Anda di halaman 1dari 37

ANALISIS RASIO LAPORAN

KEUANGAN (1)
 Rasio Keuangan atau Financial Ratio adalah suatu alat
analisa yang digunakan oleh perusahaan untuk menilai
kinerja keuangan berdasarkan data perbandingan
masing-masing pos yang terdapat di laporan keuangan
seperti Laporan Neraca, Rugi / Laba, dan Arus Kas
dalam periode tertentu. 
YANG MENGGUNAKAN LAPORAN
KEUANGAN SEBAGAI BASIS DATA,
YAITU:
1. Kelompok Rasio PROFITABILITAS (Mengukur
kemampuan perusahaan menghasilkan Laba)
2. Kelompok Rasio LIKUIDITAS (Mengukur
kemampuan perusahaan membayar utang jangka
pendeknya)
3. Kelompok Rasio TATA KELOLA ASET (Mengukur
efektifitas tatakelola aset perusahaan)
4. Kelompok Rasio STRUKTUR MODAL/LEVERAGE
(Mengukur kemampuan perusahaan membayar utang
jangka panjangnya.)
RASIO PROFITABILITAS (PROFITABILITY RATIO)
LAPORAN POSISI KEUANGAN
PT. JAK
1. RASIO GROSS MARGIN ON SALES

 “Gross Profit Margin On Sales”—adalah angka


perbandingan antara Laba Kotor (Gross Margin) dengan
Penjualan Netto (Net Sales). Yang disebut Penjualan
Netto adalah Penjualan setelah dikurangi diskon,
potongan rabat dan retur. Sehingga formula untuk rasio
ini adalah sbb:
 Rasio Gross Margin on Sales = Gross Margin /
Penjualan Netto
 Gross Margin adalah sisa dari angka penjualan netto
setelah dikurangi Harga Pokok Penjualan (Cost of Goods
Sold) yang bisa dipermulasikan dengan “Penjualan –
Harga Pokok Penjualan,” 

 Rasio Gross Margin on Sales = (Penjualan Netto –


HPP) / Penjualan Netto
 Pada Laporan Laba/Rugi PT JAK, nampak Penjualan
Netto Rp 10,907,000,000. Sedangkan Gross Margin nya
Rp 4,825,000,000 sehingga:
 Rasio Gross Margin on Sales =
4,825,000,000/10,907,000,000 = 44%
RASIO GROSS MARGIN ON SALES =
44%. APA ARTINYA?
 Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 penjualan bersih yang
dihasilkan oleh PT JAK, Rp 0.56 dipergunakan untuk
menutup Harga Pokok Penjualan, sehingga tersisa Rp
0.44 saja untuk menutup biaya operasional, dan PT JAK
berharap untuk menghasilkan profit. Dengan kata lain,
dari total penjualan netto yang dihasilkan, 56% nya habis
digunakan untuk menutup HPP dan hanya 44% yang
tersisa untuk menutup biaya operasional, JAK berharap
ada sisa laba bersih di akhir perhitungan
2. RASIO PROFIT MARGIN ON SALES

 Rasio Profit Margin on Sales—atau sering disebut


“Return on Sales” (ROS)—adalah angka perbandingan
antara Laba Bersih (Net Profit) dengan Penjualan Netto
(Net Sales). Sehingga formulanya:
 Rasio Profit Margin On Sales = Laba Bersih /
Penjualan Netto
 Dalam kasus PT. JAK, dengan menggunakan Laporan
Laba/Rugi di atas, menjadi:
 Rasi Profit Margin on Sales = Rp 979,000,000 /
10,907,000,000 = 9%
 Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 dari penjualan netto
yang dihasilkan, laba bersih yang tersisa hanya Rp 0.09.
Sedangkan yang Rp 0.91 habis untuk menutup HPP,
biaya operasional dan pajak. Dengan kata lain, dari total
penjualan netto yang dihasilkan, PT JAK hanya
menyisakan 9% laba bersih. Sedangkan 91% nya habis
untuk menutup HPP, Biaya Operasional dan Pajak.
3. RASIO RETURN ON ASSETS (ROA)

 “Return On Assets” (ROA) digunakan untuk mengukur


efektifitas penggunaan aset dalam menghasilkan profit.
Dengan kata lain, rasio ini mencerminkan seberapa
efektif manajemen menggunakan Aset milik perusahaan
guna menghasilkan Laba. Pengukuran dilakukan dengan
membandingkan Laba Bersih yang dihasilkan pada satu
periode dengan nilai bersih total aset. Formulanya:
 Rasio Return On Assets = Laba Bersih / Total Aset
 Laba Bersih PT JAK Rp 979,000,000. Sementara total
nilai aset-nya (lihat Neraca) adalah Rp 10,715,000,000.
Sehingga:
 Rasio Return On Assets = Rp 979,000,000 / Rp
10,715,000,000 = 9.1%
 Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 Aset yang digunakan,
PT JAK hanya mampu menghasilkan Rp 0.091 Laba
Bersih. Bisa juga dikatakan, PT JAK hanya mampu
menghasilkan Laba Bersih 9.1% dari total Aset yang
digunakan.
 Jika ROA rata-rata perusahaan sejenis di atas 9.1%, itu
artinya PT JAK tidak cukup efektif dalam pengelolaan
aset. Ada beberapa kemungkinan penyebab, diantaranya:
 Kas menganggur (idle cash) yang tinggi,

