Anda di halaman 1dari 90

PEMICU 8

BLOK SISTEM PENGINDERAAN


Gautami
405160214
Learning Issues
1. Menjelaskan trauma pada mata: 2. Menjelaskan trauma pada telinga
Laserasi kelopak mata Barotrauma
Hifema Ruptur Membran Timpani
Erosi kornea Fraktur Tulang Temporal
Dislokasi lensa
Edema kornea
Hemoragi konjungtiva
Benda asing (kornea, konjungtiva,
intraokular)
Luka bakar kornea
LI 1
Trauma pada Mata
LASERASI KELOPAK MATA
• Merupakan trauma pada mata yg sering ditemukan
• Etiologi: kecelakaan kendaraan, perkelahian, terkena benda tajam/
tumpul, jatuh, gigitan hewan & ledakan
• Pemeriksaan harus memperhatikan lokasi tepatnya, kedalaman &
keparahan laserasi, apakah ada benda asing yg tertinggal & mendeteksi
trauma mata & orbita yg relevan, termasuk juga apparatus lakrimalis
• Jika terdapat laserasi kelopak mata full thickness, pikirkan kemungkinan
open globe injury

Paul Riordan-Eve, John PW. Vaughan and Asbury General Opthalmology. 17 th ed. USA: McGraw-Hill, 2008
• Laserasi Superficial: laserasi parallel pada (Crawford tube) yg dimasukkan ke apparatus
eyelid margin tanpa gaping bisa dijahit dengan lakrimalis & diikat di hidung, lalu laserasi
benang 6-0 black silk atau nylon; jahitan dibuka dijahit. Alternatif: repair satu kanalikulus bisa
setelah 5-6 hari menggunakan monocanalicular stent (Mini
• Laserasi Lid margin: laserasi tanpa penutupan Monoka). Tube dibiarkan in situ selama 3-6
luka & untuk mencegah notching harus dijahit bulan
dengan susunan optimal. • Tetanus status: Sangat penting memastikan
• Laserasi dengan mild tissue loss: hanya cukup status vaksinasi tetanus pasien baik setelah
untuk mencegah direct primary closure & bisa laserasi apapun. Tanpa imunisasi sebelumnya,
ditangani dgn melakukan lateral cantholysis diberikan Tetanus Ig 250. Jika sebelumnya
untuk meningkatkan mobilitas lateral imunisasi tapi tidak di booster dalam 10 tahun
• Laserasi dengan extensive tissue loss: bisa terakhir, diberikan tetanus toxoid IM/subkutan
memerlukan prosedur rekonstruktif mayor mirip
dgn prosedur setelah reseksi kanker
• Laserasi Canalicular: harus diperbaiki dalam
24 jam, laserasi dihubungkan dgn silicone tube

Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. 8 th ed. Philadelphia: Elsevier Limited. 2016
Bowling B. Kanski’s clinical
ophthalmology a systematic
approach. 8th ed.
Philadelphia: Elsevier
Limited. 2016
Tatalaksana
• Semua laserasi harus di debridement
• Antibiotik sistemik untuk profilaksis perlu dipikirkan untuk diberikan pada pasien
dgn gigitan hewan & luka kotor, terutama jika pasien tidak segera datang setelah
terjadi laserasi
• Laserasi superfisial yg tidak mengenai eyelid margin & regio canthus medial ditangani
sebagaimana laserasi kulit ditempat lain
• Laserasi full thickness yg mengenai eyelid margin memerlukan rujukan untuk
memastikan realignment tarsal plate, mucocutaneus junction & lash line benar
• Laserasi yg mengenai regio canthus medial memerlukan explorasi microsurgery untuk
memperbaiki kanalikulus lakrimalis yg laserasi (biasanya dengan memasukkan
lacrimal stent)
• Realignment dan rekonstruksi tendon canthus medial untuk mencegah kemungkinan
epiphora & membatsi abnormalitas kosmetik
Paul Riordan-Eve, John PW. Vaughan and Asbury General Opthalmology. 17 th ed. USA: McGraw-Hill, 2008
HIFEMA
= keadaan dimana terdapat darah didalam bilik mata depan (COA) dapat
terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan
siliaris

Tanda dan gejala:


• Nyeri disertai dengan epifora dan blefarospasme
• Penglihatan pasien sangat menurun
• Kadang dapat dijumpai iridoplegia dan iridodialisis

Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. 8 th ed. Philadelphia: Elsevier Limited. 2016
Komplikasi
• Hifema sekunder
• Glaukoma sekunder
• Siderosis bulbi → kebutaan

Pengobatan
• Pasien tidur dengan kasur ditinggikan 30 derajat
• Diberikan koagulasi dan mata ditutup
• Biasanya hifema dapat hilang sempurna
• Asetazolamida diberikan bila terdapat penyulit glaukoma
• Parasentesis dilakukan bila hifema disertai tanda” imbibisi kornea, glaukoma
sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila setelah 5 hari tidak berkurang
hifemanya
Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. 8 th ed. Philadelphia: Elsevier Limited. 2016
Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. 8 th ed. Philadelphia: Elsevier Limited. 2016
EROSI KORNEA
Erosi epitel kornea = perlekatan
yang lemah dan abnormal antara sel
basal dengan membran dasarnya.

