Anda di halaman 1dari 7

KONTROVERSI NURTURE DAN NATURE DALAM PSIKOLINGUISTIK (oleh: I.

Prasastie ) Feb 25, '08 6:12 PM untuk semuanya

1.

Pendahuluan

Dalam perbincangan mengenai proses pemerolehan bahasa terdapat perdebatan sengit di kalangan ahli bahasa mengenai sifat pemerolehan bahasa yaitu mengenai pemero lehan bahasa yang bersifat nurture dan yang kedua adalah pemerolehan bahasa yang bersifat nature. Menurut para ahli bahasa, pemerolehan bahasa yang bersifat nur ture berarti bahwa pemerolehan bahasa seseorang itu ditentukan oleh lingkungan s ekitar dimana ia berada, sedangkan pemerolehan bahasa yang bersifat nature berar ti bahwa pemerolehan bahasa itu pada dasarnya merupakan suatu bekal yang telah d imiliki seseorang ketika ia dilahirkan ke dunia. Para pendukung pemerolehan baha sa yang bersifat nurture pada umumnya adalah para ahli bahasa dari aliran behavi orisme sedangkan para pendukung pemerolehan bahasa yang bersifat nature umumnya adalah mereka yang berasal dari aliran nativisme. Oleh karena itulah, pembahasan mengenai nurture dan nature ini tidak terlepas dari kedua aliran tersebut. Kedua sifat pemerolehan bahasa tersebut diatas merupakan topik yang cukup menari k bagi penulis untuk dibahas disini karena menurut beberapa pihak masalah nature dan nurture ini masih merupakan suatu kontroversi yang belum ditemukan jalan ke luarnya sedangkan menurut pihak lain, keduanya telah menjadi sesuatu yang sesung guhnya sama-sama diperlukan dalam pemerolehan bahasa.

2.

Pembahasan

Pada bagian pembahasan dari tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga bagian utama, yang pertama adalah pembahasan mengenai pemerolehan bahasa yang bersifat nurtur e dari sudut pandang para ahli yang mendukungnya, bagian kedua adalah pembahasan mengenai pemerolehan bahasa yang bersifat nature dari sudut pandang para ahli y ang mendukungnya, dan bagian yang ketiga adalah contoh kasus yang menunjukkan ba hwa baik nurture maupun nature ternyata sama-sama diperlukan dalam proses pemero lehan bahasa seseorang.

2.1

Nurture

Bagian ini membahas proses pemerolehan bahasa yang bersifat nurture dari sudut p andang beberapa ahli yaitu Ivan Pavlov, John B. Watson dan B.F. Skinner. Pada in tinya yang dimaksud dengan proses pemerolehan bahasa yang bersifat nurture adala h bahwa proses pemerolehan bahasa seseorang itu merupakan suatu kebiasaan yang d apat diperoleh melalui proses pengkondisian (Brown, 2000:34). Anak-anak memberi kan respon kebahasaan melalui pemberian stimuli yang terus diperkuat dan mereka belajar memahami ujaran dengan cara memberikan respon terhadap ujaran tersebut d an dengan cara mendapat penguatan atas respon yang diberikannya. Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli behaviorisme yang sangat meyakini bahwa anak-anak ha dir di dunia disertai dengan sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis yang bersih t anpa ada pemahaman sebelumnya atas dunia maupun atas bahasa, dan bahwa anak-anak tersebut kemudian dibentuk oleh lingkungan mereka dan perlahan-lahan terkondisi kan melalui beragam jadwal penguatan (Brown, 2000:22). a. Ivan Pavlov

Ivan Pavlov adalah seorang ahli psikologi dari Rusia yang melaksanakan serangkai

an eksperimen yang kemudian terkenal dengan sebutan classical conditioning. Dala m eksperimennya tersebut Pavlov menggunakan anjing sebagai subyek. Pavlov kemudi an memeroleh kesimpulan bahwa stimuli netral awal yang berupa suara dari garpu y ang dibunyikan menghasilkan kekuatan yang mendatangkan respon yang berupa pengel uaran air liur anjing yang pada mulanya dihasilkan dari stimuli lain yaitu pengl ihatan atau bau makanan anjing. Dengan demikian maka Pavlov telah membuktikan ba hwa proses belajar itu terdiri dari pembentukan beragam asosiasi antara stimuli dan respon refleksif (Brown, 2000:80).

b.

John B. Watson

John B. Watson adalah seorang psikolog yang menemukan istilah behaviorisme dan s ekaligus menemukan suatu aliran ilmu psikologi baru yang menyatakan bahwa para p sikolog seharusnya hanya terfokus pada perilaku yang dapat diamati secara langsu ng. Lebih jauh, menurut Watson, pada dasarnya pernyataan-pernyataan ilmiah dapat selalu diverifikasi (atau dibantah) oleh siapapun yang mampu dan bersedia untuk melakukan observasi yang diperlukan. Namun kemampuan ini tergantung pada kegiat an untuk memelajari hal-hal yang dapat diamati secara obyektif. Menurutnya prose s kejiwaan bukan merupakan sebuah subyek yang tepat bagi studi ilmiah karena pro ses kejiwaan merupakan peristiwa pribadi yang tidak ada seorangpun yang dapat me lihat atau menyentuhnya. Sedangkan perilaku merupakan respon atau aktifitas yang jelas atau dapat diamati oleh sebuah organisme. Maka Watson menegaskan bahwa pa ra psikolog dapat memelajari apapun yang dilakukan atau dikatakan orang berbelanj a, bermain catur, makan, memuji seorang teman- namun mereka tidak dapat memelaja ri secara ilmiah pikiran, harapan, dan perasaan yang mungkin menyertai perilaku tersebut. Berangkat dari pandangan barunya terhadap psikologi tersebut dan dengan berpegan gan pada temuan Pavlov yaitu dengan menggunakan teori classical conditioning mak a Watson menyatakan bahwa penjelasan atas segala bentuk pembelajaran adalah deng an melalui proses pengkondisian maka manusia membentuk sejumlah hubungan stimuli -respon, dan perilaku manusia yang lebih kompleks dipelajari melalui cara memban gun serangkaian atau rantai-rantai respon (Brown, 2000:80). Dengan demikian Watson mengambil posisi yang ekstrim terhadap salah satu pertany aan psikologi yang tertua dan paling mendasar yaitu masalah mengenai nature dan nurture. Watson menyatakan bahwa setiap orang itu dibentuk menjadi apa adanya me reka kemudian dan bukan dilahirkan. Ia mengabaikan pentingnya keturunan, dengan menyatakan bahwa perilaku ditentukan sepenuhnya oleh lingkungan. Namun pandangan Watson tersebut tidak pernah mendapat kesempatan untuk diuji lebih lanjut. Mesk ipun demikian tulisan-tulisannya memberikan sumbangan yang cukup besar bagi elem en lingkungan yang seringkali dihubungkan dengan behaviorisme. c. B.F. Skinner

Seorang ahli bahasa lain yang juga berkecimpung dalam teori behaviorisme dan men gikuti jejak dan tradisi Watson adalah B.F. Skinner, seorang psikolog Amerika ya ng hidup pada tahun 1904 sampai dengan 1990. Setelah memperoleh gelar doktor pad a tahun 1931, Skinner menghabiskan sebagian besar karirnya di Universitas Harvar d tempat ia memeroleh kemasyuran atas penelitiannya terhadap pembelajaran pada o rganisme rendah, sebagian besar pada tikus dan burung dara. Pada tahun 1950-an ia memperjuangkan kembalinya pendekatan stimulus-respon milik Watson. Ia memiliki teori klasik yaitu Verbal Behavior yang merupakan usaha lan jutan dari teori umum pembelajaran Skinner sendiri yang disebut dengan pengkondi sian operan (operant conditioning). Skinner melakukan eksperimen terhadap tikus

dimana ia melatih tikus untuk mendapatkan makanan dengan menekan pedal tertentu. Setelah tikus tersebut mendapatkan pengetahuan bahwa jika ia ingin makan maka i a harus menekan pedal, kemudian proses untuk memeroleh makanan dipersulit dengan menyalakan lampu dimana sebelum mendapatkan makanan ia harus menekan pedal keti ka lampu berkedi-kedip. Proses berikutnya adalah penekanan pedal sebanyak dua ka li ketika lampu berkedip-kedip yang juga dapat dipahami oleh tikus tadi (Dardjow idjojo, 2003:235). Maka apa yang dimaksud dengan pengkondisian operan oleh Skinner adalah pengkondi sian dimana organisme (manusia) menghasilkan suatu respon, atau operan (sebuah k alimat atau ujaran atau aktifitas-aktifitas yang beroperasi atas dasar lingkunga n), tanpa adanya stimuli yang dapat diamati; operan tersebut dijaga (dipelajari) melalui penguatan (reinforcement) (Brown, 2000:22-23). Teori Skinner ini menera ngkan bagaimana berbagai kecenderungan respon dicapai melalui pembelajaran. Jika respon diikuti oleh konsekuensi yang menguntungkan atau disebut juga penguatan, maka respon tersebut menguat dan jika respon menghasilkan konsekuensi negatif atau hukuman), maka respon tersebut akan melemah. Melalui eksperimennya tersebut , Skinner menemukan bahwa pemerolehan pengetahuan, termasuk pengetahuan mengenai bahasa merupakan kebiasaaan semata atau hal yang harus dibiasakan terhadap suby ek tertentu yang dilakukan secara terus-menerus dan bertubi-tubi (Dardjowidjojo, 2003:235). Dalam bukunya Diluar Kebebasan dan Martabat (Beyond Freedom and Dignity) yang di terbitkan tahun 1971 Skinner menyatakan bahwa semua perilaku sepenuhnya diatur o leh rangsangan eksternal. Dengan kata lain, perilaku manusia ditentukan oleh car a-cara yang dapat diprediksi oleh prinsip-prinsip hukum, seperti halnya terbangn ya anak panah yang diatur oleh hukum-hukum fisika. Maka, jika seseorang meyakini bahwa tindakan-tindakannya merupakan hasil-hasil dari keputusan-keputusan secar a sadar, maka ia keliru. Menurut Skinner, semua manusia dikendalikan oleh lingku ngannya, bukan oleh dirinya sendiri. Selanjutnya, dengan mengikuti tradisi Watson, Skinner menunjukkan minat yang kec il terhadap apa yang terjadi di dalam diri manusia. Ia menyatakan bahwa adalah sia -sia untuk berspekulasi terhadap proses-proses kognitif pribadi yang tidak dapat diobservasi. Melainkan, ia memfokuskan pada bagaimana lingkungan eksternal memb entuk perilaku yang jelas. Ia menyatakan adanya determinisme, yang menilai bahwa perilaku sepenuhnya ditentukan oleh stimuli lingkungan. Menurut pandangannya, o rang cenderung menunjukkan beberapa pola perilaku karena mereka memiliki kecende rungan-kecenderungan respon (response tendencies) yang stabil yang mereka capai melalui pengalaman. Kecenderungan-kecenderungan respon tersebut dapat berubah d i masa mendatang, sebagai hasil dari pengalaman baru, namun mampu terus bertahan untuk menciptakan tingkat konsistensi tertentu dalam perilaku seseorang.

Lebih lanjut, Skinner memandang pribadi seorang individu sebagai sebuah kumpulan kecenderungan-kecenderungan respon yang terikat pada berbagai situasi stimuli. Sebuah situasi tertentu dapat dihubungkan dengan sejumlah kecenderungan respon yang bervariasi dalam kekuatan tergantung pada pengkondisian di masa lalu. Karen a kecenderungan-kecenderungan respon secara konstan diperkuat atau diperlemah ol eh pengalaman-pengalaman baru, teori Skinner memandang perkembangan kepribadian sebagai sebuah perjalanan yang berkelanjutan seumur hidup. Skinner tidak melihat alasan untuk membagi proses perkembangan ke dalam beberapa tahap. Ia juga tidak memberikan importansi khusus pada pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak. Dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa, Skinner adalah seseorang yang mendu kung nurture, karena baginya, setiap ujaran yang diucapkan manusia sesungguhnya mengikuti satu bentuk yang bersifat baik verbal maupun nonverbal dan perilaku ba

hasa semacam ini hanya dapat dipelajari manusia dari lingkungan atau faktor-fakt or eksternal yang ada di sekitarnya (Pateda, 1991:99). Dengan demikian ia memper tegas dan memperjelas pandangan bahwa stimuli adalah hal yang terpenting dalam p roses pemerolehan bahasa karena pada dasarnya stimuli yang memengaruhi respon. Dalam hubungannya dengan aliran behaviorisme sendiri, menurut Lyons (1977:122) t erdapat prinsip atau kecenderungan khusus yang menyatakan bahwa aliran ini cende rung memperkecil peran insting dan dorongan-dorongan yang dibawa sejak lahir dan penekanan atas peran yang dimainkan oleh pembelajaran dimana hewan dan manusia memperoleh pola-pola perilaku mereka; menekankan pada pemupukan (nurture) dan bu kan pada sifat alami (nature), lebih menekankan pada lingkungan ketimbang pada f aktor keturunan. Selanjutnya Bell (1981:24) mengungkapkan pandangan aliran behaviorisme yang dian ggap sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimanakah sesungguhnya manusia memelajar i bahasa, yaitu: 1. Dalam upaya menemukan penjelasan atas proses pembelajaran manusia, hendakny a para ahli psikologi memiliki pandangan bahwa hal-hal yang dapat diamati saja y ang akan dijelaskan, sedangkan hal-hal yang tidak dapat diamati hendaknya tidak diberikan penjelasan maupun membentuk bagian dari penjelasan. 2. Pembelajaran itu terdiri dari pemerolehan kebiasaan, yang diawali dengan pe niruan. 3. Respon yang dianggap baik menghasilkan imbalan yang baik pula.

4. Kebiasaan diperkuat dengan cara mengulang-ulang stimuli dengan begitu serin g sehingga respon yang diberikan pun menjadi sesuatu yang bersifat otomatis.

2.2

Nature

Bagian ini membahas proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature dari sudut pa ndang beberapa ahli, yaitu Noam Chomsky, Derek Bickerton dan David McNeill. Pada dasarnya yang dimaksud dengan proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature ad alah bahwa proses pemerolehan bahasa ditentukan oleh pengetahuan yang dibawa sej ak lahir dan bahwa properti bawaan tersebut bersifat universal karena dialami at au dimiliki oleh semua manusia (Brown, 2000:34). a. Noam Chomsky

Sebagai wujud dari reaksi keras atas behaviorisme pada akhir era 1950-an, Chomsk y yang merupakan seorang nativis menyerang teori Skinner yang menyatakan bahwa p emerolehan bahasa itu bersifat nurture atau dipengaruhi oleh lingkungan. Chomsky berpendapat bahwa pemerolehan bahasa itu berdasarkan pada nature karena menurut nya ketika anak dilahirkan ia telah dengan dibekali dengan sebuah alat tertentu yang membuatnya mampu memelajari suatu bahasa. Alat tersebut disebut dengan Pira nti Pemerolehan Bahasa (language acquisition device/LAD) yang bersifat universal yang dibuktikan oleh adanya kesamaan pada anak-anak dalam proses pemerolehan ba hasa mereka (Dardjowidjojo, 2003:235-236). Skinner dipandang terlalu menyederhanakan masalah ketika ia menyama-ratakan pros es pemerolehan pengetahuan manusia dengan proses pemerolehan pengetahuan binatan g, yaitu tikus dan burung dara yang digunakan sebagai subyek dalam eksperimennya , karena menurut pendekatan nativis, bahasa bagi manusia merupakan fenomena sosi al dan bukti keberadaan manusia (Pateda, 1991:102). Selain itu ada pula alasan l ain mengapa pendekatan nativis merasa tidak setuju terhadap teori Skinner. Alasa n tersebut berhubungan dengan bahasa itu sendiri, yaitu menurut para nativis bah

asa merupakan sesuatu yang hanya dimiliki manusia sebab bahasa merupakan sistem yang memiliki peraturan tertentu, kreatif dan tergantung pada struktur (Dardjowi djojo, 2003:236). Masih dalam kaitannya dengan bahasa, karena tingkat kerumitan bahasa pula, maka kaum nativis berpendapat bahasa merupakan suatu aktivitas ment al dan sebaiknya tidak dianggap sebagai aktivitas fisik, inilah sebabnya mengapa pendekatan nativis disebut juga dengan pendekatan mentalistik (Pateda, 1991:101 ). b. Derek Bickerton

Pendukung lain dari proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature adalah Derek Bickerton (Brown, 2000:35). Ia melakukan sejumlah penelitian mengenai bekal yang dibawa manusia sejak lahir (innateness) dan mendapatkan beberapa bukti yang cuk up signifikan. Bukti-bukti tersebut mengungkapkan bahwa manusia itu sesungguhny a telah terprogram secara biologis untuk beralih dari satu tahap kebahasaan ke tah ap kebahasaan berikutnya dan bahwa manusia terprogram sejak lahir untuk menghasi lkan sifat-sifat kebahasaan tertentu pada usia perkembangan yang tertentu pula ( Brown, 2000:35). Dengan demikian pemerolehan bahasa tidak ditentukan oleh proses kondisi yang diberikan pada anak namun ditentukan oleh proses yang berjalan den gan sendirinya sejak anak lahir ke dunia seiring dengan kematangan pengetahuan b ahasa dan usia anak tersebut. c. David McNeill

