Anda di halaman 1dari 11

Fiqh Ji'alah Fiqh Ji'alah Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah,

lah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma badu: Berikut ini pembahasan tentang ji'alah, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin. Ta'rif (pengertian) ji'alah Ji'alah dinamakan juga jul dan jaiilah, yaitu sesuatu yang diberikan kepada orang lain karena perbuatan yang dilakukannya[i]. Misalnya seseorang mengatakan, Barang siapa yang melakukan ini, maka ia akan mendapatkan harta sekian." Yakni ia akan memberikan upah yang ditentukan bagi orang yang mau mengerjakan pekerjaan yang ditentukan, seperti membangun dinding, dsb. Dalil disyari'atkannya ji'alah Dalil asal tentang disyari'atkannya ju'aalah adalah firman Allah Ta'ala: Penyeru-penyeru itu berkata, "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (Terj. QS. Yusuf: 72) Yakni barang siapa yang mampu menunjukkan pencuri piala milik taja, maka ia akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta. Ini adalah jul, dan menunjukkan bolehnya ji'alah.

Sedangkan dalil dari As Sunnah adalah hadits Abu Sa'id berikut, ia berkata: : : : : : : : : : "Sebagian sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pergi dalam suatu safar yang mereka lakukan. Mereka singgah di sebuah perkampungan Arab, lalu mereka meminta jamuan kepada mereka (penduduk tersebut), tetapi penduduk tersebut menolaknya, lalu kepala kampung tersebut terkena sengatan, kemudian penduduknya telah bersusah payah mencari sesuatu untuk mengobatinya tetapi belum juga sembuh. Kemudian sebagian mereka berkata, "Bagaimana kalau kalian mendatangi orang-orang yang singgah itu (para sahabat). Mungkin saja mereka mempunyai sesuatu (untuk menyembuhkan)?" Maka mereka pun mendatangi para sahabat lalu berkata, "Wahai kafilah! Sesungguhnya pemimpin kami terkena sengatan dan kami telah berusaha mencari sesuatu untuk(mengobati)nya, tetapi tidak berhasil. Maka apakah salah seorang di antara kamu punya sesuatu

(untuk mengobatinya)?" Lalu di antara sahabat ada yang berkata, "Ya. Demi Allah, saya bisa meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kamu namun kamu tidak memberikannya kepada kami. Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai kalian mau memberikan imbalan kepada kami." Maka mereka pun sepakat untuk memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi kepala kampung tersebut), kemudian meniupnya dan membaca "Al Hamdulillahi Rabbil 'aalamiin," (surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari ikatan, ia pun dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit. Kemudian mereka memberikan imbalan yang mereka sepakati itu, kemudian sebagian sahabat berkata, "Bagikanlah." Tetapi sahabat yang meruqyah berkata, "Jangan kalian lakukan sampai kita mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kita sampaikan kepadanya masalahnya, kemudian kita perhatikan apa yang Beliau perintahkan kepada kita." Kemudian mereka pun datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan masalah itu. Kemudian Beliau bersabda, "Dari mana kamu tahu, bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah?" Kemudian Beliau bersabda, "Kamu telah bersikap benar! Bagikanlah dan sertakanlah aku bersama kalian dalam bagian itu." (HR. Bukhari dan Muslim) Meskipun begitu, di antara ulama ada yang melarang ji'alah, seperti Ibnu Hazm. Ia berkata dalam Al Muhalla, "Tidak boleh menetapkan ju'l (upah) terhadap seseorang." Oleh karena itu barang siapa yang berkata, "Jika kamu datang kepadaku dengan membawa budakku yang lari, maka kamu akan memperoleh satu dinar," atau seorang berkata, "Jika kamu melakukan perbuatan ini dan itu, maka kamu memperoleh

satu dirham atau seperti itu," jika setelahnya ia datang, atau misalnya ia mengumumkan dengan suara keras dan bersaksi terhadap dirinya, "Barang siapa yang datang kepadaku dengan barang ini, maka ia memperoleh sekian," lalu barang itu ada yang membawakannya, maka ia tidak wajib membayarkan apa-apa, hanya saja dianjurkan baginya memenuhi janjinya. Demikian juga orang yang datang membawa budak yang lari, maka ia tidak perlu memberikan sesuatu kepadanya, baik pembawa budak yang lari mengetahui adanya ji'alah maupun tidak, kecuali jika ia menyewanya untuk mencarikan dalam waktu tertentu atau mendatangkannya dari tempat yang yang sudah dikenal, maka wajib untuknya memperoleh bayaran sewaan itu. Tetapi sebagian ulama ada yang mewajibkan ju'l (pemberian upah ju'aalah) dan mereka mengharuskan upah itu dibayarkan oleh ja'il (pemberi ju'l/imbalan), mereka berdalih dengan firman Allah Ta'ala: "Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu." (Terj. QS. Al Maa'idah: 1) dan berdasarkan perkataan Yusuf: Penyeru-penyeru itu berkata, "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (Terj. QS. Yusuf: 72) Serta berdasarkan hadits orang yang meruqyah dengan pemberian sekawanan kambing." Yang rajih, bahwa diperbolehkan. ji'alah itu memiliki dasar dan

Bahkan hal itu dibolehkan karena darurat, oleh karena itu dibolehkan dalam ji'alah sesuatu yang tidak dibolehkan pada

selainnya, yakni ji'alah itu dibolehkan meskipun pekerjaannya majhul (tidak diketahui). Di antara hukum-hukum yang terkait dengan ji'alah 1. Tidak disyaratkan untuk akad ji'alah ini harus dihadiri oleh kedua belah pihak orang yang melakukan akad seperti pada akad yang lain, hal ini berdasarkan ayat "Wa liman jaa'a bihi himlu ba'iir" (artinya: Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,"), lihat surat Yusuf: 72. Disyaratkan untuk orang yang siap memberikan bayaran harus sah tasharruf(tindakannya), sedangkan orang yang bekerja harus mampu melakukannya. Pekerjaan ji'alah itu harus mubah, sehingga tidak sah terhadap pekerjaan yang haram, seperti memainkan muzik, membuat arak dsb. Pekerjaan ji'alah ini tidak ditentukan batasnya, sehingga jika seseorang berkata, "Barang siapa yang mengembalikan untaku dalam waktu sepekan, maka ia berhak mendapat lima dinar," maka ji'alah tidak sah. Siapa saja yang telah menyelesaikan tugas ji'alahnya, maka ia berhak memperoleh ju'l (upah), kerana akad menjadi tetap dengan sempurnanya pekerjaan. Jika yang melakukan ji'alah adalah beberapa orang, maka mereka membahagi upahnya sama banyak sesama mereka. Siapa saja yang melakukan pekerjaan yang diji'alahkan sebelum mengetahui bahwa pekerjaan itu diji'alahkan, maka yang melakukannya tidak berhak mendapat apa-apa, kerana hal ini termasuk melakukan perbuatan yang tidak diizinkan. Tetapi jika ia mengetahui adanya ji'alah di tengah-tengah

2.

3.

4.

5.

6.

melakukan pekerjaan itu, maka ia berhak mengambil upah seukuran pekerjaan yang dilakukannya setelah ia mengetahui adanya ji'alah itu. 7. Ji'alah adalah akad yang dibolehkan. Masing-masing berhak membatalkannya. Jika pembatalan dilakukan oleh pekerja, maka ia tidak berhak mendapatkan ji'alah sedikit pun, kerana ia telah menggugurkan haknya. Namun jika pembatalan dari jaa'il (yang menetapkan ji'alah) dan pembatalan itu dilakukan setelah pekerja memulai pekerjaannya, maka orang yang bekerja berhak mendapatkan upah seukuran pekerjaannya, kerana kerjanya dengan imbalan yang belum diterimanya. Para fuqaha menjelaskan bahwa jika ada yang bekerja untuk orang lain tanpa jul (upah) dan izin dari orang lain itu, maka ia tidak berhak menerima apa-apa, kerana ini sama saja memberikan manfaat tanpa imbalan, sehingga ia tidak mendapatkannya. Di samping itu, seseorang tidak mesti membayar sesuatu yang tidak wajib baginya. Tetapi dikecualikan dua hal berikut: Jika si pekerja sudah menyiapkan dirinya sebagai pekerja dengan upah. Misalnya pemandu jalan, pengangkut barang dsb. Dalam keadaan ini, jika ia mengerjakan suatu pekerjaan, maka yang demikian dengan izin yang mengharuskan diberi upah, dimana uruf berjalan seperti itu. Berbeda jika ia belum menyiapkan dirinya untuk itu, maka ia tidak berhak apa-apa, meskipun diizinkan. Kecuali dengan adanya syarat. Orang yang menyelamatkan barang orang lain dari kebinasaan. Misalnya menariknya dari laut, api atau menemukan barang di tempat bahaya yang akan hilang jika ditinggalkan, maka ia berhak mendapatkan upah mitsil