• Faktor presipitasi: trauma, operasi


kornea dan distrofi kornea
• Gejala: Nyeri, fotofobia, merah,
plefarospasme, mata berair
• Tanda: defek epitel, area pooling
fluorosens dan tear film breakup

Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. 8 th ed. Philadelphia: Elsevier Limited. 2016
Tatalaksana
Akut Rekuren
• Antibiotik salep 4 kali sehari dan • Lubrikan gel topikal atau salep salin
siklopentolat 1% 2 kali sehari hipertonik
• Pressure patching dan bandage • Debridement dengan laser
contact lens sebaiknya tidak perlu • Long-term extended-wear bandage
 tidak meningkatkan kesembuhan contact lenses.
• Debridement area dengan spons
selulosa steril atau aplikator kapas
• Diklofenak topikal 0,1% 
mengurangi nyeri
• Sodium klorida hipertonik 5% 
membantu adesi epitel
Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. 8 th ed. Philadelphia: Elsevier Limited. 2016
DISLOKASI LENSA
Ectopia Lentis
= pergeseran lensa dari posisi normal akibat rupturnya zonula zinii dikarenakan herediter
atau didapat.

 Dislokasi lensa dapat terjadi total (luksasi) ataupun sebagian (subluksasi)

• Vaughan DG, Taylor A, Paul RE. General Ophtalmology 17th edition.


• Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. 8 th ed. Philadelphia: Elsevier Limited. 2016
Etiologi
• Didapat: Trauma, Pseudoexfoliation, Inflammation (chronic cyclitis, syphilis),
Hypermature cataract, Large eye (high myopia, buphthalmos), Anterior uveal tumours.
• Familial ectopia lentis
• Ectopia lentis et pupilae
• Aniridia
• Marfan syndrome
• Well- Marchesani Syndrome
• Homocystinuria
• Other systemic condition (sulfite oxidase deficiency (ectopia lentis is universal), and
occasionally Stickler syndrome (retinal detachment is the most common ocular
manifestation), Ehlers–Danlos syndrome and hyperlysinaemia.)

Paul Riordan-Eve, John PW. Vaughan and Asbury General Opthalmology. 17 th ed. USA: McGraw-Hill, 2008
Dislokasi Lensa Herediter
• Biasanya bilateral dan mungkin merupakan anomali keluarga yang terisolasi atau karena
gangguan jaringan ikat(homocystinuria, sindrom Marfan atau sindrom Weill-Marcehsani)
• Penglihatan kabur, terutama jika lensa terlepas dari garis penglihatan.
• Jika dislokasi parsial, tepi lensa dan serat zonular yang menahannya dapat terlihat pada
pupil. Jika lensa benar-benar terkilir ke dalam vitreous, lensa ini dapat dilihat dengan
ophthalmoscope.
• Lensa yang dislokasi sebagian dipersulit pembentukan katarak. Jika itu kasusnya,
katarak mungkin harus dilepas, tetapi prosedur ini harus ditunda selama mungkin karena
ada risiko kerugian vitreus yang signifikan, predisposisi pada pelepasan retina.
• Jika lensa bebas dalam vitreous, menyebabkan perkembangan glaukoma tipe yang
berespons buruk terhadap pengobatan. Jika dislokasi parsial dan lensa jernih, prognosis
visualnya bagus.

Paul Riordan-Eve, John PW. Vaughan and Asbury General Opthalmology. 17 th ed. USA: McGraw-Hill, 2008
Dislokasi Lensa Traumatik

• Dapat terjadi setelah cedera memar seperti pukulan ke mata dengan


kepalan tangan.
• Jika dislokasi parsial, mungkin tidak ada gejala; tetapi jika lensa
mengambang di vitreous, pasien memiliki penglihatan kabur dan biasanya
mata merah.
• Iridodonesis = iris bergetar ketika pasien menggerakkan mata,merupakan
tanda umum dari dislokasi lensa dan karena kurangnya dukungan lensa.
Ini hadir dalam lensa yang terkilir komplit atau parsial.

Paul Riordan-Eve, John PW. Vaughan and Asbury General Opthalmology. 17 th ed. USA: McGraw-Hill, 2008
Komplikasi

• Komplikasi kelainan refraksi jenis apa pun tergantung pada posisi lensa,
distorsi optik karena astigmatisme dan / atau efek tepi lensa, glaukoma
dan,uveitis yang disebabkan oleh lensa.

Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. 8 th ed. Philadelphia: Elsevier Limited. 2016
Tatalaksana
• Spectacle correction memperbaiki astigmatisme yang disebabkan oleh
lensa miring atau efek tepi pada mata dengan subluksasi ringan. Aphakic
correction dapat memberikan hasil visual yang baik jika sebagian besar
dari sumbu visual aphakic dalam keadaan tidak berubah.
• Surgical removal lens diindikasikan untuk ametropia yang tidak dapat
ditatalisasi, ambliopia meridional, katarak, glaukoma yang diinduksi oleh
lensa atau uveitis, atau sentuhan endotel.

Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. 8 th ed. Philadelphia: Elsevier Limited. 2016
EDEMA KORNEA
• Kondisi paling umum postoperasi, namun bersifat ringan dan transien
• Mata dengan kelainan endotel dan hitung sel rendah  peningkatan risiko
• Etiologi: komplikasi bedah yang berkepanjangan, pseudoeksfoliasi,
trauma endotel intraoperatif, dan postoperasi TIO
• Penggunaan viskoelastik dan scleral tunnel incision  dapat melindungi
endotel korneal

Kanski JJ, Bowling B. Clincal ophtalmology: A systematic approach. 7th ed. UK: Elsevier Saunders, 2011.
HEMORAGI KONJUNGTIVA
• Penyebab:
• Surgery
• Conjunctivitis
• Trauma
• Idiopatik: t.u pd org tua
• Coughing, sneezing and vomiting
• Faktor risiko:
• Hipertensi
• Penggunaan contact lens
• Tanda dan gejala:
• Biasa asimtomatik
• Red brightred appearance
• Terkadang bisa terasa ada nyeri tajam, snapping atau popping sensation
• Tatalaksana:
• Darah akan terabsorpsi dg sendirinya dlm 2-3 minggu

• Brad Bowling. Kanski’s Clinical Ophtalmology: A systematic approach. 8th ed. Elsevier;2016
• Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 18th ed. McGraw Hill; 2011.
BENDA ASING OKULAR
BENDA ASING DI
KONJUNGTIVA
• Benda asing konjungtiva harus dicurigai jika pasien datang dengan sensasi sesuatu di
mata.

• Pasien dengan benda asing konjungtiva sering menyatakan bahwa mata mereka terasa
seperti benda yang mengganggu - seperti pasir atau kaca - ada di dalamnya tetapi
mereka tidak dapat melokalisasi dengan tepat di mana sensasi itu.

• Sensasi benda asing sering lebih buruk saat berkedip ketika benda asing terletak di
permukaan konjungtiva (bagian dalam) upper lid.
• Benda asing konjungtiva seharusnya tidak menyebabkan penurunan tajam penglihatan
secara signifikan.

• Benda asing konjungtiva yang terletak di salah satu daerah ini dapat dihilangkan dengan
secara lembut dgn menyeka benda asing dengan kapas yang dilembabkan dengan garam.

• Jika benda asing yang terlihat tidak dapat dikeluarkan dgn swab basah, irigasi dengan
saline dapat dicoba.

• Jika pasien merasakan sakit dimata sebelum mencoba penghilangan benda asing, 2 tetes
anestesi lokal dapat diteteskan ke mata untuk memungkinkan pemeriksaan dan perawatan.
•  Jika gejala yang signifikan menetap, pertimbangkan kemungkinan benda asing kedua
atau abrasi kornea yang signifikan (baik secara kausal terkait dengan benda asing atau
terjadi sebagai cedera independen).
• Setelah pengangkatan benda asing konjungtiva, dua tetes antibiotik topikal spektrum
luas harus diteteskan di mata yang terkena.
BENDA ASING DI KORNEA
 Benda asing di kornea, biasanya logam, kaca, atau bahan
organik.
Patofisiologi

• Benda asing dapat memicu kaskade inflamasi, menghasilkan pelebaran


pembuluh di sekitarnya dan edema kelopak, konjungtiva, dan kornea.

• Sel darah putih juga dapat dibebaskan, menghasilkan reaksi ruang anterior
dan / atau infiltrasi kornea.

• Jika tidak dibuang, benda asing dapat menyebabkan infeksi dan / atau
nekrosis jaringan.
Tanda & Gejala
• Nyeri (biasanya berkurang secara signifikan dengan anestesi topikal)
• Sensasi benda asing (biasanya berkurang secara signifikan dengan anestesi topikal)
• Fotofobia
• Mata berair
• Mata merah
• Ketajaman visual yang normal atau menurun
• Injeksi konjungtiva
• Injeksi siliaris, terutama jika reaksi ruang anterior terjadi
• Benda asing yang terlihat
• Rust ring, terutama jika benda asing dari logam telah tertanam selama berjam-jam sampai berhari-hari
• Edema kornea

RUST
RING
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
• Bacterial Keratitis • Infectious corneal infiltrates/ulcers
• Emergency Care of Corneal Abrasion generally require scrapings for smears
• Fungal Keratitis and cultures.
• Intraocular Foreign Body (IOFB) • To exclude intraocular or intraorbital
foreign body, consider B-scan
ultrasound, orbital CT scan (1-mm axial
and coronal cuts), and/or ultrasound
biomicroscopy (UBM)
Tatalaksana
• Tujuan talaksana termasuk menghilangkan rasa sakit, menghindari infeksi,
dan mencegah hilangnya fungsi permanen.
• Topical antibiotic drops (eg, polymyxin B sulfate-trimethoprim
[Polytrim], ofloxacin [Ocuflox], tobramycin [Tobrex] qid) or ointment
(eg, bacitracin [AK-Tracin], ciprofloxacin [Ciloxan] qid) should be
prescribed until the epithelial defect heals to prevent infection.
• Operasi
Pencegahan Edukasi
• Kenakan kacamata pengaman dalam • Ingatkan pasien tentang pentingnya
situasi apa pun (misalnya olahraga, memakai kacamata pelindung dalam
konstruksi, bengkel, industri) yang situasi berisiko tinggi apa pun.
memiliki risiko tinggi terhadap partikel • Mata tidak boleh digosok saat bekerja
atau benda yang terbang ke mata. dengan potongan kayu atau logam.
• Jika benda asing masuk ke mata, mata
tidak boleh digosok dan jangan berusaha
untuk mengangkat benda asing tersebut.
LUKA BAKAR KORNEA
Luka Bakar Kornea (Chemical)

