Anda di halaman 1dari 37

No.9, 1977.

Cermin Dunia Kedokteran


Majalah triwulan diterbitkan dengan bantuan

P.T. KALBE FARMA


dipersembahkan secara cumacuma.

Daftar isi 4 EDITORIAL ARTI KEL


5 11 14 17
Gambar telinga yang dibuat oleh seorang artis.

RENCANA PEMELIHARAAN PENDENGARAN DALAM LINGKUNGAN INDUSTRI Dl INDONESIA MASALAH CACAT TULI VERTIGO HUBUNGAN ANTARA KELAINAN/PENYAKIT T.H.T. & ASTHMA BRONCHIALE FOETOR EX NASI CATATAN SINGKAT TENTANG TONSIL-& ADENOIDEKTOMI LARYNGITIS SUBGLOTTICA EPIGLOTTITIS ACUTA KARSINOMA NASOPHARYNX

21 25

Alamat redaksi : Majalah CERMIN DUNIA KEDOKTERAN P.O. Box 3105 - Jakarta. Penanggung jawab : dr. Oen L.H., Redaksi pelaksana : dr. E.Nugroho Dewan redaksi : dr. Oen L.H., dr. E.Nugroho, dr. B.Suharto, dr. S.Pringgoutomo Pembantu khusus dr. B.SetiawnPhD SL Purwanto, dr. drs. J.Setijono, drs. Oka Wangsaputra, dra. Nina Gunawan. No. ljin : 151/SK/DitJen PPG/STT/1976. tgl. 3 Juli 1976.

31 34 36 41 42 43 44

HUMOR ILMU KEDOKTERAN CATATAN SINGKAT RUANG PENYEGAR DAN PENAMBAH ILMU KEDOKTERAN KAMI TELAH MEMBACA UNTUK ANDA : ABSTRAK-ABSTRAK

Gangguan-gangguan atau penyakit-penyakit alat pernafasan bagian atas merupakan bagian penting dalam praktek sehari-hari. Foetor ex ore atau foetor ex nasi merupakan gangguan yang sangat menekan perasaan penderita sedangkan vertigo atau rasa mabuk perlu mendapat perhatian khusus. Masalah-masalah ini akan dibahas oleh rekan-rekan dari Bagian Telinga, Hidung dan Tenggorokan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, R.S. Dr. Kariadi, Semarang. Kebisingan dalam kota-kota besar yang selalu menyertai industrialisasi perlu mendapat perhatian yang layak oleh karena dalam jangka waktu yang lama dapat merusak alat pendengaran. Oleh karena itu masalah pencegahan dan habilitasi/rehabilitasi kekurangan pendengaran untuk pembangunan masyarakat merupakan tema dari simposium yang akan berlangsung selama Kongres Nasional ke V para ahli penyakit Telinga; Hidung dan Tenggorokan (PERHATI) pada tanggal 27 29 Oktober, 1977 di Semarang.

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

Rencana Pemeliharaan Pendengaran dalam lingkungan industri di Indonesia


dr. Hoediono Reksoprodjo Kepala Bagian T.H. T. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/R.S. dr. Kariadi Semarang Tujuan suatu Rencana Pemeliharaan Pendengaran (Hearing Conservation Program) adalah menjaga keutuhan pendengaran; menjaga supaya keamanan faal telinga terjamin, dan agar terhindar dari hal-hal yang dapat merusak alat pendengaran atau mengganggu kesempurnaan fungsinya. Dalam hubungan dengan industri, maka faktor yang paling berbahaya bagi keutuhan faal pendengaran ialah suara bising (noise). Bahwa suara bising itu dapat mengganggu pendengaran dan menyebabkan tuli telah lama dikemukakan oleh banyak ahli. RAMAZZINI dalam bukunya De Morbus Artificium (1713) menyatakan bahwa banyak pekerja dalam pertukangan barang-barang kuningan menjadi tuli (7).Setelah JAMES WATT (1736-1810), seorang ahli fisika dan ahli mesin bangsa Inggris berhasil membuat mesin-uapnya, maka penggunaan mesin-mesin pengganti tenaga manusia meluas dengan cepat. Akibatnya suara bising karena mesinpun bertambah hebat dan meluas. FOSBROKE (2) pada permulaan abad ke 19 sudah mensinyalir bahwa pendengaran para pekerja bengkel dan pandai besi agak berkurang/ agak tuli (blacksmith deafness). Industri pada abad ke 20 ini lebih cepat berkembang dan makin banyak digunakan mesin dalam berbagai industri, yang semuanya menambah kebisingan di lingkungan kerja dan lingkungan hidup kita, lebih-lebih di daerah industri berat seperti dok kapal, di pabrik atau bengkel pesawat terbang dan sebagainya. Dengan sendirinya makin banyak lagi didapatkan orang-orang yang menjadi korban kebisingan itu; makin banyak ditemukan kasus-kasus tuli karena kebisingan di tempat kerja. Sudah jelas ada pengotoran udara oleh suara bising (air-pollution by noise) dengan akibatnya yang sekarang dikenal sebagai occupational deafness. Occupational deafness adalah tuli sebagian ataupun total yang bersifat menetap pada satu atau kedua telinga dan disebabkan oleh suara bising yang terus-menerus di tempat/lingkungan kerja (5). Pada tahun 1926 POLITZER juga telah mengemukakan tentang ketulian yang disebabkan oleh suara bising di tempat kerja, tetapi dikatakan juga bahwa untuk kerusakan dari telinga dalam yang disebabkan oleh trauma langsung pada kepala atau karena letusan yang hebat, tanpa kerusakan pada meatus externus dan pada membrana tympani, menurut peraturan hukum yang berlaku pada waktu itu tidak dapat dituntut ganti rugi (6). Baru sekitar tahun 1940 di Amerika ditentukan dalam occupational law bahwa pekerja yang menjadi tuli akibat kebisingan di tempat kerja harus diberi ganti rugi. Meskipun demikian, belum ada ketentuan atau peraturan mengenai pencegahan kerusakan pendengaran. Ganti rugi itupun diberikan setelah korban jelas menjadi tuli. Sebaliknya para pengusaha menuntut jaminan bahwa ketulian itu memang tidak terdapat sebelum orang itu bekerja padanya. Kemajuan tehnik akhir-akhir ini, terutama di bidang elektrotehnik dan elektroakustik menghasilkan alat-alat yang memungkinkan kita meneliti dengan cermat dan tepat ada tidaknya kelainan dalam fungsi pendengaran. Misalnya audiometer yang dapat dipergunakan untuk screening, untuk diagnosis, speech-audiometer dsb. Juga ada alat-alat untuk mengukur intensitas suara bising (sound level meter). Akhirnya setelah berjuang lama dengan gigih, pada tahun 1940 di Amerika tersusun occupational law seperti telah disebutkan di atas, dan pada tahun 1957 dapat disusun Guide for Conservation of Hearing in Noise. Dalam hal ini yang berjasa adalah The American Academy of Ophthalmology and Otolaryngology yang membentuk Committee on Conservation of Hearing. Committee ini mempunyai Subcommittee on Noise in Industry yang menghasilkan manuscript tersebut di atas (1). Kita di Indonesia beruntung tidak perlu mengalami segala kepahitan rekan-rekan di Amerika. Meskipun perindustrian di Indonesia belum begitu maju, pemerintah telah membentuk "Lembaga Nasional Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja" dan antara lain menugaskannya untuk menangani masalah bising karena industri itu. Dalam merencanakan sistim pemeliharaan pendengaran akan banyak manfaatnya kalau kita mempelajari pedoman dari Amerika itu dan memakainya sebagai dasar. Sebelum membuat Rencana Pemeliharaan Pendengaran (RPP ) haruslah dipahami benar-benar dan dibahas dengan teliti persoalan-persoalan dasar berikut : (i) Berapa besar pengaruh kebisingan suara pada keutuhan alat pendengaran? (ii) Bilamanakah RPP perlu dibuat? dan (iii) Apakah dasar-dasar dari sebuah RPP? Baiklah persoalan di atas kita bahas dan kita analisa satu demi satu. BERAPA BESAR PENGARUH KEBISINGAN PADA KEUTUHAN ALAT PENDENGARAN? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami dan dikuasai lebih dahulu pokok-pokok persoalan berikut ini : (A) Sifat hearing loss dan dasar anatomiknya, (B) Sifat-sifat suara bising dan cara timbulnya gangguan pendengaran, dan (C) Pengukuran yang tepat dari pendengaran dan dari suara bising. I.
Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

A.Bagaimana sifat hearing-loss itu dan apa dasar anatomiknya ? 1. Sifat-sifat hearing-loss Hearing loss dapat bersifat menetap (permanen), transient (bisa membaik), atau kombinasi dari keduanya. Derajat hearing-loss dapat sedemikian tinggi hingga menimbulkan kesulitan dalam pembicaraan dengan orang lain (komunikasi terganggu). Mula-mula nada yang kurang dapat didengar adalah nadanada yang lebih tinggi daripada yang penting untuk komunikasi, yaitu nada-nada dengan frekwensi di atas 2000 Hz. Oleh sebab itu stadium permulaan seringkali tidak disadari oleh penderita sendiri. Kerentanan perorangan (individual susceptibility) berbedabeda pada tiap-tiap orang. 2. Dasar-dasar anatomik. Bila gangguan pendengaran terjadi karena sel-sel rambut dalam alat Corti mengalami kerusakan, kerusakan ini tak mungkin pulih kembali. B. Bagaimana sifat bising itu, dan bagaimana bising itu menimbulkan kekurangan pendengaran? Sifat-sifat dari suara bising yang perlu diteliti ialah : Derajat kebisingan suara secara menyeluruh (overall noise level). Berapa desibel-kah intensitas kebisingan itu? Dalam hal ini yang dimaksud adalah kebisingan yang disebabkan oleh bemacam-macam nada secara serempak. Komposisi dari suara bising. Diteliti nada apa saja yang ikut membentuk bising tadi. 2. Cara suara bising itu mengganggu. Yang dimaksud ialah frekwensi, lamanya dan kontinuitas suara bising itu. Berapa jamkah setiap hari suara bising itu mengganggu? Apakah bising itu berlangsung terus-menerus ataukah terputus-putus? Berapa jamkah seluruhnya dialami gangguan kebisingan selama bekerja pada perusahaan itu? Untuk lebih jelasnya kami ajukan dua buah tabel mengenai "Noise exposure time" dari Amerika Serikat dan Australia.
1.

TABEL I: INTENSTAS SUARA BISING KONTINU YANG DAPAT MENIMBULKAN HEARINGLOSS* lntensitas suara dalam dB 90 92 95 97 100 102 105 110 115 * Waktu maksimal yang masih aman dalam jam/hari 8 6 4 3 2 1,5 1 0,5 0,25

........................ ........................ ........................ ........................ ........................ ........................ ........................ ........................ ........................

Ringkasan dari Occupational Safety and Health Act yang berlaku di Amerika Serikat sejak tahun 1971.

Menurut tabel ini seorang yang bekerja dalam tempat dengan kebisingan suara 100 dB hanya dibenarkan bekerja paling lama dua jam sehari di tempat itu. Kalau dia bekerja lebih lama, maka akan terjadi ketulian.

Menurut tabel dari Australia (TabelII), dalam lingkungan dengan kebisingan 100 dB seseorang masih dapat bekerja dengan aman selama 195 menit setiap hari (3 jam 15 menit), asal setiap selesai bekerja selama 15 menit dia diberi istirahat 20 menit. Kalau ia harus bekerja terus-menerus, maka dia hanya boleh diberi tugas 25 menit per hari. Menurut tabel dari Amerika (TabelI) orang itu boleh dipekerjakan dua jam secara terus menerus C. Perlu dilakukan pengukuran secara tepat mengenai : 1. Ketajaman pendengaran pekerja. Ini dilakukan dengan audiometer yang menghasilkan sebuah audiogram. Pada audiogram ini dengan mudah dapat dibaca berapa desibel intensitas minimal suatu nada tertentu yang dapat didengar oleh orang yang sedang ditest. 2 lntensitas suara bising. Ini perlu dinyatakan dalam desibel. Juga harus dilakukan analisa dari suara bising itu : bagaimana komposisinya, dan berapa desibel intensitas tiap komponen (nada) itu. Alat yang dipakai ialah octave band analyzer.

TABEL II : INTENSITAS BISING YANG MASIH DIIJINKAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN LAMANYA BISING, LAMANYA ISTIRAHAT, PERGANTIAN/SIKLUS PER HARI DAN LAMA KEBISINGAN SECARA TOTAL * lntensitas dB 90 90 90 95 95 95 100 100 100 105 105 105 110 110 115 120 * Lamanya bising menit 10 20 30 5 15 25 5 15 25 5 10 15 5 10 7 6 lstirahat menit 2 3 3 2,5 4 10 3,5 20 7 50 20 _ Pergantian/ siklus per hari 35 21 15 50 20 13 52 13 1 40 8 1 19 1 1 1 Lama kebisingan menit 350 420 450 250 300 325 260 195 25 200 80 15 95 10 7 6 total

Ditetapkan oleh The Australian Oto-Laryngological Society, tahun 1971.

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

3. Lamanya (berapa jam), frekwensi dan kontinuitas gangguan bising Ini harus dicatat dengan teliti dan cermat. II. BILAMANAKAH RPP PERLU DIBUAT? Ada indikasi untuk membuat suatu RPP apabila : 1. Suara bising terlalu keras sehingga sukar untuk berbicara dengan orang lain. 2. Terdengar suara mendenging dalam telinga selama beberapa jam setelah selesai bekerja dalam tempat yang bising . 3. Berkurangnya pendengaran sehingga suara terdengar seakan-akan dari tempat yang jauh sekali atau seperti dibisikkan, setelah bekerja dalam tempat yang bising selama beberapa jam. Biasanya pendengaran akan menjadi baik kembali setelah beberapa lama pindah ke tempat yang tenang (transient hearingloss). Rasa nyeri di telinga yang disebabkan oleh suara yang keras tak dapat dipakai sebagai pedoman untuk membuat RPP, karena suara-suara yang jauh kurang keraspun sudah dapat menimbulkan hearing-loss (1). III. DASAR-DASAR UNTUK SUATU RPP. RPP terdiri dari tiga bagian, yaitu (A) Analisa gangguan bising, (B) Pengendalian gangguan bising, dan (C) Pengukuran pendengaran. A. Analisa gangguan bising mengenai : 1. Intensitas (dB) suara bising secara menyeluruh (overall noise level). 2. Komposisi suara bising dan intensitas tiap nada. 3. Lamanya dan distribusi kebisingan itu sepanjang hari. 4. Lamanya gangguan bising itu berlangsung total sejak hari pertama bekerja sampai berhenti bekerja. Keempat faktor tersebut masing-masing perlu dicatat, sebab dapat terjadi bermacam-macam kombinasi dan tentu dengan akibat yang bermacam-macam juga. Misalnya overall noise level sama, tetapi kombinasi nada berbeda, tentu berbeda pengaruh dan akibatnya terhadap pendengaran. Demikian juga bising yang kontinu berbeda pengaruhnya dari bising yang intermitten. B. Pengendalian gangguan bising : dilakukan dengan dua cara yaitu (1) pengendalian sumber bising dan penyebaran bising, dan (2) perlindungan langsung dari telinga pekerja. 1. Pengendalian sumber bising dan penyebaran bising : Mengadakan tindakan langsungterhadap sumber bising, misalnya mengusahakan pemasangan peredam suara pada mesinmesin. Menghambat atau mencegah penghantaran suara bising melalui udara atau melalui dinding. Mesin ditempatkan dalam ruang yang tak tembus suara, dinding kamar mesin dilapisi dengan bahan yang menyerap suara. Merubah sistim kerja sehingga mesin terpisah dari pekerja.
2. Perlindungan langsung terhadap telinga pekerja. Ini dilakukan dengan mengharuskan para pekerja memakai penutup telinga, yaitu : Penyumbat telinga yang dimasukkan dalam meatus accusticus externus, sehingga telinga tertutup rapat (ear-plug, insert type protector). Contoh : kapas yang dicelup dalam parafin, sumbat dari karet, lilin, atau plastik. Alat-alat penyumbat

semacam ini mengurangi intensitas suara rendah (di bawah 1000 Hz) dengan 1525 dB. Suara di atas 1000 Hz intensitasnya berkurang dengan 40 dB (4). Penutup daun telinga (ear-muffs). Penutup ini berupa mangkok-mangkok yang menutupi seluruh daun telinga. Kalau dipakai ear-plugs dan ear-muffs bersama-sama, maka kombinasi ini dapat mengurangi bising dengan 50 dB. Pengendalian bising yang paling baik tentu saja dengan membungkam sumber suara. Tetapi ini jarang sekali dapat dilakukan dengan memuaskan, karena itu kedua cara dipakai bersama-sama. C. Pengukuran pendengaran : Ini adalah bagian terpenting dari RPP. Perlu diadakan dua macam test pendengaran, yaitu (1) Pengukuran pendengaran sebelum diterima bekerja (pre-employment & pre-placement test), dan (2) Pengukuran ulangan pendengaran secara teratur pada waktu-waktu tertentu (routine periodic follow-up test). Semua calon pekerja/pegawai ditest pendengarannya sebelum bekerja dalam suasana bising itu, kemudian tiap enam bulan sekali diadakan follow-up test. Dengan demikian mudah diketahui apakah ada akibat jelek dari kebisingan pada pekerja/ pegawai seorang demi seorang. Dengan demikian juga diperoleh petunjuk apakah RPP yang telah disusun tersebut efektip atau tidak. Ini penting sekali, terutama untuk tempat-tempat bekerja dengan kebisingan lebih dari 85 dB. Siapakah yang bertanggung jawab akan pemeliharaan pendengaran? Seperti halnya dengan pemeliharaan indera-indera lain, pemeliharaan pendengaran sudah jelas merupakan tanggung jawab dokter. Sebuah RPP tanpa pengawasan dokter kurang benar. Dalam rangka RPP itu dilakukan tindakan-tindakan pencegahan, diagnosis dan pengobatan ketulian, penelitian audiometrik dan penilaian hasil-hasilnya . Di samping mengadakan penilaian dan pengukuran audiometrik, dokter itu bertanggung jawab atas terselenggaranya organisasi dan administrasi dari RPP. Akan tetapi dalam melaksanakan rencana itu dia dibantu oleh staf yang tidak semuanya dari bidang kedokteran, misalnya ahli kesehatan industri, ahli tehnik dan staf pimpinan perusahaan. Berhasilnya sebuah RPP mutlak tergantung pada kerja sama yang baik berdasarkan pengertian yang mantap dari seluruh karyawan (baik pekerja kasar maupun staf pimpinan) akan pentingnya dan perlunya RPP demi kesejahteraan seluruh pegawai dan akhirnya juga demi keuntungan perusahaan. Dengan demikian semua akan memberi bantuan yang aktip untuk mensukseskan RPP. Setidak-tidaknya para pekerja mau dan dengan sadar memakai pelindung telinga bila dokter menentukan demikian, dan pimpinan perusahaan akan memberikan waktu serta kesempatan yang cukup untuk mengadakan test-test pendengaran. Sebelum mulai membuat RPP, perlu dipertimbangkan apa yang dapat dilaksanakan secara praktis, dan ternyata harus ditentukan pembatasan-pembatasan dalam pelaksanaannya. Apakah RPP dapat menjamin perlindungan untuk tiap telinga? Memang itulah tujuan yang ingin dicapai, tapi dalam praktek tidak mungkin, karena itu diadakan pembalasan sebagai berikut :
Cermin Dunia Kedokteran No. 9. 1977

Langkah-langkah yang sudah dapat dilaksanakan ialah : nada-nada yang paling penting untuk komunikasi, yaitu nada 500 1000 2000 Hz (C2, C3, C4). 2. Tindakan pemeliharaan pendengaran cukup diusahakan agar tertuju pada telinga yang normal. Orang-orang dengan pendengaran yang sangat peka (highly susceptible) terhadap gangguan kebisingan dalam RPP ini tidak perlu diperhatikan dan dinilai sebagai perkecualian. Bagaimana pengaruh berbagai komponen suara bising itu terhadap pendengaran? Sudah jelas harus diperhatikan intensitas dan lamanya kebisingan. Tetapi perlu juga diketahui komposisi dan intensitas tiap komponen suara bising. Ternyata bahwa kerusakan pendengaran dapat juga terjadi untuk nadanada dengan frekwensi yang lebih tinggi dari nada-nada yang menimbulkan bising. Yang paling perlu dilindungi adalah keutuhan nada-nada antara 500 2000 Hz, yang merupakan frekwensi pembicaraan sehari-hari. Karena itu yang paling berbahaya dan harus diperhatikan benar-benar ialah suara bising dengan frekwensi 300600 Hz dan 6001200 Hz. Bila intensitas untuk frekwensi-frekwensi itu mencapai 85 dB, sebaiknya diadakan test-test pendengaran dan diusahakan pengendalian gangguan bising. Untuk ovetall sound, batas aman letaknya pada intensitas yang lebih besar, yaitu sekitar 100 dB. Meskipun Indonesia belum dapat disebut sebagai negara industri, dari penelitian di berbagai perusahaan/industri dilaporkan bahwa cukup banyak pekerja yang kurang baik pendengarannya. Di Jakarta, di antara para pekerja pabrik es dan berbagai pabrik lainnya, HENDARMIN (3) menemukan lebih dari 50% pekerja menderita semacam ketulian. SOEWITO(10) menyatakan bahwa dalam penelitiannya pada suatu pabrik pemintalan, pada umumnya para pekerja di tempat tersebut menderita suatu ketulian. RASMITO mendapatkan bahwa 81% dari para pekerja Instalasi Diesel Manggar pendengarannya di bawah normal (8). Di Semarang, SUCIPTO dkk. meneliti pendengaran para pekerja pabrik pemintalan dan pabrik textil dan mendapatkan lebih dari 50% yang menderita kekurangan pendengaran. Memang belum pernah diadakan pre-employment test, sehingga dapat dikemukakan adanya kemungkinan bahwa para pekerja itu memang sudah menderita kekurangan pendengaran sebelum bekerja. Tetapi perlu dicatat bahwa para peneliti di Indonesia menemukan (i) adanya temporaire shift dan (ii) kebisingan yang lebih besar dari 90 dB, bahkan sampai 115 dB di berbagai perusahaan di Indonesia (3,8,9,10,11). Temporaire shift berarti bahwa pendengaran para pekerja menjadi berkurang setelah beberapa lama bekerja di tempat yang bising; ini merupakan salah satu indikasi untuk membuat RPP. Kebisingan yang lebih dari 90 dB, bahkan sampai 115 dB, lebih memperkuat indikasi untuk membuat RPP. Dalam lokakarya Hyperkes di Cibogo pada bulan Februari 1974 telah diputuskan bahwa Nilai Ambang Batas (N.A.B.) untuk kebisingan suara di perusahaan-perusahaan di Indonesia adalah 85 dB. Memang, suatu RPP yang baik memerlukan beaya yang besar, di samping perlu tersedianya alat-alat dan tenaga ahli yang cukup banyak. Akan tetapi karena telah jelas ada indikasi, sebaiknya usaha ini dimulai meskipun secara sederhana dan sangat terbatas kemampuannya. 8
Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977 1. Latihan dokter-dokter perusahaan 2. Penerangan dalam bentuk ceramah, diskusi dan demonstrasi untuk pimpinan dan pekerja-pekerja perusahaan 3. Pemeriksaan pendengaran sebelum diterima sebagai pekerja 4. Pemeriksaan pendengaran ulangan berkala, misalkan sekali setahun 5. Pengendalian sumber-sumber bising dan perambatannya 6. Perlindungan telinga dari para pekerja

Mengingat sangat kurangnya tenaga ahli dan untuk mengurangi beaya, tidak perlu setiap perusahan mempunyai suatu RPP lengkap dengan alat-alat dan tenaga ahlinya. Dapat dibentuk suatu team yang diperlengkapi dengan peralatan sebaik-baiknya, yang bertugas dalam suatu daerah/wilayah. Team itu dapat melayani seluruh perusahaan yang ada di dalam daerah tersebut. Mengingat besarnya perhatian dari pemerintah dan aktivitas Lembaga Nasional Hyperkes, kiranya dapat diharapkan bahwa idam-idaman ini akan menjadi kenyataan dalam waktu dekat.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10.

