Anda di halaman 1dari 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Crohn Disease Crohns Disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel Diseases (IBD), yaitu penyakit peradangan granulomatosa kronik yang mengenai traktus gastrointestinal, mulai dari mulut hingga anus. Namun, lebih sering mengenai bagian ileum terminalis sampai colon bagian awal. Peradangan ini mencakup seluruh bagian dinding usus dari superficial hingga profundal (CCFA, 2013).

B. Anatomi Histologi normal Ileum Sistem digestorium terbentang dari mulut hingga anus. Ileum adalah bagian dari intestinum tenue (usus halus), setelah duodenum dan jejunum. Ileum adalah sebuah saluran yang befungsi untuk pencernaan makanan, absorpsi zat makanan, cairan dan elektrolit (Snell, 2004).

Gambar 1. Anatomi dan Histologi Ileum Secara histologis dinding ileum terdiri dari 4 lapisan, yaitu tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Tunika mukosa ileum melipat ke lumen dan membentuk struktur vili yang tinggi dan banyak mengandung sel goblet. Di antara vili-vili terbentuk Kripte Lieberkuhn, yang di dasarnya terdapat kelenjar intestinal atau Sel Paneth

Gambar 2. Histologi Ileum C. Anatomi Histologi Ileum pada Crohn Disease (Patologi)

Gambar 3. Makroskopis Crohns Disease Gambaran makroskopis Crohns disease di atas menunjukkan bagian tengah dengan penebalan dinding dan mukosa kehilangan lipatanlipatan mukosanya. Permukaan serosa tampak jaringan lemak kemerahan dan mengeras. Tampak gambaran Cobblestone Appearance. Salah satu komplikasi Crohns disease adalah pembentukan fistula. Tampak fisura meluas dari mukosa menuju submukosa sampai muskularis. Fistula dapat terbentuk antara usus dengan usus, kandung kemih dan kulit. Bila mengenai usus besar dapat terjadi fistula peri-rektal.

Gambar 4. Mikroskopis Crohns Disease D. Etiologi Penyebab pasti belum diketahui, namun beberapa ahli menduga banyak faktor risiko yang dapat menyebakan Crohns disease seperti genetik, mikroba, imunologis, lingkungan, diet, vaskular dan faktor psikososial seperti merokok, penggunaan kontrasepsi oral dan penggunaan Non steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) (Thoreson, 2007). Pada bidang genetika telah ditemukan pada kromosom 16 (IBD gen) yang diidentifikasi sebagai gen penyebab Crohns disease, yaitu
3

NOD2 gene (CARD15). Gen ini terlibat dalam system imunitas tubuh manusia. Penelitian di Jerman dan Norwegia mengemukakan bahwa orang yang memiliki gen alel CARD15 lebih berisiko terkena penyakit pada ileum dan colon (Hampe et al, 2002).

E. Patogenesis dan Patofisiologi (Ghazi et al, 2013) NSAID mikroba antigen APC TH 1 Sitokin pro inflamasi (IL12 & TNF ) Genetik Integritas barrier epitel abnormal Defisiensi reseptor imun innate Maslah diferensiasi limfosit Asam arachidonat, protease, platelet activating factor, radikal bebas Intestinal Injury Inflamasi kripte Granuloma non kaseosa inflamasi transmural Ulserasi mukosa superficial profunda Fistula (enteroenteral, enterovesica, enterovagina, enterocutan rokok diet

Ulkus + agregasi limfoid red spot + mukosa depresi Cobblestone Appearance


4

Edema dinding usus menebal , lumen menyempit Ileus obstruksi

Inflamasi kronik yang disebabkan oleh aktivasi Sel T merupakan pathogenesis dari Crohns disease. Zat yang menyebabkan inflamasi seperti mikroba, virus, rokok dan dari diet akan dianggap sebagai antigen dan dibawa oleh Antigen Presenting Cell (APC) menuju ke sel T helper 1. Sel T helper akan mengeluarkan sitokin sitokin pro inflamasi seperti (IL1 & TNF ) yang akan merangsang pengeluaran asam arachidonat, protease dan radikal bebas secara local di bagian ileum terminal (Ghazi et al, 2013) Pada beberapa orang yang secara genetik sudah diturunkan gen CARD 15, bagian ileum dan colon lebih rentan terjadi injury, selanjutnya akan terjadi inflamasi pada bagian kripte yang berupa inflamasi granulomatosa. Inflamasi dengan infiltrasi sel limfoid akan meluas ke seluruh dinding intestinal, mesentrium dan limfa nodi regional, inflamasi ini disebut inflamasi transmural (Ghazi et al, 2013) Inflamasi kronik akan menyebabkan terjadinya ulserasi di mukosa superficial dan berlanjut ke profunda sehingga terbentuk ulkus, fisura dan meluas sampai lapisan submukosa, muskularis bahkan sampai menembus dinding luar intestinal sebagai fistula (Ghazi et al, 2013) Pada kasus lanjut mukosa mempunyai penampilan coblestone appearance. Hal ini terjadi akibat ulkus superficial mukosa bergabung

dengan agregasi sel-sel limfoid sehingga menimbulkan titik merah dan lapisan yang bergelombang pada dinding intestinal (Ghazi et al, 2013)

F. Penegakkan Diagnosis Diagnosis Crohn Disease ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang didapat berikut ini : 1. Anamnesis Pasien paling banyak mengeluhkan sakit perut dan diare berkepanjangan yang kadang disertai darah, selain itu keluhan yang sering timbul adalah (Wilkins, 2011) : a. Demam b. Malaise c. Mual muntah d. Berat badan turun e. Depresi dan cemas f. Konstipasi dan obstipasi 2. Pemeriksaan Fisik a) Tanda vital : normal, kadang takikardi dan demam b) Gastrointestinal : nyeri tekan abdomen, pada pemeriksaan rektal dapat ditemukan fistula, ulkus, abses, tonus sphincter abnormal, mukosa rektal abnormal, hematochezia

c) Genitourinary : ditemukan fistula, abses dan ulkus pada region perianal d) Dermatologi : ulkus mukokutan, eritema nodosum, pioderma 3. Pemeriksaan Penunjang a) Laboratorium Darah lengkap : anemia, leukositosis Elektrolit : hipoalbumin, penurunan serum Fe, Inflammatory marker : CRP meningkat Serologi : Antibodi sacromyces , antibody eschericia coli

b) Radiologi 1) Foto polos abdomen Foto polos abdomen merupakan tes yang tidak spesifik untuk melihat inflamasi pada saluran cerna. Namun,

pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada penderita Crohn Disease dengan eksaserbasi akut. Dapat ditemukan obstruksi, perforasi ataupun distensi colon (Panes et al, 2011). 2) Barium Kontras Barium enema adalah tindakan non invasif yang biasanya digunakan untuk mengevaluasi adanya pseudodivertikel, fistula, dan panjang striktur pada colon. Namun, tindakan ini kontraindikasi jika diketahui terdapat perforasi. Walaupun pada masa lalu barium kontras adalah pemeriksaan penunjang pilihan untuk Crohn Disease , kini sudah mulai ditinggalkan (Panes et al, 2011).
7

Pada pemeriksaan radiografi ditemukan edema dan ulserasi pada mukosa intestinal yang ditunjukkan dengan penebalan dan distorsi dari intestinal. Cobblestone appearance terlihat sebagai ulkus dalam yang berbentuk transversal maupun longitudinal (Panes et al, 2011).

Gambar 5. Cobblestone Appearance

Gambar 6. Ulsearasi, inflamasi dan penyempitan pada colon ascendens pada Crohns Disease

Gambar 7. Fistula Enterocolon 3) CT enterografi Pada pemeriksaan CT enterografi dapat dinilai

penebalan dinding intestinal, obstruksi, edema mesentrium, abses dan adanya fistula. CT enterografi lebih sensitif ketimbang pemeriksaan barium kontras (Kidd et al, 2000).

Gambar 8. Inflamasi intestinal pada Crohns Disease 4) Colonoskopi dan Endoskopi Colonoskopi dinilai lebih sensitif dan spesifik sebagai alat untuk diagnosis dan manajemen yang dicurigai mengalami inflamasi saluran cerna bagian bawah. Prosedur ini dapat diambil biopsi jaringan, untuk menilai lesi dan dibandingkan dengan yang lain (Wilkins et al, 2011).

Endoskopi dengan biopsi dapat membantu diagnosis Crohns Disease yang disebabkan oleh NSAID, bakteri Helicobacter pylori atau dari jamur dan virus lain (Leighton et al, 2006).

5) Biopsi jaringan Hasil patologi anatomi dari biopsi jaringan menunjukkan inflamasi transmural dimana infiltrasi oleh sel limfoid ke seluruh dinding intestinal yang menimbulkan granuloma non kaseosa. Definisi dari granuloma dalah kumpulan sel monosit atau makrofag dan sel inflamasi lain, dengan atau tanpa Giant Cell (Ghazi et al, 2013).

Gambar 9. Mikroskopis Crohns Disease G. TERAPI Tujuan umum dari pengobatan Crohns Disease yang pertama adalah mendapatkan hasil perbaikan klinis, laboratorium dan histologis

10

yang terbaik untuk mengontrol inflamasi dengan efek samping yang minimal. Kedua, membuat pasien dapat beraktivitas senormal mungkin dan yang ketiga adalah agar anak-anak dapat tumbuh dan mendapatkan nutrisi yang adekuat. Berikut beberapa terapi pilihan untuk Crohns Disease (Ghazi et al, 2013).

1. Farmakoterapi a. Antidiare : loperamid, difenoksilate. Pada pasien dengan Crohns disease terjadi inflamasi dinding usus yang menyebabkan tidak dapat mengabsorbsi cairan secara normal. Antidiare seperti difenoksilat dan loperamid bekerja dengan cara memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus (Robinson, 1997). Dosis pemberian loperamide 2-4mg diberikan sampai 4x sehari, difenoksilat 40-60 mg / hari. Obat dapat diberikan sampai diare berhenti (Ghazi et al, 2013). b. Derivate agen asam 5-aminosalisilat (5-ASA) : sulfasalazine, mesalamine, balsalazide) Pengobatan dengan menggunakan 5-ASA adalah pilihan pertama untuk pasien Crohns Disease. 5-ASA bekerja sebagai agen anti inflamasi. Obat ini dapat terus digunakan setelah

11

tindakan pembedahan untuk mencegah terjadinya inflamasi ulang (Lim, 2010). Dosis pemberian mesalamin 800 mg, diberikan 3x sehari. Penggunaan derivate 5-ASA ini pada prinsipnya dalah pengobatan jangka panjang untuk mencegah kambuhnya peradangan (Lim, 2010).

c. Kortikosteroid : prednisone, metilprednisolon, budesonide Crohns disease dengan gejala sistemik sedang sampai berat seperti timbul demam, mual-muntah, dan berat badan turun, dapat menggunakan kortikosteroid. Prednisone biasa digunakan pada inflamasi akut tanpa tanda-tanda infeksi. Dosis pemberian prednisone adalah 40-60 mg/ hari Budenoside menginduksi perbaikan sel-sel pada daerah inflamasi. Kombinasi antara kortikosteroid metronidazole dan lebih antibiotik seperti ciprofloxaxin atau

menguntungkan

dibanding

penggunaan

tunggal (Ford et al, 2011) Pada prinsipnya penggunan kortikosteroid hanya untuk pasien dengan gejala sedang sampai berat. Kortikosteroid tidak diindikasikan untuk pengobatan jangka panjang. Jika kondisi pasien membaik, kortikosteroid dihentikan (Ford et al, 2011). d. Agen imunosupresan: mercaptopurin, methotrexat (6-MP)

12

Apabila penggunaan kortikosteroid tidak menimbulkan perbaikan, dapat digunakan agen imunosupresan. Azathioprine dengan bahan aktif metabolit 6-MP dapat digunakan dengan catatan dalam pengawasan 3-6 bulan. 6-MP bekerja dengan cara menekan pembentukan sel-sel imun yang dalam jangka waktu lama dapat mensupresi sumsum tulang (Turner, 2007). Dosis pemberian methotrexate adalah 25mg/minggu dan diberikan selama 4 bulan kemudian dievaluasi kembali (Mcdonald, 2012). 2. Pengobatan biologis Pengobatan secara biologis pada Crohns Disease yaitu dengan cara memberikan antibodi monoklonal (anti-TNF-antibodi) seperti ; Infliximab, Adalimumab, Natalizumab . a. Infliximab Infliximab adalah antibodi monoclonal yang merupakan antagonis TNF. Bekerja pada permukaan sel makrofag dan sel T, menghambat pembentukan TNF (Lichteinstein, 2006). Dosis pemberian 3-10 mg/kg/ hari, dapat diberikan sampai 6 tahun lamanya dan dilihat perbaikan klinis pasien (DHaens, 2011). b. Adalimumab Adalimumab adalah antibodi monoclonal immunoglobulin

rekombinan (igG1) yang cara kerjanya mengikat dengan afinitas yang kuat dengan TNF (Peyrin, 2007).

13

Dosis pemberian 160 mg/hari, ditrunkan menjadi 80mg/hari pada minggu ke 2, diturunkan lagi menjadi 40 mg/hari pada minggu selanjutnya (DHaens, 2011). c. Natalizumab Natalizumab adalah antibodi monoclonal yang bekerja melawan alpha4 integrin yang menghambat adhesi dan migrasi leukosit ke area inflamasi (Sandborn et al, 2005). Dosis pemberian natalizumab adalah 300mg setiap 4 minggu sekali selama 1 tahun, kemudian di evaluasi kembali (Sandborn et al, 2005). 3. Tindakan pembedahan Pada prinsipnya tindakan pembedahan pada Crohns Disease tidak dapat menyembuhkan, namun berikut adalah keadaan-keadaan yang direkomendasikan untuk dilakukan pembedahan pada Crohns Disease (ASCRS, 2007) : a. b. c. d. e. f. g. Gagal pengobatan : tidak ada perubahan secara klinis Komplikasi : abses, fistula Obstruksi : striktur colon Inflamasi : kolitis, peritonitis Hemoragik : perdarahan intra abdomen Perforasi Neoplasia
14

h.

Hambatan tumbuh kembang

Intervensi pembedahan pada ileum terminal, ileocolon, dan colon dapat dilakukan (ASCRS, 2007) : a. Reseksi bagian intestinal yang terkena inflamasi Tindakan pembedahan untuk membuang bagian intestinal yang terkena inflamasi. Sebelumnya didahului dengan pemeriksaan biopsi jaringan, untuk mengetahui daerah yang inflamasi.

15

Gambar 10. Reseksi Ileum, Ileocolon dan Colon

b. Ileostomi Ileostomi berasal dari kata Ileum dan Stoma yang artinya adalah tindakan operasi membuat mulut buatan di bagian ileum , untuk membuang zat sisa tubuh, dikarenakan bagian distal ileum tidak dapat bekerja normal (Cima, 2010).

16

Gambar 11. c. Strikturplasti Strikturplasti adalah tindakan bedah yang dilakukan untuk mengatasi jaringan parut yang terbentuk pada dinding intestinal akibat kondisi inflamasi kronik pada Crohns Disease. Jaringan parut menyebabkan striktur (penyempitan lumen intestinal). Striktur dapat menyebabkan isi lumen masuk ke dalam ulkus dan fisura yang dapat memperburuk peradangan pada Crohns Disease. Tindakan strikturplasti yaitu membuat pasase intestinal lancar tanpa membuang segmen menyempit (reseksi usus). Segmen usus yang menyempit diinsisi kemudian dilebarkan dengan membuat potongan memanjang sepanjang satu sisi usus, kemudian dijahit (Jobanputra, 2007).

Gambar 12. Strikturplasti

17

d. Dilatasi Balon Endoskopi Dilatasi Balon Endoskopi adalah pilihan terapi non bedah untuk penanganan striktur pada Crohns Disease. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah risiko perforasi dan striktur rekurens. Striktur didefinisikan sebagai penyempitan yang menghalangi pasase usus sebesar 14 mm atau kurang. Teknik ini dilakukan melalui colonoskopi, mencari bagian yang striktur kemudian dilakukan dilatasi melalui balon-endoskopi. Antibiotic diberikan selama pengerjaan dan 7 hari setelah tindakan (Ajlouni, 2007).

Gambar 13. Dilatasi Balon Endoskopi

18

e. Manajemen Fistula Komplikasi dari Crohns Disease adalah terjadinya fistula. Fistula dapat terjadi antara intestinal (ileoileal, ileocecal, ileosigmoid, enterovesica, enterocutaneus, cologastric,

coloduodenal) (Strong, 2007). Tindakan pertama yang dilakukan adalah mencegah dan mengatasi infeksi atau dengan menggunakan antibiotik seperti

metronidazole

ciprofloxaxin.

Kemudian

memperbaiki

keseimbangan cairan dan elektrolit, mengusahakan perbaikan gizi serta merawat kulit di sekitar fistel (Sjamsuhidajat, 2003). Keputusan diambilnya tindakan bedah ditunggu sekurangkurangnya 3-4 minggu. Fistula dapat terjadi penutupan spontan biasanya sekitar minggu keempat. Bila setelah itu fistula masih tetap ada, penanganan sepsis sudah dilakukan cukup baik, maka tindakan bedah harus segera dilakukan (Sjamsuhidajat, 2003).

H. PROGNOSIS Prognosis Crohns Disease dikarakteristikkan dalam periode perbaikan dan kekambuhan. Pada tahun pertama setelah diagnosis, angka kekambuhan mencapai 50% dengan 10% masuk kategori kronik. 5 tahun
19

setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah 49%. 10 tahun setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah 62%. 15 tahun setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah mencapai 70% (Munkohlm, 2003).

BAB III KESIMPULAN

1. Crohns Disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel Diseases (IBD), yaitu penyakit peradangan granulomatosa kronik yang mengenai traktus gastrointestinal. 2. Pasien paling banyak mengeluhkan sakit perut dan diare berkepanjangan yang kadang disertai darah, selain itu keluhan yang sering timbul adalah demam, malaise, mual muntah, berat badan turun, konstipasi dan obstipasi 3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan fistula, ulkus, abses pada abdomen disertai nyeri tekan abdomen. 4. Pemeriksaan penunjang dapat digunakan foto polos abdomen, barium kontras, CT enterografi, colonoskopi, endoskopi dan biopsi jaringan, 5. Penatalaksanaan dibagia menjadi tiga, yaitu farmakoterapi, agen biologis dan intervensi pembedahan.

20

6. Farmakoterapi dapat menggunakan antidiare, antibiotic, anti inflamasi, kortikosteroid dan imunosupresan 7. Antibodi monoclonal menggunakan infliximab, adalimumab, dan

natalizumab 8. Berbagai intervensi bedah yang dapat digunakan yaitu, reseksi intestinal, ileostomi, strikturplasti, dilatasi balon endoskopi dan manajemen fistula.

21

DAFTAR PUSTAKA

Ajlouni, Y. Iser, J.H and Gibson, P.R. Endoscopic balloon dilatation of intestinal strictures in Crohns Disease : safe alternative to surgery . J Gastroenterol Hepatol. Melbourne, Australia. 2007 Apr;22(4):486-90 ASCRS (The American Society of Colon and Rectal Surgeons) ; Strong SA, Koltun WA, Hyman NH, Buie WD, for the Standards Practice Task Force Practice parameters for the surgical management of Crohns disease. Dis Colon Rectum. 2007;50(11):1735-46. CCFA (Crohns and Colitis Foundation of America). What Is Crohns Disease?. Available at URL : http://www.ccfa.org/what-are-crohns-and-colitis/whatis-crohns-disease/ .accessed : 30 May 2013. Cima RR, Pemberton JH. Ileostomy, colostomy, and pouches. In: Feldman M, Friedman LS, Sleisenger MH, eds. Sleisenger & Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2010:chap 113. DHaens G, Panaccione R, Higgins P, et al. The London Position Statement of the World Congress of Gastroenterology on Biological Therapy for IBD with the European Crohns and Colitis Organization: When to start, when to stop, which drug to choose, and how to predict response? Am J Gastroenterol. 2011;106:199-212. Duerr RH. Update on the genetics of inflammatory bowel disease. J Clin Gastroenterol. Nov-Dec 2003;37(5):358-67. Economou M, Zambeli E, Michopoulos S. Incidence and prevalence of Crohn's disease and its etiological influences. Ann Gastroenterol. 2009;22(3):15867. Available at http://www.annalsgastro.gr/index.php/annalsgastro /article/view/743. Accessed December 11, 2012 Farmer RG, Hawk WA, Turnbull RB Jr. Clinical patterns in Crohn's disease: a statistical study of 615 cases. Gastroenterology. Apr 1975;68(4 Pt 1):62735. Ford AC, Bernstein CN, Khan KJ, Abreu MT, Marshall JK, Talley NJ, et al. Glucocorticosteroid therapy in inflammatory bowel disease: systematic review and meta-analysis. Am J Gastroenterol. Apr 2011;106(4):590-9. Ghazi, L.J. Katz, J. Anand,B.S Balasundaram, P. Coash, M.L. Nachimutu, S. Qureshi, W.A. Rangasamy, P. Raynor, K.M. Talavera F. George, Y.W. 2013. Crohn Disease. Medscape Reference. 25 March 2013

22

Hampe J, Grebe J, Nikolaus S, Solberg C, Croucher PJ, Mascheretti S, et al. Association of NOD2 (CARD 15) genotype with clinical course of Crohn's disease: a cohort study. Lancet. May 11 2002;359(9318):1661-5. Jobanputra, S. and Weiss, E.G. Strictureplasty. Clin Colon Rectal Surg. New York, USA. 2007. 20:294-302 Kidd R, Mezwa DG, Ralls PW, Balfe DM, Bree RL, DiSantis DJ, et al. Imaging recommendations for patients with newly suspected Crohn's disease, and in patients with known Crohn's disease and acute exacerbation or suspected complications. American College of Radiology. ACR Appropriateness Criteria. Radiology. Jun 2000;215 Suppl:181-92. Leighton JA, Shen B, Baron TH, Adler DG, Davila R, Egan JV, et al. ASGE guideline: endoscopy in the diagnosis and treatment of inflammatory bowel disease. Gastrointest Endosc. Apr 2006;63(4):558-65. Lichtenstein GR, Abreu MT, Cohen R, Tremaine W. American Gastroenterological Association Institute medical position statement on corticosteroids, immunomodulators, and infliximab in inflammatory bowel disease. Gastroenterology. Mar 2006;130(3):935-9. Lim WC, Hanauer S. Aminosalicylates for induction of remission or response in Crohn's disease. Cochrane Database Syst Rev. Dec 8 2010;CD008870. Loftus EV Jr, Silverstein MD, Sandborn WJ, Tremaine WJ, Harmsen WS, Zinsmeister AR. Crohn's disease in Olmsted County, Minnesota, 1940-1993: incidence, prevalence, and survival. Gastroenterology. Jun 1998;114(6):1161-8. Loftus EV Jr. Clinical epidemiology of inflammatory bowel disease: Incidence, prevalence, and environmental influences. Gastroenterology. May 2004;126(6):1504-17. Lovasz BD, Golovics PA, Vegh Z, Lakatos PL. New trends in inflammatory bowel disease epidemiology and disease course in Eastern Europe. Dig Liver Dis. Sep 22 2012. Mcdonald, JWD, Tsoulis DJ, Macdonald JK and Feagan BG. Methotrexate for Induction of Remission Refractory Crohns Disease. Cochrane Database of Systematic Reviews. Published by JohnWiley & Sons, Ltd. 27 June 2012 Munkholm P, Langholz E, Davidsen M, Binder V. Intestinal cancer risk and mortality in patients with Crohn's disease. Gastroenterology. Dec 2003;105(6):1716-23. Pans J, Bouzas R, Chaparro M, Garca-Snchez V, Gisbert JP, Martnez de Guereu B, et al. Systematic review: the use of ultrasonography, computed tomography and magnetic resonance imaging for the diagnosis, assessment
23

of activity and abdominal complications of Crohn's disease. Aliment Pharmacol Ther. Jul 2011;34(2):125-45. Peyrin-Biroulet L, Laclotte C, Bigard MA. Adalimumab maintenance therapy for Crohn's disease with intolerance or lost response to infliximab: an openlabel study. Aliment Pharmacol Ther. Mar 15 2007;25(6):675-80. Robinson M. Optimizing therapy for inflammatory bowel disease. Am J Gastroenterol. Dec 1997;92(12 suppl):12S-17S. Sandborn WJ, Colombel JF, Enns R, Feagan BG, Hanauer SB, Lawrance IC, et al. Natalizumab induction and maintenance therapy for Crohn's disease. N Engl J Med. Nov 3 2005;353(18):1912-25. Sjamsuhidajat, R. dan de Jong, Wim. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Jakarta : EGC Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Untuk mahasiswa Kedokteran . Jakarta: EGC Strong SA, Koltun WA, Hyman NH, Buie WD. Practice parameters for the surgical management of Crohn's disease. Dis Colon Rectum. Nov 2007;50(11):1735-46. Thoreson R, Cullen JJ. Pathophysiology of inflammatory bowel disease: an overview. Surg Clin North Am. Jun 2007;87(3):575-85. Turner D, Grossman AB, Rosh J, et al. Methotrexate following unsuccessful thiopurine therapy in pediatric Crohn's disease. Am J Gastroenterol. Dec 2007;102(12):2804-12 quiz 2803, 2813. Wilkins T, Jarvis K, Patel J. Diagnosis and management of Crohn's disease. Am Fam Physician. Dec 15 2011;84(12):1365-75

24

Anda mungkin juga menyukai