Anda di halaman 1dari 18

TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Batubara Batubara (coal) adalah sumber energi fosil yang paling banyak kita miliki di dunia ini. Batubara sendiri merupakan campuran yang sangat kompleks dari zat kimia organik yang mengandung karbon, oksigen, dan hidrogen dalam sebuah rantai karbon serta sedikit nitrogen dan sulfur. Pada campuran ini juga terdapat kandungan air dan mineral (Anonim1, 2010). Batubara merupakan sisa tumbuhan dari zaman prasejarah yang berubah bentuk yang awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut. Penimbunan lanau dan sedimen lainnya, bersama dengan pergeseran kerak bumi (dikenal sebagai pergeseran tektonik) mengubur rawa dan gambut yang seringkali sampai ke kedalaman yang sangat dalam. Dengan penimbunan tersebut, material tumbuhan tersebut terkena suhu dan tekanan yang tinggi. Suhu dan tekanan yang tinggi tersebut menyebabkan tumbuhan tersebut mengalami proses perubahan fisika dan kimiawi dan mengubah tumbuhan tersebut menjadi gambut dan kemudian batu bara (Anonim2, 2009). Kondisi yang baik pada proses pembentukan batubara adalah lingkungan yang berawa dangkal. Kondisi tersebut terdapat pada cekungan sedimen yang terbentuk sepanjang pantai, daerah delta dan danau. Batubara terbentuk oleh adanya perubahan secara fisik dan kimia yang dipengaruhi oleh bakteri pengurai, tekanan, temperatur, serta waktu (Anonim2, 2009). Pembentukan batu bara memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan hanya terjadi pada era-era tertentu sepanjang sejarah geologi. Zaman

Karbon, kira-kira 340 juta tahun yang lalu, adalah masa pembentukan batu bara yang paling produktif dimana hampir seluruh deposit batu bara (black coal) yang ekonomis di belahan bumi bagian utara terbentuk. Pada zaman Permian, kira-kira 270 juta tahun lalu, juga terbentuk endapan-endapan batu bara yang ekonomis di belahan bumi bagian selatan, seperti Australia, dan berlangsung terus hingga ke zaman tersier (70 - 13 juta tahun lalu) di berbagai belahan bumi lain (Anonim2, 2009). Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode Pembentukan Karbon atau Batu Bara) dikenal sebagai zaman batu bara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai maturitas organik. Proses awalnya gambut berubah menjadi lignit (batu bara muda) atau brown coal (batu bara coklat). Ini adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan batu bara jenis lainnya, batu bara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan. Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batu bara muda mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batu bara sub-bituminus. Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam dan membentuk bituminus atau antrasit. Dalam kondisi yang tepat, penigkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit (Anonim2, 2009).

Tingkat

perubahan

yang

dialami

batubara

dalam

proses

pembentukannya, dari gambut sampai menjadi antrasit disebut sebagai pengarangan memiliki hubungan yang penting dan hubungan tersebut disebut sebagai tingkat mutu batu bara. Batu bara dengan mutu yang rendah, seperti batu bara muda dan sub-bituminus biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah. Baru bara muda memilih tingkat kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang rendah, dan dengan demikian kandungan energinya rendah. Batu bara dengan mutu yang lebih tinggi umumnya lebih keras dan kuat dan seringkali berwarna hitam cemerlang seperti kaca. Batu bara dengan mutu yang lebih tinggi memiliki kandungan karbon yang lebih banyak, tingkat kelembaban yang lebih rendah dan menghasilkan energi yang lebih banyak (Anonim 3, 2010). Sumber daya batubara (Coal Resources) adalah bagian dari endapan batubara yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Sumber daya batu bara ini dibagi dalam kelas-kelas sumber daya berdasarkan tingkat keyakinan geologi yang ditentukan secara kualitatif oleh kondisi geologi/tingkat kompleksitas dan secara kuantitatif oleh jarak titik informasi. Sumberdaya ini dapat meningkat menjadi cadangan apabila setelah dilakukan kajian kelayakan dinyatakan layak. Cadangan batubara (Coal Reserves) adalah bagian dari sumber daya batubara yang telah diketahui dimensi, sebaran kuantitas, dan kualitasnya, yang pada saat pengkajian kelayakan dinyatakan layak untuk ditambang (Putrago, 2009).

3.2

Klasifikasi Batubara 3.2.1 Materi pembentuk batu bara Hampir seluruh pembentuk batu bara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan pembentuk batu bara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut: a. Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat sedikit endapan batu bara dari periode ini. b. Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga. Sedikit endapan batu bara dari perioda ini. c. Pteridofita, umur Devon Atas hingga karbon atas. Materi utama pembentuk batu bara berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat. d. Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batu bara Permian seperti di Australia, India dan Afrika. e. Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan (Anonim1, 2010).

3.2.2 Jenis batu bara A. Gambut (peat) Golongan ini sebenarnya belum termasuk jenis batubara, tapi merupakan bahan bakar. Hal ini disebabkan karena masih merupakan fase awal dari proses pembentukan batubara. Endapan ini masih memperlihatkan sifat asal dari bahan dasarnya (tumbuhtumbuhan). B. Lignit (Batubara Coklat, Brown Coal) Golongan ini sudah memperlihatkan proses selanjutnya berupa struktur kekar dan gejala pelapisan. Apabila dikeringkan maka gas dan airnya akan keluar. Endapan ini bisa dimanfaatkan secara terbatas untuk kepentingan yang bersifat sederhana, karena panas yang dikeluarkan sangat rendah. C. Sub-Bituminous (Bitumen Menengah) Golongan ini memperlihatkan ciri-ciri tertentu yaitu warna yang kehitam-hitaman dan sudah mengandung lilin. Ciri lain adalah sisa bagian tumbuh-tumbuhan tinggal sedikit dan berlapis. Endapan ini dapat digunakan untuk pemanfaatan pembakaran yang cukup dengan temperatur rendah. Nilai kalori 3000- 6300 kal/gram. D. Bituminous Golongan ini dicirikan dengan sifat-sifat yang padat, hitam, rapuh (brittle) dengan membentuk bongkah-bongkah prismatik. Berlapis dan tidak mengeluarkan gas dan air bila dikeringkan.

Endapan ini dapat digunakan antara lain untuk kepentingan transportasi dan jenis industri kecil. Nilai kalori antara 6300 7300 kal/gram. E. Antrasite Merupakam kelas batubara yang tinggi, warna hitam sangat mengkilap, keras, dan kompak. Nilai kalori lebih dari 7300 kal/gram. Tingkat perubahan yang dialami batu bara, dari gambut sampai menjadi antrasit disebut sebagai pengarangan memiliki hubungan yang penting dan hubungan tersebut disebut sebagai tingkat mutu batu bara. Batubara dengan mutu yang rendah, seperti batu bara muda dan sub-bitumen biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah. Barubara muda memilih tingkat kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang rendah, dan dengan demikian kandungan energinya rendah. Batubara dengan mutu yang lebih tinggi umumnya lebih keras dan kuat dan seringkali berwarna hitam cemerlang seperti kaca. Batubara dengan mutu yang lebih tinggi memiliki kandungan karbon yang lebih banyak, tingkat kelembaban yang lebih rendah dan menghasilkan energi yang lebih banyak (Sukandarrumidi, 2004).

1.2.3

Kelas Sumber Daya A. Sumber Resource) Sumber daya batu bara hipotetik adalah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan survei tinjau. Sejumlah kelas sumber daya yang belum ditemukan yang sama dengan cadangan batubara yang diharapkan mungkin ada di daerah atau wilayah batubara yang sama dibawah kondisi geologi atau perluasan dari sumberdaya batubara tereka. Pada umumnya, sumberdaya berada pada daerah dimana titik-titik sampling dan pengukuran serat bukti untuk ketebalan dan keberadaan batubara diambil dari distant outcrops, pertambangan, lubang-lubang galian, serta sumur-sumur. Jika eksplorasi menyatakan bahwa kebenaran dari hipotesis sumberdaya dan mengungkapkan informasi yg cukup tentang kualitasnya, jumlah serta rank, maka mereka akan di klasifikasikan kembali sebagai sumber daya teridentifikasi (identified resources) (Sukandarrumidi, 2006). B. Sumber Daya Batubara Tereka (Inferred Coal Resource) Sumber daya batu bara tereka adalah jumlah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan prospeksi. Titik pengamatan Daya Batubara Hipotetik (Hypothetical Coal

mempunyai jarak yang cukup jauh sehingga penilaian dari sumber daya tidak dapat diandalkan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam daerah antara 1,2 km 4,8 km. termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm atau lebih (Sukandarrumidi, 2006). C. Sumber Daya Batubara Tertunjuk (Indicated Coal Resource) Sumber daya batu bara tertunjuk adalah jumlah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi pendahuluan. Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk melakukan penafsiran secara relistik dari ketebalan, kualitas, kedalaman, dan jumlah insitu batubara dan dengan alasan sumber daya yang ditafsir tidak akan mempunyai variasi yang cukup besar jika eksplorasi yang lebih detail dilakukan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam daerah antara 0,4 km 1,2 km. termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub-bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm (Sukandarrumidi, 2006).

D. Sumber Daya Batubara Terukur (Measured Coal Resourced) Sumber daya batu bara terukur adalah jumlah batu bara di daerah peyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syaratsyarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi rinci. Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk diandalkan untuk melakukan penafsiran ketebalan batubara, kualitas, kedalaman, dan jumlah batubara insitu. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam radius 0,4 km. Termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm (Sukandarrumidi, 2006). 3.3 Proses Pembentukan Batubara A. Prinsip Sedimentasi Pada dasarnya batubara termasuk ke dalam jenis batuan sedimen. Batuan sedimen terbentuk dari material atau partikel yang terendapkan di dalam suatu cekungan dalam kondisi tertentu, dan mengalami kompaksi serta transformasi balik secara fisik, kimia maupun biokimia. Pada saat pengendapannya material ini selalu membentuk lapisan yang horisontal.

B. Skala Waktu Geologi Proses sedimentasi, kompaksi, maupun transportasi yang dialami oleh material dasar pembentuk sedimen sehingga menjadi batuan sedimen berjalan selama jutaan tahun. Kedua konsep tersebut merupakan bagian dari proses pembentukan batubara vang mencakup proses : 1. Pembusukan, yakni proses dimana tumbuhan mengalami tahap pembusukan (decay) akibat adanya aktifitas dari bakteri anaerob. Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen dan menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti selulosa, protoplasma, dan pati. 2. Pengendapan, yakni proses dimana material halus hasil pembusukan terakumulasi dan mengendap membentuk lapisan gambut. Proses ini biasanya terjadi pada lingkungan berair, misalnya rawa-rawa. 3. Dekomposisi, yaitu proses dimana lapisan gambut tersebut di atas akan mengalami perubahan berdasarkan proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian akan menghilang dalam bentuk karbondioksida (CO2), karbonmonoksida (CO), dan metana (CH4). 4. Geotektonik, dimana lapisan gambut yang ada akan terkompaksi oleh gaya tektonik dan kemudian pada fase selanjutnya akan mengalami lipatan dan patahan. Selain itu gaya tektonik aktif dapat menimbulkan adanya intrusi/terobosan magma, yang akan mengubah batubara low grade menjadi high grade. Dengan adanya tektonik setting tertentu,

maka zona batubara yang terbentuk dapat berubah dari lingkungan berair ke lingkungan darat. 5. Erosi, dimana lapisan batubara yang telah mengalami gaya tektonik berupa pengangkatan kemudian dierosi sehingga permukaan batubara yang ada menjadi terkupas pada permukaannnya. Perlapisan batubara inilah yang dieksploitasi pada saat ini (Anonim2, 2009). 3.4 Faktor-Faktor dalam Pembentukan Batubara Beberapa faktor yang berpengaruh dalam pembentukan batubara adalah : 1. Material dasar, yakni flora atau tumbuhan yang tumbuh beberapa juta tahun yang lalu, yang kemudian terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim clan topografi tertentu. Jenis dari flora sendiri amat sangat berpengaruh terhadap tipe dari batubara yang terbentuk. Lingkungan pengendapan, yakni lingkungan pada saat proses sedimentasi dari material dasar menjadi material sedimen. Lingkungan pengendapan ini sendiri dapat ditinjau dari beberapa aspek sebagai berikut : Struktur cekungan batubara, yakni posisi di mana material dasar diendapkan. Strukturnya cekungan batubara ini sangat berpengaruh pada kondisi dan posisi geotektonik. Topografi dan morfologi, yakni bentuk dan kenampakan dari tempat cekungan pengendapan material dasar. Topografi dan morfologi cekungan pada saat pengendapan sangat penting karena menentukan penyebaran rawa-rawa di mana batubara terbentuk. Topografi dan

morfologi dapat dipengaruhi oleh proses geotektonik. Iklim, yang merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pembentukan batubara karena dapat mengontrol pertumbuhan flora atau tumbuhan sebelum proses pengendapan. Iklim biasanya dipengaruhi oleh kondisi topografi setempat. 2. Proses dekomposisi, yakni proses transformasi biokimia dari material dasar pembentuk batubara menjadi batubara. Dalam proses ini, sisa tumbuhan yang terendapkan akan mengalami perubahan baik secara fisika maupun kimia. 3. Umur geologi, yakni skala waktu (dalam jutaan tahun) yang menyatakan berapa lama material dasar yang diendapkan mengalami transformasi. Untuk material yang diendapkan dalam skala waktu geologi yang panjang, maka proses dekomposisi yang terjadi adalah fase lanjut clan menghasilkan batubara dengan kandungan karbon yang tinggi. Posisi geotektonik, yang dapat mempengaruhi proses

pembentukan suatu lapisan batubara dari : Tekanan yang dihasilkan oleh proses geotektonik dan menekan lapisan batubara yang terbentuk. Struktur dari lapisan batubara tersebut, yakni bentuk cekungan stabil, lipatan, atau patahan. Intrusi magma, yang akan mempengaruhi dan/atau merubah grade dari lapisan batubara yang dihasilkan (Anonim2, 2010).

3.5

Komposisi Kimia Batubara Batubara merupakan senyawa hidrokarbon padat yang terdapat di alam dengan komposisi yang cukup kompleks. Pada dasarnya terdapat dua jenis material yang membentuk batubara, yaitu : 1. Combustible Material, yaitu bahan atau material yang dapat dibakar/dioksidasi oleh oksigen. Material tersebut umumnya terdiri dari: karbon padat (fixed carbon) senyawa hidrokarbon senyawa sulfur senyawa nitrogen, dan beberapa senyawa lainnya dalam jumlah kecil. 2. Non Combustible Material, yaitu bahan atau material yang tidak dapat dibakar/dioksidasi oleh oksigen. Material tersebut umumnya terdiri dari senyawa anorganik (SiO2, A12O3, Fe2O3, TiO2, Mn3O4, CaO, MgO, Na2O, K2O, dan senyawa logam lainnya dalam jumlah yang kecil) yang akan membentuk abu/ash dalam batubara. Kandungan non combustible material ini umumnya diingini karena akan mengurangi nilai bakarnya. Pada proses pembentukan batubara/coalification, dengan bantuan factor fisika dan kimia alam, selulosa yang berasal dari tanaman akan mengalami perubahan menjadi lignit, subbituminus, bituminus, atau antrasit. Proses transformasi ini dapat digambarkan dengan persamaan reaksi sebagai berikut 5(C6Hl0O5) C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO Selulosa lignit gas metan

6(C6H10O5) C22H20O3 + 5CH4 + 10H2O + 8CO2 + CO Selulosa bituminous gas metan

Untuk proses coalification fase lanjut dengan waktu yang cukup lama atau dengan bantuan pemanasan, maka unsur senyawa karbon padat yang terbentuk akan bertambah sehingga grade batubara akan menjadi lebih tinggi. Pada fase ini hidrogen yang terikat pada air yang terbentuk akan menjadi semakin sedikit. Nitrogen pada batubara pada umumnya ditemukan dengan kisaran 0,5 1,5 % w/w yang kemungkinan berasal dari cairan yang terbentuk selama proses pembentukan batubara. Oksigen pada batubara dengan kandungan 20 30 % w/w terdapat pada lignit atau 1,5 2,5 % w/w untuk antrasit, berasal dari bermacam-macam material penyusun tumbuhan yang terakumulasi ataupun berasal dari inklusi oksigen yang terjadi pada saat kontak lapisan source dengan oksigen di udara terbuka atau air pada saat terjadinya sedimentasi. Variasi kandungan sulfur pada batubara berkisar antara 0,5 5 % w/w yang muncul dalam bentuk sulfur organik dan sulfur inorganik yang umumnya muncul dalam bentuk pirit. Sumber sulfur dalam batubara berasal dari berbagai sumber. Pada batubara dengan kandungan sulfur rendah, sulfurnya berasal material tumbuhan penyusun batubara. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan sulfur menengah-tinggi, sulfurnya berasal dari air laut (Anonim4, 2009).

3.6

Kualitas Batubara Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia dari batubara yang mempengaruhi potensi kegunaannya. Kualitas batubara ditentukan oleh maseral dan mineral matter penyusunnya, serta oleh derajat coalification (rank) (Anonim5, 2008). Umumnya, untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisa kimia pada batubara yang diantaranya berupa analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah air (moisture), zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed carbon), dan kadar abu (ash), sedangkan analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kandungan unsur kimia pada batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, unsur tambahan dan juga unsur jarang (Anonim5, 2008). Kualitas batubara ditentukan dengan analisis batubara di

laboraturium, diantaranya adalah analisis proksimat dan analisis ultimat. Kualitas batubara ini diperlukan untuk menentukan apakah batubara tersebut menguntungkan untuk ditambang selain dilihat dari besarnya cadangan batubara di daerah penelitian. Berikut parameter-parameter yang sering menjadi acuan dalam menentukan kualitas batubara: a. Kalori (Calorific Value atau CV, satuan kal/g atau kkal/kg) Kandungan nilai kalor total batubara adalah kandungan panas pada batubara yang dihasilkan dari pembakaran setiap satuan berat dalam jumlah kondisi oksigen standar.

b. Kadar kelembaban (Moisture, satuan persen berat) Hasil analisis untuk kelembaban terbagi menjadi free moisture (FM) dan inherent moisture (IM). Adapun jumlah dari keduanya disebut dengan total moisture (TM). Kadar kelembaban mempengaruhi jumlah pemakaian udara primernya. Batubara berkadar kelembaban tinggi akan membutuhkan udara primer lebih banyak untuk mengeringkan batubara tersebut pada suhu yang ditetapkan oleh output pulveriser. c. Zat terbang (Volatile Matter atau VM, satuan persen berat) Kandungan VM mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas api. Penilaian tersebut didasarkan pada rasio atau perbandingan antara kandungan karbon (fixed carbon) dengan zat terbang, yang disebut dengan rasio bahan bakar (fuel ratio). Semakin tinggi nilai fuel ratio maka jumlah karbon di dalam batubara yang tidak terbakar juga semakin banyak. Jika perbandingan tersebut nilainya lebih dari 1.2, maka pengapian akan kurang bagus sehingga mengakibatkan kecepatan pembakaran menurun. d. Kadar abu (Ash content, satuan persen berat) Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar dan daerah konversi dalam bentuk abu terbang (fly ash) yang jumlahnya mencapai 80 persen dan abu dasar sebanyak 20 persen. Semakin tinggi kadar abu, secara umum akan mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling), keausan, dan korosi peralatan yang dilalui .

e. Kadar karbon (Fixed Carbon atau FC, satuan persen berat) Nilai kadar karbon diperoleh melalui pengurangan angka 100 dengan jumlah kadar air (kelembaban), kadar abu, dan jumlah zat terbang. Nilai ini semakin bertambah seiring dengan tingkat pembatubaraan. Kadar karbon dan jumlah zat terbang digunakan sebagai perhitungan untuk menilai kualitas bahan bakar, yaitu berupa nilai fuel ratio sebagaimana dijelaskan di atas. f. Kadar sulfur (Sulfur content, satuan persen berat) Kandungan sulfur dalam batubara terbagi dalam pyritic sulfur, sulfate sulfur, dan organic sulfur. Namun secara umum, penilaian kandungan sulfur dalam batubara dinyatakan dalam Total Sulfur (TS). Kandungan sulfur berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin yang terjadi pada elemen pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih rendah dari pada titik embun sulfur, di samping berpengaruh terhadap efektivitas penangkapan abu pada peralatan electrostatic precipitator. g. Ukuran (Coal size) Ukuran butir batubara dibatasi pada rentang butir halus (pulverized coal ataudust coal) dan butir kasar (lump coal). Butir paling halus untuk ukuran maksimum 3 milimeter, sedangkan butir paling kasar sampai dengan ukuran 50 milimeter. h. Tingkat ketergerusan (Hardgrove Grindability Index atau HGI) Kinerja pulveriser atau mill dirancang pada nilai HGI tertentu. Untuk HGI lebih rendah, kapasitasnya harus beroperasi lebih rendah dari

nilai standarnya pula untuk menghasilkan tingkat kehalusan (fineness) yang sama (Anonim5, 2008).

Anda mungkin juga menyukai