8.

a.

b.

(standar) meskipun pemiliknya tidak mengizinkan, karena ia telah khawatir akan binasanya barang atau rusak. Di samping itu, dengan diberikan upah mendorong mereka melakukan perbuatan ini; yaitu menyelamatkan barang dari kebinasaan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Siapa saja yang menyelamatkan harta orang lain dari kebinasaan dan mengembalikannya, maka ia berhak mendapatkan upah mitsl (standar), meskipun tanpa syarat menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat, dan inilah yang disebutkan Ahmad dan lainnya. Ibnul Qayyim berkata, Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan terhadap harta orang lain tanpa izinnya, agar dengan perbuatan itu ia dapat menyampaikan harta kepada orang itu atau ia melakukannya untuk menjaga harta pemiliknya atau memeliharanya agar tidak hilang, maka yang benar ia mengembalikannya dengan mendapat upah terhadap perbuatannya. Imam Ahmad menyebutkan hal itu di beberapa tempat. Perbedaan antara ji'alah dengan ijarah (menyewa atau mempekerjakan) Ji'alah berbeda dengan ijarah dalam beberapa hal: 1. Untuk keabsahan ji'alah tidak disyaratkan mengetahui tugasnya, berbeda dengan ijarah. disyaratkan tugasnya harus diketahui. harus Ijarah

2. 3.

Ji'alah tidak disyaratkan harus mengetahui lamanya kerja. Berbeda dengan ijarah yang ditentukan lamanya kerja. Bahwa pekerja dalam ji'alah tidak mesti bekerja. Berbeda dengan ijarah, dimana dalam ijarah, pekerja telah siap untuk bekerja (harus bekerja).

4. 5.

Ji'alah tidak disyaratkan ditentukan siapa pekerjanya, berbeda dengan ijarah yang disyaratkan demikian. Ji'alah adalah akad yang dibolehkan bagi masingmasingnya untuk membatalkan tanpa izin yang lain. Sedangkan ijarah adalah akad yang mesti. Tidak boleh yang satunya membatalkan kecuali dengan keridhaan yang lain
KONSEP AL-JUALAH DALAM FIQH ISLAM : PENERAPANNYA DALAM KAEDAH PEMBERIAN BONUS MLM-HPA

Pengertian Jualah Jualah adalah satu bentuk akad yang melibatkan 2 pihak. Pihak pertama jail. Yang ke-2 ; Amil. Yang ke- 3; Aljul. i. Jail ialah pihak yang menawarkan satu pemberian sebagai upah untuk melaksanakan satu tugas atau perkhidmatan untuknya atau untuk manfaat orang yang dikehendakinya (maju;llahu) ii. Amil ialah pihak yang melakukan satu kerja atau tugas yang ditawarkan pemberian untuknya. iii. Aljul ialah kadar pemberian yang merupakan wang atau harta benda yang diberi kepada Amil. Para ulama maliki memberi tarif : satu upahan kepada satu peke rjaan bagi memperoleh manfaat yang mungkin dicapai. Sepertimana seseorang itu berkata; "Sesiapa yang memulangkan binatang ternakan saya yang lari atau barangan saya yang hilang atau menggali perigi saya sampai dapat air atau menjahit untuk saya sepasang kemeja maka untuknya sekian. Antara contoh kontrak Jualah ialah satu peruntukan hadiah yang disediakan untuk pemenang-pemenang dalam pertandingan atau perlumbaan yang diharuskan termasuklah juga kadar ganjaran atau saham dari harta rampasan perang yang dijanjikan oleh ketua tentera kepada sesiapa yang dapat menawan kubu-kubu musuh atau menjatuhkan beberapa buah kapal terbang. Begitu juga kadar jumlah wang yang dijanjikan kepada seorang doktor yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu atau kepada seorang guru yang dapat membimbing anaknya sehingga dapat menghafal AlQuran. Para ulama fiqah silam biasanya memberi contoh jualah seperti sesiapa yang dapat memulangkan ternakan yang hilang atau hambanya yang melarikan diri.

