Anda di halaman 1dari 12

I.

KASUS Seorang wanita berusia 51 tahun dengan keterbelakangan mental meninggal dunia akibat keracunan lithium pada tanggal 13 Mei 2002. Sejarah medis yang dimiliki korban yaitu keterbelakangan mental, gangguan bipolar, hipotiroid, dan parkinsonism. Pada tanggal 13 April 2002, salah satu tersangka yang merupakan seorang farmasis melakukan kesalahan dalam pembacaan resep yang dibawa oleh korban. Farmasis memberikan lithium karbonat 300 mg/kapsul kepada pasien padahal dari resep yang dibawa pasien lithium yang diberikan adalah 150 mg/kapsul. Pada tanggal 25 April 2002, dokter pribadi korban (juga merupakan tersangka) melakukan pemeriksaan keluhan korban berupa diare selama tiga hari. Dokter pribadi korban mencatat bahwa korban tidak memiliki kelainan klinis berupa dehidrasi, oleh karenanya dia menyarankan agar korban meningkatkan asupan cairan serta diet seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Dokter pribadi korban (Primary Care Physician PCP) juga mengintruksikan agar keluarga korban melakukan perawatan dan melaporkan apabila korban menunjukkan gejala penurunan asupan cairan, perubahan tingkat aktifitas yang ditetapkan sebagai lesu, atau gejala memburuk. Selama beberapa hari berikutnya korban masih terus mengalami diare dan gangguan makan. Akan tetapi keluhan tersebut tidak dikomunikasikan ke PCP. Pada tanggal 30 April 2002, korban kembali diperiksa oleh terdakwa PCP. Tidak ada notasi tentang keluhan diare seperti yang terlihat pada lima hari sebelumnya, sehingga PCP mencatat bahwa symptom yang dialami korban telah membaik dan mulai hilang. PCP mencatat adanya sedikit perubahan pada kondisi korban, tetapi tidak mencari tahu penyebab perubahan kondisi tersebut. Perubahan kondisi pasien meliputi peningkatan kontraksi otot atau kekakuan otot. PCP memerintahkan korban melakukan tes darah selama kunjungan ini, tetapi melupakan pemeriksaan kadar lithium. Pada tanggal 2 Mei 2002, korban masih mengalami diare. Keluarga korban diberitahukan bahwa korban tidak diizinkan untuk kembali sampai perawatan medis korban selesai dilakukan. Perawat menghubungi PCP untuk melaporkan gejala-gejala yang dialami pasien. Pada waktu itu PCP melakukan penghentian pemberian dosis pagi Zyprexa 2,5-mg untuk pengobatan kelesuan pasien.

Pada tanggal 8 Mei 2002, salah seorang karyawan rumah hunian melaporkan bahwa korban mengalami gejala ketidakstabilan, hampir tidak bisa bergerak, dan sangat lemah dan tak berdaya. Akan tetapi keadaan ini tidak dilaporkan kepada Supervisornya. Pada tanggal 11 Mei 2002, korban dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan. Korban tercatat mengalami kelemahan dan gangguan kestabilan selama 1 minggu. Korban juga menyatakan bahwa dirinya menderita hiponatremia berat, hiperkalemia. Kadar lithium yang tercatat dalam darah korban adalah 6,8 mEq/L. Hari berikutnya ia tercatat memiliki dehidrasi berat persisten dengan kekacauan metabolisme dan hipotensi, serta gagal ginjal akut, akibat tanda toksisitas lithium. Pasien meninggal pada tanggal 13 Mei 2002. Litigasi terus dilakukan dalam kasus ini. PCP dan psikiater menyatakan bahwa gejala toksisitas yang ditunjukkan korban tidak disampaikan kepada mereka oleh staf perumahan. Para PCP berpendapat bahwa gejala korban pada tanggal dan hari pada saat dilakukan pemeriksaan tidak sugestif menunjukkan adanya gejala keracunan lithium dan dia tidak bertanggung jawab untuk memantau pengobatan kerena dia bukanlah orang yang meresepkan obat. Psikiater yang meresepkan obat kepada korban berpendapat bahwa dia tidak diberitahu tentang kelemahan dan kelesuan yang diderita korban. Kasus ini berakhir dengan ganti rugi sebesar Satu Miliar Dolar ($ 1.000.000.000) oleh pihak farmasis. (Lubin and Mayer, 2010)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Bipolar Penyakit bipolar, sebelumnya dikenal dengan nama penyakit manik-depresi merupakan gangguan mood yang bersifat siklik dengan fluktuasi perasaan, energi, dan kelakuan dari ujungujung yang ekstrim. Bipolar merupakan gangguan psikiatrik yang unik karena bersifat genetik, dipengaruhi oleh lingkungan, dan gambaran penyakitnya berbeda satu orang dengan lainnya. Diagnosis penyakit ini melibatkan kemunculan mania, hipomania, atau kombinasi antar episode selama penjalanan penyakit (Tjay dan Rahardja 2008). Gejala-gejala penyakit bipolar termasuk depresi dan perasaan-perasaan putus asa. Gejalagejala depresi lain termasuk pikiran-pikiran bunuh diri, perubahan-perubahan pada pola-pola tidur, dan kehilangan minat pada aktivitas-aktivitas yang pernah menjadi sumber dari kesenangan. Penyakit ini umumnya berkembang pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa, namun mungkin ada juga yang memulai gejalanya sejak anak-anak (Tjay dan Rahardja 2008). Terdapat beberapa teori patofisiologi dari penyakit bipolar antara lain teori neurotransmitter, teori kation dan membran. 1. Teori Neurotransmiter Menurut teori ini gangguan mood disebabkan karena ketidakseimbangan neurotransmiter di SSP. Adanya kelebihan senyawa amin (norefinefrin NE dan dopamine DA) akan menyebabkan munculnya mania. Sedangkan pada kondisi dimana terjadi kekurangan NE, DA, dan/atau serotonin (5-HT) akan menyebabkan terjadinya depresi. Ketidakseimbangan antara aktifitas NE dan DA akan menyebabkan terjadinya perubahan mood dari depresi menjadi mania (Ikawati, 2009). 2. Teori Kation Dan Membran Menurut teori ini gangguan mood disebabkan perubahan keseimbangan elektrolit, terutama Ca+dan Na+, yang diduga terkait dengan fluktuasi mood. Adanya perubahan konsentrasi Ca+ ekstrasel dan intrasel dapat mempengaruhi pelepasan DA, NE dan 5-HT . Keadaan ini menyebabkan terjadinya eksitabilitas saraf yang akan mempengaruhi variasi (fluktuasi) perasaan sehingga terjadi perubahan dari depresi ke mania atau sebaliknya. Pasien bipolar yang tidak diobati memiliki konsentrasi Ca+ intrasel yang lebih tinggi pada limfosit dan plateletnya dibanding dengan orang normal (Ikawati, 2009).

Obat-obat Ca-Bloker

yang bekerja dengan memblok kanal Ca akan menyebabkan

penurunan konsentrasi Ca+ intraseluler. Penurunan konsentrasi Ca+ akan menyebabkan pemblokan terhadap aktivitas 5-HT, dopamin, dan endorfin sehingga mengurangi mania. Obat lain seperti lamotrigin bekerja dengan memblok kanal Na sehingga menghambat pelepasan glutamate dan aspartat. Keadaan ini akan mengakibatkan penurunan aktifitas Ca+ (Ikawati, 2009). 2.2 Lithium Karbonat Lithium karbonat adalah jenis garam lithium yang paling sering digunakan untuk mengatasi gangguan bipolar. Sejak disahkan oleh Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 1970 lithium digunakan sebagai obat untuk mengatasi mania akut, lithium masih efektif dalam menstabilkan mood pasien dengan gangguan bipolar. Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan lithium hampir serupa dengan efek mengonsumsi banyak garam, yakni tekanan darah tinggi, retensi air, dan konstipasi. Oleh karena itu, selama penggunannya obat ini harus dilakukan tes darah secara teratur (Therapy Drug Monitoring TDM) untuk menentukan kadar lithium mengingat dosis terapeutik lithium berdekatan dengan dosis toksiknya (Israr, dkk., 2008). a. Indikasi Mengatasi episode mania. Gejala hilang dalam jangka waktu 1-3 minggu setelah minum obat. Lithium juga digunakan untuk mencegah atau mengurangi intensitas serangan ulang pasien bipolar dengan riwayat mania (Israr, dkk., 2009). b. Mekanisme kerja Efek antimania lithium disebabkan oleh kemampuannya mengurangi dopaminereseptor supersensitivity meningkatkan cholinergic muscarinic activity dan menghambat cyclic AMP (adenosine monophospat) (Israr, dkk., 2009). c. Efek Samping Efek samping lithium seperti tremor, diare, nausea, dan sering kencing, bergantung pada dosis yang dikonsumsi. Pada kadar lithium darah yang tinggi (> 2 mg), pasien akan mengalami ataksia, kebingungan, bahkan koma. Beberapa pasien dapat mencapai kadar lithium darah normal (sekitar 1 mg) dengan mengkonsumsi dua pil perhari sementara pada pasien lainnya perlu

