Anda di halaman 1dari 103

HUKUM KEPOLISIAN POLRI

S e m e s t e r III

DOSEN

Dr. H. ABDUL MUIS BJ, Drs., S.H., M.H.

Bandung, Sept 2020


DAFTAR I S I
Pertemuan Kuliah Ke :

1. Hukum Kepolisian & Quis ...................................................................................................... 1 – 5


2. Hukum Kepolisian & Qui s ..................................................................................................... 6 - 9
3. Latar Belakang , Manfaat Hukum Kepolisian & Quis ......................................................... 10 - 14
4. Keamanan, Ketertiban Masyarakat & Quis ......................................................................... 15 - 19
5. Asas Hukum Kepolisian & Quis ............................................................................................ 20 - 24
6. N a r k o t I k a & Quis .......................................................................................................... 25 - 32
7. Badan Narkotika Nasional & Quis ....................................................................................... 33 - 39
8. Sumber Hukum Kepolisian & Quis ...................................................................................... 40 - 43
9. Perkembangan Hukum Kepolisian di Indonesia & Quis ....................................................... 44 - 52
10. Fungsi, Peran, Tugas, Wewenang & Quis .............................................................................. 53 - 61
11. Tanggung Jawab Kepolisian & Quis ...................................................................................... 62 - 70
12. Penanggungjawab Daerah Hukum & Quis .......................................................................... 71 - 77
13. Hubungan POLRI Dengan Unsur-Unsur Yang Tergabung Dalam
Sistem Peradilan Pidana & Quis ........................................................................................... 78 - 84
14. Pengawasan Kepolisian & Quis ............................................................................................ 85 - 102
HUKUM KEPOLISIAN
PERTEMUAN KULIAH KE 1
A. Umum.

Hukum sifatnya yang luas dan mempunyai banyak segi, maka beberapa ahli hukum
mengatakan tidak mungkin untuk membuat suatu definisi hukum yang mencakup secara
menyeluruh dan dapat diterima secara memuaskan semua orang. Beberapa definisi hukum
seperti dalam Kamus Hukum, Yan Pramadya PUSPA, 1977, “Hukum adalah keseluruhan daripada
peraturan-peraturan yang mana tiap-tiap orang yang bermasyarakat wajib mentaatinya, bagi
pelanggaran terdapat sanksi; kemudian pendapat Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
menyebutkan ada 9 (sembilan) macam arti hukum, yaitu : Hukum sebagai ilmu pengetahuan
(pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran); Hukum sebagai
disiplin (suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi); Hukum sebagai
kaidah (pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yag pantas atau diharapkan;
Hukum sebagai tata hukum (struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku
pada suatu waktu; Hukum sebagai petugas (pribadi-pribadi yang merupakan kalangan/koridor
yang berhubungan erat dengan penegakkan hukum; Hukum sebagai keputusan penguasa (hasil
proses diskresi yang menyangkut keputusan penguasa; Hukum sebagai proses pemerintahan
(proses hubungan timbal balik unsur-unsur pokok sistem kenegaraan; Hukum sebagai sikap tindak
atau perilaku (tindakan atau perilaku ajeg/tetap yang di ulang-ulang dengan cara yang sama; dan
Hukum sebagai jalinan nilai-nilai (jalinan-jalinan dari konsepsi abstrak tentang apa sikap yang baik
dan buruk) sebagaimana dalam Mhd. Shiddiq Tgk. Armia, S.Ag., 2003.; selanjutnya Soerojo
Wignojodipoero dalam buku Pengantar Ilmu Hukum (dikutip Mhd.Shiddiq Tgk.Armia, S.Ag., 2003)
menyatakan bahwa hukum adalah : “ Himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa,
berisikan suatu perintah, larangan, atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta
dengan maksud untuk mengatur ketertiban dalam kehidupan “.
1
filsuf St. Thomas Aquinas (1225 – 1274 ) adanya hukum yang datang dari wahyu, dan
hukum yang dibuat oleh manusia, membedakan 4 ( empat ) macam hukum bagi golongan Katolik
Roma yang masih diterima, yaitu :

1. Lex Aeterna ( hukum yang abadi )

adalah akal ke-Illahi-an ( rasio Tuhan ) yang menuntun semua gerakan dan tindakan dialam
semesta. Akan tetapi tidak ada manusia yang mampu menangkap lex aeterna itu dalam
keseluruhannya. Orang hanya bisa menangkap sebagian daripadanya melalui akal pikiran yang
dianugerahkan Tuhan kepadanya. Bagian kecil yang bisa ditangkap ini disebut lex naturalis;

2. Lex Naturalis ( hukum alam )

adalah penjelmaan lex aeterna didalam akal pikiran manusia, yang memberikan pengarahan atau
pengajaran kepada manusia untuk membedakan baik dan buruk, berbuat yang baik dan
meninggalkan yang buruk;

3. Lex Livina ( hukum Ketuhanan )

adalah petunjuk-petunjuk khusus yang berasal dari Tuhan ( diwahyukan Tuhan )


tentang sebagaimana manusia itu harus menjalani hidupnya, yang tercantum dalam kitab-kitab
suci dan tercantum dalam perjanjian baru dan perjanjian lama;

4. Lex Humana ( hukum kemanusiaan )

adalah hukum positif yang berlaku sungguh-sungguh dalam undang-undang negara yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat.

2
M.Friedman dalam bukunya “Legal Theory” sebagaimana dikutip Utrecht dalam bukunya
“Pengantar Dalam Hukum Indonesia” menyimpulkan pokok-pokok pendapat von Savigny sebagai
berikut:
1. Hukum tidak dibuat ( hasil penggunaan rasio ), tetapi diketemukan ( didapatkan );
2. Masyarakat dunia terbagi dalam banyak masyarakat, yang masing-masing mempunyai volksgeist
sendiri. Makna suatu adat istiadat sendiri, sumber hukum satu-satunya adalah kesadaran hukum
rakyat, kesadaran hukum rakyat ini menjadi dasar ( hukum ) undang-undang, maka dari itu
hukum kebiasaan dan undang-undang kedudukannya sederajat;
3. Menjadi sumber satu-satunya dari hukum ialah kesadaran hukum rakyat. Kebiasaan dan undang-
undang sebenarnya bukan sumber dari hukum, tetapi hanya suatu sumber pengenal hukum ( ken
bron ) yang membuktikan adanya hukum itu.

Ciri-ciri hukum seperti yang dikemukakan oleh Prof. Mr. Paul Sholten seperti yang dikutip
oleh A. Gunawan Setiardja ( 1990 : 79-90) dan Abdul Ghofur Cs ( 2008 : 72 ) yaitu :

4. Hukum adalah aturan perbuatan manusia. Dengan demikian menurut ahli hukum, tatanan hukum
adalah hukum positif yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah adalah sumber hukum;

5. Hukum bukan hanya dalam keputusan, melainkan juga dalam realisasinya. Menurut Prof.
Padmo Wahyono, S.H., hukum yang berlaku dalam suatu negara mencerminkan perpaduan
sikap dan pendapat pimpinan pemerintah dan masyarakat mengenai hukum tersebut;

6. Hukum ini mewajibkan. Apabila hukum positif telah ditetapkan maka setiap warga negara wajib
untuk mentaati hukum sesuatu dengan undang-undang;

7. Institusional hukum. Hukum positif merupakan hukum institusional dan melindungi masyarakat;

8. Dasar hukum. Setiap hukum mempunyai dasar, yaitu mewajibkan dan mengharuskan.
Pelaksanaannya dengan ideologi bangsa.
3
MOCH MAHFUD MD, dalam study ilmu hukum tentang penggambaran “ Pohon Ilmu
Hukum ” dengan unsur – unsur pohon sekurang-kurangnya terdiri atas akar ilmu hukum,
pohon/batang ilmu hukum, cabang ilmu hukum, ranting ilmu hukum, dan seterusnya.

Pohon ilmiah hukum di indonesia mencakup hal – hal :

1. Akar ilmu hukum adalah pilsafat bangsa dan idiologi negara adalah Pancasila ( Pembukaan
dan Batang Tubuh UUD 1945 ) yg meletakan prinsip2 penuntun kaidah hukum tertentu dalam
pembuatan berbagai produk per UU sehingga dpt diketahui bahwa study ttg pilsafat hukum
merupakan bagian dari study ilmu hukum.
2. Batang / Pohon ilmu hukum adalah serat2 pohon ( Sub Sistem kemasyarakatan seperti
Sosiologi, Sejarah, Politik, Ekonomi, Budaya, Administrasi dsb yang melahirkan cabang – cabang
hukum dan pada akhirnya muncul study ttg sejarah hukum, sosiologi hukum, budaya hukum,
politik hukum, psikologi hukum administrasi hukum dsb yang semuanya bagian dari study ilmu
hukum.
3. Cabang – cabang ilmu hukum adalah hukum positif yang dibedakan atas berbagai bidang
pokok seperti hukum perdata, hukum pidana, HTN, HAN dsb.
Cabang – cabang ini kemudian melahirkan ranting2 ilmu hukum seperti HTN melahirkan
Ranting Study Hukum Lembaga Negara, Hukum Lembaga Kepresidenan, Hukum Per UU dsb.
Cabang Hukum Pidana melahirkan ranting2 study tentang Hukum Pidum, Hukum Pidsus,
Hukum Acara Pidana dsb.
Cabang Hukum Perdata melahirkan ranting2 study Hukum Asuransi, Hukum Keluarga,
Hukum Perburuhan, Hukum Kontrak, Hukum Perbankan dsb
Cabang HAN melahirkan ranting2 study tentang Hukum Kepegawaian, Hukum Pajak,
Hukum Peradilan ADM dsb.

Bagian-bagian ini lah yang kemudian menjadi objek kompensional dlm study hukum,
sehingga karena penekanan bagian ini pulalah study hukum hanya diartikan study atas hukum positif

4
Quis Pertemuan kuliah ke 1 :

1. Jelaskan mengapa sampai saat ini belum ada rumusan tentang satu-
satunya definisi hukum yang diakui oleh para ahli hukum

2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Pohon Hukum oleh Moch. Mahfud
MD

5
PERTEMUAN KULIAH KE 2
B. Hukum Kepolisian.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan kemajuan dinamika


kehidupan masyarakat pun berkembang pesat, seiring dengan merebaknya fenomena supremasi
hukum, demokratisasi, hak asasi manusia ( HAM ), desentralisasi, transparansi dan akuntabilitas
telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat fungsi dan lembaga/institusi kepolisian
terutama diantaranya Kepolisian Negara Republik Indonesia ( Polri ).

Lahirnya berbagai paradigma baru ini telah menyebabkan pula tumbuhnya berbagai
aspirasi harapan dan tuntutan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas polisi yang semakin
meningkat terutama lebih berorientasi kepada pelayanan masyarakat. Memang dan dirumuskan
dalam Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, pasal 2 fungsi kepolisian adalah
merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara yang bertujuan menjamin keamanan dalam
negeri ( Kamdagri ) melalui upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakkan hukum, memberi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat.

Keamanan adalah kondisi didalam suatu masyarakat yang menunjukkan adanya rasa
aman sehingga kehidupan sehari-hari masyarakat dan pemerintahan dapat berjalan lancar, wajar,
akuntabilitas, bersih, transparan dan berwibawa; arti aman mengandung 4 (empat) unsur pokok,
yaitu :

1. Security adalah perasaan bebas dari gangguan baik fisik maupun psychis;

2. Surety adalah perasaan bebas dari kekhawatiran ;

3. Safety adalah perasaan bebas dari resiko ;

4. Peace adalah perasaan damai lahiriah dan batiniah, ( Momo Kelana : 2007 ).
6
Penyamaan persepsi pada pengertian dan definisi istilah gangguan keamanan , al :

1. Potensi gangguan (PG = Faktor Korelatif Kriminogen)

adalah bentuk gangguan keamanan pada tahap pembiakan dini, bentuknya berupa endapan
permasalahan kehidupan yang tidak ditangani dengan tertib yang mempengaruhi pada situasi
kondisi lingkungan aspek-aspek Astagatra (geografi, demografi, sumber daya alam,
ipoleksosbudag, han dan kam);

2. Ambang gangguan (AG = Polize Hazards)

adalah bentuk gangguan keamanan yang belum terjadi tetapi telah menimbulkan kekhawatiran
pada perasaan orang dan diperlukan kehadiran/keberadaan polisi atu petugas keamanan, karena
dugaan dan perkiraan bila hal itu benar-benar terjadi, dapat berupa perbuatan perorangan,
sekelompok orang ataupun suatu keadaan seperti pada tempat-tempat keramaian umum, pusat
berkumpulnya orang ;

3. Gangguan nyata (GN = Ancaman Faktual)

adalah bentuk ancaman yang sudah nyata terwujud sebagai kejadian bencana alam, kecelakaan
atau tindak pidana kriminalitas dan pelanggaran yang terjadi di suatu daerah atau lokasi
permukaan serta keadaan kondisi yang menimbulkan kerusakan tatanan kehidupan.

7
1. Pengertian Hukum Kepolisian.

Di Jerman – Eropa Continental; Hukum Kepolisian dikenal dengan istilah “ Polizei


Recht “ yang pada pokoknya berupa peraturan – peraturan yang mengatur tugas polisi untuk
melaksanakan peraturan – peraturan pemerintah yang memuat ancaman hukuman. Akan
tetapi, apabila peraturan tidak menentukan sanksi padahal tindakan/perbuatan dianggap
merupakan pelanggaran terhadap kesusilaan, sopan santun atau pertentangan kecil, supaya
masyarakat tetap tenang maka polisi diberi wewenang untuk bertindak.
Di Inggris ( England, Wales dan Scotland –Anglo Saxon) ; Hukum Kepolisian
dikenal dengan istilah “ Police Law “ , yaitu sejumlah peraturan hukum yang diperlukan polisi
untuk dapat dipergunakan dalam melakukan tugas dan wewenangnya beserta prosedure
penyelesaiannya yang berisi wewenang dan cara bertindak, keterangan tentang kejahatan dan
pelanggaran.

Di Belanda – Eropa Continental ; Hukum Kepolisian dikenal dengan istilah “ Politie


Recht “ yang merupakan dasar – dasar bagi tindakan polisi dan isinya sama dengan Polizei
Recht di Jerman yaitu terdapat wewenang polisi untuk melaksanakan tugasnya.

Di Indonesia – mewarisi Belanda Eropa Continental; Hukum Kepolisian menurut


arti tata bahasa adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang bertalian dengan polisi,
karena istilah “ Hukum Kepolisian “ adalah istilah majemuk yang terdiri dari kata “ Hukum “ dan
kata “ Kepolisian “ dimana menurut kamus Poerwadarminta kata “ Kepolisian “ berarti urusan
polisi atau segala sesuatu yang bertalian dengan polisi.

8
W.J.S. Poerwadarminta dalam bukunya Kamus Bahasa Indonesia merumuskan Hukum
Kepolisian adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan polisi. Sedangkan
istilah Hukum Kepolisian menurut Sadjijono ( 2008 : 6 ) terdiri dari 2 ( dua ) kata “ hukum “ adalah
suatu norma atau kaidah yang berisi larangan dan perintah yang mengatur kehidupan manusia, dan
kata “ kepolisian “ adalah suatu lembaga dan fungsi pemerintahan bidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat. Jadi secara sederhana dan praktis “ Hukum Kepolisian “ dapat
didefinisikan “ Keseluruhan hukum yang mengatur tentang organ / badan, fungsi dan perundang –
undangan / peraturan kepolisian.

Quis Pertemuan kuliah ke 2 :

1. Jelaskan apa pentingnya mempelajari Hukum Kepolisian

2. Jelaskan apa maksud dari :


a. Potensi Gangguan
b. Ambang Gangguan
c. Gangguan Nyata

9
PERTEMUAN KULIAH KE 3
2. Latar Belakang dan Manfaat Hukum Kepolisian.

Latar belakang keberadaan Hukum Kepolisian tidak bisa dilepaskan dari pemenuhan
persyaratan profesi kepolisian yang antara lain menuntut adanya otonomi dan cara mengontrol
perilaku anggota profesi disamping adanya kode etik sebagai pedoman melakukan profesinya
maupun pelayanan yang terbaik bagi pelanggannya. Sebagai suatu profesi dengan sendirinya terkait
dengan suatu cabang ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Kepolisian, perkembangan ilmu kepolisian
yang sedemikian pesat sebagai konsekuensi penyesuaian pemenuhan dengan tuntutan kebutuhan
masyarakat yang telah mewujudkan kenyataan bertambah banyaknya keahlian khusus dan
pengetahuan yang diperlukan oleh petugas kepolisian dalam melaksanakan tugasnya, antara lain
pengetahuan tentang “ Hukum Kepolisian “ sendiri yaitu hukum yang mengatur tentang segala hal
ikhwal polisi. Selanjutnya “Manfaat Hukum Kepolisian “ dari segi kepentingan polisi pada hakekatnya
adalah merupakan legitimasi dari kekuasaan polisi, hukum yang mengatur tentang segala hal ikhwal
fungsi dan lembaga polisi.

3. Obyek Hukum Kepolisian.

Hukum Kepolisian adalah hukum yang mengatur segala hal ikhwal polisi, baik sebagai
organ, sebagai tugas dan hubungan antara organ polisi dengan tugas polisinya. Perumusan tugas
polisi mengacu kepada filosofi kepolisian, fungsi kepolisian dan tujuan kepolisian; sesuai dengan
sumbernya dapat dibedakan atas:
4. Tugas yang bersumber dari kewajiban umum kepolisian yaitu “ memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat “ , melindungi , mengayomi dan melayani masyarakat;
5. Tugas yang bersumber dari peraturan perundang – undangan;
6. Tugas dalam proses pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu tugas polisi
terlihat dalam berbagai tataran yaitu tataran sosialisasi penyuluhan informasi
( preemptif ), tataran mengingatkan, mengatur dan menjaga ( preventif ), dan tataran
penindakan pelanggaran atau tindakan pidana yang terjadi ( represif ).
10
C. Kepolisian dan Polisi.

Pemahaman pemaknaan terhadap “ kepolisian “ dan “ polisi “ berkembang seiring


dengan perubahan kehidupan masyarakat sejalan paradigma globalisasi terhadap
perkembangan sosial, budaya, politik, hukum, bahasa maupun kebiasaan – kebiasaan yang
hidup dimasyarakat dipengaruhi konsep berfikir, cara pandang dan pendekatan yang dilakukan.
1. Kepolisian

Didalam “ Black’s Law Dictionary “ disebutkan arti kepolisian ditekankan pada


tugas – tugas yang harus dijalankan sebagai departemen pemerintahan atau bagian dari
pemerintahan, yakni memelihara keamanan ketertiban, ketenteraman masyarakat,
mencegah dan menindak pelaku kejahatan. Istilah kepolisian dapat dilihat didalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ( 1994 )
adalah urusan polisi atau segala sesuatu yang berkaitan dengan polisi, ditegaskan bahwa
kepolisian sebagai badan pemerintah yang diberi tugas memelihara keamanan dan
ketertiban umum.

