Anda di halaman 1dari 7

TEBARAN MEGA

Data buku kumpulan puisi


: Tebaran Mega Penulis : Sutan Takdir Alisjahbana Cetakan : V, 2008 (cet. I. 1935) Penerbit : PT Dian Rakyat, Jakarta. Tebal : 46 halaman (38 judul puisi) ISBN : 979-523-412-9 Desain cover : Damang Sarumpaet Ilustrasi Isi : Koes Prijadi Hs. Editor : Diana Susyanti Link: http://www.alisjahbana.org/ Beberapa pilihan puisi Sutan Takdir Alisjahbana dalam Tebaran Mega Judul

Segala, Segala
Ani, ya Aniku Ani, Mengapa kamas engkau tinggalkan? Lengang sepi rasanya rumah, Lapang meruang tiada tentu. Buka lemari pakaian berkata, Di tempat tidur engkau berbaring, Di atas kursi engkau duduk, Pergi ke dapur engkau sibuk. Segala kulihat segala membayang, Segala kupegang segala mengenang

Sekalian barang rasa mengingat, Sebanyak itu cita melenyap. Pilu sedih menyayat di kalbu, Pelbagai rasa datang merusak.
20 April 1935

Air Mata
Ngalir, ngalirlah air mata, Aku tiada akan nahanmu. Apa gunanya aku halangi, Engkau ngalirkan penuh kalbuku. Seperti air jernih memancar Dari celah gunung rimbun, Seperti hujan sejuk gugur Dari mega berat mengandung Ngalirlah, wahai air mata Engkau pun mendapat hakmu Dari Chalik yang satu. Ngalir, ngalirlah air mata, Aku hendak merasa nikmat Panasmu ngalir pada pipiku.
20 April 1935

Bertemu
Aku berdiri di tepi makam Suria pagi menyinari tanah, Merah muda terpandang di mega Jiwaku mesra tunduk ke bawah Dalam hasrat bertemu muka, Melimpah mengalir kandungan rasa. Dalam kami berhadap-hadapan Menembus tanah yang tebal, Kuangkat muka melihat sekitar: Kuburan berjajar beratus-ratus, Tanah memerah, rumput merimbun, Pualam berjanji, kayu berlumut. Sebagai kilat nyinari di kalbu: Sebanyak itu curahan duka,

Sesering itu pilu menyayat, Air mata cucur ke bumi. Wahai adik, berbaju putih Dalam tanah bukan sendiri! Dan meniaraplah jiwaku papa Di kaki Chalik yang esa: Di depanMu dukaku duka dunia, Sedih kalbuku sedih semesta. Beta hanya duli di udara Hanyut mengikut dalam pawana. Sejuk embun turun ke jiwa Dan di mata menerang Sinar.
26 April 1935

Menyambut Hidup
Ya Allah, ya Rabbani, dalam kebesaranMu Engkau hadiahkan aku hidup ini dengan kegirangan dan keindahannya. Sedunia lebar selam besar Engkau sediakan bagiku dalam limpahan kasihMu: bintang berkelip cahaya di langit malam, kembang mengorak kuncup di padang sinar, unggas bernyanyi di dahan berbuai Bolehkan aku menampik sekalian rahmat dan nikmatMu yang Engkau curahkan dalam kebesaran dan kemurahanMu itu? Aku akan hidup. Mengoraklah kelopak menyambut sinar selama hari masih siang. Selama siang beta akan bermain di taman seperti tiadakan malam dan apabila malam tiba beta akan menyerahkan muka di pangkuan Bunda.
29 Mei 1935

Sesudah Dibajak
Aku merasa bajakMu menyayat, Sedih seni mengiris kalbu, Pedih pilu jiwa mengaduh, Gemetar menggigil tulang seluruh. Dalam duka semesra ini, Beta papa, apatah daya? Keluh hilang di sawang lapang, Aduh tenggelam dibisik angin.

Ya Allah, ya Rabbi, Hancurkan, remukkan sesuka hati, Sayat iris jangan sepala. Umat daif sekedar bermohon: Semai benih mulia raya Dalam tanah sudah dibajak.
1 Mei 1935

Api Suci
Selama nafas masih mengalun, Selama jantung masih memukul, Wahai api, bakarlah jiwaku, Biar mengaduh biar mengeluh. Seperti baja merah membara, Dalam bakaran Nyala Raya, Biar jiwaku habis terlebur, Dalam kobaran Nyala Raya. Sesak mendesak rasa di kalbu, Gelisah liar mata memandang, Di mana duduk rasa dikejar. Demikian rahmat tumpahkan selalu, Nikmat rasa api menghangus, Nyanyian semata bunyi jeritku.

Kembali
Ketika beta terjaga di dini hari Melihat alam sepermai ini, Terasalah beta darah baru Gembira berdebur di dalam kalbu. Girang unggas bersuka ria, Gemilang sekar bermegah warna. Mega muda bermain di awang, Kemilau embun menyambut terang. Hidup, hiduplah jiwa, Turut gembira turut mencipta Dalam alam indah jelita Jalan waktu terhambat tiada, Siang terkembang malamlah tiba:

Percuma dahlia tiada berbunga.


8 Mei 1935

Sesudah Topan
Bertiup, bertiuplah topan! Liukan, lengkungkan, patahkan, hempaskan jangan sepala. Terbangkan daun sampai ke langit. Tundukkan puncak menyembah bumi, Serakkan ranting menabur tanah. Biar mengaduh, biar mengelur biar mengerang putus suara, Kacaulah perdu, adulah pohon, rusak remuk berpatah-patahan, Gugurkan buah segala, tua muda jangan dihitung. Apabila topan sudah berhenti, Apabila hujan reda kembali, sinar suria turun ke tanah. Beta melihat tunas memecah dan di tanah lembah kecambah mengorak daun.
10 Mei 1935

Awan berkuak
Duduk beta merenung awan, Bercerai menipis di langit biru. Sayu sendu alun di kalbu, Menurut mega berkuak menjauh. Wahai Chalik, mengapa kejam Seganas ini hidup di dunia? Mengapa gerang dicerai pisah Segala yang asik bercinta? Menangislah jiwa tersedu-sedu Mengalirlah air mata berduyun-duyun. Dalam jiwa sedang meratap, Dalam sukma pilu mengeluh, Menyerbu sinar ke dalam kabut, Menjelma kembali awan menjauh. Beta melihat kilau bergurau, Beta menyambut suria bersinar. Segar gembira sukma menggetar Menunda melanda pergi berjuang

14 Mei 1935

Perjuangan

Kepada Taman Siswa

Tenteram dan damai? Tidak, tidak Tuhanku! Tenteram dan damai waktu tidur di malam sepi. Terteram dan damai berbaju putih di dalam kubur. Tetapi hidup ialah perjuangan. Perjuangan semata lautan segara. Perjuangan semata alam semesta. Hanya dalam berjuang beta merasa tenteram dan damai. Hanya dalam berjuang berkobar Engkau Tuhanku di dalam dada.
24 Juli 1935

Pohon Beringin
Kenangan kepada Solo

Tinggi melangit puncakmu bermegah, Melengkung memayung daunmu bodi. Berebut akar mencecah tanah, Masuk membenam ke dalam bumi. Lemah mendesir daunmu bernyanyi, Gemulai berbuai dibelai angin, Nikmat lindap menyerak di kaki, Mengundang memanggil leka berangin. Nampak beta berkumpul kelana, Letih semadi berjuang tiada, Melunjur kaki menyandar kepala, Menanti nasib damai bahagia. Ya Allah, ya Rabbana, Turunkan badai datangkan taufan, Rubuhkan tumbangkan pohon perkasa, Pelindung lelah, pengiba insan. Rebahkan terbangkan jangan tiada, Bersihkan bumi dari segala Tempat terlengah tempat terlena Tempat terhanyut dalam tiada Lama sudah tani menanti, Gelisah tangan memegang bajak, Tiada tertahan hati gembira, Hendak meluku membalik tanah.

Kuning permai benih bernas Menanti memecah menyerbu hidup, Girang berbunga girang berbuah Di dalam hujan disinar suria.
25 September 1935

Tentang Sutan Takdir Alisjahbana


(Di dalam buku tak ada biodata penulis, saya nyarinya di http://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Takdir_Alisjahbana) Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun), merupakan tokoh pembaharu, sastrawan, dan ahli tata Bahasa Indonesia. Buku-bukunya antara lain: Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929), Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932), Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935), Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936), Layar Terkembang (novel, 1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940), Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969), Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971), Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978), Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978), Kalah dan Menang (novel, 1978), Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985), Seni dan Sastra di TengahTengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985), Sajak-Sajak dan Renungan (1987).

Anda mungkin juga menyukai