2.2.1 Farmakologi

dua belas pil per hari. Jika kita dapat mengukur kadar obat dalam darah pada semua jenis obat serupa, kemungkinan kita dapat menemukan perbedaan individual. Ini dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien kizofrenia menunjukkan perbaikan dengan pemberian 200 mg klorpromazin per hari sementara yang lainnya memerlukan 2000 mg per hari (Israr, dkk., 2009). Gejala intoksikasi (kadar serum lithium > 1,5 mEq/L) dapat berupa: Gejala dini : muntah, diare, tremor kasar, mengantuk, konsentrasi pikiran menurun, bicara sulit, pengucapan kata tidak jelas, dan gaya berjalan tidak stabil. Dengan semakin beratnya intoksikasi terdapat gejala : kesadaran menurun dapat sampai koma dengan hipertoni otot dan kedutan, oliguria, dan kejangkejang.

d. Interaksi obat Penggunaan diuretik bersama lithium harus dilakukan hati-hati. Hal ini dikarenakan diuretik yang menginduksi pengeluaran natrium, bisa mengurangi klirens renal lithium yang akan menyebabkan kadar lithium serum meningkat dan risiko toksisitas juga meningkat. Begitu juga pada pemberian bersamaan dengan beberapa obat lain seperti NSAID dan ACE inhibitor.5 Lithium sebaiknya tidak diberikan pada pasien jantung dan ginjal. Tapi jika kondisi psikiatri pasien mengancam jiwa dan pasien tidak berespon dengan obat lain, maka lithium bisa diberikan dengan pengawasan yang sangat ketat (Israr, dkk., 2009). Pemeriksaan kadar lithium serum dilakukan tiap hari dan kemudian dilakukan pengaturan dosis. Lithium sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil karena diduga bisa mendatangkan efek merugikan bagi janin. Lithium juga disekresikan melalui air susu ibu, sehingga tidak dianjurkan diberikan pada wanita yang menyusui. Penggunaan lithium pada anak usia dibawah 12 tahun sebaiknya tidak dilakukan mengingat data keamanan dan keefektifan dari obat ini pada populasi ini belum ada. Pemberian lithium pada orang tua harus dilakukan pengaturan dosis (Israr, dkk., 2009). 2.2.2 Farmakokinetik Lithium diabsorbsi baik setelah pemakaian peroral. Kira-kira 97% diekskresikan dalam bentuk bebas melalui urin dalam 10 hari. Hanya sedikit obat diekskresikan melalui feses, saliva, dan keringat. Ekskresi lithium melalui urin akan lebih lambat pada pediatri dari pada pasien muda dan juga akan bertambah lambat dimalam hari. Ekskresi lithium juga dipengaruhi oleh kadar natrium dan kalium. Pada pasien yang asupan natriumnya rendah, lithium akan direabsorpsi melalui tubulus ginjal dan sebaliknya pada pasien dengan asupan natrium tinggi, ekskresi lithium akan meningkat. Lithium terdistribusi secara luas di tubuh dan konsentrasi tertinggi ditemukan di tulang, kelenjar tiroid, dan dan otak. Obat ini dapat melewati plasenta dan dapat diekskresikan melalui air susu ibu (Mofat, et al.,2005). Efek toksik dihasilkan apabila konsentrasi serum lithium lebih dari 2 mmol/L. Konsentrasi 5 mmol/L akan berakibat fatal. T plasma kira-kira 20-24 jam setelah dosis tunggal tergantung dari lamanya pengobatan. Pada pasien yang pertama kali ditreatment dengan lithium, t plasma lithium rata-rata 31 jam. Plasma t lithium meningkat mencapai 40 jam pada pasien yang ditreatmen dengan lithium kurang dari satu tahun dan mencapai 58 jam pada pasien yang

ditreatment lebih dari 1 tahun. T akan meningkat pada pasien pediatric dan gangguan ginjal. Klirens plasma setelah dosis tunggal kira-kira 0,4 mL/min/kg, akan menurun pada pasien uremia dan pediatri (Mofat, et al.,2005). Dosis litihium dari satu pemberian ke pemberian yang lain menghsilkan bioavaibilitas yang sangat bervariasi. Dosis biasanya dijaga agar berada pada rentang konsentrasi serum 0,4-1 mmol/L, dimana dosis dimaintenance agar berada dibawah range atas konsentrasi (Mofat, et al.,2005).

III. PEMBAHASAN KASUS Kasus diatas merupakan salah satu dari kasus medication error yang melibatkan banyak pihak diataranya farmasis, dokter, psikiter pribadi serta keluarga selaku pengawas korban. Korban yang merupakan seorang wanita berumur 51 tahun dengan riwayat keterbelakangn mental, bipolar disorder, dan parkinson menerima terapi lithium untuk pengobatan penyakit bipolar disorder yang dideritanya. Kesalahan pengobatan bermula terjadi karena adanya kesalahan pembacaan resep dan dispensing obat yang dilakukan oleh farmasis tempat korban menebus resepnya. Farmasis memberikan 300 mg lithium karbonat per kapsul kepada pasien padahal pada resep tertulis 150 mg lithium per kapsul. Kesalahan ini mengakibatkan korban mengkonsumsi lithium karbonat perharinya dua kali lipat dari dosis yang diresepkan. Peningkatan dosis lithium hingga dua kali lipat ini mengakibatkan korban mengalami gejala toksisitas lithium yang ditandai dengan diare kronis yang dialami korban setelah tiga hari mengkonsumsi obat. Selain itu terjadi juga peningkatan kontraksi dan kekakuan otot, gangguang keseimbangan, dan lesu. Namun gejala ini tidak disadari oleh PCP dan dokter korban sampai akhirnya korban mengalami dehidrasi berat persisten dengan kekacauan metabolisme dan hipotensi, serta gagal ginjal akut dan meninggal dunia. Dari hasil pemeriksaan, kadar lithium darah korban mencapai 6,8 mEq/L setelah hampir satu bulan mengkonsumsi lithium. Kadar ini merupakan kadar yang sangat tinggi mengingat kadar lithium normalnya berkisar antara 0,6 dan 1,2 mEq/L (non-beracun). Lithium merupakan obat yang memiliki indeks terapi sempit (narrow terapeutic index) dimana konsentrasi yang digunakan untuk mencapai efek terapi tidak jauh berbeda dengan konsentrasi yang menyebabkan toksisitas. T plasma kira-kira 20-24 jam setelah dosis tunggal tergantung dari lamanya pengobatan dan akan meningkat pada pasien pediatri dan gangguan ginjal. Selain itu dosis litihium dari satu pemberian ke pemberian yang lain menghasilkan bioavaibilitas yang sangat bervariasi (Moffat, et al.,2005). Efek antimania lithium disebabkan oleh kemampuannya mengurangi dopaminereseptor supersensitivity meningkatkan cholinergic muscarinic activity dan menghambat cyclic AMP (adenosine monophospat). Lithium diabsorbsi baik setelah pemakaian peroral. Kira-kira 97% diekskresikan dalam bentuk bebas melalui urin dalam 10 hari. Ekskresi lithium melalui

urin akan lebih lambat pada pediatri. Ekskresi lithium juga dipengaruhi oleh kadar natrium dan kalium. Pada pasien yang asupan natriumnya rendah, lithium akan direabsorpsi melalui tubulus ginjal dan sebaliknya pada pasien dengan asupan natrium tinggi, ekskresi lithium akan meningkat. Klirens plasma setelah dosis tunggal kira-kira 0,4 mL/min/kg, akan menurun pada pasien uremia dan pediatri (Mofat, et al.,2005). Jika ditinjau dari farmakologi dan farmakokinetik obat, catatan medis korban, kondisi fisik korban, umur, serta penyakit yang dideritanya maka seharusnya perlu dilakukan monitoring kadar lithium dalam darah korban (Therapy Drug Monitoring). Korban merupakan seorang pediatri yang memiliki riwayat penyakit hipotirodisme, menderita hiponatremia berat dan hiperkalemia. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa lithium 97% diekskresikan dalam bentuk bebas melalui urin dalam 10 hari dan akan lebih lambat pada pediatri. Hal ini disebabkan karena terjadinya penurunan fungsi ginjal pada pasien pediatri sehingga klirens plasma akan menurun dan obat akan lebih lama berada didalam tubuh pasien. Korban juga menderita hiponatremia dan hiperkalemia berat. Keadaan ini tentunya akan berpengaruh besar pada ekskresi lithium dimana ekskresi lithium juga dipengaruhi oleh kadar natrium dan kalium. Pada kondisi dimana kadar natrium dalam tubuh rendah, lithium yang seharusnya diekskresikan akan direabsorpsi kembali melalui tubulus ginjal sehingga obat akan kembali berada pada sistem sistemik. Oleh karenanya sebelum korban meninggal korban mengalami dehidrasi berat persisten dengan kekacauan metabolisme dan hipotensi dan akhirnya terjadi gagal ginjal akut akibat toksisitas dari lithium. Pada review dokumen dan wawancara yang dilakuan sebelum dan selama litigasi, jelas bahwa staf perumahan mencatat dan menyatakan bahwa korban menunjukkan gangguan gaya berjalan, kelesuan, dan kelemahan sekitar satu bulan sebelum dia meninggal. Keadaan ini juga terjadi pada waktu dua kali kunjungan ke PCP. Akan tetapi tidak ada tanda-tanda atau gejala yang dicatat oleh PCP terkait dengan evaluasi terhadap tingkat lithium yang dikonsumsi korban. Kasus ini diselesaikan dengan Satu Juta Dolar ($ 1.000.000) selama litigasi dengan farmasis. Akan tetapi jika dianalisis secara keseluruhan, pada kasus diatas tidak ada komunikasi yang baik antara PCP, psikiater, farmasis, dan keluarga korban. Pada saat melakukan pembacaan resep dan dispensing obat, farmasis hendaknya mampu melakukan evaluasi terhadap resep yang dibawa oleh korban dan lebih teliti sebelum dan pada saat melakukan peracikan obat. Bahkan jika perlu, menyarankan untuk dilakukan TDM pada korban karena obat yang diresepkan

merupakan obat yang tergolong kedalam obat yang memiliki narrow terapeutic index dan menimbulkan bioavaibilitas yang bervariasi meskipun diberikan pada dosis yang tetap. PCP sebagai ahli medis pribadi korban seharusnya melakukan pemantauan terhadap obat-obat yang dikonsumsi korban sehingga apabila muncul efek samping atau gejala toksisitas obat dapat segera dikenali dan dikomunikasikan dengan tenaga medis lainnya dalam hal ini adalah psikiater korban. Psikiater korban sebagai orang yang meresepkan korban hendaknya melakukan evaluasi terhadap pengobatan yang diberikan. Dengan melihat riwayat penyakit korban dan obat yang diberikan seharusnya psikiater mampu meramalkan kemungkinan terburuk dari peresepan yang dilakukan dan tidak semata-mata menyerahkan evaluasi peresepan kepada tenaga medis lain. Apabila memang terjadi komunikasi yang baik dari tenaga medis terkait maka tentunya medication error seperti kasus diatas tidak akan terjadi.

DAFTAR PUSTAKA Lubin and Mayer. 2010. Medication Error And Failure To Notice Signs And Lithium Toxicity Lead To Death Of 51 Year-Old Woman. (Cited: Dec 18, 2010) Available at: http//www.lubinandmayer.com/hoterneys/indek.html. Moffat, C Anthony, David Osselton, Brian Widdop. 2005. Clarkes Analysis of Drugs and Poisons in Pharmaceutical, Body Fluids, and Post-Mortem Material. 3rd Edition. London: The Pharmaceutical Pres Israr, Y.A., W.R. Mardhiya.,dan N. Faradilla. 2009. Obat Antimania (Cited: Dec 18, 2010) Available at: http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/09/ antimania_files_of_drsmed.pdf Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2008. Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta: PT Elex Media Computindo Zullies, Ikawati. 2009. Bipolar-Disorder (Cited: Dec 18, 2010) Available at: http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/ bipolar-disorder.pdf

FARMASI FORENSIK STUDI KASUS Medication Error And Failure To Notice Signs And Lithium Toxicity Lead To Death Of 51 Year-Old Woman

Nama : I Made Dwi Mulya Purbandika (0708505035)

JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2010

Anda mungkin juga menyukai