• Cedera kimia pada mata menunjukkan keadaan darurat akut yang akut dan
memerlukan evaluasi dan manajemen segera.
• Cedera kimia paling sering pada pria muda. Setidaknya 90 persen dari
cedera ini terjadi sebagai paparan yang tidak disengaja. Mereka biasanya
terjadi pada lingkungan industri.

Kanski JJ, Bowling B. Clincal ophtalmology: A systematic approach. 7th ed. UK: Elsevier Saunders, 2011.
Etiologi
• Acid burn
• Alkali Burn
Alkalis cenderung menembus lebih dalam daripada asam, karena protein
permukaan koagulasi yang terakhir, membentuk penghalang pelindung;
alkali yang paling sering terlibat adalah amonia, natrium hidroksida dan
kapur. Amonia dan natrium hidroksida secara khas menghasilkan
kerusakan parah karena penetrasi yang cepat.

Kanski JJ, Bowling B. Clincal ophtalmology: A systematic approach. 7th ed. UK: Elsevier Saunders, 2011.
Patofisiologi
1. Kerusakan oleh cedera kimia yang parah cenderung berkembang seperti di bawah
ini:
• Nekrosis pada epitel konjungtiva dan kornea dengan gangguan dan oklusi
vaskularisasi limbal. Hilangnya sel induk limbal dapat menyebabkan konjungtiva dan
vaskularisasi permukaan kornea, atau defek epitel kornea yang persisten dengan
ulserasi kornea steril dan perforasi.
• Penetrasi yang lebih dalam menyebabkan kerusakan dan pengendapan
glikosaminoglikan dan kekeruhan kornea stroma.
• Penetrasi ruang anterior menghasilkan iris dan kerusakan lensa.

Kanski JJ, Bowling B. Clincal ophtalmology: A systematic approach. 7th ed. UK: Elsevier Saunders, 2011.
• Kerusakan epitel ciliary merusak sekresi askorbat, yang diperlukan untuk produksi
kolagen dan perbaikan kornea.
• Hipotonik dan phthisis bulbi dapat terjadi pada kasus yang parah.
2. Penyembuhan
• Epitel menyembuhkan dengan migrasi sel-sel epitel yang berasal dari sel-sel induk
limbal.
• Kolagen stroma yang rusak fagositosis oleh keratosit dan kolagen baru disintesis.

Kanski JJ, Bowling B. Clincal ophtalmology: A systematic approach. 7th ed. UK: Elsevier Saunders, 2011.
Grades
Grading dilakukan atas dasar kejelasan kornea dan keparahan iskemia limbal (sistem
Roper-Hall); yang terakhir dinilai dengan mengamati patensi pembuluh yang dalam
dan superfisial di limbus.
• Grade 1 (Gambar 21.31A) ditandai oleh kornea yang jelas (hanya kerusakan epitel)
dan tidak ada iskemik limbal (prognosis yang sangat baik).
• Grade 2 (Gambar 21.31B) menunjukkan kornea yang kabur tetapi dengan detail iris
yang terlihat dan kurang dari sepertiga limbus menjadi iskemik (prognosis yang baik).
• Grade 3 (Gambar 21.31C) memanifestasikan hilangnya total epitel kornea, kabut
stroma menutupi detail iris dan antara sepertiga dan setengah limbal iskemia
(prognosis yang dijaga).
• Grade 4 (Gambar 21.31D) bermanifestasi dengan kornea opaque dan lebih dari 50%
limbus menunjukkan iskemia (prognosis buruk).
Kanski JJ, Bowling B. Clincal ophtalmology: A systematic approach. 7th ed. UK: Elsevier Saunders, 2011.
Kanski JJ, Bowling B. Clincal ophtalmology: A systematic approach. 7th ed. UK: Elsevier Saunders, 2011.
Tatalaksana
Emergency Treatment
1. Copious Irrigation sangat penting untuk meminimalkan durasi kontak dengan
bahan kimia dan menormalkan pH di kantung konjungtiva sesegera mungkin, dan
kecepatan dan kemanjuran irigasi adalah faktor prognostik yang paling penting
setelah cedera kimia.
2. Double-eversi dari kelopak mata atas harus dilakukan sehingga setiap partikel
partikulat yang terperangkap di forniks diidentifikasi dan dihilangkan.
3. Debridemen area nekrotik epitel kornea harus dilakukan pada lampu celah untuk
mempromosikan re-epitelisasi dan menghilangkan residu kimia yang terkait.
4. Admisi ke rumah sakit biasanya akan diperlukan untuk cedera parah (kelas 4 ± 3 -
lihat di bawah).

Kanski JJ, Bowling B. Clincal ophtalmology: A systematic approach. 7th ed. UK: Elsevier Saunders, 2011.
Medical treatment
• Cedera yang paling ringan (grade1 dan 2) diobati dengan salep antibiotik topikal (satu
minggu), dengan steroid topikal dan sikloplegik jika diperlukan.
• Tujuan utama pengobatan untuk mengurangi peradangan, mempromosikan
regenerasi epitel dan mencegah ulserasi kornea. Untuk cedera sedang sampai berat,
tetes bebas pengawet harus digunakan.
• For moderate to severe injuries, preservative-free drops should be used.

Kanski JJ, Bowling B. Clincal ophtalmology: A systematic approach. 7th ed. UK: Elsevier Saunders, 2011.
Bedah
• Operasi dini revaskularisasi limbus, mengembalikan populasi sel limbal dan
membangun kembali forniks. Satu atau lebih dari prosedur berikut dapat digunakan:
• Advancement kapsul Tenon dengan penjahitan ke limbus ditujukan untuk
membangun kembali vaskularisasi limbal untuk membantu mencegah perkembangan
ulkus kornea.
• Limbal stemcell transplant dari mata lain pasien (autograft) atau dari donor
(allograft) ditujukan untuk memulihkan epitel kornea normal.
• Amniotic membrane grafting untuk mempromosikan epitelisasi dan penekanan
fibrosis.

Kanski JJ, Bowling B. Clincal ophtalmology: A systematic approach. 7th ed. UK: Elsevier Saunders, 2011.
• Operasi yang telat mungkin mengakibatkan :
• Pembagian konjungtiva bands (Gambar 21.32A) dan symblephara (Gambar
21.32B).
• Pencangkokan selaput lendir konjungtiva atau lainnya.
• Koreksi kelainan kelopak mata seperti entropion cicatricial (Gambar 21.32C).
• Keratoplasty untuk jaringan parut kornea (Gambar 21.32D) harus ditunda selama
setidaknya 6 bulan dan sebaiknya lebih lama untuk memungkinkan resolusi
peradangan maksimal.
• Keratoprosthesis (Gbr. 21.32E) mungkin diperlukan pada mata yang sangat rusak
berat

Kanski JJ, Bowling B. Clincal ophtalmology: A systematic approach. 7th ed. UK: Elsevier Saunders, 2011.
Kanski JJ, Bowling B. Clincal ophtalmology: A systematic approach. 7th ed. UK: Elsevier Saunders, 2011.
LI 2
Trauma pada Telinga
BAROTRAUMA
= trauma pada telinga yg disebabkan oleh perbedaan teknanan antara
atmosfer dan telinga tengah  diving, air travel, hyperbaric chamber

• Ambient pressure:
• Tekanan luar terdistribusi pada seluruh struktur objek, kecuali jk objek
tsb memiliki rongga udara
• Co/: seorang diver memiliki tekanan yg sama pada seluruh tubuh kec.
Telinga tengah krn ada udara di dalamnya

Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.


Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.
Saat terjadi perubahan tekanan
• Tek luar > tek telinga tengah
• Jk tuba eustachius tdk mampu melakukan equalizing scr adekuat atau tdp disfs. tuba →
perbedaan tekanan pd telinga tengah
• Equalizing dapat dilakukan dg valsava maneuver, mengunyah atau menguap →
kontraksi m. Tensor veli palatini
• Jk tek maneuver sangat tinggi dan tdk efektif → peningkatan tek intrakranial →
peningkatan tek perilimfatik telinga dalam → ruptur oval window atau round window
• Perforasi memb tympani  keluhan berkurang ggn pendengaran dan keseimbangan
(tdk selalu)
• Perforasi oval/round window  ggn pendengaran sensorineural dan ggn vestibular yg
segera tjd
• Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.
• Ballenger’s OTORHINOLARYNGOLOGY HEAD AND NECK SURGERY. 17th ed.
Saat tekanan luar tinggi (descent compression)
• Tek telinga luar dan dalam > tek telinga tengah → tek telinga tengah lebih negatif → jk tuba tdk bisa
kompensasi → retraksi memb tympani dan foramen ovale/rotundum ke arah telinga tengah
→ menimbulkan rasa discomfort dan nyeri
→ menekan ossicular chain ke oval window
• Jk descent lebih dalam (90mmHg) → m tensor veli palatini insufisien → Eustachian locking → tdk bisa
equalizing
• Tekanan negatif pd telinga tengah dapat menyebabkan:
• Edema
• Transudasi
• Pecahnya microvascular
• Jk tekanan luar meningkat lebih cepat drpd pengisian telinga tengah o/ transudat → ruptur memb
tympani → air masuk ke telinga → caloric vertigo

• Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.


• Ballenger’s OTORHINOLARYNGOLOGY HEAD AND NECK SURGERY. 17th ed.
CALORIC VERTIGO
• Bila air tidak kontak secara simultan dan simetris pada kedua membran timpani 
akibat adanya wax, eksostose, otitis eksterna, tight diving hoods, leaking earplugs
ataupun benda asing pada meatus akustikus eksternus.
• Biasanya berlangsung sebentar dan tidak berat.
• Bila barotrauma telinga tengah menyebabkan rupture membran timpani  Caloric
vertigo akut berat
• Vertigo dalam air  Grave danger  muntah dalam laut
• Riwayat disfungsi tuba eustachius
• Pemeriksaan: perforasi atau sumbatan oleh ear wax

Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.


Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.
Saat tekanan luar rendah (ascent compression)

• Tek telinga luar dan dalam < tek telinga tengah → tek telinga tengah lebih
positif → jk tuba tdk bisa kompensasi → retraksi memb tympani dan
foramen ovale/rotundum menjauhi telinga tengah

Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.


Barotrauma telinga luar
• Barotrauma telinga luar dapat tjd jk ada sumbatan pd telinga luar (serumen, earplug,
benda asing) → tdp air space di telinga luar
• Biasa tjd pada diver yg menggunakan tight fitting diving hood
• Saat descent, jk tuba eustachius berfungsi dg baik → tek luar = tek telinga tengah → air
space pada telinga memiliki tek negatif
→ Memb tympani retraksi ke arah telinga luar
→ Perdarahan telinga luar
→ Nyeri yang memberat saat descent semakin ke dalam
• Immediate remedial action: ascent
• Pencegahan:
• Membersihkan telinga sblm diving
• Jgn menggunakan occlusive ear plug saat diving >1,5m atau saat terbang
Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.
Derajat barotrauma

Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.


Pencegahan

• Pseudoephedrine 120 mg administered 30 minutes prior to descent or


ascent
• Jgn diving saat ada disfungsi tuba eustachius
• Jika mengalami sakit saat diving (tanda equalizing insufisien) → berhenti
descent atau ascent bbrp meter u/ memberi waktu bagi tuba utk melakukan
equalizing
• Jgn menggunakan occlusive ear plug
• Miringotomi pd orang yg akan melakukan penerbangan

• Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.


• Ballenger’s OTORHINOLARYNGOLOGY HEAD AND NECK SURGERY. 17th ed.
BAROTRAUMA TELINGA DALAM (KOMPRESI)

Secara histopatologis terdapat 3 bentuk patologi telinga dalam:


• Perdarahan telinga dalam
• Robeknya membran labyrinthine
• Fistula perilymphatic
Perdarahan Telinga Dalam
• Gejala vestibular transien atau minimal & tuli sensorineural ringan-moderat
Robeknya Labyrinthine
• Gejala serupa, namun tuli permanen (umumnya pada 1-2kHz)
• Dapat pula gejala menyerupain serangan Meniere’s disease akut  vertigo, tinnitus, low
frequency hearing loss.
Fistula Perilymphatic
• Konsekuensi dari trauma kepala, pembedahan, anomaly kongenital, kolesteatoma dan
neoplasia. Peningkatan intrakranial  formasi PLF
• Riwayat Tullio phenomenon  vertigo setelah mendengar suara bising
• Gejala: mimic labyrinthine concussion, Meniere, vertigo cervical  disequilibrium
transien dan dizziness
• 0,5 % penyelam mengalami fistula perilymphatic ini
• Riwayat: kesulitan equalizing tekanan telinga tengah saat descent (diving/flying), vertigo
• mendadak,
Scott-Brown’s tuli sensorineural,
Otorhinolaryngology, Head andtinnitus
Neck Surgery. 7th ed.
• Ballenger’s OTORHINOLARYNGOLOGY HEAD AND NECK SURGERY. 17th ed.
• Pemeriksaan penunjang: high definition MRI dan CT Scan 
intralabyrinthine air, fistula
• Tatalaksana:
• Hearing & balance preservation, operasi segera  salvaging the hearing
• Konservatif  bed rest, cegah maneuver provokatif (batuk, bersin, mengejan),
observasi 24 – 72 jam
• Operasi  memperbaiki gejala vestibular namun tidak untuk pendengaran

• Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.


• Ballenger’s OTORHINOLARYNGOLOGY HEAD AND NECK SURGERY. 17th ed.
Inner Ear Decompression Illness
Klasifikasi
• Tipe I  gejala terutama nyeri otot disertai gejala pada kulit dan gejala sistemik seperti malaise,
anorexia, dan mudah lelah
• Tipe II  melibatkan system kardiorespirasi atau saraf
Etiologi: Penurunan tekanan udara yang mendadak
Patofisiologi:
• Gas nitrogen yang biasanya terkompresi dalam serum pada tekanan atm  bubbles out seiring
menurunnya tekanan ambien.
• Penurunan tekanan udara yang terinspirasi atau udara lingkungan  pembentukan gelembung
nitrogen  menyebabkan munculnya gejala
• Organ terserng terkena adalah kulit, sendi dan tulang belakang
• Gelembung dapat berpindah dan menyebabkan gejala lain

• Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.


• Ballenger’s OTORHINOLARYNGOLOGY HEAD AND NECK SURGERY. 17th ed.
Diagnosis

Gejala:
• Pusing
• Vertigo
• Tinnitus, nyeri, hearing loss
• Gejala muncul dengan onset cepat
(terutama beberapa menit)
• Riwayat Menyelam

• Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.


