Semua realitas di atas bukannya tanpa sebab, sebab di dunia ini selalu berlaku hukum
kausalitas, ada sebab pasti ada akibat. Politik pendidikan nasional sejatinya memberi
andil, untuk tidak dikatakan menjadi penyebab utama, karena apa yang terjadi di
lapangan adalah manifestasi dari regulasi yang ada.
Setiap undang-undang sistem pendidikan nasional pastilah tidak steril dari berbagai
kepentingan, utamanya kepentingan pragmatis dan kepentingan ideologis. Kepentingan
pragmatis dapat berupa upaya mempertahankan kekuasaan atau mengeruk materi,
sedangkan kepentingan ideologis berkaitan dengan upaya menggiring masyarakat pada
ideologi atau paham tertentu yang dikehendaki penguasa.
Demikianlah pendidikan sejati semakin sulit ditemukan di negeri ini, kebijakan
pendidikan terjebak pada pragmatisme. Pendidikan sejati sebagai sebuah pemanusian
manusia semakin tidak terdengar gaungnya. Yang tersisa hanyalah pendidikan untuk
mengisi job tertentu di industri atau birokrasi. Dunia pendidikan kini ‘bertekuk lutut’
pada market demand, permintaan pasar. Akibatnya sering terjadi booming lulusan dengan
spesifikasi atau jurusan yang sama, yang pada akhirnya merugikan jurusan itu sendiri,
seperti ditutup atau dihapusnya jurusan tertentu di perguruan tinggi. Penutupan atau
penghapusan jurusan sebenarnya adalah sesuatu yang aneh karena kebijakan ini berarti
menafikkan kajian ilmu tertentu.
Kebijakan politik pendidikan nasional yang kedua adalah dimasa orde baru, yakni dengan
dikeluarkannya undang-undang sistem pendidikan ditahun 1989. Berbeda dengan
kebijakan di era orde lama, kebijakan di era orde baru memberi penekanan pada
sentralisasi dan birokratisasi. Di masa ini jalur birokrasi sebagai sebuah kepanjangan
tangan dari pusat sangat kental. Orang-orang daerah didoktrin sedemikian rupa sehingga
menjadi kader-kader yang ‘yes man’, selalu bertaklid buta terhadap kepentingan pusat.
Akibat yang terjadi dari kebijakan ini adalah matinya daya kritis, daya kreatif dan daya
inovatif, yang ada hanyalah birokrat yang “sendikho dhawuh’. Bahkan sistem pada masa
ini berhasil membunuh idealisme. Orang-orang atau cendekia yang idealis, kritis, dan
inovatif tiba-tiba memble ketika masuk pada jalur birokrasi.
Di era ini pula terjadi penyeragaman-penyeragaman sehingga budaya daerah, seni daerah,
dan kearifan lokal mengalami nasib yang tragis, bahkan banyak yang telah mati. Yang
tersisa hanyalah seni dan budaya yang sifatnya mondial. Bahkan istilah Bhinneka
Tunggal Ika yang sejatinya bermakna berbeda-beda tetapi satu jua telah dimaknai
menjadi sesuatu entitas yang seragam, ya serba seragam.
Kebijakan politik pendidikan nasional yang ketiga adalah kebijakan pendidikan di era
reformasi. Kebijakan ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional N0 20 tahun 2003. Di era reformasi ini penekanannya terletak pada
desentralisasi dan demokratisasi. Kewenangan yang semula terletak di pusat dan berjalan
secara top-down diubah dengan memberi kewenangan daerah yang lebih luas sehingga
pola yang berjalan adalah bottom-up. Regulasi yang relatif longgar di era reformasi ini
ternyata belum memberi angin segar bagi dunia pendidikan, bahkan banyak potensi untuk
diselewengkan dengan mengambil dalih demokratisasi dan desentralisasi.Demokrasi
telah menjadi kebebasan dan desentralisasi daerah telah menjadi keangkuhan daerah.
Bahkan di era ini semakin jelas keterpurukan masyarakat miskin karena semakin sulit
mengakses pendidikan tinggi. Lebih dari itu implementasi kebijakan pendidikan yang
demokratis dan mengedepankan potensi daerah semakin dinafikkan. Sistem evaluasi yang
masih terpusat, kekerasan dalam pendidikan, dan banyaknya penyimpangan dalam proses
pendidikan semakin memberi catatan buram bagi pendidikan di era reformasi ini. Dalam
konteks pembangunan demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia, peran politik
eksekutif dan legislatif untuk memajukan pendidikan begitu besar. Ranah politik dan
kekuasaan harus mampu mewujudkan sistem pendidikan yang mencerdaskan dan
mencerahkan peradaban bangsa ini.