Pensyariatan Al-Julah. Para ulama mazhab Hanafi berpendapat bahawa kontrak jualah tidak harus kerana mengandungi elemen-elemen yang tidak menentu pada masa dan kerja yang berkaitan. Pandangan ini didasarkan kepada hukum qias kepada sewa menyewa dimana

disyaratkan kepastian tentang kerja, pekerja, ganjaran dan masa. Walaubagaimanapun, ulama ini mengharuskan satu sahaja bentuk daripada jualah berdasarkan kaedah istihsan iaitu pemberian yang diberikan kepada sesiapa yang mengembali hamba yang melarikan diri walaupun tanpa syarat seperti 3 hari perjalanan atau lebih dan kadar upah 40 dirham bagi menampung perbelanjaan dalam perjalanan. Sekiranya dikembalikan hamba kurang dari kadar itu maka dikira mengikut nisbah misalnya kalau dikembalikan hamba itu dengan mengambil masa 2 hari perjalanan maka dia berhak mendapat 2/3 daripada 40 dirham. Kalau mengambil masa 1 hari perjalanan dia berhak mendapat 1/3. Sekiranya kurang daripada itu dia berhak mendapat mengikut nisbah kerjanya. Sudut pengendalian kaedah istihsan di sini ialah dengan termetrainya akad seperti nini membuka jalan bagi pemilik-pemilik memelihara hartanya. Para ulama mazhab Maliki, Hambali dan Syafiee mengatakan julah adalah harus berdasarkan dalil dari Al-Quran dan kisah nabi Yusuf dan saudara-saudaranya. Ungkapan Kontrak Jualah Oleh kerana bebanan dalam kontrak jualah lahir dari kehendak satu pihak (Jail) maka ianya tidak wujud melainkan melalui satu bentuk ungkapan yang menunjukkan keizinan untuk melakukan sesuatu peranan melalui permintaan yang berterus terang dan kesediaan untuk memberi ganjaran tertentu yang mempunyai nilai yang dimaksudkan. Sekiranya seseorang melakukan satu kerja tanpa izin dari Jail atau secara sukarela maka tidak berhak untuk mengambil upah.

Syarat-syarat Kontrak Jualah 1. Syarat kelayakan untuk jail samaada untuk kepentingan atau untuk kepentingan orang lain hendaklah bebas berurus bicara (cukup umur, sempurna akal dan matang). Adapun syarat bagi amil hendaklah memiliki sifat kelayakan untuk bekerja dan tidak sah kontrak sekiranya tidak mampu bekerja kerana kecil atu sebagainya sekiranya tidak ditentukan memadailah dia mengetahui iklan kerja tersebut. 2. Upah yang ditawarkan hendaklah merupakan harta yang dikenalpasti. Sekiranya upah tersebut sesuatu yang tidak diketahui, terbatallah akad. Seumpama seseorang berkata: Sesiapa yang menemui kereta saya akan diberi pakaian. Jika ini berlaku, Amil dalam kontrak ini berhak menerima upah nilai semasa. 3. Manfaat yang akan diperolehi oleh Jail hendaklah bersifat jelas dan hakiki serta harus dinikmati pada hukum syarak.Oleh itu, tidak boleh ditawarkan kepada seseorang untuk mengeluarkan jin daripada tubuh seseorang atau merungkai amalan sihir kerana kerjakerja tersebut tidakdapat dikenalpasti. Begitu juga tidak seharusnya untuk mendapat menfaat dari perkara yang diharamkan. Para ulama dari mazhab Maliki menambah: setiap perkara yang and a diharuskan padanya kontrak jualah seperti kerja mengali perigi boleh juga berlaku akad ijarah dan tidak semua yang diharuskan padanya kontrak ijarah menjadi harus pula padanya akad jualah seperti kerja menjual pelbagai barangan perkhidmatan dalam tempoh sebulan atau mengali perigi di tanah milik persendirian. Semua ini harus dijadikan perkara untuk kontrak ijarah dan tidak harus pada kontrak jualah.Sebabnya ialah kerana kontrak jualah dikhususkan kepada kerja-kerja yang tidak menghasilkan apa-apa menfaat kepada jail melainkan setelah selesai sepenohnya kerja-kerja berkaitan. Sedangkan kerja tersebut memberi manfaat kepada jail walaupun belum selesai. Kedudukan Hukum Jualah serta Tempoh kelayakan Mendapat Ganjaran

Para ulama yang mengharuskan kontrak jualah itu sepakat pula mengatakan ianya

merupakan satu kontrak yang harus. Tidak lazim seperti akad ijarah masing-masing yang terlibat kkad itu. (Jail dan Amil) berhak menasakhnya. Cumanya mereka berselisih tentang waktu akad itu dinasakh. Ulama Maliki berpendapat harus berlaku nasakh sebelum bermulanya pekerjaan yang berkaitan. Sekiranya pekerjaan sudah bermula pihak jail bertanggungjawab dengan kewajipan memberi ganjaran yang dijanji sedangkan pihak amil tidak dipertanggungjawabkan menyelelesaikan pekerjaan yang dimulakan. Adapun Amil yang dijanjikan ganjaran baang yang dicari itu menjadi miliknya tidak menanggung beban apa-apa samaada nasakh itu berlaku sebelum atau selepas bermula pekerjaan yang berkaitan. Para ulama Syafiee dan Hambali pula berpendapat nasakh boleh berlaku pada bila-bila masa yang dikehendaki oleh jail aatau majullahu (orang yang manfaat untuknya) kontrak jualah itu dibuat dgn syarat sebelum selesai kerja-kerja Amil. Sekiranya fasakh dibuat oleh Jail atau Amil tertentu sebelum kerja dimulakan atau fasakh oleh Amil selepas kerja dimulakan, maka Amil tidak berhak mendapat apa-apa ganjaran bagi kedua-dua keadaan. Kerana dalam keadaan pertama tidak ada sebarang kerja dilakukan dan dalam keadaan kedua kerja belum selesai dan Jail tidak mendapat apa-apa manfaat. Sekiranya fasakh dilakukan oleh Jail setelah kerja dimulakan oleh Amil maka Jail bertanggungjawab membayar upah mengikut nilai semasa kepada Amil kerana Amil bekerja dengan ada imbuhan. Sekiranya Jail menentukan tempat untuk dihantar barangan sedangkan Amil berhak mendapat ganjaran. Mengikut ulama Shafiee sekiranya 2 orang berkongsi menghantar maka mereka berhak berkongsi mendapat ganjaran. Amil tidak berhak menahan barangan (majul alaih) sebagai cagaran atau jaminan untuk mendapat ganjaran atau untuk menuntut perbelanjaan kerana kerjanya yang diizinkan oleh Jail kerana masa dia berhak menerima ganjaran ialah ketika penyerahan barang atau perkhidmatan kepada Jail. Pertambahan atau Pengurangan Kadar Imbuhan Oleh kerana kontrak Jualah merupakan suatu yang harus maka haruslah bagi jail bagi menambah atau mengurang kadar ganjaran dengan syarat penambahan dan mengurangan itu dibuat sebelum selesai kerja-kerja Amil samaada sebelum atau selepas Amil memulakan pekerjaannya. Contohnya Jal berkata; sesiapa yang berjaya menjumpai barang saya maka baginya 10 dirham. Kemudian dia berkata 5 atau sebaliknya tetapi sekiranya pertambahan atau pengurangan itu dibuat setelah Amil memulakan kerjanya maka ia berhak mendapat upah kerja tersebut mengikut nilai semasa. Kerana pindaan itu merupakan fasakh kepada pengumuman pertama oleh Jail yang perlu dirujuk kepada upah semasa. Ulama Hambali mensyaratkan pindaan itu dibuat sebelum Amil memulakan kerjanya.

