Anda di halaman 1dari 13

REVITALISASI PERAN KELUARGA

DALAM
PENDIDIKAN MORAL ERA
PASCAPANDEMI

MINTARTI, NALFARIDAS BAHARUDDIN, ABDUL ROHMAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Latar belakang

 Pandemi Covid-19 menjungkirbalikkan peran sekolah sebagai


institusi pendidikan.
 Emile Durkheim  Sekolah menanamkan nilai-nilai moral dengan
cara-cara yang tidak dapat dilakukan oleh institusi lain seperti
agama dan keluarga.
 Di masa pandemi sekolah mengalami pelemahan peran.
 Sebaliknya, keluarga yang dipandang “lemah”  justru mengalami
penguatan peran.
 Pandemi mulai usai, siswa semakin akrab dengan gawai  peran
keluarga tetap urgen dan tak dapat diabaikan.
Tujuan penelitian

• Menggali informasi lebih mendalam tentang


peran keluarga dalam proses pendidikan moral di
masa pascapandemi.
Metode penelitian

 Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan quasi-


kualitatif.
 Lokasi penelitian  Kabupaten Banyumas (di 2 SD swasta; 1 berbasis
agama Islam dan 1 Kristen).
 Informan penelitian  8 guru (level kelas bawah, tengah, dan atas).
 Pengumpulan data wawancara mendalam, observasi, dan
dokumentasi.
 Analisis data model analisis interaktif dengan komponen-komponen: (1)
pengumpulan data, (2) sajian data, dan (3) penarikan kesimpulan. Proses
tersebut berlangsung secara on going.
Hasil Penelitian

1. Siswa yang mendapat pengawasan orang tua di rumah (selama pembelajaran


daring) tetap berperilaku baik saat PTM pascapandemi.
“…Bersalaman, mencium tangan, cara memegangnya, sampai posisi mencium tangannya pun
kita ajarkan. Ketika masuk ke sekolah lagi, setelah pandemi lama, itu seperti mengulang dari
awal lagi. Yang sudah kita tanamkan itu buyar, hilang. Hanya anak-anak tertentu yang di
rumahnya masih ketat gitu ya, masih tetep memberlakukan berjabat tangan dan sebagainya
itu, masih bagus”.
(SRj, guru kelas 2 SD AI 02).
“Yang namanya anak nakal harusnya selalu diingatkan. Kalau di rumah tidak ada
pengawasan akhirnya tidak ada yang mengingatkan moral perilaku mereka”.
(SRs, guru kelas 4 SD AI 02).
“Produk pandemi itu kayak gitu. Anaknya susah diatur, agak
susah diatur. Itu memang faktor orang tua juga sih. Kondisi
orang tua, itu juga mempengaruhi anak. Kalau memang di
rumah bener-bener diawasin sama orang tua, kelihatan banget
bedanya sama di sekolah”.
(SW, guru kelas 1 SDK 1).
2. Orang tua berperan penuh dalam pengendalian penggunaan gawai
(gadget).

“Masalah hp sebenarnya kendali penuh ada pada orangtua.


Kalau pihak sekolah, jelas larangan membawa hp ada, bahkan
ketika tidak ada kegiatan online, hp tidak boleh dibawa ke
sekolah. Sekarang dengan kondisi full PTM hampir 100%
normal, kegiatan hp itu memang sudah kita pasrahkan kepada
orangtua ketika di rumah. Kalau di sekolah sifatnya hanya
sekedar menasehati”.
(RDK, guru kelas 6 SD AI 02).
3. Pembiasaan, pola asuh dan lingkungan rumah merupakan faktor
penentu perilaku siswa di sekolah.
“Faktornya yang pertama karena faktor pembiasaan di rumah, lingkungan rumah. Kemudian pola
mengajar yang berbeda-beda. Walaupun sudah ada g-meet, zoom meeting, dan sebagainya, kita tidak
tahu bagaimana pengkondisian di rumah. Kalau di sekolah kan otomatis dari pagi mereka sudah
dikondisikan untuk berangkat, sudah mandi dan sebagainya. Nah, ada saat 2 tahun itu kita tidak
paham, di rumah sudah mandi atau belum, dan mereka tidak diwajibkan memakai seragam”.
(IS, guru kelas 3 SD AI 02).
“Ya sebenarnya kalau saya lihat, ke diri anak atau keluarga. Kalau
dari pengaruh di sekolah ini, dengan teman-teman di sini, nggak
separah seperti pergaulan dari luar, tempat di mana anak ini
tinggal”. (NP, guru kelas 3/guru agama SDK 1).

“Biasanya adaptasi di lingkungan rumah, kemudian dibawa ke


sekolah. Kebetulan anak saya, di kelas saya, dan saya melihat
teman-temannya. Jadi pergaulan di rumah itu kadang dibawa ke
sekolah, jadinya anak-anak cuek dan tidak mau mendengarkan”.
(TDP, guru kelas 4, SDK 1).
4. Orang tua merupakan pendidik utama; pemahaman akademik dan sikap disiplin
siswa tergantung pada orang tuanya.
“Sekolah itu kan hanya untuk mengajarkan pelajaran. Tanggung jawab kami kan sebagai
pengajar, bukan untuk mendidik anak. Meskipun dalam artian mengajar ini salah satu proses
dalam pendidikan, tapi pendidikan kan berawal dari keluarga….. Ketika di rumah mereka di-
support oleh orang tua, ketika mengerjakan mereka dibantu kan otomatis mereka bisa
mencerna materi…... Kadang ada orangtua, “Kalau sudah selesai nanti saya cek ya”, tapi
orangtua pulangnya sore. Nah, kadang seperti itu. Ada juga orangtua yang (tak) acuh. Jadi,
“Anakku mau mengerjakan ya boleh nggak ya boleh”.
(EER, Guru kelas 4, SDK 1)
Pembahasan
 Emile Durkheim Jenjang SD saat sangat tepat memberikan pendidikan moral. Disebut
sebagai masa atau “tahap kanak-kanak kedua‟. Sekolah (khususnya SD) merupakan
lembaga yang sangat penting bagi pembentukan dan perkembangan moral anak (Muhni:
1994; Eriyanti: 2006).
 Moralitas  Membentuk manusia yang sosial. Nilai moral = fondasi tertib sosial.
 Tindakan moral  Tindakan yang hanya ditujukan kepada kepentingan kehidupan
bersama.
 Sekolah tempat tepat melakukan proses pendidikan moral karena di dalamnya individu
belajar lepas dari ikatan-ikatan emosional seperti dalam keluarga. Sekolah dapat
menerapkan aturan dan disiplin yang “keras” yang seringkali sulit dilakukan oleh keluarga.
KESIMPULAN
Keluarga berperan sangat penting dalam proses
pendidikan moral siswa.
Perilaku atau akhlak siswa di sekolah pasca-
bersekolah daring di rumah, sangat dipengaruhi dan
tergantung pada proses pendidikan di rumah.
Oleh karena itu, revitalisasi peran keluarga di era
yang semakin terdigitalisasi ini menjadi sangat urgen.
SEKIAN
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai