa secara Hukum; • Arbitrase Internasional • Arbitrase Internasional • The International Court of Justice (ICJ) – Subyek Negara • The International Court of Justice (ICJ) – Subyek Negara c. Penyelesaian Sengketa melalui Organisasi Internasional; c. Penyelesaian Sengketa melalui Organisasi Internasional; • Organisasi Regional • Organisasi Regional • Perserikatan Bangsa-Bangsa • Perserikatan Bangsa-Bangsa d. Peradilan Pidana Internasional; d. Peradilan Pidana Internasional; • Peradilan Internasional ad-hoc • Peradilan Internasional ad-hoc • The International Criminal Court (ICC) – Subyek Individu • The International Criminal Court (ICC) – Subyek Individu • Peradilan Campuran (hybrid tribunal atau mixed court) • Peradilan Campuran (hybrid tribunal atau mixed court) Penyelesaian Sengketa dengan Kekerasan a. Pendahuluan; a. Pendahuluan; • Pasal 2 ayat (4) PBB, larangan penggunaan kekerasan – jus cogen • Pasal 2 ayat (4) PBB, larangan penggunaan kekerasan – jus cogen b. Justifikasi Penggunaan Kekerasan; b. Justifikasi Penggunaan Kekerasan; • Self Defence Rights • Self Defence Rights • Humanitarian Intervention • Humanitarian Intervention c. Penggunaan Kekerasan di bawah Piagam PBB; c. Penggunaan • Kewenangan Kekerasan di bawah Piagam PBB; Dewan Keamanan untuk bertindak • Kewenangan Dewan Keamanan untuk bertindak • Laporan kepada DK PBB dari negara-negara menggunakan kekerasan • Laporan kepada DK PBB dari negara-negara menggunakan kekerasan atas alasan self defense atas alasan self defense d. Penjagaan Perdamaian; d. Penjagaan Perdamaian; • Peran alternatif DK dalam penjagaan perdamaian (a partial substitute) • Peran alternatif DK dalam penjagaan perdamaian (a partial substitute) • Peace Keeping dan Enforcement Action • Peace Keeping dan Enforcement Action e. Tindakan Regional di bawah PBB e. Tindakan • Pasal Regional di bawah PBB 52 Piagam PBB – Badan-badan Regional untuk menangani • Pasal 52 Piagam PBB – Badan-badan Regional untuk menangani masalah pemeliharaan perdamaian menurut cara sesuai bagi kawasan masalah pemeliharaan perdamaian menurut cara sesuai bagi kawasan • Mengutamakan penyelesaian secara damai, melalui badan regional • Mengutamakan penyelesaian secara damai, melalui badan regional sebelum diajukan kepada DK PBB sebelum • Pasal 53 diajukan kepada DK PBB – DK menggunakan pengatuan atau badan regional untuk • Pasal 53 – DK menggunakan pengatuan atau badan regional untuk melakukan tindakan pemaksaan melakukan tindakan pemaksaan Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Diplomatik Pasal 33 Piagam PBB, pasal menyatakan: “Para pihak dalam suatu persengketaan yang tampaknya sengketa tersebut akan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, harus pertama-tama mencari penyelesaian dengan cara negosiasi (perundingan), penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan, menyerahkannya kepada organisasi-organisasi atau badan-badan regional, atau cara penyelesaian damai lainnya yang mereka pilih.” a. Negosiasi Cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tua digunakan oleh umat manusia. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari melalui cara ini, para pihak melakukan pertukaran perwakilan diplomatik (diplomatic exchanges) terlebih dahulu tentunya tanpa adanya publisitas atau perhatian publik. Continue… Cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh manakala para pihak bersengketa. Negosiasi dalam pelaksanaannya memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional. Continue… Cara ini dapat pula digunakan untuk menyelesaikan setiap bentuk sengketa, apakah itu sengketa ekonomi, politik, hukum, sengketa wilayah, keluarga, suku, dan lain-lain. Bahkan, apabila para pihak telah menyerahkan sengketanya kepada suatu badan peradilan tertentu, proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini masih dimungkinkan untuk dilaksanakan. Continue… Kelemahan utama menggunakan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah: pertama, manakala kedudukan para pihak tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, sedang pihak yang lain lemah. Dalam keadaan ini, pihak yang kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Continue… Kedua, bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan memakan waktu lama. Hal ini terutama dikarenakan permasalahan antar- negara yang timbul, khususnya masalah yang berkaitan dengan ekonomi internasional. Selain itu, jarang sekali adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi. Sehingga dapat dikatakan jangka waktu penyelesaian sengketa melalui negosiasi, sering memakan waktu yang lama. Continue… Ketiga, manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi menjadi tidak produktif.
Mengenai pelaksanaan negosiasi, prosedur yang
terdapat di dalamnya perlu dibedakan sebagai berikut: Pertama, negosiasi yang digunakan manakala suatu sengketa belum lahir (disebut pula sebagai konsultasi). Kedua, digunakan manakala suatu sengketa telah lahir. Prosedur negosiasi ini merupakan proses penyelesaian sengketa oleh para pihak (dalam arti negosiasi). b. Mediasi Suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut disebut dengan mediator. Ia bisa berbentuk negara, organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu (politikus, ahli hukum, atau ilmuwan). Ia ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. Continue… Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat dan mediator menerima syarat- syarat yang diberikan oleh para pihak yang bersengketa. Saat ini, mediasi sebagai salah satu teknik penyelesaian sengketa yang telah menyedot perhatian semua kalangan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pihak-pihak yang bersedia menjadi mediator mulai dari Sekjen PBB, Menteri luar negeri, sampai LSM. Di samping itu, mediasi menjadi lebih menarik adalah karena terbukanya kemungkinan bagi para mediator untuk mempengaruhi hasil Continue… Pada prinsipnya mediasi ini merupakan negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak yang bisa diterima kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam hal ini pihak mediator sebatas memberikan bantuan substantif, prosedural dan memberi saran pada pihak-pihak yang bersengketa, sedangkan otoritas membuat keputusan tetap berada pada konsensus para pihak yang bersengketa. Keuntungan penggunaan jalur mediasi adalah prosedurnya sederhana, efektif, tidak mahal, putusan masih dalam pengendalian (kontrol) pihak-pihak yang bersengketa. Secara ideal mediasi akan berfungsi dengan baik bilamana sesuai dengan beberapa syarat berikut ini: 1. Para pihak mempunyai kekuatan tawar menawar yang sebanding; 2. Para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan di masa depan; 3. Terhadap banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya perlu untuk dikedepankan; 4. Terhadap banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran (trade off); 5. Para pihak tidak memiliki permusuhan yang berlangsung lama dan mendalam; Continue… 6. Apabila para pihak mempunyai pendukung atau pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan yang banyak, tetapi dapat dikendalikan; 7.Menetapkan preseden atau mempertahankan suatu hak tidak lebih penting dibandingkan menyelesaikan persoalan yang mendesak; 8. Jika para pihak berada dalam proses litigasi, kepentingan-kepentingan pelaku lainnya, seperti para pengacara dan penjamin tidak akan diperlakukan lebih baik jika dibandingkan dengan mediasi. Dalam menjalankan fungsinya, mediator tidak tunduk pada suatu aturan hukum acara tertentu. Ia bebas menentukan bagaimana proses penyelesaian sengketanya berlangsung. Peranannya disini tidak semata-mata mempertemukan para pihak agar bersedia berunding, tetapi ia juga terlibat dalam perundingan dengan para pihak dan bisa pula memberikan saran-saran atau usulan penyelesaian sengketa. Bahkan mediator dapat pula berupaya mendamaikan para pihak. Menurut Bindschedler ada beberapa segi positif dari mediasi, antara lain : 1. Mediator sebagai penengah dapat memberikan usulan-usulan kompromi di antara para pihak; 2. Mediator dapat memberikan usaha-usaha atau jasa-jasa lainnya, seperti memberi bantuan dalam melaksanakan kesepakatan, bantuan keuangan, mengawasi pelaksanaan kesepakatan, dan lain-lain; 3. Apabila mediatornya adalah negara, biasanya negara tersebut dapat menggunakan pengaruh dan kekuasaannya terhadap para pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian sengketanya; Continue…
4. Negara sebagai mediator biasanya
memiliki fasilitas teknis yang lebih memadai daripada orang perorangan. Sedang segi negatif dari mediasi adalah mediator dapat saja dalam melaksanakan fungsinya lebih memperhatikan pihak lainnya. Persamaan Prosedur mediasi dan jasa baik antara lain:
1. Prosedur jasa-jasa baik maupun mediasi
ditandai dengan intervensi satu negara ketiga, suatu kelompok negara-negara atau seorang tokoh dikenal. 2. Intervensi negara ketiga tidak memberikan kewajiban apapun bagi negara-negara yang bersengketa. Tawaran jasa-jasa baik ataupun mediasi dapat ditolak kecuali kalau ada konvensi mediasi wajib antara negara- negara yang bersengketa. Continue… 3. Negara-negara yang bersengketa dapat dengan leluasa menolak, baik usul-usul untuk dasar perundingan maupun rumusan penyelesaian yang diajukan pihak ketiga. 