Hukum Pertikaian antara Jail dan Amil Sekiranya berlaku pertikaian antara Jail dan Amil maka hukum syarak adalah mengikut huraian berikut: A). Berlaku pertikaian tentang asal imbuhan itu sendiri samaada disyaratkan ataupun tidak. Dalam pertikaian ini perkataan yang dipakai ialah perkataan pihak yang mengingkar dan yang disokong oleh sumpahan daripadanya.Umpamanya Amil berkata kamu sebutkan kepada saya imbuhan itu tetapi pihak Jail menafikan syarat itu maka diguna pakai perkataannya dengan sumpah kerana pada asal tidak disyaratkan B). Pertikaian tentang kerja. Pihak Amil mendakwa telah melaksanakan kerja berkaitan, sedangkan Jail pula menafikan. Contohnya kontrak Jualah berlaku antara jail dan Amil dimana jail menjanjikan pemberian tertentu kepada amil yang memulangkan ternakkannya yang hilang , setelah ternakan itu berda semula dalam peliharaan Jail. Pihak Amil mendakwa dia yang memulangkan tetapi Jail menafikannya dengan

mengatakan binatang itu pulang sendiri. Maka perkataan Ja;il yang dipegang dengan sumpah. C). Sekiranya pertikaian mengenai imbuhan atau jarak perjalanan atau tempat yang ditentukan untuk mencari barang yang hilang maka kedua pihak dituntut untuk bersumpah dan kontrak difasakh. Wajib diberi upah nilai semasa untuk Amil sebagaimana yang berlaku pada kontrak ijarah. Ulama Maliki berpendapat .dalam konteks ini perkataan yang dipegang adalah perkataan Jail kerana pada asalnya tidak ada penambahan pada perkara2 tersebut.Lagipun perkataan Jail yang dipakai pada asal pemberian itu sendiri maka demikianlah juga dalam menentukan kadarnya samaada seperti kedudukan tuan punya modal dalam kontrak mudharabah. Lagi pula Jail mengengkar apa yang didakwa oleh Amil sebagai tambahan kepada apa yang diakuinya.Pada asalnya dia bersih dari apa yang dinafikan, dan kedua belah pihak perlu bersumpah sebagaimana yang berlaku antara penjual dan pembeli yang berselisih tentang harga dan antara pemberi upah dan pengambil upah tentang kadar upah.Sekiranya kedua belah pihak bersumpah maka terfasakhlah kontrak dan dikembalikan kepada upah semasa.

JIALAH a. Pengertian Menurut sulaiman rasjid(2004 : 305-306) jialah ialah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan, misal seseorang yang kehilangan seekor kuda berkata siapa yang mendapatkan kudaku dan mengembalikan kepadaku, maka aku nayar sekian.. b. Rukun jialah 1. lafadz ; kalimat hendaknya mengandung arti memberi izin kepada yang akan bekerja, juga tidak ditantukan waktunya. 2. Orang yang menjanjikan upah ; boleh bukan orang yang kehilangan. 3. Pekerjaan ; mencari barang yang hilang 4. Upah : disyaratkan memberi upah dengan barang tertentu Jika orang yang kehilangan memberi pengumuman kepada masyarakat umum jika ada yang menemukan barangku, maka akan aku beri uang sekian, kemudian ada dua orang yang bekerja mencari barang tersebut sampai menemukannya, maka upah yang dijanjikan itu dibagi antara keduanya. c. Yang membatalkan jialah Masing-masing pihak boleh membatalkan perjanjian jialah sebelum pekerjaan tersebut dilakukan, jika yang membatalkannya orang yang bekerja, maka dia tidak mendapat upah apapun, sekalipun sudah bekerja. Tetapi jika yang membatalkan adalah orang yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang dilakukannya.

Anda mungkin juga menyukai