DAVIS H, FOWLER EP : The medical treatment of hearing loss and conservation of hearing, in Hearing and Deafness, rev. ed. New York, Holt, Rinehart and Winston Inc., 1966. pp 132-144. FOSBROKE J : Pathology and treatment of deafness. Lancet 1: 645, 18301831. HENDARMIN H: Noise induced hearing loss. Otorhinolaryngol lndones 2: 9397, 1972. ISKANDAR A Ny.: Pemeliharaan pendengaran dalam industri. Maj Hyg Perus Keseh Keselam Kerja dan Jam Sos vii/12 : 53 59, 1974. JACKSON C, JACKSON CL : Diseases of the nose, throat and ear, 2 ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 1959, pp 400-407. POLITZER A : Diseases of the ear. Philadelphia, Lea & Febiger, 1926. RAMAZINI : dikutip oleh M. Zakir. RASMITO : hubungan pribadi. REDHANI R : Penyelidikan noise deafness pada pekerja-pekerja power station peleburan timah Mentok. Maj Hyg Perus Keseh Keselam Kerfa dan Jam Sos vii/3 : 37-39, 1974.
SOEWITO :'Industrial deafness" as found in GKBI Cambridge factory workers at Sleman, Yogyakarta. Kumpulan naskah

11. 12.

il miah Kongres Nasional PERHATI III , Aug. 1973. SUCIPTO, RANTIKO R dan HOEDIJONO : Preliminary report dari survey di beberapa perusahaan di Semarang mengenai noise induced hearing loss, 1974. ZAKIR M : Pendengaran dan bahaya yang mengancamnya. Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Luar Biasa dalam mata pelajaran Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Kerongkongan pada Fak. Kedokteran Airlangga di Surabaya, 22 Juli,1974.

Mungkin belum kita ketahui bahwa berkazung-karung pakaian bekas telah dikirim pulang pergi dari satu daerah yang terkena bencana alam ke daerah atau negeri lain, tanpa pernah dibuka, sehingga ia hanya berfungsi sebagai "kartu ucapan bela sungkawa". Setelah terjadi suatu bencana alam, gempa bumi misalnya, yang paling diperlukan ialah perbaikan sarana air minum, bukan vaksinasi massal. Meskipun demikian, pada gempa bumi di Nicaragua beberapa waktu yang lalu, tanpa diminta, telah dikirimkan sekitar sejuta dosis vaksin typhoid oleh berbagai negara. Oleh pemerintah diputuskan untuk tidak melakukan vaksinasi massal, akan tetapi entah bagaimana, kirakira seperempat juta dosis disuntikkan juga pada penduduk oleh orangorang yang antusias, yang tidak membawa efek apapun, kecuali peningkatan insidens hepatitis. Di kamp-kamp pengungsi Bangladesh beberapa tahun yang lalu, banyak yang divaksinasi dengan vaksin cholera lima kali dalam waktu dua bulan. Practitioner 218: 357, 1977

MASALAH CACAT TULI


dr. Dullah Bagian T.H.T. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS. dr. Kariadi Semarang Kita telah maklum bahwa manusia memiliki tiga sifat penting atau sifat tritunggal yaitu (1) mampu mendengar, (2) mampu berpikir sebagai manusia, dan (3) mampu bercakap-cakap. Ketiga fungsi itu mempunyai hubungan yang sangat erat. Fungsi pendengaran tergolong yang paling tua; Ia mempengaruhi dan melatih fungsi berpikir, sedang fungsi berpikir itu sendiri melatih dan mempergunakan fungsi berbicara sebagai alat untuk menyatakan kepada dunia luar apa yang tersembunyi dalam alam pikirannya. Anak-anak yang menderita cacat tuli sejak lahir atau sejak saat sebelum dapat berbicara, pada hakekatnya dalam pertumbuhan kecerdasan hanya dapat mencapai tingkat yang tidak jauh berbeda dengan hewan; mereka akan menjadi beban baik bagi keluarga pada khususnya maupun bagi masyarakat dan negara pada umumnya. Ini berarti jelas merugikan pembangunan masyarakat dan negara kita yang sedang dalam masa pembangunan. Pengaruh ketulian tidak terbatas pada kelainan bisu tuli saja, tetapi dapat juga mempengaruhi pembentukan kepribadian karena jembatan penghubung dengan masyarakat terputus, sehingga penderita merasa bahwa masyarakat yang berada di sekelilingnya bersikap aneh dan seolah-olah tidak mau mengerti terhadapnya. Bagaimana rasanya seorang yang sekarang tuli tapi sebelumnya pernah mendengar, digambarkan oleh GZERAY : seorang tuli itu sebagai orang tahanan yang dimasukkan dalam penjara yang berdinding dan beratap kaca; dunia ini sunyi baginya, padahal ia dapat melihat segala yang dapat dilihat oleh orang yang tidak tuli. Kita segera merasa iba hati dikala melihat seorang buta berjalan dengan tongkat di tangannya, menggapai-gapai perlahan. Kasihan orang itu, dunia ini gelap baginya. Tidak demikian halnya dengan orang tuli. Ia berjalan gagah seperti kita, bahkan kerap kali ia menjengkelkan, sebab orang tuli sering bertingkah laku menurut kemauannya sendiri. Ia sering marah luar biasa, sering ribut dsb. lantaran ia menganggap masyarakat di sekitarnya aneh, menertawakan dia, tidak mau mengerti apa yang ia maksudkan, penuh curiga dan lain-lain. Tidak heran kalau sering terjadi salah paham antara orang tuli dengan orang lain, sebab orang tuli mengira masyarakat di sekitarnya berbicara tidak betul, membentak-bentak, padahal maksud masyarakat itu ialah agar dia dapat mendengar dan mengerti apa yang dikehendaki masyarakat. Jelaslah di sini hahwa dengan cacat tuli itu orang telah kehilangan jembatan penghubung dengan masyarakat. Sesungguhnya kasihan orang ini, ia tidak dapat berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat yang tidak tuli, apalagi dengan sesama orang tuli. Tidak demikian halnya dengan orang-orang buta. Ia masih dapat mengadakan komunikasi dengan perantaraan fungsi mendengar dan berbicara untuk menyatakan isi hatinya baik kepada orang yang tidak buta maupun kepada sesama orang buta. Ini terbukti oleh kenyataan bahwa orang-orang buta bisa membuat suatu organisasi perhimpunan orang-orang buta. Banyak diantara mereka menjadi ahli musik, ahli pijat dsb. Lantas timbul pertanyaan, masih dapatkah orang-orang tuli itu ditolong sehingga dapat berguna baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat? Jawabannya : dapat! Dalam artikel ini lebih dahulu akan diberikan pengetahuan dasar tentang definisi, jenis-jenis ketulian, sebab-sebab ketulian dan cara rehabilitasinya. Tuli ialah keadaan dimana orang tidak dapat mendengar sama sekali (total deafness), suatu bentuk yang ekstrim dari kekurangan pendengaran. Istilah yang sekarang lebih sering digunakan ialah kekurangan pendengaran (hearingloss). Kekurangan pendengaran ialah keadaan dimana orang kurang dapat mendengar dan mengerti perkataan yang didengarnya. Pendengaran normal ialah keadaan dimana orang tidak hanya dapat mendengar, tetapi juga dapat mengerti apa yang didengarnya.
KEKURANGAN PENDENGARAN

DEFINISI.

1. Konduktif : disebabkan oleh adanya gangguan hantaran dari saluran telinga, kendangan, rongga tympani dan tulang-2 pendengaran. 2. Sensori-neural : disebabkan oleh kerusakan di telinga dalam, dari alat Corti, nervus cochlearis, N Vlll sampai ke otak. 3. Campuran (Mixed) : adalah tuli campuran dari kedua unsur konduktif dan sensori-neural. Dalam pembicaraan ini terutama akan dibahas kekurangan pendengaran yang didapat (acquisita), sedang yang kongenital, psikogenik dan central hearing loss hanya akan disinggung sepintas lalu. Kekurangan pendengaran yang kongenital disebabkan oleh kesalahan pembentukan di telinga luar, tengah dan dalam. Tingkatan yang hebat jarang terjadi pada telinga luar dan telinga tengah. Kekurangan pendengaran yang kongenital, dimana telinga luar dan telinga tengah masih ada, bisa diakibatkan oleh efek toksik
Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

11

yang terjadi dalam masa prenatal, misalnya infeksi rubella pada ibu waktu hamil, trauma kelahiran, anoxia, erythroblastosis fetalis, syphilis kongenital, pengaruh obat-obatan seperti kina dan obat-obat ototoksik lain. SEBAB-SEBAB KEKURANGAN PENDENGARAN. Tigalokasi dari penyebab kekurangan pendengaran ialah (1) di telinga luar, (2) di telinga tengah, dan (3) di telinga dalam. Kerusakan yang terjadi pada saraf ke 8 sampai otak merupakan daerah campuran antara Bagian T.H.T. dan Bagian Saraf, oleh sebab itu tidak dibahas dalam artikel ini. Penyebab kekurangan pendengaran di telinga luar ialah :
1. 2. 3. 4. 5. Sumbatan cerumen (impacted cerumen) Otomikosis Pembengkakan yang hebat dari saluran telinga luar Sumbatan oleh benda asing Atresia atau saluran telinga luar bentuk membran yang bersifat kongenital atau acquisita

dengaran jenis sensori-neural. Kelainan-dapat menyerang perilymph, endolymph, sel-sel rambut dari alat Corti, saraf ke 8, atau jalan saraf-saraf pusat di otak. Faktor-faktor etiologiknya adalah sbb. :
1. Presbyacusis, yaitu kekurangan pendengaran yang berhubungan dengan bertambahnya umur atau proses ketuaan. Di sini ditemukan atropi dari alat Corti pada lingkaran basal, atropi ganglion spiralis. 2. Trauma akustik akibat suara bising, ledakan explosif atau pukulan pada kepala dan telinga. 3. Toksin. Akibat parotitis dapat terjadi kekurangan pendengaran unilateral pada anak-anak. Ini diakibatkan oleh masuknya virus ke dalam sistim endolymph, yapg kemudian menyebabkan degenerasi sel-sel sensorik. Pada meningo-encephalitis dan meningitis, infeksi dapat mengenai saraf auditoris, dan secara hematogen mencapai labyrinth dan sarung-sarung saraf. 4. Obat-obatan. Kina, streptomycin & dihydrostreptomycin ., neomycin kanamycin salisilat dsb. 5. Scarlet fever dan rubeolla : pada penyakit ini virus dapat masuk ke dalam stria vascularis dan menyebabkan degenerasi membran tectorial serta sel-sel rambut alat Corti. 6. Syphilis. Menyebabkan degenerasi cochlea dan alat-alat vestibuler. 7. Kelainan-kelainan vaskuler. Misalnya pada Meniere's disease. 8. Tumor. Jenis yang tersering ialah spurinoma , suatu tumor yang menyerang saraf ke 8. 9. Multiple sclerosis.
REHABILITASI KEKURANGAN PENDENGARAN

Penyebab kekurangan pendengaran di telinga tengah ialah :


1. Membran tympani yang abnormal, misalnya penebalan yang hebat, retraksi, skarifikasi atau perforasi. 2. Kekakuan tulang-tulang peridengaran atau perubahan apapun di telinga tengah yang menyebabkan mobilitas tulang-tulang pendengaran terganggu. 3. Sekresi, granulasi atau polip yang diakibatkan oleh otitis media yang kronik. 4. Kelainan kongenital yang berupa tidak terbentuknya satu atau lebih dari tulang pendengaran. 5. Perubahan-perubahan patologik dari kapsul labyrinth yang menyebabkan stapes. kaku. Kelainan ini dikenal dengan nama otosclerosis.

Penyebab kekurangan pendengaran di telinga dalam : Kelainan-kelainan di sini akan menimbulkan kekurangan pen -

Rehabilitasi kekurangan pendengaran adalah suatu usaha pengembalian pendengaran pada orang yang menderita kekurangan pendengaran yang sebelumnya pendengarannya normal, sehingga terbentuk lagi jembatan penghubung antara orang-orang tuli dan masyarakat. Jadi tugas rehabilitasi ini tidak termasuk penderita bisu tuli, sebab penderita bisu tuli ini tidak pernah dapat mendengar sebelumnya.

PENGHANCUR DAHAK
PALING AMAN Karana : 1. Tidak ada efek samping yang berertl. 2. Tldak ada kontra indikasl. 3. "Safety margin" yang labar.

PALING EFEKTIF Karana : 1. Menghancurkan dahak sehingga manjadi encar dan mudah dlkeluarkan. 2. Menormalisaslkan sekrasi kelenjar bronchial. I NDIKASI : 1. Sasak napas karena psaemnylunbrt o leh dahak. 2. Batuk batuk karena hipar sekresi dahak. 3. Gangguan dahak lainnya yang tidak purulen (contoh : pada perokok). 4. Untuk gangguan dahak yang purulan,MUCOSOLVAN dapat dlkombinasikan dengan anti biotik / kemotrapui

.Job No. 17 241276/B

KOMPOSISI Bromhaxine ........................8 mg. DOSIS : Dawasa : 12 tab. 3 x sahxi. . Anak2 : 341 tab. 3 xsehari TABLET

12

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

Rehabilitasi dibagi dalam dua bagian yaitu secara (1) operatif dan (2) non-operatif. 1. Secara operatif : Operasi perbaikan pendengaran ini dilakukan oleh dokter. Cara ini terbatas pada kekurangan pendengaran jenis konduktif. Hasil perbaikan pendengaran yang dapat dicapai bervariasi dari yang sangat memuaskan sampai yang minimum, tergantung dari derajat kekurangan pendengarannya sebelum tindakan operasi. Makin berat kekurangan pendengaran, makin susah operasinya dan hasil operasi makin kurang memuaskan dibanding dengan operasi pada penderita-penderita dengan kekurangan pendengaran derajat sedang atau ringan. Sebagai contoh : Seorang bekas penderita otitis media menderita kekurangan pendengarannya sebesar 2030 dB. Ini berarti bahwa kerusakannya hanya terbatas pada kendangan saja, sehingga operasinya mudah, yaitu hanya menutup kendangan yang berlubang, atau kalau kendangan rusak seluruhnya, kita ganti saja semuanya. Hasil operasi ini sangat memuaskan; pendengaran dapat menjadi normal atau hampir normal. Kasuskasus ini tidak perlu mendapat terapi rehabilitasi secara nonoperatif. Bila kekurangan pendengaran mencapai 3040 dB, ini berarti kerusakan tidak terbatas pada kendangan saja, tetapi sudah mengenai sebagian tulang-tulang pendengaran, misalnya maleus sudah rusak. Hasil operasinya tidak sebagus yang pertama. Pasien-pasien ini mungkin masih perlu mendapat terapi rehabilitasi secara non-operatif untuk mendapat latihan-latihan. Kekurangan pendengaran yang mencapai 4060 dB berarti selain kendangan, semua tulang-tulang pendengaran telah rusak, kecuali basis stapes. Hasil operasi tidak memuaskan; tambahan ketajaman pendengaran maksimal hanya mencapai separuhnya saja. Penderitapenderita ini secara mutlak harus mendapat terapi rehabilitasi. Penderita-penderita dengan kekurangan pendengaran sebesar 60 dB atau lebih tidak dianjurkan untuk operasi perbaikan pendengaran, oleh karena faktor sensori-neural sudah ikut serta. Pada penderita tersebut dapat langsung diberikan rehabilitasi secara non-operatif. 2. Secara non-operatif : Rehabilitasi cara ini dapat dilakukan dengan : memakai Alat Pembantu Mendengar (APM atauhearing-aid). Dengan alat ini suara yang diterima diperkeras oleh APM. APM ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang masih mempunyai sisa pendengaran, dan yang derajat kekurangan pendengarannya tidak begitu berat. Kalau kekurangan pendengaran sudah terlalu berat, memakai APM malahan bisa membikin sakit telinga, sedangkan penambahan ketajaman pendengaran yang diperoleh tidak seberapa. Pasien-pasien demikian harus mendapat perawatan/rehabilitasi lebih lanjut. latihan mendengar (auditory training). Latihan untuk mendengarkan kata-kata orang lain ini ditujukan pada penderitapenderita yang masih punya sisa pendengaran yang lumayan. Dengan sisa pendengarannya ia mendapat latihan mendengar dan mengartikan kata-kata orang lain. Hasil daripada latihan ini dapat sangat memuaskan, sehingga penderita itu seolah-olah normal pendengarannya. Sekarang ini lebih dikenal dengan istilah Lip-reading. speech-reading yaitu keahlian untuk mengerti itrti kata-kata

orang lain dengan melihat gerakan bibir, gerak dan ekspresi muka. Speech-reading ini harus segera dimulai pada penderita dengan kekurangan pendengaran yang berat, pada jenis kekurangan pendengaran yang permanen atau progresif. Latihan speech-reading harus dilakukan dengan segera; tidak boleh ditunda sampai APM terpaksa dibutuhkan untuk keperluan bercakap-cakap. Sebaliknya, pemakaian APM untuk anak-anak ataupun orang dewasa yang kurang pendengarannya tidak boleh ditunda hingga speech-reading diperlukan. RINGKASAN Masalah cacat tuli atau kekurangan pendengaran tidak terbatas pada masalah keadaan bisu tuli saja, karena masalah itu juga mempengaruhi kepribadian seseorang. Penderita cacat tuli banyak yang mudah marah, menganggap masyarakat di sekitarnya aneh, karena jembatan penghubung dengan masyarakat terputus. Jembatan penghubung ini dapat dipulihkan kembali melalui rehabilitasi pendengaran. Dalam artikel ini telah dibahas jenis-jenis kekurangan pendengaran, sebab-sebab serta cara-cara rehabilitasinya.-

SIMPOSIUM TUNA RUNGU/WICARA Pencegahan dan habilitasi/rehabilitasi kekurangan pendengaran untuk pembangunan masyarakat. Penyelenggara : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro c.q. Bagian THT F.K. UNDIP/ R.S. Dr. Kariadi Semarang. PERHATl. Waktu : 29 Oktober 1977. Jam 08.00 sampai selesai. Tempat : Kampus UNDIP. Jl. lmam Bardjo SH 1 3, Semarang. Tujuan : Memperkenalkan masalah tuna rungu/ wicara kepada masyarakat lndonesia dengan harapan adanya pengertian yang jelas dan mendalam tentang masalah ini. Agar seluruh masyarakat dapat terjangkau, dalam si mposium ini akan ikut serta selain dokter-dokter ahli THT seluruh lndonesia, juga dokter-dokter F.K. UNDIP/R.S. Dr. Kariadi, dokter-dokter Puskesmas, dokabu-dokabu, bahkan Yayasan Tuna Rungu/Wicara, ahli-ahli pendidikan, ahli-ahli jiwa dari berbagai lembaga dan universitas, industriawan serta pemerintah. Aspek yang dibahas : Tema :
ASPEK MEDIK ASPEK SOSIAL

Keterangan lebih lanjut dapat diperoleh pada :


SEKRETARIAT SIMPOSIUM TUNA RUNGU/WICARA

Bagian THTF.K. UNDIP/R.S. Dr. Kariadi JI. Dr. Sutomo 18 Semarang Tilp. 24513

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

13

VERTIGO
dr. Dullah Aritomojo

Vertigo berasal dari bahasa Latin vetere, artinya berputar. (1893) mendefinisikan sebagai perasaan seolaholah penderita berputar terhadap ruangan atau ruangan berputar terhadapnya. Dalam tulisan ini yang akan kami bahas ialah bagaimana menyusun diagnosis praktis pada penderita dengan keluhan utama vertigo sehingga dapat dipergunakan oleh dokter umum. Untuk praktisnya, menurut penyebabnya vertigo dibagi dalam : 1. Sentral : kelainan terdapat di vestibular nuclei, batang otak, cerebellum atau cerebrum. 2. Perifer : kelainan terdapat di Canalis Semi-Circularis (CSC), utriculus, sacculus atau N VIII.
GOWERS
PROSEDUR DIAGNOSIS

Bagian T.H.T. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro R.S. dr. Kariadi ,Semarang

Anamnesis

1. Tentukan apakah keluhan itu benar-benar vertigo, dan ini harus dibedakan dengan ringan kepala, sukar berdiri/jalan, atau syncope. 2. Apakah ada hubungan dengan posisi kepala/gerakan kepala. 3. Apakah berhubungan dengan otalgia, otorrhoe, kekurangan pendengaran, rasa penuh di telinga, tinnitus, vomitus, 4. Apakah pernah menjalani operasi telinga. 5. Apakah pernah mendapat trauma kepala. 6. Apakah pernah minum obat-obat seperti kina, aspirin, atau golongan streptomycin.
Pemeriksaan

Pemeriksaan meliputi (1) pemeriksaan nystagmus, (2) test fungsi vestibular, dan (3) test fungsi pendengaran. 1. Nystagmus : nystagmus merupakan gejala utama dari vertigo. Nystagmus yang spontan biasanya patologik, disebabkan oleh penyakit yang menyerang sistem vestibular. Induced nystagmus yang ditimbulkan oleh pengaruh suhu (caloric test) , rotasi, posisi, aan rangsang pada retina oleh benda yang bergerak, dapat juga terdapat pada orang yang normal. Arah nystagmus dapat horizontal/rotary bila disebabkan oleh lesi di vestibular-end-organ di labyrinth atau N VIII, lekas lelah. Nystagmus yang vertikal disebabkan oleh lesi sentral dari sistem vestibular, sering tidak disertai vertigo, tidak pernah lelah.
14 Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

2. Test vestibular :

Head movement test. Kepala digerakkan dengan cepat ke belakang sampai extensi penuh; dalam keadaan normal tidak ada nystagmus. Kalau ada, berarti abnormal. Lesi perifer pada N VIII atau N IX. Pada lesi sentral, tetap ada nystagmus selama kepala extensi. Kontraindikasi untuk test ini ialah adanya tekanan intrakranial yang meninggi. Positional head test. Nystagmus akan timbul bila kepala berada pada posisi tertentu, biasanya ke belakang atau ke salahsatu sisi. Biasanya nystagmus ini timbul sesudah 20 30 detik, kemudian hilang lagi dan tidak timbul pada posisi yang sama selama 30 menit. Ini dianggap lesi perifer. Pada lesi sentral, positional nystagmus sering tanpa vertigo dan timbul lagi pada posisi yang sama.Positional nystagmus selalu disebabkan oleh gangguan pada sistem vestibuler. Caloric test. Simple caloric test. Pasien duduk tegak, kepala extensi ke belakang pada sudut 60 sehingga CSC horiZontalis tegak lurus. Tabung penyuntik (syringe) ukuran 20 cc yang dilengkapi dengan jarum No. 15 yang punya ujung karet diisi air yang suhunya 30 C. Air tersebut dialirkan ke dalam saluran telinga dengan kecepatan 1 cc per detik. Biasanya nystagmus yang timbul lamanya satu sampai dua menit. Setelah istirahat lima menit, dilakukan hal yang sama pada telinga lainnya. Dalam keadaan normal, lamanya nystagmus untuk kedua telinga kira-kira sama. Caloric test metoda HALLPIKE dan FITZGERALD, disebut juga bithermal test. Penderita tiduran dengan kepala anteflexi 30 dengan bidang datar supaya CSC horizontalis tegak lurus. Mula-mula telinga kiri dialiri dengan air dengan suhu 30 C, kemudian dengan air yang bersuhu 44 C. (Diambil suhu 30 dan 44 C karena perbedaan suhu air sebesar 7 derajat di bawah dan di atas suhu badan telah dibuktikan menimbulkan efek yang maksimal).Lamanya aliran air adalah 40 detik dan banyaknya air 200 300 cc. Nystagmus dilihat dan reaksi yang ditimbulkan oleh suhu dingin dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh suhu panas. Setelah istirahat li ma menit, test dilakukan pada telinga kanan, dan reaksi telinga kiri dan kanan dibandingkan. Dalam keadaan normal, lamanya nystagmus dua sampai tiga menit. Arah nystagmus dibagi dalam dua fase, (i) fase lambat adalah true component vestibular, (ii) fase cepat adalah reflex untuk mengembalikan posisi bola mata ke tempat semula. Menurut perjanjian, arah nystagmus disebut menurut arah fase cepat. Pada percobaan di atas, arah nystagmus tergantung dari suhu stimulus. Stimulus panas menghasilkan nystagmus ke arah telinga yang diberi stimulus tersebut. Stimulus panas dan dingin adalah esensiel untuk dapat mengambil kesimpulan apakah nystagmus yang ditimbulkan berasal dari lesi pada sistem vestibular atau bukan. Perubahan arah yang terjadi pada suhu yang berbeda-beda menunjukkan bahwa alat-alat vestibular telah mengadakan reaksi terhadap stimulus. Perbedaan respons terhadap suhu dingin dan panas mempunyai arti diagnostik. Dalam keadaan normal, calorigram menunjukkan bahwa lamanya nystagmus sama untuk telinga kiri dan kanan, dan

menunjukkan reaksi yang sama pada tiap-tiap suhu untuk telinga kiri dan kanan. Misalkan ada kelainan pada labyrinth kanan, maka respons terhadap rangsangan pada telinga kanan akan berkurang atau bahkan sampai hilang total.

Di sini lamanya nystagmus ke kiri normal, tetapi ke kanan kurang. Kita nyatakan labyrinth kanan hipoaktif. Jika respons tak ada sama sekali, kita katakan labyrinth kanan paresis. Diagnosisnya adalah lesi perifer organ vestibular kanan. Keadaan seperti ini akan ditemukan pada Meniere 's disease, tumor N VIII dan sebagainya. Kadang-kadang lesi pada sistem vestibular menghasilkan bermacam-macam gambaran dalam calorigram, misalnya sebagai berikut :

Di sini jumlah lamanya nystagmus ke arah kanan lebih besar daripada yang ke kiri. Ini berarti ada kelebihan jumlah arah nystagmus ke kanan, disebut directional preponderance ke kanan. Banyak penyelidik menyatakan bahwa hal ini adalah akibat lesi sentral pada sistem vestibular. Reaksi abnormal lainnya ialah keadaan hiperaktif sebagai lawan hipoaktif. Menurut perjanjian, telinga kiri dengan air dingin diberi nomor I; telinga kanan dengan air dingin diberi nomor II; telinga kiri dengan air panas diberi nomor III; dan telinga kanan dengan.air panas diberi nomor IV. HALLPIKE membuat rumus sebagai berikut : Hasil jumlah I+ III dibandingkan dengan jumlah II + IV; jika berbeda 40 detik atau lebih berarti ada lesi perifer vestibular di pihak yang kurang jumlahnya. Hasil jumlah I + IV dibandingkan dengan jumlah II + III; jika berbeda 40 detik atau lebih berarti ada lesi sentral pada sistem vestibular di pihak yang kurang jumlahnya. Jumlah I+ III dan II + IV disebut labyrinth excitability. Jumlah I+ IV dan II + III disebut directional preponderance. test ini penting dalam menegakkan diagnosis lesi perifer. Vertigo yang disertai dengan kekurangan pendengaran biasanya disebabkan oleh lesi perifer, dan test yang dapat dilakukan ialah : (i) voice test/suara berbisik, (ii) test garputala : Rinne, Weber, Schwabach, (iii) audiometri : audiogram sangat penting untuk menegakkan diagnosis kelainan perifer.
Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977 15

3. Test pendengaran :

Tempat kelainan Telinga tengah

Test Pure none audiogram Speech audiogram SISI test Tone decay Pure tone audiogram Speech audiogram SISI nest Tone decay Pure tone audiogram Speech audiogram SISI test Tone decay Pure tone audiogram Speech audiogram SISI test Tone decay

Hasil Hearing loss tipe konduktif Speech discrimination normal Hanya 0 20 % Normal range 0 15 dB. Konduksi melalui udara & tulang menurun Speech discrimination menurun 50 100 % Maksimal 30 dB. Bervariasi dari hampir normal sampai berat SRT dan speech discrimination jelek Maksimal hanya 20 % Lebih dari 30 dB. Konduksi melalui udara & tulang keduanya bervariasi dari normal sampai jelek. Persepsi jelek 0 20 % Normal range 0 15 dB.

Telinga dalam

Saraf ke VIII

Sentral

Kesimpulan Dengan cara-cara diagnosis praktis tersebut di atas, maka dokter umum secara maksimal dapat mendiagnosis vertigo oleh sebab sentral atau perifer. Sudah tentu untuk mengetahui etiologi serta lokalisasi yang tepat di sistem vestibular masih diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan khusus mengenai : THT, susunan saraf pusat, radiologi maupun pemeriksaan laboratorium .
KEPUSTAKAAN 1. BALLENGER HC, BALLENGER II : Diseases of the nose, throat and ear, 10 ed. Philadelphia, Lea & Febiger, 1957, pp 831-847. 2. BOIES LR : Textbook of ear, nose and throat diseases, 4 ed.

Philadelphia, London, WB Saunders Co., 1964, pp 142-154. 3. ENCEP HADJAR, - HENDARMIN H, PURNAMAN S PANDI : Pemeriksaan rutin dengan electronystagmography di Bagian THT RS dr. Cipto Mangunkusumo. Kumpulan naskah ilmiah Kongres Nasional PERHATI III di Yogyakarta, Agustus 1973. 4. WOLFSON RJ et al : Vertigo. Ciba Pharmaceutical Co., 1965, pp 99133. 5. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy, 10 ed. pp.10661068. 6. LEDERER FL : Diseases of the nose, ear and throat, 5 ed. Philadelphia, FA Davis Co., 1947, pp 4548. 7. Symposium on revision surgery in otorhinolaryngology. Otolaryngol Clin North Am 7 (2) : 2332, 1974. 8. SCOTT BROWN: Diseases of the ear, nose and throat, 3 ed. London, Butterworth, 1972, p 34.

A HIGHLY ACTIVE -BACTERIOSTATIC AND BACTERICIDAL ANTIBIOTIC WITH GUARANTEED BIOAVAILABILITY

KALTHROCIN
THE CHOICE OF KALTHROCIN MEANS CHOOSING A REALLY ECONOMICAL PRICE ERYTHROMYCIN WITH GUARANTEED BIOAVAILABILITY.

KALTHROCIN,THE PREPARATION YOU CAN TRUST !!

16

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

Hubungan antara kelainan / penyakit T.H.T. & asthma bronchiale


dr. Hoediono Reksoprodjo, dr. Soetomo Bagian T.H.T . Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/R.S. dr. Kariadi Semarang

Pendahuluan

Hidung dan paru-paru pada dasarnya adalah satu kesatuan yang berbentuk suatu saluran nafas. Saluran nafas ini hanya dibedakan dalam saluran nafas bagian atas (termasuk hidung) dan saluran nafas bagian bawah (termasuk paru-paru). Susunan histologi kedua bagian itu hampir sama. Dalam melakukan tugas (faal) hidung dan paru-paru bekerja sama sangat erat dan saling pengaruh-mempengaruhi . Gangguan faal hidung dapat menimbulkan gangguan faal paru-paru. Dengan demikian kelainan-kelainan yang terjadi di hidung tidak mustahil membawa pengaruh terhadap paru-paru.
Asthma bronchiale

allergik yang lain pun tak didapati. Infeksi dari tractus respiratorius menyebabkan bronchus menjadi responsive. Serangan-serangan asthma kemudian bisa timbul bila ada : infeksi tractus respiratorius baru, irritasi kimiawi atau fisik, setelah berlari-lari atau melakukan pekerjaan fisik yang berat, bahkan juga bisa timbul bila ada stress emosional. Dalam praktek didapatkan terbanyak campuran dari kedua type itu. Jarang ada type extrinsic yang murni atau type intrinsic yang murni. Maka disebut mixed asthma.
Rhino-bronchology

Asthma bronchiale adalah suatu bentuk dari kegagalan paru-paru didalam melakukan tugasnya yang disebabkan oleh konstriksi dari bronchi dan oedema dari mukosa bronchus, dengan tanda khas berupa: wheezing, dyspnoe dan pengeluaran lendir yang kental dan lengket (2,11). Menurut etiologinya dibedakan (12) : 1. Extrinsic asthma s. allergic asthma Extrinsic asthma disebabkan oleh karena allergi terhadap extemal allergen yang spesifik; misalnya housedust, makanan, obat-obatan, dan sebagainya. Ini biasanya terdapat pada anakanak atau orang dewasa muda. Penderita allergic asthma ini biasanya juga ada tanda-tanda allergi lain, seperti rhinitis allergica, eksim, dan sebagainya. 2. lntrinsic asthma s. idiopathic atau infective asthma Type ini lebih banyak terdapat pada penderita yang berumur lebih dari 35 tahun. Pada intrinsic asthma tidak dapat dibuktikan dengan skin-test adanya hipersensitivitas terhadap suatu allergen specifik. Asthma ini biasanya disebabkan suatu infeksi dari tractus respiratorius. Pada extrinsic asthma ada hipersensitivitas heriditair terhadap allergen external yang khas. Pada kontak pertama dengan allergen-allergen itu bronchus menjadi responsive; sehingga pada kontak yang kemudian akan terjadi asthma. Pada intrinsic asthma tidak ada faktor heriditair. Reaksi-reaksi

Dari pengalaman-pengalaman dan observasi diketahui, bahwa: (a) Infeksi dari sinus paranasalis sering disertai kelainan di paru-paru; misalnya bronchiectasia, infective asthma, dan sebagainya (4), (b) Penderita asthma bronchiale sering menunjukkan perbaikan setelah dilakukan lavage atau drainage dari sinus paranasalis yang meradang (3,4) (c) Ternyata bahwa foto rontgen dari sinus para penderita asthma bronchiale lebih banyak menunjukkan kelainan dari pada orang yang sehat (1,6) (d) Sering didapatkan polip hidung pada penderita asthma bronchiale (12). Dari pengalaman-pengalaman tersebut timbullah pertanyaan apakan ada hubungan antara kelainan-kelainan di hidung/ sinus paranasalis dengan asthma bronchiale, dan bagaimana hubungan itu. Kemungkinan-kemungkinan hubungannya ialah : (A) Secara kebetulan saja terjadi pada waktu yang sama (co-incidence), jadi sebenarnya tidak ada korelasi sama sekali (4). (B) Memang nyata ada korelasi, yaitu misalnya: 1. External allergen yang khas tidak hanya mengenai mukosa hidung, tetapi juga sampai ke bronchus. Maka dapat terjadi rhinitis allergica dan extrinsic asthma bersama-sama (3,4,12).
Cermln Dunia Kedokteran No. 9. 1977

17

2. Infeksi dari sinus maxillaris menyebabkan timbulnya asthma bronchiale (3,10). Mekanisme terjadinya asthma diterangkan sebagai berikut : a. Material mucopurulent dari sinus mengalir ke pharynx. Kemudian terjadi infeksi bertahap yang meluas sampai mukosa trachea dan bronchus. Maka terjadilah infective asthma. b. Kuman-kuman dari sinusitis menghasilkan bacterial protein yang akan merupakan antigen dan merupakan "trigger" dari reaksi allergik pada mukosa bronchus yang sudah responsive. c. Secara reflex terjadi bronchospasmus melalui sistem saraf otonom (saraf simpatis). Proses inflamasi di sinus memberikan rangsangan pada ganglion hidung (ggl. sphenopal atinus), untuk kemudian dengan melalui N. vidianus diteruskan ke ganglion stellatum dari bronchus. d. Bronchus yang sudah menjadi responsive (karena faktor hereditair atau predisposisi) membuatnya sangat sensitif terhadap rangsangan bakterial/non-bakterial (5,8,9). 3. Hubungan reflektoris yang murni (13). Dikatakan bahwa di hidung terdapat "asthmagenic area" yang meliputi margo inferior concha media dan daerah ethmoid (lamina cribrosa, pars lateralis dan septalis). Rangsangan dari daerah ini melalui saraf ke 5 diteruskan ke nucleus ambiguus yang merupakan pangkal motorik dari saraf ke 9 dan 10. 4. Mucoviscidosis (7). Kelenjar submukosa mengeluarkan sekrit yang kental dan lengket secara berlebihan. Terdapat hipertrofi dari kelenjar-kelenjar mukosa dan penambahan selsel piala. Penyakit ini mengenai seluruh mukosa dari tractus respiratorius. Dengan demikian, bila terjadi mucoviscidosisdari saluran nafas bagian atas, hampir selalu dapat dipastikan bahwa itu terjadi juga di saluran nafas bagian bawah. Adanya discharge yang berlebihan yang sifatnya kental dan lengket ini menimbulkan gejala asthma bronchiale di samping gejala rhinitis.
Beberapa contoh dari pengalaman sendiri. Kasus 1. Seorang wanita berumur 43 tahun, berobat pertama kalinya pada tahun 1970 dengan keluhan: hidung sebelah kanan tersumbat sejak kurang lebih 3 tahun yang lalu. Tidak ada rhinorrhoe, tetapi selalu merasa ada ingus turun dari bagian belakang cavum nasi ke mulut. Selain itu dia menderita asthma bronchiale sejak berumur satu tahun; telah berobat pada internist, tetapi belum berhasiL Tidak ada famili yang sakit bengek. Pada pemeriksaan didapat: polip multipel di daerah ethmoid dan deviasi serta crista septi, semua di cavum nasi dextra. Penderita sangat takut. Dia hanya mau dilakukan polip extraction sekedar untuk memperbaiki jalan nafasnya. Pada tahun 1975 penderita datang lagi berobat dengan keluhan obstructio nasi dextra totalis; sakit-sakit kepala, terutama kanan frontal; dan serangan asthma bertambah sering, sehingga tiap hari perlu makan obat asthma. Pada pemeriksaan didapat: deviasi septi dan crista septi kanan, polip multipel di daerah ethmoid kanan, discharge mucous kental di meatus medius dextra. Xfoto: sinus maxillaris dextra lebih suram daripada sinistra. Menurut internist cor/pulmo tak ada kelainan, kecuali asthma bronchiale. Terapi : dilakukan operasi-operasi septum reseksi, ethmoidectomidextra dan dibuat sinoriasal fenestrasi kanan. Hari ke5 postoperasi penderita dipulangkan tanpa keluhan. Pada follow-up dua minggu kemudian, penderita merasa hidung kanan masih agak sesak. Serangan asthma sangat berkurang dalam frekwensi dan beratnya serangan; dapat disembuhkan dengan makan 1 tablet asthma, padahal dulu perlu 3 tablet. Dua bulan kemudian tidak ada keluhan hidung atau asthma lagi.

Kasus 2. Seorang laki berumur 37 tahun, datang berobat dengan keluhan: sejak 2 tahun yang lalu hidung sebelah kanan sering tersumbat, terutama kalau hawa dingin. Mulai 2 bulan yang lalu, hidung sebelah kanan hampir selalu tersumbat tiap hari, kepala sebelah kanan terasa sakit dan nafas berbau busuk. Sejak umur 20 tahun dia telah menderita asthma bronchiale, tetapi akhir-akhir ini tiap hari perlu makan obat asthma. Ayah dan kakaknya juga sakit asthma. Pada pemeriksaan didapat: crista septi kanan dengan spina septi, sampai terjadi synecchia dengan concha media. Mukosa hidung pucat dan oedemateus. Terdapat discharge mucous kental di meatus medius. Pada pemeriksaan diaphanoscopy, sinus maxillaris dan frontalis dextra tampak gelap. Xfoto: sinus maxillaris dextra suram. Diagnosis : sinusitis maxillaris. Menurut internist yang mengobati asthma penderita ini, asthmanya telah diderita bertahun-tahun dan penderita juga allergik terhadap bermacam-macam obat, baik yang berupa inhalan maupun obat suntik. Terapi : dilakukan operasi sinus maxillaris menurut cara CaldweelLuc dan septum reseksi. Postoperasi penderita diberi Cortone-acetate 1 cc,antibiotika,dan analgetika;lalu per oral diberi Polaramine 2 dd 2 mg. Penderita dipulangkan dan sembuh setelah satu minggu. Setelah operasi sampai sekarang asthmanya tidak pernah kambuh, meskipun tidak makan obat asthma lagi. Kesimpulan

1. Dari hasil pengalaman dan observasi telah diketahui adanya hubungan antara kelainan di hidung dan asthma bronchiale. Telah dicoba menerangkan hubungan ini dengan berbagai alasan dan faktor. 2. Walaupun keterangan-keterangan ini belum dapat dipakai sebagai pegangan yang pasti, sebaiknya didalam menangani penderita asthma bronchiale ada kerja sama yang erat antara internist dan ahli THT. 3. Tiap dokter yang menangani penderita asthma bronchiale hendaknya mengingat dasar-dasar allergi, imunologi dan bakteriologi serta fisiologi dan hidung dan paru-paru.
KEPUSTAKAAN 1. BERMAN SZ et al: Maxillary sinusitis and bronchial asthma: Correlation of roentgenograms, cultures, and thermograms. J Allergy Clin Immunol 53 (5) : 3I1317, 1974. CECIL & LOEB : Textbook of medicine, 10 ed. Philadelphia, London, WB Saunders Co., 1959, pp 437445. DAVIDSON FW : Chronic sinusitis and infectious asthma. Arch Otolaryngol 90 : 110-115, 1969. DAVIDSON FW: Rhinobronchology. The Laryngoscope 76: 13051311, 1966. FASCENELLI FW : Maxillary sinus abnormalities Radiographic evidence in an asymptomatic population. Arch Otolaryngol 90: 98101, 1969. KERREBIJN KF : Behandeling van mucoviscidosis (pancreas fibrosis, cystic fibrosis). Ned T Geneesk 116(46) : 2I002105, 1972. MISSAL SC : Food allergy in the ear, nose, throat practice of allergy. The Laryngoscope 21 (5) : 512523, 1961. PATTERSON R : IgE mediated rhinitis. Med Clin North Am 58 (1) : 4354, 1974. PHIPATANAKUL CS, SLAVIN RG : Bronchial asthma produced by paranasal sinusitis. Arch Otolaryngol 100: 109112 1974. SODEMAN WA : Pathologic physiology Mechanism of disease, 3. ed. Philadelphia. London, WB Saunders Co., 196I, pp 634644; WEISS EB : Bronchial asthma. Clinical Symposium 27 (12): 340, 1975. WHICKER JH, KERN EB : The nasopulmonary reflex in the awake animaL Ann Otol Rhinol and Laryngol 82 (3): 335358, 1973.

2. 3. 4. 5.

6.

7. 8. 9.

10.

11. 12.

18

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

Foetor ex nasi
dr. Soedarjatni Bagian T.H.T. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/R.S. dr. Kariadi Semarang Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Dalam kepustakaan disebut sebagai 'offensive odor ' , 'fetid odor' , 'stinkende afscheiding ' , 'a stench' (2,3,5,1 2).-Ini merupakan suatu symptom, bukan diagnosis. Sebagai symptom, sering disertai gejala hidung lainnya, misalnya hidung tersumbat, keluar cairan dari hidung, yang kadang-kadang disertai dengan darah (2). Dalam kenyataan masih sering dijumpai penderita datang ke dokter dengan keluhan hidung berbau. Yang penting ialah bagaimana menentukan diagnosis secara praktis, apalagi bagi seorang dokter yang tidak mempunyai alat yang lengkap untuk memeriksa keadaan dalam hidung. Untuk keperluan ini akan kami kemukakan tentang patogenesis, cara anamnesis yang terarah, cara pemeriksaan secara klinis yang sederhana/ praktis dan pedoman diagnostik berdasar diagnosis banding (diagnosis differensial) daripada kelainan atau beberapa penyakit yang dapat memberi gejala foetor ex nasi. Bahannya, selain diambil darikepustakaan,juga kami kumpulkan dari bermacammacam penyakit atau kelainan yang sering atau kadang-kadang masih dijumpai di poliklinik Bagian T.H.T.R.S. Dr. Kariadi.
Patogenesis

Radang oleh irritasi fisik atau kimiawi. Toxin bakteri Neoplasma maligna dengan bagian-bagian yang nekrotis.
Anamnesis

Meskipun hidung adalah organ pembau, apabila dalam rongga hidung terjadi bau busuk, bau ini mungkin tidak disadari oleh penderita (1,2,3,7). Berdasarkan ini, apabila penderita dapat membau, kita beri tanda (+), dan bila tidak membau kita beri tanda (), maka kemungkinan yang dapat terjadi ialah : 1. Penderita sendiri (+), orang lain (+). 2. Penderita sendiri (+), orang lain (). 3. Penderita sendiri (), orang lain (+). Bila penderita sendiri tidak dapat membau, berarti ia mengalami anosmia. Bila orang lain tidak membau, berarti bau tersebut subyektif. Hal tersebut perlu sekali ditanyakan pada anamnesis atau heteroanamnesis, hanya saja pada penderita anak-anak sering tidak jelas atau meragukan. Tetapi keluhan bau busuk dari hidung anak sering dikeluhkan oleh orang tua atau pengasuhnya. Pada penderita dewasa adanya foetor ex nasi dapat berakibat pada kehidupan sosial, dimana penderita makin tersingkir dari pergaulan (1) dan bila penderita tersebut seorang wanita, dapat terjadi gangguan psikis (6), misalnya saja rasa rendah diri, terutama pada wanita dengan emosi yang labil. Setidak-tidaknya orang dewasa yang menderita foetor ex nasi akan merasa tidak sehat dan ini mendorong penderita pergi ke dokter. Memang ada penyakit dengan gejala foetor ex nasi yang lebih banyak menyerang wanita daripada pria (2,3,5,6,7,12). Gejala nasal discharge dengan foetor dapat bersifat unilalateral atau bilateral (1,2,3,5,7,12). Hal ini perlu sekali ditanyakan dalam anamnesis oleh karena anamnesis yang teliti dan terarah akan sangat membantu kita dalam mencari kemungkinan diagnosis. Selanjutnya unilateral kami singkat (U), bilateral (B). Berdasarkan hal tersebut di atas perlu dibedakan apakah penderita anak-anak atau dewasa; kadangkadang masih perlu dibedakan dewasa muda (pubertas) atau dewasa tua; apakah discharge (U) atau (B), dan penderita dapat membau atau tidak.
Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977 21

Menurut BOIES (3) adanya foetor dalam hidung berarti terjadinya nekrosis daripada mukosa dan adanya organisme saprofit. Dikatakan pula bahwa pus yang kronis dan berbau dalam sinus maxillaris mungkin berasal dari gigi. Menurut BOYD (4), nekrosis dapat disebabkan oleh: (1) kurangnya aliran darah (blood supply), (2) toxin bakteri, dan (3) iritasi secara fisik maupun kimiawi. Dikatakan pula bahwa sel-sel yang mati akan mengalami pembusukan oleh aksi organisme saprofit. Berdasar pendapat tersebut di atas, kiranya foetor ex nasi dapat disebabkan oleh : 1. Pembusukan sel-sel mati (benda-benda organik) atau corpus alienum oleh kuman saprofit. 2. Pembusukan sel-sel jaringan yang nekrotis, sebagai akibat dari Trauma, mengakibatkan kerusakan jaringan sampai matinya jaringan karena tidak mendapat blood supply. Terjadilah nekrosis dan infeksi sekunder sehingga timbul foetor.

Pemeriksaan.

Anamnesis perlu dicocokkan dengan pemeriksaan, selain itu perlu pemeriksaan apakah discharge purulent atau sanguinous, dan apakah discharge sangat berlimpah (profuse). Berdasarkan adanya macam-macam kelainan/penyakit yang dapat menimbulkan gejala foetor, dapatlah disusun diagnosis banding sebagai berikut :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Corpus alienum Rhinoliths Nasal diphteria Sinusitis Ozaena Nasopharyngitis kronis Rhinitis caseosa Radang kronis spesifik : syphilis tertier. Radang kronis spesifik: tuberkulosis. Neoplasma maligna

atau bersama-sama dengan diphteri pharynx, bersifat maligna karena biasanya disertai gejala konstitusionil (10). Discharge biasanya (B), sanguinous, sering disertai exkoriasi vestibulum nasi (1). Berdasarkan adanya nasal diphtheria type benigna dan maligna, maka jangan lupa memeriksa pharynx. Bila ada keragu-raguan, ada baiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap sekret hidung dan tenggorok. Hal ini akan sangat mempengaruhi tindakan selanjutnya. Type benigna dapat diobati secara poliklinis, tetapi penderita type maligna perlu segera dikirim ke Bagian Anak-anak untuk perawatan dan pengobatan yang semestinya. 4. Sinusitis.- Dapat terjadi pada anak-anak ataupun dewasa, dapat (U), atau (B). Pada anak-anak, discharge yang berlimpah sering disertai infeksi pada adenoids dan alergi hidung. Pada anak-anak gejala yang sering ditemukan ialah: nasal obstruction, persistent mucopurulent discharge, frequent colds (2,12). Berdasarkan adanya infeksi adenoid dan alergi hidung, maka pada anak-anak gejala discharge tentunya lebih sering (B). Pada anak-anak diragukan apakah penderita sendiri membau atau tidak; jadi penderita sendiri (), orang lain (+). Penderita dewasa sering menyadari adanya bau yang tak enak dalam hidungnya, tetapi kadang-kadang hyposmia bila ada obstruksi (1) dan bersifat temporer. Jadi penderita sendiri (+), orang lain (+). 5. Ozaena. Disebut juga rhinitis chronica atrophicans cum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida (6). Karakteristiknya ialah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae yang berbau khas. Menurut pengalaman (11,13), untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral,terdapat crustae kuning kehijauhijauan. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria (1,2,3,5,6,7,12), terutama pada umur sekitar pubertas. Penderita sendiri mengalami anosmia, sedang orang lain tidak tahan baunya; jadi penderita sendiri (), orang lain(+). Menurut BOIES (3) frekwensi wanita:laki adalah 3 : 1. FREKWENSI OZAENA BERDASARKAN UMUR DAN JENIS KELAMIN R.S. DR. KARIADI SEMARANG, 1975 1976
Jumlah kasus 1975 Wanita : 8 tahun 13 20 tahun 20 tahun ke atas Laki-laki : 1520tahun 20 tahun ke atas 3 3 2 3 5 6 1 11 3 11 6 1 22 9 1976 Total

1. Corpus alienum. Kebanyakan benda-benda kecil misalnya biji buah, benik dan sebagainya. Kebanyakan ditemukan pada anak-anak dan biasanya unilateral (1,2,3,5,12). Dengan demikian discharge dan foetor (U). Karena penderita anak-anak, apakah penderita sendiri dapat membau atau tidak hal ini tidak jelas ().

FREKWENSI CORPUS ALIENUM DI HIDUNG DIBANDINGKAN DENGAN DI TEMPATTEMPAT LAIN RS. DR. KARIADI SEMARANG, 1975 1976
Tempat 1975 Hidung Telinga Tenggorokan Trachea Oesophagus Tonsil 97 63 26 6 3 3 Jumlah kasus 1976 147 51 49 11 1 7 Total 244(52,4%) 114(24,5%) 75(16 %) 17(4 %)

4 (0,9 %) 10(2,2 %)

2. Rhinoliths.- Biasanya terdapat pada orang dewasa, lebih banyak wanita daripada pria. Terjadi karena adanya corpus alienum yang telah lama tinggal dalam hidung (misalnya sejak kecil), kemudian terbungkus oleh endapan garamgaram kalsium atau magnesium sebagai ikatan fosfat atau karbonat yang berasal dari lacrima. Warna sedikit abu-abu, agak coklat atau hitam kehijau-hijauan. Konsistensi dapat lunak sampai keras dan rapuh atau porous (2,12). Seperti halnya dengan corpus alienum, biasanya terdapat (U). Ada 2 type: (i) primer: terbatas 3 Nasal diphteria. dalam hidung, bersifat benigna, +/-2%, (ii) sekunder: berasal
22 Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

Jumlah wanita : laki-laki = 32 : 11, atau kurang lebih 3 : 1.

6. Nasopharyngitis kronis.- Di nasopharynx terdapat jaringan lymphoid, kadang-kadang adenoid, dimana banyak tinggal bakteri-bakteri didalam crypti. Hanya bila ada infeksi virus maka bakteri tersebut menjadi virulen dan dapat meluas ke semua arah. Pada kebanyakan kasus penyakit ini bersifat 'self-limiting ' , bila daya tahan tubuh cukup tinggi penyakit segera sembuh. Tetapi dapat juga penyakit menjadi kronis dan discharge nasopharynx menjadi purulen serta mulai timbul bau, hal ini mulai dirasakan/disadari oleh penderita sendiri. Penderita sering berusaha mengeluarkan discharge di nasopharynx yang dirasakan sangat mengganggu (7). Karena discharge di nasopharynx, maka bau tersebut (B), dan penderita sendiri yang membau (+), orang lain tidak ikut membau (-). Tak disebutkan adanya perbedaan frekwensi antara laki-laki dan wanita. 7. Rhinitis caseosa.- Ialah perobahan kronis inflamatoir dalam hidung dengan adanya pembentukan jaringan granulasi dan akumulasi massa seperti keju yang menyerupai cholesteatom (Meyersburg, Bernstien, and MEZZ) (2,12). Ada banyak teori tentang etiologi penyakit ini -tetapi pada umumnya diterima bahwa penyakit ini adalah akibat radang kronis dan nasal stenosis sekunder yang menyumbat nasal discharges . Oleh perobahan mekanis dan kimiawi dan desquamasi mukosa secara kontinu, terjadilah penumpukan massa seperti keju yang menyerupai cholesteatom (2), Kebanyakan (U), dapat terjadi pada segala umur, tetapi terbanyak antara 30-40 tahun. Dikatakan frekwensi pada laki-laki sama dengan wanita (2,12) . Karena kelainan ini adalah akibat sinusitis, penderita sendiri membau (+), orang lain (+) (12). 8. Radang kronis spesifik : syphilis tertier.- Berupa gummata yang sering mengenai septum bagian tulang, yaitu pada vomer dan sering mencapai palatum durum. Bila terjadi nekrosis yang mengenai tulang dan meluas ke cartilago septum terjadilah perforasi septum (2,12). Bila terjadi foetor (B) . Penyakit ini sekarang jarang dijumpai. 9. Radang kronis spesifik: tuberkulosis.- Dalam hidung sebagai tuberkuloma yang banyak mengenai septum bagian cartilago. Tentu saja untuk membedakan syphilis tertier dari tuberkulosis lebih baik dilakukan pemeriksaan darah lengkap, W.R. dan biopsi. Pada tuberkulosis perlu dilakukan foto rontgen thorax dan nasal swab. Pada tuberkulosis, bila tuberkuloma pada septum bagian cartilago mengalami nekrosis, dapat juga terjadi perforasi septum; foetor dapat dirasakan (B). Penyakit itu sekarang juga jarang dijumpai (2,12). 10. Neoplasma maligna.- Symptom yang menyolok ialah nasal obstruction (U), nasal bleeding. Kadang-kadang ulserasi awal dan nasal bleeding terlihat lebih dulu sebelum nasal obstruction, terutama pada tumor cavum nasi yang anaplastik (2). Diagnosis ditegakkan dengan biopsi yang diambil dari bagian yang tidak nekrotis. Perlu diagnosis sedini mungkin, maka bila ada kecurigaan akan malignitas, biopsi perlu segera dilakukan. Biopsi lebih baik daripada nasal smear. Frekwensi malignitas lebih banyak laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan 2 : 1 (12). Berdasarkan uraian tersebut di atas dapatlah kami susun pedoman diagnostik sebagai berikut.

PEDOMAN DIAGNOSTIK
ANAK ANAK 1. Corpus alienum : 2. Nasal diphteria 3. Sinusitis : : discharge (U) discharge sanguinous (B) discharge berlimpah (B)

DEWASA Radang 1. Sinusitis : discharge M/(Bl Penderita (+), orang lain(+) : discharge (B): Penderita (), orang lain (+) 2. Ozaena 3. Nasopharyngitis kronis: discharge postnasal (B). Penderita (+), orang lain () : discharge (U). Penderita (+), orang lain (+) 4. Rhinitis caseosa : discharge (B). Septum bagian tulang. Pen5. Syphilis tertier derita (+), orang lain (+) 6. Tuberkulosis : discharge (B). Septum bagian cartilago. Penderita (+), orang lain (+) discharge (U)/(B). Penderita (+), orang lain (+). Neoplasma maligna : Rhinoliths/corpus alienum:discharge (U), Penderita (+), orang lain (+)

Dalam skema tersebut di atas, terdapat tanda-tanda yang patut diingat, yaitu pada penyakit : - Sinusitis : penderita membau (+), orang lain (+) : penderita tidak membau (-), orang lain(+) - Ozaena - Nasopharyngitis kronis: penderita membau (+), orang lain (-) Pedoman diagnostik tersebut diatas akan mempermudah penentuan diagnosis secara klinis. Bila ada keragu-raguan atau untuk meneguhkan diagnosis, baru dilakukan pemeriksaan khusus atau laboratoris:
JENIS PENYAKT YANG MENIMBULKAN GEJALA FOETOR EX NASI DAN JUMLAH KASUS YANG DIJUMPAI DI POLIKLINIK T. H. T. R.S. DR. KARIADI SEMARANG, DALAM TAHUN 1975 1976
JENIS penyakit 1975 1. 2. 3. 4. Corpus alienum di hidung Rhinoliths Nasal diphteria Sinusitis maxillaris ethmoidalis frontalis campuran, termasuk pansinusitis Sinusitis seluruhnya 5. 6. 7. 8. 9. Ozaena Nasopharyngitis kronis Rhinitis caseosa Septum (tak dijelaskan) Malignitas 97 3 6 44 13 4 4 65 21 4 1 3 5 61 8 4 4 77 22 10 1 5 17 Jumlah kasus 1976 147 4 7 Total 244 7 13 105 21 8 8 142 43 14 2 8 22

Terapi Terapi bermacam-macam, tergantung dari diagnosis : Corpus alienum/rhinoliths : terapinya ialah mengangkat corpus alienum atau rhinolith (1,2,3,5,12). Nasal diphteria : diberikan antibiotika, ADS, dan salep antibiotika untuk mencegah dermatitis akibat nasal discharge (1,5,10,12). Sinusitis dan rhinitis caseosa : prinsip terapi ialah mcmCermin Ounia Kedokteran No: 9, 1977

23

bersihkan discharge, memperbaiki ventilasi dan drainage, pemberian antibiotika yang sesuai, dan bila tak berhasil baru dilakukan operasi (1,2,3,5,7,8,9,12). Ozaena :terapi konservatip atau kombinasi dengan operatip (6,11,13) Nasopharyngitis kronis : terapi ialah dengan mengisap discharge yang lengket di nasopharynx, pemberian antibiotika dan obat tetes hidung (7). Syphilis tertier dan tuberkulosis : terapinya sesuai dengan terapi spesifik untuk syphilis dan tuberkulosis pada umumnya (2,3,12) Malignitas : terapi operatip, irradiasi atau kombinasi operasi dan irradiasi (1,2,3,5,7,12).
Prognosis

sebelum diobati - Ozaena ringan, dengan terapi konservatip atau kombinasi konservatip dan operatip, prognosis baik; berarti dapat sembuh 100%. OZaena sedang, dengan terapi kombinasi konservatip dan operatip hanya 75% 83% berhasil baik; dapat residif OZaena berat, dengan terapi konservatip maupun operatip tidak berhasil, atau hasil 0% (11,13). Oleh sebab itu dianjurkan untuk tidak melakukan operasi pada ozaena berat (11).
Pencegahan

Prognosis untuk corpus alienum dan rhinoliths setelah pengangkatan corpus alienum dan rhinoliths pada umumnya baik Prognosis untuk radang pada umumnya baik. Adanya bermacam-macam antibiotika dapat memperkecil insidens, komplikasi dan mortalitas (12). Khusus untuk ozaena, menurut pengalaman dr. R. S0ERATIMAN (11) prognosis tergantung dari derajat oZaena

Pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya foetor ex nasi ialah dengan (1) menjaga kebersihan, (2) mempertinggi daya tahan tubuh agar tidak mudah terkena infeksi, dan (3) mencegah terjadinya infeksi kronis.
Ringkasan

Telah dikemukakan ringkasan kepustakaan mengenai gejala foetor ex nasi, macam-macam penyakit yang dapat menimbulkan gejala tersebut dan yang masih sering dijumpai, disertai dengan pedoman diagnostik untuk mempermudah menentukan diagnosis. Tiap-tiap penyakit tidak diuraikan secara mendalam, hanya kami singgung halhal yang penting untuk menentukan diagnosis.

KEPUSTAKAAN 1. 2. LIKHACHOV A : Diseases of the ear, nose and throat. Moscow, MIR Publisher, pp 136167. BALLENGER HC, BALLENGER II : Diseases of the nose, throat and ear, 10 ed. Philadelphia, Lea & Febiger, 1957, pP 22514. BOIES LR : Fundamentals of otolaryngology. A textbook of ear, nose and throat diseases,4 ed. Philadelphia. WB Saunders Co:, 1964, pp 246480 BOYD W : Textbook of pathology, 7- ed. Philadelphia. Lea & Febiger, 1961, pp 2533. BURGER H : Leerboek der ziekten van oren, neus, mond, keel, slokdarm en lagere luchtwegen, 7 druk. Haarlem, De Erven F Bohn NV, 1954, pp 288503. COTTLE, MAURICE H : Nasal atrophy, atrophic rhinitis, ozaena. Medical and Surgical treatment, 1958. DOLOWITZ DA : Basic o tolaryngology. New York, Toronto, London, McGraw Hill Book Co: 1964 8. DOBROMYSKY F, SCHERBATOV I: Paranasal Sinuse diseases of the orbit. Moscow, MIR Publisher, 1966, pp 187. GERLINGS PG, HAMMELBURG EM : Keel, neus en oorheelkunde. Haarlem, De Erven F Bohn NV, 1971, pp 144156. NELSON WE : Textbook of pediatrics, 7 ed. Philadelphia, London, WB Saunders Co., 1959, pp 411420, 745756. R SOERATIMAN PH : Pengobatan secara implantasi dengan os tibia dari penderita sendiri pada ozaena di Rumah Sakit Surakarta, Solo. Majalah Perhimpunan Ahli Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok Indonesia, 2/1975. SCOTTBROWN'S : Diseases of the ear, nose and throat, vol. 3! The nose. London, Butterworth, 1972, pp 120316. SOENARTO S : Pengobatan operatip pada 38 penderita ozaena di Rumah Sakit Yogyakarta. Majalah Perhimpunan Ahli Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok Indonesia 2/1975.

9. 10. 11.

3.

4. 5.

12. 13.

6.
7:

24

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

Catatan Singkat tentang Tonsil- & Adenoidektomi


dr. Soetomo Bagian T. H. T. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/R.S. dr. Kariadi Semarang

Pendahuluan

Persoalan tentang tonsil dan adenoidektomi selalu merupakan hal yang hangat dalam praktek sehari-hari; di dalam kalangan dokter umum, ahli penyakit anak-anak, ahli penyakit dalam maupun di kalangan ahli penyakit T.H.T. sendiri. Yang menjadi persoalan ialah setuju atau tidak setuju dilakukannya tonsil atau adenoidektomi. Di Amerika pernah begitu banyak dilakukan tonsilektomi, sehingga MACKENZIE (6) menyebutnya sebagai "the massacre of tonsils". Keadaan ini memberi kesan seakan-akan pengambilan tonsil tidak lagi atas dasar indikasi medik, tetapi kebanyakan dilakukan atas dasar indikasi kantong operatornya. Sampai dewasa ini kelihatannya belum ada persesuaian yang seirama dalam menentukan indikasi pengambilan tonsil tersebut, terbukti dari banyaknya penilaian-penilaian para ahli yang berbeda-beda. Didalam menentukan perlu atau tidaknya dilakukan tonsilektomi pada seorang penderita, seorang dokter umum sebagai dokter keluarga sangat besar peranannya. Dokter inilah yang setiap waktu mengobati/menolong penderita tersebut. Atas dasar inilah tulisan ini dibuat secara singkat dan sederhana untuk para dokter yang melakukan praktek umum.
Pembahasan

Fungsi (1,2,3,4,9,10). Mengenai fungsi dari tonsil, sebetulnya kebenaran dari teori-teori yang diajukan masih disangsikan, tetapi ada beberapa hal yang dapat diterima yaitu : 1. Membentuk zan-zat anti yang terbentuk di dalam sel plasma pada waktu terjadi reaksi seluler. 2. Mengadakan limfositosis dan limfositolisis. 3. Menangkap dan menghancurkan benda-benda asing maupun mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh melalui hidung dan mulut. 4. Memprodusir hormon, khususnya hormon pertumbuhan. Hal ini masih disangsikan kebenarannya.