Dalam Brown (2000:24) menyatakan bahwa LAD terdiri dari empat properti kebahasaa n bawaan, yaitu: 1. Kemampuan untuk membedakan bunyi ujaran manusia (speech sounds) dari bunyi lain dalam lingkungan 2. Kemampuan untuk mengorganisir data kebahasaan menjadi beragam kelas yang da pat diperhalus atau diperbaiki di kemudian hari 3. Pengetahuan bahwa hanya jenis sistem kebahasaan tertentu yang mungkin untuk digunakan dan jenis sistem lainnya tidak mungkin untuk digunakan 4. Kemampuan untuk melakukan evaluasi secara konstan terhadap sistem kebahasaa n yang terus berkembang sehingga dapat membangun sistem yang paling sederhana da ri masukan kebahasaan yang ada. Sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana manusia memelajari bahasa, Bell (1981: 24) juga berusaha mengajukan beberapa pandangan Chomsky, yaitu: 1. Aktivitas yang terjadi di dalam pikiranlah, misalnya cara memproses, menyim pan dan mengambil pengetahuan dari simpanan tersebut, yang merupakan pusat perha tian utama dan bukan perwujudan secara fisik dari pengetahuan. 2. Pembelajaran merupakan masalah terima otak melalui panca indera. penerimaan secara masuk akal dari data yang di

3. Kemampuan individu untuk merespon situasi baru dimana jika hanya berbekal k ebiasaan stimuli-respon semata tidak akan dapat membuat individu tersebut siap. 4. Pembelajaran merupakan suatu proses mental karena adalah lebih baik untuk m engetahui dan tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata daripada berkata-kat a tanpa pemahaman.

2.3

Contoh Kasus Nature dan Nurture

Berikut ini adalah beberapa contoh kasus yang menunjukkan bahwa baik nurture mau pun nature ternyata sama-sama diperlukan dalam proses pemerolehan bahasa manusia . 1. Secara umum bayi memberikan reaksi dan menunjukkan aktivitas berbahasa terh adap lingkungan di sekitarnya meskipun ia tidak menyadari aktivitas tersebut. Ia mencoba mengeluarkan sejumlah potensi berupa bunyi bahasa atau kata dan secara teratur ia melakukan pengulangan. Jika tidak mendapat respon berupa pengakuan da ri lingkungannya, seperti ayah, ibu atau saudaranya, maka bayi mengubah potensi tersebut dan mengulangi proses yang sama sampai ia mendapatkan pengakuan dari li ngkungan (Pateda, 1991:102). 2. Di sebuah desa di Perancis, pada tahun 1800, ditemukan anak laki-laki berus ia 11-12 tahun yang tinggal di hutan dan sering menyusup ke desa untuk mencari m akan. Ketika tertangkap dan dididik oleh direktur Institut Tuna Rungu yaitu Dr. Sicard, anak tersebut tidak dapat berbicara seperti manusia lain. Kemudian ia di didik oleh ahli lain, Jean-Marc-Gaspard Itard. Dibawah asuhan dan didikan yang b aru ini, pola laku kehidupan Victor, nama yang diberikan pada anak laki-laki ter sebut, dapat berubah namun tetap tidak mampu menggunakan bahasa (Dardjowidjojo, 2003:236-237). 3. Di Los Angeles, pada tahun 1970, ditemukan seorang anak perempuan yang disek ap oleh orang tuanya di gudang belakang rumahnya. Selama 13 tahun ia tinggal dan sering disiksa ayahnya di dalam gudang tersebut, dan hanya diberi makan namun t idak pernah diajak berbicara oleh orang tuanya. Setelah diselamatkan, anak perem puan tersebut diberi nama Ginie kemudian dilatih agar dapat berbahasa selama 8 t ahun, namun ternyata sama halnya dengan Victor pada kasus sebelumnya, ia tetap t idak mampu menggunakan bahasa (Dardjowidjojo, 2003:237).

