Anda di halaman 1dari 13

TUGAS SEMINAR KELOMPOK ETIK DAN HUKUM KEPERAWATAN

CALISTUNG SALAH SATU PENYEBAB MENTAL HECTIC PADA ANAK

KELOMPOK 1 1. SHANTI ROSMAHARANI 2. YENI SURYANINGSIH 3. DHITA KURNIA SARI 4. RINDAYATI 5. ABDUL ROKHMAN 6. NURUL MAWADDAH 7. NANIK SETYORINI

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013

BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Banyak sekali pro kontra yang terjadi tentang membaca, menulis dan berhitung untuk anak usia dini, anak usia dini terutama anak yang berusia dibawah 7 tahun atau tepatnya yang sedang berada pada masa pra sekolah tidak diwajibkan untuk membaca, menulis dan berhitung (detikcom, 19 September 2013)

Dari berbagai penelitian calistung (membaca, menulis, dan berhitung) akan membuat anak stress dan merasa terbebani, karena membaca, menulis , berhitung memang belum saatnya menjadi materi yang harus dipelajari anak-anak. Pihak sekolah pada pendidikan anak usia dini seharusnya memberikan pemahaman pada para orangtua bahwa pihak sekolahnya belum mengajarkan baca, tulis dan hitung kepada anak di usia yang sangat dini. Namun masalahnya, para orangtua tetap saja ngotot dan terus meminta anaknya agar diajari membaca, menulis dan berhitung dengan alasan karena hampir semua sekolah dasar

mewajibkan anak kelas 1 (satu) yang baru mendaftar harus sudah bisa membaca, menulis dan berhitung dan ada persyaratan tes untuk masuk ke Sekolah Dasar tersebut. Padahal sudah jelas disebutkan terutama pasal 69 dan 70, dalam pasal tersebut antara lain disebutkan proses penerimaan murid baru untuk SD dan MI. Proses tersebut di antaranya bahwa SD dan MI tidak diperbolehkan mengadakan tes membaca, menulis dan berhitung (calistung) dan bentuk tes lain untuk penerimaan murid baru.

Tidak pernah diketahui secara pasti dari mana asal-usul bahwa setiap sekolah dasar mewajibkan siswa baru kelas satunya bisa calistung (membaca, menulis dan berhitung). Padahal jika kita bandingkan dengan pendidikan - pendidikan anak usia dini yang ada di negara - negara maju, sama sekali tidak ada kewajiban semacam ini. Program untuk anak usia dini mayoritas adalah bermain. Karena bermain, bagi anak-anak, sama dengan belajar. Mereka baru diperkenalkan membaca, menulis dan berhitung pada kelas tiga sekolah dasar (Elementary). Anak usia dini baru bisa memfokuskan organ visualnya pada objek tiga dimensi, oleh karenanya, alat-alat pembelajaran anak usia dini yang baik adalah berbentuk tiga dimensi.

Apabila anak usia dini dipaksa untuk belajar membaca, menulis dan berhitung yang pada umumnya menggunakan objek dua dimensi atau tulisan di papan tulis, maka si anak akan mengalami gangguan organ visual pada usia yang lebih muda. Calistung ini juga bisa menyebabkan anak memiliki mental hectic yaitu keributan/ kekacauan mental. Mental Hectic adalah suatu kondisi yang kemungkinan dapat terjadi pada balita kalau mereka terlalu dini diajari membaca, menulis dan berhitung Trend yang terjadi sekarang banyak sekolah di Taman Kanak-Kanak (TK) atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) diajarin calistung. Bahkan TK yang mengajarkan segala macam program calistung dianggap sebagai TK unggul dan mengenakan biaya sekolah yang tinggi. Para orangtua berlomba-lomba bahkan bangga kalau anak balitanya di sekolahkan di TK semacam itu. Direktur PAUD Ditjen PNFI Kemendiknas sebagaimana dikutip oleh Republika.co.id, penyakit mental hectic akan merasuki anak anak tersebut di saat kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar (SD). Kalau anak balita udah diajari calistung waktu TK atau PAUD, maka hal itu bisa menghambat pertumbuhan kecerdasan mental, bahkan bisa jadi pemberontak. Di sekolahsekolah yang ada di Negara maju tidak menekankan pada aspek membaca, menulis dan berhitung, melainkan lebih menekankan pada aspek pengembangan kreativitas dan kemampuan berpikir/ nalar anak. Menurut penelitian ilmiah, secara global kemampuan otak manusia yang berkaitan dengan pembelajaran terbagi menjadi tiga hal besar. Pertama adalah kemampuan kreatif, kedua adalah kemampuan berfikir / nalar, dan ketiga adalah kemampuan mengingat. Dari ketiga kemampuan ini, kemampuan mengingat merupakan kemampuan alami yang berifat pelengkap, sementara kemampuan kreatif dan berfikir merupakan kemampuan utama dan vital yang akan membantu anak untuk mencapai sukses di kehidupannya kelak. Keberhasilan hidup seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuan kreatif dan berfikirnya ketimbang kemampuan mengingatnya, atau dengan kata lain kemampuan mengingat (short term memory) hanya sebagai pelengkap. Sistem pendidikan kita malah sebaliknya, sejak usia dini anak-anak sudah dipaksa untuk bisa membaca menulis dan berhitung, yang sesungguhnya hanyalah sebuah proses untuk mengembangkan kemampuan mengingat jangka pendek anak (short term memory learning). Proses ini akan berlanjut hingga dewasa mereka terus diajar dan diuji berdasarkan kemampuan mengingatnya dan bukan kemampuan kreatif atau nalarnya. Dari fenomena itulah kami tertarik untuk mengangkat trend dan issue terkait pengaruh calistung terhadap perkembangan mental hectic pada anak.

2. TUJUAN Tujuan Umum Mengidentifikasi calistung pada anak usia dini terhadap mental hectic dari segi etik dan hukum.

3. MANFAAT a. Orangtua Memberikan gambaran yang konkret tentang pengaruh membaca, menulis dan berhitung (calistung) terhadap perkembangan mental hectic pada anak b. Sekolah Pihak sekolah mengetahui efek buruk dari membaca, menulis dan berhitung (calistung) pada anak usia dini c. Anak Perkembangan mental anak akan lebih optimal tanpa harus terbebani dengan sesuatu yang mereka tidak mampu serta kemampuan kreatif dan berpikir akan menjadi lebih berkembang

BAB II KASUS HUKUM DAN ETIK Berita dari detikcom tanggal 19 September 2013 Tn. G pusing gara-gara anaknya gagal masuk Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) dekat dengan rumahnya di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan. Untuk masuk ke sekolah pelat merah itu, anaknya harus menghadapi tes baca-tulis-hitung (calistung) yang tak diajarkan di TK anaknya. Peraturan Pemerintah (PP) juga tak mensyaratkan calistung untuk masuk SD/MIN. Kekecewaan ini didapatnya saat mendapati hasil ujian masuk di MIN itu yang diumumkan Senin (4/6/2012) kemarin. "Ada banyak, ada belasan anak dari TK anakku yang tidak masuk karena memang dari TK-nya tidak diajari baca-tulis-hitung," kata Tn. G dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (5/6/2012). Tn.G jengkel bukan tanpa dasar. Dia sudah mencari peraturan yang mengatur tentang masuk sekolah, utamanya SD atau MI negeri milik pemerintah. PP 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. "Terutama pasal 69 dan 70. Dalam pasal tersebut antara lain disebutkan proses penerimaan murid baru untuk SD dan MI. Proses tersebut di antaranya bahwa SD dan MI tidak diperbolehkan mengadakan tes baca-tulisberhitung (calistung) dan bentuk tes lain untuk penerimaan murid baru, pada pasal 69 ayat 5," jelas Gatot. Berikut sebagian bunyi PP 17 tahun 2010 itu yang ditelusuri detikcom: Pasal 69 (5) Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain. Pasal 70 (1) Dalam hal jumlah calon peserta didik melebihi daya tampung satuan pendidikan, maka pemilihan peserta didik pada SD/MI berdasarkan pada usia calon peserta didik dengan prioritas dari yang paling tua. (2) Jika usia calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama, maka penentuan peserta didik didasarkan pada jarak tempat tinggal calon peserta didik yang paling dekat dengan satuan pendidikan. (3) Jika usia dan/atau jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sama, maka peserta didik yang mendaftar lebih awal diprioritaskan. Tn.G gusar karena PP itu ternyata tidak dijalankan oleh satuan penyelenggara pendidikan itu. "Dalam pengumuman terpampang dengan jelas bahwa pendaftar yang lulus adalah pendaftar yang mempunyai skor tertinggi pada tes baca-tulis-hitung yang diadakan pada 28 April lalu," jelas dia. Menurut guru penanggung jawab proses penerimaan murid baru, imbuhnya, sebelum tes ini mereka telah melakukan seleksi berdasarkan umur dan

tempat tinggal. Namun karena alasan jumlah pendaftar melebihi kapasitas dan untuk menjaga mutu sekolah, maka diadakan tes. Mereka mengacu pada Keputusan Kanwil Kementerian Agama Prov DKI Jakarta no: KW.09.4/1/HK.005/ /2012 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Peserta Murid Baru di lingkungan Kanwil Agama Provinsi DKI Jakarta tahun 2012/2013. Terutama pasal 9 dan 10. "Sekolah ini tidak mengadakan proses akhir berupa prioritas pendaftar lebih dahulu. Sungguh aneh, bagaimana mungkin petunjuk teknis tersebut bertentangan dengan aturan di atasnya yang sudah sangat jelas?" gugat Gatot. Dia sudah menyurati Kemendikbud atas hal ini, namun tak ada balasan. Tn.G disuruh bertanya kepada Kemenag yang membawahi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MI). Dari kasus diatas jika dilihat dari segi hukum memang sudah ada peraturan pemerintah yang cukup jelas untuk melarang mengadakan tes calistung pada anak yang akan masuk sekolah dasar, tetapi pada kenyataannya memang masih banyak sekolah dasar yang mewajibkan tes calistung ini jika ingin masuk sekolah dasar. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor dari pemerintah sendiri masih hanya sebatas membuat peraturan saja tapi untuk pelaksanaan peraturan tersebut masih kurang pengawasan ditandai dengan masih adanya sekolah dasar yang tetap mengadakan tes calistung bagi calon siswanya. Ini menunjukkan bahwa sistem regulasi hukum di Indonesia belum terintegrasi dengan baik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Memang sistem pendidikan di Indonesia lebih banyak berorientasi pada nilai-nilai akademik saja sedangkan nilai moral dalam pembelajaran justru sangat sedikit dinilai. Terbukti dari hasil evaluasi akhir pembelajaran yang ditanyakan orang tua adalah bagaimana nilai rapormu? dan bukan bagaimana kamu memperoleh nilai rapormu? yang lebih berorientasi pada proses. Kemudian dari faktor orang tua anak juga masih banyak yang menuntut anaknya ketika masih duduk di taman kanak-kanak harus bisa membaca, menulis dan berhitung. Kemampuan ini hanya memperdalam Short Term Memory Learning sedangkan aspek kreatifitas dan nalar anak tidak berkembang. Ini berbahaya karena akan membentuk perilaku mental hectic pada anak. Dari sini menunjukkan bahwa para orang tua masih banyak yang belum mengetahui tahap-tahap perkembangan pada anak sesuai dengan usianya. Orang tua belum mengerti bahwa otak anak-anak itu baru bisa menerima atau mempelajari hal-hal kognitif pada usia 7-8 th. Kurang dari usia itu adalah masa-masa bermain sambil belajar dalam arti belajar untuk sosialisasi dan masa yang paling tepat untuk menanamkan nilai-nilai moral yang baik pada anak, jadi bukan belajar untuk calistung.

Kadang orang tua malah senang dan bangga jika anak pada usia dini sudah bisa membaca, menulis dan berhitung tapi mereka belum tahu dampak apa yang disebabkan oleh pemaksaan pembelajaran calistung tersebut. Pada usiaak belum ini otak anak belum siap untuk menerima hal-hal kognitif, jadi bayangkan saja ketika otak belum siap dimasuki pembelajaran calistung maka pasti akan menjadi stressor yang akan menumpuk pada anak. Dan dampaknya nanti pasti akan terlihat pada usia dewasanya dia akan cenderung lebih gampang stres dalam menghadapi sesuatu hal. Sedangkan dampak jangka pendeknya anak menjadi takut atau trauma ketika akan masuk sekolah dasar dan dia tidak lulus hanya karena ada tes calistung padahal saat TK dia belum pernah diajari calistung.

BAB III PEMBAHASAN

1. CALISTUNG (Membaca, Menulis dan Berhitung) A. Membaca Membaca merupakan keterampilan yang dituntut oleh banyak orang tua agar dikuasai anak sedini mungkin. Namun membaca ini sendiri memiliki tahapan yang harus dilalui anak seiring perkembangan usianya. Tahapan membaca pada anak usia dini, yaitu : a) Tahap I : Membaca gambar. Anak diberikan gambar, yang dalam satu halaman hanya memuat satu jenis gambar, misalnya jika di situ ada gambar ayam, maka gambar tidak boleh dihias dengan jenis gambar lain. Jika buku, maka buku tersebut hanya berisi gambar, belum tulisan. b) Tahap II : Membaca Gambar + Huruf Keterampilan membaca anak tahap kedua ini dengan membaca huruf yang sesuai dengan huruf awal gambar c) Tahap III : Membaca Gambar + Kata Keterampilan membaca tahap selanjutnya adalah dengan memperlihatkan gambar dan tulisan makna gambar. d) Membaca Kalimat Tahap membaca kalimat merupakan tahap paling matang dari keterampilan membaca ini. Anak sudah menguasai banyak kosa kata dan dapat merangkainya menjadi kalimat. Anak dapat membaca buku maupun surat kabar.

B. Menulis a) Menulis pra-alpabet adalah tulisan yang dibuat tidak berbunyi atau tidak dapat dibaca. Anak sekedar menulis berupa coretan atau gambar yang tidak memiliki makna bacaan. Coretan ini berupa simbol gambar yang menggambarkan imajinasi anak. Adapun tahapan prealphabetic ini meliputi : 1) Coretan Bebas, berupa coretan-coretan acak yang diciptakan dari garis hasil gerakan sederhana tangan. 2) Coretan terkontrol, yaitu tulisan terarah dimunculkan dalam bentuk garis lurus ke atas atau mendatar yang diulang-ulang

3) Coretan Bermakna, anak mulai memberi label atau penjelasan mengenai coretan mereka dan melihat hubungan antara tanda dikertas dan ide, benda serta objek. b) Menulis Alpabet 1) Kegiatan Awal Menulis Kata, anak mulai menulis rentetan huruf-huruf yang dapat dibaca, tetapi belum mengenal spasi. 2) Menulis Rangkaian Kata, anak mulai perduli terhadap bunyi bacaan yang berhubungan dengan simbol walaupun tidak berhubungan dan selalu menggunakan huruf kapital juga belum memakai spasi. 3) Menulis Kalimat, anak menggunakan huruf kapital atau huruf kecil secara bercampur, mulai mengenal spasi antar kata, dan dapat menulis kalimat. C. Berhitung Berhitung merupakan salah satu kegiatan matematika dan menjadi dasar bagi kegiatan matematika selanjutnya. Berhitung juga erat kaitannya dengan aktivitas kehidupan sehari-hari yang akan dijalani anak. Karenanya berhitung ini perlu diajarkan sedini mungkin dengan metode yang tepat dan sesuai dengan karakteristik anak usia dini. Metode berhitung pada anak usia dini diajarkan dengan tahapan : a) Pengalaman. Berhitung diajarkan dengan memberi kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk melakukan aktivitasnya sendiri menggunakan benda konkret. b) Simbol. Berhitung menggunakan simbol jika pengajaran tidak memungkinkan untuk menggunakan benda konkret. c) Tulisan merupakan lambang bilangan yang sangat abstrak bagi anak-anak. Berhitung menggunakan tulisan hanya dapat diberikan pada anak yang telah memiliki pengalaman melakukan aktivitas sendiri menggunakan benda konkret dan simbol.

2. MENTAL HECTIC Mental hectic diterjemahkan bebas adalah keributan / kekacauan mental. Salah satu karakteristik anak dengan mental hectic atau berjiwa pemberontak salah satunya adalah malas sekolah dengan memberikan alasan yang tidak masuk akal dan dibuat-buat, sering berteriakteriak, ketika ditanya oleh guru menjawab dengan seenaknya dan tidak sesuai dengan pertanyaan.

Perbedaan definisi belajar menjadi pangkal persoalan dalam mempelajari apapun, termasuk belajar calistung. Selama bertahun-tahun belajar telah menjadi istilah yang mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi. Oleh karena itu, permainan dan nyanyian tidak dikatakan belajar walaupun mungkin isi permainan dan nyanyian adalah ilmu pengetahuan. Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah merekonstruksi cara untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan belajar mereka tak ubahnya seperti bermain dan bahkan memang berbentuk sebuah permainan. Memang benar jika calistung diajarkan seperti halnya orang dewasa belajar, besar kemungkinan akan berakibat fatal. Anak-anak bisa kehilangan gairah belajarnya karena menganggap pelajaran itu sangat sulit dan tidak menyenangkan. Merujuk pada temuan Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, sesungguhnya pelajaran calistung hanyalah sebagian kecil pelajaran yang perlu diperoleh setiap anak. Cara kita memandang calistung semestinya juga sama dengan cara kita memandang pelajaran lain, seperti motorik dan kecerdasan bergaul ataupun musikal. Penganut behavior-isme memang mencela pembelajaran baca-tulis dan matematika untuk anak usia dini. Mereka menganggap hal itu sebuah pembatasan terhadap keterampilan. Secara ilmiah, anak usia dini baru bisa memfokuskan organ visualnya pada objek tiga dimensi, oleh karenanya, alat-alat pembelajaran anak usia dini yang baik adalah berbentuk tiga dimensi. Apabila anak usia dini dipaksa untuk belajar CALISTUNG (Baca Tulis Hitung) yang pada umumnya menggunakan objek dua dimensi atau tulisan di papan tulis, maka si anak akan mengalami gangguan organ visual pada usia yang lebih muda. Menurut penelitian ilmiah, secara global kemampuan otak manusia yang berkaitan dengan pembelajaran terbagi menjadi tiga hal besar. Pertama adalah kemampuan kreatif, kedua adalah kemampuan berfikir / nalar, dan ketiga adalah kemampuan mengingat. Dari ketiga kemampuan ini, kemampuan mengingat merupakan kemampuan alami yang berifat pelengkap, sementara kemampuan kreatif dan berfikir mrupakan kemampuan utama dan vital yang akan membantu anak untuk mencapai sukses di kehidupannya kelak. Keberhasilan hidup seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuan kreatif dan berfikirnya ketimbang kemampuan mengingatnya, atau dengan kata lain kemampuan mengingat (short term memory)hanya sebagai pelengkap saja. Namun sayangnya, yang terjadi pada system pendidikan kita malah sebaliknya. Sejak usia dini anak-anak sudah dipaksa untuk bisa CALISTUNG, yang sesungguhnya hanyalah sebuah proses untuk mngembangkan kemampuan mengingat jangka pendek anak (Short Term Memory Learning).