4. Sering pula terjadi negara yang memberikan jasa-jasa baiknya bertindak sebagai mediator. Untuk memudahkan penerimaan fungsi mediasi, negara-negara yang bersengketa dapat pula atas persetujuan bersama memilih tokoh-tokoh kenamaan untuk ikut menyelesaikan sengketa mereka dan bukan negara-negara. Misalnya yang bertindak sebagai mediator dalam sengketa antara negara- negara Arab dan Israel dulunya juga tokoh Swedia, Duta Besar di Moskow, Gunar Jarring, namun misinya tidak berhasil. Bahkan dalam Konvensi Buenos Aires pada tanggal 23 Desember 1936 yang dibuat antara Republik-republik Amerika Latin menetapkan, bahwa bila mediasi diperlukan maka mediatornya akan dipilih dari daftar nama-nama yang telah disusun sebelumnya yang terdiri dari tokoh- tokoh kenamaan. c. Konsiliasi Pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary dapat kita katakan bahwa pada prinsipnya konsiliasi merupakan perdamaian. Dalam hal yang demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 Bab kedelapanbelas Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berarti segala sesuatu yang dimaksudkan untuk diselesaikan melalui konsiliasi tunduk pada ketentuan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, dan secara khusus Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864. Continue… Ini berarti hasil kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi inipun harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (7) jo Pasal 6 ayat (8) Undang-Undang No 30 Tahun 1999, kesepakatan tertulis hasil konsiliasi tersebutpun harus didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penandatanganan, dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat final dan mengikat para pihak. ”Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi ini disebut dengan komisi konsiliasi.” Continue… Komisi konsiliasi bisa yang sudah berlembaga atau ad hoc (sementara yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun, putusannya tidak mengikat para pihak. Continue… Persidangansuatu komisi konsiliasi biasanya terdiri atas dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan, dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat. Karena diterima tidaknya usulan tersebut Continue… Konsiliasi dalam Undang-Undang No 30 Tahun 1999 adalah identik dengan perdamaian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka konsiliasi tidak hanya dapat dilakukan untuk mencegah dilaksanakannya proses litigasi (peradilan), melainkan juga dapat dilakukan oleh para pihak, dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berlangsung, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dapat dilakukan konsiliasi. d. Rekonsiliasi Duane Ruth dan Heffelbower, menyebutkan bahwa pihak-pihak yang mencoba menggunakan proses rekonsiliasi ini, pertama-tama harus bertekad untuk bersikap konstruktif. Ini berarti bahwa mereka mau menghargai hubungan mereka dengan pihak-pihak lain, menginginkan perbaikan, dan akan ikut ambil bagian dalam proses itu. Bagian tersulit rekonsiliasi adalah mengupayakan kesepakatan untuk bersikap konstruktif. Setelah semua pihak mempunyai komitmen untuk bersikap konstruktif, proses ini selanjutnya membutuhkan tiga langkah. Continue… Pertama adalah pengakuan terhadap ketidakadilan. Langkah ini biasanya melibatkan orang yang menceritakan kepada yang lain bagaimana mereka mengalami peristiwa-peristiwa yang menyakitkan, baik fakta-fakta maupun perasaan, dengan para pendengar yang menguraikan dengan kata lain apa yang mereka dengar untuk menunjukkan pengertian. Langkah ini tidak memerlukan kesepakatan, hanya pengakuan akan pengalaman orang lain. Setelah semua berbagi rasa dengan cara ini dan setiap orang merasa bahwa pengalamannya telah diakui, tiba saatnya untuk langkah kedua, yakni memulihkan kesetaraan. Langkah ini biasanya mendorong salah satu pihak untuk melakukan sesuatu guna mengembalikan keseimbangan di antara mereka. Jika keadaan sudah menjadi baik, maka langkah ketiga yakni memperjelas maksud-maksud di masa depan. Continue… Ketika kesepakatan telah dibuat dan dijaga, kepercayaan akan tumbuh. Sumber kepercayaan adalah mengambil resiko dengan hasil yang dapat diterima. Proses rekonsiliasi harus memberikan banyak kesempatan untuk mengambil resiko kecil guna membangun kembali kepercayaan. Proses itu sendiri mengijinkan ini dengan ketaatan orang akan kesepakatan untuk tidak saling menginterupsi satu sama lain. e. Fact Finding Merupakan suatu proses pencarian fakta dengan menggunakan teknik seperti wawancara dan kuisioner untuk mengumpulkan informasi mengenai masalah. Para pihak yang bersengketa dapat pula menunjuk suatu badan independen untuk menyelidiki fakta-fakta yang menjadi sebab sengketa. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan laporan kepada para pihak mengenai fakta yang ditelitinya. Dengan adanya pencarian fakta-fakta demikian, diharapkan proses penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat segera diselesaikan. Continue… Dalam bahasa Inggris, dipergunakan dua istilah untuk ”pencarian fakta” yang sama artinya dan acap kali digunakan secara bertukar, yaitu inquiry dan fact-finding. Tujuan dari pencarian fakta untuk mencari fakta yang sebenarnya adalah untuk: 1) membentuk suatu dasar bagi penyelesaian sengketa di antara dua negara; 2) mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian internasional; dan 3) memberikan informasi guna membuat putusan di tingkat internasional (Pasal 34 Piagam PBB). Misalnya pembentukan UNSCOM (United Nations Special Commission) yang dikirim ke wilayah Irak untuk memeriksa ada tidaknya senjata pemusnah massal. Continue… Tujuan pertama untuk menyelesaikan suatu sengketa internasional. Tujuan kedua untuk memastikan suatu kewajiban internasional terlaksana dengan baik. Sedangkan tujuan ketiga merupakan unsur yang penting dalam proses pembuatan keputusan dalam organisasi internasional. Cara atau metode ini, biasanya digunakan setelah penyelesaian sengketa secara diplomatik dilaksanakan, namun hasilnya gagal. Continue… Salah satu instrumen hukum internasional yang mengatur pencarian fakta ini adalah Pasal 9-36 the Haque Convention on The Pacific Settlement of Disputes tahun 1899 dan 1907. Pasal-pasal konvensi ini mengatur cara-cara penyelesaian sengketa melalui pencarian fakta dengan dengan membentuk suatu komisi pencari fakta. Cara penggunaan pencarian fakta ini biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan masing-masing pihak. Cara ini telah dikenal dalam praktik kenegaraan. Di samping itu, organisasi internasional juga telah memanfaatkan cara penyelesaian sengketa melalui pencarian fakta ini. f. Good Offices (Jasa Baik)