Perbedaan antara soft power dan hard power dapat dilihat dalam tiga hal: ciri, instrumen,
dan implikasinya. Soft power berciri mengooptasi dan dilakukan secara tidak langsung,
sedangkan hard power bersifat memaksa atau memerintah dan dilakukan secara langsung.
Instrumen soft power berupa nilai, institusi, kebudayaan, kebijakan, sementara hard
power antara lain militer, sanksi, uang, suap, bayaran. Karenanya tidak seperti soft power
yang berimplikasi mengooptasi, hard power kerap mengundang munculnya perlawanan.
Ramalannya terbukti. Irak yang telah ditaklukkan pemerintahannya justru menjadi ladang
aktivitas kaum teroris yang beraksi tiap hari (daily terrorism). Teror yang bagi mereka
dimaksudkan untuk menandai perlawanan terhadap kaum “kafir” yang disimbolkan
dengan Amerika dan pemerintahan anteknya. Ini membuktikan bahwa kekerasan yang
telah mengawali setiap tindakan untuk meraih tujuan akan berujung pada kekerasan yang
tidak kunjung selesai.
Setiap kesuksesan di awali dan diakhiri dengan pendidikan. Kesuksesan dalam politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan agama dibangun di atas pondasi pendidikan.
Kesuksesan tanpa proses pendidikan adalah hayalan. Hayalan yang berkembang dalam
diri dan memiliki gap yang besar akan membuat stress atau bahkan gila. Pendidikan yang
kurang memadai jika dibarengi dengan tumpukan hayalan sebagaimana yang ditawarkan
oleh sinetron dan iklan di media cetak dan elektronik akan membuat sebagian masyarakat
menjadi benar-benar gila. Gila jabatan, gila harta, gila kecantikan, dan lainnya. Bukan
hanya rakyat jelata yang terserang penyakit ini tetapi juga politisi, penguasa, pengusaha,
guru, dosen, dan kyai. Trend kegilaan ini bisa ditemukan dalam kehidupan nyata. Mereka
yang mestinya digugu dan ditiru malah membuat adegan saru dan menjadi tontonan
publik. Pertikaian karena rebutan “roti” kejayaan menunjukkan bahwa mereka tidak akan
pernah meraih kejayaan itu.
Pendidikan merupakan soft power, kekuatan sejati yang tidak kasat mata, tetapi semua
orang memerlukan dan merasakan kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh
politis yang amat besar dalam kehidupan manusia. Manusia yang terdidik dengan baik
dan sehat ia akan mampu mengkreasi diri untuk mengubah pendidikan menjadi media
berpolitik adiluhung dan sekaligus mampu mendidik politik lewat pendidikan.
Pendidikan politik dan politik pendidikan bisa berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa
bermusuhan.
Meskipun belakangan soft power menjadi arus global, jauh hari Jepang telah
menerapkannya untuk membangun kembali hubungan baik dengan negara-negara bekas
jajahan termasuk Indonesia. Jepang menggunakan soft power berupa bantuan ekonomi
atau pinjaman lunak untuk memikat hati negara-negara sahabat, lalu dilanjutkan dengan
perjanjian bilateral yang mengikat sehingga ketergantungan kepada Jepang meningkat.
Misal, di bidang pendidikan Jepang memberikan beasiswa untuk belajar di universitas-
universitas di Jepang. Juga, pembuatan pusat kebudayaan Jepang sebagai sarana infiltrasi
budaya. Ini berbeda dengan Amerika yang menerapkan soft power berupa tindakan-
tindakan responsif, rhetorical support untuk demokrasi dan HAM, penguasaan opini
publik dan kredibilitasnya untuk menguasai percaturan politik dunia.
Berbeda dengan revolusi industri di Eropa, peristiwa demonstrasi mahasiswa
memanfaatkan kunjungan PM Kakuei Tanaka dan kerusuhan sosial anti-modal asing
yang berubah menjadi Malari 1974 bisa dikatakan awal investasi Jepang ke Indonesia
dalam kontek IGGI, CGI, dan pinjaman bilateral. Indonesia banyak memetik manfaat
selama 50 tahun hubungan bilateral meskipun Indonesia menjadi objek soft power
Jepang.
