Anda di halaman 1dari 19

Clinically Significant Potential

Drug-Drug Interactions
In COVID-19 and Comorbid
Therapy

Kelompok 1:
• Siti Alfiyah (201703111046)
• Moraganda Kristianto Simamora (20170311001)
• Yolanda Febriyanti (20180311160)
• Ani Aryani Siti Maysaroh (20190311062)
Pengertian
 Corona Virus Disease-2019 (COVID-19) merupakan
penyakit baru yang disebabkan oleh virus corona yang
menyerang saluran pernapasan dan pertama kali
dilaporkan di Wuhan, China pada 31 Desember 2019.

 Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) adalah


penyakit yang disebabkan oleh sindrom pernafasan akut
yang parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dan dapat
diperburuk oleh penyakit penyerta.
Gejala COVID 19
Menurut pusat pengendalian dan pencegahan penyakit bahwa gejala
yang timbul yaitu:
Demam (83-99%)
Batuk (59-82%)
Kelelahan (44-70%)
Anoreksia (40-84%)
Kesulitan bernapas (31-40%)
Berdahak (28-33%)
Mialgia (11-35%)
Gejala yang timbul dirasakan 2-14 hari setelah penderita terpapar.
- Pada lansia dan orang yang mempunyai penyakit penyerta akan lebih
beresiko besar terhadap penularanna dan bisa menyeabkan kematian.
Menurut penelitian (Wu & McGoogan, 2020), pasien kritis
COVID-19 memiliki penyakit penyerta antara lain:
Penyakit Kardiovaskular 10,5%
Diabetes Mellitus 7,3%
Penyakit Pernapasan Kronis 6,3%
Hipertensi 6%
Penyakit Onkologis 5,6%
Terapi COVID 19
Hingga saat ini belum ada obat yang disetujui FDA
untuk terapi COVID-19.
Hydroxychloroquine
chloroquine sulfate
Di Rumah Sakit obat tersebut diberikan kepada pasien
COVID-19 dewasa dengan berat badan lebih dari 50 kg.
Menurut Perhimpunan Respirologi Indonesia, terapi
COVID 19 meliputi:
Klorokuin
Hidroksiklorokuin
Azitromisin
Oseltamivir
Ritonavir
Lopinavir
Remdesivir
Interaksi Obat
Pada pemilihan terapi COVID-19 perlu mempertimbangkan interaksi
obat COVID-19 dengan pengobatan penyakit penyerta. Karena, sebagian
besar pasien dengan penyakit penyerta mendapatkan polifarmasi,
sehingga akan meningkatkan risiko Potensi Interaksi Obat-Obat (PDDI).

Interaksi obat akan terjadi jika obat diberikan dengan oat lain, jamu,
makanan, minuman atau aan kimia.
 Keuntungan : dapat memberikan keuntungan dengan meningkatkan
efektivitas obat.
 Kerugiannya: mengurangi efektivitas obat, efek samping, bahkan
meneabkan toksisitas.
Interaksi Obat

Berdasakan tingkat
Berdasakan mekanismenya Berdasakan kejadiannya
kepaahannya

- Minor: Interaksi obat tidak


- Farmasetika memiliki efek yang
- Interaksi obat aktual
- Farmakokinetika signifikan secara klinis.
- Potensial
- Farmakodinamika
- Mayor: Memerlukan
pemantauan ketat selama
terapi.

- Kontraindikasi:
Menunjukkan bahwa obat
tersebut tidak boleh
diberikan kombinasi karena
risikonya lebih besar
daripada manfaatnya.
KLOROKUIN FOSFAT
 Klorokuin fosfat adalah antimalaria yang dimetabolisme dan
mempengaruhi metabolisme obat lain yang digunakan bersama dan
dimetabolisme di CYP2D6 dan CYP3A4

 Magnesium trisilikat yang merupakan antasida memiliki interaksi


farmakokinetik sehingga mengurangi penyerapan klorokuin dan
hidroksiklorokuin. Pembubaran tablet klorokuin juga ditunda oleh
magnesium trisilikat. Penggunaan klorokuin dan antasida perlu diberikan
dalam 2-4 jam (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, 2019)

 Simetidin 400 mg selama 4 hari mengurangi metabolisme dan pembersihan


klorokuin 600 mg. Hal ini meningkatkan waktu paruh simetidin menjadi
3,1-4,6 hari pada 10 pasien. Penggunaan kombinasi ini dianjurkan untuk
dihindari dan diganti dengan ranitidine yang tidak berinteraksi dengan
klorokuin dan hidroksi klorokuin (Ette, 1987; Baxter & Stockley, 2010).
HYDROXYCHLOROQUINE

 Terdapat 2 laporan kasus terkait penggunaan hidroksiklorokuin dengan


rifampisin. Rifampisin adalah penginduksi enzim, sehingga meningkatkan
metabolisme hidroksiklorokuin yang menyebabkan peningkatan
pembersihan hidroksiklorokuin dan keparahan lupus pada kedua pasien.
Meskipun hanya ada 2 laporan kasus tentang interaksi ini, efeknya
signifikan. Dalam pemberian kedua obat tersebut, dianjurkan untuk
meningkatkan dosis hidroksiklorokuin dan memantau secara ketat
(Harvey et al., 1995; Ahmad et al., 2012).