Jasa baik adalah cara penyelesaian
sengketa melalui keikutsertaan jasa pihak ketiga, Bindschedler mendefinisikan good offices sebagai: the involvement of one or more State or an international organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement. Continue… Tujuan jasa baik ini adalah agar kontak langsung di antara para pihak tetap terjamin. Tugas yang diembannya, yaitu mempertemukan para pihak yang bersengketa agar mereka mau berunding. Cara ini biasanya bermanfaat manakala para pihak tidak mempunyai hubungan diplomatik atau hubungan diplomatik mereka telah berakhir. Pihak ketiga ini bisa negara, orang perorangan (seperti mantan kepala negara) atau suatu organisasi, lembaga atau badan internasional, misalnya Dewan Keamanan PBB. Continue… Keikutsertaan pihak ketiga memberikan jasa- jasa baik memudahkan pihak yang bersengketa untuk bersama-sama mempercepat perundingan di antara mereka. Setiap pihak yang bersengketa dapat meminta kehadiran jasa-jasa baik. Namun, pihak lainnya tidak berkewajiban untuk menerima permintaan tersebut. Dengan kata lain, permintaan tersebut sifatnya tidak mengikat dan tidak boleh dipandang sebagai tindakan yang tidak bersahabat (unfriendly act). Continue… Ketentuan mengenai jasa baik dapat ditemui dalam berbagai perjanjian multirateral dan bilateral. Contoh perjanjian tersebut antara lain sebagai berikut: Pertama, The Hague Convention on the Pacific Settlement of International Dispute tanggal 18 Oktober 1907 (yang merupakan hasil dari konferensi perdamaian Den Haag tahun 1899 dan 1907). Pasal 2 konvensi ini menyatakan bahwa negara-negara peserta sepakat untuk menyerahkan sengketa mereka kepada jasa-jasa baik atau mediasi sebelum penyelesaiannya dilakukan dengan menggunakan kekerasan. Continue… Kedua, dalam Bab VI (Pasal 33-38) Piagam PBB mengatur penyelesaian sengketa secara damai terhadap sengketa yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Ketentuan pasal ini berada di bawah tanggung jawab Dewan Keamanan dan biasanya dilaksanakan pula oleh Majelis Umum atau suatu organisasi khusus yang menawarkan jasa baik. Ketiga, The American Treaty on Pacific Settlement tanggal 30 April 1948 mengatur juga penggunaan jasa baik untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara Negara-negara Amerika. Continue… Keempat, jasa baik teknis untuk melindungi kepentingan negara lain dalam keadaan damai diatur dalam Pasal 45 dan 46 Konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik tanggal 18 April 1961 dan Pasal 8 Konvensi Wina mengenai hubungan konsuler tanggal 24 April 1963. Continue… Secara prinsip, negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tidak ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan, tetapi hanya menyiapkan dan mengambil langkah- langkah yang perlu agar negara-negara yang bersengketa bertemu satu sama lain dan merundingkan sengketanya. Bila pihak- pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling bertemu, berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tersebut. Intervensi Kemanusiaan
Intervensi Kemanusiaan (Humanitarian
Intervention) yakni suatu bantuan yang diberikan tidak hanya terbatas pada penyediaan bantuan kemanusiaan semata. Tetapi, lebih penting melakukan pengiriman suatu kekuatan militer yang sah, baik secara hukum maupun moral, untuk menggunakan kekuatan militer agar tindakan kekerasan, pembunuhan, genocide, atau ethnic cleansing yang dilakukan oleh suatu kelompok atau rejim penguasa dapat dihentikan secara segera. Continue… Penggunaan konsep intervensi semula dipandang sebagai larangan, menginggat dapat mencampuri urusan suatu negara yang berdaulat. Intervensi digunakan sebagai tindakan suatu negara turut campur atas urusan dalam dan luar negeri dari suatu negara berdaulat. Begitu pula intervensi dipandang sebagai pelanggaran dan praktek hubungan internasional. Dalam hukum internasional, dikenal dengan kolektifitas internasional dan intervensi bersifat menghukum (Collective Punishment) yang diperbolehkan. Continue… Namun, penggunaan intervensi kolektifsudah ada preseden hukumnya sejak tahun 1820, Inggris, Perancis, dan juga Rusia bekerjasama untuk menghentikan adanya pertumpahan darah ketika masyarakat Yunani hendak menjadi negara merdeka dari kekuasaan Kerajaan Raya Yunani. Sama halnya, dengan keterlibatan negara-negara besar pada saat terjadi krisis di Belgia tahun 1830. begitu pula konsep Intervensi kemanusiaan ini diperdebatkan karena tidak memiliki landasan hukum yang kuat, dan tidak mudah disentuh dengan kekuatan negara-negara yang terlibat dalam konflik fisik dan peperangan. Bagaimana praktek intervensi kemanusiaan akhirnya dapat diterima sebagai konsekuensi upaya untuk menegakkan hukum internasional dan perdamaian, termasuk di dalam mencegah timbulnya konflik dan peperangan. “But some (arguable) precedents were astablished for late advocates of the Continue… Cristina Gabriela Badescu, menggunakan istilah intervensi kemanusiaan sebagai hak fundamental dan tanggungjawab dari hak-hak untuk melindungi. Pasal 24 dari Kovenan Liga Bangsa-Bangsa, bahwa menyediakan suatu ketentuan tentang pentingnya perlakuan adil bagi penduduk asli dari suatu wilayah. Tahun 1919, perjanjian perdamaian antara Eropa Timur dengan negara-negara Balkan Timur termasuk pengaturan terkait perlindungan kaum minoritas. Ketentuan tersebut pada dasarnya mengakhiri perlakuan yang sama atas kesempatan dan peluang bagi aktivitas kolektif. Continue… Namun, tidaklah cukup kebolehan intervensi kemanusiaan hanya didasarkan kepada keadaan korban atau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik militer tersebut. Alasan untuk melakukan intervensi diperlukan alasan obyektivitas. Seberapa gentingnya ancaman ketertiban dan perdamaian dunia akan terkena imbasnya. Hak-hak mereka untuk hidup, makan dan minum, pemukiman, dan kemerdekaan mereka dilanggar, oleh suatu kekuatan yang sistemati. Situasi kejahatan dan pemusnahan sebagai pelanggaran atas kejahatan HAM, tidak cukup memadai tanpa alasan yang memberikan pembenaran atas pentingnya intervensi militer. Continue… Setidaknya dua alasan yang dapat diterima untuk melakukan intervensi kolektif. 1) Adanya intervensi militer sebagai tindakan yang masuk akal, dan karena itu tindakan tersebut sungguh-sungguh akan mengakhiri kekerasan dan penyiksaan. Intervensi militer tersebut dilakukan akan mengakhiri tindakan pembunuhan masal “massacre” dan dapat mengentaskan kemiskinan. Continue… 2) Intervensi militer dilakukan dengan suatu tindakan yang berimbang terhadap penderitaan yang saat ini telah menjadi beban. Pertimbangan diperlukan bahwa intervensi yang dilakukan seminimal mungkintidak akan menimbulkan korban- korban manusia, baik terhadap sipil (civilian) dan juga tentara dari Tim penjaga Perdamaian, Continue… 3) Intervensi militer akan dilakukan karena kemampuan dan daya juang di lapangan termasuk menjunjung tinggi berbagai pandangan dari berbagai komunitas dunia. Termasuk, berbagai rekomendasi dan pandangan dari organisasi multilateral yang secara hukum memberikan legitimasi atas suatu keputusan karena adanya pelanggaran kedaulatan terhadap negara lain. Continue… Dalam Kasus pemusnahan etnis Rohingya, Myanmar, bahwa pentingnya menyuarakan intervensi kemanusiaan dan pembentukan Tim Pencari Fakta yang dapat mengusulkan oknum Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional. Pertama, usulan untuk melakukan intervensi kemanusiaan didasarkan pasal 53 piagam PBB. Utamanya berkaitan dengan peran DK PBB mencegah timbulnya kekerasan dengan menggunakan kebijakan yang agresif, yang mengancam tata tertib dan perdamaian dunia. Relevansi pasal tersebut hendaknya dikaitkan dengan Bab VII tentang sanksi atau punitive Continue… Dalam Kasus pemusnahan etnis Rohingya, Myanmar, bahwa pentingnya menyuarakan intervensi kemanusiaan dan pembentukan Tim Pencari Fakta yang dapat mengusulkan oknum Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional. Pertama, usulan untuk melakukan intervensi kemanusiaan didasarkan pasal 53 piagam PBB. Utamanya berkaitan dengan peran DK PBB mencegah timbulnya kekerasan dengan menggunakan kebijakan yang agresif, yang mengancam tata tertib dan perdamaian dunia. Relevansi pasal tersebut hendaknya dikaitkan dengan Bab VII tentang sanksi atau punitive atau penghukuman. Badan yang memiliki autoritatif untuk melakukan penghukuman adalah DK PBB ditentukan dengan suatu syarat dan prosedur baku. Usulan intervensi kemanusiaan harus diajukan melalui DK PBB yang harus disepakati oleh 5 Anggota Tetap DK PBB, dan 10 Anggota tidak Continue…
Pewacanaan intervensi kemanusiaan juga
relevan ketika Organisasi Konferensi Islam menyelenggarakan pertemuan, yang dihadiri oleh lebih dari 40 utusan dari 20 anggota negara Muslim. Salah satu agendanya, pembahasan minoritas Rohingya di Myanmar sebagai anggota masyarakat dunia yang paling tertindas. Continue… Dalam kasus Israel membombardir jalur Gaza,bahwa menurut Brownlie, praktek intervensi kemanusiaan, sangat jelas, baik Liga Bangsa-Bangsa (LBB), Perjanjian Kellog-Briant dan juga Piagam PBB tidak melarangnya secara tegas. Intervensi kemanusiaan tergolong ketentuan khusus yang diatur dalam Piagam PBB dengan ketentuan bahwa serangan Israel telah memenuhi tuntutan hukum internasional. Adanya ancaman terhadap tata tertib dan perdamaian dunia, meluasnya serangan eskalatif sehingga menimbulkan korban lebih banyak. Continue… Namun, gagasan untuk melakukan intervensi kemanusiaan terhadap Israel banyak mengalami hambatan. Negara-negara Barat, Amerika Serikat, inggris, dan juga Perancis telah bekerjasama untuk menolak penjatuhan sanksi terhadap Israel. Kerjasama konspiratif ini, nyata-nyata telah membiarkan tindakan kejahatan Israel terhadap warga Palestina secara semena-mena. Kesombongan Pemerintahan Israel tampak semakin menjadi ketika sikap negara-negara adidaya tidak memberikan respon signifikan. Dasar Piagam PBB, yang menyediakan penggunaan hak veto oleh negara-negara adidaya, menunjukkan ketidakadilan struktural semakin menguat Model Penyelesaian di Pengadilan Penyelesaian secara hukum yang menghasilkan keputusan-keputusan yang mengikat juga berarti pengurangan kedaulatan negara-negara yang bersengketa. Karena itu selagi masyarakat internasional masih merupakan kesejajaran negara-negara berdaulat, fungsi yurisdiksional internasional tidak akan berkembang sempurna seperti peradilan nasional negara-negara. Peradilan nasional hanya dapat dijadikan model oleh peradilan internasional karena struktur masyarakat di mana kedua sistem hukum itu berlaku masih berbeda-beda. Continue… Pengadilan berdasarkan permintaan dari para pihak dapat memberikan putusan ex aequo et bono (sesuai yang dianggap adil) daripada hukum. Tapi, ketentuan ini belum pernah digunakan. Model lain yang kurang radikal adalah putusan dengan mendasarkan pada basis yang telah disetujui para pihak. Kedua ketentuan ini mendekatkan antara adjudikasi dan konsiliasi. Di samping itu terdapat kemungkinan bagi pengadilan untuk menggunakan inisiatifnya sendiri dengan perhitungan-perhitungan yang equitable atas bermacam-macam hal. Hal ini menunjukkan fleksibilitas yang tinggi dimiliki oleh Pengadilan. a. The International Court of Justice (Peradilan Internasional)
Organisasi baru dunia bernama “the
United Nation Organization” terbentuk setelah berakhirnya Konfensi San Francisco pada tanggal 26 Juni 1945. Organisasi yang biasa disebut dengan “the United Nations” atau disingkat menjadi “the U.N.” yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Perserikatan Bangsa-Bangsa” atau disingkat dengan PBB. Continue… Bersamaan dengan itu, dalam konferensi tersebut telah disetujui pula berdirinya The International Court of Justice (Peradilan Internasional). Peradilan Internasional merupakan pengadilan yang memiliki yurisdiksi atas berbagai macam persoalan internasional. Struktur organisasi dan yurisdiksi dapat ditemukan dalam Anggaran dasarnya. ICJ mendapatkan kewenangan untuk memutuskan atas sebuah kasus melalui persetujuan dari semua pihak yang bersengketa. Sebelum berdirinya ICJ telah ada the Permanent Court of International Justice (PCIJ) berada di bawah lindungan PBB. Continue… Kedua pengadilan ini dijuluki sebagai ‘Pengadilan Dunia’ atau ‘World Court’ yang merupakan penerus dari PCIJ. Anggaran Dasar PCIJ dirancang oleh sekelompok ahli hukum yang ditunjuk oleh PBB. Setelah mulai amandemen mulai berlaku pada tahun 1921. Sebagai kelemahannya, Brownlie mengatakan Anggaran Dasar tidak memiliki ketentuan yang mengatur mengenai perubahan segala perubahan menuntut adanya persetujuan secara bulat dari semua pihak. Kasus-kasus yang menjadi objek ICJ adalah harus diajukan atas negara sebagai subjek hukum internasional. Continue… Praktek pengadilan terdiri dari 15 Hakim yang memiliki kebangsaan yang berbeda-beda dan dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan. Asal-usul lima calon yang merupakan ‘jatah’ dari anggota permanen Dewan Keamanan. Sedangkan sisanya merupakan usulan yang diajukan oleh beberapa negara dari the Permanent Court of Arbitration. Tapi hal ini bukanlah pembagian yang bersifat memaksa, hanya sebuah kebiasaan. Sebagai tambahan dalam hal suatu negara tidak memiliki hakim yang berasal dari negaranya dapat memilih seorang hakim ad hoc. Hal mana semua ini ditujukan untuk memberikan keterwakilan atas semua sistem hukum yang ada. Continue… Fungsi dari pengadilan sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 38 ayat (1) adalah ‘untuk memutuskan perkara sesuai dengan hukum international’. Sebagai jawaban atas apa yang dimaksudkan dengan hukum internasional itu sendiri kita dapat berpaling pada sumber-sumber hukum internasional yang juga disebutkan oleh Pasal 38. Di samping itu pengadilan dalam memutus harus pula memperhatikan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. b. Arbitrase Internasional
Arbitrase adalah salah satu cara atau
alternatif penyelesaian sengketa yang telah dikenal lama dalam hukum internasional. Namun demikian sampai sekarang belum ada batasan atau definisi resmi mengenai arbitrase. Continue… Podesta Costa dan Ruda mendeskripsikan badan ini sebagai berikut: “Arbitration is the resolution of international dispute through the submission, by formal agreement of the parties, to the decision of a third party who would be one of several persons by means of contentious proceedings from which the result of definitive judgment is derived.” Continue… Schochauer, mendefinisikan arbitrase secara sempit, sebagai berikut: “Arbitration is the process of resolving disputes between states by means of an arbitral tribunal appointed by the parties.” Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) adalah: “a procedure for the settlement of disputes between states by binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted.” Continue… Peradilan arbitrase ini jauh berbeda dengan peradilan intern suatu negara karena bentuknya yang non-institusional. Arbitrase dalam hubungan internasional, dalam pengertian yang luas, istilah ini merujuk pada cara penyelesaian secara damai sengketa internasional yang dirumuskan dalam suatu keputusan oleh arbitrators yang dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa. Pihak-pihak tersebut sebelumnya menerima sifat mengikat keputusan yang akan diambil. Continue… Syarat-syarat formil putusan Arbitrase diatur dalam Pasal 32 UNCITRAL Arbitration Rules yang hampir sama dengan yang ditentukan dalam Rv.