Bantuan Jepang untuk pembangunan semasa Repelita tidak bisa dipungkiri, meskipun
melahirkan konsekuensi pemasokan LNG sampai sekarang. Penandatangan EPA
beberapa waktu lalu merupakan perspektif baru hubungan Indonesia-Jepang. EPA
merupakan perjanjian ekonomi yang konprehensif yang memuat kesepakatan
pengurangan atau penghapusan tarif impor, meningkatkan kapasitas investasi Jepang di
Indonesia, dan program-program capacity-building untuk indusri dan SDM.
Oleh karena itu, walaupun AMM akan segera dibubarkan, Uni Eropa akan tetap
bekerjasama dengan Aceh. Selama ini masyarakat Aceh memiliki pendapat yang baik
terhadap AMM dan Peter Feith, oleh karena itu apapun yang terjadi ke depan mereka
akan tetap berkomitmen untuk membantu Aceh. "Ada ataupun tidak AMM, Peter Feith
dan orang-orang yang terlibat akan selalu bersedia membantu jika Aceh membutuhkan,"
ucap Glyn. Dia juga menyampaikan hal yang sama tentang komitmen Uni Eropa di Aceh.
Presiden SBY memilih tempat menarik untuk pertama kali menyampaikan pandangannya
mengenai soft power, di Washington DC, ibu kota Amerika Serikat. Dalam pidato resmi
di depan elite politik AS yang diorganisasi US-Indonesia Society (USINDO), Presiden
SBY mengimbau AS agar lebih menekankan soft power ketimbang hard power dalam
kiprahnya di kancah internasional.
Di depan anggota Kongres, pejabat tinggi, pengusaha, dan pakar AS, Presiden SBY
menyatakan, meski AS adalah negara adidaya yang kekuatan militernya tidak tertandingi,
AS perlu lebih memproyeksikan soft power ketimbang hard power: "The US has no
shortage of soft power: in terms of culture, values, sports, entertainment, business,
education, science and technology, living standard, media, the US has tremendous appeal
to the international community." SBY mengingatkan, "Remember: the use of soft power
charms and disarms. Hard power, on the other hand, if it is used incorrectly, provokes
resistance and, sometimes, resentment."
Presiden SBY juga mengingatkan, governance tidak kalah penting dibanding demokrasi,
dan toleransi-bahkan kadang lebih penting-dari freedom. Itulah bentuk-bentuk soft power
yang perlu dikembangkan AS di masa depan.
Uniknya, pidato SBY itu mendapat apresiasi luar biasa dari elite politik AS. Seusai
pidato, Presiden SBY mendapat standing ovation hadirin, termasuk Senator Kitt Bond
yang langsung bangkit dari kursi, memberi selamat Presiden SBY yang baru turun
panggung.
Banyak kalangan menilai pesan Presiden Indonesia di Washington DC itu amat strategis
dan fundamental, khususnya di tengah situasi dunia yang terus bergolak dan selalu
dihantui politik kekerasan. Namun, pesan yang terkandung dalam pidato SBY itu
sebenarnya juga berlaku bagi diri kita, yakni Indonesia perlu terus mengembangkan
potensi soft power di masa datang. Dalam pemikiran Presiden SBY, stabilitas
internasional akan lebih terjamin jika negara-negara dunia berlomba mengembangkan
soft power ketimbang bersaing menumbuhkan hard power.
Saya pernah menanyakan, mengapa soft power penting dalam pergaulan internasional.
Jawab Presiden, "Hard power menimbulkan aneka benturan, namun soft power
menimbulkan jaringan-jaringan. Hard power dapat mengakibatkan persaingan negatif,
namun soft power dapat menghasilkan sinergi positif."
Pengembangan soft power memang cocok bagi politik bebas aktif yang kita anut karena
tampaknya di sinilah letak kekuatan diplomasi kita serta daya tarik Indonesia dalam
pergaulan internasional. Pengaruh dan reputasi Indonesia di masyarakat internasional
lebih banyak ditentukan oleh prestasi, pesona, persuasi kita ketimbang karena faktor
kekuatan militer.
Pemerintah Indonesia terbukti selalu gagap dalam menghadapi kaum teroris karena
mereka pada saat yang sama juga tidak mampu memenangkan suatu yang penting, yaitu
memberi keyakinan pada rakyatnya bahwa mereka aman bukan hanya secara politik,
tetapi juga ekonomi (kesejahteraan). Tambahan lagi, semaraknya pemikiran agama yang
menyimpang dengan ideologi kekerasan yang dibawanya juga disebabkan oleh
kemiskinan masyarakat yang semakin meluas. Rakyat yang kurang terdidik, karena
memang mereka dibatasi dalam akses pendidikan, dan juga karena kurangnya pendidikan
demokrasi yang mereka terima, membuat pemikiran anti-objektif semarak di masyarakat.
