Anda di halaman 1dari 77

MALARIA DAN

KEHAMILAN
Oleh :
dr.Soebagjo Loehoeri, SpPD-KTI
Pendahuluan
• Malaria terdapat di negara yang beriklim tropis
terutama negara yang sedang berkembang
seperti Indonesia seperti Indonesia.

• Malaria merupakan penyakit infeksi akut


maupun kronik, semenjak Indonesia belum
merdeka hingga 56 tahun kemerdekaan
Indonesia semakin memprihatinkan.
• Waktu awal dekade kemerdekaan Republik Indonesia,
Pulau Jawa dan Bali merupakan daerah bebas malaria
dan setelah lima dekade kemerdekaan Republik
Indonesia, Pulau Jawa dan Bali merupakan daerah
endemik malaria yang tak tertangani secara tuntas.

• Masalah malaria dan kehamilan merupakan problema


yang kompleks yang makin hari makin meningkat baik
morbiditas dan mortalitas janin maupun ibu
• Pada kehamilan, malaria berat lebih sering
dijumpai dan angka kematiannya lebih tinggi
dibanding dengan ibu-ibu yang tak hamil, selain
itu pada kehamilan juga terjadi peningkatan
prevalensi dan kepadatan P. Falciparum.

• Plasmodium falciparum di daerah tropik pada


kehamilan merupakan penyebab terbesar
kesakitan dan kematian baik janin maupun ibu
(Tjitra, 1991)
• Khususnya infeksi P. falciparum pada wanita hamil
sebagai penyebab beratnya penyakit secara klinis,
sehingga betul-betul sebagai penyebab naiknya
mortalitas, morbiditas penyakit malaria termasuk
meningkatkan tingkat abortus, still birth dan penurunan
berat bayi lahir (Mc. Greger, 1987)

• Wanita hamil khususnya yang tidak kebal terhadap


penyakit malaria dapat menyebabkan anemia yang
berat dan mengarah kepada abortus, still birth, dan
penurunan berat bayi lahir (Brurce Chwatt, 1952; Gilles et al.,
1969; Bray & Anderson, 1979; Brabin, 1983; Mc. Greger, 1984 dan
Nosten et al, 1991).
Pembahasan
A. Epidemiologi
• Endemisitas daerah ditentukan atas prevalensi
parasitemia dan pembenaran limpa pada
anak-anak umur dibawah 9 tahun.
• Berdasarkan kriteria tersebut, termasuk
hipoendemik jika prevalensi parasitemia dan
pembesaran limpa kurang dari 10%,
mesoendemik 11-50%, hiperendemik 50-75%
dan haloendemik lebih dari 75 % (White &
Breman, 1994).
• Dampak malaria di daerah endemik yang tinggi,
terutama mengenai primi gravida dan sekundi
gravida.
• Sedangkan untuk daerah yang rendah sampa
seperti Indonesia, semua kelompok paritas
(primigravida sampai multigravida mempunyai
resiko yang sama (Dwiprahasto, 1996).
• Pada daerah penularan yang stabil dan tinggi,
wanita hamil umumnya asimptomatik meskipun
selanjutnya ditemukan eritrosit yang
mengandung parasit dalam mikrosirkulasi
plasenta.
• Daerah yang penularannya tidak stabil (hipoendemik
atas mescendemik), infeksi wanita hamil cenderung
berat terutama mudah untuk peningkatan parasitemia,
anemia, hipoglikemia dan edema paru akut (White &
Breman, 1994)
• Konseskuensi infeksi malaria pada wanita hamil adalah
lebih sering dibanding yang tidak hamil dan serius di
daerah endemis yang rendah berlawanan dengan di
daerah endemis yang tinggi.
• Lebih dari itu, daerah endemis yang rendah, wanita dari
semua paritas kesempatan terinfeksinya sama, tetapi
endemis yang tinggi, wanita hamil untuk yang pertama
kali rupanya pada posisi resiko tertinggi (Mac. Gregser, 1987)
• Kejadian epidemiologis dari daerah endemik
tinggi pada wanita hamil punya kapasitas
bertahan dalam menghindari dari malaria yang
serius, yang rentan terbanyak adalah wanita
primigravida dan berkurang pada paritas
berikutnya.
• Sangat jarang secara klinis terdeteksinya
malaria congenital pada bayi yang baru lahir di
seluruh daerah dengan endemisitas tinggi,
rupanya dalam perdebatan terhadap suatu
gangguan serius imunitas malaria selama
kehamilan
• Kadar IgG rata-rata poada anak baru lahir
Gambia terdapat lebih tinggi secara bermakna
dari pada anak baru lahir secara Caucasia.
• Antibodi malaria dari anak baru lahir Gambia
dapat segera didemonstrasikan.
• Mc. Greger dan Wilson (1971), memeriksa
pasangan ibu/anak yang tinggal di pedesaan
Gambia, mendapatkan antibodi 98% dari serum
maternal dan 97% serum bayi baru lahir.
B. Patogenesis
• Selama kehamilan berjalan normal, sistem
kekebalan diatur untuk menjamin bahwa janin
tidak terjadi rejeksi sebagai benda asing.

• Jalur regulasi tersebut bertumpu pada mediator


peptida dan steroid serta pembersihan trofoblas
plasenta oleh sirkulasi darah dalam rongga vili.
• Multiplikasi parasit intraeritrosit dalam
neovaskuler tersebut dipengaruhi oleh fungsi
fisiologis plasenta.

• Darah ibu membersihkan vili yang dipenuhi


dengan eritrosit yang terinfeksi parasit.
Mekanisme yang terjadi di endothelium akibat
konsentrasi parasit yang matur dalam plasenta
masih belum diketahui (Willer, et al., 1994)
• Di daerah yang sama, prevalensi parasitesmia
dan kepadatan parasit meningkat pada wanita
hamil dibanding wanit tidak hamil.

• Campbel et al., menentukan kepadatan parasit


P. falciparum 6896/mm3 pada wanita hamil dan
3808/mm3 pada wanita tidak hamil, kepadatan
P. vivax 3564/mm3 pada wanita hamil dan
1949/mm3 pada wanita tidak hamil.
• Prevalensi parasitemia berkurang dengan
peningkatan paritas (Sit. Arvin et al., 1990)

• Pemisahan dalam sinusoid akibat


penurunan tekanan dan faktor parasit itu
sendiri, misalnya bentuk rosette akan
menghambat aliran ke arah kapiler post
sinusoid.
• Keberadaan sepanjang sinsiotroblast berkaitan
dengan fokal vilitis dan mikrofoki dari muatan
fagosit mononuclear dengan pigmen (Wilter et al.,
1994)

• Fokus inflamasi lokal dan adanya sitokin yang


spesifik di dalam dan sekitas vili korion
menyebabkan gangguan fungsi sinsitrofoblast,
akibatnya menurunkan nutrisi janin.
• Meskipun berbeda asal, sitokin dari ibu
dan janin mempunyai proporsi relatif sama
dalam complex microenvironment yang
sulit untuk di analisis.

• Hal ini dapat memberi pengertian


mengenal kemungkinan pengaruh paritas
terhadap kekebalan wanita (Miller et al.,
1994)
• Sejak permulaan invasi stadium selanjutnya,
menimbulkan reaksi sitokin yang demikian
komplek terhadap parasit malaria akibat
terpaparnya berbagai jenis sistem kekebalan
terhadap bermacam-macam antigen plasmodia.

• Sitokin yang dihasilkan terutama adalah tumor


necrosis faktor (TNF), lymphoxin (LT), interferon
gamma (IFNa), intrleukin (IL-1, IL-2, IL-3, IL-4,
IL-5, IL-6, IL-10, IL-12) transforming growth
faktor beta (TGFa) dan granulocytel-
monocytecolony stimulating faktor (GM-CSF)
(Richards, 1996)
• Sitokin memegang peranan pada aktivitas
respon imun dan kadar dalam serum meningkat
berkaitan dengan derajat keparahan penyakit.

• Destruksi eritrosit yang terinfeksi parasit dalam


vaskuler terjadi di hati, paru, otak sum-sum
tulang dan limpa.

• Pada malaria serebral yang fatal, kadar TNF


meningkat 2x dibanding malaria serebral yang
tidak fatal dan meningkat 10x dibanding malaria
tanpa komplikasi (Urguhart, 1994)
C. Kekebalan

• Banyaknya penelitian mengenai pengaruh


kehamilan terhadap fungsi kekebalan pada
umumnya, tetapi hanya sedikit yang menitik
beratkan pada respon kekebalan terhadap P.
falciparum.

• Wanita non imun penyakit lebih mudah menjadi


berat, abortus dan lahir mati.
• Pada kehamilan I dan II, wanita dengan
kekebalan klinik lebih mudah terjadi
peningkatan kepadatan parasitemia (Miller
et. al., 1994)

• Antibodi anti malaria Ibu  bayi.


Penelitian I Gambia : antibodi P.
falciparum (24 jam) kelahiran  87% bayi
dan 87,5% ibu. Pembentukan antibodi
• Antibodi antimalaria dialihkan dari ibu ke bayi.
• Penelitian I Gambia melaporkan antibodi P.
falciparum dalam 24 jam kelahiran terdapat
pada 87% bayi dan 87,5% ibu.
• Pembentukan antibodi dipengaruhi oleh tempat
tinggal ibu.
• Bayi yang lahir di daerah malaria 97%
mempunyai antibodi malaria, sedangkan bayi
yang lahir di daerah urban mempunyai antibodi
malaria 75, 8% (Arvin et. Al., 1990)
• Antibodi malaria dapat diperiksa dengan fiksasi
komplen, secara tidak langsung dengan
hemaglutinasi dan fluorosensi.
• Kadar presipitasi antibodi dan antibodi yang
diperiksa dengan hemaglutinasi menurun dalam
waktu 25 minggu.
• Sebagai infeksi post natal, dimulai pembentukan
antibodi endogen.
• Jumlah IgG yang dipindahkan ke janin menurun
jika plasenta mengalami infeksi parasit yang
berat (Arvin et. Al., 1990)
• Reaksi sitokin yang spesifik dan non-spesifik
terjadi akibat terpaparnya berbagai imunosit
terhadap antigen parasit malaria sejak awal
stadium infasi sporozoid yang diikuti stadium
lanjutnya.
• Sel yang paling berperan pada produksi sitokin
non-spesifik yang disebabkan oleh antigen
parasit adalah monosit/makrofag.
• Sel lain yang menghasilkan sitokin secara non
spesifik adalah neutrofil, eusinofil, natural killer,
sel dendritik dan sel endotelial.
• Sel yang khusus bereaksi terhadap antigen
malaria dan banyak menghasilkan sitokin adalah
limfosit T dan B, sedangkan malaria antigen
spesifik IgG mengekspresikan sel basofil sel
mast (Richards, 1996)

• Sistem kekebalan ini biasanya memberikan


peluang untuk mengembangkan kekuatan klinik
melawan malaria.
• Meskipun tidak membebaskan parasit sama
sekali, setidaknya memberikan perlindungan
terhadap serangan penyakit yang gawat
tersebut.

• Ada bukti lain bahwa sistem kekebalan tidak


memberikan perlindungan kepada hospes.