1. Syarat formil putusan tersebut adalah:
Pertama, putusan berbentuk tertulis. ”The award shall be made in writing”, dengan bunyi ketentuan pasal 32 ayat 2. Dari penegasan ini, pembuatan putusan dalam ”bentuk tertulis”, sifatnya imperatip. Tidak boleh ditawar-tawar. Putusan secara lisan, tidak sah dan tidak mengikat. Hanya putusan yang berbentuk tertulis yang memiliki kekuatan ”final” dan ”banding” kepada para pihak. Continue… Kedua, putusan ditandatangani para arbiter. Pasal 34 ayat (4) menegaskan, putusan harus ditandatangani oleh para anggota arbiter (The award shall be signed by the arbitrators). Penandatanganan harus dilakukan oleh semua anggota arbiter. Ketiga, tanggal dan tempat putusan dijatuhkan. Syarat pencantuman tanggal dan tempat putusan dijatuhkan ini merupakan salah satu faktor pendukung keotentikan putusan. Syarat ini terdapat pada semua Rules, Rv diatur dalam Pasal 632. Continue… Keempat, identitas para pihak. Suatu putusan yang tidak menyebut identitas para pihak, tidak mempunyai makna. Karena tanpa identitas, tidak dapat ditentukan terhadap siapa putusan diambil, sehingga tidak dapat diminta pemenuhan dan pentaatannya kepada orang tertentu. Walaupun putusan arbitrase versi UNCITRAL tidak disinggung masalah identitas para pihak dalam putusan yang merupakan syarat formil namun tidak boleh diabaikan demi keabsahan putusan. Berbeda dengan putusan arbitrase versi Rv. Pasal 632 Rv secara tegas menyebut identitas-identitas para pihak harus dimuat dalam putusan. Continue… Kelima, memasukkan interim atau interlocutory dalam putusan. Menurut ketentuan Pasal 32 ayat (1), dalam pembuatan putusan akhir, harus dimasukkan putusan sela baik yang berupa “interim measures” atau “interlocutory” yang pernah diambil dalam proses pemeriksaan. Pemasukan hal-hal itu ke dalam putusan akhir, merupakan syarat formil. Continue… Interim measures atau tindakan sementara yang diambil oleh Mahkamah Arbitrase pada saat proses pemeriksaan berlangsung. Tindakan yang seperti itu bisa berupa “concervation” (sita) atas barang yang disengketakan, penjualan barang obyek sengketa yang mudah rusak maupun tindakan pendepositoan uang yang disengketakan atas nama pihak ketiga. Interim measures dapat dituangkan dalam bentuk penetapan atau putusan sela (interim award). Maka apabila tiba saatnya mengambil putusan akhir atau “final award”, semua interim measures yang pernah diambil selama proses pemeriksaan, harus dimasukkan seluruhnya. Dengan demikian semua putusan sela atau penetapan yang pernah diambil, secara formil dan materiil merupakan bagian yang tidak terpisah dengan putusan akhir. Continue…
Peradilan yang lalai memenuhi pemasukannya
dalam putusan akhir, dapat mengakibatkan putusan ditolak pengakuan dan eksekusinya. Oleh karena itu apabila para pihak telah menerima salinan putusan, dan ternyata lalai memasukkan interim measures yang telah pernah diambil dalam proses pemeriksaan, mereka harus segera mengajukan permohonan “additional award” kepada Mahkamah Arbitrase yang bersangkuta sesuai dengan tata cara yang diatur Pasal 37. 2. Syarat materil putusan
Pada Pasal 632 ayat (1) Rv, syarat materil
putusan mengandung dua aspek. Aspek pertama pencantuman kesimpulan pendapat dan pendirian para anggota arbiter. Aspek kedua mengenai alasan-alasan pertimbangan serta diktum putusan. Jadi dalam Rv, uraian kesimpulan setiap anggota arbiter merupakan syarat materil putusan. Syarat ini hanya dapat disingkirkan apabila para pihak secara tegas menyepakati dalam perjanjian bahwa putusan tidak perlu mencantumkan pendapat setiap anggota arbiter. Continue…
Sedang dalam ICSID syarat pencantuman
pendapat dan pendirian para anggota arbiter dalam putusan, diperlunak menjadi syarat mutlak yang bersifat fakultatif. Acuan penerapannya, tidak mesti dicantumkan dalam putusan dalam putusan apabila “tidak diminta” oleh anggota arbiter yang bersangkutan. Tapi apabila diminta, mutlak harus dimasukkan dalam putusan, dan dilaksanakan mendahului alasan pertimbangan. Continue…
Dalam UNCITRAL, syarat materil putusan dicantumkan
pada Pasal 32 ayat (3) yang berbunyi: The arbitral tribunal shall state the reasons upon which the award is base, unless the parties have agreed that no reasons to be given. Apa yang menjadi syarat materil dalam pasal tersebut, hanya pertimbangan yang dilandasi dengan alasan- alasan. Dengan kata lain, syarat materil yang pokok ialah “pertimbangan yang cukup”. Syarat yang seperti itupun dituntut dalam dunia peradilan. Pertimbangan harus berdasar alasan-alasan yang cukup, pertimbangan putusan mesti seksama dan cermat secara menyeluruh menilai semua fakta-fakta yang ditemukan selama proses pemeriksaan berlangsung. 3. Putusan harus menurut hukum
Putusan Arbitrase versi Rv, Pasal 631,
maupun pada Pasal 42 ICSID, serta Putusan Arbitrase UNCITRAL harus berdasar “rule of law”, Pasal 33 ayat (1). Hukum yang diterapkan dalam putusan ialah hukum materil yang ditunjuk dan disepakati para pihak yang erat kaitannya dengan substansi jenis bidang yang disengketakan. Dengan demikian Mahkamah Arbitrase harus meneliti lebih dahulu apakah para pihak ada menunjuk hukum materil yang disepakati para pihak dalam perjanjian. Continue…
Apabila para tidak ada menunjuk hukum materil
yang mereka sepakati barulah diperbolehkan menerapkan hukum lain. Dalam hal ini, hukum materil yang harus diterapkan ialah hukum yang mengatur jenis persengketaan. Hal ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 33 ayat (1) kalimat terakhir yang berbunyi: ‘Failing such designation by the parties, the arbitral tribunal shall apply the law determined by the conflict of laws rules which it considers applicable’. Continue…
Demikian urutan prioritas hukum materil yang