• Ballenger’s OTORHINOLARYNGOLOGY HEAD AND NECK SURGERY. 17th ed.
Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
• Otoskopi  Normal
• Test fistula
• Pemeriksaan neurologis lengkap
• Nystagmus pada kacamata frenzel
• Echocardiografi  eksklusi patent foramen ovale

Penegakan Diagnosis: riwayat ascent

• Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.


• Ballenger’s OTORHINOLARYNGOLOGY HEAD AND NECK SURGERY. 17th ed.
Tatalaksana
• Terapi rekompresi
• Terapi hiperbarik oksigen dalam 6 jam pertama
• Miringotomi  pada pasien barotrauma telinga tengah, gangguan
penyesuaian tekanan pada telinga, kemungkinan fistula perlimf
• Resusitasi cairan

Profilaksis: carbonic anhydrase inhibitor

Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.


Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed.
FRAKTUR
TULANG TEMPORAL
• Disebabkan benturan pada permukaan tumpul atau misil penetrasi pada
tulang temporal

George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 3.
7th Edition. London: Edward Arnold Ltd; 2008.
Klasifikasi
• Fraktur tulang temporal
• Dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, lokasi, klinis
• Longitudinal atau transversal : mengacu pada axis panjang dari tulang temporal
petrosa.

• Fraktur dapat berhubungan dengan fraktur tulang parietal dan oksipital yang
berdekatan

George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 3.
7th Edition. London: Edward Arnold Ltd; 2008.
Epidemiologi
• Cedera kepala: meningkatkan prevalensi
• Laki-laki berusia 20-30 tahun
• Kecelakaan lalu lintas 40-50% fraktur tulang temporal
• Pada fraktur tulang temporal, sering ditemukan peningkatan kadar alkohol dan obat
terlarang
• Anak-anak: paling sering dikarenakan jauh dari tempat tinggi, kecelakaan lalu lintas
• Pistol : 16-47 % fraktur tulang temporal

George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 3.
7th Edition. London: Edward Arnold Ltd; 2008.
Clinical Features
• Hearing loss: konduktif atau sensorineural
• Otorrhoea
• Battle sign: bruising over the mastoid
process
• Lower motor facial nerve palsy
• Edema, hematoma, pendarahan, dizziness,
kebocoran CSF
• Otoskopi: darah segar pada meatus
auditorius externus, perforasi membran
timpani, haemotympanum, deformitas pada
dinding tulang pendengaran meatus
auditorius externus

• George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 3. 7 th Edition. London: Edward Arnold Ltd;
2008.
Figure 6 Decision algorithm for obtaining high-resolution
computed tomography (HRCT) in patients with temporal
bone (TB) fractures

Ballenger JJ, Snow JB. Otorhinolaryngology, head and neck surgery. 17th Ediiton. Canada: Williams & Wilkins;2009.
Pemeriksaan Penunjang
• Radiologi • Vestibular assessment
• CT scan : gold standard  liat ada atau tidaknya fraktur • Pemeriksaan nistagmus : bukti keterlibatan
tulang temporal vestibular, kegagaln vestibular unilateral nistagmus
• MRI: identifikasi kasus kontusio tulang temporal yang horizontal dengan cepat menjauh telinga yang
tidak teridentifikasi oleh CT scan, memberikan bukti terkena
cedera saraf wajah dan heamtoma dalam koklea • Tes romberg dan unterberger: menilai gaya jalan
• Angiografi : kadang diperlukan
• Electronystagmography denga assessment uji kalori:
• Hearing assessment dilakukan ketika pasien sudah pulih dari cedera akut
• Crude testing: penilaian GCS menguji respons terhadap • Fungsi nervus facialis
perintah verbal situasi akut seringkali sulit
• Observasi pergerakan fasial aktif dan pasif
menentukan tingkat gg pendengaran
• Audiometri nada-murni
• Electroneugraphy

• Timpanometri : membantu menentukan apakah cairan • Kebocoran CSF


telinga tengah bertanggung jawab u/ gg konduktif • Analisis transferin beta-2: sensivitas dan spesifitas
• Audiometri respons listrik: ps tidak sadar untuk menilai 100 %, klu ada kecurigaan CSF otorrhoea atau
ambang batas rhinorrhoea
George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 3.
7th Edition. London: Edward Arnold Ltd; 2008.
Tatalaksana

• Antibiotik profilaksis • Haemotympanum


• Penggunaan antibiotik untuk profilaksis meningitis • Tanda: blue drum tuli konduktif pd 41% ps