 Perpuataran Piutang PT JAK rendah

 Terlalu banyak Aset Tetap yang menganggur atau


tidak digunakan secara efektif.
4. RASIO RETURN ON EQUITY (ROE)
ATAU RETURN ON INVESTMENT (ROI)
 “Rasio Return On Equity” (ROE) digunakan untuk
mengukur kemampuan efektifitas perusahaan dalam
memberikan penghasilan bagi setiap investasi dalam
bentuk ekuitas yang ditanamkan oleh pemegang saham.
Itu sebabnya rasio ini sering disebut “Return on
Investment (ROI). Pengukuran dilakukan dengan cara
membandingkan antara Laba Bersih yang dihasilkan
pada suatu periode dengan saldo rata-rata Ekuitas
Pemilik pada Neraca. Formulanya:

 Return on Equity (ROE) = Laba Bersih / Rata-Rata


Ekuitas
 Laba Bersih pada Laporan Laba/Rugi PT
JAKmenunjukkan angka Rp 979,000,000. Sementara
total Ekuitas pada Neraca menunjukkan angka Rp
2,071,000,000. Sehingga:
 ROE atau ROI = Rp 979,000,000 / 2,071,000,000
= 47.3%
 Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 yang diinvestasikan
pada PT JAK, pemegang saham memperoleh tambahan
nilai ekuitas Rp 0.473. Bisa juga dikatakan, dari total
investasi pada PT JAK, pemegang saham memperoleh
kenaikan nilai ekuitas hampir separuhnya yakni 47.3%.
 Apakah ROE atau ROI 47.3% tergolong tinggi, sedang
atau rendah? Ini tergolong tinggi, Namun, yang kerap
jadi persoalan angka ROE atau ROI yang tinggi kerap
tak diimbangi dengan pembayaran dividend yang sesuai,
karena hambatan likuiditas misalnya. Sehingga
ROE/ROI bukanlah rasio satu-satunya yang mereka
lihat. Mereka lebih suka melihat fakta dividend yang
akan dibagikan.
5. RASIO PEMBAYARAN DIVIDEND
(DIVIDEND PAYOUT RATIO)
 “Rasio Pembayaran Dividend” adalah rasio
perbandingan antara pembayaran dividend saham biasa
dalam bentuk kas dengan Laba Bersih setelah dikurangi
dividend preferen. Sehingga formulanya menjadi:
 Rasio Pembayaran Dividend = Dividend Kas Saham
Biasa / (Laba Bersih – Dividend Preferen)
 Jika pada kasus PT JAK dividend kas yang dibayarkan
untuk saham biasa sebesar Rp 450,000,000 sementara
tidak ada dividend preferen, maka:
 Rasio Pembayaran Dividend = Rp 450,000,000 / Rp
979,000 = 46%
 Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 laba bersih yang
dihasilkan oleh PT JAK, yang dibagikan dalam bentuk
dividend kas kepada pemegang saham biasa hanya Rp
0.46. Atau bisa dibaca, dari total laba bersih yang
dihasilkan oleh PT JAK, yang dibagikan dalam bentuk
dividend kas kepada pemegang saham biasa hanya 46%
nya.
APAKAH RASIO PEMBAYARAN
DIVIDEND 46% TERGOLONG TINGGI,
RENDAH, ATAU SEDANG?
 Agak sulit diekspresikan. Sebab pada kenyataannya,
pembagian dividend kas kepada pemegang saham biasa
sering kali bersifat fluktuatif, bahkan ada kalanya
pemegang saham tak menerima dividend samasekali.
Hal ini bisa terjadi ketika laba bersih perusahaan
tergolong rendah, sehingga laba habis dibagikan untuk
pemegang saham preferen. Yang terpenting di sini adalah
tingkat kepuasan pemegang saham. Tingkat kepuasan ini
tak bisa diukur dari satu snapshot, mesti diukur dengan
trending analysis dalam jangka waktu yang agak lama.
RASIO LIKUIDITAS (LIQUIDITY RATIO)

 Sederhananya, tingkat likuiditas = kemampuan


membayar.
 Ketika seseorang bertanya “apakah perusahaan dalam
kondis likuid?” Itu artinya ia bertanya apakah
perusahaan memiliki kemampuan untuk membayar.
Namun dalam bahasa formal, yang dimaksud tingkat
likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam
memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
 Dengan demikian maka rasio likuiditas bisa
didefinisikan sebagai:
 rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
memenuhi kewajiban jangka pendeknya; atau
 rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
membayar utang jangka pendek.
 Mengetahui tingkat likuiditas (=kemampuan bayar)
sangat penting, baik bagi pihak eksternal maupun
eksternal.
 Baik pihak eksternal maupun internal sama-sama perlu
mengukur tingkat likuiditas perusahaan:
 Bagi kreditur (eksternal), mengentahui tingkat likuiditas calon
debitur penting untuk memutuskan apakah akan memberikan
fasilitas kredit atau tidak (mereka ingin pembayaran yang lancar
dan tepat waktu.)
 Bagi investor (eksternal), baik perorangan atau badan usaha,
mengetahui tingkat likuiditas calon perusahaan investee penting
untuk memutuskan apakah akan berinvestasi di sana atau tidak
(mereka mengharapkan pembayaran dividen yang lancar.)
 Bagi manjemen perusahaan (internal), mengetahui
kemampuan bayar diri mereka sendiri juga sangat penting untuk
menentukan strategi binis yang akan diterapkan (mereka
menginginkan rencana yang tidak saja bagus tapi juga realistis.)
1. CURRENT RATIO
 Mengukur tingkat likuiditas dengan “current ratio”
artinya anda membandingkan antara “current asset”
(=aset lancar) dengan “current liabilities” (=liabilitas
lancar). Sehingga formulanya:
 Current Ratio = Aset Lancar / Utang Lancar
 Pada Neraca PT. JAK di atas, total nilai Aset Lancarnya
adalah Rp 2,428,000,000. Sedangkan total nilai Utang
Lancarnya Rp 4,020,000,000. Sehingga:
 Current Ratio PT. JAK = 2,428,000,000/Rp
4,020,000,000 = 0.60
 Interpretasi: Ini skor rasio yang tak sehat. Jikapun
semua aset lancar bisa “dicairkan” menjadi kas (dijual
misalnya), PT JAK saat ini hanya punya Rp 0.60 untuk
membayar setiap Rp 1 utang lancarnya yang akan jatuh
tempo dalam waktu kurang dari 1 tahun buku. Atau, bisa
dikatakan, hasi penjualan seluruh aset lancar PT JAK
hanya mampu menutup 60 persen dari total utang
lancarnya yang akan jatuh tempo dalam jangka pendek.
BERAPA CURRENT RATIO YANG IDEAL? 
 Tidak ada satu angka pasti untuk ini. Sangat tergantung
pada kepentingan. Umumnya, current ratio yang ideal—
setidaknya menurut bank dan lembaga keuangan yang
biasa menydiakan fasilitas kredit—ada pada kisaran
antara 2.00 hingga 3.00 (=200 hingga 300%). Rasio
minimal yang bisa diterima ada pada kisaran antara 1
hingga 1.5 (=antara 100 hingga 150%.) Bagi manajemen
perusahaan, ideal tak idealanya rasio likuiditas
tergantung target yang hanya mereka sendirilah yang
paling tahu. Jika targetnya memang hanya 0.60 (karena
tahun sebelumnya hanya 0.40 misalnya) berarti tujuan
tercapai.
2. QUICK (ACID TEST) RATIO

 Quick ratio—kadang disebut “Acid Test Ratio”—adalah


rasio kedua yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat
likuiditas perusahaan. Pihak eksternal lebih memilih
menggunakan rasio ini sebab lebih konservatif, lebih
aman bagi mereka—dibandingkan current ratio.
 Pada quick ratio, uang muka dan persediaan tidak
diikutsertakan, sehingga formulanya menjadi sbb:
 Quick (Acid Test) Ratio = (Aset Lancar – Uang Muka
– Persediaan) / Utang Lancar
 Pada Neraca PT. JAK di atas, Total Aset
Lancar=2,428,000,000. Uang Muka Biaya=248,000,000
dan Persediaan = 824,000,000. Sedangkan Total Utang
Lancar = 4,020,000,000. Sehingga:
 Quick (Acid Test) Ratio = (2,428,000,000 – 248,000,000
– 824,000,000) / 4,020,000,000
 Quick (Acid Test) Ratio = 0.34
 Interpretasi: Quick ratio 0.34 artinya: untuk setiap Rp 1
utang lancar yang dimiliki, PT JAK hanya mampu bayar
Rp 0.34 atau 34 sen. Dengan kata lain, jika semua aset
lancar—selain uang muka biaya dan persediaan—
dicairkan atau diuangkan—maka hanya akan menutup
34 persen dari total utang lancar PT JAK yang akan jatuh
tempo dalam satu tahun buku. Quick ratio 0.34
sementara current ratio 0.60 artinya, aset lancar
separuhnya berupa “Uang muka biaya” dan
“Persediaan.” Ini tergolong rasio berskor rendah.
BERAPA QUICK RATIO YANG IDEAL? 
 Sama seperti current ratio, tidak ada angka tunggal yang
ideal. Jika menggunakan kaca mata eksternal, khususnya
kreditur, quick ratio ideal ada pada kisaran 1.5 hingga
2.00, sehingga perusahaan masih memiliki ekstra kas
selain utang lancar yang telah ada. Minimal yang bisa
diterima ada pada kisaran 1.00 hingga 1.50.
 Secara keseluruhan, Rasio Likuiditas (Liquid Ratio)
mencerminkan tingkat likuiditas, yakni kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka
pendeknya. Mengetahui rasio likuiditas sangatlah
penting. Sebab bisa memperkirakan apakah perusahaan
akan lancar beroperasi dalam jangka pendek atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai