Anda di halaman 1dari 10

MERAIH KEBAHAGIAAN

DENGAN MEMPERBANYAK
SYUKUR
Oleh: Yani Rahma Wati
Pengertian Bersyukur
Bersyukur berasal dari kata dasar ‘syukur’ dan mendapatkan awalan ‘ber’, sehingga
berstatus sebagai kata kerja. Kata ‘syukur’ berasal dari bahasa Arab ‘syakara’ yang
artinya membuka. Jika diartikan bebas, maka bersyukur ialah diartikan sebagai
kesediaan sikap untuk membuka mata hati dan mengakui semua nikmat dan karunia
yang diberikan Allah. Tanpa kesediaan membuka mata hati, maka orang tidak mau
mengakui pemberian Allah. Sebaliknya, yang terjadi justru protes dan merasa selalu
tidak puas atas pemberian Allah. Padahal, bisa saja Allah mengira pemberian yang
dilimpahkan itu telah melampaui yang seharusnya, karena yang bersangkutan tidak
dekat dengan Allah.
Bentuk dan Contoh Perilaku
Syukur
Mengacu kepada pengertian iman, yaitu membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan
membuktikan dengan amal perbuatan, maka bentuk syukur juga ada tiga, yaitu:
1) Syukur dengan Hati
Bersyukur dengan hati, yaitu mengakui dan menyadari dengan sepenuh bahwa segala nikmat yang
diperoleh berasal dari Allah Swt. dan tiada seseorang pun selain Allah Swt. yang dapat memberikan
nikmat itu. Bersyukur dengan hati juga berupa rasa gembira dan rasa terhadap nikmat yang telah
diterimanya.
2) Syukur dengan Lisan
Bersyukur dengan lisan, yaitu mengucapkan secara jelas ungkapan rasa syukur itu dengan kalimat
hamdalah. Bahkan ada beberapa doa yang diajarkan oleh rasul sebagai ungkapan syukur atas nikmat
tertentu, misalnya doa setelah makan, doa bangun tidur, doa selesai buang hajat dan lain sebagainya.
• 3) Syukur dengan Amal Perbuatan
Bersyukur dengan amal perbuatan, yaitu menggunakan nikmat yang telah Allah berikan.
Misalnya menggunakan anggota tubuh untuk melakukan hal-hal yang baik. Misalnya:

 menggunakan anggota tubuh untuk melakukan hal-hal yang positif dan diridhai Allah Swt.
 jika seseorang memperoleh nikmat harta benda, maka ia mempergunakan harta itu sesuai
dengan jalan Allah Swt.
 Jika nikmat yang diperolehnya berupa ilmu pengetahuan, ia akan memanfaatkan ilmu itu untuk
keselamatan, kebahagian, dan kesejahteraan manusia dan diajarkan kepada orang lain; bukan
sebaliknya, ilmu yang diperoleh digunakan untuk membinasakan dan menghancurkan
kehidupan manusia.
“Rasa syukur menjadi faktor yang
mempengaruhi kebahagiaan yang ada pada diri
manusia”
Salah satu perintah Allah adalah mengingat-Nya dan bersyukur kepada-Nya. Dan salah satu
cara terbaik untuk menyembah-Nya dengan melakukannya sesuai dengan ajaran yang telah
diberitahu-Nya. Allah berfirman bahwa:
‫َو ِاْذ َتَاَّذ َن َر ُّبُك ْم َلِٕىْن َشَك ْر ُتْم َاَلِزْيَد َّنُك ْم َو َلِٕىْن َك َفْر ُتْم ِاَّن َع َذ اِبْي َلَش ِد ْيٌد‬ •
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu …
“(Qur’an surat 14:7 ). Melalui ayat tersebut menyatakan bahwa seseorang yang bersyukur
akan menemukan banyak hal untuk disyukuri, karena itu membuat mereka merasa lebih baik.
Inilah kesempurnaan dari Allah Sang Pencipta Dia memberi tahu kita bagaimana kita bisa
bahagia dan menghubungkan otak kita agar kita menciptakan kebahagiaan dengan menaati-
Nya.
Pentingnya Rasa Syukur untuk Kebahagiaan

Dengan adanya rasa syukur yang tertanam dalam diri seseorang, akan membuat
orang tersebut merasa lebih positif menjalankan kehidupannya. Dan dengan
bersyukur menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam meraih
kebahagiaan. Bersyukur pun akan menjadikan seseorang merasa lebih bahagia, dan
optimis dalam menjalani hidupnya. Jadi dengan bersyukur seseorang akan terus
memaknai kehidupan dan menjalankannya dengan kebahagiaan dan sepenuh hati,
kenapa seperti itu? Karena hati dan pikiran mereka percaya akan ketetapan yang
Allah berikan. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa bersyukur membantu kita
untuk merasa bahagia.
Kisah Abu Qilabah, Sahabat Nabi yang Selalu
Bersyukur
Kisah Abu Qilabah yang selalu bersyukur dikisahkan dalam buku Rahasia Dahsyat di Balik Kata Syukur karya Yana Adam,
berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Muhammad. Abdullah bin Muhammad pernah mengatakan, “Suatu hari, aku pernah
berada di daerah perbatasan, wilayah Arish di negeri Mesir. Aku melihat sebuah kemah kecil yang dari bentuknya menunjukkan
bahwa pemiliknya orang yang sangat miskin. Lalu, aku pun mendatangi kemah yang berada di padang pasir tersebut untuk
melihat apa yang ada di dalamnya. Aku melihat ada seorang laki-laki, tetapi bukan laki-laki biasa. Kondisi laki-laki itu sedang
berbaring dengan tangan dan kakinya yang buntung, telinganya sulit mendengar, matanya buta, dan tidak ada yang tersisa selain
lisannya yang berbicara.
Dari lisannya, orang tersebut mengucapkan, “Ya Allah, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah
Engkau anugerahkan kepadaku. Dan Engkau sangat memuliakan aku dari ciptaan-Mu yang lain.” Lantas aku pun menemuinya
dan berkata kepada orang itu, “Wahai saudaraku, nikmat Allah mana yang engkau syukuri?” Sang laki-laki pemilik kemah
menjawab, “Wahai saudara, diamlah. Demi Allah, seandainya Allah datangkan lautan, niscaya laut tersebut akan
menenggelamkanku atau gunung apa yang pasti aku akan terbakar atau dijatuhkan langit kepadaku yang pasti akan
meremukkanku. Aku tidak akan mengatakan apapun kecuali rasa syukur.”
Aku kembali bertanya, “Bersyukur atas apa?” Laki-laki pemilik kemah menjawab lagi, “Tidakkah engkau melihat Dia
telah menganugerahkan aku lisan yang senantiasa berdzikir dan bersyukur. Di samping itu, aku juga memiliki anak yang
waktu sholat ia selalu menuntunku untuk ke masjid dan ia pula yang menyuapiku. Namun, sejak tiga hari ini dia tidak
pulang kemari. Bisakah engkau tolong carikan dia?” Aku pun menyanggupi permohonannya dan pergi untuk mencari
anaknya. Setelah beberapa saat mencari, aku mendapati jenazah yang sedang dikerubungi oleh singa. Ternyata, anak
laki-laki tersebut telah diterkam oleh kumpulan singa.
Mengetahui tragedi itu, aku pun bingung bagaimana cara mengatakan kepada laki-laki pemilik kemah itu. Aku lalu
kembali dan berkata kepadanya untuk menghiburnya. “Wahai saudaraku, sudahkah engkau mendengar kisah tentang
Nabi Ayyub?” Lelaki itu menjawab, “Iya, aku tahu kisahnya.” Kemudian aku bertanya lagi, “Sesungguhnya Allah telah
memberinya cobaan dalam urusan hartanya. Bagaimana keadaannya dalam menghadapi musibah itu?” Ia menjawab, “Ia
menghadapinya dengan sabar.” Aku bertanya kembali, “Wahai saudaraku, Allah telah menguji Ayub dengan kefakiran.
Bagaimana keadaannya?” Lagi-lagi ia menjawab, “Ia bersabar.” Aku kembali memberi pertanyaan, “Ia pun diuji dengan
tewasnya semua anak-anaknya, bagaimana keadaannya?” Ia menjawab, “Ia tetap bersabar.” Aku kembali bertanya yang
terakhir kali, “Ia juga diuji dengan penyakit di badannya, bagaimana keadaannya?” Ia menjawab dan balik bertanya, “Ia
tetap bersabar. Sekarang katakan padaku dimana anakku?”
• Lalu aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam
keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas. Semoga Allah melipatgandakan
pahala bagimu dan menyabarkan engkau.” Selanjutnya, laki-laki pemilik kemah itu berkata,
“Alhamdulillah, yang Dia tidak meninggalkan keturunan bagiku yang bermaksiat kepada
Allah sehingga ia di azab di neraka.” Kemudian ia menarik napas panjang lalu meninggal
dunia. aku pun membaringkannya di tangan, kututupi dengan jubahku, dan meminta bantuan
kepada empat orang laki-laki yang lewat mengendarai kuda untuk mengurus jenazahnya.
Keempat laki-laki tersebut ternyata mengenali jenazah yang tinggal di kemah kecil, mereka
berkata, “Ini adalah Abu Qilabah, sahabat dari Ibnu Abbas. Laki-laki ini pernah dimintai oleh
khalifah untuk menjadi seorang hakim. Namun, ia menolak jabatan tersebut.”
‫•‬ ‫‪َ.‬ج َز اُك ُم ُهللا َخ ْيًر ا َك ِثْيًر‬

Anda mungkin juga menyukai