tidak didukung • Resolusi spontan dari gg pendengaran terjadi 3-6 minggu


pada 73% ps
• Laserasi meatus auditorius externus
• Ossicular disruption with an intact tympanic
• Dapat muncul haematorrhoea, stenosis, pendarahan
membrane
(laserasi bulbus jugularis atau arteri karotis dengan
• Pd ps yg tuli konduktif bertahan lebih dari 6 minggu
darah yang keluar melalui m timpani)
• Pemeriksaan audiometrik: air-bone gap
• Perforasi membran timpani • Paling sering ada dislokasi incus (80%) tympanoplasty
• Tatalaksana konservatif dengan menghindari air atau
• Labyrinth injury/fracture
kontaminan lainnya. • Gejala: ketidakseimbangan dan kehilangan pendengaran,
• Perforasi sekunder dapat disembuhkan spontan vertigo (BPPV)
dalam 10 minggu • Komplikasi: tuli sensorineural cochlear implant
• Bedah perforasi bertahan selama 3 bulan atau (bilateral)
lebih setelah cedera • Bed rest dan vestibular sedative: efektif untuk vertifo dan
resolusi untuk gg pendengaran
George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 3.
7th Edition. London: Edward Arnold Ltd; 2008.
Komplikasi
• Facial nerve paralysis, CSF leak, hearing loss, vertigo komlikasi yang
memerlukan operasi
• Delayed comlications: Meningitis, abscess, pseudomeningocele, and
posttraumatic cholesteatoma.
• Luka tembakan menunjukan kejadian komplikasi yang lebih tinggi dan
insidens lebih tinggi terjadinya kerusakan intrakanial dan kematian.

Ballenger JJ, Snow JB. Otorhinolaryngology, head and neck surgery. 17th Ediiton. Canada: Williams & Wilkins;2009.
OSSICULAR CHAIN
TRAUMA
• Trauma telinga dapat mengakibatkan fraktur tulang temporal dan kerusakan pada
koklea dan nervus fasialis. Trauma lebih ringan menyebabkan kerusakan apda
tulang pendengaran
• Paling sering: dislokasi incus
• Pada bbrp kasus terdapat gg dari sendi incudostapedial dengan perpindahan
minimal incus, dengan trauma yang lebih berat kemungkinan ada pemisahan pada
incus dari maleus dan stapes
• Trauma pada stapes  arch fracture / dislokasi sluruh stapes

George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 3.
7th Edition. London: Edward Arnold Ltd; 2008.
Tipe trauma
• Dapat berasal dari trauma kepala, trauma langsung termasuk operasi atau
petir.

George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 3.
7th Edition. London: Edward Arnold Ltd; 2008.
Audiometric findings
• Dislokasi incus berhubungan dengan gg pendengaran konduktif
• Sering berhubungan dengan tuli frekuensi tinggi sensori neural yang dikarenakan
trauma pada koklea saat cedera tjd
• Timpanometri : grafik tipe A dengan puncak yang tinggi, tetapi hal ini bisa juga terjadi
pada telinga normal

George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 3.
7th Edition. London: Edward Arnold Ltd; 2008.
Surgical management
• Dislokasi incus • Reposisi telinga tengah
• Conventional ossiculoplasty techniques • Atticotomy dengan posterior attic approach
• Reposisi incus: paling baik dengan posterior • Fraktur stapes
attic approach dikombinasi dengan • Menggunakan strut atau piston diantara incus
tympanotomy dan stapes
• Sendi incudomalleolar • Stapes luxation: diobati dengan stapedctomy
• Mudah dibentuk kembali karena permukaan • Fraktur malleus
artikular bersifat komplementer • Dapat ditangani dengan cangkok tulang kecil
• Sendi incudostapedial
• Lebih sulit karena area yang berkontak lebih
kecil
• Perekat jaringan n-butil cyanoacrylate

George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 3.
7th Edition. London: Edward Arnold Ltd; 2008.
WHIPLASH INJURIES
• Cedera fleksi atau ekstensi dari tulang servikal yang di induksi oleh benturan tabrakan
mobil bagian belakang atau samping yang menghasilkan spektrum tanda dan gejala
muskuloskletal dan neurologis

• Gejala: trauma jaringan lunak leher, kerusakan tulang belakag, vaskular atau trauma
langsung ke sumsum tualng belakang/ batang otak atau nukleus vestibular dan labirin

George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 3.
7th Edition. London: Edward Arnold Ltd; 2008.
Klasifikasi

George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 3.
7th Edition. London: Edward Arnold Ltd; 2008.
Epidemiologi

• 70 dan 106 per 100.000 penduduk

George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 3.
7th Edition. London: Edward Arnold Ltd; 2008.
Clinical features
• Pd ps dengan riwayat trauma kepala atau leher sakit pada leher dalam 7 hari setelah
cedera
• Gejala kurang umum: parestesia, pusing, gg pendengaran, tinnitus dan konsentrasi
yang buruk
• Pemeriksaan: penurunan range gerakan leher yang berkaitan dengan cedera atau nyeri
otot. Temuan neurologis: hypoaesthesia dan gg pendengaran.
• P lanjutan: imaging tulang belakang leher  exclude fraktur dan dislokasi tulang
belakang leher

George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 3.
7th Edition. London: Edward Arnold Ltd; 2008.
Tatalaksana
• Beristirahat dengan pentediaan kerah servikal
• Ps vertigo gerakan kepala dan tubuh harus dilengkapi dengan relaksasi,
kontrol napas dan melatih aktivitas. Selain itu, pengukuran objektif fungsi
keseimbangan perbaikan ps dengan gg whiplash yang menjalani
rehabilitasi vestibular

George G. Browning, Burton J. Martin, Clarke Ray, Hibbert John, Jones S. Scott Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck
Surgery. Volume 3. 7th Edition. London: Edward Arnold Ltd; 2008.

Anda mungkin juga menyukai