2. Polisi.

Istilah “ Polisi “ sepanjang sejarah ternyata mempunyai arti yang berbeda –


beda ; pada mulanya berasal dari bahasa Junani “ Politeia “ yang berarti seluruh
pemerintahan negara kota. Dalam pemerintahan negara kota termasuk juga urusan –
urusan keagamaan , dimana pada abad sebelum Masehi, Junani terdiri dari kota – kota
yang dinamakan “ Polis “. Menurut Hans Nawiasky dalam Azhari dikutip Sadjijono
( 2008 ) kemudian dikenal sebagai suatu bentuk negara, yaitu negara polisi ( polizeistaat )
yang artinya negara yang menyelenggarakan keamanan dan kemakmuran atau
perekonomian ; didalam negara polisi tersebut dikenal 2 ( dua ) konsep polisi ( polizei ),
yakni “ sicherheit polizei “ yang berfungsi sebagai penjaga tata tertib dan keamanan, dan “
verwaltung polizei atau wohlfart polizei “ yang berfungsi sebagai penyelenggara
perekonomian atau penyelenggara semua kebutuhan hidup warga negara. 11
Istilah Polisi didalam Kamus Umum Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta ( 1986 )
diartikan sebagai ; Pertama, badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban
umum ( seperti menangkap orang yang melanggar undang – undang dsb. ), dan; Kedua, anggota
dari badan pemerintahan tersebut diatas ( pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan, dsb. ).
Menurut Van Vollenhoven sebagaimana dikutip Momo Kelana ( 2007 ) dalam definisi istilah
“ politie “ mengandung arti sebagai organ dan fungsi, yakni sebagai “ organ “ pemerintah dengan
tugas mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan supaya yang diperintah menjalankan dan tidak
melakukan larangan – larangan perintah; sebagai fungsi dijalankan atas kewenangan dan kewajiban
untuk mengadakan pengawasan dan bila perlu dengan paksaan yang dilakukan dengan cara
memerintah untuk melaksanakan kewajiban umum, dan sebagainya.

a. Sebagai Organ / Institusi / Instansi / Lembaga Kepolisian.

Kepolisian Negara R.I. dalam melaksanakan peran dan fungsi kepolisian meliputi
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibagi dalam daerah hukum menurut
kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenang Polri, yaitu dimulai dari tingkat Markas Besar
Polri, Kepolisian Daerah ( Polda / Polda Metro ), Kepolisian Resort Kota Besar, Kepolisian Resort
Metro, Kepolisian Resort Kota, Kepolisian Resort, Kepolisian Sektor ( Polsek, Polsekmetro )
sampai dengan Pos Polisi dan pejabat/anggota polisi Pengemban Diskresi Kepolisian yang diatur
Undang – Undang R.I No. 2 Tahun 2002 pasal 6 dan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
R.I. No. 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara R.I.

12
b. Sebagai Fungsi Kepolisian.

Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang


pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, sebagaimana diatur dalam Undang – Undang
R.I. No. 2 Tahun 2002 pasal 2 , merupakan aktualisasi dari UUD 1945 pasal 30 ayat ( 4 )
Kepolisian Negara RI sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum, dan
Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 Pasal 6 ayat ( 1 ) Kepolisian Negara RI dalam
melaksanakan peran dan fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan 5
meliputi seluruh wilayah negara RI. Selanjutnya dalam pasal 3 ayat ( 1 )mengatur pengemban
fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara R.I. ( Polri ) dibantu oleh : Kepolisian Khusus
( Polsus ), Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ), dan / atau, Bentuk – bentuk Pengamanan
Swakarsa.

c. Sebagai Perorangan / Anggota Organ Lembaga ( Person / Pegawai ).

Polisi sebagai perorangan / individu / pegawai / anggota lembaga adalah setiap


anggota kepolisian yang memakai atau diberi uniform setelah melalui proses rekruitmen
sesuai persyaratan – persyaratan yang ditentukan berdasarkan peraturan / perundang –
undangan yang berlaku. Untuk diangkat menjadi anggota kepolisian harus telah lulus
pendidikan pembentukan dan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan
kepercayaan masing – masing. Setiap anggota kepolisian diberi pangkat yang mencerminkan
fungsi dan kemampuan serta keabsahan wewenang dan tanggungjawab kemampuan
perorangan atau interpersonal skill dan kompetensi profesi dalam penugasannya, memperoleh
gaji dan hak – hak lainnya yang adil dan layak dengan status pegawai negeri sipil pada
Kepolisian Negara R.I.

13
d. Sebagai Ilmu Pengetahuan.

Dalam perkembangan masyarakat modern, banyak jenis – jenis pekerjaan yang


semula dianggap sebagai seni belaka berubah menjadi profesi yang mewajibkan, bahwa
seseorang harus profesional dan memiliki kemampuan/kompetensi dalam profesinya.
Seyogyanya bila didengar istilah “ polisi “ , dianggap atau ada anggapan / opini bahwa setiap
person / anggota polisi sudah pasti “ mahir, terampil dan ahli “ dalam melaksanakan tugas dan
kewjibannya secara bertanggungjawab dan transparansi / keterbukaan. Bahkan setiap orang /
anggota masyarakat akan berkata serta menterjemahkan bahwa polisi adalah orang – orang
yang mahir dalam menyelidik dan menyidik, orang – orang yang mahir dalam menangani tempat
kejadian perkara ( TKP ), orang –orang yang terampil dalam mengungkap atau membuat terang
suatu perkara, orang – orang yang ahli dalam mengatur lalu – lintas, orang – orang yang ahli
dalam segala bidang, bahkan minta nasehat perkawinan juga ( kok ) kepada polisi, hal ini sering
terjadi didesa –desa daerah terpencil.

Quis Pertemuan kuliah ke 3 :

1. Jelaskan apa manfaat mempelajari Hukum kepolisian

2. Jelaskan Mengapa Hukum Kepolisian disebut sebagai Ilmu Pengetahuan

14
PERTEMUAN KULIAH KE 4
D. Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.

Sejalan dengan perkembangan perubahan konstelasi ketatanegaraan dengan dibuat


dan diterbitkan dan atau diundangkannya regulasi – regulasi penyelenggaraan negara
khususnya terhadap lembaga kepolisian dengan paradigma dan acuan dalam perubahan
keempat Undang – Undang Dasar 1945, Bab XII Pertahanan dan Keamanan Negara, Pasal 30
ayat ( 4 ) yang berbunyi : Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi , mengayomi, melayani
masyarakat serta menegakkan hukum ; dan Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang
Pemisahan TNI dan Polri dalam pasal 2 ayat ( 1 ) TNI adalah alat negara yang berperan dalam
pertahanan negara, dan ayat ( 2 ) Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan ; serta Ketetapan MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri dalam
pasal 6 ayat ( 1 ) Kepolisian Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Terdapat 5 ( lima ) salah satu bentuk – bentuk dalam mnyelesaikan gangguan


lainya yang meresahkan masyarakat, antara lain :

1. Bentuk Keamanan.

2. Ketertiban Masyarakat.

3. Keadaan Dalam Negeri.

4. Keamanan Rakyat Semesta, Keamanan Umum dan Ketentraman Masyarakat.

5. Keamanan Negara. 15
SIFAT, ASAS, DAN SUMBER HUKUM

Hukum kepolisian merupakan kesatuan hukum yang fokus kajiannya dibatasi pada hal
ikhwal tentang kepolisian, akan tetapi tidak bisa dilepaskan dan dipisahkan dengan konsep hukum
umum; dimaksudkan dengan hukum umum adalah hukum sebagai kaidah atau norma yang mengatur
bagaimana seyogyanya manusia bertingkah laku dimasyarakat, sehingga manusia diwajibkan untuk
mentaati dan mematuhi kaidah tersebut agar tertib, tentaram dan damai dalam hidupnya. Oleh karena
itu agar terdapat pemahaman yang hollistik dan komprehensif hubungan atau kaitan antara sifat,
asas, dan sumber hukum kepolisian dan hukum umum, perlu dikemukakan sifat, asas, dan sumber
hukum secara umum. Penentuan suatu sifat,asas dan sumber hukum kepolisian dari suatu negara
sangat dipengaruhi oleh sejarah terbentuknya kepolisian, sistem hukum dan sistem pemerintahan,
kultur hukum suatu negara, batas kekuasaan kepolisian yang diberikan, dan kultur sosial dari suatu
bangsa.

A. Sifat Hukum Kepolisian.

Mengenai sifat hukum kepolisian yang merupakan bagian dari hukum pada umumnya,
dapat dilihat dari berbagai segi antara lain dari kekuatan sanksinya, sehingga dari segi ini
ditemukan penggolongan hukum kedalam dua golongan yaitu hukum yang bersifat memaksa
( dwingendrecht ) dan hukum yang bersifat mengatur ( regelendrecht ). Menurut Erlyn Indarti
( 2002 ), mengemukakan bahwa hukum kepolisian secara umum dapat diklasifikasikan kedalam “
hukum prosedural “, yakni hukum yang memberikan kekuasaan bagi polisi atau menggariskan
prosedur tindakan polisi ( intern ) dan “ hukum substantif “, yakni hukum yang menetapkan dan
mendefinisikan ( suatu ) tindakan sebagai sekedar pelanggaran hukum ataukah tindakan pidana (
extern ).

16
1. Hukum Kepolisian yang bersifat Memaksa.

Adalah merupakan suatu peraturan perundang – undangan yang harus dan wajib
diterapkan atau dikenakan tidak dapat dikesampingkan dan mempunyai kekuatan paksa atau
paksaan yang mutlak ( absolut ), yaitu :

a) Hukum kepolisian bersifat “ memaksa “ ialah memaksa pejabat polisi supaya


melakukan tindakan kepolisian terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan hukum;

b) Polisi dalam pelaksanaan tugas – tugas terutama untuk kepentingan penyelidikan dan
penyidikan berwenang melakukan upaya paksa penangkapan, penahanan,
penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat,
seringkali dirasakan oleh masyarakat sebagai sesuatu tindakan yang memaksa dan
berkecenderungan atau berpotensi melanggar hak asasi manusia ( HAM );

c) Mengingat HAM adalah merupakan hak – hak yang paling dasar yang harus dijunjung
tinggi, dimana setiap anggota polisi pun mempunyai kedudukan yang sama didalam
atau dimuka hukum dengan warga negara lainnya. Oleh karena itu perlu ada
ketentuan –ketentuan yang mengatur tentang bagaimana polisi melaksanakan tugas
dan wewenangnya agar tidak menyimpang dan atau memaksa dirinya untuk
melakukan kegiatan berdasarkan peraturan perundang – undangan , sebagaimana
diatur dalam pasal 13 s/d 19 Undang – Undang No. 2 Tahun 2002;

d) Polisi mempunyai kewenangan bertindak atas penilaian sendiri atau kebijakan yang
terikat dalam lingkup kewajiban, yaitu suatu kewenangan yang diberikan oleh Undang
– Undang, tindakan mana lebih bersifat moral daripada bersifat hukum, yang dikenal
dengan istilah “Diskresi” (Discretionair-kebijaksanaan, dalam halnya memutuskan
sesuatu tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, Undang-undang atau
hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan).
17
e) Walaupun sudah ada rambu – rambunya tidak menutup kemungkinan terjadinya
penyimpangan, baik karena memang kesalahan bertindak dari anggota polisi
maupun ketidaksamaan penafsiran dari masyarakat terutama yang menyangkut
HAM; walaupun peraturan perundang – undangan ( seperti yang diatur dalam pasal
16 ayat ( 2 ) Undang – Undang No. 2 Tahun 2002 ) telah menentukan persyaratan
– persyaratannya;

f) Keberadaan Hukum Kepolisian merupakan suatu keharusan perlunya pengaturan


pertanggungjawaban profesi polisi untuk melindungi dan menjamin hak – hak asasi
manusia, sekaligus guna melindungi para petugas polisi sepanjang tindakannnya
dapat dipertanggungjawabkan secara profesional ( yuridis formal dan yuridis
material ).

2. Hukum Kepolisian yang bersifat Mengatur.

Adalah suatu peraturan perundang – undangan yang tujuannya untuk memberi


pedoman tentang bagaimana yang sebaiknya polisi dalam melaksankan tugas dan
wewenangnya. Mengacu kepada Undang – Undang RI No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Undang – Undang, Pimpinan Polri mengeluarkan dan atau menerbitkan
Peraturan Kepolisian dalam berbagai bentuk seperti : Peraturan Kapolri, prosedur tetap,
petunjuk teknis, petunjuk lapangan, dan seterusnya; atau dapat disiasati pasal – pasal
dalam Undang –undang RI No. 1 Tahun 1946 yang diperbaharui Undang – Undang RI No.
73 Tahun 1958 tentang KUHP dan Undang – undang RI No. 27 Tahun 1999 tentang
Perubahan KUHP berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara serta Undang –
undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang bersifat mengatur tentang prosedur tata
cara kinerja dan telah terpenuhi suatu unsur – unsur pidana dengan ancaman hukumannya.

18
Quis Pertemuan kuliah ke 4

1. Jelaskan mengapa Keamanan dan Ketertiban Masyarakat di perlukan

2. Hukum kepolisian bersifat memaksa, jelaskan masing-masing sifat


memaksa Hukum Kepolisian dimaksud

19
PERTEMUAN KULIAH KE 5
B. Asas Hukum Kepolisian.

Perkembangan hukum kepolisian sebagai hukum positif bertitik tolak pada asas –
asas atau sendi – sendi pokok yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas kepolisian. Asas –
asas hukum kepolisian merupakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum
kepolisian karena : Pertama, asas berarti prinsip atau garis hukum yang diterapkan secara
langsung kepada suatu perbuatan faktual nyata / konkrit ( tindakan kepolisian ) dalam
masyarakat; Kedua, semua peraturan kepolisian ( hukum positif ) dapat dikembalikan
kepada asas – asas hukum kepolisian sehingga asas merupakan landasan yang paling luas
sebagai batu ujian untuk menilai apakah suatu kaidah itu merupakan kaidah yang baik atau
tidak; Ketiga, asas – asas hukum kepolisian mengandung nilai – nilai dan tuntutan etika yang
menjiwai kaidah – kaidah dalam peraturan kepolisian sebagai hukum positif.

1. Asas – asas yang tersirat dalam Tri Brata.

Asas hukum Kepolisian Negara RI bersumber dari pedoman hidup kepolisian “Tri
Brata “ yang memuat nilai – nilai dan prinsip dalam pelaksanaan tugas kepolisian, yaitu :
Pertama, “ Rastra Sewakottama “ polisi abdi utama dari nusa dan bangsa
( mengutamakan kepentingan nusa dan bangsa ), dengan perubahan : berbakti kepada nusa
dan bangsa dengan penuh ketaqwaan terhadap Tuhan YME; Kedua, “ Nagara Yanottama “
polisi warga negara utama atau teladan, dengan perubahan : menjunjung tinggi kebenaran
keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan Hukum Negara Pancasila dan UUD 1945;
Ketiga, “ Yana Anucasana Dharma “ polisi wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat, dengan
perubahan : senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, dengan
keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.

20
2. Asas Kepolisian.

Satjipto Rahardjo ( 2002 ) dalam Momo Kelana ( 2007 ) menyatakan bahwa “


Perpolisian adalah fungsi dari masyarakat dan perkembangan masyarakat. Dengan demikian
perpolisian bersifat ‘ progresif ‘ yang setiap saat melakukan penyesuaian ( adjustment )
terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat yang dilayaninya “. Dalam era reformasi
ada beberapa perubahan perkembangan paradigma yang mempengaruhi asas – asas
kepolisian yaitu supremasi hukum, perlindungan Hak Asasi Manusia, demokratisasi,
transparansi, akuntabilitas, kemandirian dan profesionalisme. Pengaruh tersebut nampak
dalam sikap dan perilaku kinerja pejabat kepolisian dalam melaksanakan tugasnya.

a. Asas Legalitas.

Asas Legalitas merupakan asas yang paling mendasar dalam negara hukum
(NKRI dengan konstitusi UUD 1945), terutama negara hukum formal yang menyatakan
bahwa setiap tindakan polisi ( kepolisian ) harus didasarkan hanya kepada undang –
undang (UU No. 2 Th 2002 dan UU lainnya) dan peraturan yang berlaku, sebagai ciri yang
menonjol dalam menegakkan supremasi hukum. Namun dengan pesatnya perkembangan
masyarakat dengan segala permasalahan barunya, asas legalitas diartikan bukan lagi sah
menurut undang – undang dan peraturan melainkan sah menurut hukum dan sesuai
dengan tujuan hukum ( doelmatigheid ). Asas legalitas diterapkan dalam tataran fungsi
kepolisian “ represif yustisial “ dalam proses pidana formal sesuai dengan Hukum Acara
Pidana yang berlaku ( UU No. 8 Th 1981 ttg KUHAP dan UU No. 2 Th 2002 psl 16 )

21
b. Asas Kewajiban.

Asas Kewajiban merupakan asas yang memberi wewenang untuk melakukan


tindakan - tindakan selain yang disebut dalam undang – undang dengan pembatasan
tertentu. Di Belanda asas ini dinamakan “ Plichhtmatigheidsbeginsel “ dan di Jerman “
Pflichtsmaessigkeitsprinzip “ yang diartikan “ memakai Kewajiban sebagai ukuran “. Asas
ini biasa dikenal juga dengan istilah “ diskresi ( discretion ) “ yaitu wewenang untuk
bertindak menurut penilaiannya sendiri atau penilaian bebas ( freies Ermessen ); Asas
kewajiban ( diskresi ) sangat diperlukan oleh petugas kepolisian dilapangan yang secara
langsung menghadapi keadaan – keadaan yang memerlukan pengambilan keputusan
secara cepat dalam rangka pelaksanaan kewajiban umumnya memelihara keamanan dan
ketertiban umum, sedangkan situasi tidak mungkin menunggu perintah dari atasan, selain
itu juga karena hukum tidak mungkin mengatur seluruh persoalan secara rinci dan selaras
dengan perkembangan yang terjadi dalam tata kehidupan masyarakat.

c. Asas Partisipasi.

Asas partisipasi adalah asas yang mempersyaratkan adanya peran serta


masyarakat dalam tugas kepolisian, asas yang memungkinkan membina potensi
masyarakat dan memberdayakan pengerahan pengikutsertaan masyarakat dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya bersama dengan kepolisian baik dalam tugas –
tugas kepolisian preventif maupun represif ( problem oriented policing dan atau
community policing ). Dalam pasal 3 ayat ( 1 ) Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002
asas partisipasi terdapat dalam pengemban fungsi kepolisian yaitu Kepolisian Negara RI
yang dibantu oleh Kepolisian Khusus ( Polsus ), Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ),
dan atau bentuk – bentuk pengamanan swakarsa.

22
d. Asas Preventif ( pencegahan ).

Tindakan polisi preventif dianggap lebih efisien daripada tindakan polisi represif,
bahkan menyelidiki sebab – sebab terjadinya kejahatan. Pernyataan E.H.Glover ( 1934 )
dalam buku instruksi resmi dari “ The London Metropolitan Police “ sebagai berikut : “ Tujuan
pertama dari kepolisian yang efisien ialah pencegahan adanya kejahatan, kemudian
penyelidikan dan penghukuman pelanggar apabila terjadi kejahatan. Adapun perlindungan
atas jiwa dan harta benda, pemeliharaan ketenteraman umum dan tidak adanya kejahatan ini
hanyalah merupakan bukti, apakah tujuan – tujuan pembentukan kepolisian telah dicapai “.

e. Asas Subsidiaritas ( pengganti ).