Didalam menjalankan tugasnya sebagai pos terdepan di dalam mulut maupun dari hidung, adakalanya tonsil menderita kekalahan. Daya pembentukan zat-zat anti, limfositosis dan limfositolisis, maupun daya menangkap dan menghancurkan menjadi berkurang. Keadaan ini bermanifestasi sebagai tonsil yang mengalami peradangan kronik. Mikroorganisme maupun benda-benda asing yang dapat ditangkap, tidak mampu untuk dihancurkannya dan disimpan didalamnya. Keadaan ini malahan menjadikan tonsil sebagai pangkalan di dalam tubuh bagi mikroorganisme. Sewaktu-waktu mikroorganisme irii siap melancarkan serangan-serangan terhadap tubuh kita, baik berupa mikroorganismenya sendiri maupun toxin yang diprodusirnya, dan akan terjadi bakteremia, toxemia ataupun septichemia.
lndikasi tonsilektomi (1,2,3,6,7,9,10,13,14)

Untuk mengupas persoalan tersebut. JONKEES (9,10) menyarankan, sebaiknya hal tersebut dibedakan di dalam dua bagian : (1) Tonsilektomi dari tonsilla palatina, dan (2) Adenoidektomi dari tonsilla pharyngealis. Pada hakekatnya pokok perhitungannya adalah : untung dan ruginya bila jaringan limfoid tersebut diambil. TONSILLA PALATINA Susunan (4,8). Untuk membahas persoalan "setuju dan tidak setuju" pengambilan tonsil secara rasionil, maka sebaiknya diketahui dahulu susunan dan fungsi dari organ tersebut. Tonsilla palatina merupakan salah satu anggota dari lingkaran Waldeyer yang terdiri dari jaringan reticulum dengan sel-sel li mfatik. Di dalam follikel-follikelnya tertimbun limfositli mfosit yang merupakan karakteristikum dari tonsil tersebut. Bedanya dengan kelenjar limfe lainnya ialah bahwa tonsilla palatina hanya mempunyai saluran efferens saja dan tidak mempunyai saluran afferens.

Yang selalu menjadi persoalan yang hangat ialah menentukan indikasi dari tonsilektomi ini. Masing-masing ahli akan mempunyai pendapatnya sendiri. Tonsillitis akuta atau angina yang berulang kali datang (residif). Gejala-gejala klinik kardinal dari angina ialah (9,10)
1. Penderita kelihatan menderita sakit keras dengan gejala-gejala yang hebat. Suhu badan naik tinggi. Terjadi pembengkakan dari kelenjar lymphe leher. Tonsil kelihatan merah membara. Biasanya berlangsung sampai 2 3 minggu.

Gejala-gejala klinik ini perlu ditekankan, untuk membedakan dengan sakit tenggorok lainnya : Rasa sakit di tenggorok yang tidak disertai dengan panas badan, biasanya disebabkan oleh peradangan selaput lendir Rasa sakit di tenggorok yang terjadi pada waktu menelan,
Cermin Dunia Kedokteran No: 9, 1977

25

tetapi tidak disertai dengan panas badan, kebanyakan disebabkan oleh peradangan dari tonsillae lingualis. Komplikasi-komplikasi dari angina :
(a) Abses Peritonsillar. (b) Abses parapharyngeal yang dapat meluas melalui 'deep neck spaces': -ke endocranial -menyebabkan radang glandula pazotis -phlegmon dari dasar mulut -collateral oedem dari larynx -merusak dinding saluran darah (a. carotis externa) -menimbulkan trombosis septik di dalam v. jugularis dan dapat menimbulkan pyemia (c) Radang dari persendian, jantung dan ginjal yang akut THOMAS (6)menyatakan bahwa 15% dari kasus polyarthritis rheumatica dimulai dengan angina sebelumnya; INGERMANN-WILSON (6) malahan memberikan angka sebesar 77%. Selang waktu antara terjadinya rheuma dan angina biasanya berkisar antara 3 25 hari. Juga kelainan-kelainan jantung dan ginjal biasanya mempunyai hubungan dengan angina. V0LHARD (6) menyatakan bahwa 5,9% 8,8% dari radang ginjal dimulai dengan terjadinya angina sebelumnya.

belum berarti bahwa coccus yang kita cari tidak ada. Kesalahan-kesalahan lain yang mungkin dibuat ialah : (a) Hasil swab yang diambil mungkin berasal dari jaringan sekitar tonsil, misalnya pharynx. (b) Harus diperhitungkan juga bahwa angina belum tentu disebabkan oleh streptococcus, tetapi mungkin juga disebabkan oleh staphylococcus, pneumococcus atau virus. Gejala gejala klinik yang ditimbulkan sukar dibedakan satu sama lainnya. NOSAKA (9,10) pada tahun 1963 menyatakan dengan tandas bahwa pemeriksaan anti streptolysin, laju endapan darah dll. tidak mempunyai arti sama sekali untuk menentukan tonsil sebagai focal infection. Yang penting adalah gambaran kliniknya. GURICH dan PAESSLER (6) menyatakan bahwa sangatlah penting untuk mencari sarang radang kronis yang dapat menyebabkan kelainan pada organ lain. BILLINGS dan R0SENOW dapat membuktikan secara empirik dari apa yang dikatakan oleh GuRICH dan PAESSLER sebagai dalil focal infection. Mereka berpendapat baha diantara berbagai sarang infeksi kronis tersebut, maka tonsil menduduki tempat yang paling penting. Baru kemudian menyusul sarang-sarang lainnya : gigi, sinus paranasalis dst. Kelainan-kelainan yang ditimbulkan oleh infeksi kronis ini disebabkan oleh mikroorganismenya sendiri atau oleh toxin yang dibentuknya. Kelainan-kelainan yang dapat ditimbulkan antara lain : rheuma, endocarditis, nephritis, chorea minor, gangguan umum (serangan demam yang berulang kali datang), thyroiditis, iridocyclitis, erythema nodosum, cholecystitis , herpes, myelitis dll. KAISER dan FARNUM (6) menyatakan bahwa 0,4% dari 1200 penderita chorea minor diketemukan pada anak-anak yang sudah tidak bertonsil; sedangkan 0,5% diketemukan pada anak-anak yang mempunyai tonsil. HA L L E dan LETZ (6) mendapatkan bahwa chorea minor lebih cepat sembuh setelah penderita menjalani tonsilektomi. NELS0N (14) menyatakan bahwa glomerulonephritis akuta terjadi akibat reaksi antigen-antibody, antigen berasal dari suatu infeksi di suatu tempat di dalam tubuh. Rheumatic fever biasanya terjadi oleh karena kelainan di tractus respiratorius bagian atas yang disebabkan oleh beta haemolytic streptococcus. DEWIT menyebutnya sebagai reaksi alergi yang ditimbulkan oleh antigen yang dikeluarkan oleh kumankuman di tonsil yang meradang. 3. Abses peritonsillar Abses ini mempunyai sifat mengadakan serangan yang berulang kali (residif). Komplikasi yang ditimbulkan seperti yang terjadi pada angina. Tonsilektomi sebaiknya dilakukan 5 minggu setelah abses reda. 4. Tonsil hipertrofi yang memberi gangguan Keluhan yang sering ditimbulkan oleh karena tonsil hipertrofi ialah gangguan pada waktu menelan. Bila yang mengalami hipertrofi adalah adenoidnya, maka dapat memberikan gangguan pada jalan nafas. Tonsil hipertrofi dapat terjadi secara fisiologik; faktor herediter, pengaruh hormon, maupun radang menahun dapat juga mempengaruhinya (1,9,10). Tonsil hiper-

2. Tonsillitis Chronica Tonsillitis chronica ini, walaupun tidak disertai eksaserbasi akut dari tonsillitisnya, tetap akan merupakan focal infection yang berbahaya bagi tubuh kita. Gejala-gejala kardinal dari tonsillitis chronica ialah (15) : - perasaan malaise (perasaan tidak enak badan, tidak suka
makan dsb.) - suhu badan subfebriL Malaise dan suhu subfebril ini disebabkan oleh terjadinya bakteremia dan toxemia ringan di dalam tubuh, - pembengkakan dari kelenjar limfe regioner. Pembengkakan ini merupakan petunjuk bahwa fungsi tonsil sudah tidak begitu baik; untuk turut membendung serbuan kuman-kuman, pospos pertahanan kedua sudah hazus ikut serta juga. Penilaian terhadap pembengkakan kelenjaz limfe regioner ini harus dilakukan dengan hati-hati sekali. Pembengkakan ini dapat juga berasal dari peradangan di kulit kepala, gigi, atau dari sumber-sumber infeksi lain di sekitaznya.

Telah banyak dilakukan usaha-usaha untuk membuktikan bahwa ada korelasi antara tonsillitis chronica dan terjadinya peradangan di ginjal, jantung, persendian dan organ-organ lain (1,2,3,6,7,9,10,13,15). JONKEES (9,10) menyatakan bahwa besar kecilnya tonsil tidak menentukan besar kecilnya bahaya yang dapat ditimbulkan olehnya. Malahan tonsil yang kecil kadangkadang dapat menimbulkan bahaya yang besar. Angina dianggap disebabkan terutama oleh beta-hemolytic streptococcus dari group A. Untuk menunjukkan adanya korelasi antara kelainan di organ-organ (sendi, jantung, ginjal dsb.) dengan tonsillitis chronica, maka dibuat pemeriksaan tonsil swab. Bila tonsillitis chronica tersebut benar-benar disebabkan oleh streptococcus, hasil pemeriksaan tonsil swab ini akan sesuai dengan titer anti-streptolysin di dalam darah. Meskipun demikian, pemeriksaan tonsil swab ini tidak menjamin kebenaran hasilnya. Pada pembuatan swab tersebut mungkin yang terkena hanya permukaan tonsil saja, sedangkan coccus yang kita cari berada di dalam crypti. Jadi, walaupun hasilnya negatif, 26
Cermin Dunia Kedokteran No.

9,

1977

trofi yang tidak memberikan gangguan sebaiknya dibiarkan saja. 5. Tumor benigna yang memberi gangguan 6. Diphterb carrier Meskipun diberi antibiotika broadspectrum (misalnya erythromycin) mikroorganisme tersebut sukar dicapai oleh karena terdapat di tengah-tengah detritus; dengan demikian sering menyebabkan residif. Selain bahaya residif, diphteria carrier ini akan berbahaya terhadap masyarakat sekelilingnya.
ADENOID (TONSILLA PHARYNGEALE)

BAHAYA-BAHAYA PADA WAKTU MENJALANKAN TONSILEKOMI ATAU ADENO-TONSILEKTOMI (1,2,3,6,7,9,10,13,15)

1. Bahaya narcose. Sekarang telah menjadi kebiasaan untuk memberikan narcose umum pada waktu melakukan tonsilektomi. Tindakan ini sangat menolong penderita untuk mengurangi rasa sakit maupun ketakutannya. Operatornya sendiri dapat bekerja lebih tenang. Meskipun demikian, kita harus sadar akan bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh tindakan narcose tersebut; terutama kita harus berhati-hati pada penderitapenderita dengan penyakit jantung, paru-paru danembryopati (mongoloidismus dll). 2. Penderita penderlta dengan reaksi vasomotorik. Penderita-penderlta dengan kelainan vasomotorik sering di jumpai sebagai penderita-penderita rhinitis vasomotorica, exsudative diathesis, bronchitis chronica dsb. Tiap pacuan yang terjadi pada salah satu bagian dari selaput lendir yang menderita kelainan ini, akan mempengaruhi juga selaput lendir dari lain-lain bagian dari tractus repiratorius. Bila tonsil diambil, maka jaringan limfoid lainnya akan mengalami hipertrofi sebagai kompensasi. Hipertrofi ini akan memperberat kelainan yang diderita oleh selaput lendir tsb. (15). 3. Trauma psikik J0NKEES (9) menyarankan supaya mengatakan dengan sebenarnya kepada mereka yang akan menjalani tonsilektomi , apa yang akan terjadi pada mereka. Dengan demikian jiwa mereka telah siap pada waktu menjalani operasi. Dengan mengatakan sebenarnya kepada mereka ini, rasa ketakutan mereka dapat dihilangkan, setidak-tidaknya dikurangi. 4. Perdarahan. Tiap kali selesai operasi, harus selalu dilakukan observasi akan kemungkinan terjadinya perdarahan primer. Perdarahan sekunder biasanya terjadi pada hari ke 4 7 post operasi. Pada waktu itu terjadi perlepasan dari kerak-kerak yang semula menutupi luka operasi. Oleh sebab itu penderita selalu dinasehatkan untuk datang pada hari-hari tersebut untuk dikontrol. 5. Komplikasi pada paru-paru Komplikasi yang terjadi pada paru-paru mungkin disebabkan oleh karena aspirasi, atau embolus yang septik. Aspirasi darah yang keluar dari luka operasi dapat terjadi pada anestesi umum maupun pada anestesi lokal. DAILY (6) menyatakan bahwa pada 78% dari 100 penderita yang dioperasi di bawah narkose, didapatkan darah di dalam saluran pernafasannya. BENJAMIN (6) memberitahukan bahwa dari 152 penderita yang dioperasi dengan anestesi lokal 87,5% terdapat darah di dalam larutan larynxnya; 59 % terdapat darah di dalam saluran nafasnya. GERLINGS dan KIRCHER menganjurkan supaya sebelum reflex batuk dari penderita yang dioperasi kembali, perdarahan yang terjadi dapat dikuasai betul-betul. FETTER0LF dan FOx dapat membuktikan terjadinya embolus septik pada binatang-binatang percobaan. Pada penderita-penderita postoperasi yang mendapat serangan panas disertai batuk-batuk, hendaklah dipikirkan kemungkinan terjadinya embolus septik di paru-paru.
Cermin Dunia Kedokteran No. 9. 1977 27

Adenoid juga merupakan salah satu anggota dari lingkaran Waldeyer. Kehadirannya di nasopharynx adalah hal yang fisiologik pada anak-anak kecil. Menjelang pubertas (18 20 tahun) adenoid akan mengalami regressi dan akhirnya akan menghilang sama sekali. Tetapi adenoid yang memberikan gangguan kepada penderita haruslah dibuang. Pada tindakan tonsilektomi, bila kedapatan juga suatu adenoid, sebaiknya dilakukan juga adenoidektomi. Bila dibiarkan tertinggal, maka adenoid tersebut dapat mengalami hipertrofi sebagai kompensasi terhadap hilangnya tonsil; dengan demikian anak akan mengalami gangguan dan harus menjalani operasi untuk kedua kalinya. Keluh kesah yang dapat ditimbulkan oleh gangguan adenoid antara lain ialah :
1. 2. 3. 4. 5. 6. Tertutupnya ostium tubae. Tubair catharre recidivans. Tertutupnya lobang choana. Rhinitis chronica. Otitis media recidivans. Sinusitis recidivans.

Sebelum mengambil tindakan hendaknya dipikirkan dahulu, apakah kelainan tersebut bukan : a. Choanal polypus. Biasanya kelainan ini terjadi pada umur agak dewasa. b. Nasopharynx fibroma. Biasanya kelainan ini terjadi pada umur 14 17 tahun. Terjadi epistaxis yang sering residif dan tidak diketahui sebabnya. Lama-lama terjadi juga penyumbatan dari lobang hidung.
KONTRAINDIKASI DARI TONSILEKTOMI DAN ADENOIDEKTOMI (1,2,3,6,7,8,10,15)

1. Bila penderita kelihatan menderita sakit berat dan tindakan tonsilektomi tidak meyakinkan akan membawa perbaikan dari penyakitnya. 2. Bila tonsilektomi dilakukan pada stadium akut dari suatu penyakit. Juga pada stadium akut dari angina sebaiknya tidak dilakukan tonsilektomi. Biasanya ditunggu 1 6 minggu setelah radang mereda. 3. Pada waktu ada epidemi poliomylitis. Tonsil diperkirakan merupakan benteng terdepan untuk menanggulangi poliomylitis. Adalah suatu kenyataan bahwa poliomylitis type bulbar lebih banyak terjadi pada penderita-penderita yang baru menjalani tonsilektomi atau adeno-tonsilektomi bila dibandingkan dengan mereka yang tidak menjalaninya. 4. Bila penderita menderita hemophilia dan dyscrasia darah lainnya. 5. Bila penderita menderita hemorrhagic diathesis.

6. Memperberat penyakit sekunder (6) Kita menghadapi kenyataan bahaw bila tonsilektomi dilakukan pada suatu stadium akut dari suatu penyakit (misalnya endocarditis, arthritis, nephritis), maka tindakan ini akan memperberat jalannya penyakit tersebut. Maka dari itu dianjurkan untuk melakukan tonsilektomi pada minggu ke 4 6 setelah penyakit sekunder tersebut reda. 7. Kenaikan suhu badan Kenaikan suhu badan pada masa postoperasi yang mencapai 38 C dan berlangsung sampai beberapa hari diperkirakan sebagai akibat terjadinya luka di mulut. Bila suhu badan naik sampai 38 39 C, harus dicari sebab-sebabnya; mungkin ini disebabkan oleh komplikasi di paru-paru atau trombosis pembuluh darah (biasanya terjadi pada hari ke 4 7 postoperasi). 8. Otalgia Biasanya merupakan penjalaran rasa sakit dari luka di fossa tonsilaris. KEEN (6) mendapatkan 60 penderita dari 9344
1. BALLENGER HC, BALLENGER II : Diseases of the nose, throat and ear, 10 ed. Philadelphia, Lea & Febiger, 1957, pp 255-303. BOIES LR et al : Fundamentals of otolaryngology. A textbook of ear, nose and throat diseases, 4 ed. Philadelphia. Lon don, WB Saunders Co,1964, pp 384421. BURGER H: Leerboek der ziekten van oren, neus, mond, keel, slokdarm en lagere luchtwegen, 7 druk. Haarlem, De Erven F Bohn NV, 1954, pp 371390. COPENHAUER WH, JOHNSON B : A Bailey's textbook of histology, 14 ed. Baltimore, William Wilkins Co., 1958. DE WIT G : Inleiding in de keel, neus, oorheelkunde, 2. druk. Utrecht, Erven J Bijleveld, 1968, p 116. GERLINGS PG : Keel, neus, oorziekten bij kinderen. Amsterdam, Wetenschappelijke Uitgeverij NV, 1949. JACKSON C, JACKSON CL : Diseases of the nose, throat and ear, 2 ed.Philadelphia, London, WB Saunders Co., 1959, pp 239-277.

penderita yang telah menjalani tonsilektomi menderita otalgia akibat terjadinya otitis media. 9. Penyebaran mikroorganisme dan toxinnya. Kita harus sadar bahwa pada waktu melakukan tonsilektomi, kita membuat porte d 'entree baru. Ringkasan
Telah dibicazakan tentang indikasi, kontraindikasi, maupun bahaya yang mungkin terjadi pada tindakan tonsilektomi dan adenoidektomi. Tonsilektomi maupun adenoidektomi hendaknya dijalankan atas indikasi medik yang baik. Di sini peranan dokter yang menjalankan praktek umum sangat penting oleh karena dialah yang paling mengetahui dan paling dekat dengan penderita. Pada waktu melakukan tonsilektomi,bila diketahui ada juga adenoid, hendaknya dilakukan adenoidektomi sekaligus untuk menghindari operasi yang kedua kalinya. Tonsilektomi hendaknya dilakukan setelah semua radang dalam keadaan reda. Hal ini perlu diperhatikan untuk menghindari terjadinya komplikasi, terutama bakteremia dan toxemia, juga supaya tidak memperberat jalannya kelainan sekunder. Tonsillitis chronica merupakan focal infection yang sangat berbahaya.

KEPUSTAKAAN 8. JOHNSON TB, WHILLIS J : Gray's anatomy Descriptive and applied, 30 ed. New York, Toronto, Longmans Green Co., 1949. JONKEES LBW : Voor of tegen tonsillectomie. Capita selecta. Ned T Geneesk 108(43), 24 Oct, 1964. JONKEES LBW : Keel, neus, en oorheelkunde voor de algemene praktijk, 2 druk. Amsterdam, Brussel, Agon Elsevier, 1972, pp 1-16, LIKHACHOV A : Diseases of the ear, nose and throat, 2 printing. Moscow, MIR Publisher, NELSON WE : Textbook of pediatrics, 8 ed. Philadelphia, London, WB Saunders Co., 1964, p 1114. READING : Common diseases of the ear, nose and throat, 2 ed. London, JA Churchill, 1953, pp 228250. SCOTTBROWNS : Diseases of the ear, nose and throat, 3 ed. London, Butterworth, 1971, pp 103-121. STRUBEN WH : Tonsillen in of unit. Klinische lessen. Ned T Geneesk 108 (49), 5 Dec., 1964.

2.

9. 10.

3.

11. 12. 13. 14. 15.

4. 5. 6. 7.