 Hydroxychloroquine menurunkan degradasi reseptor insulin-insulin


lisosom dan meningkatkan sensitivitas insulin. Beberapa penelitian telah
menunjukkan perbaikan dalam profil lemak dan kadar gula darah.
Pemantauan gula darah masih terus dilakukan untuk mencegah terjadinya
hipoglikemia (Seikhbahaie, 2016; Khunti, 2020; Wondafrash et al., 2020).
 Berinteraksi dengan beta-blocker kecuali atenolol, cartenolol, dan nadolol
dengan tingkat keparahan sedang, sehingga perlu memantau tekanan darah
secara ketat selama terapi. Interaksi dengan digoksin memerlukan
pertimbangan pemilihan obat lain karena dapat meningkatkan kadar
digoksin sehingga meningkatkan risiko toksisitas digoksin.

 Penggunaan hydroxychloroquine dengan mefloquine tidak dianjurkan


karena dapat meningkatkan risiko perpanjangan QTc dan kejang. Jika
harus digunakan bersamaan, mefloquine diberikan 12 jam setelah dosis
terakhir hydroxychloroquine (Lacy et al., 2010). dan nadolol dengan
tingkat keparahan sedang, sehingga perlu untuk memantau tekanan darah
secara ketat selama terapi
AZITROMISIN
 Azitromisin adalah antibiotik golongan makrolida yang
diindikasikan untuk pneumonia. Azitromisin meningkatkan kadar
glikosida jantung, sehingga tidak dianjurkan untuk digunakan
bersama-sama (Bizjak, 1997; Gomes, 2009).

 Sejalan dengan digoxin, perpanjangan QTc terjadi pada pasien


ketika azitromisin digunakan bersama dengan amiodaron.
Disarankan untuk menggantinya dengan obat lain (Samarendra et
al., 2001; Baxter & Stockley, 2010).

 Azitromisin dapat menurunkan metabolisme siklosporin dan


warfarin sehingga perlu dilakukan pemantauan selama terapi.
Peningkatan kadar tacrolimus bila digunakan bersamaan dengan
azitromisin, perlu dilakukan pemantauan (Mori et al., 2005)
LOPINAVIR/RITONAVIR
 Lopinavir dan ritonavir adalah anti-HIV protease inhibitor. Kelas ini
memiliki pDDI paling banyak dibandingkan terapi COVID-19 lainnya.
Pemantauan ketat harus dilakukan jika lopinavir/ritonavir digunakan
bersama dengan antasida, digoxin, teofilin, tramadol, dan warfarin.

 Ritonavir adalah penghambat enzim yang dapat meningkatkan kadar


digoksin. Digoxin memiliki indeks terapeutik yang sempit sehingga
penambahan sedikit saja dapat mencapai kadar toksik (Ding et al.,
2004).

 Interaksi obat kategori D cukup besar dengan lopinavir/ritonavir. Obat


yang berinteraksi adalah obat yang rutin diminum untuk terapi
komorbid. Kadar Calcium Channel Blocker (CCB) non-dihydropyridine
akan meningkat karena protease inhibitor menghambat metabolismenya.
 Peningkatan kadar HMG-CoA reductase inhibitor juga terjadi bila
digunakan bersama dengan lopinavir/ritonavir, sehingga dianjurkan untuk
memodifikasi obat atau menggunakan dosis minimal dan memantau
terjadinya rhabdomyolysis (Piliero, 2002; UCSF, 2019)

 Protease inhibitor meningkatkan kadar ketoconazole sehingga dosis


maksimum ketoconazole adalah 200 mg/hari jika diberikan bersamaan
dengan ritonavir. Efek fenitoin dan pil KB mengurangi tingkat
lopinavir/ritonavir. Kita perlu diganti dengan obat lain untuk terapi yang
efektif (Lim et al., 2004; UCSF, 2019).

 Protease inhibitor meningkatkan kadar ketoconazole sehingga dosis


maksimum ketoconazole adalah 200 mg/hari jika diberikan bersamaan
dengan ritonavir. Efek fenitoin dan pil KB mengurangi tingkat
lopinavir/ritonavir. Kita perlu diganti dengan obat lain untuk terapi yang
efektif (Lim et al., 2004; UCSF, 2019)
OSELTAMIVIR
 Oseltamivir adalah antivirus influenza yang menghambat
neuraminidase. Oseltamivir menghambat replikasi vaksin influenza
sehingga pemberian oseltamivir dianjurkan hingga 2 minggu
setelah pemberian vaksin influenza, sedangkan vaksin influenza
dapat diberikan setelah 48 jam oseltamivir dihentikan.

 Tingkat oseltamivir meningkat pada pasien yang memakai


probenesid bersama dengan oseltamivir. Hal ini masih aman karena
oseltamivir memiliki indeks terapeutik yang luas sehingga dapat
meningkatkan efektivitas oseltamivir (Baxter & Stockley, 2010).
REMDESIVIR

 Tidak ada data tentang interaksi obat remdesivir. Hal ini


kemungkinan karena tidak ada interaksi atau data terkait interaksi
obat remdesivir. Saat ini remdesivir memiliki EUA dari FDA untuk
terapi COVID-19.

 Keputusan ini dibuat berdasarkan uji klinis yang telah dilakukan


bersama dengan NIH menunjukkan hasil yang positif dan
signifikan. Remdesivir dapat diberikan kepada pasien anak dan
dewasa COVID-19 yang memiliki kadar oksigen rendah atau
membutuhkan ventilator (Food and Drug Administration, 2020).
KESIMPULAN
 Dalam memberikan terapi COVID-19 yang efektif, interaksi obat-
obat tidak boleh diabaikan. Obat COVID-19 memiliki pDDI yang
cukup banyak melalui mekanisme absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi. Apoteker dan tim medis yang merawat
pasien bertanggung jawab untuk mencegah efek interaksi obat-obat
yang tidak diinginkan. Dengan demikian, kualitas hidup pasien
COVID-19 dengan penyakit penyerta akan meningkat.
SEKIAN & TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai