Anda di halaman 1dari 10

1

Published in Majalah Treasury Indonesia No. 2/2006



Manajemen Utang Pemerintah:
Best Practices dan Pengalaman Indonesia

Oleh:
Suminto, M.Sc.
Economist, The Indonesia Economic Intelligence

International Monetary Fund (IMF) dalam IMF Country Report No. 05/327
yang dikeluarkan pada September 2005 melakukan analisis mengenai level utang
pemerintah Indonesia yang aman (appropriate level of public debt). Level utang yang
aman didefinisikan sebagai level utang yang tidak rentan (vulnerable) terhadap krisis,
tidak mengancam pertumbuhan ekonomi, dan tidak mengganggu kesinambungan fiskal
(fiscal sustainability). Studi empirik ini menemukan bahwa level utang pemerintah yang
aman bagi Indonesia adalah 35-42 persen dari GDP. Merujuk threshold IMF ini, bisa
disimpulkan bahwa utang pemerintah saat ini berada pada level yang tidak aman. Kalau
sebelum krisis level utang pemerintah masih dikisaran 30-an persen GDP, setelah krisis
level ini meningkat drastis dengan puncaknya di tahun 2000 sebesar 92 persen GDP.
Level utang pemerintah tahun 2004 masih sebesar 54 persen dari GDP. Merujuk
klasifikasi Bank Dunia dalam Global Development Finance 2005, Indonesia masuk
kelompok negara berpendapatan menengah dengan tingkat utang sangat tinggi (severely
indebted middle income country). (Lihat Tabel 1) Kondisi ini menuntut adanya
manajemen utang pemerintah yang lebih baik, sehingga secara terencana level utang
pemerintah itu bisa dikurangi sampai pada tingkat yang lebih aman.
IMF dan World Bank (2003) dalam publikasinya Guidelines for Public Debt
Management mendefinisikan manajemen utang pemerintah sebagai process of
establishing and executing a strategy for managing the governments debt in order to
raise the required amount of funding, achieve its risk and cost objectives, and to meet any
other sovereign debt management goals the government may have set, such as developing
and maintaining an efficient market for government securities. Menurut publikasi ini,
2
manajemen utang pemerintah mencakup beberapa dimensi berikut: (1) debt management
objectives and coordination; (2) transparency and accountability; (3) institutional
framework; (4) debt management strategy; (5) risk management framework; dan (6)
development and maintenance of an efficient market for government securities. Dalam
dokumen yang lain, World Bank (2004) merumuskan content manajemen utang
pemerintah ke dalam beberapa aspek berikut: (1) Governance, yang mencakup debt
management objectives and legal framework; institutional responsibilities; reporting and
external audit; (2) Debt strategy and risk management, yang meliputi strategic
framework; dan risk analysis; (3) Coordination with fiscal and monetary policy and cash
management; (4) Development of Government Securities Market.
Tulisan ini mencoba menyajikan beberapa aspek best practices manajemen utang
pemerintah (public debt management) dan merefleksikannya pada pengalaman Indonesia.

Debt Management Objectives
Pemerintah harus disiplin dengan debt management objectives untuk menjamin
dapat diperolehnya dana yang dibutuhkan dan dapat dipenuhinya kewajiban utang pada
ongkos yang wajar dan risiko yang dapat diterima. Atau, dalam bahasa IMF dan World
Bank (2003a), the main objective of public debt management is to ensure that
governments financing needs and its payment obligations are met at the lowest possible
cost over the medium to long run, consistent with a prudent degree of risk. Negara-
negara maju merumuskan debt management objectives mereka tidak jauh dari rumusan
ini. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini (Storkey, 2000; Storkey, 2001; Currie et al,
2003; IMF dan World Bank, 2003b). United Kingdom: to carry out the Governments
debt management policy of minimizing finance cost over the longer term, taking into
account risk, and to manage the aggregate cash needs of the Exchequer in the most cost
efficient way. Sweden: to minimize the cost of borrowing within agreed risk
tolerances. Australia: to minimize the long-term market value of the public debt
(cost) and contain the volatility of budgetary debt cost (risk). Portugal: to achieve
the lowest possible long-term borrowing coststo keep the risk at an acceptable level....
Ireland: to contain the level and volatility of annual fiscal debt service costs, contain
the governments exposure to risk. Italia: to minimize the financing cost for a
3
certain level of financing risk, in particular that of refinancing and interest. New
Zealand: to identify a low risk portfolio of net liabilities consistent with the
Governments aversion to risk, having regard for the expected costs of reducing risk, and
to transact in an efficient manner to achieve and maintain that portfolio.
Untuk jangka waktu yang panjang, manajemen utang Indonesia lebih difokuskan
pada upaya mendapatkan sumber pembiayaan untuk mendanai program-program
pembangunan prioritas (to fulfill the borrowing requirements), dan belum banyak
memberikan perhatian pada unsur mengelola ongkos dan risiko. Hal ini bisa dipahami
mengingat saat itu portofolio utang lebih didominasi oleh official development assistance
(ODA) dari kreditur bilateral dan concessional loan dari kreditur multilateral, yang
dipersepsi sebagai berbiaya murah dan berisiko rendah. Perhatian terhadap pengelolaan
ongkos dan risiko menjadi keniscayaan ketika posisi utang kita semakin menggunung
serta portofolio utang semakin beragam, tidak saja semakin besarnya porsi utang non-
ODA dan non-concessional, tetapi yang lebih penting lagi, munculnya instrument
obligasi, baik obligasi domestik maupun obligasi internasional, yang bahkan
outstandingnya telah mencapai sekitar separoh dari total utang pemerintah.
Tujuan manajemen utang yang lebih spesifik dan sejalan dengan best practices
dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara
dan kemudian dielaborasi lebih rinci dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2005-2009. KMK
447 merumuskan tujuan manajemen utang sebagai berikut: Secara umum tujuan
pengelolaan utang negara dalam jangka panjang adalah meminimalkan biaya utang pada
tingkat risiko yang terkendali. Secara terperinci, tujuan pengelolaan utang adalah: 1)
Menjamin terpenuhinya financing gap dan ketahanan fiskal yang berkesinambungan
(fiscal sustainability) yang sesuai dengan kondisi ekonomi makro, serta biaya terendah;
2) Meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang terutama untuk
meminimalkan risiko, baik risiko pasar maupun risiko refinancing; 3) Mengembangkan
upaya-upaya agar pinjaman yang sudah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai jadwal
dan perkiraan biaya.


4
Legal Framework
Kerangka legal manajemen utang setidak-tidaknya mencakup kejelasan
kewenangan untuk memutuskan utang beserta pembatasan-pembatasannya. Masalah
kewenangan mencakup beberapa issue. Issue pertama menyangkut hubungan legislatif
dan eksekutif. Pada umumnya, legislatif dan eksekutif berbagi kewenangan dalam
menciptakan utang. Berbagi kewenangan di sini dapat mengambil bervariasi bentuk
(salah satu atau kombinasi diantaranya). Pertama, legislatif memberikan kewenangan
kepada eksekutif untuk membuat utang sampai batas tertentu yang telah ditentukan dalam
budget. Kedua, legislatif menentukan batas total stock utang pemerintah, dan selanjutnya
memberikan kewenangan kepada eksekutif untuk membuat utang sampai batas total stock
tersebut. Ketiga, eksekutif harus meminta persetujuan atau ratifikasi legislatif untuk
membuat transaksi utang sampai jumlah tertentu atau dengan kreditur tertentu. Issue
kedua menyangkut agency eksekutif yang diberi wewenang melaksanakan transaksi
utang, apakah Kementerian Keuangan atau agency yang lain. Secara best practices,
kewenangan operasional membuat utang berada pada Kementerian Keuangan. (Bradlow,
2003)
Kerangka legal juga mencakup pembatasan utang. Dalam hal ini bisa diambil
contoh Maastricht Treaty yang mengatur batas utang pemerintah maksimal 60% dari
GDP bagi negara-negara Uni Eropa. (Horgan, 1999; Bradlow, 2004 )
Undang-undang APBN menunjukkan kewenangan DPR dalam memberikan
persetujuan atas jumlah utang pada tahun anggaran yang bersangkutan, baik Surat Utang
Negara maupun pembiayaan luar negeri (utang luar negeri). Perubahan atas jumlah itu
hanya dapat dilakukan melalui APBN-P. Sementara itu, Pemerintah c.q. Menteri
Keuangan mempunyai kewenangan membuat loan atau menerbitkan obligasi individual.
Sejalan dengan hal ini, UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara
menggariskan, Kewenangan menerbitkan Surat Utang Negara berada pada
Pemerintah (Pasal 5 ayat 1), dimana Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan oleh Menteri (baca: Menteri Keuangan) (Pasal 5 ayat 2), serta
Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (Pasal 7 ayat 1), dimana Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan pada saat pengesahan Anggaran
5
Pendapatan dan Belanja Negara (Pasal 7 ayat 3). Juga ditegaskan, Dalam hal-hal
tertentu, Menteri dapat menerbitkan Surat Utang Negara melebihi nilai bersih maksimal
yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat dan
dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang
bersangkutan (Pasal 7 ayat 4).
Berkenaan dengan pembatasan utang, Indonesia telah mengikuti best practices
dengan ditentukannya batas maksimal utang. Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara Pasal 12 ayat 3 berserta penjelasannya dan Peraturan
Pemerintah No. 23 Tahun 2004 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN
dan APBD Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
diatur pembatasan utang sebagai berikut: 1) Jumlah kumulatif deficit APBN dan APBD
dibatasi tidak melebihi 3% dari GDP tahun bersangkutan; 2) Jumlah kumulatif utang
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dibatasi tidak melebihi 60% dari GDP tahun
yang bersangkutan.

Institutional Framework
Manajemen utang menuntut adanya pengaturan kelembagaan yang baik, yang
memberikan kejelasan peranan, tanggung jawab, dan mandat (clear roles,
responsibilities, and delegations). Secara best practices, pengelolaan operasional utang
(operational debt management) diserahkan pada satu unit khusus, yakni Debt
Management Office (DMO).
Lokasi DMO itu sendiri bervariasi: merupakan bagian dari Kementerian
Keuangan (DMO within the Ministry of Finance), seperti Australia, Belanda, Belgia,
Italia, Jepang, Kanada, Perancis, Polandia, Selandia Baru, Spanyol, USA, Yunani,
Argentina, Brazil, China, Columbia, Meksiko, Afrika Selatan, Turki, Thailand, dan Korea
Selatan; merupakan unit independent di luar Kementerian Keuangan (Autonomous Debt
Office) seperti Austria, Hungaria, Irlandia, Jerman, Portugal, Swedia, dan UK;
merupakan bagian dari Bank Sentral (DMO within the Central Bank) seperti Denmark,
ataupun terdistribusi di Kementerian Keuangan dan Bank Sentral (DMO dispersed
between the Ministry of Finance and the Central Bank), seperti India (dimana
6
Kementerian Keuangan India bertanggung jawab untuk manajemen utang luar negeri,
dan Bank Sentral IndiaReserve Bank of Indiabertanggung jawab atas manajemen
utang domestik). (Currie et al, 2003; Das, 2006b) Pilihan lokasi DMO ini mempunyai
justifikasi masing-masing. (Lihat: Bradlow, 2004; Delduque, 2000)
Terlepas dari lokasinya, secara garis besar DMO melaksanakan tiga fungsi
pokok, yakni: resource mobilization, debt and risk analysis, dan management
information systems and settlements. (Kappagoda, 2002) Fungsi resource mobilization
mencakup: creditor/donor coordination, borrowing plan implementation, project
formulation/prospectus preparation, loan negotiations/capital market issues, government
guarantees, dan on-lending. Fungsi debt and risk analysis mencakup: portfolio
analyses, risk analyses, borrowing policy and plan, borrowing strategy, policies on
government guarantees and on-lending, serta policy on loan loss provisioning. Adapun
fungsi management information systems and settlements mencakup: loan utilization,
loan repayment, loan databases, statistical reports, loan accounts, dan contingent
liabilities. Sebangun dengan prinsip structure follows function, ketiga fungsi ini
dilaksanakan oleh tiga struktur, yakni the front office, the middle office, dan the back
office. The Front Office bertanggung jawab atas Resource Mobilization; The Middle
Office bertanggung jawab atas Debt and Risk Analyses; sedangkan The Back Office
bertanggung jawab atas Management Information System and Settlement. Tabel 2
menyajikan summary tipikal struktur, fungsi, dan kegiatan utama DMO.
Dalam konteks kerangka kelembagaan ini, manajemen utang kita belum
sepenuhnya integrated meskipun reorganisasi Kementerian Keuangan Tahap I telah
mengumpulkan PMON dan Dit. DLN ke dalam Ditjen Perbendaharaanmenjadi Dit.
PSUN dan Dit. PPHLN. Saat ini, pembagian dan pemisahan fungsi front, middle, dan
back office masih belum begitu jelas dan masih tumpang-tindih.

Risk Management and Debt Strategy
Manajemen risiko mendapatkan tekanan yang besar mengingat dalam globalized
economy pemerintah menghadapi berbagai risiko dalam manajemen utangnya, seperti
market risk (risiko yang berkaitan dengan fluktuasi suku bunga, nilai tukar mata uang,
harga komoditi, dan inflasi), funding risk (risiko yang berkaitan dengan akses pasar
7
ketika pemerintah memerlukan dana untuk pembiayaan anggaran ataupun roll-over utang
pada tingkat biaya yang dapat diterima), liquidity risk (berkenaan dengan manajemen kas
pemerintah), credit risk (berkaitan dengan rating pihak bersangkutan), portfolio
concentration risk (berkaitan dengan konsentrasi eksposur pada instrument, transaksi
individual, pasar, industri, atau kreditur tertentu), serta operational risk (risiko berkaitan
dengan kemungkinan kesalahan pada prosedur, human error, dan system, yang mencakup
masalah-masalah audit, compliance dan control, keberlangsungan bisnis, legal, key
person, reputasi, security, system, dan transaksi). (Lihat: Storkey, 2000; IMF dan World
Bank, 2003a; Das, 2006a).
Sebuah kerangka manajemen risiko (risk management framework) harus dibangun
untuk memungkinkan manajer utang mengidentifikasi dan memanej trade-off antara
ongkosbaik financial cost maupun potential cost of real economic lossesdan risiko
dalam portofolio utangnya. Untuk memperhitungkan risiko, manajer utang harus secara
rutin melakukan stress test atas portofolio utangnya, dengan menggunakan model
scenario sederhana hingga model yang lebih kompleks, yang melibatkan teknik-teknik
simulasi dan statistik yang highly sophisticated. (IMF dan World Bank, 2003a)
Beragam risiko yang inherent dengan struktur utang pemerintah sebagaimana
disebutkan di atas harus secara hati-hati dimonitor dan dievaluasi. Risiko ini harus
dimitigasi sejauh mungkin melalui modifikasi struktur utang, dengan mempertimbangkan
ongkosnya. (IMF dan World Bank, 2003a). Strategic Framework memberikan panduan
bagi pencapaian target-target tertentu, seperti jumlah utang jatuh tempo pada tahun fiskal
tertentu, utang domestik vs utang luar negeri, bunga tetap vs bunga mengambang, dan
komposisi mata uang utang. (Bank Dunia, 2004)
Merujuk penilaian Bank Dunia (2004), sejauh ini kita belum melakukan analisis
risiko ini secara regular, dan indikator risiko tidak dipublikasikan, kecuali barangkali
redemption profile .
Berkenaan dengan debt strategy, kita telah memiliki Strategi Utang dengan
diterbitkannya KMK Nomor: 447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang
Negara Tahun 2005-2009. Dalam KMK ini disebutkan dua strategi umum manajemen
utang, yakni pengelolaan portofolio dan risiko, serta pengembangan pasar perdana dan
pasar sekunder SUN. Pengelolaan portofolio dan risiko mencakup: pengurangan utang
8
negara, penyederhanaan portofolio utang Negara, penerbitan/pengadaan utang negara
dalam mata uang rupiah, minimalisasi risiko pembiayaan kembali, peningkatan porsi
utang negara dengan bunga tetap, penurunan porsi Kredit ekspor, dan penerapan prinsip
pengelolaan utang Negara yang baik. Pengembangan pasar perdana mencakup
pengembangan metode penerbitan, pengembangan sistem lelang, penyusunan jadwal
yang teratur, dan penerbitan benchmark issues. Sedangkan pengembangan pasar sekunder
mencakup diversifikasi instrument SUN, dan aktifitas lain untuk meningkatkan likuiditas
pasar SUN.
Namun demikian, KMK ini kiranya masih perlu penyempurnaan ke depan, antara
lain dengan merumuskan secara jelas debt targeting yang ingin dicapai, misalnya,
pengurangan utang yang diinginkan sampai level berapa dan bagaimana tahapan
pencapaiannya; serta merumuskan lebih jelas portfolio benchmark yang diinginkan,
seperti komposisi suku bunga (fix-floating ratio), modified duration, dan juga maximum
ceiling on debt maturing in next year.

Catatan Penutup
Membandingkan best practices serta pengalaman Indonesia, boleh dikatakan
bahwa, meskipun kita telah banyak berbenah, namun masih banyak agenda reformasi
yang harus dituntaskan. Dalam konteks ini, pembentukan sebuah DMOyang menurut
khabar terakhir direpresentasikan dengan Direktorat Jenderal Pembiayaan dan
Pengelolaan Utanguntuk mengintegrasikan keseluruhan fungsi manajemen utang
sangatlah relevan. Menurut hemat penulis, pembentukan DMO ini merupakan bagian
penguatan fungsi treasury pada Kementerian Keuangan.
Hal ini sebangun dengan rekomendasi Bank Dunia (2004) dalam sebuah dokumen
yang disampaikan kepada Kementerian Keuangan: The creation of a Treasury is an
important step in ensuring better coordination and communication between entities
dealing with debt management. However, taking into account the risks related to the
existing debt, reforms should not stop here, but continue with the end goal being the
creation of an integrated debt office.



9
Kepustakaan

Blommestein, Hans J. (2005), Overview of Advances in Risk Management of Government Debt, Financial Market Trends, No. 88,
March, pp. 115-134.
Bradlow, Daniel D. (2003), Best Practices and Key Issues to be Addressed in A Regulatory Framework for Public Debt
Management, Best Practices Series No. 4, Geneva: UNITAR.
Bradlow, Daniel D. (2004), A General Overview of Legal Issues in Debt Management, Occasional Series for the Central Asian
Republics and Azerbaijan, Document No. 1, Geneva: UNITAR.
Currie, Elizabeth, Jean-Jacques, and Erico Togo (2003), Institutional Arrangements for Public Debt Management, Policy Research
Policy Paper No. 3021, Washington, D.C.: The World Bank.
Das, Tarun (2006a), Management of External Debt: International Experiences and Best Practices, Best Practices Series No. 9,
Geneva: UNITAR.
Das, Tarun (2006b), Governance of Public Debt: International Experiences and Best Practices, Best Practices Series No. 10,
Geneva: UNITAR.
Delduque Jr, Jobathas (2000), The Concept of Independence as Applied to Public Debt Management, The George Washington
University-School of Business and Public Management, Mimeo.
Horgan, Michael (1999), The Building Blocks of Effective Government Debt Management, Document Series No. 8, Geneva:
UNITAR.
International Monetary Fund and the World Bank (2003a), Guidelines for Public Debt Management, Amended on 9 December 2003,
Washington, D.C.,: IMF and WB.
International Monetary Fund and the World Bank (2003b), Guidelines for Public Debt Management: Accompanying Document and
Selected Case Studies, Washington, D.C.,: IMF and WB.
International Monetary Fund (2005), IMF Country Report No. 05/327, Washington, D.C.: IMF.
Kappagoda, Nihal (2002), Institutional Framework for Public Sector Borrowing, Document series No. 17, Geneva: UNITAR.
Leong, Donna (1999), Debt Management: Theory and Practice, Treasury Occasional Paper, No. 10, London: HM Treasury.
Storkey, Ian (2000), Sovereign Debt Management, Paper presented at the 4
th
Australian Fixed Interest Forum, Sydney, Australia, 8
December.
Storkey, Ian (2001), Sovereign Debt Management: A Risk Management Focus, The Finance and Treasury Professional, May, pp. 7-
10.
Storkey, Ian (2003), Global Trends in Sovereign Debt Management, Paper presented at the Public Sector Finance and Treasury
Management Conference, Canberra, Australia, 27 May.
World Bank (2000), Indonesia: Managing Government Debt and Its Risks, Report No. 20436-IND, East Asia and the Pacific
Region-The World Bank.
World Bank (2004), Debt Reform and Capacity Building Program Indonesia: Diagnostic, unpublished paper prepared for the
Ministry of Finance of the GoI.
World Bank (2005), Global Development Finance 2005, Washington D.C.: World Bank.
________, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.
________, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2005-2009.