Asas Subsidiaritas adalah asas yang memberi wewenang kepada polisi untuk
memungkinkan melakukan atau dapat mengambil tindakan pengganti bagi instansi atau
petugas yang berwenang atau berkewajiban, belum mengambil tindakan, sehingga berarti
asas ini menjamin tidak ada satu kasuspun yang terlepas dar kewenangan kepolisian
memelihara ketertiban umum. Asas subsidiaritas tumbuh dan berkembang dari kebiasan
praktek kepolisian dan kebiasaan masyarakat bila memerlukan pertolongan dan bantuan
selalu memintanya kepada polisi, sebab adalah antara lain :
Pertama, instansi yang diperlukan memang tidak terdapat ditempat itu, seperti
didaerah terpencil tidak terdapat instansi bea cukai, imigrasi, kejaksaan dsbnya;
Kedua, orang atau petugas yang berkewajiban kebetulan tidak ditempat,
sedangkan sangat diperlukan tindakan bantuan, pelayanan dan pertolongan.

23
f. Asas Oportunitas.

Undang – undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP mengadopsi asas


oportunitas dalam arti sempit, tidak mencakup asas kewajiban dan diartikan sebagai
asas yang memberi wewenang untuk tidak menindak seseorang yang telah
melanggar hukum, baik dalam tahap penyidikan maupun dalam tahap penuntutan.
Pasal 7 ayat ( 1 ) huruf i memberi wewenang kepada penyidik untuk “ mengadakan
penghentian penyidikan “ , lebih lanjut diatur dalam pasal 109 ayat ( 2 ) yang
berbunyi : “ Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum, tersangka dan keluarganya “.

Quis Pertemuan kuliah ke 5

1. Sebutkan ada berapa asas Hukum Kepolisian

2. Jelaskan masing-masing asas Hukum Kepolisian tersebut

24
PERTEMUAN KULIAH KE 6
N A R K O T I K A

Kondisi yang berkembang untuk menanggulangi narkotika di satu sisi merupakan obat atau
bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan tanpa pengendalian dan
pengawasan yang ketat dan seksama.
Mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan dan/atau
menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama serta
bertentangan dengan peraturan per undang-undangan merupakan tindak pidana narkotika karena
sangat merugikan manusia, masyarakat, bangsa dan negara serta ketahanan nasional indonesia.
Tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus
operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas dan sudah
banyak menimbulkan korban, terutama dikalangan generasi muda bangsa yang sangat
membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Kondisi memprihatinkan terhadap bahaya narkoba diketahui dengan banyaknya korban dan kondisi
penyalahgunaan narkoba (pengguna narkotika) sudah menembus semua kalangan, berikut beberapa
kalangan yang sudah terkena dampak dari narkoba:

A. Dilingkungan pendidikan anak sekolah SD, sampai dengan mahasiswa serta guru dan dosen;
B. Profesi Hukum (advokat, penyidik, jaksa, hakim, penjaga dan pengelola lapas);
C. Pelayanan transportasi publik (pengemudibus, pilot, kapten kapan dan masinis);
D. Oknum aparatur sipil Negara, TNI dan Polri;
E. Pengusaha;
F. Tokoh Politik;
G. Kepala Daerah;
H. Pengangguran dan lainnya.

25
Berdasarkan hal tersebut diperlukan upaya dan penanggulangan secara simultan bagi dan
untuk masyarakat dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat untuk sama-sama
meningkatkan kewaspadaan dan menanggulangi narkoba dengan menjadikan narkoba sebagai
musuh berbesar bangsa dewasa ini.

Pengertian Narkotika
Narkotika adalah obat yang dibutuhkan manusia, terkait dengan kepentingan ilmiah sebagai
kebutuhan medis yang penggunaannya secara terukur, dibawah kendali ahli medis baik untuk
kepentingan penelitian maupun keperluan bantuan dan pertolongan kesehatan.
Namun jika penggunaan dan pemanfaatan tidak sesuai dengan porsi dan di bawah kendali ahli
dibidangnya yang mempunyai kompetensi marupakan perbuatan penyalahgunaan yang diancam
sanksi pidana dan berdampak pada gangguan kesehatan pengguna serta menghancurkan
kelangsungan hidup pengguna itu sendiri.
Dampaknya juga dapat menghancurkan generasi suatu bangsa khususnya generasi muda
yang kelak akan sebagai estafet yang akan memimpin bangsa bisa, sehingga narkotika ini
perspektif ke depan bukan sekedar sarana pertolongan kesehatan, komunitas bisnis yang sangat
menguntungkan, namun lebih jauh narkotika dapat jadi area politik menghambat kemajuan suatu
bangsa di tengah tengah persaingan global dunia.

Pengertian narkoba sebagaimana dimaksud, dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 35 Tahun


2009 menyatakan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis
maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Pengertian narkoba sebagaimana dimaksud, dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 35 Tahun


2009 menyatakan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis
maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. 26
Prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bajan kimia yang dapat digunakan
dalam pembuatan narkotika. Berdasarkan hal tersebut diatas maka pengertian narkotika adalah suatu
zat atau bahan yang apabila dimasukan ke dalam tubuh manusia dalam jumlah relatif kecil bukan
untuk pertolongan kesehatan dapat mengakibatkan dan merusak susunan syaraf sentral dan
menimbulkan efek ketagihan (agitasi), bagi pengguna, yang kebutuhan tersebut meningkat perdua
kali kelipatan dari kebutuhan awal.

Pada hakekatnya narkotika memiliki dua dampak positif dan negatif. Dampak positif adalah
untuk medis sedangkan dampak negatif adalah untuk kepentingan diluar medis (bisnis ilegal
kelompok mafia yang tidak bertanggungjawab dengan berbagai modus operandi demi mencapai
tujuan, ekonomi, politik maupun hujuan terselubung lainnya) yang pada akhirnya dapat
menghancurkan masa depan generasi muda suatu bangsa.

Jenis Narkotika

Jenis narkotika yang beredar dan ditemukan saat ini umumnya yang bersumber dari tumbuh
tumbuhan dan kimia antara lain:

Candu dengan berbagai turunannya

Candu merupakan zat yang dihasilkan dari tanaman papver somniferum yang berisi berbagai zat
kimia diantaranya mempunyai khasiat untuk pengobatan sebagaian lagi mengandung zat yang
mempunyai daya kecanduan, sangat besar, sehingga merugikan kesehatan. Narkotika golongan ini,
merupakan produk olahan dari zat opiad (Heroin, Kokain, Morfin dll).

Heroin
Heroin merupakan zat yang dihasilkan dari pohon candu, yang mengandung zat adiktif 30 kali candu
kasar. Heroin merupakan narkoba jenis opied yang paling banyak disalahgunakan namun lain ada
yang meyebut putaw.
27
Depresan
Merupakan zat yang menekan susunan syarat central, dengan akibat rasa tenang dan mengantuk.
Fungsi depresan berlawanan dengan fungsi stimulan. Didalam depresan termasuk kelompok obat
penenang dan minuman alkohol. Alasan mengkonsumsi depresan adalah karena adanya zat aktif
dalam depresan yang memperkuat bagian otak yang memberikan ketenangan sehingga berefek
menidurkan atau menenangkan. Orang tertentu merasa ketika menggunakan depresan sebagai
suatu kenikmatan. Padahal tanpa sadar hal tersebut dapat pula menimbulkan efek ketergantungan
yang sangat merugikan.

Stimulan
Stimulan adalah zat bila digunakan menimbulkan stimulan atau rangsangan yang bersifat
bersemangat, gembira. Berkhayal tinggi, percaya tinggi yang berlebihan dan mempunyai energi tak
terbatas narkoba yang masuk jenis ini antara lain: sabu sabu, ekstasi dll.

Ekstasi
Umumnya diproduksi dalam bentuk tablet dengan berbagai vitamin, bentuk, logo, dibuat
dilaboratorium gelap, sehingga tergantung peralatan, yang dipakai. Untuk mengkonsumsi ekstasi,
dilakukan dengan cara ditelan yang berdampak menimbulkan stimulan terjadi perubahan persepsi,
sehingga hati jadi gembira berlebihan, keinginan bergerak saat mendengarkan musik, gerakan
berlebihan. Efek ini dapat berlangsung beberapa jam akibat parah dari pengguinaan stimulan,
menyebabkan ketergantungan fisik dan ketergantungan psikis.

Inhalan
Inhalan adalah zat yang mudah menguap seperti campuran cat dan lem serta sejenisnya.
Penyalahgunaan inhalan digunakan dengan cara menghirup uap dari zat-zat tersebut. Dikenal
dengan istilah ngelem yang sering digunakan anak jalanan.

28
Untuk lebih jelasnya terdapat tiga golongan Narkotika berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 44 Tahun 2019 sebagai berikut :

a. Golongan I : ada 175 macam/jenis


b. Golongan II : ada 91 macam/jenis
c. Golongan III : ada 15 macam/jenis

Dampak Penggunaan Narkotika

Dampak Positif

Dari segi medis, penggunaan obat-obatan yang mengandung narkotika bermanfaat dan
diperbolehkan secara legal atau sah, melalui rekomendasi ahli medis atau sebatas untuk pertolongan
medis semata.
Diberikan oleh tenaga medis secara terukur dan dapat dipertanggungjawabkan, sisi positif dari
penggunaan jenis narkoba memang dikembangkan oleh tenaga medis dalam kaitannya demi
memberikan pertolongan kemanusiaan belaka dan kegiatan ilmiah/keilmuan.

Dampak Negatif

Dampak negatif dari pengguinaan narkotika dapat terjadi terhadap penggunanya, berkaitan
dengan cara menggunakan (konsumsi) dan memperolehnya. Penggunaan dan cara mendapatkan
telah diatur tata niaga dan legalitas memperolehnya diatur dalam peraturan dan perundang-
undangan, bila mendapatkan secara tidak sah mendapat sanksi hukum pidana. Yang paling ringan
direhabilitasi dan yang paling berat hukuman mati. Dampak yang ditimbulkan menggunakan narkotika
antara lain menimbulkan berbagai penyakit (HIV (human immunodeficienty virus) AIDS (acquired
immue deficiency stndrome/merupakan kekebalan tubuh) hepatitis dan penyakit lainnya dampak
negatif lainnya menimbulkan ketergantungan psikis dan kehancuran generasi muda.
29
Peran Serta Masyarakat
 
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika.

Masyarakat mempunyai hak dan tanggungjawab dalam upaya pencegahan dan


pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Hak
masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan prekursor narkotika diwujudkan dalam bentuk :
Mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
narkotika dan prekursor narkotika;

Memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang


adanya dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika kepada penegak hukum
atau BNN yang menangani perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika;
Menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum atau BNN
yang menangani perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika;

Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak
hukum atau BNN;

Memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau
diminta hadir dalam proses peradilan.

Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwanang atau BNN jika diketahui
adanya penyalahgunaan atau peredaran narkotika dan prekursor narkotika.

30
Larangan dan Sanksi Hukum
 
Tindak pidana narkotika merupakan kejahatan telah bersifat transnasional yang dilakukan
dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan
organisasi yang luas dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama dikalangan generasi
muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat bangsa dan negara.

Aturan hukum yang mengatur narkotika adalah undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yang
secara nasional pemerintahn telah membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) yang kepala
badan ditunjuk dari PATI Polri berpangkat Komisaris Jenderal Polisi.
Perbuatan yang dilarang sebagaimana telah diatur dalam undang-undang No. 35 Tahun 2009
adalah setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111 sampai dengan 146 undang-undang No. 35 Tahun 2009, dapat berupa:

• Menanam;
• Memelihara;
• Memiliki;
• Menyimpan;
• Menguasai, atau menyediakan untuk persediaan;
• Menjual, membeli, jadi perantara jual beli, menukar atau menyerahkan;
• Pengedar;
• Memproduksi, mengimpor dan mengekspor;
• Menjadi kurir;
• Memberikan narkotika untuk digunakan kepada orang lain;
• Membantu peredaran narkotika dan prekursor (bahan awal) narkotika;
• Mendistribusikan, mengedarkan dan menyalurkan;
• Membantu dalam peredaran narkoba;
• Mentransit, membawa, mengankut dan mengirim;
• Dan pembuatan lain yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika dan prekursor (bawah
awal) narkotika. 31
Terhadap perbuatan sebagaimana dikemukakan tersebut di atas dapat dikenakan sanksi yang
berupa :

• Dipidana paling ringan berupa rehabilitasi di tempat tertentu dalam kurun waktu tertentu;
• Hukuman denda;
• Hukuman kurungan paling singkat 6 bulan;
• Hukuman penjara paling singkat 1 tahun sampai hukuman penjara seumur hidup;
• Hukuman mati;

Dikenakan juga hukuman tambahan berupa: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-
barang tertentu untuk dimusnahkan atau dikuasai oleh negara.
Terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan tindak pidana narkotika juga dapat dikenakan
tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010.

Quis Pertemuan kuliah ke 6

1. Jelaskan mengapa mengkonsumsi / memakai Narkotika di larang

2. Jelaskan apakah ada manfaatnya Narkotika bagi manusia

32
PERTEMUAN KULIAH KE 7
Badan Narkotika Nasional
 
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
Adapun tugas dan fungsi BNN adalah:
• Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;
• Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika;
• Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;
• Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis;
• Rehabilitasi sosial pecandu nerkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
masyarakat;
• Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan prekursor narkotika;
• Memantau, mengarahkan dan meningkatkan kegiatan;
• Masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika;
• Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral baik regional mapun internasional, guna
mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursoir narkotika;
• Mengembangkan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika;
• Melaksanakan adminsitrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dan membuat laporan tahunan mengenai
pelaksanaan tugas dan wewenang.
33
Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika.
 
Sesuai dengan tujuannya, bahwa hukum ada dan diciptakan untuk memberikan keadilan
dan rasa kenyamanan, ketertiban juga keteraturan dalam hidup bermasyarakat. Guna
mewujudkan cita-cita tersebut diperlukan penegakan hukum sebagai suatu proses dilakukannya
upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Penyalahgunaan narkoba telah menjadi bagian dari tindak pidana yang dampaknya tidak
hanya merusak moral bangsa indonesia juga telah membuat tidak nyamannya hidup karena
strategi penyebaran narkoba telah masuk dengan berbagai cara dan strategi dengan sasaran
tanpa melihat status sosial masyarakat.
Sebagai bagian dari sistem penegakan hukum terhadap tindak pidana narkoba, maka
dikepolisian terdapat bagian dengan fungsinya masing-masing. Berikut ini akan dijelaskan.

Penyidikan
 
Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dikalukan berdasarkan kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana (KUHP).
Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika termasuk
perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk dijadikan ke pengadilan guna penyelesaian
secepatnya.
Proses pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika
pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali dan eksekusi pidana mati, serta proses
pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

34
Penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri dan organik BNN dalam rangka melakukan penyidikan,
penyidik berwenang:
• Melakukan penyidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;
• Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan prekursor narkotika;
• Memanggil orang untuk di dengar keterangannya sebagai saksi, menyuruh berhenti orang yang
diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika
serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka, memeriksa, menggeledah dan menyita barang
bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika;
• Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan prekorser narkotika, menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika di seluruh wilayah
juridiksi nasional, melakukan penyadapan terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan prekorser narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup;
• Melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan dibawah pengawasan;
• Memusnahkan narkotika dan prokurser narkotika;
• Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (dna) dan/atau tes
bagian tubuh lainnya;
• Mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
• Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang dan tanaman serta membuka dan
memeriksa setiap barang kiriman memalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga
mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika, melainkan penyegelan terhadap narkotika dan prekursior narkotika yang disita;

35
• Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti narkotika dan prekursor
narkotika;
• Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekorser narkotika;
• Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup (tiga kali dua puluh enam) jam terhitung sejak
surat penyidik berwenang melakukan penangkapan diterima penyidik dengan tenggang waktu
3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3 x 24 jam sejak surat penangkapan diterima penyidik;
• Penyidik dapat melakukan penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang
cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima
penyidik, penyadapan dilakukan atas izin tertulis dari ketua pengadilan. Tenggang waktu
penyadapan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu;
• Dalam keadaan mendesak dan penyidik harus melakukan penyadapan, penyadapan dapat
dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua pengadilan nengeri lebih dahulu. Dalam waktu paling
lama 1 x 24 jam penyidik wajib meminta izin tertulis kepada ketua pengadilan negeri;
• Dalam teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan dibawah pengawasan
dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis dari pimpinan.

36
Kewenangan Penyidik BNN
 
Terdapat beberapa kewenangan dari penyidik BNN dalam melakukan tugas penyidikan dan perkara
khusus narkoba, yakni:
• Mengajukan langsung berkas perkara, terangka, dan barang bukti termasuk harta kekayaan
yang disita kepada jaksa penuntut umum;
• Memerintahkan kepada pihak Bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening
yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika
milik tersangka atau pihak lain yang terkait;
• Untuk mendapat keterangan dari pihak Bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan
keuangan tersangka yang sedang diperiksa;
• Untuk mendapat informasi dari pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan yang terkait
dengan penyalahgunaan dan peredaran narkotika dan prekursor narkotika;
• Meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang
berpergian ke luar negeri;
• Meminta data kekayaan dan data perpanajakan tersangka kepada instansi terkait;
• Menghentikan sementara transaksi keuangan, transaksi perdagangan dan perjanjian lainnya
dan mencabut sementara izin, lisensi serta koneksi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka
yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubugannya dengan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika yang sedang diperiksa;
• Meminta bantuan interpol indonesia atau instansi penegak hukum negara lain utnuk melakukan
pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
• Penyidikan terhadap tindak pidana penyalahguynaan narkotika dan prekursor narkotika
kewenangan ada pada penyidik Polri dan penyidik BNN.

37
Pembuktian.
 
Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 184 UU No.
8 Tahun 1981 berupa: (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
tersangka), alat bukti dalam tindak pidana narkotika dapat berupa:
• Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu, dan
• Data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam selain ekektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada:
• Tulisan, suara dan/atau gambar;
• Peta, rancangan, foto atau sejenisnya, atau
• Huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Kejaksaan Selaku Penuntut


 
Kepada kejaksaan negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang
narkotika dan prekursor narkotika dari penyidik Kepolisian Negara Repoblik Indonesia atau penyidik
BNN, dalam waktu paling lama tujuh hari wajib menetapkan status barang sitaan narkotika dan
prekursor narkotika tersebut untuk kepentingan pembuktian perkara, kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau dimusnahkan.
Kejaksaan dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika selaku
penuntut, seletah mendapat penyerahan berkas perkara dari penyidik melakukan penelitian
terhadap syarat formal maupun materil haerhadap berkas perkara tersebut, bilamana hasil
penelitian bahwa berkas perkara tersebut dinilai telah layak untuk disindangkan penuntut menyusun
surat dakwaan dan surat tuntutan dan melimpahkan ke pengadilan perkara dimaksud untuk
dilakukan sidang. 38
Pengadilan
 
Dalam proses persidangan hakim berwenang untuk:
• Meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami,
anak dan setiap orang atau korporasi bukan berasal dari hasil tindak pidana narkotika dan
prekursor narkotika yang dilakukan terdakwa;
• Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana
narkotika dan prekursior narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang meyebutkan
nama dan alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor;
• Hakim yang memeriksa perkara peandu narkotika dapat memutus untuk memerintahkan yang
bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu
narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan menetapkan untuk memerintahkan yang
bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu
narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika;
• Masa menjalani pengibatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika diperhitungkan
sebagai masa mnenjalani hukuman.