mesti diterapkan oleh Mahkamah Arbitrase dalam putusan. Pertama-tama, hukum materil yang diterapkan menyelesaikan sengketa ialah hukum yang ditunjuk para pihak berdasarkan kesepakatan yang mereka tentukan dalam perjanjian. Jika hal itu tidak ada disepakati, hukum yang diterapkan adalah hukum yang berkenaan dengan aturan hukum yang mengatur jenis persengketaan. 4. Putusan dapat didasarkan atas ex aequo et bono,
Pasal 33 ayat 2 menegaskan,
“The arbitral tribunal shall decide as amiable compositeur or ex aequo et bono only if the parties have expressly authorized the arbitral tribunal to do so and if the law applicable to the arbitral procedure permits such arbitration.” Continue…
kebolehan Mahkamah Arbitrase memutus
sengketa berdasar “ex aequo et bono” atau “compositeur”, hanya apabila hal itu ditegaskan dengan jelas dalam perjanjian oleh para pihak. Penggarisan ini sama dengan ketentuan Pasal 631 Rv maupun dengan ketentuan Pasal 42 ayat 3 ICSID. Continue… Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh exequatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan terhadap putusan ini tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Namun jika putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu putusan arbitrase internasional, maka terhadap putusan ini dapat diajukan kasasi. Mahkamah Agung Republik Indonesia mempertimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut tidak dapat diajukan upaya perlawanan. Pasal 66 huruf (d) UU No 30 Tahun 1999 jo. Pasal 68 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999. Continue… Hal lain perlu ditambahkan mengenai larangan publikasi putusan. Larangan ini sejalan dengan asas pemeriksaan Mahkamah Arbitrase adalah dengan pintu tertutup. Asas tersebut misalnya secara tegas disebut dalam Pasal 14 ayat 2 Peraturan BANI yang berbunyi “semua pemeriksaan dilakukan dengan pintu tertutup”. Asas pemeriksaan pintu tertutup, berlanjut terus pada pengucapan putusan. Mahkamah Arbitrase dilarang untuk mempublikasi putusan. Penegasan larangan ini diatur dalam Pasal 48 ayat 5 ICSID yang menyatakan: “The centre shall not publish the award without the consent of the parties”. Begitu pula dalam Pasal 32 ayat 2 UNCITRAL, terdapat larangan yang sama: “The award may be made public only with the consent of both parties”. Penyelesaian Sengketa Dengan Kekerasan
Persoalan penggunaan kekerasan merupakan isu yang
paling controversial dalam hukum internasional. Dalam penggunaan kekerasan (Violent Settlement) dibolehkan kita jalan damai tidak tercapai dalam mendapatkan pembenaran. Mengingat Pasal 51 Piagam PBB. Pasal 51, mengamanahkan penggunaan kekerasan dalam hal bela diri atau the right to self defence. Pengertian ‘bela- diri’ pada saat ini telah meliputi konsep pre-emptive strike sebagaimana yang diklaim oleh Amerika Serikat dalam perang melawan kejahatan terror. Namun, prinsip pre-emptive strike telah menimbulkan kontroversi yang amat politis. Sebab prinsip tersebut menyimpang dari pengertian tradisional bela-diri. Continue… Bela diri merupakan alasan utama bagi penggunaan kekerasan oleh suatu Negara. Hal ini mencerminkan dengan adanya kesamaan pemahaman dari Negara-negara. Dalam prakteknya pernyataan tersebut ternyata tidak seluruhnya benar. Perbedaan yang besar adalah terdapatnya perbedaan pemahaman dalam luasnya cakupan self- defence, terutama terkait dengan persoalan interpretasi atas Pasal 51. Continue…
Kelompok yang memilih interpretasi luas
beranggapan bahwa, pertama, referensi atas ‘inherent right’ dalam pasal 51 menyediakan sebuah hukum kebiasaan atas hak untuk self-defence. Kedua, hak dalam hukum kebiasaan memberikan pengertian yang lebih luas dan tidak hanya atas serangan bersenjata. Continue…
Oleh karena itu, mereka menjustifikasi atas self-
defence yang bersifat antisipatif dan perlindungan warga negaranya yang berada di luar wilayah kedaulatannya. Sedangkan kelompok kedua yang mengadvokasikan pengertian yang sempit berpemahaman bahwa interpretasi yang dilakukan oleh kelompok pertama bertentangan dengan maksud yang dituju oleh Pasal 51. Sehingga, pada saat yang bersamaan pasal tersebut menjadi tidak relevan bilamana memberikan justifikasi atas self- defence tanpa batasan. Sebab bertentangan dengan hukum kebiasaan internasional. Continue… Prinsip Negara dengan penggunaan kekerasan terkait dengan penyerangan terhadap WTC dan Pentagon pada 11 September 2001. AS memulai operasi demi kebebasan yang berkelanjutan (Operation Enduring Freedom) sejak tanggal 7 Oktober 2001 dan ditujukan untuk tidak lagi menjadikan Afganistan sebagai sarang bagi terorisme. Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan AS mendasarkan pada alasan self-deffence yang temuat dalam Pasal 51 Piagam PBB. Inggris juga terlibat mengklaim atas dasar self-deffence yang bersifat individual maupun kolektif. Dukungan muncul di antaranya dalam bentuk Resolusi, yakni resolusi 1368 yang menyatakan bahwa Dewan Keamanan mengutuk serangan terror dan sekaligus juga memberikan pengakuan bagi hak atas self-defence. Selanjutnya Resolusi 1373 pada 14 November 2001 juga mengakui hak atas self-defence secara individual maupun Continue…
Implikasi lebih lanjut dari tindakan AS dan Inggris,
dapat menciptakan hukum kebiasaan internasional instan mengingat cukup luasnya dukungan yang ditujukan pada AS dan sikap kontra yang ditujukan oleh Negara lain tidak tahan lama. Pengaruh yang sangat jelas adalah salah satunya, memperluas pengertian serangan bersenjata (armed attec) bagi Negara-negara yang dipandang sebagai pelaku atau pendukung terorisme. Karena itu prinsip penggunaan kekerasan oleh Negara yang timbul dan perlu mendapat jawaban adalah pertanyaan terkait dengan necessity dan proportionality.