Ternyata proses ini tidak hanya berhenti di usia dini saja, namun hingga dewasa mereka terus diajar dan diuji berdasarkan kemampuan mengingatnya dan bukan kemampuan kreatif atau nalarnya. Sehingga dampak buruk yang mungkin mungkin muncul adalah membuat anak menjadi mental hectic atau berjiwa pemberontak. Mental hectic ini biasanya terjadi saat usia sekolah dasar antara 8-9 tahun atau antara kelas 2-3 SD. Karakteristik anak dengan mental hectic ini salah satunya adalah malas datang ke sekolah dengan alasan yang dibuat-buat, menjawab pertanyaan guru dengan seenaknya dan tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan, Namun, sesungguhnya pelajaran calistung bisa membaur dengan kegiatan lainnya yang dirancang dalam kurikulum TK tanpa harus membuat anak-anak terbebani. Adakalanya tidak diperlukan waktu ataupun momentum khusus untuk mengajarkan calistung. Anak-anak bisa belajar membaca lewat poster-poster bergambar yang ditempel di dinding kelas. Biasanya dinding kelas hanya berisi gambar benda-benda. Bisa saja mulai saat ini gambar-gambar itu ditambahi poster-poster kata, dengan ukuran huruf yang cukup besar dan warna yang mencolok. Setiap satu atau dua minggu, gambar-gambar diganti dengan yang baru, dan tentu akan muncul lagi kata-kata baru bersamaan dengan penggantian itu. Dalam waktu satu atau dua tahun, bisa kita hitung, lumayan banyak juga kata yang bisa dibaca anak-anak. Jangan heran kalau akhirnya anak-anak bisa membaca tanpa guru yang merasa stres untuk mengajari mereka menghafal huruf atau mengeja.Demikian halnya dengan pelajaran berhitung. Mengenalkan kuantitas benda adalah dasar-dasar matematika yang lebih penting daripada menghafal angka-angka, dan hal itu sangat mudah diajarkan pada anak usia dini. Poster berbagai benda berikut lambang bilangan yang mewakilinya bisa kita tempel di dinding kelas. Sambil bernyanyi, guru bisa mengajak anak-anak berkeliling kelas untuk membaca dan melihat bilangan. Mengembangkan kemampuan para pendidik PAUD untuk mengajar calistung secara menyenangkan, mungkin akan lebih baik daripada melarang pelajaran calistung pada anak usia dini secara keseluruhan, tanpa memberikan solusi untuk mengatasi persoalan baca-tulis di sekolah dasar. Bukan pelajarannya yang harus dipersoalkan, tetapi cara menyajikannya.

BAB IV PENUTUP 1. KESIMPULAN a. Ketidaksesuaian antara Peraturan Pemerintah No. 69 dan 70 dengan Keputusan Kanwil Kementerian Agama Prov DKI Jakarta no:

KW.09.4/1/HK.005/ /2012 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Peserta Murid Baru di lingkungan Kanwil Agama Provinsi DKI Jakarta tahun 2012/2013 tentang diberlakukannya penerimaan siswa sekolah dasar dengan menggunakan tes calistung. Perlu adanya sosialisasi diseluruh wilayah Indonesia tentang Peraturan Pemerintah No. 69 dan 70 sehingga tidak ada sekolah yang menggunakan peraturan yang menyimpang. b. Timbulnya persepsi masyarakat yang berbeda terkait pentingnya calistung bagi anak usia dini. c. Perlu dilakukan peninjauan ulang terkait efek dari calistung pada anak usia dini terhadap perkembangan mental pada anak, sedangkan pada anak usia dini merupakan tahap bermain dimana harus dikembangkan nilai-nilai moral, kreatifitas dan daya nalar bukan hanya mengarah pada sort term memory learning.

2. SARAN a. Orangtua Orangtua mengetahui efek buruk dari calistung (membaca, menulis dan berhitung) pada anak usia dini sehingga tidak memaksakan anak usia dini untuk bisa membaca, menulis dan berhitung b. Sekolah Pihak sekolah tidak menerapkan tes membaca, menulis dan berhitung (calistung) pada saat penerimaan siswa baru c. Anak Perkembangan mental anak akan menjadi lebih optimal karena kemapuan kreatif dan berfikir akan menjadi lebih berkembang. Dan anak akan merasa tidak terbebani dengan sesuatu yang mereka memang tidak mampu melakukan.

Anda mungkin juga menyukai