Quis Pertemuan kuliah ke 7 :

1. Jelaskan apa perbedaan dan persamaan antara penyidik polri dan penyidik BNN

2. Bagaimana pendapatnya apakah masih perlu keberadaan BNN dalam menanggulangi


Narkotika di Indonesia

39
PERTEMUAN KULIAH KE 8
C. Sumber Hukum Kepolisian.

Mengenai sumber – sumber hukum diantara para ahli terdapat perbedaan antara
sumber hukum formal dan sumber hukum material ; dimaksudkan dengan sumber hukum
formal adalah sumber yang menentukan kekuatan dan berlakunya suatu ketentuan hukum,
yang penting adalah cara terciptanya hukum dan bentuk dalam mana hukum itu dinyatakan,
sumber hukum material supaya berlaku maka diberi bentuk tertentu sehingga menjadi
hukum formal. Sedangkan sumber hukum material adalah sumber hukum yang menentukan
isi kaidah hukum. Sumber hukum kepolisian juga menganut ketentuan – ketentuan umum
sumber hukum yaitu dikelompokkan menjadi sumber hukum kepolisian dalam arti formil dan
sumber hukum kepolisian dalam arti material.

1. Sumber hukum formil.

Sebagaimana telah diuraikan bahwa Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang
menentukan kekuatan dan berlakunya hukum dengan yang terpenting adalah cara terciptanya
hukum dan bentuk dimana hukum dinyatakan. E. Utrecht dalam Sadjijono ( 2008 ) membagi
sumber – sumber hukum formil adalah : Undang – Undang ; Kebiasaan dan adat yang
dipertahankan dalam keputusan penguasa dalam masyarakat ; Traktat ‘ Jurisprudensi ; Ilmu
pengetahuan hukum, yaitu berupa pendapat para ahli hukum yang terkenal.

40
a. Undang – Undang.
Sistem hukum dan kehidupan hukum kepolisian yang berlaku di Indonesia
dipengaruhi sistem hukum di Negeri Belanda “ Civil Law System “ sebagian besar terdiri dari
peraturan – peraturan perundang – undangan. Menurut pendapat CST Kansil dalam
Warsito H.U ( 2005 : 25 ) “ Undang – undang adalah suatu peraturan negara yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh Penguasa negara.
Momo Kelana ( 2007 ) menggunakan istilah Undang – undang dalam arti luas yaitu baik
yang dihasilkan dari Badan Pembentuk Undang – undang ( Legislatif = DPR ) saja tetapi
termasuk yang dibuat oleh Badan atau Lembaga Eksekutif ( Pemerintah ).

b. Kebiasaan Praktek Kepolisian.


Tidak bisa dipungkiri atau dihindari kenyataan membuktikan bahwa undang –
undang dan peraturan – peraturan tidak pernah dan tidak akan pernah lengkap walaupun
banyak undang – undang dan peraturan – peraturan yang telah dibuat sedemikian rinci detail
untuk mengatur sebanyak mungkin perbuatan – perbuatan. Hidup dan kehidupan masyarakat
dengan segala aspeknya berubah dan berkembang dengan cepat sehingga pembentuk
undang – undang dan peraturan tidak dapat mengikuti pandangan, keinginan, kebutuhan
yang berganti-ganti berubah dalam masyarakat.

c. Traktat.
Traktat adalah perjanjian internasional, diadakan oleh dua negara atau lebih,
sebagai perjanjian “ bilateral “ atau “ multilateral “ didalam Hukum Internasional sebagai salah
satu sumber hukum. Ternyata hubungan internasional negara – negara mencakup juga soal-
soal pemberantasan kejahatan internasional yang telah meningkat kepada bentuk kejahatan
lintas negara ( transnational crime )sehingga telah memacu lahirnya kerjasama internasional
mengadakan traktat – traktat yang dipelopori PBB melalui Konvensi – konvensi anata lain “
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime ( UNCATOC ) Tahun 2000.
Dalam kerjasama internasional bentuk – bentuknya antara lain : Ekstradiksi, Penegakkan
hukum, Penyerahan terhukum, Penyelidikan bersama, dan Mutual legal assistance.
41
d. Jurisprudensi.

Jurisprudensi difahami sebagai suatu keputusan hakim yang telah mempunyai


kekuatan hukum tetap yang mengikat dan diikuti oleh hakim – hakim lainnya sebagai “
preseden “ dalam memutus perkara.

Satjipto Rahardjo dengan bukunya Ilmu Hukum tahun 2000, dalam Momo
Kelana ( 2007 ) menjelaskan “ Salah satu esensi dari doktrin atau ajaran preseden dalam
sistem “ common law “ adalah bahwa ketentuan – ketentuan hukum itu dikembangkan
dalam proses penerapannya “. Dengan menyebut “ Jurisprudensi “ sebagai salah satu
sumber hukum kepolisian maka berarti hukum kepolisian “ memberikan tempat yang
penting” bagi keputusan hakim yang dihasilkan melalui proses pengadilan, dalam
penerapan pada tingkat penyelidikan dan penyidikan.

e. Ilmu Pengetahuan.

Didalam Jurisprudensi, hakim dalam memeriksa dan mengadili sering berpegang


pula pada teori – teori yang dijelaskan oleh para ahli hukum atau ahli dibidangnya terutama
dalam memperkuat argumentasi penafsirannya terhadap suatu masalah atau perkara.
Ilmu pengetahuan sebagai sumber hukum kepolisian akan terlihat sekali peranannya
dalam hal seorang pejabat kepolisian harus melakukan “ diskresi “ yaitu untuk kepentingan
umum mengambil tindakan berdasar kewajiban umum kepolisiannya menurut penilaian
sendiri; bagi pejabat kepolisian yang memiliki ilmu pengetahuan yang banyak seperti
komunikasi, human relation, psychologi, sosiologi, lingkungan, adat kebiasaan, analis
futurologi, statistik, pendidikan, ilmu – ilmu kemasyarakatan , dsbnya atau banyak bertanya
kepada para pakar dari berbagai disiplin ilmu maka tindakan yang diambil, menurut
penilaian akan lebih mendekati obyektifitas.
42
2. Sumber Hukum Materil.

Sumber hukum materil yaitu merupakan sumber yang menentukan isi kaidah
hukum itu sendiri, maksudnya adalah bahwa penilaian yang menentukan kaidah masyarakat
telah menjadi kaidah hukum mendapat penguatan dari masyarakat. Dari perkembangan
kaidah – kaidah didalam masyarakat dapat diketahui adanya macam – macam kaidah, antara
lain : Kaidah kesusilaan perorangan ; Kaidah kesusilaan masyarakat ; dan Kaidah
hukum. Contoh : seseorang yang “ bertelanjang “ akan berkembang proses isi kaidah yaitu,
apabila dilakukan didalam kamar milik pribadi sendiri, penilaian baik atau buruknya perbuatan
itu tergantung menurut penilaian pribadi yang bersangkutan ; apabila dilakukan dimuka
umum, penilaian baik buruknya menurut masyarakat setempat ; apabila telah dicela oleh
masyarakat umum dan menunjukkan hal – hal tidak bermoral serta aspirasi masyarakat
mengusulkan kepada pemerintah agar diberi sanksi berarti telah meningkat menjadi kaidah
hukum ( pro dan kontra UU Pornografi ).

Quis Pertemuan kuliah ke 8 :

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Jurisprudensi

2. Traktat merupakan bentuk perjanjian internasional. Apa manfaatnya traktat dalam


memberantas kejahatan bagi Indonesia

43
PERTEMUAN KULIAH KE 9
PERKEMBANGAN HUKUM KEPOLISIAN DI INDONESIA

Secara politik hukum, bahwa bangunan hukum dalam suatu negara idealnya digali dari
niliai – nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya, oleh karenanya bangunan hukum
dengan pendekatan kultur tradisi dan kepribadian serta nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat
belum sepenuhnya sesuai dengan budaya dan jiwa kepribadian bangsa Indonesia, tetapi masih
sangat dipengaruhi kultur nilai – nilai bangsa lain berdampak terhadap berlakunya hukum, menjadi
sumber pembentukan hukum formil dan meterial, walaupun disadari hukum internasional ikut juga
mempengaruhinya.

A. Jaman Penjajahan Kolonoal Belanda.

Hukum kepolisian pada jaman penjajahan Belanda belum dapat ditentukan, fungsi
kepolisian terfragmentasi yang didasarkan pada politik kepentingan- kepentingan penjajah
sehingga tidak dipegang semata – mata oleh satu badan atau lembaga. Didalam Ordonansi
Staatsblad ( lembaran negara ) Tahun 1848 nomor 57 pasal 180 dan 181 Rechtterlijke, bahwa
Procureur General ( Pokrol General atau Jaksa Agung ) memegang pimpinan preventif dan
represif polisi, sedangkan teckhnis administrasi dibawah Binnenlandsch Bestuur ( B.B ) sesuai
Staatsblad 1928 nomor 35,diubah dengan Staatsblad 1940 nomor 387, Pejabat yang berhak
mengangkat pegawai – pegawai polisi, yaitu ; Gubernur Jenderal; Direktur Binnenland
Bestur; dan Gubernur / Residen; sedangkan menurut Staatblad 1941 nomor 1944 pasal 36
( H.I.R. ) bahwa yang mengepalai kepolisian dalam suatu Karesidenan adalah Residen.

44
B. Jaman Pendudukan Fasis Jepang.

Hukum kepolisian pada penjajahan Jepang tidak ada perubahan dan tetap pada
peraturan yang ada, walaupun secara formil peraturan Hindia Belanda dijadikan dasar, akan
tetapi dalam prakteknya tidak dijalankan. Staatsblad 1931 nomor 373 jo Staatsblad 1932
nomor 52 , bahwa polisi ada dibawah Pamong Praja tersebut tidak ikut campur lagi mengenai
Kepolisian, karena petunjuk – petunjuk dan perintah – perintah dari Komandan tentara
setempat, pendudukan angkatan darat tentara Jepang di Sumatera, Jawa dan Madura
sedangkan pendudukan angkatan laut tentara Jepang di Indonesia bagian timur dan
Kalimantan. Selama pendudukan Jepang terjadi beberapa perobahan diantaranya seperti :
Pertama, Kepolisian di Sumatera, Jawa dan Madura dipimpin oleh Cianbucho ( Kepala bagian
keamanan ) di kantor Gunseikan ( Kepala pemerintahan pendudukan daerah Sumatera, Jawa
dan Madura ) di Jakarta.

C. Jaman Kemerdekaan Republik Indonesia.


Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus Tahun 1945 terjadi
perkembangan perubahan ketatanegaraan, termasuk perubahan – perubahan yang dialami
oleh institusi/instansi/badan/lembaga kepolisian selaras dengan periode dan birokrasi
kekuasaan itu.
1. Awal Kemerdekaan.
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan , oleh Jepang satuan – satuan bersenjata
seperti Keibodan ( semacam Hansip ), Seinendan ( pasukan Pemuda ) dan Pembela
Tanah Air ( Peta ) telah dibubarkan kecuali hanya polisi yang masih diperbolehkan
memegang senjata api. Pada waktu aksi rakyat membutuhkan backing maka satuan
polisi dengan tidak ragu – ragu memberikannya, yang dinilai bahwa walaupun satuan
polisi secara formil masih merupakan satuan polisi pemerintah pendudukan Jepang sudah
menjadi pendukung Negara Kesatuan RI, sehingga berdampak pada waktu membentuk
Kepolisian Negara RI satuan polisi tadi tidak dibubarkan tetapi dikukuhkan menjadi
Kepolisian Negara RI. 45
2. Jaman Republik Indonesia Serikat (RIS ).

Dengan Keppres RIS No. 22 Tahun 1950 Kepolisian Negara disesuaikan


dengan bentuk negara R.I.S menjadi Jawatan Kepolisian RIS yang dipimpin dalam
kebijakan politik politionil oleh Perdana Menteri dengan perantara Jaksa Agung sedangkan
pimpinan sehari – hari dalam penguasaan administratif organisatoris Menteri Dalam Negeri.
Dalam bentuk Negara Federasi yang mempunyai 16 daerah bagian dengan desentralisasi
Kepolisian Negara Bagian yang berbeda – beda statusnya, dengan keluarnya Ketetapan
Presiden R.I.S. No. 150 Tahun 1950 yang menetapkan semua badan kepolisian dilebur
dibawah Kepala Jawatan Kepolisian R.I.S., maka Kepolisian R.I.S. yang berintikan
Kepolisian Negara RI telah berhasil melebur kepolisian dari Negara – negara Bagian yang
menggabungkan diri dengan negara RI ( Proklamasi ) dinamakan Jawatan Kepolisian
Negara.

3. Jaman Setelah R.I.S Dibawah UUD Sementara RI.

Setelah R.I.S. dilebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada


tanggal 17 Agustus 1950, Kepolisian RI dari Negara RI ( Proklamasi ) dijadikan lagi tulang
punggung Kepolisian Negara Kesatuan RI ( 1950 ) dimana diatur dalam UUD Sementara RI
1950 pasal 130 “ Untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum diadakan suatu alat
kesatuan kepolisian yang diatur dengan undang – undang “.

Hal ini berarti status polisi itutidak akan lekas dan sering berobah – robah karena
untuk merobah undang – undang akan memakan waktu. Tugas polisi dalam hubungan
Internasional diatur dengan keputusan Perdana Menteri No. 245/PM/1954, menunjuk
Jawatan Kepolisian Negara sebagai National Central Bureau dan International Criminal
Police Commision.

46
4. Setelah Dekrit Presiden ( Orde Lama ).
Pada tanggal 5 Juli 1959, Negara Indonesia kembali ke Undang – Undang Dasar 1945 sebagai
dasarnya dan sejak itu keluar sejumlah undang – undang, Keputusan Presiden, dan Peraturan
Menteri yang menyangkut Kepolisian Negara baik formal maupun materialnya, antara lain :
5. Keputusan Presiden RI ( Keppres ) No. 153 Tahun 1959, yang mengelompokkan Kepolisian
Negara RI mmenjadi satu dengan TNI;
6. Keppres No. 473 Tahun 1959, yang mengangkat Pimpinan Kepolisian Negara RI menjadi
Pembantu Presiden ( Menteri Muda Kepolisian ) dan Kepolisian Negara menjadi Kementerian
Kepolisian;
7. Surat Edaran Menteri Pertama RI No. 1/MP/RI/1959, yang meningkatkan dan menentukan
Jawatan Kepolisian RI menjadi Departemen Kepolisian;
8. Keppres No. 3/M Tahun 1960 tentang pengangkatan Pimpinan Direktorat dan Biro pada
Departemen Kepolisian;
9. Keppres No. 21 Tahun 1960 yang menentukan Departemen Kepolisian masuk bidang
Keamanan Nasional bersama TNI, Kejaksaan dan Veteran;
10. Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 pasal 45 huruf c bahwa ABRI terdiri dari Angkatan
( Perang ) RI dan Polisi Negara;
11. Undang – Undang No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok Kepolisian, dinyatakan
Departemen Kepolisian menyelenggarakan tugas Polri dan Polri adalah Angkatan
Bersenjata;
12. Keppres No. 94 Tahun 1962 yang menentukan bahwa Kepolisian RI merupakan Departemen
yang termasuk bidang Pertahanan Keamanan;
13. Keppres No. 134 Tahun 1962 yang merubah sebutan Kepolisian RI menjadi Angkatan
Kepolisian RI;
14. Keppres No. 372 Tahun 1962, ditentukan bahwa AKRI mempunyai tugas dan kedudukan
sebagai koordinator dan pengawas terhadap aparatur alat – alat Kepolisian Khusus;

47
Lanjutan ....

11. Keppres No. 15 Tahun 1963 yang menentukan bahwa Angkatan Kepolisian RI ( AKRI )
dipimpin oleh Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian ( Men/Pangak );
12. Keppres No. 290 Tahun 1964 yang disempurnakan dengan Keppres No. 52 Tahun 1964
tentang Kedudukan, tugas dan tanggungjawab Kepolisian Negara RI sebagai unsur ABRI
merupakan bagian organik dari Departemen Hankam.

5. Jaman Orde Baru.


Untuk kembali kepada pelaksanaan Undang – Undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekwen maka dikeluarkan peraturan – peraturan :
6. Instruksi Menteri/Panglima Angkatan Bersenjata RI ( Men/Pangab ) No.Pol.
44/Instr/MK/1965 tentang Regrouping semua komponen di Departemen Angkatan
Kepolisian;
7. Keppres No. 52 Tahun 1969 menegaskan sebutan, kedudukan organik dan tanggungjawab
Polri yang sederajat dengan Angkatan sebagai unsur ABRI dalam Departemen Hankam,
pimpinan Polri bukan lagi disebut Panglima AKRI akan tetapi disebut Kepala Polri yang
mengandung adanya tugas wewenang pimpinan teknis dan komando Polri dan Kapolri
bertanggungjawab kepada Menhankam/Pangab;
8. Keppres No. 79 Tahun 1969 menyempurnakan Keppres No. 132 Tahun 1967 dinyatakan
Polri bertanggungjawab sebagai jawatan sebagai alat negara penegak hukum, Polri
berkewajiban untuk mendukung kebijakan Han-Kam-Nas, Polri dapat diberi tugas khusus
Ops Bhakti dan Kekaryaan ABRI sesuai ketentuan Menhankam/Pangab;
9. Keppres No. 80 Tahun 1969 tentang ABRI bagian organik Dephankam, diikuti Kep
Menhankam/Pangab No. Kep/A/385/VIII/1970 yang menetapkan Pokok-pokok Organisasi
dan Prosedur Polri;
10. Instruksi bersama Mendagri dan Pangak No. 4 Tahun 1969 tentang Kerjasama dalam
rangka pelaksanaan kebijakan Politik Polisionil;
48
6. Skep Menhankam/Pangab No. Skep/B/66/I/1972 tentang pengesahan Doktrin Operasi
Kamtibmas;
7. Keppres No. 7 Tahun 1974 tugas pokok Polri dinyatakan Polri bertugas dan
bertanggungjawab untuk melaksanakan dan mengamankan kebijakan Dephankam, Polri
disusun dalam Tingkat mabes Polri dan Tingkat Komando Utama yang terdiri dari Badan dan
Komando Pembinaan dan Fungsionil, Pokok Organisasi dan Prosedur Polri diatur dengan Kep
Menhankam/Pangab;
8. Undang – undang No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Hankam Negara
RI, menentukan dalam penjelasan pasal 30 ayat ( 4 ) huruf a. Dalam melaksanakan tugasnya
selaku alat negara penegak hukum dan menyelenggarakan ketenteraman masyarakat, Polri
memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Kemudian bunyi pasal 45 ayat
( 3 ) Dengan dimasukkannya Polri didalam jajaran Angkatan Bersenjata dan dibina dalam
lingkungan departemen yang membidangi pertahanan, keamanan negara, maka ketentuan –
ketentuan dalam Undnag – undang No.13 Tahun 1961 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok
Polri, sepanjang belum diatur dalam peraturan perundang – undangan lain tidak bertentangan
dengan Undang – undang ini tetap berlaku selama belum diganti dengan Undang – undang
baru;
9. Undang – undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang memuat perubahan kebijakan
proses pidana serta merubah kedudukan Polisi sebagai penyidik dalam proses pidana yang
setara dengan Jaksa selaku penuntut umum. Kedudukan Polisi tidak lagi sebagai “ hulp
magistraat “, perubahan tersebut membawa perubahan pula dalam penyelenggaraan fungsi
kepolisian dan atau pemolisian.

49
6. Era Reformasi dan Amandemen UUD RI Tahun 1945.

