FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK Latar belakang
Pandemi Covid-19 menjungkirbalikkan peran sekolah sebagai
institusi pendidikan. Emile Durkheim Sekolah menanamkan nilai-nilai moral dengan cara-cara yang tidak dapat dilakukan oleh institusi lain seperti agama dan keluarga. Di masa pandemi sekolah mengalami pelemahan peran. Sebaliknya, keluarga yang dipandang “lemah” justru mengalami penguatan peran. Pandemi mulai usai, siswa semakin akrab dengan gawai peran keluarga tetap urgen dan tak dapat diabaikan. Tujuan penelitian
• Menggali informasi lebih mendalam tentang
peran keluarga dalam proses pendidikan moral di masa pascapandemi. Metode penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan quasi-
kualitatif. Lokasi penelitian Kabupaten Banyumas (di 2 SD swasta; 1 berbasis agama Islam dan 1 Kristen). Informan penelitian 8 guru (level kelas bawah, tengah, dan atas). Pengumpulan data wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Analisis data model analisis interaktif dengan komponen-komponen: (1) pengumpulan data, (2) sajian data, dan (3) penarikan kesimpulan. Proses tersebut berlangsung secara on going. Hasil Penelitian
1. Siswa yang mendapat pengawasan orang tua di rumah (selama pembelajaran
daring) tetap berperilaku baik saat PTM pascapandemi. “…Bersalaman, mencium tangan, cara memegangnya, sampai posisi mencium tangannya pun kita ajarkan. Ketika masuk ke sekolah lagi, setelah pandemi lama, itu seperti mengulang dari awal lagi. Yang sudah kita tanamkan itu buyar, hilang. Hanya anak-anak tertentu yang di rumahnya masih ketat gitu ya, masih tetep memberlakukan berjabat tangan dan sebagainya itu, masih bagus”. (SRj, guru kelas 2 SD AI 02). “Yang namanya anak nakal harusnya selalu diingatkan. Kalau di rumah tidak ada pengawasan akhirnya tidak ada yang mengingatkan moral perilaku mereka”. (SRs, guru kelas 4 SD AI 02). “Produk pandemi itu kayak gitu. Anaknya susah diatur, agak susah diatur. Itu memang faktor orang tua juga sih. Kondisi orang tua, itu juga mempengaruhi anak. Kalau memang di rumah bener-bener diawasin sama orang tua, kelihatan banget bedanya sama di sekolah”. (SW, guru kelas 1 SDK 1). 2. Orang tua berperan penuh dalam pengendalian penggunaan gawai (gadget).
“Masalah hp sebenarnya kendali penuh ada pada orangtua.
Kalau pihak sekolah, jelas larangan membawa hp ada, bahkan ketika tidak ada kegiatan online, hp tidak boleh dibawa ke sekolah. Sekarang dengan kondisi full PTM hampir 100% normal, kegiatan hp itu memang sudah kita pasrahkan kepada orangtua ketika di rumah. Kalau di sekolah sifatnya hanya sekedar menasehati”. (RDK, guru kelas 6 SD AI 02). 3. Pembiasaan, pola asuh dan lingkungan rumah merupakan faktor penentu perilaku siswa di sekolah. “Faktornya yang pertama karena faktor pembiasaan di rumah, lingkungan rumah. Kemudian pola mengajar yang berbeda-beda. Walaupun sudah ada g-meet, zoom meeting, dan sebagainya, kita tidak tahu bagaimana pengkondisian di rumah. Kalau di sekolah kan otomatis dari pagi mereka sudah dikondisikan untuk berangkat, sudah mandi dan sebagainya. Nah, ada saat 2 tahun itu kita tidak paham, di rumah sudah mandi atau belum, dan mereka tidak diwajibkan memakai seragam”. (IS, guru kelas 3 SD AI 02). “Ya sebenarnya kalau saya lihat, ke diri anak atau keluarga. Kalau dari pengaruh di sekolah ini, dengan teman-teman di sini, nggak separah seperti pergaulan dari luar, tempat di mana anak ini tinggal”. (NP, guru kelas 3/guru agama SDK 1).
“Biasanya adaptasi di lingkungan rumah, kemudian dibawa ke
sekolah. Kebetulan anak saya, di kelas saya, dan saya melihat teman-temannya. Jadi pergaulan di rumah itu kadang dibawa ke sekolah, jadinya anak-anak cuek dan tidak mau mendengarkan”. (TDP, guru kelas 4, SDK 1). 4. Orang tua merupakan pendidik utama; pemahaman akademik dan sikap disiplin siswa tergantung pada orang tuanya. “Sekolah itu kan hanya untuk mengajarkan pelajaran. Tanggung jawab kami kan sebagai pengajar, bukan untuk mendidik anak. Meskipun dalam artian mengajar ini salah satu proses dalam pendidikan, tapi pendidikan kan berawal dari keluarga….. Ketika di rumah mereka di- support oleh orang tua, ketika mengerjakan mereka dibantu kan otomatis mereka bisa mencerna materi…... Kadang ada orangtua, “Kalau sudah selesai nanti saya cek ya”, tapi orangtua pulangnya sore. Nah, kadang seperti itu. Ada juga orangtua yang (tak) acuh. Jadi, “Anakku mau mengerjakan ya boleh nggak ya boleh”. (EER, Guru kelas 4, SDK 1) Pembahasan Emile Durkheim Jenjang SD saat sangat tepat memberikan pendidikan moral. Disebut sebagai masa atau “tahap kanak-kanak kedua‟. Sekolah (khususnya SD) merupakan lembaga yang sangat penting bagi pembentukan dan perkembangan moral anak (Muhni: 1994; Eriyanti: 2006). Moralitas Membentuk manusia yang sosial. Nilai moral = fondasi tertib sosial. Tindakan moral Tindakan yang hanya ditujukan kepada kepentingan kehidupan bersama. Sekolah tempat tepat melakukan proses pendidikan moral karena di dalamnya individu belajar lepas dari ikatan-ikatan emosional seperti dalam keluarga. Sekolah dapat menerapkan aturan dan disiplin yang “keras” yang seringkali sulit dilakukan oleh keluarga. KESIMPULAN Keluarga berperan sangat penting dalam proses pendidikan moral siswa. Perilaku atau akhlak siswa di sekolah pasca- bersekolah daring di rumah, sangat dipengaruhi dan tergantung pada proses pendidikan di rumah. Oleh karena itu, revitalisasi peran keluarga di era yang semakin terdigitalisasi ini menjadi sangat urgen. SEKIAN TERIMA KASIH