• Belum diketahui apakah disebabkan karena


faktor parasit, faktor hospes atau kedua-duanya.
• Untuk dapat melenyapkan sama sekali parasit
dari hidup manusia, atau paling tidak
mengendalikan penyakit malaria, dibutuhkan
pengetahuan yang lebih menyeluruh mengenai
pengaruh timbal balik antara hospes dan parasit,
khususnya mengenai sisstem kekebalan
(Dwiprahasto, 1996)
D. Keadaan Plasenta

• Keadaan intervili plasenta terdapat banyak


eritrosit yang ebrisi parasit dan pigmen
• Tampak nekrosis fokal dari sisitial
hilangnya mikrovili sisitial, proliferasi sel
sitotrofoblast dan penonjolan dari
sisitiofoblast ke dalam dasar membran
(Tjitra, 1991).
• Rongga intervili plasenta yang terinfeksi malaria
terbungkus makrofag limfolid terdiri dari pigmen
fagosit dalam granula besar, banyak limfosit dan
leukosit polimorfonuklear yang imatur.
• Ditemukan banyak gametosit (Arvin et. Al., 1990)
• Umumnya infeksi di plasenta lebih berat
dibandingkan darah tepi.
• Plasenta dapat mengandung eritrosit yang
terinfeksi parasit sampai 65% meskipun di darah
tepi dan plasenta dari wanita hamil yang baik
perkembangan kekebalannya.
• Pada imigran yang datang dari daerah non
endemik ke daerah endemik dapat terjadi
keadaan yang berlawanan yaitu sering terlihat
parasitemia tinggi tanpa infeksi plasenta yang
berat (Sit. Tjitra, 1991)

• Miller & Telford (1996) melaporkan kasus


malaria plasenta pada wanita Nigeria 40 th.,
hamil 36 minggu.
• Dilakukan bedah cesar emergensi, lahir bayi
laki-laki sehat dengan Apgar score 6-9.

• Ibu terinfeksi P. falciparum dan P. malariae,


pengobatan dilaporkan berhasil dengan
menggunakan quinine dan doksisiklin, bayi yang
dilahirkan tidak menderita malaria.
• Dari gambaran patologis anatomis plasenta
dengan mikroskopis cahaya memberikan
gambaran darah ibu dipenuhi eritrosit yang
mengandung parasit.

• Dalam sel yang terinfeksi, residu produk


hemoglobin yang hancur terlihat seperti titik-titik
mengkilat (panah pendek), dikelilingi kromatin
berwarna biru dari parasit (panah panjang).
• Eritrosit janin masuk ke dalam lingkaran kapiler
vili plasenta (kepala anak panah) yang bebas
parasit, hal ini menunjukkan bahwa malaria tidak
menembus plasenta.
• Plasenta yang banyak mengandung pigmen
tetapi tak ada parasitnya, menunjukkan adanya
infeksi lama atau infeksi yang tak aktif.
• Tak tampak kumpulan monosit atau kelainan
trofoblas, tetapi terdapat penebalan dasar
membran.
• Secara imunohistologis tak ada perbedaan
bermakna antara plasenta yang positif parasit
dengan plasenta yang hanya berpigmen (Sit. Tjitra,
1991)
• Dilaporkan prevalensi parasit plasenta 26,4%.
• Sistem klasifikasi berdasar diagnosis histology,
plasenta yang terinfeksi malaria dibagi menjadi 4
kelompok.
Pembagian tersebut berdasarkan pada
distribusi parasit dan pigmen malaria yaitu:

1. Infeksi aktif
2. Infeksi kronik, paling banyak mengenai primigravida
yang mencerminkan pembersihan parasit dari
plassenta tidak efektif.
3. Pasca infeksi kronik, hanya menunjukkan pigmen
pada fibrin.
4. Tanpa infeksi (Bulmer et al.)
Komplikasi
A. Abortus, prematuritas, kematian janin
dan bayi lahir mati.
• Adanya gangguan atau mikrosirkulasi
yang berhenti pada plasenta, demam
yang tinggi pada malaria akan
mengaktifkan uterus sehingga dapat
menyebabkan pengeluaran hasil
pembuahan.
• Pada daerah endemisitas rendah, diduga
ada hubungan antara terjadinya abortus
dengan infeksi malaria.
• Di daerah koloendsemis tidak ada
hubungan nyata antara infeksi malaria dan
terjadinya abortus.
• Mc greger (1983) berpendapat bahwa
tidak ada hubungan antara bayi lahir mati
dengan infeksi plasenta.
• Tenyata bayi lahir mati di daerah urban
tertinggi pada paritas tertinggi pula,
sedangkan di daerah lain tertinggi pada
primigravida (Sit. Tjitra, 1991)
• Greenwood et al. 1989, stillbirth atau
kematian neonatal secara bermakna
terjadi banyak pada primigravida (11,5%)
dibanding multigravida (5,6%).
• Kejadian ini dicurigai malaria plasenta
dimungkinkan suatu akibat penting pada
kematian resiko terjadinya stillbirth
terutama pada primigravida di daerah
pedesaan.
• Th. 1951 di Vietnam, rerata kematian janin
14% dari ibu dengan infeksi plasenta.
• Sebagian terbesar terjadi selama
kehamilan trisemester pertama dan setiap
saat terancam abortus (A… et al. 1990)
B. Berat badan lahir rendah
• Berat badan lahir rendah sering dijumpai
pada plasenta yang terinfeksi malaria
dibanding plasenta yang tidak mengalami
infeksi malaria
• Anemia pada ibu menyebabkan
gangguan plasenta dan mempengaruhi
janin.
• Suatu Postulat mengemukakan bahwa
infiltrasi parasit yang berat, keterlibatan
limfosit dan makrofag dalam sirkulasi
darah ibu sampai plasenta berakibat
transport oksigen dan nutrisi janin
menurun.
• Bruce-Chwatt melaporkan infeksi
plasesnta menurunkan berat badan lahir
145 gr.
• McGregor mengestimasi suatu penurunan
berat 170 gr. diantara wanita hamil
dengan plasenta terinfeksi malaria, dan
derajat infeksi malaria pada plasenta
mencapai 20,2%.
• McGregor et al., 1983, melaporkan
insidensi berat badan lahir rendah
hubungannya dengan paritas di Gambia di
daerah urban dan pedesaan dan kalkulasi
datanya dari resiko relatif untuk berat
badan lahir rendah dihubungkan dengan
primiparitas memberi nilai 1,4 sampel
urban (p<0,00) dan 2,9 untuk sample
pedesaan (p<0,000).
C. Partus sulit
• Pembesaran limpa yang dapat mencapai pelvis
dan pembesaran hati merupakan faktor mekanis
yang mendesak diagfragma dan menyulitkan
persalinan.
• Pada saat proses infeksi, makrofag ditarik
menuju arah limpa dan hati untuk melakukan
fagositosis dan mensekresi substansi yang
toksik terhadap parasit
• Kekebalan yang minimal merupakan faktor resiko
terjadinya komplikasi hati dan limpa (Zingman & Viner, 1993)
D. Anemia
• Banyak faktor ikut kontribusi terjadinya
anemia pada wanita hamil yang terinfeksi
malaria, tetapi dua faktor terpenting di
daerah endemis malaria sebagai
penyebabnya, adalah kejadian proses
hemolitik dan defisiensi asam folat (H.M. Gilles,
J.B. et al., 1969)
• Wanita dengan anemia berat dan splenomegali
hubungannya dengan malaria dan kehamilan,
timbulnya suatu sindroma anemia hemolitik
berat dan akut dikemukakan para peneliti di
Nigeria, Uganda dan Tanzania (Kortman, 1972);
Fleming, 1989; Nzare, 1978).
• Di daerah endemis rendah seperti Thailand,
derajat anemia berkaitan dengan kadar
parasitemia P. falciparum.
• Penderita jarang mempunyai Hb kurang dari 7
gr.

• Mekanisme menunjukkan keterlibatan hemolisis


oleh karena parasit dan diseritropoesis.

• Patogenesis anemia berat (Hb kurang dari 5


gr/dl) yang berkaitan P. falciparum dengan
parasitemia rendah masih belum diketahui.
• Diduga anemia berat disebabkan kegagalan
respon sumsum tulang (Miller et al., 1994)
• Mekanisme mungkin melalui respon imun
terhadap malaria menyebabkan pelepasan
sitokin dalam sumsum tulang.
• Hal tersebut menunjukkan bahwa IFN g dan
TNT a menekan hempoesis (Miller at al.,
1994)
E. Gangguan ginjal
• Penelitian di Ethiopia melaporkan 136
penderita gagal ginjal akut, 29 diantaranya
menderita P. falciparum.
• Sespsis pada abortus merupakan
penyebab utama gagal ginjal akut dengan
angka kematian 36,6% (Zeudu, 1994).
• Gagal ginjal akut merupakan akibat
nekrosis tubuler akut
• Gangguan fungsi ginjal umumnya bersamaan
dengan malaria serebral dan kaitannya dengan
gejala klinik “Blackwater fever” tetapi hanya
sebagian kecil yang menjadi gagal ginjal kronik.
• Adanya hiperkatabolik pada gagal ginjal akut
harus dikelola dengan hemodialisis.
• Hemodialisis pada gagal ginjal akut akibat
nekrosis tubuler akut umumnya berlangsung 1-3
minggu, pengatasan ketat keseimbangan cairan
(Locareesuwan & Chongsuphajaisiddhi, 1994)
F. Hipoglikemia
• Pada wanita hamil dengan infeksi berat sering
dijumpai hipoglikemia.
• Hipoglikemia ini adalah berkurangnya suplai
glukosa karena terjadinya hiperinsulinemia,
asedemia dan disfungsi hati yang semuanya
menghambat proses glukoneogenesis.
• Kebutuhan glukosa meningkat karena adanya
hiperinsulenemia, demam, infeksi dan
kehamilan (Sit. Tjitra, 1991)
G. Malaria Congenital
• Sebagian besar peneliti sependapat bahwa
plasenta merupakan barier utama terhadap
parasit malaria dan status kekebalan ibu
berperan menghambat transmisi tersebut.

• Mekanisme transplasenta ini dapat disebabkan


oleh karena penetrasi langsung melalui vili
korion, separasi plasenta yang premature dan
transfusi fisiologis sel darah merah ibu ke
sirkulasi janin di dalam uterus atau pada saat
melahirkan.
• Gejala klinik malaria congenital umumnya
ditemui pada bayi umur 4-6 minggu, sesuai
dengan umur paruh IgG ibu.

• Faktor lain adalah hemoglobin fetal selama


(HbF), sekresi limfogin, makrofag atau
kemoterapi selama kehamilan dapat mencegah
transmisi dari plasenta ke sirkulasi janin (Quin et
al., 1982)
Pencegahan
• Penggunaan kelambu tempat tidur dan
kawat kasa pintu rumah merupakan
pencegahan yang sangat efektif.
• Proteksi individu terhadap gigitan nyamuk
sangat dianjurkan untuk orang yang
berkunjung ke daerah malaria.
• Wanita hamil harus menghindari
perjalanan ke daerah dengan P.
falciparum yang resisten kloroquin, karena
neflokuin dan doksisiklin tidak dapat
digunakan selama kehamilan (Arvin et al.,
1990; Pribadi, 1993)
• Dalam rangka membasmi malaria,
dibutuhkan pilihan obat yang efektif dan
aman, insektisida serta vaksinasi.

• Kemoterapi masih merupakan pilihan


utama karena efektif, efisien dan murah
(Tracy & Webster, 1996).
A. Kemoprofilaksis
• Di daerah yang sensitif klorokuin, digunakan
klorolkuin 1,5 gr. Atau amodiakuin 1,2 gr.
Selama 3 hari.
• Klorokuin, amodakuin dan obat-obatan
inhibitor dihidrofolat reduktase (perimatamin,
proguanil dan klorproguanil) cukup aman untuk
kemoprofilaksis ibu hamil.
• Pemberian obat-obatan tersebut harus disertai
dengan asam folat terutama pada trisemester
pertama
Obat-obat kemoprofilaksis malaria untuk ibu hamil
Daerah Obat Dosis oral Efek Nama
samping dagang

Sensitif Klorokuin 300 mg/mgg Neuroretinitis, Nivaquine


gangguan resochine
Klorokuin
penglihatan

Amodiakuin 300 mg/mgg Neutropenia Camoquine

Resisten Klorokuin + 300 mg/mgg Defisiensi Pludrine


Proguanil 200mg/hari asam folat
klorokuin
SP 1 tab/mgg Neutropenia Fansidar
(sulfadoksin/sul (S=500 mg, Reaksi kulit
falen +
P=25 mg) agranulositosi
pirimethamin)
s
Klorokuin + 300 mg/mgg Hemolisis Maloprim
Dapsone+ 100 mg/mgg Defisiensi
Pirimethamin asam folat
12,5 mg/mgg

Diambil dari Tjitro, 1991


• Wanita hamil harus dilindungi, infeksi malaria
selama kehamilan akan cenderung menjadi
berat.
• Obat-obat yang merupakan kontraindikasi
adalah doksisiklin, meflokuin (trisemester I) dan
primakuin.
• Pilihan terbaik adalah klorokuin mingguan
(hidroksiklorokuin)dengan atau tanpa proguanil
dengan fansidar (tidak dapat digunakan pada
akhir kehamilan ) (Goldsmith, 1977).
• Meskipun primakuin tidak diketahui
mempunyai efek teratogen pengalaman
penggunaan selama kehamilan masih
terbatas, oleh karena itu rekomendasi
pengobatan dengan primakuin untuk
eradikase fase eksoeritrositer infeksi P.
vivax ditangguhkan sampai melahirkan
(Arvin et. al., 1990)
B. Vaksinasi
• Penggunaan vaksin masih menghadapi
beberapa kendala, secara pengembangan
penelitian memberikan hasil yang menjanjikan.

• Vaksin yang komponennya terdiri dari epitop


yang tidak sesuai dengan P. falciparum isolat
Indonesia, bila dicoba pada masyarakat
endemik Indonesia tidak akan memacu respon
yang maksimal karena tidak terjadi infeksi
natural, sehingga penggunaan di lapangan
belum berhasil.
Pengobatan
• Klorokuin merupakan obat pilihan untuk strain
sensitif Falciparum dan P. malariae.
• Klorokuin fosfat diberikan oral dosis awal 10
mg/kg, dari klorokuin base, 6 jam kemudian
dosis 5 mg/kg klorokuin base.
• Selanjutnya 5 mg/kg korokuin base diberikan 34
jam dan 48 jam setelah pemberian pertama.
• Infeksi P. vivax diobati dengan klorokuin
saja karena sporozoid tidak ditularkan dan
tidak ada fase eksoertrotik pada infeksi
kongetial, sehingga tidak perlu pemberian
primakuin (Arvin et. Al., 1990)
Pengobatan oral malaria akut pada
kehamilan

Hari pengobatan Klorokuin Amodiakulin

Hari I 600 mg 600 mg


6 jam kemudian 300 mg -
Hari II 300 mg 300 mg
Hari III 300 mg 300 mg

(Tjitra, 1991)
• Di daerah yang resisten klorokuin digunakan SP
(fansidar), 3 tablet dosis tunggal.
• Menurut Marshaal (1986) kerja fansidar lambat,
sehingga perlu didahului pemberian kina 3
tablet/hari (1 tablet = 600 mg) selam 2 hari dan
diikuti 2 tablet fansidar.
• Penggunaan fansidar selama kehamilan harus
dibawah pengawasan dokter karena efek
samping teralogenik (Sit. Tjitra, 1991)
Prinsip penanganan malaria berat

I. Terhadap parasitemia
1. Obat anti malaria
a) Kina (HCL/Kinin Antipirin)
Dosis loading 20 mg/kg Kina Hcl dalam
100-200 cc Dextrose 5% atau NaCl
0,9% selama 4 jam, dilanjutkan dengan
10 mg/kg dalam waktu 4 jam.
• Apabila penderita sudah sadar, kina
diberikan per oral dosis 3x400-600 mg
selama 7 hari dihitung dari pemberian hari
I parenteral.
• Tidak berbahaya bagi wanita hamil
b) Kinidin.
• Dosis loading 15 mg basa/kg BB
dilarutkan dalam 250 cc cairan isotonik
selama 4 jam, diteruskan dengan 7,5 mg
basa/kg BB dalam 4 jam, diulang tiap 8
jam, dilanjutkan per oral setelah sadar.
c) Klorokuin
• Dosis loading 10 mg basa/kg BB
dilarutkan dalam 500 cc cairan isotonis
dalam 8 jam, dilanjutkan dosis 5 mg/kg BB
selama 8 jam diulang 3 kali.
• Keuntungannya tidak menyebabkan
hipoglikemia dan tidak mengganggu
kehamilan.
d) Infeksi kombinasi Sulfadoksin –
pirimitamin (Fansidar ).
Ampul 2 ml : 200 mg S-PDRB +
pirimitamin
2. Exchange transfusion (transfusi ganti)
• Indikasinya bila parasit > 10% dan
mempunyai gejala komplikasi yang berat
seperti hemoglobinuria, koagulasi
intravaskuler dan memburuknya gejala
neurologik
II. Pemberian cairan dan nutrisi

III. Penanganan gangguan fungsi organ


yang mengalami komplikasi (Harijanto,
1996)
Prognosis
• Prognosis jelek jika dijumpai komplikasi
multipel atau jika sel darah merah
mengandung infeksi parasit matur > 20%
atau neutrofil mengandung pigmen > 5%.
• Bateriemia gram negatif memberi
kontribusi terhadap kematian (Goldsmith,
1977)
Prognosis jelak pada malaria berat

Gambaran klinik Gangguan kesadaran


Konvulasi berulang ( > 3/24 jam )
Distress pernafasan (cepat, dalam, kerja berat,
mendengkur)
Perdarahan syok
Gambaran biokimia Gangguan ginjal (kreatinin serum > 3 mg/dl)
Asidosis (bikarbonat plasma < 15 mmol/Leberque)
Jaundice (bilirubin total serum > 2,5 mg/dl)
Hiperlaktatemia (laktat > 45 mg/dl)
Hipoglekemia (gula darah < 40 mg/dl)
Kadar aminotransferase meningkat > 3x normal
Gambaran Parasitemia (> 500.000 parasit/mm3 atau > 10.000
hematologi tropozoid matur dan sizonit/mm3)
> 5% netrofil terdiri dari pigmen malaria

(White, 1996)
Kesimpulan
• Diantara empat spesies plasmodium,
malaria Falciparum merupakan spesies
yang lebih banyak menimbulkan masalah
terutama adanya resistensi terhadap
klorokuin dan komplikasi yang terjadi lebih
berat.
• Wanita hamil terutama primipra mudah
mendapat infeksi malaria, kepadatan
parasit lebih tinggi dan manifestasi klinik
berat karena adanya imunosupresi selama
kehamilan.
• Abortus, prematuritas, kematian janin, bayi
lahir mati, berat badan lahir rendah,
malaria kongenital, partus sulit, gangguan
ginjal dan hipoglikemia merupakan
komplikasi malaria pada kehamilan.
• Pencegahan malaria antara lain
menghindari gigitan nyamuk, insektisida,
kemoprofilaksis dan vaksinasi.
• Pengembangan vaksin perlu penelitian
lebih lanjut, mengingat masih kontroversi
dari aspek efikasi dan kemungkinan terjadi
perubahan strain parasit.
• Kemopofilaksis pada populasi umum
dianggap paling efektif.
• Tetapi pada kehamilan masih dilematis,
karena itu harus dipertimbangkan
mengenai usia kehamilan/paritas, endemis
daerah, adanya resistensi obat dan obat-
obat yang merupakan kontraindikasi

Anda mungkin juga menyukai