Sejalan dengan tuntutan reformasi dan lahirnya pardigma baru kepolisian sipil ( civil police )dinamika
tersebut membawa pengaruh bagi perkembangan hukum kepolisian yang semakin luas memberikan
tugas, wewenang dan organ / badan / lembaga kepolisian yang harus dipertanggungjawabkan
( akkuntabilitas ), terbuka ( transparansi ), dan demokratis. Regulasi – regulasi yang mengatur
tentang kepolisian, diantaranya :
7. Undang – undang No. 28 Tahun 1997, memperbaharui Undang – undang No. 13 Tahun 1961
tentang Kepolisian Negara RI;
8. Undang – undang No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang – undang No.
11/PNPS/1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi, telah mengembalikan pengamanan
masalah subversi secara proporsional kepada Kepolisian;
9. Undang – undang No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan
Kejahatan terhadap Keamanan Negara;
10. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, memberikan perubahan
prinsip bagi eksistensi Polri dan sekaligus memisahkan secara tegas eksistensi lembaga TNI
dengan Polri, sehingga tidak ada lagi lembaga ABRI sebagai wadah mengintegrasikan TNI dan
Polri;
11. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, menegaskan perbedaan
peran kepolisian dengan tentara lebih rinci dan jelas disebutkan dalam pasal 6 ayat ( 1 )
Kepolisian Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat, dan menjalankan perannya wajib memiliki keahlian dan ketrampilan secara
profesional;
12. Undang – Undang Dasar 1945 ( amandemen kedua) merumuskan tugas dan wewenang dalam
pasal 30 ayat ( 4 ) Kepolisian Negara RI sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum.
50
7. Rumusan fungsi kepolisian disini memiliki dua makna yaitu sebagai alat negara dan tugas yang
dijalankan; Keppres No. 89 Tahun 2000, dimaksud semakin menguatkan kedudukan Polri
sebagai lembaga pemerintahan, yang dimaknai sebagai lembaga eksekutif atau pelaksana
undang – undang, dengan substansi rumusan pasal 1 “ Kepolisian Negara RI merupakan
lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok menegakkan hukum, ketertiban umum dan
memelihara keamanan dalam negeri “;
8. Undang undang RI No. 2 Tahun 2002, merupakan tindak lanjut amanat Tap MPR No.
VI/MPR/2000 yang khusus mengatur tentang Polri secara kelembagaan diantarnya meliputi
eksistensi, fungsi, tugas dan wewenang mapun bantuan, hubungan dan kerjasama kepolisian;
9. Keppres No. 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Polri;
10. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri;
11. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri;
12. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan
Umum bagi Anggota Polri ;
13. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Polri.
Disamping TAP MPR, undang – undang, peraturan pemerintah dan keputusan Presiden
tersebut, masih banyak peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang pengemban
fungsi kepolisian lainnya ( terbatas sesuai undang – undangnya ), seperti Kepolisian Khusus,
Penyidik PNS, dan bentuk – bentuk pengamanan swakarsa lainnya, termasuk Peraturan
Kepolisian yang dikeluarkan dalam rangka melaksanakan tugas, wewenang, fungsi dan peran
serta pengembangan organ kepolisian. Regulasi- regulasi yang menjadi dasar hukum :
Penyidik Pegawa Negeri Sipil adalah Undang – Undang RI No. 8 Tahun 1981, Peraturan
Pemerintah No 27 Tahun 1983 dan Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002; Koordinasi dan
Pengawasan Polsus adalah Keppres No. 372 Tahun 1962, Undang – undang RI No. 2 Tahun
2002, dan Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2006; Satuan Pengamanan Swakarsa adalah
Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002, Keppres No. 63 Tahun 2004 Pam Obvit, dan
Peraturan Kapolri No. 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi,
Perusahaan dan atau Instansi / Lembaga.
51
Quis pertemuan kuliah ke 9 :

1. Jelaskan bagaimana pelaksanaan tugas polri pada masa orde baru / Polri sebagai
anggota ABRI

2. Pasca reformasi 1998 Polri terpisah dari TNI (polri menjadi aparatur sipil negara/bukan
ABRI lagi). Jelaskan Pendapatnya apakah Polri sebaiknya begabung kembali sebagai
anggota ABRI dengan TNI atau tetap menjadi aparatur sipil negara seperti sekarang
ini.

52
PERTEMUAN KULIAH KE 10

FUNGSI, PERAN, TUGAS, DAN WEWENANG POLRI

Kepolisian didunia termasuk Kepolsian Negara RI dari masa kemasa selalu menjadi bahan
perbincangan berbagai kalangan, mulai dari praktisi hukum, akademis maupun masyarakat umum yang berusaha
secara positif memposisikan kedudukan, fungsi, peran, tugas dan wewenang kepolisian seiring dengan
perubahan – perubahan sesuai kebijakan politik.
A. Fungsi Kepolisian.
Fungsi kepolisian secara proses kronologis tertuang dalam sumber – sumber hukum Undang –
undang RI No. 8 Tahun 1981, Peraturan Pemerintah RI No 27 Tahun 1983, Undang – Undang Dasar 1945
amandemen / perubahan keempat, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000, Ketetapan MPR RI No.
VII/MPR/2000, Keputusan Presiden RI No. 89 Tahun 2000 dan ditegaskan dalam rumusan Undang –
undang RI No. 2 Tahun 2002 yaitu pasal 2 “ Polri mengemban fungsi kepolisian yang merupakan salah satu
fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat “, pasal 3 ayat ( 1 ) “ Pengemban
fungsi kepolisian adalah Polri yang dibantu oleh a. kepolisian khusus, b. penyidik pegawai negeri sipil dan
atau c. bentuk – bentuk pengamanan swakarsa “ dan ayat ( 2 ) “ Pengemban fungsi kepolisian
sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) huruf a, b, dan c, melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan
peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar hukumnya masing – masing “, pasal 5 ayat ( 1 ) “
Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri “ dan ayat ( 2 ) “ Polri adalah Kepolisian Nasional
yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 )”, pasal
12 ayat ( 1 ) “ Jabatan penyidik dan penyidik pembantu adalah jabatan fungsional yang pejabatnya
diangkat dengan keputusan Kapolri “, selanjutnya sebagaimana pada pasal 42 ayat ( 3 ) “ Hubungan dan
kerjasama luar negeri dilakukan terutama dengan badan – badan kepolisian dan penegak hukum lain
melalui kerjasama bilateral atau multilateral dan badan pencegahan kejahatan baik dalam rangka tugas
operasional maupun kerjasama teknik dan pendidikan serta pelatihan “ seperti ICPO – Interpol dan
Aseanapol.
53
B. Peran Kepolisian.
Sesuai dengan dasar falsafah kepolisian “ Tri Brata “ bahwa Kepolisian Negara RI adalah “
Abdi Negara “ dan sekaligus “ Abdi Masyarakat “, dimana sebagai “ Abdi Negara “ berperan
sebagai pemelihara keamanan dalam negeri, yaitu terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat serta tertib dan tegaknya hukum sesuai dengan ketentuan / peraturan perundang –
undangan yang berlaku. Sedangkan sebagai “ Abdi Masyarakat “ berperan sebagai pelindung,
pengayom dan pelayan masyarakat dengan senantiasa memperhatikan dan mentaati peraturan-
peraturan / norma – norma serta hak asasi manusia setiap warga masyarakat.

Dalam sumber hukum Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 didalam pasal 6 ayat ( 1 )
menyebutkan “ Kepolisian Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat “ dan dalam menjalankan perannya wajib memiliki
keahlian dan ketrampilan secara profesional, selanjutnya peran – peran lain nya dirumuskan dalam
pasal 9 dengan substansinya
a. Apabila negara dalam keadaan darurat memberikan bantuan kepada TNI,
b. Turut serta secara aktif dalam tugas – tugas penaggulangan kejahatan internasional sebagai
anggota International Criminal Police Organization Interpol,
c. Membantu secara aktif tugas pemeliharaan perdamaian dunia ( peace keeping operation )
dibawah bendera Perserikatan Bangsa bangsa .

Dirumuskan dalam Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002 pada pasal 5 ayat ( 1 ) Kepolisian
Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

54
C. Tugas Kepolisian.

Dalam melaksanakan perannya, kepolisian negara RI mempunyai tugas pokok yang


dirumuskan dalam Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002 pasal 13, sebagai berikut :
1. “ Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat “ bersumber dari kewajiban umum
kepolisian yaitu memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum,
2. “ Menegakkan hukum “ bersumber dari ketentuan peraturan perundang – undangan dalam
kaitannya dengan sistem peradilan pidana KUHAP, KUHP dan Undang – undang lainnya,
3. “ Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat “ bersumber dari
kedudukan fungsi kepolisian sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara yang pada
hakekatnya bersifat pelayanan publik ( public service ) dan termasuk kewajiban umum
kepolisian.

Kemudian dalam implementasi atau melaksanakan tugas pokok kepolisian, tugas –


tugas terperinci dirumuskan sebagaimana dalam pasal 14 ayat ( 1 ) :

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat


dan pemerintah sesuai kebutuhan,
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu
lintas dijalan,
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang –
undangan,
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional,
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum,
f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus,
penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk – bentuk pengamanan swakarsa,
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundang – undangan lainnya
55
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik, dan
psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian,
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari
gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk melindungi hak asasi manusia,
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi
dan/atau pihak yang berwenang,
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup
tugas kepolisian, serta
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan – peraturan perundang – undangan.

D. Wewenang Kepolisian.

Dalam menyelenggarakan tugas – tugasnya, Kepolisian Negara Ri mempunyai wewenang


secara umum yang diatur dalam Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002 maupun dalam wewenang
sesuai peraturan perundang – undangan dan wewenang dibidang proses pidana sebagaimana
diatur dalam Undang – undang RI No. 8 Tahun 1981, Undang – undang RI No. 1 Tahun 1946
diperbaharui dengan Undang – undang RI No. 73 Tahun 1958 tentang berlakunya KUHP di
Indonesia, dan perubahan dengan Undang – undag RI NO. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan
KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.

56
1. Wewenang kepolisian secara umum.

Wewenang kepolisian secara umum, diatur dan dirumuskan menurut Undang –


undang RI No. 2 Tahun 2002 psal 15 ayat ( 1 ) yaitu :

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan.


b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu
ketertiban umum.
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atgau mengancam persatuan
dan kesatuan bangsa.
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian.
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam
rangka pencegahan
g. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian.
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang.
i. Mencari keterangan dan barang bukti.
j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional.
k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka
pelayanan masyarakat.
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan,
kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat.
m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

57
2. Wewenang kepolisian sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
Kewenangan kepolisian tersebar diberbagai Undang – undang dan peraturan
perundang – undangan dan dikelompokkan seperti yang diatur dalam Undang – undang RI
No. 2 Tahun 2002 pasal 15 ayat ( 2 ), berbunyi :
a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat
lainnya,
b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor,
c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor,
d. Menerima pemberitaan tentang kegiatan politik,
e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata
tajam,
f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha
dibidang jasa pengamanan,
g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas
pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian,
h. Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasional,
i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang yang berada diwilayah
Indonesia dengan koordinasi instansi terkait,
j. Mewakili pemerintah RI dalam organisasi Kepolisian Internasional,
k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

58
3. Wewenang kepolisian dibidang proses pidana.
Fungsi kepolisian terdiri dari tugas – tugas pencegahan ( preventif ), sosialisasi
penyuluhan ( preemptif ) dan penindakan ( represif ). Tugas represif terdiri atas bentuk –
bentuk pertama, tindakan kepolisian yang bersifat represif non-yustisial ( memulihkan
keadaan tertib yang terganggu berdasarkan kewajiban umum kepolisian ) dan kedua,
tindakan kepolisian yang bersifat represif yustisial yaitu tindakan kepolisian dibidang proses
pidana ( criminal justice system ) selaku penyidik berdasarkan asas legalitas sesuai
ketentuan hukum acara pidana ( Undang – undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP).
Pengaturan wewenang kepolisian dibidang proses pidana diatur dalam Undang – undang RI
No. 2 Tahun 2002 pasal 16, berbunyi :
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk
kepentingan penyidikan,
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan,
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri,
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat,
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi,
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara,
h. Mengadakan penghentian penyidikan,
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum,
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan
mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka
melakukan tindak pidana,
k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyelidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil
serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada
penuntut umum,
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
59
4. Wewenang “ Diskresi Kepolisian ’’.

Diskresi kepolisian ( Police Discretion ) menurut Davis ( 1969 ) dan Ensiklopedia Ilmu
Kepolisian dalam Momo Kelana ( 2007 ) didefinisikan atau dirumuskan sebagai kapasitas petugas
kepolisian untuk memelihara diantara sejumlah tindakan legal atau tidak legal, atau bahkan tidak
melakukan tindakan sama sekali pada saat menunaikan tugas. Dalam pengertian umum “ Diskresi
“ merupakan wewenang dari pejabat publik, demi kepentingan umum, untuk bertindak atau tidak
bertindak dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya menurut penilaiannya sendiri. Diskresi
kepolisian merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum kepolisian
( plichtmatigheidsbeginsel ) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat
kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka
kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

Kewenangan “ Diskresi kepolisian “ dirumuskan dalam Undang – undang RI No. 2


Tahun 2002 dalam pasal 18 ayat ( 1 ) Untuk kepentingan umum, pejabat Polri dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri, dilengkapi rambu – rambu
bagi pelaksanaan diskresi kepolisian pada ayat ( 2 ) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat ( 1 ) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan
peraturan perundang – undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara RI, oleh karena itu
sudah seharusnya dikaitkan dengan konsekuensi pembinaan profesi kepolisian pasal 31, 32, dan 33
Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002. Oleh karena wewenang untuk bertindak berdasarkan
penilaiannya sendiri dalam rangka menjalankan kewajiban hukum/undang – undang
( rechtmatigheid ) dan kewajiban tugas, sehingga dalam menilai suatu situasi konkrit diperlukan
persyaratan – persyaratan kemampuan bagi setiap anggota kepolisian ( interpersonal skill ).

60
Diskresi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memilih secara bijak
tindakan yang akan diambil atas pertimbangan sendiri demi kepentingan umum. Tindakan
dimaksud harus memenuhi syarat–syarat :
a. Tidak bertentangan dengan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c. Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; menghormati hak
asasi manusia.

Quis pertemuan kuliah ke 10

1. Tugas polri dinilai sangat berat dalam menjaga Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat. Jelaskan apa alasannya

2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Diskresi Kepolisian dan berikan satu
contoh tindakan Diskresi oleh Kepolisian

61
PERTEMUAN KULIAH KE 11
E. Tanggungjawab Kepolisian.

Dalam Negara Hukum yang demokratis , pertanggungjawaban dan


akuntabilitas merupakan salah satu paradigma yang mendasar, akuntabilitas adalah
sesuatu yang berkaitan dengan pertanggungjawaban atas sebuah keputusan setelah
keputusan itu diambil. Baik institusi / organ / badan / lembaga kepolisian maupun
pejabat kepolisian dituntut pertanggungjawaban dari segi politik, yuridis ( hukum ),
moral dan etika profesi, serta administrasi ketatanegaraan.

1. Tanggungjawab politik kepolisian.

Sebagai pengemban salah satu fungsi pemerintahan Negara ( pasal 2 Undang


– undang RI No. 2 tahun 2002 ) secara formal, institusi kepolisian memiliki tanggungjawab
dalam rangka keseluruhan penyelenggaraan pemerintahan Negara sesuai Undang –
Undang Dasar ( Konstitusi ) Negara RI 1945, dimaksudkan dalam rangka menjamin
obyektifitas tindakan kepolisian dan pemuliaan profesi kepolisian agar tidak terpengaruh
oleh kekuatan politik tertentu.

2. Tanggungjawab Yuridis ( Hukum ) Kepolisian.

Sebagai alat negara penegak hukum dengan sendirinya Kepolisian Negara RI


mengemban tanggungjawab hukum dan taat asas. Substansi tanggungjawab hukum
Kepolisian dalam Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002 terdapat pada pasal 29 ayat ( 1 )
Anggota Kepolisian Negara RI tunduk pada keuasaan peradilan umum, ayat ( 2 )
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
62
Tanggungjawab pidana, selaku warga negara Indonesia yang mempunyai kedudukan
yuridis ( hukum ) yang sama dengan warga negara lainnya apabila melanggar peraturan atau
ketentuan dalam perundang –undangan harus mempertanggungjawabkan tindakannya secara
hukum sebagaimana yang diatur dalam Undang undang RI No. 1 Tahun 1946 diperbaharui
Undang – undang RI No. 73 Tahun 1958 tentang berlakunya KUHP di Indonesia, dan Undang –
undang RI No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP ( yang berkaitan dengan kejahatan
terhadap Keamanan Negara ), pasal 421, 422, 426, 427 dan 429.

Tanggungjawab perdata, tanggungjawab karena penyalah gunaan tugas wewenang


sehingga mengakibatkan penderitaan dan kerugian bagi orang lain atau pihak lain baik
mengenai jiwa maupun harta benda. Dalam Kitab Undang –undang Hukum Perdata pasal
1365, dinyatakan bahwa terhadap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian
bagi orang lain, maka orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum itu diwajibkan untuk
mengganti rugi.

Tanggungjawab karena lalai atau tidak berbuat, dalam Kitab Undang – undang Hukum
perdata pasal 1366 dinyatakan pertanggungjawaban itu tidak hanya atas perbuatan pidana atau
perdata saja, tetaoi juga atas kechilapan dan atau sikap yang yak berhati – hati yang
menyebabkan kerugian bagi orang lain. Bahkan terhadap sikap “ Tidak Berbuat “ dimana polisi
tidakmemenuhi kewajibannya atau melelaikan kewajibannya juga harus
mempertanggungjawabkan “ mengapa ia tidak berbuat “ baik secara pidana dan bisa pula
secara perdata.

63
3. Tanggungjawab Moral dan Etika Profesi.

Tanggungjawab moral anggota kepolisian terkait dengan sumpah atau janji


pada saat dilantik sebagai anggota kepolisian. Dalam Undang – undang RI No. 2 Tahun
2002 tentang Polri, dalam pasal 22 ayat ( 1 ) bahwa “ sebelum diangkat sebagai anggota
Kepolisian Negara RI seorang calon anggota yang telah lulus pendidikan pembentukan
wajib mengucapkan sumpah atau janji agamanya dan kepercayaannya itu “. Lafal
sumpah atau janji yang dimuat dalam pasal Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002 pasal
23, merupakan komitment dan prinsip moral anggota Kepolisian Negara RI pada
profesinya sehingga merupakan sumber nilai – nilai bagi kode etik profesi.

4. Tanggungjawab Administratif.
Tanggungjawab administratif pada dasarnya merupakantanggungjawan
hukum tatausaha negara. Secara administratif, anggota Polri menjalani dinas
keanggotaan dengan ikatan dinas yang diatur dengan peraturan perundang – undangan.
Dalam Undang – undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok – pokok Kepegawaian
sebagaimana telah diubah dengan Undang – undang No. 43 Tahun 1999 tesebut diatur
tentang hak–hak dan kewajiban kedinasan antara lain mengenai gaji dan hak- hak
lainnya. Untuk membina moril dan semangat kerja diadakan peraturan disiplin anggota
kepolisian dalam Peraturan Pemerintah RI No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin
Anggota Kepolisian Negara RI. Menjadi wacana dan pemikiran bagi penentu dan atau
pembuat kebijakan bahwa dalam Peraturan Pemerintah tersebut hanya mengatur
tentang “ Kewajiban, Larangan dan Sanksi “ tetapi tidak memuat tentang “ Penghargaan
( reward ) “ bagi anggota yang berprestasi dan menunjukkan disiplin melebihi panggilan
tugasnya.

64
5. Tanggungjawab Profesionalisme Kepolisian.

Menghadapi era globalisasi dari segala perkembangan perubahan permasalahan


aspek kehidupan sosial masyarakat majemuk atau plural dengan berbagai komunitas yang
heterogen penuh harapan dan tantangannya, reformasi menuntut introspeksi dan evaluasi
oyektif serta jujur. Dalam era reformasi ada beberapa aspirasi paradigma yang berkembang
di masyarakat mempengaruhi kinerja kepolisian yaitu supremasi hukum, perlindungan hak
asasi manusia, demokratisasi, transparansi, akuntabilitas, kemandirian dan profesionalisme.
Dalam kebijakan kepolisian dan aktualisasi kinerja pemolisiannya, Polri harus mau dan
mampu menampilkan kesesuaiannya dengan aspirasi paradigma masyarakat melalui upaya
pembinaan profesi kepolisian.

Menurut Edward A. Farris dalam The Encyclopedia of Police Science – Bailey


G.William ( 2005 ) dikutip Momo Kelana ( 2007 ) dikemukakan “ Profesionalisme
( Profesionalism ) “ merupakan suatu keadaan pikiran, standar tingkah laku, citra dan
kemampuan, kepekaan, dan kumpulan sikap sejenis seperti yang dimiliki oleh orang – orang
terbaik yang mengikuti suatu panggilan, yang menjalankan seni dan ilmu dari suatu lapangan
pekerjaan serta menunjukkan fungsi suatu pekerjaan. Dalam Undang – undang RI No. 2
Tahun 2002 terdapat Bab V pasal 31 dan pasal 32 mengenai Pembinaan Profesi yang
menandakan bahwa Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara RI dengan
lingkup tugas pemeliharaan ketertiban dan keamanan umum, penegakkan hukum,
perlindungan dan pengayoman serta pelayanan kepada masyarakat mendapat perhatian
dalam hukum kepolisian Indonesia, yaitu diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi
dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya dibidang teknis kepolisian melalui
pendidikan, pelatihan dan penugasan secara berjenjang, berlanjut dan berkesinambungan
komprhensif.

65
ORGANISASI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA.

Dalam kaitannya dengan pengertian yang dimaksud “ organisasi kepolisian “ adalah


suatu alat atau badan atau lembaga atau institusi sebagai wadah untuk melakukan sesuatu
pekerjaan – pekerjaan dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan oleh organisasi dalam
hal ini Kepolisian Negara RI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.

A. Kedudukan Kepolisian dalam Sistem Ketatanegaraan.


Berdasarkan rumusan Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, pasal 2
berbunyi “ fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat; pasal 5 ayat ( 1 ) Kepolisian Negara RI
merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri; ayat ( 2 ) Kepolisian Negara
RI adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran
sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ). Sebagai alat negara, Kepolisian Negara RI dengan
sendirinya tunduk pada Hukum Negara dan setia kepada Konstitusi, selanjutnya rumusan peran
Polri dalam pasal 5 ayat ( 1 ) menjadi acuan tugas pokok dalam rumusan pasal 13 tentang tugas
pokok polri :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum;
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

66
1. Kedudukan Kepolisian.

Kedudukan Kepolisian Negara RI ( Polri ) tidak diatur dalam Undang – Undang Dasar
Negara RI 1945, seperti halnya Angkatan Darat ( AD ), Angkatan Laut ( AL ), dan Angkatan
Udara ( AU ), yakni “ Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara “. Akan tetapi ketentuan dalam pasal 30 ayat ( 5 ) Undang
– Undang Dasar Negara RI 1945 mensyaatkan adanya tindak lanjut pembentukan undang –
undang tentang susunan dan kedudukan, hubungan kewenangan Polri dalam menjalankan
tugasnya.

Konsekuensi logis ketentuan pasal 30 ayat ( 5 ) UUD 1945 tersebut dibentuklah Undang –
undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang memposisikan Polri berada
dibawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden. Disamping itu telah ada beberapa
instrumen hukum yang mengatur tentang kedudukan lembaga Polri dibawah Presiden, yaitu
Peraturan Presiden No. 89 Tahun 2000 dan Ketetapan MPR-RI No. VII/MPR/2000 tentang
Peran TNI dan Polri.

Tanggal 1 April 1999, Polri dikeluarkan dari ABRI, masuk dalam Departemen Pertahanan
dan Keamanan, berada dibawah Menteri Pertahanan; Tanggal 1 Juli 2000, Polri dibawah
Presiden berdasarkan dan diperkuat dengan Ketetapan MPR-RI No. VI/MPR/200 tentang
Pemisahan TNI dan Polri dan Ketetapan MPR-RI No. VII/MPR/2000 tentang Peranan TNI dan
Polri. Dalam pelaksanaan kebijakan Pemerintah, Kapolri dilibatkan dalam sidang – sidang
kabinet dan disejajarkan dengan Panglima TNI.

67
2. Susunan Kepolisian.

Manusia adalah makhluk sosial dimana untuk memelihara ketenangan bekerja


dan menciptakan perasaan aman maka masyarakat memerlukan suatu kelompok
manusia yang diberi pekerjaan atau tugas untuk menjaga dan memelihara keamanan,
dalam perkembangan baik kwantitatif maupun kwalitatif dibuatkan wadah sendiri yang
disebut dengan “ Organ Kepolisian “.

Susunan Kepolisian adalah jenjang kesatuan kepolisian dalam menjalankan


organisasi kepolisian, untuk Kepolisian Negara RI diatur dalam Keputusan Presiden RI
No. 70 Tahun 2002 yang substansinya pada pasal 3 ayat ( 1 ) Organisasi Polri disusun
secara berjenjang dari tingkat pusat sampai kewilayahan; ayat ( 2 ) Organisasi Polri
tingkat pusat disebut Markas Besar; ayat ( 3 ) Organisasi Polri tingkat kewilayahan
disebut Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah ( Polda ).

Perjenjangan ini kemudian ditindak lanjuti dan dirinci ditingkat Mabes Polri
berdasar Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/53/X/2002 dan ditingkat daerah/wilayah terdiri
dari Polda, Polwil, Polres dan Polsek yang masing – masing memiliki unsur sesuai
kebutuhan dan bidang yang disesuaikan dengan kebutuhan wilayah, diatur berdasarkan
Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/54/X/2002, dan lebih lanjut dikeluarkan Peraturan
Pemerintah RI No. 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara RI.

68
3. Pembagian dan Perubahan Daerah Hukum Kepolisian.

Pembagian dan perubahan daerah hukum Kepolisian Negara RI ditetapkan


dengan mempertimbangkan kepentingan, kemampuan, fungsi dan peran kepolisian, luas
wilayah serta keadaan penduduk; sebagaimana daerah hukum kepolisian diatur pasal 6
ayat ( 2 ) Dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi kepolisian, wilayah negara RI dibagi
dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara RI, ayat
( 3 ) Ketentuan mengenai daerah hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 2 ) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya diterbitkan dan atau dikeluarkan Peraturan Pemerintah RI No. 23


Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara RI, pada pasal 4 ayat ( 1 ) daerah
hukum kepolisian meliputi :
a. Daerah hukum kepolisian markas besar untuk wilayah Negara Kesatuan RI;
b. Daerah hukum kepolisian daerah untuk wilayah provinsi;
c. Daerah hukum kepolisian resort untuk wilayah kabupaten;
d. Daerah hukum kepolisian sektor untuk wilayah kecamatan; ketentuan ayat ( 3 ) selain
dari daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) dan ( 2 ), daerah
hukum kepolisian meliputi pula kawasan diplomatik, yaitu Kedutaan Besar Indonesia
serta kapal laut dan pesawat udara berbendera Indonesia diluar negeri. Kemudian
bunyi pasal 5 tidak termasuk kedalam daerah hukum kepolisian sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 adalah kawasan diplomatik kedutaan besar asing, kantor perwakilan
badan internasional, kapal laut dan pesawat udara berbendera asing, serta tempat lain
sesuai peraturan perundang – undangan.

69
Quis pertemuan kuliah ke 11 :

1. Polri dalam menjalankan setiap tugasnya dituntut harus bertanggungjawab,


jelaskan mengapa demikian

2. Jelaskan mengapa polri dalam melaksanakan tugasnya harus profesional

70
PERTEMUAN KULIAH KE 12
B. Penanggungjawab Daerah Hukum.

1. Daerah Hukum Kepolisian.

Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Wilayah


Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Konstitusi Undang
Undang Dasar 1945, yang disempurnakan dengan Undang Undang RI Nomor 17
Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut). Bagi Bangsa dan
Negara Republik, Konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk
pertamakalinya asas Negara Kepulauan yang selama dua puluh lima tahun secara
terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, telah memperoleh pengakuan resmi
masyarakat internasional. Pengakuan resmi asas Negara Kepulauan ini merupakan
hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan
Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana
termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Garis garis
Besar Haluan Negara, yang menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan Indonesia
sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.

71
2. Reformasi Birokrasi.

Sejalan dengan perkembangan reformasi birokrasi maka terjadi pembaharuan


susunan organisasi Polri sesuai dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tatakerja Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Didalam Bab II Susunan Organisasi, Pasal 13 ayat ( 1 )
Organisasi Polri disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai tingkat daerah
berdasarkan daerah hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
ayat ( 2 ) Organisasi Polri dari tingkat pusat sampai tingkat daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat ( 1 ) terdiri dari :

a. Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Mabes polri.


b. Kepolisian Daerah, disingkat Polda.
c. Kepolisian Resort, disingkat Polres, dan
d. Kepolisian Sektor, disingkat Polsek.

72
C. Struktur Organisasi Kepolisian Negara R.I. ( Polri ).

Didalam setiap organisasi manapun dan apapun sebaiknya ada dan selalu mempunyai
struktur organisasi baik secara formal maupun informal. Struktur formal meliputi bagan organisasi dan
garis otoritas sweperti Kepala, Wakil Kepala, Kepala – kepala Biro, Direktur – direktur, dan seterusnya.
Beranjak dari pengertian organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Dwight Waldo dalam Sadjijono
( 2008 : 66 ) bahwa organisasi adalah struktur antar hubungan pribadi yang berdasarkan atas
wewenang formal dan kebiasaan didalam suatu sistem organisasi.

Berdasarkan Keputusan Presiden RI No.70 Tahun 2002, struktur organisasi ditingkat Mabes
Polri memiliki unsur – unsur yang terdiri dari : unsur Pimpinan, unsur Pembantu Pimpinan dan
Pelaksana Staf, unsur Pelaksana pendidikan dan/atau Pelaksana Staf Khusus, dan satuan organisasi
penunjang lainnya.

Tindak lanjut dari Keppres No. 70 Tahun 2002, dikeluarkan Keputusan Kapolri No.Pol. :
Kep/5/V/ 2019, tanggal 6 Mei 2019, tentang Organisasi dan Tata kerja satuan – satuan organisasi
pada tingkat Mabes Polri yang meliputi : Unsur Pimpinan : Kapolri dan Wakapolri, Unsur-Unsur
Pengawas dan Pembantu Pimpinan; Itwasum, As Ops, Asrena, As SDM, As Log, Div Provam, Div
Kum, Div Humas, Div Hubinter, Div TIK, Sahli, Yanma, Setum, Spripim. Unsur Pelaksana Tugas
Pokok ; Ba Intelkam, Baharkam, Ba Reskrim, Kor Lantas, Kor Brimob, Densus 88 AT. dan Unsur
Pendukung ; Lemdiklat (Sespim, STIK, AKPOL, Setukpa, Diklatsus Jatrans, Diklat Reserse, Pusdik,
SPN. ), Puslitbank ( Pus Keu, Pus Dokkes, Pusjarah. )

Pembagian tugas dan tanggungjawab organisasi Kepolisian ditingkat Polda, meliputi :


Unsur Pimpinan : Kapolda dan Wakapolda, Unsur Pengawas dan Pembantu Pimpinan/Pelayanan ;
Itwasda, Bid Propam, Bid Humas, Bid Kum, Bid TIK, Ro Ops, Rorena, Ro SDM, Ro Log, Spripim,
Setum, Yanma. Unsur Pelaksana Tugas Pokok ; Dit Intelkam, Dit Reskrim Um, Dit Rekrim Sus, Ditres
Narkoba, Dit Binmas, Dit Samapta, Dit Lantas, Dit Pam Obvit, Sat Brimob, SPKT, Dit Tahti. Unsur
Pendukung ; SPN, Bid Keu, Bid Dokkes. Jenjang organisasi Kepolisian daerah ini berdasarkan Kapolri
No. Pol. Kep/14/IX/2018, tanggal 21 September 2019, terdiri dari Kepolisian Daerah (polda),
Kepolisian Resort ( Polres ) dan Kepolisian Sektor ( Polsek ). Untuk Struktur Organisasi dan Tata Kerja
(SOTK) Polres/Polsek diatur berdasarkan keputusan Kapolri No. Pol. Kep/23/X/2010. 73
D. Hubungan dan Tata Kerja Organisasi Kepolisian.

Pengorganisasian merupakan fungsi yang harus dijalankan pada semua


tingkatan dan jenis kegiatan dan bentuk organisasi besar atau kecil, bisnis atau
negara/pemerintah. Fungsi pengorganisasian penting untuk mewujudkan struktur
organisasi, uraian tugas dari setiap bidang/bagian menjadi jelas, pembagian wewenang
dan tanggungjawab menjadi jelas, memperlihatkan antar tugas atau pekerjaan dari setiap
unit kerja, sumber daya manusia dan materiel sarana prasarana yang dibutuhkan dapat
diketahui.

1. Hubungan Internal Kepolisian.

Lembaga Kepolisian Negara RI merupakan organisasi yang disusun secara


berjenjang mulai dari tingkat Mabes Polri sampai ketingkat daerah ( Polda, Polwil, Polres
dan Polsek ), artinya antara tingkat pusat dan daerah secara struktural memiliki keterikatan
dan hubungan yang tidak terpisahkan; atau dapat dipastikan bahwa Kepolisian Daerah
adalah merupakan perpanjangan tangan dari Mabes Polri dalam melaksanakan tugas,
fungsi, peran dan wewenang kepolisian demi tercapainya tujuan oranisasi polri
sebagaimana yang telah diprogramkan oleh pimpinan polri. Hubungan dan tata kerja
organisasi yang dimaksud adalah hubungan secara internal yaitu hubungan vertikal,
hubungan horizontal dan hubungan fungsional. Hubungan secara vertikal adalah
hubungan kesatuan dari atas kebawah ( top down ) yaitu dari Mabes Polri ke Polda, dari
Polda ke Polres, dari Polres ke Polsek; atau sebaliknya dari bawah keatas ( bottom up ).

Undang – undang No. 2 Tahun 2002 pasal 6 ayat ( 1 ) yang berbunyi “


Kepolisian Negara RI dalam melaksanakan peran dan fungsi kepolisian sebagai dimaksud
dalam pasal 2 dan pasal 5 meliputi seluruh Negara RI.

74
2. Hubungan Eksternal.

Hubungan eksternal ialah hubungan kerja antara instansi/institusi/


badan/departemen/lembaga pemerintah atau non depertemenyang secara fungsional
mempunyai hubungan kerja didalam pelaksanaan tugas pemerintahan.

a. Hubungan Polri dengan Badan/Lembaga dalam negeri.

Setiap departemen / instansi / badan / lembaga pemerintah secara


fungsional bertugas dan bertanggungjawab atas suatu bidang substansi
pemerintahan, dan fungsionalisasi menentukan siapa harus bekerja sama dengan
siapa tentang apa dan siapa yang harus memprakarsai hubungan kerjasama tersebut,
yang pada hakikatnya mencakup seluruh penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
negara RI secara kebulatan multi fungsional dengan pendekatan interdisipliner
hubungan tata cara kerja.

1). Hubungan dengan Pemerintah / Pemerintah Daerah.

Berdasarkan ketentuan Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002 pasal


42 ayat ( 2 ) tentang Kepolisian Negara RI, bahwa “ hubungan dan kerjasama
didalam negeri dilakukan terutama dengan unsur – unsur pemerintah daerah,
penegak hukum, badan / lembaga, instansi lain serta masyarakat dengan
mengembangkan asas partisipasi dan asas subsidiaritas “.

75
Hubungan kerjasama tersebut didasarkan atas sendi – sendi hubungan
fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan
umum serta memperhatikan hierarki. Didalam Undang – undang RI No. 22 Tahun
1999 (telah di revisi dengan UU RI No. 23 Tahun 2014) yang diperbaharui dengan
Undang – undang RI No. 32 Tahun 2004 (telah direvisis dengan UU RI No. 9 Tahun
2015) tentang Pemerintahan Daerah telah dengan jelas dan tegas memisahkan
urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah pada pasal 10 ayat ( 3 )
huruf b dan c , yang isinya meliputi : a. Politik luar negeri; b. Pertahanan; c.
Keamanan; d. Yustisi; e. Moneter dan fiskal nasional; dan f. Agama.
Kewenangan dibidang keamanan yang menjadi tanggungjawab kepolisian tidak
diserahkan kepada daerah otonom dan tetap menjadi kewenangan pemerintah
pusat. Dalam Undang – undang RI No. 23 Tahun 2014 pasal 43 ayat ( 1 ) huruf f
yang dirubah dalam Undang – undang RI No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah
Daerah pasal 27 ayat ( 1 ) huruf c : Kepala Daerah berkewajiban untuk memelihara
ketenteraman dan ketertiban masyarakat didaerahnya.

2). Hubungan Polri dengan Unsur – unsur Criminal Justice System ( Sistim Peradilan Pidana).

Sistem peradilan pidana Indonesia ( Criminal Justice System ) menurut Muladi


( 2002 : 4 ) “ merupakan suatu jaringan ( network ) peradilan yang menggunakan hukum pidana
sebagai sarana utamanya, baik Hukum Pidana Formil, Hukum Pidana Materiil maupun Hukum
Pelaksanaan Pidana “. Apabila dicermati hubungan antara Polri dengan lembaga – lembaga
yang tergabung dalam Criminal Justice System ( Kejaksaan, Pengadilan, Advokat / pengacara
penasehat hukum/pembela, dan Lembaga Pemasyarakatan ) adalah merupakan hubungan
legalitas fungsional yaitu suatu hubungan yang didasarkan pada ketentuan undang – undang
yang mengatur fungsi yang melekat dan diemban oleh masing – masing lembaga ( sub-
system ) unsur sistem peradilan pidana.
76
Landasan Yuridis fungsi masing – masing lembaga terdapat pada Undang –
undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang – undang RI No. 5 Tahun 1991
diperbaharui dengan Undang – undang RI No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,
Undang – undang RI No. 2 Tahun 2005 diperbaharui dengan Undang – undang RI No. 8
Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Undang – undang RI No. 14 Tahun 1970
dipebaharui dengan Undang – undang RI No. 35 Tahun 1999 dan Undang – undang RI
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang – Undang RI No. 28 Tahun
1997 diperbaharui dengan Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Polri,
Undang – undang RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Undang-undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31
Tahun 1999, dan Undang-undang No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

Quis pertemuan kuliah ke 12 :

1. POLRI memiliki hubungan eksternal dengan Instansi lain diantaranya dengan


TNI. Jelaskan pendapatnya bagaimana hubungan eksternal dimaksud melihat
situasi yang berkembang saat ini.

2. Jelaskan bagaimana cara menjaga hubungan eksternal dimaksud agar tetap


solid

77
PERTEMUAN KULIAH KE 13
Hubungan Polri dengan unsur – unsur yang tergabung dalam sistem peradilan pidana
( Criminal Justice System ) dapat dirinci sebagai berikut :

a). Hubungan Polri dengan Kejaksaan ( Jaksa Penuntut Umum ).

Penyidik polri berkewajiban mengirimkan Surat Pemebritahuan dimulainya


Penyidikan ( SPDP ) kepada Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) sesuai pasal 109 ayat ( 1 )
KUHAP; Penyidik menyerahkan berkas Berita Acara Pemeriksaan ( BAP ) sesuai pasal 110
ayat ( 1 ) KUHAP; Memperbaiki dan menyempurnakan berkas BAP yang dikembalikan oleh
JPU, sesuai pasal 110 ayat ( 3 ) KUHAP; Menyerahkan tersangka dan barang bukti sesuai
pasal 8 ayat ( 3 ) KUHAP; Meminta Surat Perpanjangan Penahanan sesuai pasal 24 ayat ( 2
) KUHAP; Memberi tembusan Surat Perintah Penghentian Penyidikan sesuai pasal 109 ayat
( 2 ) KUHAP. Dasar yuridis lain dalam hubungan ini adalah Undang – undang RI No. 2 Tahun
2002 tentang Polri dan Undang – undang RI No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

b). Hubungan Polri dengan Pengadilan.

Penyidik meminta Surat Penetapan Ijin Penggeledahan rumah, ijin Penyitaan Barang
Bukti kepada Ketua Pengadilan sesuai pasal 33 ayat ( 1 ) dan pasal 38 ayat ( 1 ) Undang – undang RI
No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP; berdasarkan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI No. 09
Tahun 2009 tentang Petunjuk Izin Penyidikan Terhadap Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan
Anggota DPRD, dari ketetntuan Pasal 106 (4) Undang-undang No. 22 Tahun 2003, Mahkamah Agung
berpendapat bahwa terhadap Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
yang diduga melakukan tindak pidana “korupsi, terorisme dan tindak pidana lain (selain korupsi dan
terorisme) tertangkap tangan”, maka penyidikan tidak perlu meminta izin/persetujuan tertulis.
Menghadiri sidang pengadilan sebagai saksi penyidik/perbal lisan apabila diperlukan oleh pihak yang
berkepentingan dalam sidang, bisa dari terdakwa atau penasehat hukumnya dan bisa dari Hakim
yang memeriksa / menyidangkan perkara.
78
c). Hubungan Polri dengan Advokat/Pembela/Pengacara Penasehat Hukum.

Advokat / Penasehat hukum berhak mendampingi tersangka pada tingkat


pemeriksaan penyidik sesuai pasal 54, 69, dan 70 Undang –undang RI No. 8 Tahun
1981 tentang KUHAP; Terhadap pemeriksaan tersangka yang diancam hukuman mati
atau penjara 15 ( lima belas ) tahun keatas, atau bagi yang tidak mampu mendatangkan
advokat/pengacara penasehat hukum/pembela, maka penyidik berkewajiban mencari
dan/atau mendatangkan advokat untuk mendampingi tersangka dalam pemeriksaan
sesuai pasal 56 ayat ( 1 ) Undang – undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Peraturan Undang – undang lain yang juga menjadi dasar hukum hubungan adalah
Undang – undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dan Undang – undang RI No. 18
Tahun 2003 tentang Advokat.

d). Hubungan Polri dengan Lembaga Pemasyarakatan.

Polri dapat memberikan bantuan pengawalan terhadap para terdakwa dari/ke


sidang pengadilan ke lembaga pemasyarakatan, terutama para terdakwa yang dihukum
berat; Polri membantu dalam pencarian narapidana yang melarikan diri ( kabur ) dari
tahanan dan/atau menangkap pelaku – pelaku kejahatan ( residivis ) yang bersembunyi di
lembaga pemasyarakatan, seperti kejahatan narkoba dan lain – lain.

Jadi hubungan Kepolisian Negara RI dalam hal penyidik dengan unsur – unsur
Criminal Justice System / Peradilan Pidana tersebut merupakan hubungan fungsional,
sedangkan hubungan dalam hal sebagai lembaga/badan/instansi/institusi adalah
merupakan hubungan horizontal dimana antara satu dengan yang lain hubungannya tidak
terstruktur, akan tetapi mengikat yang dapat menimbulkan sah atau tidaknya suatu
tindakan hukum.

79
3). Hubungan Polri dengan TNI.

Hubungan antara Polri dengan TNI dirumuskan dalam Undang – undang Ri No. 2
Tahun 2002 pasal 41 ayat ( 1 ) berbunyi “ Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Polri
dapat meminta bantuan TNI yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”, dan ayat ( 2 )
berbunyi “ Dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, polri memberikan bantuan kepada
TNI sesuai dengan peraturan perundang – undangan “. Bantuan yang diberikan oleh TNI sebagai
dimaksud dalam Pasal 41 ayat ( 1 ) tersebut diatas, dalam pelaksanaan opersionalnya berada
dibawah komando dan pengendalian Polri; dengan demikian bantuan yang dimaksud bersifat
koordinatif dan kemitraan yang mendasarkan pada fungsional. Kerjasama dan bantuan diatur
berdasarkan Undang – Undang RI No. 2 Tahun 2002 pasal 41 ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ), dan
Undang – Undang RI No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, pada pasal 7 ayat ( 2 ) tugas pokok
sebagaimana pada ayat ( 1 ) dilakukan dengan ( a ) huruf b angka 10 “ membantu Polri dalam
rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang – undang;
sebagai tindak lanjut Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 pasal 2 ayat ( 3 ) “ Dalam hal terdapat
keterkaitan kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan, TNI dan POLri harus bekerjasama dan
saling membantu “.

4). Hubungan Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

Hubungan Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS ) didasarkan pada
konsistensi dan konsekuensi, bahwa Penyidik Polri mempunyai tugas mengkoordinasikan dan
mengawasi penyidikan yang dilakukan oleh PPNS. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang –
undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, pasal 6 ayat ( 1 ) huruf b yang menyebutkan “ Penyidik
adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang oleh undang – undang “, dan
pasal 7 ayat ( 2 ) yang menyebutkan “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat ( 1 )
huruf b dan pasal 6 ayat ( 2 ) huruf b KUHAP mempunyai wewenang sesuai dengan undang –
undang yang menjadi dasar hukumnya masing – masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada
dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat ( 1 ) huruf a “
( Penyidik Polri ).
80
5). Hubungan Polri dengan Kepolisian Khusus ( Polsus ).

Polri sebagai inti pembina keamanan dan ketertiban masyarakat dan aparat
penegak hukum, bertugas dan bertanggungjawab untuk melakukan pembinaan
terhadap unsur – unsur potensi keamanan masyarakat yang harus seirama dengan
tuntutan perkembangan perubahan masyarakat demi pembangunan bangsa dan
negara. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 372 Tahun 1962 tentang Koordinasi
dan Pengawasan Alat – alat Kepolisian Khusus, maka telah dilakukan kerjasama
antara Kapolri dengan berbagai pimpinan instansi/institusi/badan/lembaga pemerintah
maupun swasta tentang pembentukan kepolisian khusus dan/atau satuan – satuan
pengamanan, seperti Keputusan Bersama antara Menteri Pangak dengan Menteri
Keuangan No. Pol. 47/SK/MK/1966 dan No. 117/MK/ 1966 tentang Pembentukan
Polsus Bank ( Satpam ). Selanjutnya perkembangan perubahan pembinaan lebih
lanjut kepolisian mengeluarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 6 Tahun
2006 tentang Pembinaan Kepolisian Khusus.

81
6). Hubungan Polri dengan Pengamanan Swakarsa lainnya.

Mengingat begitu banyaknya keputusan – keputusan bersama ( MOU ) dengan


berbagai kementerian/lembaga pemerintah/instansi/institusi dan swasta, serta berdasarkan
hasil pertemuan antara Kapolri dengan instansi/institusi/perusahaan – perusahaan yang
mengelola satuan – satuan pengamanan tanggal 19 Juni 1980 dan hasil pertemuan antara
Kapolri dengan wakil – wakil dari departemen/sekjen – sekjen, di Mabes Polri pada tanggal 18
Desember 1980, maka sesuai dengan tanggungjawab dan peraturan perundang – undangan
yang berlaku, Polri berkewajiban mengatur dan mengarahkan usaha pengelolaan satuan
pengamanan sesuai kebutuhan yang sangat mendesak itu. Berdasarkan Surat Keputusan
Kapolri No. Skep/126/XII/1980 tanggal 30 Desember 1980 tentang Pola Pembinaan Satpam,
menandai dimulainya pembinaan satuan pengamanan secara profesional.

7). Hubungan Polri dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan


tindak Pidana Korupsi,berdasarkan Pasal 39 (3) Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang
menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi
kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, Pasal
41 berbunyi, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan lembaga penegak
hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
berdasarkan perjanjian internasional yang telah diikuti oleh Pemerintah RI, tercantum pada
Pasal 42 berbunyi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengoordinasikan dan
mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan
bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum, Pasal 44
(5) berbunyi, dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan
koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

82
b. Hubungan Polri dengan Negara/Badan/Lembaga – Lembaga Internasional.

Berdasarkan Surat Keputusan Perdana Menteri RI No. 245/PM/1954 tanggal 5


Oktober 1954, Djawatan Kepolisian Negara ( DKN ) ditunjuk dan ditetapkan sebagai Biro
Pusat Nasional Indonesia ( National Central Bereau Indonesia ) mewakili Pemerintah
Republik Indonesia didalam organisasi International Police. Djawatan Kepolisian Negara
( DKN ) sekarang menjadi Kepolisian Negara RI ( Polri ) melalui National Central Bereau
( NCB ) atau lebih dikenal International Police ( Interpol ) Indonesia dapat menjalin
hubungan kerjasama dengan berbagai Negara/Badan/Lembaga-lembaga Internasional
sesuai dengan tujuan organisasi International Central Police Organization ( ICPO ) yaitu
berdasarkan pasal 2 Anggaran Dasar I.C.P.O. :
1) Untuk menjalin dan memajukan kerjasama yang seluas – luasnya antara semua
Badan – badan Kepolisian Kriminal dalam batas – batas hukum Negara masing –
masing serta dengan semangat pernyataan bersama tentang Hak – hak Asasi
Manusia; dan
2) Mendirikan dan mengembangkan semua badan yang secara efektif akan dapat
membantu dalam bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan. ( Interpol
Indonesia : 1978 ).

Interpol Indonesia, dimana Kapolri adalah sebagai Head NCB Indonesia


menyelenggarakan tugas kewajiban sebagai “ National Central Bereau “ dan “ Service
Correspondent “ termasuk pembinaan saluran komunikasi Interpol mewakili Pemerintah
dalam hubungan ICPO, sesuai penugasan mewakili Pemerintah Indonesia dalam
kegiatan/usaha pencegahan dan pemberantasan kejahatan internasional serta senantiasa
memelihara hubungan koordinatif fungsional.

83
Dalam menyelenggarakan Kerjasama Internasional Kepolisian, Interpol Indonesia harus
tetap berpegang teguh kepada beberapa asas pokok dengan beberapa prinsip, yaitu :
Pertama, prinsip Kedaulatan Nasional, pihak – pihak yang melakukan hubungan kerjasama
internasional kepolisian, harus tetap saling menghormati dan menjaga kedaulatan nasional
masing – masing Negara; Kedua, prinsip Hukum Pidana Umum, dalam rangka kerjasama
pencegahan dan pemberantasan kejahatan internasional, harus merupakan tindak pidana yang
melanggar ketentuan Pidana Umum dan masing – masing Negara yang bersangkutan.

Contoh : Aborsi, di Indonesia adalah merupakan kejahatan, boleh jadi di Negara lain
tidak dilarang; Ketiga, prinsip Universal, tidak ada suatu Negara yang dapat mentolerir
terjadinya suatu kejahatan. Oleh karena itu harus dilakukan kerjasama internasional kepolisian
untuk memberantas para penjahat yang melarikan diri ke negara lain dalam bentuk perjanjian
ekstradisi; Keempat, prinsip Kerjasama, metode kerjasama dalam wadah Interpol ditentukan
oleh pertukaran bentuk – bentuk kejahatan internasional dan setiap Negara yang bekerjasama
harus memperoleh/mendapat manfaatnya; Kelima, prinsip Organisasi yang Fleksibel,
organisasi Interpol harus fleksibel, pertumbuhan dan penyempurnaan struktur organisasi harus
cermat dengan metode – metode baru berdasarkan pemikiran global.

Quis pertemuan kuliah ke 13 :

1. Jelaskan bagaimana pendapatnya hubungan POLRI selaku penyidik dengan


penegak hukum lainnya khususnya dengan Advokat

2. Jelaskan mengapa POLRI perlu memiliki hubungan kerja dengan pengamanan


swakarsa lainnya

84
PERTEMUAN KULIAH KE 14
E. Pengawasan Kepolisian.

Istilah pengawasan di Indonesia merupakan terjemahan dan sinonim dari istilah


“ control “, menurut Henry Fayol dikutipan Irfan Fachruddin ( 2004 ) dalam Sadjijono
( 2008 : 159 ) mengemukakan “ Kontrol adalah penelitian apakah segala sesuatu dilakukan
sesuai dengan rencana, perintah – perintah dan prinsip – prinsip yang telah ditetapkan “,
selanjutnya menurut pemahaman Sadjijono ( 2008 : 160 ) bahwa “ Pengawasan
mengandung arti suatu perhatian atas kegiatan yang dilakukan, agar tetap berada pada
batas – batas wewenang, tanggungjawab dan norma – norma yang mengikat, sehingga
kegiatan yang dilaksanakan menjadi efektif tidak terjadi penyimpangan atau kesalahan.
Dengan demikian dikaitkan dengan “ pengawasan kepolisian “ mengandung arti suatu
kegiatan yang dilakukan agar dalam pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian tetap
berada pada batas – batas wewenang, tanggungjawab dan norma – norma yang mengikat,
sehingga tugas dan wewenang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang –
undangan yang berlaku dan sesuai dengan tujuan dari tugas dan wewenang diberikan “.

Pengaturan eksistensi pengawasan dilingkungan kepolisian ditingkat Mabes


Polri diformulasikan dalam Keputusan Presiden RI No. 70 Tahun 2002 dirumuskan pada
pasal 4 ayat ( 1 ) Inpektorat Pengawasan Umum disingkat Itwasum adalah unsur
pembantu pimpinan dan pelaksana staf bidang pengawasan yang berada dibawah Kapolri;
dan ayat ( 2 ) Itwasum bertugas membantu Kapolri dalam penyelenggaraan pengawasan
dan pemeriksaan umum dan perbendaharaan dalam lingkungan Polri termasuk satuan –
satuan organisasi non struktural yang dibawah pengendalian Kapolri. Tindak lanjut dari
Keppres RI No. 70 Tahun 2002 tersebut dikeluarkan Keputusan Kapolri No. Pol.
Kep/5/V/2019 tentang Organisasi dan Tatakerja Satuan – satuan Organisasi pada Tingkat
Mabes Polri, dan Keputusan Kapolri No. Pol. Kep/14/X/2018 tentang Organisasi dan
Tatakerja Satuan – satuan Organisasi pada Tingkat Polda.
85
Dalam Keputusan Kapolri No. Pol. Kep/54/X/2002 eksistensi, tugas dan wewenang
Itwasda diatur dalam pasal 9 ayat ( 1 ) Itwasda adalah unsur pembantu pimpinan dan pelaksana
staf pada Polda yang berada dibawah Kapolda; ayat ( 2 ) Itwasda bertugas menyelenggarakan
pengawasan dan pemeriksaan umum dan perbendaharaan dalam lingkungan Polda termasuk
satuan – satuan organisasi non struktural yang berada dibawah pengendalian Kapolda; dan
ayat ( 3 ) mengatur rincian tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 2 ). Dari sisi
kelembagaan yakni subyek ( pengawas ) dan obyek ( yang diawasi ), pengawasan kepolisian
dapat dibedakan menjadi 2 ( dua ), yakni pengawasan yang bersifat “ internal “ dan yang bersifat
“ eksternal “; Pengawasan” internal “ adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan atau
lembaga yang secara struktural berada dalam lingkungan lembaga kepolisian, yaitu pengawasan
yang dilakukan Itwasum Polri dan Itwasda; disisi lain ada pengawasan fungsional yang lebih
cenderung dilakukan oleh bidang – bidang lain diluar bidang pengawasan terstruktur dalam
lembaga kepolisian, seperti dilakukan oleh Divisi Propam Mabes Polri atau Bidang Propam
Polda.

Sedangkan pengawasan “ eksternal “ adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan atau
organ yang berada diluar struktur organisasi/lembaga kepolisian. Pengawasan ini dapat
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pengawasan “ eksternal secara langsung “
seperti pengawasan yang dilakukan oleh BPK, KPK, pengawasan sosial oleh Komisi Kepolisian
Nasiona, LSM, ICW, Goverment Watch, dan kontrol politis oleh MPR dan/atau DPR. Kemudian
pengawasan “ eksternal secara tidak langsung “ yang dilakukan melalui badan peradilan, baik
peradilan umum maupun peradilan administrasi atau badan – badan lain seperti Komisi
Ombudsman Nasional, Komnas HAM, dan lain-lain.

86
F. Tanggung gugat Tindakan Kepolisian.
Tanggung gugat ( aansprakelijkheid ) tindakan kepolisian yang melanggar hukum
( onrechtmatige daad ), melekat pada lembaga kepolisian maupun pribadi/individu aparatut
kepolisian. Melekat tanggunggugat lembaga ketika pelanggaran hukum dilakukan oleh aparatur
kepolisian dalam rangka menjalankan tugas dan wewenang lembaga dan menimbulkan
kerugian atau penderitaan bagi rakyat, oleh karena itu akibat/konsekuensi yang timbul dari
tindakan tersebut melekat tanggunggugat lembaga. Akan tetapi apabila kesalahan tersebut
dengan sengaja dilakukan oleh aparatur kepolisian ketika menjalankan tugas dan
wewenangnya dengan tindakan sewenang – wenang ( willekeur )maupun penyalahgunaan
wewenang ( detournementdee pouvoir ) sehingga bertentangan dengan asas – asas umum
pemerintahan yang baik dan menimbulkan kerugian bagi rakyat, maka melekat tanggunggugat
secara pribadi/individu aparatur yang bersangkutan. Atau kesalahan tersebut dilakukan ketika
tidak sedang dalam menjalankan tugas dan wewenang kepolisian, walaupun jabatan kepolisian
ini melekat pada setiap anggota kepolisian tidak mengenal waktu selama masih dinas
kepolisian.

Kewenangan kepolisian untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang


bertanggungjawab, tindakan inipun harus tetap memperhatikan norma – norma hukum,
sehingga apabila bertentangan dengan norma hukum maka tindakan kepolisian yang dilakukan
dikategorikan melanggar hukum ( onrechtsmatige overheidsdaad ), oleh karena itu “ tindakan
lain “ tersebut harus : a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. Selaras
dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; c. Tindakan itu
harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Atas
pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; e. Menghormati hak – hak
asasi manusia.

Sehingga konsep dasar tindakan kepolisian tersebut dapat dikategorikan “ melanggar


hukum “ , apabila : a. Ada suatu perbuatan; b. Perbuatan itu harus melanggar hukum
( onrecgtmatig ); c. Pelaku harus mempunyai kesalahan ; d. Perbuatan itu menimbulkan
kerusakan atau kerugian ( ada hubungan caussal ‘ sebab akibat ‘ ) “; e. Norma yang 87
dilanggar bermaksud untuk melindungi kepentingan orang yang terkena atau orang yang
Aspek hukum atas tindakan kepolisian yang melanggar hukum (onrechtmatige daad)
meliputi tiga aspek, yakni aspek hukum pidana, aspek hukum perdata, dan aspek hukum
administrasi. Berkaitan dengan aspek hukum diatas, maka tanggunggugat secara kelembagaan
melalui peradilan umum dan peradilan administrasi, sedangkan tanggunggugat secara pribadi
(individu) melalui peradilan umum, melalui atasan yang Berwenang Menghukum (Ankum) dalam
pelanggaran disiplin, maupun melalui Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) terhadap
pelanggaran etika profesi Polri. Hal ini tergantung jenis dan macam peraturan hukum yang
dilanggar, dimana masing-masing memiliki mekanisme sendiri-sendiri.

Ditinjau dari subyek hukum tanggunggugat atas onrechtmatige overheidsdaad dalam


menjalankan tugas dan wewenang kepolisian, ada dua subyek hukum yang harus
bertanggungjawab, yakni tanggunggugat secara pribadi (individu) dan tanggungjawab lembaga
(jabatan).

1. Tanggung gugat Pribadi (individu)

Konsep dasar tanggunggugat terhadap pribadi (individu) tersebut sebagai


konsekuensi akibat kesalahannya secara pribadi telah nyata-nyata terbukti bersalah pada
saat menjalankan tugas dan wewenang tindakan kepolisian, dimana atas kesalahan
tersebut menimbulkan kerugian bagi seseorang, sehingga pihak yang menderita kerugian
dapat mengajukan tanggunggugat ganti kerugian terhadap individu maupun lembaga.
Landasan yuridis tanggunggugat perdata pada rumusan pasal 1365 B.W. (Bergelijke
Wetboek) yang berlaku bagi setiap orang maupun badan hukum. Tanggunggugat perdata
akan melekat ketika individu aparatur kepolisian ataupun lembaga kepolisian telah
melakukan pelanggaran hukum.

88
2. Tanggung gugat Lembaga (Jabatan)

a. Peradilan Tata Usaha Negara

Dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.


VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, dan diundangkannya Undang-
undang No. 2 Tahun 2002 sebagai pengganti Undang-undang No. 28 Tahun 1997
tentang Polri, maka Polri bukan lagi sebagai unsur Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) dan merupakan kepolisian sipil (civil policce –non militer) yang
memiliki karakter dan jati diri sendiri. Didalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002
tentang Polri ditegaskan, bahwa “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
Menjalankan fungsi pemerintahan adalah menjalankan fungsi administrasi , oleh
karena itu penyelenggaraan fungsi kepolisian adalah menyelenggarakan fungsi
administrasi.

Sebelum keluarnya kedua Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan


MPR No. VII/MPR/2000 serta Undang-undang RI No. 2 Tahun 2002, kepolisian tunduk
pada Undang-undang N0. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dimana dalam Bab
V tentang Hukum Acara Tata Usaha Militer pasal 265 ayat (1) menyebutkan, bahwa :
“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
usaha Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata dapat mengajukan gugatan tertulis
kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang yang berisi tuntutan supaya
Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan tersebut dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi”. Ketika kepolisian tunduk pada Undang-undang No. 37 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer, sengketa tata usaha yang terjadi dilingkungan kepolisian
diselesaikan melalui Peradilan Militer Tinggi, sebagai konsekuensi karena kepolisian 89
masih merupakan bagian dari unsur ABRI.
Setelah terjadi terjadi pemisahan secara kelembagaan dan perbedaan
peran antara Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian, maka kepolisian tidak lagi
tunduk pada Undang-undang No. 37 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, tetapi
tunduk pada Peradilan Umum. Dengan berlakunya Peradilan Umum bagi Kepolisian
implikasinya Kepolisian bukan lagi militer, akan tetapi sebagai aparatur sipil dan
tunduk pada hukum sipil, sehingga anggota kepolisian memiliki persamaan hukum
dengan masyarakat sipil. Lembaga kepolisian menyelenggarakan fungsi
pemerintahan yang masuk pada tugas dan wewenang administrasi dan
merupakan/sebagai obyek hukum administrasi, maka lembaga kepolisian masuk
pada lingkup Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Oleh karenanya segala
keputusan (beschikkking) yang dikeluarkan oleh kepolisian sebagai kategori
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan wewenang penyelenggaraan kepolisian
merupakan obyek hukum administrasi, sehingga apabila timbul sengketa maka
penyelesaiannya melalui gugatan PTUN.

b. Pra Peradilan

Tanggunggugat yudisial terhadap pra peradilan diajukan melalui peradilan


umum. Tanggunggugat ini lazimnya disebut dengan istilah pra peradilan, yakni untuk
menguji sah tidaknya tindakan Polri yang berkaitan dengan penangkapan, penahanan,
dan penghentian penyidikan serta ganti rugi dan atau rehabiltasi, yang secara lengkap
diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, pasal 77 yang substansinya, bahwa : “Pengadilan negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-
undang ini tentang : a. Sah atau tidaknya penagkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan; b. Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi
seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan.”
90
Dengan demikian dalam gugatan pra peradilan atas keputusan tidak sahnya
penangkapan, penahanan dan penghentian penyidikan bukanlah merupakan lembaga yang
melanggar hukum, akan tetapi individu (aparatur) yang melanggar hukum dalam menjalankan
keekuasaannya. Namun demikian harus perlu ada pemetaan yang jelas antara kesalahan
lembaga atau kesalahan pribadi (individu) aparatur lembaga.

c. Mal Administrasi

Istilah maladministrasi (maladministration) dalam Kamus Ilmiah Populer


mengandung arti “administrasi yang buruk atau pemerintahan buruk”. Menurut Senaryati
Hartono “maladministrasi diartikan secara umum sebagai perilaku yang tidak wajar
(termasuk penundaan pemberian pelayanan), kurang sopan dan tidak peduli terhadap
masalah yang menimpa seseorang disebabkan oleh perbuatan penyalahgunaan
kekuasaan, termasuk penggunaan kekuasaan secara semena-mena atau kekuasaan
yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar, tidak adil, intimidatif atau diskriminatif,
dan tidak patut didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan undang-undang
atau fakta tidak masuk akal, atau berdasarkan tindakan diskriminatif”. Pendapat
“Klasifikasi Crossman” yang disitir Anton Suyata “tindakan-tindakan maladministrasi
antara lain mencakup berprasangka, kelalaian, kurang peduli, keterlambatan, bukan
wewenangnya, tindakan tidak layak, jahat, kejam dan semena-mena”.

91
KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (POLRI) DAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE

A. Standar Kepolisian yang baik ( Good Police Standard )

Materi sebelumnya telah banyak membahas tentang tugas dan


wewenang POLRI yang dibebankan oleh Undang-Undang, jika dipahami secara
dalam tugas-tugas POLRI sangat lah mulia dan baik, akan tetapi tugas tersebut
menjadi sebaliknya manakala pelaksanaannya tidak mengindahkan norma-norma
yang ada dalam masyarakat, baik norma hukum, kesopanan, sosial dan agama.

Fungsi Kepolisian yang menyelenggarakan keamanan dan ketertiban


masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat, tertuju pada pemeliharaan dan menjaga tetap berlakunya dan
ditaatinya norma-norma yang ada di dalam masyarakat, sehingga kehidupan dalam
masyarakat menjadi aman, tentram, tertib, damai dan sejahtera.

92
Tugas-tugas Kepolisian dimaksud akan terselenggara dengan baik, apabila
dijalankan oleh Kepolisian yang berorientasi pada masyarakat yang dilayani, yang meliputi :

1. Orientasi pada fungsi Kepolisian yang ideal, artinya tugas-tugas


Kepolisiandiselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat aman dan tertib.
Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan
berpedoman pada asas-asas :

a. Legitimasi, artinya dalam menjalankan tugas Kepolisian mendapatkan


kepercayaan dari masyarakat.
b. Accountability, artinya tugas dan wewenang Kepolisian atas keberhasilan
maupun kegagalannya dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
c. Didalam penyelenggaraan tugas Kepolisian wajib menjunjung tinggi hak azasi
manusia.
d. Kekuasaan Kepolisian sebagai kekuasaan yang mandiri.
e. Menjamin adanya pengawasan dari masyarakat.

2. Orientasi pada lembaga Kepolisian yang berfungsi secara ideal, yakni secara efektif dan
efisien dalam upaya mencapai tujuan dibentuknya lembaga Kepolisian, yaitu untuk
mewujudkan keamanan dalan negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,
pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat
dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia ( pasal 5 undang-undang nomor 2 tahun
2002 ).

93
Tugas kepolisian dalam rangka penegakan hukum harus memperhatikan asas – asas yang
melekat dalam fungsi kepolisian, antara lain :

a. Asas legalitas; adalah segala tindakan Kepolisian yang dilakukan harus berdasarkan atas
hukum atau kuasa Undang-Undang.

b. Asas kewajiban; yaitu apa yang dilakukan Kepolisian karena melekat kewajibannya yang
diemban, sehingga dalam menyelenggarakan tugasnya dengan penuh keikhlasan, penuh
dedikasi tanpa adanya pamrih semata-mata untuk kepentingan tugas.

c. Asas partisipasi; yakni tindakan yang dilakukan Kepolisian diusahakan mendapat dukungan
atau partisipasi dari masyarakat, karena tugas-tugas yang diemban oleh Kepolisian tidak
akan dapat terwujud sesuai harapan tanpa adanya dukungan dan partisipasi dari
masyarakat, yakni dalam bentuk komitmen masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi
dalam mewujudkan POLRI yang mandiri, profesional dan memenuhi harapan masyarakat.

d. Asas preventif; bahwa tindakan Kepolisian lebih mengutamakan pencegahan dari pada
penindakan.

e. Asas subsidiaritas; adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Kepolisian


mengadakan bantuan dan hubungan serta kerjasama dengan berbagai pihak baik di dalam
negeri maupun di luar negeri yang bersifat fungsional.

94
Di dalam membentuk POLRI yang ideal dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat yang
dilayani, ada beberapa rumusan dan syarat yang telah disepakati dunia, antara lain :

a. Well Motivated; maksudnya untuk mendapatkan mutu POLRI yang baik seorang calon
kader POLRI harus memiliki motivasi yang baik ketika seorang calon POLRI menjatuhkan
pilihannya untuk menjadi anggota POLRI. Motivasi inilah yang akan ikut memberi warna
pemolisian seorang anggota POLRI dalam mengembangkan karirnya, dan hal ini dapat
dipantau sejak dari awal rekruitmennya.
b. Well Educated; untuk mendapatkan calon anggota POLRI yang baik harus dididik untuk
menjadi anggota POLRI yang baik. Hal ini menyangkut system pendidikan, kurikulum dan
proses belajar mengajar yang cukup rumit dan kompleks.
c. Well Trainned; untuk memperoleh anggota POLRI yang baik perlu adanya pelatihan yang
baik dengan melalui proses managerial yang ketat agar pendidikan dan pelatihan yang
singkron mampu menjawab berbagai tantangan POLIRI aktual dan tantangan di masa depan.
d. Well Equipment; hal ini menyangkut masalah peralatan POLRI yang meliputi sarana dan
prasarana serta teknologi POLRI.
e. Wellfare; yakni dibutuhkannya kesejahtraan prajurit POLRI cukup memadai.

Oleh karena POLRI dihadapkan pada kultur, idiologi bangsa dan karakteristik masyarakat
yang beraneka ragam maka disamping 5 ( lima ) rumusan Kepolisian yang ideal yang
disepakati dunia, perlu adanya penambahan terutama yang berkaitan dengan
pengorganisasian POLRI dan pengawasan, sehingga mutu POLRI yang ideal di Indonesia
meliputi :
f. Motivasi dan moralitas yang baik dari calon anggota POLRI hal ini ditelusuri sejak rekruitmen
calon hingga dinas di Kepolisian.
g. Dasar pendidikan umum dan pendidikan POLRI yang memadai, sesuai dengan tuntutan
tugas, sedangkan pendidikan POLRI harus sesuai dengan kurikulum yang berorientasi pada
tugas utama POLRI dan tantangan tugas dimasa datang.
95
c. Melakukan pelatihan secara rutin dan berkelanjutan.
d. Memiliki dan mampu menggunakan peralatan yang memadai sesuai dengan perkembangan
teknologi dan masyarakat.
e. Pemberian kesejahteraan yang cukup berdasarkan kebutuhan normal dalam masyarakat,
yang berorientasi pada gradasi golongan kepangkatan dan masa berdinas.
f. Pengorganisasian yang efektif berorientasi pada tugas dan wewenang dan struktur
ketatanegaraan, hal ini untuk mewujudkan POLRI yang benar-benar mandiri.
g. Adanya pengawasan yang baik dalam system organisasi.
 
Baik dan tidaknya POLRI dalam arti sebagai fungsi atau tugas maupun lembaga, ditentukan
oleh sumber daya manusia, system organisasi dan sarana prasarana maka hal tersebut harus
seimbang ( balance )

Dengan demikian untuk mewujudkan POLRI yang berorientasi pada kebutuhan


masyarakat yang dilayani perlu dirinci tiga kebutuhan diatas dengan standar yang baik
atau ideal, antara lain :

1. Sumber Daya Manusia


a. Setiap anggota POLRI harus memiliki moral yang baik ( jujur, benar dan adil ),
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Memahami dan menjiwai doktrin-doktrin POLRI.
c. Memiliki dedikasi, tanggungjawab dan kesadaran akan tugas dan wewenangnya untuk
kepentingan masyarakat.
d. Memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional POLRI.
e. Bekerja atas dasar kewajiban.
f. Mengindahkan norma-norma dalam masyarakat (agama, kesopanan, sosial dan
hukum).

96
g. Bersikap ramah dan sopan tidak otoriter dan kejam.
h. Patuh dan taat terhadap hukum.
i. Bersikap impresial dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
j. Kesadaran belajar dan berlatih untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan
menghadapi tantangan kedepan.
k. Menjunjung tinggi dan menjaga budaya dan moral bangsa serta adat istiadat
masyarakat yang ada.
 
2. System organisasi

a. Organisasi dengan struktur yang efektif dan efisien ( miskin struktur kaya fungsi ).
b. Memperbesar dan mengefektifkan system pengawasan.
c. Memperluas peluang belajar dan berlatih bagi anggota.
d. Efektifitas pemberian reward dan punishment.
e. Pembagian bidang tugas dan wewenang yang jelas.
f. Efektifitas kerjasama antar bidang.
g. Pertanggungjawaban tugas dan wewenang secara berjenjang.
h. Kesejahteraan personil yang layak dan memadai.

3. Sarana dan Prasarana

a. Jumlah dan efektifitas memadai.


b. Disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan teknologi.
c. Dapat difungsikan sesuai kebutuhan.
d. Pemeliharaan dan perawatan yang cukup.

97
Kepolisian yang baik harus mampu menunjukan gaya penampilan dalam
melaksanakan penjabaran penyelenggaraan tugas dan wewenang yang meliputi, antara
lain :

a. Bidang Penegakan Hukum.


Di dalam penegakan hukum POLRI melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
perkara pidana, berpegang pada etika profesi Kepolisian ( Kode Etik Profesi Kepolisian ),
bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma norma yang lain yakni
norma agama, kesopanan dan kesusilaan serta menjunjung tinggi hak azasi manusia.
Berpedoman pada azas legalitas ( Legaliteitsleer ), artinya untuk sahnya segala tindakan
POLRI ( rechmatig ) harus memenuhi sarat :

1. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


2. Tidakan dilakukan untuk memelihara ketertiban, ketentraman dan keamanan umum.
3. Tindakan dilakukan untuk melindungi hak-hak seseorang.
4. Bersikap adil tidak memihak, jujur dan objektif serta memiliki kemampuan legal
reasioning yang tinggi.
5. Harus berpegang pada asas-asas umum pemerintahan yang baik ( algemene
beginselen van behoorlijk bestuur ).

b. Bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban.


POLRI harus bertindak secara proaktif berpegang pada asas preventif dan asas kewajiban
umum POLRI, yakni memelihara keamanan dan ketertiban, mengembangkan asas
partisipasi dan subsidiaritas, dalam arti menumbuhkan kepercayaan dan partisipasi
masyarakat untuk mendukung dan berpartisipasi dalam tugas-tugas POLRI serta mampu
menilai asas kepentingan umum ( principle of public service ) secara objektif. Di dalam
pelaksanaannya mampu mentransformasikan dari pola tradisional menjadi POLRI yang
modern.
98
c. Bidang pengayoman.
Perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat menumbuhkan partisipasi masyarakat
bahwa POLRI berasal dari rakyat untuk rakyat, dalam tindakannya bersikap jujur, adil,
mengutamakan kesamaan hak dalam mendapatkan pengayoman, perlindungan dan
pelayanan dengan tidak diskriminasi. Bertindak bijak ( sapiently ), terbuka ( transparan )
dengan pendekatan persuasif tidak terkesan angkuh dan arogan sebagai birokrat.
 
d. Mampu mengembangkan diri sebagai POLRI modern
Dalam kedudukan tersebut lembaga POLRI harus berorientasi pada penataan administrasi
POLRI yang modern pula dan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus secara
profesional dan proporsional, artinya dilaksanakan secara hati-hati, cermat, teliti sesuai
dengan bidang keahliannya dan tidak mencampuradukkan kewenangannya sebagai
anggota POLRI.
 
e. Memiliki organisasi yang utuh.
POLRI adalah suatu kesatuan yang utuh sebagai Kepolisian Nasional yang secara
organisatoris diatur atau disusun secara berjenjang dari tingkat pusat ( MABES ) sampai
tingkat daerah ( POLDA ) dan Resort (POLRES ) sampai dengan tingkat Sektor
( POLSEK ), kesemuanya menjalankan fungsi administrasi POLRI yang harus berpegang
pada asas kesamaan dalam mengambil keputusan. Tanggungjawab keputusan administrasi
menjadi tanggung jawab pada kesatuan yang mengeluarkan dan berjenjang secara bottom
up ( dari bawah keatas )

99
B. Usaha mencapai POLRI Yang Baik ( Good Police Effort )

Polri akan menjadi baik apabila ada usaha untuk baik. Pengetian POLRI yang
baik mengandung makna, bahwa dalam penyelenggaraan POLRI berorientasi pada
masyarakat yang dilayani, profesional, bersih, simpatik, jujur, adil ( tidak diskriminatif ) ,
berorientasi pada adat istiadat daerah setempat dan berwibawa.

Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dalam mewujudkan POLRI yang


baik ( Good Police Effort ) ini dapat disistematisasi ke dalam enam kelompok
antara lain :

1. Pembentukan Instrumen Hukum.


2. Doktrin-doktrin POLRI.
3. Kesejahteraan Personil POLRI.
4. Pembangunan dan Pembinaan kekuatan.
5. Reformasi POLRI.
6. Seminar-seminar untuk meningkatkan sumber daya manusia anggota POLRI.

Quis pertemuan kuliah ke 14 :

7. Jelaskan apa alasan POLRI dalam menjalankan tugasnya perlu pengawasan

8. Jelaskan mengapa diperlukan standar kepolisian yang baik dalam rekruitment POLRI

101
Selamat Meraih Cita-Cita

Anda mungkin juga menyukai