Penjelasan yang sekenanya, tidak objektif, juga dibumbui dengan rasialisme dan
sentimen kelompok, membuat ideologi kekerasan mudah merebak di masyarakat.
Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah juga lebih menekankan pada aspek politik
keamanan (hard power). Pada hal yang paling dibutuhkan adalah pemahaman masyarakat
tentang kehidupan keberagamaan. Keberagamaan yang hanya jadi ritualitas dan cuma
menjadi kesemarakan dalam media komersial seperti TV ternyata juga tidak mampu
membawa pemahaman masyarakat pada hakekat agama sebenarnya. Pada titik inilah,
potensi pemikiran fundamentalisme menemukan persemaiannya. Pemerintah terlalu
banyak menghabiskan dana bagi pendekatan militeristik dan politik keamanan tersebut,
dan tidak memperhatikan pentingnya pembangunan pendidikan dan penyadaran.
Minimnya anggaran untuk pendidikan adalah suatu contoh nyata dari kelemahan itu.
Hal yang sama juga terjadi secara internasional. Dengan berakhirnya Perang Dingin,
sebenarnya Amerika Serikat pernah tertarik dalam mengeluarkan anggarannya bagi
pembangunan soft power-nya. Berbagai dana dikeluarkan untuk menarik perhatian
masyarakat dunia tentang nilai-nilai demokrasi dan HAM yang menjadi warisan para
pendirinya. Tetapi setelah peristiwa 11 September 2001, tindakan militeristik justru
ditingkatkan. Bahkan biaya militer sebesar 400 kali lipat dibanding pengeluaran untuk
pendekatan non-militer (Nye, 2004).
Tokoh liberalisme pendidikan asal Amerika Latin Paulo Freire pernah menegaskan
bahwa bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan
pembangunan pendidikan. Freire memandang politik pendidikan memiliki nilai penting
untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara. Bangsa yang politik pendidikannya
buruk, maka kinerja pendidikannya pun pasti buruk. Sebaliknya, negara yang politik
pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun juga akan bagus. Pertanyaannya kini,
bagaimanakah realitas politik pendidikan kita saat ini? Mengatakan bahwa agenda
kebangsaan terakbar terletak pada pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau
mengada-ada, melainkan didasarkan pada fakta bahwa seluruh sektor kehidupan bangsa
merupakan concern sumber daya manusia (human resource) yang dihasilkan dari output
dunia pendidikan.
Oleh karenanya, semenjak negara Indonesia berdiri, founding fathers bangsa ini sudah
menanamkan semangat dan tekad untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh warga
negara, termasuk di dalamnya untuk memperoleh hak pendidikan yang layak dan
mumpuni. Cita-cita luhur tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan mukaddimah
UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(het doel van de staat), yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya
adalah, jelas ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia.
Ditinjau secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai
masalah itu dapat dikategorikan dalam 2 (dua) masalah yaitu :
Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari
keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan. Akibatnya, upaya-upaya perbaikan
pendidikan yang dilaksanakan selama ini, seakan-akan berada di antara “mitos” dan
“realitas”. Di satu sisi, perbaikan pendidikan dinyatakan sebagai sub-sistem
pembangunan nasional [sebagai entitas sistem secara keseluruhan], tetapi di sisi lain
program-programnya tidak memiliki konsep yang cukup jelas untuk menjawab
paradigma pembangunan yang berorientasi pada pola dan permasalahan kehidupan global
yang menuntut kontribusi pendidikan yang dinamis dan bervariasi [Ade Cahyana,
Ibid.http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/.] Untuk itu, arah kebijakan pendidikan kedepan,
seharusnya ditujukan untuk merubah “mitos” menjadi “realitas” perubahan pendidikan
di Indonesia.
Walhasil, jika pendidikan kita diumpamakan mobil, mobil itu berada di jalan yang salah
yang sampai kapan pun tidak akan pernah menghantarkan kita ke tempat tujuan (masalah
mendasar/paradigma). Di samping salah jalan, mobil itu mengalami kerusakan dan
gangguan teknis di sana-sini : bannya kempes, mesinnya bobrok, AC-nya mati, lampu
mati, dan jendelanya rusak (masalah cabang/praktis).