28

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

Laryngitis Subglottica
dr. Soetamo
Bagian T.H.T. Fakultas Kedokteran Unive sitas Diponegoro R.S. dr. Kariadi Semarang

Pendahuluan Dari bagian saluran pernafasan antara pharynx sampai dengan bifurcatio trachea, maka daerah glottis merupakan bagian yang tersempit. Pada bagian cranial dan caudal dari glottis tersebut terdapat jaringan mukosa yang longgar dan vaskuler, terutama di daerah subglottis. Malahan pada anakanak daerah subglottis ini mempunyai bentuk yang menyempit ke bawah sehingga baigan yang caudal adalah kira-kira 1/5 dari bagian yang cranial (1,2,5,6,9,10,11,12). Obstruksio larynx yang akut pada anak-anak sering disebabkan oleh (i) corpus alienum, atau (ii) oedema larynx yang disebabkan oleh karena alergi atau radang. Dengan demikian mudah dimengerti bahwa pada anak-anak, peradangan di glottis mudah diikuti oleh oedema di subglottis yang sangat membahayakan; bahaya asphyxia selalu mengancam. Laryngitis pada anak-anak yang sering berakibat fatal disebabkan oleh karena laryngitis supra dan subglottica. Laryngitis subglottica pada waktu dulu dikenal sebagai 'pseudo croupe' oleh karena sukar dibedakan dari laryngitis diphterica yang mempunyai nama lain, yaitu 'croupe'. Sekarang disebut dengan tegas sebagai laryngitis subglottica, sedangkan laryngitis supraglottica disebut sebagai epiglottitis.
Tanda-tanda obstruksio larynx

Selain mengenal tanda-tanda obstruksio larynx dari gejalagejala, sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan (1,2,5,6,8,9,10): (1) laryngoskopi indirekta/maupun direkta: Pada pemeriksaan anak-anak yang diduga menderita laryngitis subglottica maupun supraglottica sebaiknya dilihat secara langsung keadaan larynx.. Pada anak-anak letak larynx masih tinggi, sehingga dengan menekan pangkal lidah sedalam-dalamnya larynx dapat dilihat. (2) Foto roentgen dari saluran pernafasan, terutama daerah larynx. Gejala-gejala obstruksio larynx yang secara mudah dapat dipakai sebagai ancer-ancer ialah (1,2,6,9,11,12) : Stridor. Kesukaran bernafas yang dapat dikenal dari tanda-tanda penarikan otot-otot pernafasan pada inspirasi, sehingga terjadi cekungan-cekungan (indrawing) pada daerah suprastenal , supra dan infraclaviculair, intercostal, epigastrium. Bila makin hebat anak menjadi gelisah. Cyanosis.
Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

31

Makin hebat penyempitan yang terjadi di larynx, makin jelas tanda-tanda tersebut. JACKSON menyebut tanda-tanda tersebut sebagai "laryngeal dyspnce" atau membaginya di dalam empat stadia (6) : Stadium l. Terjadi cekungan yang ringan di daerah suprasternal. Penderita masih tetap tenang. Stadium Il. Cekungan di daerah suprasternal lebih mendalam, ditambah dengan terjadinya cekungan di daerah epigastrium. Penderita kelihatan makin gelisah dan sukar ditenangkan. Stadium III . Cekungan terjadi di daerah-daerah suprasternal, epigastrium, supra dan infraclaviculair, dan intercostal. Penderita menjadi makin gelisah. Stadium lV. Anak berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan udara. Muka dari anak kelihatan pucat kelabu dan menunjukkan rasa ketakutan. Lama kelamaan pusat per nafasan menjadi cepat oleh karena terpacu oleh CO2 yang berlebihan dan menjadi paralitik. Anak malahan menjadi tenang dan kelihatan seakan-akan jatuh tertidur, akhirnya meninggal didalam ketenangan oleh karena asphyxia. Pertolongan yang akan dilakukan dengan sendirinya tergantung dari keadaan penderita pada waktu dihadapi. Pertolongan laryngeal dyspnoe akuta dapat berupa tindakan intubasi atau tracheotomi. Tracheotomi sebaiknya dilakukan pada waktu stadium II III. Bila tracheotomi dilakukan pada stadium IV biasanya sudah tidak menolong lagi, oleh karena keadaan penderita sudah terlampau jelek (6). Mengenal laryngitis subglottica acuta (false croup of children) Yang dimaksud dengan laryngitis subglottica acuta ialah radang akut dari larynx yang menyebabkan pembengkakan dari daerah subglottica (9). Biasanya terjadi pada bayi-bayi dan anak-anak kecil dibawah umur tiga tahun. Jarang menyerang anak-anak diatas tujuh tahun (1,4,6,9,14). Serangan terjadi, pada malam hari disertai batuk-batuk dan dyspnoe inspiratoire. Lebih banyak terdapat pada anak laki-laki daripada wanita. Penyebab-penyebabnya Banyak dijumpai setelah epidemi influenza. Dilaporkan bahwa penyebab utama ialah virus dan bacillus influenZae. Lain-lain bacteri yang disebut-sebut sebagai penyebab ialah : Streptococcus haemolyticus dan viridans, Staphylococcus aureus dan albus, pneumococcus dan Micrococcus catharalis (1,2,5,6,9). Keadaan-keadaan yang mempermudah terjadinya laryngitis subglottica ialah rhinitis pada anak yang belum dapat diterangkan hubungannya. Suatu kenyataan ialah bahwa pengaruh dari cuaca tidak dapat diabaikan. Udara yang panas,

kering dan berdebu mempermudah terjadi laryngitis tersebut. Udara yang berasap tebal (heavy smoke pollution), perbedaan kelembaban udara yang tajam disebut juga sebagai penyebabnya (1,2,4,6,8,9,14). Patologi Terjadi kongesti akut dari larynx, terutama di daerah subglottis. Terdapat infiltrasi dari jaringan ikat longgar submukosa, sehingga memberikan pembengkakan secara cepat di bawah bagian larynx yang sempit. Selain ada gambaran peradangan, terjadi juga stimulasi dari sekresi mucous. Bila sekret mucous ini mengering, akan terbentuk crustae yang akan menambah hebatnya obstruksio glottis. Gejala-gejala Laryngitis subglottica acuta termasuk serangan akut sesak nafas malam hari (nocturnal dyspnoeic attacks) pada anakanak oleh karena radang. Yang dimaksud ialah serangan dyspnoe mendadak yang terjadi 1 2 jam setelah anak tersebut didalam tidur. Gejala prodromal kadang-kadang tidak dijumpai atau hanya ringan saja (9). Biasanya pada sore hari anak tersebut merasa sedikit tidak enak badan. Dapat disertai rhinopharyngitis, laryngotracheitis, atau sedikit panas. Malahan kadang-kadang anak kelihatan sehat-sehat saja pada waktu pergi tidur. Pada waktu malam,setelah anak tidur 1 2 jam sekonyong-konyong terbangun oleh karena gangguan di dalam saluran nafasnya (1,2,4,5,6,9). Bila ringan serangannya : terjadi dyspnoe,stridor (biasanya terjadi stridor inspiratoire), dan batuk-batuk (croupy cough). Bila serangan makin hebat, stridor inspiratoirenya makin bertambah, malahan bila oedemnya cukup hebat terjadilah stridor in-expiratoire; kesukaran bernafas makin bertambah; anak menjadi gelisah; dan oleh karena hypoxemia yang hebat anak dapat menjadi tidak sadar untuk beberapa saat, kemudian bernafas kembali, batuk-batuk dan kadang-kadang mengeluarkan lendir pekat. Gejala-gejala serangan sesak nafas malam hari tersebut dapat juga terjadi oleh karena sebab-sebab non-inflamatoire ialah pada "laryngismus stridulus ". Dalam hal ini faktor herediter yang menjadi penyebabnya. Pada anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa jarang terjadi serangan laryngitis seperti pada anak-anak kecil. Bila terjadi laryngitis biasanya tanda-tandanya hanya dysphonia sampai aphonia, serta batuk-batuk yang mengeluarkan lendir yang kental. Oleh karena pada anak-anak laryngitis supraglottica memberikan gejala-gejala dyspnoe dan stridor dulu, baru dysphonia maka ada baiknya dikenal sepintas perbedaannya (4) :

Epiglottitis acuta 1 . Biasanya menyerang anak-anak berumur 36 tahun. 2. Terutama disebabkan oleh H. influenzae type B.

Laryngitis subglottica 1. Lebih banyak menyerang anak-anak berumur dibawah 3 tahun. 2. Terutama oleh karena virus influenza, morbllli. pertussis. udara kering panas dan berdebu. 3. Prosesnya tidak begltu cepat. 4. Jarang membutuhkan tindakan tracheotoml.

3. Proses cepat dan kadang-kadang berakibat berbahaya. 4. Sering membutuhkan tindakan tracheotomi.

32

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

Maka dari itu bila ada anak kecil dengan gejala dyspnoe dan stridor, sebaiknya diperiksa larynxnya untuk membedakan kedua laryngitis tersebut oleh karena prognosisnya berbedabeda. Prognosis Sangat tergantung dari keadaan penderita pada waktu kita hadapi dan tindakan yang diambil. Hanya harus selalu diingat bahwa bahaya asphyxia selalu mengancam. Terapi Yang menjadi tujuan pokok ialah menolong penderita dari kesukaran bemafas secepat mungkin. Pada dasarnya terapi laryngitis subglottica acuta dapat diberikan secara (1) Medikamentosa, (2) Intubasi (nasotracheal/endotracheal) dan (3) Tracheotomi. 1. Medikamentosa Seperti diketahui, pada peristiwa radang di daerah larynx terjadilah oedema di subglottis. Selama tahun-tahun 1938 1959 HOEKSEMA (5) telah melakukan 29 kali tracheotomi diantara 203 penderita-penderita laryngitis subglottica acuta. Sejak tahun 1960, pada waktu terapi kortikosteroid mencapai kemajuan-kemajuan, tracheotomi jarang dilakukan lagi (5). Pemberian kortikosteroid secara intravena banyak sekali menolong untuk mencegah/ mempercepat surutnya oedema subglottis. Pemberian antibiotika tidak boleh dilupakan untuk mencegah infeksi bacteriel yang mungkin menyertai radang tersebut. Suhu dan kelembaban udara di dalam kamar penderita harus diatur, sebaiknya sekitar 22 23 derajat C. Dianjurkan pula pemberian cairan yang banyak. Walaupun pemberian kortikosteroid dan antibiotika ini banyak menolong, pengawasan yang ketat tidak boleh diabaikan. Sewaktu-waktu bila ada petunjuk bahwa terapi tersebut tidak dapat menolong dan gejala-gejala obstruksio laryngeal makin hebat, harus segera diambil tindakan cepat untuk menyelamatkan penderita dari bahaya asphyxia (3,4,14). Tinggallah memilih salah satu di antara dua : intubasi atau tracheotomi. Bila telah ada tanda-tanda dari obstruksio saluran nafas, maka sama sekali tidak boleh diberikan obat-obat ini : (a) Narkotik (morphin, dsb) oleh karena akan menekan reflex batuk. Harus selalu diingat kata-kata mutiara dari CHEVALIER JACKSON : "Cough is the watch-dog of the lung" (10). (b) Atropin; oleh karena akan membuat lendir makin kental.
2. lntubasi

Swedia dan Amerika, intubasi endotracheal tidak boleh dilakukan lebih lama dari 24 36 jam. Bila masih diperlukan maka lebih baik dilakukan tracheotomi (14).
3. Tracheotomi

Tindakan operatif ini dilakukan sekiranya pertolongan medikamentosa maupun intubasi tidak menolong. Jangan ditunggu sampai penderita masuk ke dalamstadium JACKSON IV. Tracheotomi ialah tindakan "life saving", sehingga harus dilakukan dengan indikasi yang tepat dan tajam. Pada hakekatnya terapi dari laryngitis subglottica acuta ditentukan oleh : keadaan penderita pada waktu kita hadapi. peralatan yang ada pada kita. kemahiran kita di dalam mempergunakan alat-alat tersebut. Yang menjadi pedoman para dokter pada waktu itu hanyalah : Hindarkan penderita dari bahaya asphyxia. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. BALLENCER HC, BALLENGER II : Diseases of the nose, throat and ear, 10 ed. Philadelphia, Lea & Febiger, 1957,pp
343346.

BOEIS LR et al: Fundamentals of otolaryngology. A textbook of ear, nose and throat diseases, 4 ed. Philadelphia, London, WB Saunders Co 1964, pp435, 531532. BROEES AAM, MOM GM, VAANDRAGER GJ : Nasotracheale intubatie bij kinderen met epiglottitis en subglottische laryngitis.
Ned T Geneesk 113(37) : 15931597, 1969.

BENJAMIN B : Acute inflamatory airway obstruction in infants and children. Med J Aust. HOEKSEMA PE : Acute laryngitis bij het jonge kind. Ned T
Geneesk

JACKSON C, JACKSON CL : Diseases of the nose, throat and ear, 2 .ed. Philadelphia, London, WB Saunders Co., 1959. pp
578595.

109 : 2166, 1965.

TUCKER JA, SILBERMAN HD : Trachoelogy in pediatrics.


Ann Otol Rhinol Laryngol 81 (6) : 818824, 1972.

MORGENSTEIN KN, ABRAMSON AL : Acute epiglottitis in adults. The Laryngoscope 81 (7) : 10661073, 1971. MORRISON : Diseases of the ear, nose and throat, 2 ed. New York, Appleton Century Crofts Inc., pp 565569. READING PHILIP : Common diseases of the ear, nose and throat, 4 ed. London, JA Churchill, 1969, pp 176 177 SIGIT : Emergency karena sumbatan di larynx. Muktamar Nasional IDI ke XII, Semarang, halaman 12. SOETOMO : Tracheotomie, manfaat dan indikasinya. Majalah Kedokteran Dipenegoro No. 1/1972, halaman 1626. THOREX MAX : Modern surgical technic, 2 ed. Philadelphia, Montreal, JB Lippincott Co., 1959, pp 520529. WOLFFENSIIERGER WAG : Tracheale obstructie bij kleinekinderen. ned T geneesk 111(43) : 19011902, 1967.
188 205.

Oleh karena yang menjadi penderita-penderita ini bayi atau anak-anak kecil, maka tube yang dibutuhkan ialah yang berukuran kecil pula : diameternya 4 mm, 4 mm dan 5 mm (1,2,3,4,6,9,14). Tentang sampai berapa lama boleh dilakukan intubasi, tiap sarjana mempunyai pendapatnya masing-masing yang tidak menunjukkan persesuaian. BR ANDSTA TTER dari American University di Beirut melaporkan pernah melakukan intubasi pada 12 anak-anak yang berumur 0 4 tahun selama tiga hari sampai tujuh minggu dengan memberikan hasil yang baik (14). Sedangkan menurut kepustakaan Jerman, Inggris,

Ada semacam kebisingan , yang jarang dibicarakan di buku-buku maupun di dalam majalah-majalah luar negeri, meskipun banyak dijumpai di lndonesia, khususnya di Jakarta, yaitu : kebisingan akibat musik di toko penjual cassette, lebih-lebih bila dua atau tiga toko semacam itu berdekatan tempatnya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

33

EPIGLOTTITIS ACUTA
dr. Budi Susanto S. Bagian T. H. T. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/R.S. dr. Kariadi Semarang
Pendahuluan

Epiglottitis acuta atau laryngitis supraglottica acuta cukup banyak ditemukan pada anak-anak kecil (2,3,9). Juga terdapat pada orang dewasa, tetapi dengan frekwensi yang lebih jarang (8,12,14). Merupakan penyakit yang membahayakan jiwa bila tidak lekas diambil tindakan yang cepat dan tepat, terutama pada anak-anak kecil. BECKER BL0EMKOLK (2) dalam satu tahun mendapatkan tiga kasus anak kecil (berumur 2, 3 dan 3 tahun) yang meninggal dengan diagnosis yang salah atau tanpa dapat dibuat diagnosis klinis. Pada obduksi, didapatkan epiglottitis acuta pada ketiga-tiganya.
Frekwensi

prodromal tidak berbeda dari pharyngitis biasa, hanya terasa seperti ada benda yang mengganjel. Kemudian dapat terjadi sakit tenggorok dan dysphagia yang hebat dengan banyak salivasi (14). Suara baru menjadi serak bila plica vocalis ikut mengalami inflamasi. Umumnya penderita tidak atau hanya sedikit serak, karena prosesnya biasanya terbatas pada epiglottis dan plica ary-epiglottica (19). Oleh karena prosesnya akut, tidak jarang suhu badan penderita naik. Penderita biasanya lebih suka duduk tegak, gelisah dan bernafas dengan mulut terbuka, rahang bawah ditarik lebih kemuka (3,14). Dehidrasi dapat juga terjadi oleh karena penderita tidak dapat menelan atau minum.
Diagnosis

Lebih banyak terdapat pada laki-laki, seperti tercermin pada penyelidikan BAXTER (1) terhadap 103 kasus epiglottitis acuta pada anak kecil yang terdapat selama 15 tahun (1951 1965) di Montreal Children ' s Hospital. Menurut HO EKSEMA (9), dari 12 anak, 10 diantaranya adalah lakilaki. ROBBINS dkk. (14) mengajukan 34 kasus orang dewasa dengan perbandingan antara laki-laki dan wanita sebagai 4: 1 (umur rata-rata 47,5 tahun). NORGENSTEIN dkk. (12) mengumpulkan 33 kasus orang dewasa dengan 27 orang lakilaki dan enam wanita. Di RS dr. Kariadi Semarang selama tahun 1972 dijumpai empat kasus dewasa terdiri atas tiga pria dan satu wanita.
Etiologi

Kausanya belum diketahui dengan jelas. Seperti pada lain-lain infeksi di pharynx, diduga penyebab primernya adalah virus; kemudian ada infeksi sekunder, terutama oleh Haemophilus influenzae type B. Juga bisa didapatkan streptococcus, staphylococcus, pneumococcus dan kuman-kuman lain (2,3,9,11,12,14).
Si mptomatologi

Untuk menentukan diagnosis, kita harus melihat keadaan larynx. FERMIN (6), HOEKSEMA (9) maupun VAN BEUSEKOM (19) menganjurkan supaya setiap anak dengan dyspnoe dilihat epiglottisnya, dengan cara menekan lidah bagian belakang, pelan-pelan dan hati-hati dengan spatel. Cara ini mudah dan dapat dilakukan oleh setiap dokter umum, karena epiglottis pada anak kecil relatif masih tinggi. Demikian juga bila ada keluhan dysphagia dengan saliva yang banyak. Kalau dengan cara ini epiglottis belum dapat dilihat, harus dilaku kan laryngoskopi indirekta atau direkta. Epiglottis terlihat merah, meradang, edematous dan melipat. Plica ary-epiglottica juga ikut meradang. Biasanya plica vocalis dan regio subglottica tidak terkena (2,3). Oropharynx dapat tenang atau sedikit meradang. Kalau proses sudah lanjut baru sangat meradang. Diagnosis epiglottitis acuta harus dipertimbangkan bila dysphagia dan rasa sakit di tenggorok tidak seimbang dengan gejala-gejala pharyngitis yang terlihat (12). Bila keadaan memungkinkan, dianjurkan untuk melakukan foto roentgen leher.
Prognosis

Proses epiglottitis acuta dapat berjalan sangat cepat tanpa memberikan gejala-gejala prodromal yang spesifik. Akibatnya sering dibuat diagnosis yang salah dan dapat berakhir fatal (2,8,9,14). Dari ketiga gejala gangguan pada larynx, yang menyolok pada anak kecil ialah dyspnoenya (dengan disertai stridor), kemudian baru dysphagia dan suara serak (hoarseness). Sebaliknya pada orang dewasa yang menyolok adalah dysphagianya, baru kemudian dyspnoe dan serak. Stadium
34
Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

Epiglottitis acuta adalah penyakit yang gawat dan prosesnya berjalan cepat. Proses laryngitis subglottica lebih lambat (3,5). Menurut HOEKSEMA (9) dari 12 anak dengan epiglottitis acuta, delapan anak harus menjalani tracheotomi, diantaranya dua anak meninggal. R0BBINS dkk. (14) dalam penyelidikannya mengajukan 34 kasus epiglottitis acuta pada orang dewasa dengan angka kematian 53%. GORFINKEL dkk. (7) mengajukan tiga kasus orang dewasa, dua orang diantaranya meninggal.

Terapi Terapi ditujukan pada pemeliharaan saluran udara dan menghilangkan inflamasi serta oedemnya. Bila ditelnukan pada stadium yang belum lanjut, dapat diberikan mcdikamcntosa, antara lain : antibiotika yang adekwat, dan kortikosteroid dengan harapan dapat mengurangi oedem. Juga harus selalu siap untuk mengambil tindakan tracheotomi atau intubasi bila sewaktu-waktu ada gejala dyspnoe. Yang terpenting, bila ada tanda-tanda dyspnoe harus selekas mungkin dilakukan tracheotomi, karena menurut POTONDI (13) : Tracheotomi tidak dapat diharapkan berhasil dengan

lylicus dan B. pyocyaneus. Pada foto roentgen, kedua paru-paru nampak tenang . Diagnosis : epiglottitis acuta. Terapi : diberikan Pen-strep 4:1/2 dua kali sehari; injeksi kortikosteroid setiap hari. Makanan cair. Selama dalam perawanan diobscrvasi, bila sewaktu-waktu timbul dyspnoe, harus dilakukan tracheotomi dcngan segera. Keadaan pendcrita berangsur-angsur membaik, tanpa dllakukan tracheotomi dan dapat dipulangkan enam hari kemudian. Diskusi Obstruksi jalan pernafasan bagian atas karena inflamasi yang akut dapat merupakan bahaya fatal, terutama pada anak-anak. Obstruksi ini umumnya disebabkan oleh laryngitis subglottica atau supraglottica (epiglottitis) acuta. Proses epiglottitis acuta lebih cepat dan lebih berbahaya daripada laryngitis subglottica. Biasanya menyerang anak-anak umur tiga sampai enam tahun, tetapi dapat juga menyerang orang dewasa. Pada kasus diatas, keluhan penderita hanyalah dysphagia yang cepat menghebat, tanpa menunjukkan tanda-tanda dyspnoe dan suara serak. Ini disebabkan karena prosesnya belum meluas. Juga dysphagia dan rasa sakit di tenggorok tidak seimbang dengan keadaan pharynx yang terlihat. Pada kepustakaan Barat (7,12,13,14), epiglottitis acuta pada orang dewasa hampir selalu disertai dengan dyspnoe yang memerlukan tracheotomi. MORGENSTEIN (12) mengatakan bahwa pada orang dewasa, dyspnoe baru terjadi bila plica ary-epiglottica ikut membengkak. Epiglottis saja yang meradang dan oedematous belum cukup menyebabkan dyspnoe. TU RNER (18) dalam penyelidikannya telah menyuntik facies lingualis dari epiglottis pada mayat sehingga oedematous, dan epiglottisnya tidak mau melipat. Bila plica ary-epiglottica juga disuntik, epiglottis baru melipat, berbentuk omega dan introitus laryngeus mengecil. Dari kedua facies lingualis dan laryngeus, facies lingualis yang lebih mudah meradang oleh karena di situ jaringan ikatnya lebih longgar (2,12). Pada anak kecil, dyspnoe sangat menyolok karena epiglot tisnya berbentuk omega, bertendensi untuk melipat longitudinal, dan plica ary-epiglotticanya tertarik ke atas, sehingga introitus laryngeus lebih sempit dibandingkan pada orang dewasa. Oleh sebab itu bila ada radang dan oedem, introitus laryngeus ini cepat tersumbat (10). Yang penting, pada anak kecil dengan dyspnoe dan stridor harus diingat juga kemungkinan epiglottitis acuta; jangan terpaku pada laryngitis subglottica, corpus alienum dan lain-lain (6).

baik, bila dilakukan pada fase dyspnoe setelah anoxia yang lama, dan peredaran darah yang insufisien.
Menurut TARKKANAN dkk. (16) yang menyelidiki 525 kasus laryngitis subglottica selama empat tahun (1965 1968) di Oto-Laryngological Hospital, University of Helsinky, hanya sepuluh kasus atau 2% yang memerlukan tracheotomi. Sedang dari 23 kasus epiglottitis acuta, dalam jangka waktu yang sama, ada 12 kasus atau 48% yang mengalami tracheotomi, diantaranya pada tujuh kasus harus dilakukan tracheotomi dengan segera pada saat masuk rumah sakit. Dari 12 kasus yang mengalami tracheotomi tersebut diatas, dua diantaranya adalah penderita dewasa. lntubasi atau tracheotomi
BROESS dkk. (4) maupun TRAFF (17) lebih suka me-

lakukan intubasi, akan tetapi beberapa ahli lainnya seperti BENJAMIN (3), STRIKER dkk. (15), TARKKANAN dkk. (16) lebih condong untuk melakukan tracheotomi. Keuntungan dari intubasi ialah bahwa komplikasi-komplikasi tracheotomi seperti mediastinal emphysema, pneumothorax, perdarahan dsb. dapat dihindarkan pada tindakan intubasi. Tetapi intubasi harus dilakukan dalam Intensive Care Unit dan memerlukan alat-alat khusus serta tenaga-tenaga yang betulbetul ahli dalam melakukan intubasi maupun tenaga untuk merawat penderita setelah intubasi dilakukan. Pada epiglottitis acuta sudah ada proses inflamasi dan oedem di daerah itu, maka bila dilakukan intubasi oleh tenaga yang kurang ahli, malah akan memberi trauma dan juga dapat menyebabkan spasme sehingga jalan nafas akan lebih sempit lagi. Kasus. Seorang laki-laki, berumur 18 tahun, datang ke poliklinik THT pada tanggal 12 Pebruari 1972. Pada anamnesis disebutkan bahwa sejak tiga hari yang lalu terasa sakit bila menelan atau minum, mula-mula hanya sedikit, makin Iama makin menghebat. Banyak ludah. Sukar untuk berbicara. Badan sedikit panas 'greges'. Penderita tidak merasa sesak nafas, tidak parau, tidak batuk. Tidak ada trismus. Anamnesis corpus alienum disangkaL Pada pemeriksaan didapatkan bahwa penderita kelihatan menderita. Mulut agak terbuka. Turgor cukup baik . Nadi 100/menit. Suhu badan 37,5 C. Telinga kanan dan kiri tak ada kelainan. Hidung tak ada kelainan. Tenggorok : T-I/I, agak merah, tidak membesar, Uvula agak oedem. Pharynx merah, simetris. Retensi ludah banyak. Dasaz cavum oris tidak membengkak. Larynx : pada pemeriksaan dengan laryngoskopi indirekta, tampak epiglottis merah, bengkak, egaal. Plica ary-epiglottica juga merah, agak bengkak. Chorda vocalis tidak dapat dilihat dengan jelas. Nyeri tekan di daerah leher bagian depan. Tldak ada pembesaran kelenjar. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa : jumlah lekosit 10.000; Laju endapan darah 75/90; Hitung jenis sedikit bergeser kekiri. Hapusan tenggorok menunjukkan kuman Streptococcus haemo-

KEPUSTAKAAN 1. BAXTER J D : Acute epiglottitis in children. The laryngoscope 77 (8) : 13581367, 1967. 2. BECKERBLOEMKOLK M J: Acute epiglottitis. Ned T Geneesk 112 (76) : 1211 1213, 1968. 3. BENJAMIN B : Acute inflammatory airway obstruction in infants and children . The Medical Journal of Australia, presented by Mead Johnson for the Medical Profession in Indonesia, no. 1. 4. BROESS A A M, MOM G M, VAANDRAGER G J : Nasotracheale intubatie bij kinderen met epiglottitis en subglottische laryngitis. Ned T Geneesk 113 (37) : 1593 1597, 1969. 5. DOLOWITZ D A : Basic Otolaryngology. New York - Toronto London McGraw Hill Book co. 1964, pp 257 261. 6. FERMIN H, HANSEN H J J : Epiglottitis acuta.Ned T Geneesk 106 (18) : 875 877, 1962. Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977 35

7. GORFINKEL J H, BROWN R, KABINS S A : Acute infectious epiglottitis in adults. Ann Int Med 70 (2) : 289 294, 1969. 8. HANDA J L : Acute epiglottitis in adults. J Laryngol and Otol 86 (9) : 927 928, 1972. 9. HOEKSEMA P E:Acute laryngitis bij het jonge kind. Ned T Geneesk 111 (43) : 1901 1902, 1967. 10.LEDERER F L : Diseases of the Ear, Nose and Throat, 5 ed. Philadelphia, F.A. Davis Co. 1947 694. 11.LINDSAY J R, LIERLY D M, HUFFMAN W C : The Yearbook of the Ear, Nose and Throat 1967 1968. Acute epiglottitis in adults due to infections with Haemophillus influenzae type B, pp 179 180. 12.MORGENSTEIN K M, ABRAMSON A L : Acute epiglottitis in adults. The laryngoscope 81 (7) : 1066 1073, 1971. 13.POTONDI A, RIBARI O: Clinical and MedicalLegal aspects of

acute epiglottitis. J Laryngol and Otol, 83 (7) : 141145, 1969. 14. ROBBINS J P, FITZ HUGH G S : Epiglottitis in the adults. The laryngoscope 81 (5) : 700 706, 1971. 15.STRIKER T W, STOOL S, DOWNESS J J : Prolonged nasotracheal intubation in infants and children Arch Otolaryngol 85 (2) : 210 213,1967. 16.TARKKANAN J, KOHONEN A : Tracheotomy in subglottic laryngitis (pseudocrop) and acute epiglottitis. Acta OtoLaryngologica 74 (4) : 283 286, 1972. 17.TRAFF B, TOS M : Nasotracheal intubation in acute epiglottitis. Acta Otolaryngologica 68 (4) : 363 368, 1969. 18. TURNER L: Dikutip oleh Morgenstein. 19.VAN BEUSEKOM J A H : Acute epiglottitis bij kinderen en bij volwassenen. Ned T Geneesk 112 (1) : 49 50, 1968.

Karsinoma Nasopharynx
dr. Bambang S.S. Bagian T.H.T. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/R.S. dr. Kariadi Semarang Berdasarkan sampai dimana lokalisasi tumor itu,THEMANS membuat klasifikasi tumor dengan simbol T sebagai berikut: T o atau T X : tumor belum kelihatan T1 : tumor terbatas satu lokalisasi saja, misalkan daerah 1, 2 atau 3 saja. T2 : tumor kelihatan jelas pada dua lokalisasi, dari tiga daerah lokalisasi tersebut di atas. T3 : tumor sudah meluas keluar dari nasopharynx, tetapi belum ada kerusakan tulang. T4 : tumor sudah keluar dari nasopharynx, dan sudah ada kerusakan tulang. Gejala-gejala Gejala ini sangat penting artinya sebab pada umumnya induk karsinoma nasopharynx boleh dikatakan sedikit sekali memberikan gejala yang jelas. Kami sering dihadapkan dengan kesulitan dalam menentukan atau menemukan induk karsinoma itu, walaupun telah ada tanda atau gejala sekunder yang jelas di tempat lain. Gejala sekunder inilah yang sering mendorong penderita untuk pergi ke dokter. Karena gejala induk karsinoma itu tidak jelas, sedangkan yang menonjol ialah gejala sekunder, akibatnya penderita datang pada dokter dalam stadium yang sudah agak lanjut. Jarang sekali penderita datang pada stadium dini. Atau dapat terjadi sebaliknya : penderita datang pada stadium dini, tetapi dokter masih belum memikirkan adanya sebab utama di nasopharynx. Gejala karsinoma ini dapat digolongkan dalam beberapa kelompok :

Dalam tulisan ini kami hanya ingin mengingatkan kembali kepada sejawat mengenai karsinoma nasopharynx, sebab keganasan ini merupakan keganasan nomor satu di bidang THT dan termasuk sepuluh besar dari keganasan seluruh tubuh. Karsinoma nasopharynx adalah tumor ganas di nasopharynx, dan sesuai dengan namanya, lokalisasi tumor i ni adalah di nasopharynx. Banyak penyelidik menerangkan bahwa lokalisasi permulaan tumor ini ialah fossa Rosenmulleri, sebab daerah tersebut merupakan daerah pergantian perubahan epitel, dari silindrik/kuboid ke epitel gepeng berlapis. Daerah pergantian inilah yang diperkirakan merupakan tempat predisposisi terjadinya karsinoma. Akan tetapi hal itu tidak selalu demikian. M0CH. ZAMAN mengemukakan bahwa keganasan nasopharynx dapat tumbuh di beberapa tempat di nasopharynx, yaitu : (1) di tempat dimana biasanya adenoid didapatkan (atap nasopharynx), (2) pinggir choane, (3) di dinding lateral fossa Rosenmulleri. THEMANS juga membagi daerah tumbuh keganasan nasopharynx itu menjadi tiga daerah pula, yang dasarnya tidak banyak berbeda dengan yang dikemukakan olehM0CH. ZAMAN, yaitu : (1) dinding superior-posterior, meliputi permukaan basis cranii, (2) dinding lateral, mulai dinding tuba berjalan ke belakang sampai dinding pharynx bagian belakang, (3) dinding anterior, di atas palatum molle sampai belakang choane. 36
Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

Gejala hidung Gejala ini mula-mula sangat membingungkan karena tidak banyak bedanya dengan penyakit hidung lainnya, misalnya: hanya pilek-pilek saja, keluar ingus banyak, dapat encer, kental atau berbau. Ingus kadang-kadang tercampur darah waktu buang ingus, atau keluar dengan sendirinya (spontan) tetapi sedikit. Bila tumor cukup besar sehingga menutup jalan udara, maka ada keluhan hidung tersumbat. Tetapi hal ini jarang terjadi. Gejala telinga Kurang pendengaran, tinnitus nada rendah, atau nyeri di telinga. Gejala ini disebabkan oleh meluasnya karsinoma ke sekitar tuba Eustachius (orificium tubae) sehingga terjadi penyumbatan saluran tuba, akibatnya terjadi tuli konduktip. Gejala hidung dan telinga oleh beberapa penderita masih dianggap ringan, sehingga masih belum merasa perlu untuk pergi ke dokter. Gejala tumor leher Tumor leher yang disebabkan oleh karsinoma nasopharynx terletak di ujung processus mastoideus, di depan m. sternocleidomastoideus dan di belakang angulus mandibullae. Pembesaran tumor leher ini merupakan penyebaran terdekat secara limfogen; sedang penyebaran jauh dapat ke: hati, paruparu, tulang pinggul, os sacrum dan lain-lain. Pembesaran tumor di leher inilah yang sering mendorong penderita pergi ke dokter, sesuai dengan data yang dikumpulkan di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan lain-lain tempat. Oleh karena itu kami ajak sejawatsejawat dari segala tempat agar tidak melupakan kemungkinan adanya karsinoma nasopharynx bila mendapatkan penderita dengan tumor leher yang letaknya khas itu. Mengenai penyebaran tumor ke kelenjar limfe, THEMANS dan penulis lain mengadakan pembagian sebagai berikut : N0 N1 N2
N3
3. 2.

1.

penglihatan/visus, melainkan keluhan bila melihat benda menjadi dua (diplopia). Hal ini terjadi oleh karena N VI yang letaknya tepat di atas foramen lacerum menjadi korban terlebih dahulu. Bila keadaan melanjut, N III dan N IV akan terkena pula yang mengakibatkan kelumpuhan mata(ophthalmoplegia). 5. Gejala cranial / gejala saraf Tumor sudah meluas ke cranium atau sudah mengenai saraf pusat. Biasanya didahului oleh gejala-gejala subyektif berupa : sakit kepala atau pusing; kurang rasa (hypesthesia) daerah pipi dan hidung; dan susah menelan atau bila minum air keluar dari hidung. Setelah gejala subyektif ini kemudian akan tampak jelas adanya kelumpuhan-kelumpuhan saraf pusat. Untuk mengingatkan akan kemungkinan adanya karsinoma nasopharynx, MULYONO DJOJOPRANOTO mengusulkan pedoman sebagai berikut :
1. Setiap ada tumor di leher, ingatlah selalu akan kazsinoma nasopharynx. Lebih-lebih bila lokalisasi tumor itu di bawah processus mastoideus dan angulus mandibularis. 2. Setiap ada tumor di leher, ada gejala hidung dan gejala telinga ditambah gejala mata dan saraf. 3. Adanya lima gejala lengkap.

Pedoman ini sebagian besar dapat dipakai, tetapi sebagai titik tolak diambil tumor leher yang sudah merupakan metastasis tumor, jadi tidak merupakan diagnosis dini. Untuk sejawat dokter umum, pedoman di atas sudah mencukupi, tetapi untuk dokter ahli masih jauh dari memuaskan. Untuk memperkuat diagnosis, perlu diadakan pemeriksaan sitologi dan patologi anatomik. Pemeriksaan sitologi Untuk pemeriksaan sitologi, cara pengambilan bahan sangatlah mudah dan sederhana. Dengan cell-brush kita mengorek mukosa dari nasopharynx kira-kira di daerah fossa Rosenmulleri dengan jalan memasukkan cell-brush dari hidung. Kemudian bahan itu dimasukkan ke dalam alkohol 70 % untuk dikirim ke Bagian Patologi Anatomik. Cara lain dapat dilakukan dengan menggunakan pompa isap (suction pump). Di ujung pompa isap diberi kateter logam, lalu dimasukkan lewat hidung sampai ke nasopharynx; kemu-

: belum ada tumor di leher : ada tumor leher homolateral dan tumor masih mudah bergerak : ada tumor kontralateral atau bilateral, masih mudah bergerak.

: ada tumor leher kontralateral atau bilateral, tidak dapat bergerak Di samping itu, masih ada juga klasifikasi berdasarkan metastasis jauh dengan kode M. M0 : Belum tampak metastasis jauh M1 : sudah ada metastasis jauh Berdasarkan kode-kode di atas, yaitu hubungan antara tumor, li mfonodi danmetastasis jauh, dapat ditentukan stadium karsinoma nasopharynx : S1 S2 S3 S4 : : : : T0-2 N0 M 0 T0-2 N1-2 M0 T0-2 N 3 M 0 ; T 3
T4

N 0-3 M0
N 0-3 M 1

N 0-3 M0 ; T0-4

Klasifikasi ini sangat penting artinya bagi prognosis penderita.


4. Gejala-mata Gejala mata yang mula-mula timbul bukan berupa kekurangan Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

37

dian kateter diputar + 90 derajat, lalu pompa disedot kuatkuat sehingga ada sel-sel yang ikut terhisap. Proses selanjutnya sama dengan di atas.
Pemeriksaan Patologi Anatomik

Tionghoa lahir di Australia : 10,2 Tionghoa pendatang : 35,1

Untuk pemeriksaan ini diperlukan bahan (coupe) yang didapat dari biopsi. Alat-alat biopsi ini sangat sederhana: (1) nasal cutting forceps, (2) speculum hidung, (3) knie pincet, (4) tampon kain kasa, (5) kapas, dan (6) larutan cocain 5 % atau pantocain 1 %.
Cara biopsi (blind biopsi). Daerah hidung yang akan dibiopsi diberi anestesi lokal dengan cocain 5 % atau pantocain 1 % dengan cara memasukkan kapas yang telah dibasahi dengan larutan tersebut ke dalam hidung. Tunggu lima sampai limabelas menit. Setelah kapas diambil, tang biopsi dimasukkan ke dalam menyusuri dasar cavum nasi sampai menyentuh dinding belakang nasopharynx. Kemudian ujung tang digeser ke lateral mengikuti dinding lateral nasopharynx sambil ditazik ke depan perlahan-lahan. Kira-kira pada daerah fossa Rosenmulleri kami lakukan biopsi. Biopsi ini memang kurang sempurna, tetapi sengaja kami utarakan cara yang sederhana sehingga sejawat yang mungkin mempunyai sarana yang kurang Iengkap dapat mengerjakannya. Menurut pengalaman kami, dari seluruh biopsi dimana kazsinoma nasopharynx dicurigai, blind biopsi ini memberi hasil 71,8 %

Perlu kami ketengahkan bahwa Jepang, walaupun berada di kawasan Asia, mempunyai frekwensi yang sangat kecil : 0,08 %
Pengobatan

Pengobatan yang paling murah ialah dengan radioterapi, tetapi hasilnya juga tidak memuaskan. Banyak obat sitostatika waktu ini, tetapi harganya masih terlalu tinggi untuk rakyat kecil. Dua hal ini masih merupakan hambatan untuk sejawat di puskesmas dalam menanggulangi karsinoma nasopharynx khususnya dan keganasan pada umumnya.
Prognosis

Penderita jarang yang mencapai hidup lima tahun (five years survival), lebih-lebih bila tumor didapatkan pada stadium yang sudah lanjut.
KEPUSTAKAAN 1. BALLENGER HC, BALLENGER II : Diseases of the nose, throat and ear, 10 ed. Philadelphia, Lea & Febiger, 1957, p 519. 2. BOIES LR et al : Fundamentals of otolaryngology. A textbook of ear, nose, and throat diseases; 3 ed. Philadelphia, London, WB Saunders Co., 1963, pp 350352. 3. IRWIN SUMARMAN : Tumor ganas nasopharynx pada Bagian THT RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. 4. JACKSON C, JACKSON CL : Diseases of the nose, throat and ear, 2 ed. Philadelphia, London, WB Saunders Co., 1959, p 279. 5. LIANG PE CHIANG : Studies on nasophazyngeal carcinoma in the Chinese Statistical and laboratory investigations. Chinese Med J 183 (6) : 373390, 1964. 6. LINDSAY R : Yearbook of eaz, nose and throat 1967 1968, pp 1591960. 7. MOCH. ZAMAN : Diagnostik tumor maligna dari nasopharynx. "Postgraduate Course" Muktamar IDI Ke IV di Surabaya, 1953, pp 6266. 8. MULJONO DJOJOPRANOTO : Beberapa segi patologi tumor ganas nasopharynx di Jawa Timur. Tesis Universitas Airlangga Surabaya 1960. Gitakarya Surabaya, 1960. 9. MORRISON : Diseases of the nose, throat and ear, 2 ed. New York, Appleton Century Crofts Inc., 1955, p 506. 10.MECKIE DEC, LAWLEY M : Nasophazyngeal carcinoma (among Chinese) Clinical analysis of 120 cases. AMA Arch Surg 69 : 841 848, 1954. 11.ONGSIATO Jr.: Cancer of the nasophazynx. Philip J Cancer 8(2) : 7377, 1968. 12.THEMANS HH: Maligne nasopharyngeal neoplasmata. Academisch Proefschrift (in de Geneeskunde aan de Universiteit van Amsterdam) 2 July 1970, Drukkerij murallsmeer 1970. 13.TANWIR JM : Patologi carcinoma nasopharynx khusus ditinjau dari segi histogenesis. Cetakan pertama. Bandung, Penerbit Alumni, 1975.

lnsidens

Karsinoma nasopharynx banyak terdapat pada umur 30 - 60 tahun, frekwensi terbanyak pada umur 40 - 50 tahun. Lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada wanita. Mengenai hubungannya dengan ras, dalam kepustakaan disebutkan bahwa pada orang Tionghoa didapatkan frekwensi yang jauh lebih besar; tetapi ada hal yang membingungkan, yaitu bila kita melihat di RRC dimana frekwensi pada penduduk RRC Selatan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan RRC sebelah Utara. Di bawah ini disajikan frekwensi relatif karsinoma nasopharynx di Indonesia :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Jakarta : 7,79 % Bandung : 5,82 % Semarang : 15,7 % Surabaya : 7,7 % Malang : 5,6 % Denpasar : 3,86 % Medan : 6,1 % Ujung Pandang : 6,7 %

Sebagai perbandingan, di bawah ini kami cantumkan frekwensi relatif karsinoma nasopharynx dari benua Asia - Australia :
1. RRC Utara, distrik Tionghwa : distrik Tsinan : distrik Peking : RRC Selatan, Kwantung : Kwangsi : Fukien : 2. Hongkong : 3. Malaysia & Singapura : 4. Thailand : 5. India : 6. Taiwan : 7. Philipina : 8. Australia Asli : 7,9 5,1 4,0 56,9 31,1 16,2 18,3 13,2 5,2 1,8 2,3 12,1 3,7 0,2 0,3

38

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

SILAHKAN COBA Konggres Nasional I Perhimpunan Biokimia lndonesia yang telah berlangsung di Surabaya pada tanggal 27 s/d 29 Juni 1977 bertema : Peranan Biokimia pada Industri hayati. Pada pertemuan tersebut telah diajukan beberapa kertas kerja tentang bahan makanan a.l. tiwul dan bekatul. Kedua bahan makanan ini memang hanya dikenal di pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur., sehingga untuk para peserta dari daerah, seperti misalnya Sumatera Utara, tak ada gambaran tentang bentuk dan rasa kedua bahan makanan tersebut. Keesokan harinya sewaktu hendak makan pagi di restauran salah sebuah hotel yang cukup besar terjadi percakapan sebagai berikut : Mau makan pagi apa, Tuan ! + Mmm, saya kepingin mencoba tiwul ! Sang pelayan hampir tak percaya apa yang telah didengar Eh, eh, maaf, disini tidak ada tiwul, Tuan. + Ah sayang, .........................kalau tidak ada tiwul, bekatul juga boleh, bah !! ?????????? dr. Oen L.H. Jakarta. T.K.O. Seorang bayi yang baru berumur dua bulan oleh ibunya dibawa ke tempat praktek saya untuk pemeriksaan rutin. Dalam pemeriksaan kulihat bercak merah semacam hemangioma di dahi bayi tersebut. Sambil lalu kukatakan : "Bercak semacam ini pasti hilang sendiri pada umur lima tahun". " Memang, demikian juga yang dikatakan oleh dokter pada ibu saya 25 tahun yang lalu", jawab ibu bayi itu sambil menyisihkan rambut dari dahinya. Dan kulihat bercak merah di dahi tersebut, tepat seperti bercak pada anaknya EFEK SAMPING K.B. Seorang w anita yang telah bertahun-tahun menjadi pasien saya pada suatu hari meminta pil kontrasepsi, padahal saya tahu bahwa dalam perkawinannya yang telah berumur dua tahun itu ia belum dikaruniai seorang anakpun. Dengan heran kutanyakan mengapa ia tiba-tiba minta pil K.B. "Seminggu yang lalu saya telah bercerai, dok" , jawabnya.
Jawaban Ruang Penyegar dan Penambah llmu Kedokteran 1. 2. 3. D A B 4. 5. 6. C C B 7. 8. 9. 10. A D C D

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

41

Catatan singkat
Pertumbuhan (growth) merupakan indikator terbaik dalam menentukan status gizi seorang anak; indikator ini lebih dapat dipercaya daripada gejala klinik dan laboratorium. Bila dalam suatu kelompok masyarakat banyak didapatkan anak dengan tubuh pendek, ini lebih sering disebabkan oleh faktor nutrisi-infeksi daripada akibat perbedaan genetik. Kecuali pada segelintir golongan etnik tertentu, semua anak memiliki potensi pertumbuhan yang sama. Ini berarti bahwa nilai-nilai standard internasional untuk pertumbuhan secara praktis dapat dipergunakan di semua negara.
WHO Tech Rep Ser No. 600, 1976, pp 95-96.

Sangatlah mengherankan bahwa analgesia yang dilakukan dengan akupunktur dapat dihilangkan/ dihambat oleh naloxone,suatu antagonis narkotika. Dalam proses analgesia tersebut diperkirakan akupunktur menyebabkan pelepasan endorphin, suatu zat yang secara alamiah terdapat di dalam otak & hipofisis dengan efek yang menyerupai zat-zat narkotika.
Science 195 : 471-473. 1977.

Kekuatan jaringan pada luka yang telah sembuh dipengaruhi ioleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang tidak disangka-sangka ialah pengaruh infeksi oleh kuman-kuman. Luka yang terinfeksi, setelah sembuh justru lebih kuat daripada yang tidak terinfeksi. Bila pada suatu luka ada bagian yang terinfeksi dan ada yang tidak, bagian yang terinfeksi ini lebih kuat. Diperkirakan bahwa infeksi menyebabkan jaringan granulasi lebih banyak dibentuk. Bakteri yang pernah dipakai dalam percobaan ini ialah E. coli, Proteus mirabilis, P. aeruginosa, S. fecalis.
Surg Gynecol Obstet 144 : 347-350, 1977.

Dr. Carleton Gajdusek adalah pemenang hadiah Nobel untuk ilmu kedokteran tahun 1976 untuk dua hasil penemuannya, yaitu : (i) adanya slow virus yang atipik, atau lebih tepat disebut `viruslike agent ' karena sifatnya lain daripada virus biasa, seperti resistensinya terhadap DNAase dan RNAase, dan (ii) bahwa virus tersebut dapat menyebabkan penyakit degeneratif pada susunan saraf pusat. Sejarah penemuannya dimulai pada tahun 1957 ketika ia sedang berkunjung ke Australia dan mendengar adanya suatu penyakit di Irian Timur yang oleh penduduk asli disebut kuru. Penyakit ini disebabkan oleh kanibalisme di kalangan kebiasn-m masyarakat primitif, yaitu tubuh anggota keluarga yang meninggal, terutama otaknya. Selama setahun dokter yang menguasai 12 bahasa ini hidup di Irian dan telah menemukan 200 penderita yang meninggal akibat penyakit ini. Degenerasi susunan saraf pusat pada penyakit ini ternyata disebabkan oleh sejenis virus yang dapat juga ditularkan pada monyet dengan inokulasi langsung ke otak. Bila diingat bahwa masa inkubasi penyakit ini adalah 22 bulan, dapat dibayangkan sulitnya untuk membuktikan hubungan langsung antara penyebab (agent) dan penyakit ini. Dengan masuknya kebudayaan modern, kini kanibalisme praktis telah tidak ada, sehingga selama lima tahun terakhir ini penyakit tersebut tak pernah di jumpai lagi. Akan tetapi jangan dianggap bahwa dengan demikian penemuan tadi tidak berguna, karena ternyata berbagai penyakit pada susunan saraf pusat yang dulu hanya disebut sebagai " chronic idiopathic degenerative disorders" sekarang banyak yang dapat dibuktikan disebabkan oleh slow virus.
Arch Neurol 34 : 205 208, 1977.

Absorbsi obat dalam bentuk sirup biasanya lebih baik daripada bentuk tablet atau kapsul. Sebagai contoh, dengan dosis yang sama, rifampin bentuk sirup menghasilkan konsentrasi obat dalam serum sebesar dua kali konsentrasi yang dihasilkan oleh tablet rifampin yang terbaik.
Clin Pharmacol Ther 21 : 370-374, 1977.

Selain jumlah protein, kwalitas protein juga ikut menentukan mutu diet seseorang. Kwalitas protein dalam diet dapat ditingkatkan dengan menggabungkan berbagai makanan sedemikian rupa sehingga setiap kali makan tubuh memperoleh semua asam amino esensial dalam perbandingan yang tepat. Sebagai contoh, beras, yang sangat sedikit mengandung asam amino lysine, dapat digabungkan dengan kacang atau kedele, yang banyak mengandung lysine. Bila kedua makanan tersebut dimakan bersama-sama, akan didapatkan campuran protein dengan mutu yang lebih baik.
Pediatrics 59 : 460,1977.

42

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini ??? Jawahan dapat dilihat pada halaman 41

Untuk nomor 1- 8, sesuaikan jawaban dcngan huruf-huruf di sebelahiiya. 1. Tanda Cvostek (A) Pankreatitis akuta (B) Kebiru-biruan di sekitar um2. Tanda Turner bilikus. (C) Tabes dorsalis 3. Tanda Cullen 4. Tanda Romberg (D ) Tetani

rita tampak gelisah, pernafasan menjadi cepat, dan tampak sekit cyanosis. Tekanan darah 95/70, pernafasan 32 per menit, suhu 38,3 C. Tampak beberapa petechiae pada conjunctiva dan badan. Terdengar ronchi pada basal kedua paru-paru. Cor tak ada kelainan. Pemeriksaan laboratorium rutin terhadap darah dan urin tak menunjukkan hal-hal yang berarti. (1) Apakah keadaan yang menyerupai shock pada penderita ini disebabkan oleh kehilangan darah? (2) Apa yang menyebabkan perubahan yang terjadi secara akut 24 jam kemudian itu? (3) Bagaimana cara menegakkan diagnosis yang tepat pada penderita ini? (4) Bagaimana terapinya? (5) Bagaimana prognosisnya? (1) Mungkin saja bahwa penderita tersebut telah kehilangan satu liter darah akibat fraktura yang menyebabkan perdarahan di dalam, meskipun tak tampak perdarahan di luar. Namun keadaan ini kurang mungkin bila ingat bahwa keadaan umumnya pada waktu datang masih baik dan selama 24 jam kemudian juga masih baik. Faktor kehilangan darah mungkin membantu perkembangan kemudian. (2) Terjadinya cyanosis, tachycardia dan pre-shock pada penderita ini yang tiba-tiba sangat menyokong kemungkinan embolisme lemak. Kemungkinan emboli paru-paru yang "konvensionil " belum dapat disingkirkan, akan tetapi pada kasus ini tampaknya terjadinya terlalu awal. (3) Diagnosis emboli lemak kadang-kadang sulit ditegakkan. Sputum dan urin harus diperiksa beberapa kali untuk mencari partikel-pertikel lemak. Tidak jelas bagaimana partikel lemak dapat mecapai sputum dan urin, tetapi diperkirakan lemak tersebut berasal dari sumsum tulang yang mengalami fraktura. (4) Tidak ada terapi khusus. Tetapi suportif berupa pemberian oksigen; pemberian steroid, karena lesi paru-paru berupa lesi inflamatoir; heparin kadang-kadang diberikan juga untuk mencegah koagulasi intravaskular. (5) Biasanya penderita dapat mengatasi akibat emboli lemak ini, tetapi tentu saja prognosis tergantung juga dari luas dan beratnya trauma yang menyebabkan embolisme tadi. Dilaporkan kematian sebesar 10-20 %.
(diolah dariMedicalOpinion 3(10): 11, 1974)
Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977 43

5. Penyakit Meniere
6.

Bell's palsy

7 Sindroma Horner 8. Hydrocephalus interna

(A) Disebabkan oleh kelumpuhan saraf simpatik cervicalis (B) Disertai kelumpuhan bibir dan pipi (C) Vertigo aural (D) Disertai dengan papiledema, bradycardia dan muntahmuntah.

pilihlah satu jawaban yang tepat : 9. Bisul-bisul pada umumnya disebabkan oleh: (A) Staphylococcus albus (B) Staph. citreus (C) Staph. aureus (D) Streptococcus viridans 10.Pada kematian oleh keracunan metil-alkohol, ditemukan: (A) edema otak (B) nekrosis pankreas (C) nekrosis neuron-neuron retina (D) semuanya di atas

Seorang pekerja, berumur 23 tahun, dibawa ke rumah sakit segera setelah mendapat kecelakaan waktu naik sepeda motor. Tulang pahanya yang sebelah kiri jelas telah mengalami fraktura tertutup, diperkirakan mungkin juga ada trauma pada pelvis bagian dalam. Waktu pertama kali diperiksa keadaan umum penderita baik, nadi dan tekanan darah baik, kecuali bahwa ia tampak pucat. Tidak ditemukan perdarahan terbuka dari bagian-bagian tubuh. Paru-paru, cor, abdomen tak ada kelainan. Diberikan pengobatan konservatif. Keadaan umum penderita tetap baik sampai 24 jam kemudian ketika tiba-tiba keadaan umumnya dengan cepat menurun. Kesadaran menurun, pende -

ABSTRAK ABSTRAK
BARIUM ENEMA UNTUK DIAGNOSIS APPENDICITIS AKUTA PADA ANAK-ANAK Keterlambatan mendiagnosis appendicitis akuta, terutama pada anak-anak, sering menyebabkan perforasi appendix. Selama ini diagnosis biasanya hanya ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium saja. Pemeriksaan radiologik dengan barium enema, meskipun secara teoritis mudah dilakukan dan penting untuk diagnosis, jarang dan bahkan dilarang dilakukan pada kasus-kasus yang dicurigai menderita appendicitis akuta karena dianggap dapat menimbulkan perforasi. Bahwa sebenarnya barium enema itu tidak berbahaya dan bahkan penting untuk diagnosis telah dibuktikan oleh J.Z. JONA dkk. Enema dilakukan dengan barium sulfat. Katartik dan purgatif tidak diberikan karena merupakan kontraindikasi pada acute abdomen. Kolom barium dinaikkan setinggi + 1 m dan kemajuannya dilihat dengan fluoroskopi. Manipulasi dan tekanantekanan pada abdomen dilarang. Bila barium tidak masuk ke dalam appendix atau ileum terminalis, jangan dipaksa dengan menaikkan kolom barium. Dalam hal ini, buatlah foto dan penderita diperbolehkan mengeluarkan barium tersebut untuk kemudian dibuat foto postevakuasi.Pada beberapa penderita pernah dicoba mengulangi barium enema untuk kedua kalinya, akan tetapi hasilnya tak banyak mempengaruhi diagnosis.
Interpretasi. Roentgenogram disebut normal bila appendix terisi penuh dan tak ada perubahan-perubahan mukosa pada appendix dan daerah ileocecaL Mobilitas appendix yang terlihat pada fluoroskopi ikut menunjukkan bahwa appendix normal. Roentgenogram mencurigakan bila appendix tidak terisi atau terisi sebagian, tetapi tidak ada kelainan lain pada appendix , cecum, ileum terminalis dan sigmoid colon. Harus diingat bahwa keadaan ini dapat ditemukan juga pada 8 10 persen kasus dengan appendix normal, terutama pada appendix retrocecal. Tanda yang patognomonik untuk appendicitis akuta ialah : appendix tidak terisi, terlihat ` mass effect ' (dorongan oleh suatu massa) pada batas medial dan inferior cecum, dan ` mass effect ' atau mukosa yang irregular pada ileum terminalis. Appendix yang terisi sebagian disertai dengan abnormalitas mukosa dan `mass effect' pada daerah ileocecal juga dianggap sebagai tanda yang positif. Demikian juga, appendix yang hanya terisi bagian proximalnya saja sehingga gambar seolaholah terputus (cut-off sign) dianggap karakteristik untuk appendicitis akuta.

ILMU BEDAH

Pemeriksaan barium enema dilakukan pada 58 penderita yang berumur 2 16 tahun. Pemeriksaan ini dilakukan hanya bila diagnosis appendicitis meragukan. Pada 27 kasus appendix terisi penuh dan roentgenogram normal. Meskipun demikian, dilakukan juga explorasi pada delapan kasus karena gejala-gejala klinik sangat menyokong diagnosis appendicitis akuta, dan ternyata semuanya normal. Ke 19 kasus sisanya tidak mendapat pengobatan khusus, kecuali dua kasus yang memerlukan antibiotika karena ternyata menderita pneumonia. Ke 27 kasus ini sembuh dengan cepat. Pada 20 kasus, roentgenogram patognomonik untuk appendicitis akuta dan segera dilakukan operasi : 18 di antaranya benar-benar menderita appendicitis akuta; satu menderita hiperplasia limfoid di daerah ileocecal dan appendix; dan pada satu kasus lainnya didapatkan inflamasi pelvis sebagai komplikasi abortus. Pada sembilan kasus dengan roentgenogram yang meragukan dilakukan observasi; pada enam kasus gejala mereda dalam beberapa jam; pada satu kasus ditemukan pneumonia yang diobati dengan segera dan gejala-gejala abdominal menghilang; pada dua kasus gejala bertambah berat dan dilakukan operasi kedua-duanya ternyata menderita appendicitis akuta. Dalam pemeriksaan ini tidak ditemukan komplikasi perforasi akibat barium enema. Meskipun pemeriksaan ini dapat membantu dalam keadaan yang meragukan, ditegaskan bahwa barium enema tidak dapat menggantikan pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cermat.
JONA JZ et al. Surg Gynecol Obstet 144 : 351 355, 1977. 44
Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

MANA YANG LEBIH BAIK UNTUK KEHAMILAN KEMBAR : istirahat atau penjahitan cervix ? Tingginya mortalitas perinatal pada anak-anak kembar terutama disebabkan oleh `low birth weight' akibat prematuritas. Untuk mencegah persalinan sebelum waktunya, beberapa ahli menganjurkan istirahat di tempat tidur; akan tetapi ini menyulitkan penderita serta keluarganya, disamping meningkatkan bahaya kelainan tromboembolik. Ada juga yang mengajukan hipotesis bahwa prematuritas tadi disebabkan oleh inkompetensi cervix akibat peregangan rahim secara berlebihan. Bila memang demikian, seharusnya penjahitan cervix akan mengurangi insidens prematuritas. Untuk mengetahui mana yang lebih baik, dilakukan percobaan sebagai berikut : 60 pasien dengan kehamilan kembar diharuskan istirahat di tempat tidur. Pada 37 pasien lain dilakukan penjahitan cervix. Sedang pada 36 lainnya tidak diberi terapi secara aktif. Ternyata insidens dari persalinan prematur sama saja pada ke tiga golongan di atas. Berat badan rata-rata dari ke dua bayi kembar dan insidens dari 'small-for-datebabies' juga sama.
WEEKES ARL et al. Brit J Obstet Gynecol 84 : 161 163, 1977

OBSTETRI

PSIKIATRI

GANGGUAN PSIKIATRIK AKIBAT ERHARD SEMINARS TRAINING Erhard Seminars Training (EST) adalah semacam kelompok terapi yang telah . ada selama lima tahun ini di Amerika Serikat. Dalam kelompok sebanyak kira-kira 250 orang, para peserta bersama-sama mengadakan "latihan" dan harus membayar $ 250, untuk latihan selama 6070 jam. Biasanya latihan dilakukan dalam ruang pertemuan di hotel-hotel. Para peserta duduk menghadap pelatih/pemimpin yang duduk di atas panggung yang tinggi. Pelatih menunjukkan sikap konfrontatif dan authoritatif dan sering membalas bantahan dari peserta dengan intimidasi serta ejekan. Beberapa peraturan harus dituruti : tidak boleh berbicara bila tidak diberi ijin, tidak boleh meninggalkan tempat duduk, tidak boleh merokok, tidak boleh makan atau minum, tidak boleh ke WC kecuali pada waktu istirahat. Peserta yang melanggar peraturan segera dikeluarkan dari ruangan dan dikeluarkan sebagai anggota. Latihan dimulai dari pagi-pagi buta sampai malam, selama 15 jam terus menerus hanya dengan dua masa istirahat. Para peserta hanya boleh makan pada waktu istirahat kedua. Program latihan terdiri atas tiga aktivitas dasar : penerangan secara didaktik tentang ajaran EST, "pembukaan diri" (self disclosure) didepan semua peserta, dan "proses-proses". Bahan-bahan didaktik, yang diberikan secara agresif oleh pelatih, sebagian besar meminjam teori psikoanalitik, psikologi Jung, transactional analysis dan filsafat Timur. Dalam masa pembukaan diri, para peserta mengeluarkan seluruh isi hati (catharsis) dengan pengakuan-pengakuan dan lain-lain. Sedang yang dimaksud dengan .proses-proses ialah latihan dengan menggunakan Gestalt, relaksasi dan tehniktehnik psikodrama. Telah dilaporkan lima pasien yang mengalami gangguan psikiatrik setelah mengikuti latihan EST. Dari kelima pasien tersebut hanya satu yang sebelumnya mempunyai riwayat gangguan psikiatrik. Gejala-gejala psikosis yang muncul berupa : paranoia, waham kebesaran, perubahan `mood' yang tak terkendalikan dan wahamwaham lain. Meskipun tidak dapat disimpulkan bahwa EST per se jelek bagi semua peserta, harus diingat bahwa ada sifat-sifat khusus yang merupakan predisposisi bagi psikosis bila mengikuti EST. Menurut kesan penulis, sikap pelatih yang authoritatif, konfrontatif serta agresif ditambah dengan hambatan-hambatan terhadap kebutuhan fisiologik seperti makan, berbicara dsb. mendorong peserta untuk mengidentifikasikan diri dengan pelatih tersebut ("identification with the aggressor "). Bila mekanisme pertahanan ini tidak mampu membendung anxietasnya, akan terjadi ego fragmentasi dan dekompensasi psikotik.
GLASS LL et al. Am J Psychiatry 134 : 245 247, 1977. Catatan : Terlihat persesuaian antara peristiwa di atas dengan kejadian pada masa perploncoan mahasiswa, yang menurut dr. SUYONO Kepala Bagian Psikiatri FKUGM telah membawa banyak korban psikiatrik. Red.

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

45

EFEK KHUSUS PROTEIN KEDELE TERHADAP KHOLESTEROL Meskipun tidak semua setuju, sebagian besar kalangan kedokteran berpendapat bahwa hiperkholesterolemia merupakan predisposisi untuk penyakit jantung koroner, terutama bila keadaan tsb. berlangsung seumur hidup seperti pada hiperkholesterolemia familial. Akan tetapi, disamping faktor genetik, kadar kholesterol di dalam darah dipengaruhi juga oleh diet. SIRTORI dkk. melaporkan bahwa diet-protein-kedele, yaitu diet di mana protein hewani diganti dengan protein kedele, dapat menurunkan kadar kholesterol dalam serum. Telah d.ilakukan suatu percobaan terhadap 21 penderita hiperlipoproteinemia tipe II untuk membandingkan efek diet-rendah-kholesterol-rendah-lemak (a) dengan dietprotein-kedele(b). Dipakai metoda cross-over yaitu sebagian penderita diberi diet (a) selama tiga minggu kemudian diganti dengan diet (b), sedang sebagian yang lain diberi diet (b) dulu baru kemudian diet (a). Setelah itu jadwal diet dibalik pada kedua golongan tsb. Ternyata diet-rendah-kholesterol-rendah-lemak praktis tidak berguna, sedangkan diet-protein- kedele berhasil menurunkan secara drastis kadar kholesterol dalam serum setelah tiga minggu. Dalam waktu dua minggu, rata-rata kadar kholesterol berkurang dengan 14 %, dan setelah tiga minggu, 21 %, (Ini berarti bahwa bila mula-mula kadar kholesterol 330 mg/100 ml, menurun menjadi 260 mg/100 ml).Bila diet-protein-kedele diganti dengan diet- rendah-kholesterol-rendah-lemak, kadar kholesterol di dalam darah segera meningkat lagi. Diet-protein-kedele tsb. memang praktis tidak mengandung kholesterol sama sekali, akan tetapi efek hipokholesterolemik diet tsb. bukan disebabkan oleh hal ini. Untuk membuktikan hal tersebut, pada pemberian diet-protein-kedele ditambahkan juga 500 mg kholesterol setiap hari. Ternyata ini tidak mempengaruhi kecepatan penurunan kadar kholesterol di dalam darah dan kestabilan kadar kholesterol sesudahnya. Apa yang mengakibatkan efek hipokholesterolemik dari diet-protein-kedele tsb. belum diketahui dengan pasti, akan tetapi dapat disimpulkan dengan jelas bahwa efek hipokholesterolemik tsb. bukan disebabkan karena rendahnya kadar kholesterol di dalam diet tsb., akan tetapi disebabkan oleh sifat khusus protein kedele itu sendiri (Oleh sebab itu kami anjurkan untuk memakan tahu, tempe serta kecap secukupnya setiap hari - RED.)
SIRTORI C.R. et al. Lancet i : 275-277,

GIZI

1977.

OBAT BARU
Disopyramide Kimia : 4 - di - isopropylamine - 2 - phenyl - 2 -(2-pyridyl) butyramide phosphate. Farmakodinamika : * * * anti-aritmi jantung, baik atrial ataupun ventrikuler. memiliki efek antikholinergik dan anestesi lokal. khasiat anti-aritmi diduga berdasarkan atas : Pemanjangan masa refrakter atria dan ventrikel sehingga dapat mengakhiri suatu circus movement yang diawali oleh extrasistole atrial ataupun ventrikel. Telah dilaporkan efektif untuk recurrent ventricular fibrillation yang refrakter terhadap lidokain IV, phenytoin dan procainamide. efek samping : retensi urin dan mulut kering.

Farmakokinetika : * efektif secara oral untuk pencegahan takiaritmi ventrikel setelah infark miokard. * dosis 100 - 200 mg 4 x sehari.

46

Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977

Anda mungkin juga menyukai