Tabel 1. Klasifikasi Negara-negara Asia Pasifik Berdasarkan Tingkat Utang dan Income


Sumber: World Bank (2005), Global Development Finance 2005, Washington D.C.: World Bank.


10
Tabel 2. Tipikal Struktur, Fungsi, dan Kegiatan Utama DMO

The Front Office
(Function of Resource Mobilization)
The Middle Office
(Function of Debt and Risk Analyses)
The Back Office
(Function of Management Information
System and Settlements)
Implement the borrowing plan based on
the strategy approved by the government

Mobilize resources for public sector
projects and programs based on the
borrowing strategy
- Foreign sources (negotiate
loans; access international
capital markets)
- Domestic sources (access
domestic capital market by
conducting auctions and other
measures; develop domestic
market; develop secondary
market)

Organize and execute hedging transaction

Identify and execute derivative
transactions

Process applications for government
guarantees, issue guarantees and conclude
agreements with borrowers

Process applications for on-lending
borrowed funds and conclude agreements
with the borrowers

Function as clearing house for requests for
information from donors, international
financial institutions, commercial banks
and other creditors


Undertake frequent portfolio analyses to
assess future debt service prospects and
problems and propose action that should
be taken to overcome them

Prepare debt sustainability analysis to
assess the long-term sustainability of
projected borrowing levels

Assess external vulnerability using debt
and reserve adequacy indicators

Formulate policies for the issue of
government guarantees and on-lending
borrowed funds

Assess and manage market, rollover,
liquidity, credit, settlement, and
operational risks in the loan portfolio

Adopt specific targets, benchmarks or
guidelines for various debt variables such
as the currency mix, share of floating
debt, share of foreign debt, maturity
profiles and share of short-term debt in
total debt outstanding

Formulate a borrowing policy and an
annual borrowing plan for the
government. It could involve the adoption
of ceilings for total debt outstanding
broken down into foreign and domestic
debt and target for various stock and flow
debt indicators

Prepare borrowing strategy for
implementing the annual borrowing plan
involving choices between domestic and
foreign borrowings, foreign markets to be
accessed, currency of borrowing, and
interest rate and maturity structures

Formulate guidelines for unguaranteed
borrowings of state enterprises and the
private sector

Prepare or provide inputs on public debt
to periodic economic and financial reports
and data for presentation to Parliament

Manage the debt information system and
maintain an accurate and up-to date loan
database

Link the debt management software to
other software used for Treasury
management and accounting system of the
government

Prepare debt service forecasts for external
borrowings as an input to the balance of
payments forecast and for total
government borrowings as an input to the
expenditure estimates of the fiscal budget

Process debt service payments and effect
payments on time

Monitor the implementation of loan
agreements including the utilization of
loans and the obligations of the
government

Monitor the performance of loan
guarantees issued by the government and
report non-performance to the government

Monitor the performance of on-lending
agreements and report default to the
government

Monitor all contingent liabilities and
ensure the adequate loan loss provisions
are made in the budget to meet likely
defaults

Prepare forecasts of government cash
requirements to provide guidance on the
volume and timing of domestic debt
issues of the government

Prepare periodic stastical and other reports
on the status of public debt that are
required by the government and lenders

Maintain a web site for the DMO and
provide critical information on public debt
for the information of the public
Sumber: Diolah dari Nihal Kappagoda (2002), Institutional Framework for Public Sector Borrowing, Document series No. 17,
Geneva: UNITAR.

Anda mungkin juga menyukai