4. Di Ohio, seorang anak perempuan berusia 6,5 tahun, yaitu Isabelle, diasuh o leh ibunya yang tuna wicara. Ia kemudian diasuh oleh Marie Mason, seorang pimpin an rumah sakit, dengan cara yang normal, dan ternyata Isabelle mampu menggunakan bahasa seperti anak-anak normal lainnya (Dardjowidjojo, 2003:237). Pada contoh kasus pertama yang berhubungan dengan bayi pada umumnya, ta mpak bahwa memang manusia mempunyai bekal bawaan atau nature untuk menguasai bah asa dan dengan dibantu nurture maupun pengaruh dari lingkungan seperti orang tua atau saudaranya, bayi tersebut mampu mengembangkan bekal bawaannya tersebut sam pai akhirnya ia dapat menggunakan bahasa dengan sempurna. Sedangkan pada contoh kasus kedua dan ketiga, meskipun Victor dan Isabelle juga memiliki kemampuan bawaan untuk menguasai bahasa atau nature, namun karena tidak adanya pengaruh dari lingkungan semenjak mereka dilahirkan atau nurture, Victor tinggal di hutan dan Ginie yang meskipun tinggal dengan orangtuanya sendiri nam un hanya disiksa dan tidak pernah diajak bicara, maka usaha yang diupayakan keti ka mereka telah berusia lebih dari 10 tahun agar kedua anak tersebut dapat mengg unakan bahasa menjadi sia-sia belaka. Untuk kasus keempat, yaitu Isabelle, proses pemerolehan bahasa yang bersifat nur ture yang diberikan di usia yang tergolong lebih muda daripada Victor dan Ginie, yaitu 6,5 tahun, ternyata memberikan bantuan yang cukup besar terhadap kemampua n bawaannya atau nature sehingga ia mampu menggunakan bahasa. Dengan demikian ta mpak bahwa antara sifat pemerolehan bahasa nature dan nurture ternyata yang satu

tidaklah lebih penting dari yang lain karena tanpa satu sama lain, pemerolehan bahasa tidak dapat berjalan dengan baik bahkan dapat menemui kegagalan.

3.

Kesimpulan

Pendekatan behaviorisme yang tidak mengindahkan keberadaan kemampuan yang dibawa sejak lahir untuk dapat memelajari bahasa dianggap terlalu dangkal karena hanya mengandalkan penelitian terhadap binatang dan secara sederhana menyamakan prose s pemerolehan pengetahuan binatang dengan proses yang terjadi pada manusia. Sebaliknya, Chomsky dan para pengikutnya berpendapat bahwa sejak dilahirkan anak telah dibekali seperangkat kemampuan atau language acquisition device (LAD) seh ingga ia mampu menguasai bahasa tertentu. Oleh karena itu proses pemerolehan bah asa sendiri tetap bersifat alami atau nature karena peningkatan kemampuan berbah asa mengikuti kematangan baik pemahaman maupun usia sedangkan nurture hanya berp eran untuk menentukan bahasa apa yang dipelajari manusia. Dengan demikian tampak bahwa baik nature maupun nurture merupakan dua hal yang s ama-sama penting karena yang satu mendukung keberadaan yang lain. Memiliki kemam puan bawaan sejak lahir untuk memelajari bahasa atau nature semata tidak banyak bermanfaat jika tidak ada nurture atau pengaruh dari lingkungan. Sebaliknya, tan pa nurture atau pengaruh dari lingkungan semata juga tidak akan berpengaruh jika manusia tidak dibekali dengan kemampuan pribadi untuk memeroleh bahasa. Namun t entunya kenyataan bahwa baik nature maupun nurture merupakan dua hal yang sama-s ama memiliki peranan penting dalam pemerolehan bahasa manusia sebaiknya memerluk an lebih banyak lagi pembuktian baik melalui penelitian maupun eksperimen terhad ap manusia, khususnya terhadap bagaimana manusia memelajari bahasa yang merupaka n salah satu ciri yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bell, Roger T. 1981. An Introduction to Applied Linguistics. London: B.T. Batsf ord, Ltd. Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching. New York : Addison Wesley Longman, Inc. Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manus ia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lyons, John. 1977. Semantics. Cambridge University Press. Pateda, Mansoer. 1991. Linguistik Terapan. Flores: Penerbit Nusa Indah.

Anda mungkin juga menyukai